Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal adalah organ tubuh yang berfungsi untuk mengeluarkan urine,


yang merupakan sisa hasil metabolisme tubuh dalam bentuk cairan. Selain itu,
ginjal juga berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh,
mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur keseimbangan asam basa
darah, serta mengatur ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam. Apabila
ginjal gagal dalam menjalankan fungsinya ini, maka akan terjadi gangguan
pada keseimbangan air dan metabolisme dalam tubuh sehingga
mengakibatkan terjadinya penumpukan zat-zat berbahaya dalam darah yang
dapat mengganggu kerja orang lain yang menyebabkan penderita memerlukan
pegobatan dan penanganan segera.

Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi ginjal yang bersifat


progresif dan irreversibel. Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah atau biasa disebut dengan istilah uremia. Kerusakan ginjal ini
mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh yang
menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh jadi mudah lelah dan lemas
sehingga kualitas hidup pasien menurun (Brunner & Suddarth, 2001).

Pada saat ini pasien memerlukan dialysis sebagai terapi pengganti.


Dialisis adalah tindakan medis yang tugasnya dalam beberapa hal sama
dengan yang dilakukan oleh ginjal kita yang sehat. Ada dua tipe tindakan
dialisis yang popular di kalangan medis, yaitu hemodialisis dan peritoneal
dialysis. Pada hemodialisis, sebuah ginjal buatan (dialyzer) digunakan untuk
menyaring dan membuang sisa metabolisme dan kelebihan cairan maupun
unsur kimiawi lainnya dari dalam darah. Untuk mengalirkan darah penderita
ke dialyzer, diperlukan semacam akses ke pembuluh darah yang dapat
dilakukan dengan cara bedah minor di tangan maupun paha. Biasanya

1
hemodialisis dilakukan 2 -3 kali seminggu selama masing – masing 4 -5 jam
per tindakan. Sedangkan peritoneal dialisis merupakan salah satu tipe dialisis,
dimana darah dibersihkan di dalam tubuh. Dokter akan melakukan
pembedahan untuk memasang akses berupa catheter di dalam abdomen
penderita. Pada saat tindakan, area abdominal pasien akan secara perlahan
diisi oleh cairan dialisa melalui catheter. Ada dua macam peritoneal dialysis
yaitu continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) dan Continonus
Cycling Peritoneal Dialysis (CCPD). Penggunaan CAPD di Indonesia lebih
lazim digunakan daripada CCPD. Pada CAPD penderita melakukan sendiri
tindakan medis tanap bantuan mesin dan biasanya berlangsung 4 kali sehari
masing – masing selama 30 menit. Efektivitas CAPD juga dapat memberikan
beberapa manfaat secara langsung ataupun tidak langsung kepada pasien.

Berdasarkan uraian diatas, maka perlu kiranya untuk memahami lebih


jauh tentang CAPD yang merupakan suatu tindakan yang diberikan pada
pasien yang mengalami gagal ginjal untuk mempertahankan fungsi
ekskresinya secara adekuat serta menguraikan mengenai asuhan keperawatan
pada pasien yang terpasang oleh CAPD.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep kasus semu asuhan keperawatan yang terjadi pada


pasien yang terpasang oleh CAPD ?
2. Bagaimana pengertian atau definisi tentang CAPD ?
3. Bagaimana proses dari CAPD ?
4. Bagaimana prinsip dari CAPD ?
5. Apa beberapa hal yang harus diperhatikan saat pemasangan CAPD ?
6. Apa saja permasalahan yang muncul pada CAPD ?
7. Bagaimana indikasi dan kontraindikasi dari CAPD ?
8. Bagimana kompikasi yang muncul pada pemasangan CAPD ?
9. Bagaimana kelebihan dan kekurangan dari CAPD ?
10. Bagaimana perbandingan antara CAPD dengan HD ?
11. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan secara umum pada seseorang
yang terpasang CAPD ?

2
1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Menjelaskan tentang konsep kasus semu asuhan keperawatan


yang terjadi pada pasien yang terpasang oleh CAPD

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan tentang pengertian atau definisi tentang CAPD


2. Menjelaskan tentang proses CAPD
3. Menjelaskan tentang prinsip CAPD
4. Menjelaskan tentang beberapa hal yang harus diperhatikan saat
pemasangan CAPD
5. Menjelaskan tentang permasalahan pada CAPD
6. Menjelaskan tentang indikasi dan kontraindikasi dari CAPD
7. Menjelaskan tentang kompikasi yang muncul pada pemasangan
CAPD
8. Menjelaskan tentang kelebihan dan kekurangan dari CAPD
9. Menjelaskan tentang perbandingan antara CAPD dengan HD
10. Menjelaskan Konsep Asuhan Keperawatan secara umum pada
seseorang yang terpasang CAPD

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Bagi Mahasiswa

Mahasiswa dapat menerapkan di dalam masyarakat mengenai


asuhan keperawatan yang bisa muncul pada pemasangan terapi
pengganti ginjal metode CAPD.

1.4.2 Bagi Institusi

Institusi dapat menjadi wadah sebagai mahasiswa untuk


penerapan konsep asuhan keperawatan perkemihan pada pasien yang
terpasang oleh terapi pengganti ginjal metode CAPD.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis


peritoneal ambulatorik kontinyu merupakan suatu bentuk metode pencucuian
darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisis perut dan
pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan
kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari perut dapat dengan mudah tersaring
melalui peritoneum ke dalam rongga perut. CAPD bersifat kontinyu dan
biasanya dapat dilakukan sendiri. Metode ini bisa dikerjakan di rumah oleh
pasien. Tekhniknya disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis pasien akan
terapi dialisis dan kemampuanya untuk mempelajari prosedur ini. Metode ini
harus dapat dipahami oleh pasien dan keluarga, serta diperlukan petunjuk yang
adekuat untuk menjamin agar mereka merasa aman dan yakin dalam
melaksanakannya.

CAPD merupakan sebuah kateter yang dipasang di dalam perut, ke


dalam rongga peritoneum. Pemasangan ini dilakukan melalui tindakan
operasi. Setelah kateter tersebut terpasang, lalu digunakan cairan dialisat, yang
sering dipakai adalah Dianel Baxter dari Kalbe untuk membilas rongga
peritoneum tempat bersarang kateter. Ini berfungsi sebagai sarana cuci darah,
yang berlangsung sepanjang hari.

2.2 Proses Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

Proses dari terapi pengganti ginjal jenis CAPD ini umumnya dengan
proses yang lebih mudah disbanding terapi pengganti ginjal yang lain. Berikut
beberapa penjelasan mengenai proses dari terapi pengganti ginjal jenis CAPD,
antara lain :

1. Proses dialysis peritoneal ini tidak menimbulkan rasa sakit.

4
2. Membutuhkan waktu yang singkat, terdiri dari 3 langkah, yaitu :
a. Pertama, masukkan dialisat berlangsung selama 10 menit
b. Kedua, cairan dibiarkan dalam rongga perut untuk selama
periode waktu tertentu (4-6 jam)
c. Ketiga, pengeluaran cairan yang berlangsung selama 20 menit
3. Ketiga proses diatas dilakukan beberapa kali tergantung kebutuhan
dan bisa dilakukan oleh pasien sendiri secara mandiri setelah
dilatih dan tidak perlu ke rumah sakit
4. Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi oleh, antara lain :
a. Kualitas membrane
b. Ukuran & karakteristik larutan
c. Volume dialisat
5. Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan, antara
lain :
a. Tekanan osmotic
b. Konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan plasma
darah dalam pembuluh kapiler
c. Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam peritoneum, air
akan diultrafiltrasi dari plasma ke dialisat, sehingga
meningkatkan volume cairan intra peritoneal. Peningkatan
volume cairan intraperitoneal berbanding lurus dengan
konsentrasi glukosa dari cairan dialisat.
d. Kecepatan transport air dan zat terlarut dapat diestimasi secara
periodic melalui PET test (Peritoneal Equilibrum Test)
6. Standar konsentrasi elektrolit cairan CAPD, antara lain :
a. Na (132 meq /lt)
b. Cl ( 102 meq /lt)
c. Mg (0,5 meq /lt)
d. K (0 meq /lt)

5
2.3 Prinsip Kerja Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

CAPD bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yag sama seperti pada


bentuk dialisis lainnya, yaitu difusi dan osmosis. Tetapi karena CAPD
merupakan terapi dialisis yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam
serum berada dalam keadaan yang stabil. Nilainya bergantung pada:

1. Fungsi ginjal yang masih terpisah


2. volume dialisa setiap hari
3. Kecepatan produk limbah tersebut diproduksi.
Fluktuasi hasil-hasil laboratorium ini pada CAPD tidak begitu ekstrim
dibandingkan dengan dialisis peritoneal intermiten, karena proses dialisis
berlangsung secara konstan. Kadar elektrolit biasanya tetap berada dalam
kisaran normal. Semakin lama waktu retensi, klirens molekul yang berukuran
sedang semakin baik, molekul ini merupakan toksin uremik yang signifikan.
Dengan CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul
rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialisis dari
pada molekul berukuran sedang, meskipun pengeluaranya selama CAPD lebih
lambat daripada selama hemodialisis.
Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialisis peritoneal
dicapai dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki
konsentrasi glukosa yang tinggi sehingga tercipta gradien osmotik. Larutan
glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan beberapa ukuran
volume, mulai dari 500 ml – 3000 ml, sehingga memungkinkan pemilihan
dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan fisiologik
pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar gradien osmotik
dan semakin banyak air yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan cara
memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Prinsip kerja dari CAPD cukup sederhana. Dialisis Peritoneal diawali
dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam
rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika
dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan
dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat.

6
Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan
dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi
sebagai “alat penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi. Cairan dialisat
mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk menarik
kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut
Ultrafiltrasi.

Prinsip Kerja CAPD

Proses penggantian cairan dialysis dalam prosesnya tidak


menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu singkat (± 30 menit).
Proses tersebut terdiri dari 3 langkah, antara lain :

1. Pengeluaran cairan

Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan


kelebihan air akan dikeluarkan dari rongga perut dan diganti
dengan cairan dialisis yang baru. Proses pengeluaran cairan ini
berlangsung sekitar 20 menit.

7
2. Memasukkan cairan

Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui


kateter. Proses ini hanya berlangsung selama 10 menit.

3. Waktu tinggal

Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam


rongga perut selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter.

Pertukaran biasanya dilakukan tiga kali sehari yang berlangsung


kontinyu selama 24 jam/hari dan dilakukan dalam 7 hari dalam seminggu.
Pasien melaksanakan pertukaran dengan interfal yang didistribusikan
disepanjang hari ( misalnya pada pukul 06.00 pagi, 16.00 sore dan 24.00
malam ). Setiap pertukaran memerlukan waktu 30 hingga 60 menit atau lebih
tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama
waktu penukaran terdiri atas 5 atau 10 menit periode infus (pemasukan
dialisa), 20 menit periode drainase (pengeluaran cairan dialisa) dan waktu
retensi selama 10 menit, 30 menit atau lebih.

8
2.4 Beberapa Hal yang Harus Diperhatikan Saat Pemasangan CAPD

Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan saat pemasangan CAPD


, antara lain :

1. Pemilihan tempat yang baik untuk pergantian cairan memiliki


beberapa kriteria seperti Pastikan tempat tersebut bersih, tidak ada
hembusan agin (kipas angin, pintu / jendela terbuka), dan memiliki
penerangan yang baik, tidak diperkenankan adanya binatang
disekitar saat pergantian cairan dan di tempat penyimpanan
peralatan anda, dan bebas gangguan dari luar.
2. Peralatan yang dipersiapkan antara lain :
1) Ultrabag / twinbag sistem : Kateter, Konektor titanium, Short
transfer set, Cairan dialysis (ultra bag / twin bag system),
Minicap, Outlet port clamps (untuk twin bag system).
2) Sistem Ultraset / Easi-Y_system : Kateter, Konektor titanium,
Short transfer set, Cairan dialysis, Minicap, Outlet port Clamps
(untuk sistem kantung kembar), Ultra set / Easi-Y set, Kantong
drainase untuk Easi-Y system.
3. Pola Makan Pengguna Terapi harus menjadi perhatian. Pengguna
terapi peritoneal dialysis memerlukan makanan berprotein tinggi
guna melawan infeksi.Dikarenakan sejumlah protein terbawa
cairan dialisis pada saat cairan tersebut dikeluarkan.Sehingga
diperlukan protein lebih banyak guna menggantikan protein yang
hilang terbawa cairan dialysis.
4. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan protein tidak terserap
oleh tubuh, antara lain :
1) Semakin besar kandungan dextrose pada cairan dialysis
(4,25%) semakin banyak protein yang hilang.
2) Jika terjadi infeksi dapat menyebabkan kehilangan protein
juga.
3) Selain memerlukan protein tinggi ada beberapa kandungan
zat yang perlu di batasi, dikarenakan ada sejumlah produk

9
sisa di dalam darah yang tidak dapat terbuang dengan
sempurna selama dialysis peritoneal. Produk sisa tersebut
adalah:
a. Fosfor
Ketika ginjal tidak dapat mengeluarkan
kelebihan fosfor, maka fosfor akan menumpuk pada
tubuh anda. Dalam jangka waktu yang lama fosfor akan
menyebabkan tulang lebih rapuh dan mudah patah,
fosfor banyak terdapat pada kacang-kacangan, ikan, dan
produk susu
b. Kalium
Merupakan elektrolit yang dibutuhkan untuk
fungsi syaraf dan otot yang baik. Ginjal yang tidak
berfungsi dengan baik akan sulit untuk membuang
kelebihan kalium. Kelebihan dan kekurangan dalam
kalium dapat menyebabkan otot menjadi lemah dan
sering kram. Dan kadar kalium yang tinggi dapat
membahayakan jantung. Perlu diperhatikan dalam
mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran hijau yang
mengandung kalium tinggi seperti pisang, jambu biji,
pepaya, tomat, kentang dan kacang-kacangan.Sebaiknya
hindari garam diet dikarenakan mengandung kalium
tinggi.
c. Natrium
Adalah elektrolit yang berperan dalam
mengontrol cairan dan tekanan darah di dalam
tubuh.Saat ginjal tidak berfungsi, ginjal tidak dapat
mengeluarkan natrium yang berlebih sehingga tetap
berada dalam jaringan bersama dengan air.Asupan
natrium dan garam yang tinggi menyebabkan tubuh
menahan air dan tekanan darah menjadi tinggi. Dapat
diperhatikan jika mengkonsumsi makanan yang

10
mengandung natrium (garam) akan menimbulkan rasa
haus sehingga akan sulit mengontrol jumah cairan yang
diminum. Makanan yang mengandung natrium tinggi
sangat perlu dihindari, makanan ini berupa makanan
kaleng, fast food, kudapan yang asin, bumbu penyedap,
kecap, dan keju.Untuk menggantikan natrium dapat
menggunakan bawang putih, bawang, lada, jeruk limau,
dan bumbu rempah lainnya.Hindari menggunakan
garam diet / pengganti.
d. Kabohidrat
Pada saat menjalani terapi Dialysis peritoneal,
tubuh menerima kalori secara normal dari makanan
yang dikonsumsi, ditambah dari cairan dialysis yang
masuk ke dalam rongga peritoneal mengandung glukosa
sejenis gula. Jumlah kalori yang diserap setiap 2 liter
cairan berbeda pada setiap pasien, kurang lebihnya
sebagai berikut, antara lain :
- Kantung 1,5% mengandung 80 kalori.
- Kantung 2,5% mengandung 14% kalori.
- Kantung 4,25% mengandung 230 kalori.
- Nilai tersebut tergantung karateristik
peritoneal, dan jumlah yang diresepkan oleh
dokter.

2.5 Permasalahan Pada Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

Permasalahan yang sering muncul pada pemasangan atau terpasangnya


terapi pengganti ginhal CAPD ini yaitu mengenai cairan yang keluar lewat
tempat terpasangnya selang CAPD. Cara Mengatasi Masalah Yang
Kemungkinan Terjadi Di Rumah saat pemasangan CAPD, antara lain :

1. Jika keluar cairan yang berwarna merah :


- Karena menstruasi –> akan hilang dengan sendirinya

11
- Karena mengangkat beban –> hindari mengangkat beban dan
kunjungi unit dialysis anda.
2. Jika cairan keluar berwarna kuning tua tetapi tidak keruh cairan
berada di dalam rongga peritoneum selama beberapa jam,
contohpergantiandi pagi hari–> tidak perlu khawatir (jika berlanjut,
kunjungi tempat dialysis).
3. Efek samping yang dapat terjadi antara lain:
1) Sakit punggung (5%)
2) Nyeri dada (5%)
3) Sakit kepala (5%)
4) Hipotensi (tekanan darah tiba-tiba turun drastis) (20%)
5) Gatal di kulit (5%)
6) Rasa kram di kaki (5 – 20%)
7) Mual dan muntah (15%)
8) Demam dan menggigil (jarang)
9) Komplikasi berat yang jarang terjadi seperti: reaksi alergi
(anaphylaksis) akut, banyak sel-sel darah merah pecah
(hemolisis), adanya gelembung udara (air embolism) yang
menyumbat pembuluh darah, kadar oksigen yang rendah dalam
darah (hipoksemia)
10) Komplikasi jangka panjang seperti: anemia, infeksi, denyut
jantung tidak teratur (aritmia), penyakit jantung koroner, gizi
kurang, kekurangan mineral (degenerasi) tulang, kekurangan
vitamin dan mineral.
4. Tips menghilangkan rasa sakit setelah proses cuci darah CAPD
yaitu bagi penderita gagal ginjal yang harus menjalani proses cuci
darah, mungkin alternatif cuci darah yang bernama CAPD atau
Continouos Ambulatory Peritoneal Dialysis sudah tak asing lagi.
Sebuah alat cuci darah yang dipasang permanen diperut pasien.
Dengan alat ini pasien bisa menjalani proses cuci darah hingga 4
kali per hari dan dapat dilakukan di rumah tanpa bantuan dokter.
Tentu sebuah alat yang sangat membantu. Asal selama proses cuci

12
darah berlangsung dalam keadaan steril dan dikerjakan tepat
waktu. Tentu alat yang sangat membantu serta praktis.
5. Namun setelah proses cuci darah selesai pasien sering kali merasa
kedinginan, bahkan hingga menggigil kedinginan. Atau juga pasien
merasa sakit yang amat sangat diperutnya.Kedinginan pada pasien
bisa diatasi dengan merendam cairan dextrose dalam air mendidih
sampai cairan hangat.Caranya rebus air sampai mendidih, lalu
tuang kedalam ember, rendam cairan dextrose bersama
kemasannya beberapa saat sampai cairan hangat. Setelah hangat
baru lakukan proses cuci darah. Cara kedua taruh cairan dextrose
dalam kardus yang telah diberi lampu beberapa jam sebelum proses
cuci darah, setelah cairan hangat baru mulai proses pencucian.
Sedang rasa sakit terasa ditusuk-tusuk setelah proses cuci darah itu
disebabkan oleh masuknya udara kedalam tubuh pasien melalui
selang bersama dengan cairan dextrose. Jadi jika kita melihat ada
gelembung udara pada selang segera hentikan aliran dextrose,
kemudian keluarkan gelembung dengan mendorongnya kembali ke
botol. Setelah semua gelembung kelur barulah proses dilanjutkan
kembali.

2.6 Indikasi dan Kontraindikasi Pada Continuous Ambulatory Peritoneal


Dialysis (CAPD)

CAPD merupakan terapi pilihan bagi pasien yang ingin melaksanakan


dialisis sendiri di rumah, indikasi CAPD adalah pasien-pasien yang menjalani
HD rumatan (maintenence) atau HD kronis yang mempunyai masalah dengan
cara terapi yang sekarang, seperti gangguan fungsi atau kegagalan alat untuk
akses vaskuler, rasa haus yang berlebihan, hipertensi berat, sakit kepala pasca
dialisis dan anemia berat yang memerlukan transfuse.

Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat diabetes sering


dipertimbangkan sebagai indikasi untuk dilakukan CAPD karena hipertensi,
uremia dan hiperglikemia lebih mudah diatasi dengan cara ini dari pada HD.
Pasien lansia dapat memanfaatkan teknik CAPD dengan baik jika keluarga

13
atau masyarakat memberikan dukungan. Pasien yang aktif dalam penanganan
penyakitnya, menginginkan lebih banyak kebebasan dan memiliki motivasi
serta keinginan untuk melaksanakan penanganan yang diperlukan sangat
sesuai dengan terapi CAPD. Selain kemampuan pasien dukungan dari
keluarga untuk melasanakan CAPD harus dipertimbangkan ketika memilih
terapi ini.

Pasien memilih CAPD agar bebas dari ketergantungannya pada mesin,


mengontrol sendiri aktifitasnya sehari-hari menghindari pembatasan makanan
meningkatkan asupan cairan, menaikkan nilai hematokrit serum, memperbaiki
kontrol tekananan darah, bebas dari keharusan pemasangan jarum
infus(venipuncture) dan merasa sehat secara umum meskipun CAPD memberi
kesan pasien tampak bebas, terapinya berlangsung secara kontinyu sehingga
pasien harus menjalani dialisis selama 24 jam /hari setiap hari. Sebagian
pasien menganggap cara ini membatasi kebebasanya dan memilih HD yang
lebih bersifat intermiten.

Berikut beberapa kontraindikasi untuk penggunaan terapi pengganti


ginjal jenis CAPD , antara lain :

1. Perlekatan akibat pembedahan atau penyakit inflamasi sistemik


sebelumnya. Perlekatan akan mengurangi klirens solut.
2. Nyeri punggung kronis yang rekuren di sertai riwayat kelainan pada
diskus intervertebralis dapat diperburuk oleh tekanan cairan dialisat
dalam abdomen yang kontinyu
3. Adanya riwayat kolostomi, ileostomi, nefrostomi atau ilealconduit
dapat meningkatkan resiko peritonitis walaupun tindakan operasi
tersebut bukan kontraindikasi absolut untuk CAPD.
4. Pasien dengan pengobatan imunosupresif akan mengalami komplikasi
akibat kesembuhan luka yang buruk pada lokasi pemasangan kateter.
5. Diverkulitis mengingat CAPD pernah disertai adanya ruptur
divertikulum.
6. Pasien dengan artritis atau kekuatan tangan menurun karena akan
memerlukan bantuan dalam melaksanakan pertukaran cairan.

14
2.7 Komplikasi Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada CAPD, antara lain :
1. Peritonitis
Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan paling
serius, yaitu antara 60-80 % dari pasien yang menjalani peritoneal
dialisis. Hal ini disebabkan oleh adanya kontaminasi dari
Staphylokokus epidermidis yang bersifat aksidental, dan
Staphylococcus aureus dengan angka morbiditas tinggi, prognosis
lebih serius serta lebih lama. Manifestasi dari peritonitis yaitu cairan
dialisat yang keruh, nyeri abdomen yang difus, hipotensi serta tanda-
tanda syok lainnya, hal ini jika penyebabnya S. Aureus. Pemeriksaan
cairan drainage untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan Gram, dan
pemeriksaan kultur untuk tahu penyebab mikroorganisme dan arahan
terapi.
Penatalaksanaan Peritonitis di rumah sakit apabila pasien
dalam kodisi parah dan tak mungkin melakukan terapi pertukaran
dirumah, dengan menjalani dialisis peritoneal intermitten selama 48
jam atau lebih atau sepenuhnya dihentikan selama dapat terapi
suntikan antibiotik. Jika gejalanya ringan ditangani secara rawat jalan
dan terapi antibiotik ditambahkan dalam cairan dialisat serta dapat AB
peroral selama 10 hari. Infeksi akan menghilang dalam waktu 2-4 hari .
AB harus diberikan dengan cermat dan tidak bersifat nefrotoksik agar
tidak memperparah fungsi ginjal yang tersisa. Intervensi bedah
mungkin diperlukan jika peritonitis akibat adanya kebocoran dari usus.
Pada infeksi persisten di tempat keluar kateter pelepasan kateter
permanen diperlukan untuk mencegah peritonitis. Peritonitis dengan
hasil kultur cairan peritoneal positif juga merupakan indikasi pelepasan
kateter. Untuk sementara menggunakan HD selama satu bulan sampai
dilakukan pemasangan kateter yang baru. Pasien dengan peritonitis
akan kehilangan protein melalui peritoneum dalam jumlah besar,
malnutrisi akut, serta kelambatan penyembuhan.

15
2. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui luka insisi
atau luka pemasangan kateter setelah kateter terpasang. Kebocoran
akan berhenti spontan jika terapi dialisis ditunda selama beberapa hari
sampai luka insisi dan tempat keluarnya kateter sembuh. Faktor yang
dapat memperlambat kesembuhan adalh aktifitas abdomen yang tidak
semestinya atau mengejan pada saat buang air besar. Kebocoran dapat
dihindari dengan memulai infus cairan dialisat dengan volume kecil
(100-200 ml) dan secara bertahap meningkatkan volume mencapai
2000 ml.
3. Perdarahan
Cairan drainage dialisat yang mengandung darah dapat terlihat
khususnya pada wanita yang sedang haid. Hal ini disebabkan karena
cairan hipertonik menarik darah dari uterus lewat orificium tuba falopii
yang bermuara ke dalam kavum peritoneal. Kejadian ini dapat terjadi
selama beberapa kali penggantian cairan mengingat darah akibat
prosedur tersebut tetap berada pada rongga abdomen.
Penyebab lain adanya perdarahan karena pergeseran kateter
dari pelvis serta pada pasien yang habis menjalani pemeriksaan enema
atau mengalami trauma. Adapun intervensi yang perlu dilakukan
adalah dengan melakukan pertukaran cairan lebih sering untuk
mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.
4. Komplikasi lainnya antara lain :
1) Hernia abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen yang
terus menerus. Tipe hernia yang terjadi adalah insisional, inguinal,
diafragmatik, dan umbilikal. Tekanan intra abdomen yang persisten
meningkat juga dapat memperburuk gejala hernia hiatus dan
hemoroid.
2) Hipertrigliseridemia sehingga memberi kesan dapat mempermudah
aterogenesis. Penyakit Kardiovaskuler tetap merupakan penyebab
utama kematian pada populasi pasien ini.

16
3) Nyeri Pun ggung bawah dan anoreksia karena cairan dalam rongga
peritoneum selain rasa manis yang selalu tarasa pada indra
pengecap juga berkaitan dengan absorpsi glukose.
4) Pembentukan bekuan dalam kateter peritoneal dan konstipasi.

2.8 Kelebihan dan Kekurangan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis


(CAPD)

Berikut beberapa kelebihan dan kekurangan dari CAPD , antara lain :

Kelebihan CAPD :

1. Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja


2. Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya
diri
3. Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
4. Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit
sebagaimana HD
5. Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
6. Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
7. Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
8. Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun
pertama

Kelemahan CAPD :

1. Resiko infeksi: Peritonitis, Exit site, dan Tunnel


2. BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi

2.9 Perbandingan antara CAPD dengan HD


Pasien Gagal Ginjal pada umumnya memilih terapi pengganti fungsi ginjal
dengan cara Cuci Darah, istilah medisnya Hemodialisis (HD), karena
dianggap lebih sederhana, praktis dan murah. Padahal sekarang para pasien di
Negara-negara maju banyak yg sudah beralih ke CAPD, bahkan Negara

17
tetangga saja sudah sejak tahun 1980-an mempraktekannya. Singapura,
Thailand, Malaysia, Philipina, Cina dll.
Di Negara tersebut para pasien yg baru divonis gagal ginjal
kronis/terminal akan langsung dioperasi pasang cateter di perutnya agar bisa
melakukan refil (isi ulang) cairan ke dalam perut. Bahkan cairan Dianeal
yang merupakan kebutuhan pokok pasien CAPD di Indonesia pun sampai
sekarang masih di impor dari Singapura.
Yang membuat CAPD ini lebih unggul daripada cuci darah
(HD/hemodialisa) yaitu dapat dilakukan sendiri di rumah atau di tempat
kerja. Yang terpenting bila menggunakan CAPD mesti selalu menjaga
kebersihan tubuh dan menjaga keteternya tidak terinfeksi.Infeksi yang lazim
terjadi adalah peritonitis (infeksi pada peritoneum).peritoneum sebagai
membrane semi permeable yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati
cairan tubuh yang berlebihan dan solute yang berisi racun yang akan dibuang.
Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding
perut ke dalam rongga perut.Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu
sehingga limbah metabolik dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam
cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan
cairan yang baru.
Beberapa perbedaan antara cuci darah (HD) dengan cuci perut (CAPD) :
1. Fungsi
HD : Menyaring racun darah dan mengeluarkannya bersama cairan tubuh,
agar darah menjadi bersih.
CAPD :Menyerap racun darah dan kelebihan cairan pada tubuh pasien
dengan system difusi melalui membran peritoneum di dalam perut.
2. Proses
HD : Darah dialirkan ke mesin penyaring racun melalui selang yang
ditusukkan dengan jarum vistula pada urat nadi di pangkal paha
(selangkangan jika belum memiliki Ave-shunt) untuk menyalurkan darah
keluar dan satu jarum lagi di tangan untuk memasukkan darah yg sudah
bersih. Jarum vistula bisa dipasang keduanya di tangan bila sudah operasi
Ave-shunt.

18
CAPD :Sebelum melakukan refill(isi ulang) pasien harus menjalani
operasi pemasangan cateter di perut sebelah kanan. Melalui satu cateterlah
cairan masuk dan keluar, karena cairan yg akan diisi sudah dilengkapi dg
kantong yg kosong untuk pembuangan makanya disebut twinbag Dianeal
yg hanya sekali pakai. Tidak membutuhkan mesin, karena hanya
menggunakan gaya gravitasi baik untuk pengeluaran cairan, maupun
pemasukkan cairan.
3. Tempat
HD : Harus dilakukan di rumah sakit tertentu yang memiliki fasilitas
ruangan khusus untuk hemo dialysis.
CAPD :Dapat dilakukan di mana saja, asal bersih, baik di rumah, di dalam
mobil bahkan di tempat wisata.
4. Waktu
HD : Setiap kali cuci darah membutuhkan waktu selama 4 s.d.5 jam dalam
periode 2 s.d. 3kali per minggu. Banyak tambahan waktu yang dibutuhkan
untuk menunggu giliran, pemasangan alat dan pencabutan alat.
CAPD:Satu kali refill hanya membutuhkan waktu 20 s.d. 30 menit, setiap
hari sebanyak 3 atau 4 kali refill.
5. Menu Makanan dan Minuman
HD : Makanan yang berkelium tinggi terutama santan, buah-buahan dan
sayuran hanya diperbolehkan dalam porsi yang sangat kecil.Contohnya,
sebuah apel Fuji hanya bisa dikonsumsi ¼ s.d. 1/3-nya satu kali dalam
sehari.Volume air minum juga sangat terbatas. Sangat dianjurkan banyak
makan protein.
CAPD: Asupan gizi yg mengandung protein harus dua kali lipat porsi
makan orang sehat! Makan minum lebh bebas.Kita bisa memakan apel
Fuji 2s.d.3 buah per hari bahkan makan sayuran punboleh.Lotek, karedok,
rujak hiris, rujak ulek, rujak bebek, dll masih bisa kita konsumsi dalam
porsi yang cukup, tetapi jangan berlebihan.Volume air minum bisa banyak
disesuaikan dengan akumulasi cairan yang terserap dianeal setiap harinya.

19
6. Biaya
HD : Biaya operasi Ave-shunt ( Cimino) untuk memperbesar pembuluh
darah di tangan,transfort menuju tempat HD 2 s.d.3 kali per minggu
besarnya tergantung jarak tempuh, biaya proses HD jika tak memiliki
kartu jaminan Askes atau sejenisnya, juga obat-obatan.
CAPD :Biaya operasi pemasangan carteter memang cukup tinggi sekitar
25 jutaan, tapi bagi peserta Askes tak jauh beda dengan pasang Ave-shunt,
tak ada biaya transfor bolak-balik ke rumah sakit, paling sebulan sekali
beli cairan sekitar 5 jutaan (peserta Askes gratis), obat-obatan yg
dikonsumsi semakin berkurang, kecuali betadin, NaCl, kassa dan plester
untuk dressing tutup execite.
7. Kebutuhan Tenaga Medis
HD :Sangat membutuhkan bantuan tenaga medis yang professional, untuk
memasang dan mencabut jarum vistula.Harus selalu dalam pengawasan
perawat/dokter jaga, karena banyak resiko yang terjadi saat HD
berlangsung.
CAPD :Tidak membutuhkan bantuan tenaga medis yang professional,
seperti dokter jaga dan perawat, karena bisa dilakukan sendiri atau bantuan
anggota keluarga,setelah kita mengikuti pelatihan selama tiga hari.
8. Efek Samping/ dampak negative
HD : Sering mengalami kram akibat dehidrasi karena terlalu banyak cairan
yg tersedot mesin, menggigil kedinginan, pusing, mual-mual, muntah,
tensi ngedrop tiba-tiba, sesak napas bahkan sampai pingsan. Biasanya
badan jadi lemas, karena terkuras energy dan saripati makanan dalam
darah kita. Kehilangan nafsu makan,bahkan lidahpun mati rasa. Esoknya
badan masih terasa loyo. Lusanya baru mulai bertenaga lagi, itu pun kalau
asupan gizinya bagus! Hari ke-3 atau ke-4 harus siap-siap HD lagi.Kulit
akan semakin hitam, karena penumpukkan Fe di permukaan kulit yg tidak
terbuang, gatal-gatal seluruh tubuh, osteoporosis, dan sulit tidur. Sisa
fungsi ginjal semakin berkurang, akhirnya urine pun tak bisa keluar
lagi.Kerjajantung semakin berat saat HD berlangsung, sehingga jantung
pun beresiko tinggi mengalami gangguan. Jika terjadi uremia, sesak napas

20
atau hiper kalemia harus cepat datang ke tempat HD, di mana pun dan
kapan pun kita berada, jangan menunggu sampai esok harinya!
CAPD : Sekali-kali perut terasa kembung, gatal-gatal, pegal linu atau
kurang tidur. Bisa juga mual-mual sampai muntah, karena
hiperkalemia.Jika mengalami hiper kalemia, atau sesak napas akibat
terlalu banyak minum, kita bisa mengatasinya dengan mempercepat waktu
periode refil sehingga refill bisa dilakukan sampai dengan 5 kali. Agar
kalium yang berlebih cepat terbuang.
9. Dampak Positif
HD : Bisa mengeluarkan racun dalam darah dan kelebihan cairan di
tubuh.Selain bisa mengeluarkan racun dalam darah dan kelebihan cairan
dalam tubuh, sisa fungsi ginjal akan lebih awet dipertahankan. Kerja
jantung akan ringan,karena bukan darah yang terpompa jantung harus
dikeluarkan dulu, sehingga mengurangi resiko serangan jantung. Badan
akan terasa selalu lebih bugar dari pada saat HD. Nafsu makan stabil.
Tensi darah semakin lama semakin mendekati normal yang pada akhirnya
menjadi normal kembali dan tidak perlu mengkonsumsi obat penurun
tensi.
CAPD:Permukaan kulit tidak kehitam-hitaman, karena tidak ada
penumpukkan Fe.

21
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan sebeum perumusan


diagnose keperawatan serta intervensi keperawatan pada klien. Adapun
pengkajian yang dilakukan pada klien dengan tindakan CAPD antara lain:
Sebelum dialisa
a) Tinjau kembali catatan medis untuk menentukan alas an perawatan di
rumah sakit.
b) Ketidakpatuhan terhadap rencana tindakan.
c) Fistula tersumbat bekuan.
d) Pembuatan fistula
e) Menanyakan tipe diet yang digunakan dirumah,jumlah cairan yang
diijinkan, obat – obatan yang saat ini digunakan, jadwal hemodialisa,
jumlah haluaran urin.
f) Kaji kepatenan fistula bila ada. Bilapaten, getaran ( pulsasi ) akan terasa
desiran akan terdengar dengan stetoskop di atas sisi. Tak adanya pulsasi
dan bunyi desiran menandakan fistulatersumbat.
g) Kaji terhadapmanifestasi klinis dan laboratorium tentang kebutuhan
tentang dialisa : Peningkatan berat badan 3 pon / lebih diatas berat badan
pada tindakan dialisa terakhir.
h) Rales, pernafasan cepat pada saat istirahat,peningkatan sesak nafas
dengan kerja fisik maksimal.
i) Kelelahan dan kelemahan menetap.
j) Hipertensi berat
k) Peningkatan kreatinin, BUN, dan elektrolit khususnya kalium.
Kemungkinan perubahan EKG pada adanya hiperkalemia.

22
Sesudah dialisa
Kaji terhadap hipotensi dan perdarahan. Volume besar dari
pembuangan cairan selama dialisa dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik
dengan menggunakan anti koagulan selama tindakan menempatkan pasien
pada resiko perdarahan dari sisi akses dan terhadap perdarahan internal.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1) Kekurangan volume cairan b.d efek ultrafiltrasi selama CAPD
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan keterbatasan pengembangan
diafragma
3) Resiko tinggi untuk cidera b.d akses vascular dan komplikasi sekunder
terhadap penusukan dan pemeliharaan akses vascular, emboli
udara,ketidaktepatan konsentarsi / suhu dialisat
4) Kurang pengetahuan b.d penyakit dan kebutuhan untuk CAPD

3.3 Intervensi Keperawatan


1) Kekurangan volume cairan b.d efek ultrafiltrasi selama dialysis
Kriteria Hasil: kekurangan volume cairan dapat teratasi dengan baik
Intervensi:
a. Kaji TTV : BB, masukan dan haluaran pradialisis.
b. Kaji derajat penumbunan cairan dalam jaringan pradialisis.
c. Tentukan ketepatan derajat dan ketepatan ultrafiltrasi untuk tindakan.
d. Jelaskan pada klien tentang kondisi klien serta tindakan yang akan
dilakukan
e. Berikan cairan pengganti sesuai instruksi dan indikasi.
f. Periksa kadar kalsium, natrium, kalium, CO2 pradialisis.
g. Kolaborasikan dengan tim medis untuk tindakan kolaboratif
h. Pantau konmdisi klien secara berkala setelah tindakan.

23
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan keterbatasan pengembangan
diafragma
Kriteria hasil : menunjukan pola pernapasan efektif dengan bunyi nafas
jelas, GDA dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji TTV ; RR
b. Jelaskan pada klien terjadinya pola nafas tidak efektif
c. Awasi frekuensi / upaya pernapasan.penurunan kecepatan infuse bila
ada dispnea.
d. Berikan tambahan O2 sesuai indikasi.
e. Libatan keluarga dalam proses pelaksanaan tindakan pada klien
f. Berikan analgesic sesuai indikasi.
g. Kolaborasikan dengan tim medis dalam pemberian analgesic pada
klien
h. Pantau keefektifan tindakan yang telah diberikan pada klien.
3) Resiko tinggi untuk cidera b,d akses vascular dan komplikasi sekunder
terhadap penusukan dan pemeliharaan akses vascular, emboli
udara,ketidaktepatan konsentarsi / suhu dialisat.
Kriteria Hasil: cidera tidak terjadi pada klien selama tindakan dilakukan.
Intervensi:
a. Kaji kondisi yang memberikan kondisi resiko terhadap cidera
b. Pastikan semua alat berbahaya ditempatkan secara aman
c. Mempertahankan lingkungan steril selama pemasukan kateter.
d. Melakukan radiografi dada setelah pemasukan kateter kevena
subklavia.
e. Amati tanda pneumothorak, ketidakteraturan jantung, perdarahan
hebat, dan periksa bunyi nafas bilateral.
f. Ganti balutan kateter secara rutin sesuai kebijakan unit.
g. Pastikan bahwa detektor udara telah terpasang dan berfungsi baik
selama dialisis.
h. Bantu klien dalam perawatan (baik bantu langsung atau pengawasan)
sehingga terhindar dari cidera.

24
4) Kurang pengetahuan b.d penyakit dan kebutuhan untuk dialysis
Kriteria hasil: menunjukkan peningkatan pengetahuan tentang konsep
penyakit serta tindakan yang diberikan
Intervensi:
a. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang fungsi ginjal dan
alasan dialysis.
b. Kaji kesiapan untuk belajar.
c. Berikan informasi yang sesuai untuk kesiapan dan kemampuan belajar
termasuk alasan pasien kehilangan fungsi ginjal: tanda dan gejala yang
b.d kehilangan fungsi ginjal.
d. Berikan dorongan untuk mengungkapkan perasaan takut dan ansietas.
e. Berikan informasi yang sama pada keluarga sehingga keluarga paham
tentang kondisi klien
f. Libatkan keluarga dalam memberikan pemahaman pada klien
g. Anjurkan klien untuk melakukan sharing dengan tenaga kesehatan
terkait proses penyakit serta tindakan yang diberikan
h. Beri semangat pada klien untuk proses pembelajarannya.

3.4 Implementasi Keperawatan


Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas
yang telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi/
pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu
mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien
terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan
pelaksanaan perawatan (Doenges E Marilyn, dkk, 2000)

3.5 Evaluasi Keperawatan


Pada tahap yang perlu dievaluasi pada klien dengan dengan CAPD
adalah, mengacu pada criteria hasil yang hendak dicapai yakni apakah terdapat
:
1) Kurang volume cairan
2) Pola nafas tidak efektif apakah telah teratasi

25
3) Resiko tinggi cidera masih ada atau tidak
4) Peningkatan pengetahuan pada klien dan keluarga telah tercapai
atau belum.

26
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis


peritoneal ambulatorik kontinyu merupakan suatu bentuk metode pencucuian
darah dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisis perut dan
pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan
kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari perut dapat dengan mudah tersaring
melalui peritoneum ke dalam rongga perut. CAPD bersifat kontinyu dan
biasanya dapat dilakukan sendiri. CAPD merupakan sebuah kateter yang
dipasang di dalam perut, ke dalam rongga peritoneum. Pemasangan ini
dilakukan melalui tindakan operasi. Setelah kateter tersebut terpasang, lalu
digunakan cairan dialisat, yang sering dipakai adalah Dianel Baxter dari Kalbe
untuk membilas rongga peritoneum tempat bersarang kateter. Ini berfungsi
sebagai sarana cuci darah, yang berlangsung sepanjang hari. Proses dari terapi
pengganti ginjal jenis CAPD ini umumnya dengan proses yang lebih mudah
disbanding terapi pengganti ginjal yang lain.

4.2 Saran

Diharapkan pembaca dapat mengetahui tentang CAPD secara umum


dan mampu menerapkan prosedur CAPD serta memberikan saran atau kritik
yang membangun untuk terbentuknya makalah yang sempurna setelah ini.

27

Anda mungkin juga menyukai