PENDAHULUAN
B.Rumusan Masalah
1 Apa itu pritonial dialis ?
2 Hal – hal apa saja yang harus di perhatikan ?
3 Indikasi apa yang terjadi jika dilakukannya hemodialisis?
C.Tujuan Penulisan
1.Mengetahui pritonial dialis
2.Mampu Indikasi apa yang terjadi jika dilakukannya hemodialisis
D.Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah studi
kepustakaan yaitu dengan mencari berbagai sumber buku dan internet sebagai penunjang dalam
penyusunan makalah ini.
E.Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari 3 bab, yaitu :
Bab I Pendahuluan Meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode
penulisan, serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Teori Mengemukakan isi dari makalah ini yang terdiri dari beberapa pembahasan
seperti; pengertian, indikasi, tujuan
Bab III Penutup. Terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian
Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai
penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi
sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan
dibuang.Anatomi Membran Peritoneum Rongga Peritoneum Rongga peritoneum adalah bagian
dari perut yang membungkus organ-organ, seperti lambung, ginjal, usus, dll. gangguan.
Di dalam rongga perut ini terdapat banyak sel-sel darah kecil (kapiler) yang berada pada satu sisi
dari membran peritoneum dan cairan dialysis pada sisi yang lain.
Rongga peritoneum berisi + 100ml cairan yang berfungsi untuk lubrikasi / pelicin dari membran
peritoneum. Pada orang dewasa normal, rongga peritoneum dapan mentoleransi cairan > 2 liter
tanpa menimbulkan
Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai
penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi
sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan
dibuang.Anatomi Membran Peritoneum Rongga Peritoneum Rongga peritoneum adalah bagian
dari perut yang membungkus organ-organ, seperti lambung, ginjal, usus, dll. gangguan.
Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga
perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran darah
secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang, dan
diganti dengan cairan yang baru. Keunggulan CAPD nya adalah
1. Proses dialysis peritoneal ini tidak menimbulkan rasa sakit.
2. Membutuhkan waktu yang singkat, terdiri dari 3 langkah.
a) Pertama, masukkan dialisat berlangsung selama 10 menit
b) Kedua, cairan dibiarkan dalam rongga perut untuk selama periode waktu tertentu (4-6 jam)
c) Ketiga, pengeluaran cairan yang berlangsung selama 20 menit
Ketiga proses diatas dilakukan beberapa kali tergantung kebutuhan dan bisa dilakukan oleh pasien
sendiri secara mandiri setelah dilatih dan tidak perlu ke rumah sakit.
B.indikasi
Indikasi dilakukannya hemodialisis pada penderita gagal ginjal stadium terminal antara lain
karena telah terjadi:
Kelainan fungsi otak karena keracunan ureum (ensepalopati uremik)
Gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit misal: asidosis metabolik, hiperkalemia dan
hipercalsemia
Kelebihan cairan (volume overload) yang memasuki paru-paru sehingga menimbulkan sesak nafas
berat
Gejala-gejala keracunan ureum (uremic symptoms)
C.Beberapa hal yang harus di perhatikan saat pemasangan CAPD
A.KESIMPULAN
Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai
penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi
sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan
dibuang.Anatomi Membran Peritoneum Rongga Peritoneum Rongga peritoneum adalah bagian
dari perut yang membungkus organ-organ, seperti lambung, ginjal, usus, dll. gangguan.
Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai
penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi
sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan
dibuang.Anatomi Membran Peritoneum Rongga Peritoneum Rongga peritoneum adalah bagian
dari perut yang membungkus organ-organ, seperti lambung, ginjal, usus, dll. gangguan.
B. SARAN
Penulis mengharapkan dengan membaca makalah ini dapat lebih memahami mengenai tindakan
keperawatan yang harus dimengerti dan dilakukan dalam keterampilan kritis pada gangguan
system perkemihan mulai dari memahami teorinya sampai dalam persiapan alat, pasien dan
langkah-langkah kerja yang harus dilakukan oleh para perawat dalam tindakan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kalbe.co.id/?mn=news&tipe=detail&detail=18432
http://scorlibz.com/news/peritoneal-dialysis-wikipedia-the-free-encyclopedia.html
Jumat, 14 Maret 2014
MAKALAH DIALISIS PERITONIAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ketika ginjal mengalami kerusakan maka ginjal tidak dapat membersihkan tubuh dari sisa-sisa
metabolisme. Sisa-sisa metabolisme dan kelebihan air menumpuk dan lama kelamaan menjadi
banyak di dalam darah yang disebut uremia.
Gagal ginjal kronik berarti kehilangan fungsi ginjal yang bisa terjadi secara cepat atau lambat
dalam beberapa tahun. End Stage Renal Disease (ESRD) terjadi ketika ginjal mengalami
kerusakan tahap akhir, dimana ginjal tidak dapat bekerja dengan baik untuk menjaga
keseimbangan zat-zat kimia tubuh yang diperlukan untuk hidup. Pada saat ini pasien memerlukan
dialysis sebagai terapi pengganti.
Terapi pengganti fungsi ginjal (dialysis) :
1.Hemodialisis (HD)
2.Peritoneal Dialisis (PD) :Acute Peritoneal Dialisis (PD Acute), Kronis Peritoneal Dialisis
(CAPD)
Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai
penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi
sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan dan solute yang berisi racun yang akan
dibuang. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam
rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolik dari aliran
darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut. Kemudian cairan dikeluarkan, dibuang dan
diganti dengan cairan yang baru. Biasanya digunakan selang karet silikon yang lembut atau selang
poliuretan yang berpori-pori, sehingga cairan mengalir secara perlahan dan tidak terjadi kerusakan.
Rongga peritoneum adalah bagian dari perut yang membungkus organ-organ, seperti lambung,
ginjal, usus, dll. Di dalam rongga perut ini terdapat banyak sel-sel darah kecil (kapiler) yang berada
pada satu sisi dari membran peritoneum dan cairan dialysis pada sisi yang lain. Rongga peritoneum
berisi + 100ml cairan yang berfungsi untuk lubrikasi / pelicin dari membran peritoneum. Pada
orang dewasa normal, rongga peritoneum dapan mentoleransi cairan > 2 liter tanpa menimbulkan
gangguan.
B. Rumusan masalah
1. Apakah pengertian dialisis peritonial ?
2. Jelaskan etiologi dialisis peritonial !
3. Sebutkan dan jelaskan patofisiologi dialisis peritonial !
4. Apa saja pemeriksaan diagnostik dialisis peritonial ?
5. Jelaskan penatalaksanaan medis dan perawat !
6. Jelaskan asuhan keperawatan dialisis peritonial !
C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dialisis peritonial
2. Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi dialisis peritonial
3. Mahasiswa mampu menjelaskan dan menyebutkan patofisiologi dialisis peritonial
4. Mahasiswa dapat menyebutkan apa saja pemeriksaan diagnostik
5. Mahasiswa dapat menjelaskan penatalaksaan medis dan perawat
6. Mahasiswa dapat menjelaskan dan melaksanakan asuhan keperawatan dialisis peritonial
BAB II
PEMBAHASAN
4. Hidrasi berlebihan
Dapat diketahui dengan mengukur berat badan tiap 8 jam. Berat badan penderita akan turun 0,5-
1% setiap hari, jika meninggi berikan dialisat dekstrose 2-7% atau kedalam cairan dialisat
ditambahkan cairan dekstrose 1,5% dan 7% berganti-ganti atau bersama-sama dengan
perbandingan 1:1.
5. Hipovolemial
Dapat diketahui dengan mengukur tekanan darah dan mengawasi tanda-tanda renjatan. Bila ada,
diberikan albumin 5% secara intravena atau infus NaCl 0,9%.
6. Hipokalemia
Ditentukan dengan mengukur kadar kalium darah dan mengawasi perubahan EKG yang terjadi.
7. Infeksi dicurigai bila cairan dialisat yang dikeluarkan keruh atau berwarna. Peritonitis terjadi
biasanya karena kuman gram negatif atau staphylococcus aureus. Antibiotikum yang sesuai
hendaknya diberikan.
8. Hiperglikemia
Terjadi karena absorbsi glukosa dari dialisat. Bila kadar glukosa darah meningkat, dapat dikoreksi
dengan pemberian insulin dosis yang sesuai.
C. Indikasi
Dibedakan indikasi klinis dan biokemis
1. Indikasi klinis
a. Gagal ginjal akut, ditandai oliguria mendadak dan gejala toksik uremia, gagal ginjal kronis
berguna untuk menopang kehidupan selama penderita ada dibawah pengawasan atau dibawah
rencana transplantasi ginjal
b. Gagal jantung atau edema paru yang sukar diatasi.
c. Keracunan yang menimbulkan gagal ginjal atau gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit.
d. Keracunan obat mendadak untuk mengeluarkan obat tersebut melalui dialisis.
e. Gejala uremia mayor menunjukan adanya gagal ginjal akut atau kronis yang telah terminal
gejalanya : muntah, kejang, disorientasi, somnolen sampai koma, hidrasi berlebihan seperti edema
paru, gagal jantung, hipertensi yang tidak terkendali dan pendarahan.
2. Indikasi biokemis
a. Ureum darah lebih dari 250mg%, ureum sendiri tidak sangat toksik, tetapi pemeriksaan
teratur kadar ureum selama dialisis sangat bermanfaat.
b. Kalium darah lebih dari 8mEq / 1. Peninggian kadar kalium darah lebih dari 8mEq/1 dapat
menimbulkan aritmia jantung yang fatal.
c. Bikarbonat darah kurang dari 12mEq/1. Kadar bikarbonat darah yang rendah merupakan
cermin toleransi terhadap asidosis metabolik, kadar bikarbonat plasma yang rendah secara klinis
ditunjukan oleh pernafasan yang cepat dan dalam.
D. Etiologi
Adapun penyebab dilakukan tindakan hemodialisis dan dialyisis peritoneal:
1. Pembuangan cairan yang berlebihan, toksin atau obat karena tidak
adekuatnya osmotic dialisat
2. Kehilangan darah aktual (heparinisasi sitemik atau pemutusan aliran darah.
3. Distensi abdomen atau konstipasi.
4. Penurunan area ventilasi dimana bunyi nafas adventisius menunjukkan kelebihan cairan,
tertahannya sekresi dan infeksi. dimana bunyi nafas adventisius menunjukkan kelebihan cairan,
tertahannya sekresi dan inspeksi.
5. Penggunaan dialisat hipertonik dengan pembuangan cairan yang berlebihan dari volume
sirkulasi.
E. Manifestasi klinis
1. Hemodialisis
Penurunan aliran darah akan mengakibatkan “kedinginan” pada akses vascular. Penurunan tekanan
hemodinamik menunjukkan kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan terjadi hipotensi dan
takikardi. Kelebihan cairan atau hipervolemia dapat berpotensi terjadinya edema serebral (sindrom
disekuilibrasi), hipertensi dan takikardi. Destruksi sel darah merah (hemolisis) oleh dialysis
mekanikal dapat mengakibatkan anemia berat atau progesif.
2. Dialisis Peritoneal
Adanya keluhan nyeri dikarenakan pemasukan kateter melalui dinding abdomen atau iritasi kateter
dan penempatan kateter yang tidak tepat. Takipnea, dispnea, nafas pendek dan nafas dangkal
selama dialysis diduga karena tekanan disfragmatik dari distensi tongga peritoneal. Penuruna area
ventilasi dapat menunjukkan adanya atelektasis. Berikut ini gejala-gejala lainnya :
• Peritonitis
• Penurunan tekanan darah (hipotensi)
• Takikardi
• Hiponatremia atau intoksikasi air
• Turgor kulit buruk, dll.
F. Patofisiologi
Dialysis peritoneal merupakan alternatif dari hemodialisis pada penanganan gagal ginjal akut dan
kronik. Kira-kira 15% pasien penyakit ginjal tahap akhir menjalani dialysis peritoneal (Health Care
Financing Administration,1986.
Dialysis peritoneal sangat mirip dengan hemodialsis, dimana pada tehnik ini peritoneum berfungsi
sebagai membrane semi permeable. Akses terhadap rongga peritoneal dicapai melalui perisintesis
memakai trokar lurus, kaku untuk dialysis peritoneal yang akut dan lebih permanent, sedangkan
untuk yang kronik dipakai kateter Tenckoff yang lunak.
Dialysis peritoneal dilakukan dengan menginfuskan 1-2 L cairan dialysis kedalam kavum
peritoneal menggunakan kateter abdomen. Ureum dan kreatinin yang merupakan hasil akhir
metabolisme yang diekskresikan oleh ginjal dikeluarkan dari darah melalui difusi dan osmosis.
Ureum dikeluarkan dengan kecepatan 15-20 ml/ menit, sedangkan kreatinin dikeluarkan lebih
lambat.
Dialysis peritoneal kadang-kadang dipilih karena menggunakan tehnik yang lebih sederhana dan
memberikan perubahan fisiologis lebih bertahap dari pada hemodialisis.
G. Macam-macam Dialysis Peritoneal
1. Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Memungkinkan pasien untuk menangani prosedur dirumah dengan kantung dan aliran gravitasi,
memerlukan waktu lama pada malam hari, dan total 3-5 siklus harian/ 7 hari seminggu.
2. Automated Peritoneal Dialysis (APD)
APD sama dengan CAPD dalam melanjutkan proses dialysis tetapi berbeda pada tambahan mesin
siklus peritoneal. APD dapat dilanjutkan dengan siklus CCPD, IPD dan NPD.
3. Pemasangan Kateter
Kateter peritoneal dipasang di dalam kamar operasi untuk mempertahankan asepsis operasi dan
memperkecil resiko kontaminasi. Kateter stylet dapat digunakan jika dialysis peritoneal tersebut
diperkirakan akan dilaksanakan dalam waktu singkat. Sebelum prosedur pemasangan kateter
dilakukan, kulit abdomen dipersiapkan dengan larutan antiseptic local dan dokter melakuan
penyuntikan infiltrasi preparat anastesi local kedalam kulit dan jaringan subcutan. Insisi kecil atau
sebuah tusukan dibuat pada 3-5 cm dibawah umbilicus.
Sebuah trokar (alat berujung tajam) digunakan untuk menusuk peritoneum sementara pada pasien
mengencangkan otot abdomennya dengan cara mengangkat kepalanya. Kateter disisipkan lewat
trokar dan kemudian diatur posisinya. Cairan dialsat yang dipersiapkan diinfuskan kedalam kavum
peritoneal dengan mendorong omentum (lapisan peritoneal yang membentang dari organ-organ
abdomen) menjauhi kateter. Sebuah jahitan purse-string dapat dibuat untuk mengikat kateter pada
tempatnya.
4. Prosedur
Untuk dialisat peritoneal intermiten, larutan dialisat dialirkan dengan bebas kedalam kavum
peritoneal dan dibiarkan selama waktu retensi (dwell time) atau waktu ekuilibrasi yang ditentukan
dokter. Waktu itu berfungsi untuk memungkinkan terjadinya difusi dan osmosis.
Poda waktu akhir retensi, klem selang drainase dilepas dan larutan dialisat dibiarkan mengalir
keluar dari kavum peritoneal melalui sebuah sistem yang tertutup dengan bantuan gaya berat.
Cairan drainase biasanya berwarna seperti jerami atau tidak berwarna. Cairan dari botol yang baru
kemudian ditambahkan, diinfusikan dan dialirkan keluar. Jumlah siklus atau pertukaran dan
frekuensinyaditentukan oleh dokter sesuai kondisi fisik pasien serta kondisi akut penyakit.
I. Pemeriksaan diagnostik
Pada laboratorium didapatkan:
1. Hb menurun
2. Ureum dan serum kreatinin meningkat
3. Elektrolit serum (natrium meningkat)
4. urinalisis (BJ. Urine meningkat, albumin, Eritrosit , leukosit)
3. Diagnosa keperawatan
a. Resiko tinggi kelebihan volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya osmotik dialisat
b. Nyeri berhubungan dengan infeksi dalam rongga peritoneal
c. Resiko tinggi pola napas efektif pola napas berhubungan dengan keterbatasan pengembangan
diafragma
d. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kateter dimasukkan kedalam rongga
peritoneal
4. Intervensi dan rasional
a. Resiko tinggi kelebihan volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya osmotik dialisat
Intervensi: Pertahankan pencatatan volume masuk dan keluar
Kaji patensi kateter, Miring dari satu sisi ke sisi lain, tinggikan kepela tempat tidur, lakukan
tekanan perlahan pada abdomen
Rasional: Keseimbangan positif menunjukkan kebutuhan evaluasi lebih lanjut
Melambatkan kecepatan aliran, Dapat meningkatkan aliran cairan bila kateter slah posisi
b. Nyeri berhubungan dengan infeksi dlam rongga peritoneal
Intervensi : Kaji tingkat Nyeri, Perhatikankeluhgan nyeri pada daerah bahu, Dorong penggunaan
teknik relaksasi, Berikan analgetik sesuai indikasi
Rasional : Membantu mengidentifikakasi tingkat nyeri, Masuknya udara yang kurang hati hati ked
lam abdomen mengiritasi diafragma dan mengakibatkan nyeri pada bahu, Membalikan pehatian,
meningkatkan rasa control
c. Resiko tinggi pola napas efektif pola napas berhubungan dengan keterbatasan pengembangan
diafragma
Intervensi : Awasi frekuensi/upaya pernapasan, Auskultasi paru, perhatikan penurunan atau bunyi
nafas atventisius, contoh gemericik, Perhatikan kateter, jumlah dan warna sekresi, Tnggikan
kepala tempat tidur, tingkatkan latihan nafas dalam dan batuk
Rasional : Takipne,dispnea, napas pendek, dan napas dangkal selama, dialisa diduga tekanan
diafragmatik dari distensi rongga peritoneal, Penurunan area ventilasi nemunjukkan adanya
athdalektasis.
d. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kateter dimasukkan kedalam rongga
peritoneal
Intervensi : Biarkan Pasien mengosongkan kandung kemih sebelum pemasangan kateter,
Benamkan kateter/selang dengan plester, Perhatikan adanya bahan fekal dalam dialisat, Hentikan
dialysis bila ada bukti perforasi usus
Rasional : Menurunkan kemungkinan menjadi tertusuk selama pemasangan kateter, Menurunkan
Resiko trauma dengan memanipulasi kateter, Menduga perforasi usus dengan pencampuran
dialisat dan isi usus, Tindakan cepat akan mencegah cedera selanjutnya.
http://bendelinathein.blogspot.co.id/2014/03/makalah-dialisis-peritonial.html
CAPD (CONTINOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS)
15 OKTOBER 2014 WINDANURAYUOCTAVIA TINGGALKAN KOMENTAR
CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis)
Winda Nurayu Octavia
(1307-035)
Bagi para penderita gagal ginjal, kegiatan cuci darah adalah suatu keharusan.Biasanya, para
penderita ini melakukan hemodialisis (cuci darah melalui mesin) 2-3 kali dalam seminggu di
Rumah Sakit.Namun, dalam 4 tahun terakhir mulai disosialisasikan sebuah alternatif dimana
penderita dapat melakukan cuci darah sendiri di rumah. Metode tersebut dikenal dengan continous
ambulatory peritoneal dialysis (CAPD).
A. Apa itu CAPD??
CAPD merupakan sebuah kateter yang dipasang di dalam perut, ke dalam rongga
peritoneum.Pemasangan ini dilakukan melalui tindakan operasi.Setelah kateter tersebut terpasang,
lalu digunakan cairan dialisat, yang sering dipakai adalah Dianel Baxter dari Kalbe untuk
membilas rongga peritoneum tempat bersarang kateter.Iniberfungsi sebagai sarana cuci darah,
yang berlangsung sepanjang hari.
CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) / Dialysis Peritoneal Mandiri
Berkesinambungan.Bedanya tidak menggunakan mesin khusus seperti APD.Dialysis peritoneal
diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialysis) ke dalam rongga perut
melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam.Yang dimaksud dengan kateter adalah selang
plastik kecil (silikon) yang dimasukan ke dalam rongga peritoneal melalui pembedahan sederhana,
kateter ini berfungsi untuk mengalirkan cairan dialysis peritoneal keluar dan masuk rongga
peritoneum anda. Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan
dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat
CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) :
Continous : Terus menerus selama 24 jam
Ambulatory : Bebas bergerak
Peritoneal : Peritoneum sebagai membran semi permeable
Dialysis : Membersihkan tubuh dari zat sisa-sisa metabolisme dan kelebihan cairan.
Atau disebut DPMB (Dialysis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan)
B. ProsesCAPD :
1. Proses dialysis peritoneal ini tidak menimbulkan rasa sakit.
2. Membutuhkan waktu yang singkat, terdiri dari 3 langkah.
a. Pertama, masukkan dialisat berlangsung selama 10 menit
b. Kedua, cairan dibiarkan dalam rongga perut untuk selama periode waktu tertentu (4-6 jam)
c. Ketiga, pengeluaran cairan yang berlangsung selama 20 menit
Ketiga proses diatas dilakukan beberapa kali tergantung kebutuhan dan bisa dilakukan oleh pasien
sendiri secara mandiri setelah dilatih dan tidak perlu ke rumah sakit
Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi oleh :
a) Kualitas membrane
b) Ukuran & karakteristik larutan
c) Volume dialisat
Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan :
a) Tekanan osmotic
b) Konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan plasma darah dalam pembuluh kapiler
c) Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam peritoneum, air akan diultrafiltrasi dari plasma ke
dialisat, sehingga meningkatkan volume cairan intra peritoneal. Peningkatan volume cairan
intraperitoneal berbanding lurus dengan konsentrasi glukosa dari cairan dialisat.
d) Kecepatan transport air dan zat terlarut dapat diestimasi secara periodic melalui PET test
(Peritoneal Equilibrum Test)
Standar konsentrasi elektrolit cairan CAPD:
a) Na (132 meq /lt)
b) Cl ( 102 meq /lt)
c) Mg (0,5 meq /lt)
d) K (0 meq /lt)
D. Permasalahan CAPD
Cara Mengatasi Masalah Yang Kemungkinan Terjadi Di Rumah saat pemasangan CAPD
1. Jika keluar cairan yang berwarna merah :
• karena menstruasi –> akan hilang dengan sendirinya
• karena mengangkat beban –> hindari mengangkat beban dan kunjungi unit dialysis anda.
2. Jika cairan keluar berwarna kuning tua tetapi tidak keruh cairan berada di dalam rongga
peritoneum selama beberapa jam, contohpergantiandi pagi hari–> tidak perlu khawatir (jika
berlanjut, kunjungi tempat dialysis).
Efek samping yang dapat terjadi antara lain:
1. Sakit punggung (5%)
2. Nyeri dada (5%)
3. Sakit kepala (5%)
4. Hipotensi (tekanan darah tiba-tiba turun drastis) (20%)
5. Gatal di kulit (5%)
6. Rasa kram di kaki (5 – 20%)
7. Mual dan muntah (15%)
8. Demam dan menggigil (jarang)
9. Komplikasi berat yang jarang terjadi seperti: reaksi alergi (anaphylaksis) akut, banyak sel-sel
darah merah pecah (hemolisis), adanya gelembung udara (air embolism) yang menyumbat
pembuluh darah, kadar oksigen yang rendah dalam darah (hipoksemia)
10. Komplikasi jangka panjang seperti: anemia, infeksi, denyut jantung tidak teratur (aritmia),
penyakit jantung koroner, gizi kurang, kekurangan mineral (degenerasi) tulang, kekurangan
vitamin dan mineral.
Tips menghilangkan rasa sakit setelah proses cuci darah CAPD
Bagi penderita gagal ginjal yang harus menjalani proses cuci darah, mungkin alternatif cuci darah
yang bernama CAPD atau Continouos Ambulatory Peritoneal Dialysis sudah tak asing lagi.
Sebuah alat cuci darah yang dipasang permanen diperut pasien. Dengan alat ini pasien bisa
menjalani proses cuci darah hingga 4 kali per hari dan dapat dilakukan di rumah tanpa bantuan
dokter. Tentu sebuah alat yang sangat membantu. Asal selama proses cuci darah berlangsung
dalam keadaan steril dan dikerjakan tepat waktu. Tentu alat yang sangat membantu serta praktis.
Namun setelah proses cuci darah selesai pasien sering kali merasa kedinginan, bahkan hingga
menggigil kedinginan. Atau juga pasien merasa sakit yang amat sangat diperutnya.Kedinginan
pada pasien bisa diatasi dengan merendam cairan dextrose dalam air mendidih sampai cairan
hangat.Caranya rebus air sampai mendidih, lalu tuang kedalam ember, rendam cairan dextrose
bersama kemasannya beberapa saat sampai cairan hangat. Setelah hangat baru lakukan proses cuci
darah. Cara kedua taruh cairan dextrose dalam kardus yang telah diberi lampu beberapa jam
sebelum proses cuci darah, setelah cairan hangat baru mulai proses pencucian. Sedang rasa sakit
terasa ditusuk-tusuk setelah proses cuci darah itu disebabkan oleh masuknya udara kedalam tubuh
pasien melalui selang bersama dengan cairan dextrose. Jadi jika kita melihat ada gelembung udara
pada selang segera hentikan aliran dextrose, kemudian keluarkan gelembung dengan
mendorongnya kembali ke botol. Setelah semua gelembung kelur barulah proses dilanjutkan
kembali. Sepertinya sepele, tapi sangat membantu pasien mengurangi penderitaannya
E. Indikasi dan kontraindikasi penggunaan CAPD
Indikasi :
Indikasi dilakukannya CAPD pada penderita gagal ginjal stadium terminal antara lain karena telah
terjadi:
1. Kelainan fungsi otak karena keracunan ureum (ensepalopati uremik)
2. Gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit misal: asidosis metabolik, hiperkalemia dan
hipercalsemia
3. Kelebihan cairan (volume overload) yang memasuki paru-paru sehingga menimbulkan sesak
nafas berat
4. Gejala-gejala keracunan ureum (uremic symptoms)
Kontra indikasi CAPD :
1. Hilangnya fungsi membran peritoneum
2. Operasi berulang pada abdomen, kolostomi
https://bidanwinda.wordpress.com/2014/10/15/capd-continous-ambulatory-peritoneal-dialysis/