tindakan yang menyelamatkan jiwa, khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau pasien tidak mampu melakukan urinasi. Kateterisasi juga dapat digunakan dengan indikasi lain, yaitu : untuk menentukan perubahan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin, untuk menghasilkan drainase pascaoperatif pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat, atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien yang sakit berat (Smeltzer & Bare, 2005). Menurut Charlene, dkk (2001), ada 8 indikasi penggunaan kateter yaitu: untuk menyembuhkan retensi urin, mengurangi tekanan pada kandung kemih, memudahkan pengobatan dengan operasi, mempercepat pemulihan jaringan setelah operasi, memasukkan obat kedalam kandung kemih, mengukur output urin secara tepat, mengukur output residual, memvisualisasikan struktur anatomi secara radiografis. Kateterisasi kandung kemih mencakup pemasangan selang karet atau plastik melalui uretra ke dalam kandung kemih. Kateter memungkinkan aliran kontinu pada pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pada mereka yang mengalami obstruksi aliran perkemihan (Perry, dkk, 2010). Kozier (2010) menyebutkan kontra indikasi pemasangan kateter yaitu: adanya penyakit infeksi di dalam vulva seperti uretritis gonorhoe dan pendarahan pada uretra. Adanya kateter indwelling dalam traktus urinarius dapat menimbulkan infeksi. Kolonisasi bakteri (bakteriuria) akan terjadi 40 Jurnal Keperawatan Medikal Bedah . Volume 1, No. 1, Mei 2013; 35-47 dalam waktu dua minggu pada separuh dari pasien-pasien yang menggunakan kateter urin, dan dalam waktu empat hingga enam minggu sesudah pemasangan kateter pada hampir semua pasien. Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada traktus urinarius inferior dengan menyumbat duktus periuretralis, mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur artificial untuk masuknya kuman ke dalam kandung kemih. Manipulasi kateter paling sering menjadi penyebab kerusakan mukosa kandung kemih pada pasien yang mendapat kateterisasi. Dengan demikian infeksi akan terjadi tanpa terelakkan ketika urin mengenai mukosa yang rusak itu. Ketika kateter terpasang, kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi. Karena itu, pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya (atonia). Apabila hal ini terjadi dan kateter dilepas, otot detrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengeliminasi urinnya. Latihan kandung kemih dapat mencegah kejadian ini
Ginjal mempunyai fungsi utama sebagai penyaring darah kotor, yaitu darah yang telah tercampur dengan sisa metabolisme tubuh. Sisa hasil metabolisme antara lain ureum, asam urat, dan lain-lain. Hasil saringan kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk air seni, sedangkan darah yang telah bersih dikembalikan ke pembuluh darah besar untuk beredar kembali ke seluruh tubuh. Dalam sehari ginjal harus menyaring sekitar 170 liter darah (Nephrology Channel, 2001). Jika terjadi kerusakan ginjal, sampah metabolisme dan air tidak dapat lagi dikeluarkan. Dalam kadar tertentu, sampah tersebut dapat meracuni tubuh, kemudian menimbulkan kerusakan jaringan bahkan kematian. Untuk mengatasi keadaan ini dibutuhkan hemodialisis, yaitu proses penyaringan darah dengan menggunakan mesin. Pada proses hemodialisis, darah dari pembuluhnya disalurkan melalui selang kecil ke mesin yang disebut dializer. Setelah itu, darah yang telah bersih dikembalikan ke tubuh. Di dalam dializer, darah akan melewati membran yang berfungsi sebagai saringan. Sampah hasil penyaringan akan dimasukkan ke dalam cairan yang disebut larutan dialisat. Selanjutnya, dialisat yang telah tercampur dengan sampah hasil penyaringan akan dipompa keluar, kemudian diganti dengan larutan dialisat yang baru. Berdasarkan parameter laboratorium, inisiasi terapi dialisis apabila laju filtrasi glomerulus antara 5 dan 8 ml/menit/1,73 m2 (Spiegel, 2005). Walaupun hemodialisis berfungsi mirip dengan cara kerja ginjal, tindakan ini hanya mampu menggantikan sekitar 10% kapasitas ginjal normal. Selain itu, hemodialisis bukannya tanpa efek samping. Beberapa efek samping hemodialisis antara lain tekanan darah rendah, anemia, kram otot, detak jantung tak teratur, Universitas Sumatera Utaramual, muntah, sakit kepala, infeksi, pembekuan darah (trombus), dan udara dalam pembuluh darah (emboli) (Nephrology Channel, 2001). Pada gagal ginjal kronik, hemodialisis biasanya dilakukan 3 kali seminggu. Satu sesi hemodialisis memakan waktu sekitar 3 sampai 5 jam. Selama ginjal tidak berfungsi, selama itu pula hemodialisis harus dilakukan, kecuali ginjal yang rusak diganti ginjal yang baru dari donor. Tetapi, proses pencangkokan ginjal sangat rumit dan membutuhkan biaya besar (Nephrology Channel, 2001)
INDIKASI MEDIS HEMODIALISIS
Dialisis merupakan proses untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan fungsinya dengan baik (terjadi kerusakan pada ginjal). Selain itu, dialisis juga merupakan suatu proses pembuatan zat terlarut dan cairan dari darah melewati membrane semi permeable. Hal ini berdasarkan pada prinsip difusi, osmosis dan ultra filtrasi. Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal (ESRD; end- stage renal disease) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Bagi penderita GGK (Gagal Ginjal Kronik), hemodialisis akan mencegah kematian tetapi tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan fungsi ginjal secara keseluruhan. Pasien yang menderita gagal ginjal harus menjalani terapi dialysis sepanjang hidupnya (biasanya 3 kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam tiap kali terapi) atau sampai mendapat ginjal baru melalui operasi pencangkokan ginjal. Pasien memerlukan terapi dialisis yang kronis apabila terapi ini diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala uremia. Adapun tujuan dari hemodialisis adalah untuk mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Proses hemodialisis ini dapat dilakukan pada saat toksin atau zat racun harus segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen atau menyebabkan kematian. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan proses hemodialisis ini, yaitu adanya indikasi medis dan indikator keberhasilan proses hemodialisa. Indikasi Medis Hemodialisis Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien yang mengalami GGK (Gagal Ginjal Kronis) dan GGA (Gagal Ginjal Akut) untuk sementara sampai fungsi ginjalnya kembali pulih. GGA merupakan keadaan dimana fungsi ginjal menurun secara akut dan terjadi dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan. GGA ditandai dengan berkurangnya volume urin dalam 24 jam dan terjadi peningkatan nilai ureum dan kreatin serta terjadi penurunan kreatinin. Pada pasien GGA, dokter akan berusaha memperbaiki aliran darah ke ginjal, menghentikan penggunaan obat-obatan yang merusak ginjal atau mengangkat sumbatan pada saluran kencing pasien. Pada stadium ini fungsi ginjal masih dapat dikembalikan seperti semula. Sedangkan GGK merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). GGK terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral. Baik penderita GGA atau GGK memerlukan terapi hemodialisa. Tetapi terapi hemodialisa akan dilakukan jika penderita GGA atau GGK mengalami beberapa indikasi seperti dibawah ini. 1. Hiperkalemia ( K > 6 mEq/l) Hyperkalemia (kadar kalium darah yang tinggi) adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalium darah lebih dari 6 mEq/L. Selain itu, Hyperkalemia adalah suatu kondisi di mana terlalu banyak kalium dalam darah. Sebagian besar kalium dalam tubuh (98%) ditemukan dalam sel dan organ. Hanya jumlah kecil beredar dalam aliran darah. Kalium membantu sel-sel saraf dan otot, termasuk fungsi, jantung. Ginjal biasanya mempertahankan tingkat kalium dalam darah, namun jika memiliki penyakit ginjal merupakan penyebab paling umum dari hiperkalemia. 2. Asidosis Dalam keadaan normal, ginjal menyerap asam sisa metabolisme dari darah dan membuangnya ke dalam urin. Pada penderita penyakit ini, bagian dari ginjal yang bernama tubulus renalis tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga hanya sedikit asam yang dibuang ke dalam urin. Akibatnya terjadi penimbunan asam dalam darah, yang mengakibatkan terjadinya asidosis, yakni tingkat keasamannya menjadi di atas ambang normal. 3. Kegagalan terapi konservatif 4. Kadar ureum/kreatinin tinggi dalam darah Peningkatan kadar urea disebut uremia. Azotemia mengacu pada peningkatan semua senyawa nitrogen berberat molekul rendah (urea, kreatinin, asam urat) pada gagal ginjal. Penyebab uremia dibagi menjadi tiga, yaitu penyebab prarenal, renal, dan pascarenal. Uremia prarenal terjadi karena gagalnya mekanisme yang bekerja sebelum filtrasi oleh glomerulus. Mekanisme tersebut meliputi : 1) penurunan aliran darah ke ginjal seperti pada syok, kehilangan darah, dan dehidrasi; 2) peningkatan katabolisme protein seperti pada perdarahan gastrointestinal disertai pencernaan hemoglobin dan penyerapannya sebagai protein dalam makanan, perdarahan ke dalam jaringan lunak atau rongga tubuh, hemolisis, leukemia (pelepasan protein leukosit), cedera fisik berat, luka bakar, demam. Uremia renal terjadi akibat gagal ginjal (penyebab tersering) yang menyebabkan gangguan ekskresi urea. Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, hipertensi maligna, obat atau logam nefrotoksik, nekrosis korteks ginjal. Gagal ginjal kronis disebabkan oleh glomerulonefritis, pielonefritis, diabetes mellitus, arteriosklerosis, amiloidosis, penyakit tubulus ginjal, penyakit kolagen-vaskular. 5. Perikarditis dan konfusi yang berat. Perikarditis adalah peradangan lapisan paling luar jantung baik pada parietal maupun viseral. Sedangkan konfusi adalah suatu keadaan ketika individu mengalami atau beresiko mengalami gangguan kognisi, perhatian, memori dan orientasi dengan sumber yang tidak diketahui. 6. Hiperkalsemia dan Hipertensi. Hiperkalsemia (kadar kalsium darah yang tinggi) adalah penyakit dimana penderitanya mengalami keadaan kadar kalsium darahnya melebihi takaran normal ilmu kesehatan. Penyebab penyakit ini karena meningkatnay penyerapan pada saluran pencernaan atau juga dikarenakan asupan kalsium yang berlebihan. Seain itu juga mengkonsumsi vitamin D secara berlebihan juga dapat mempengaruijumlah kalsium darah dalam tubuh. Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan gangguan pada sistem peredaran darah yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas nilai normal, yaitu melebihi 140 / 90 mmHg. Selain beberapa indikasi medis diatas, terdapat kontra indikasi untuk pasien yang akan melakukan hemodialisa, antara lain : 1. Malignansi stadium lanjut (kecuali multiple myeloma) Terkait tumor, cenderung mengarahan ke keadaan buruk 2. Penyakit Alzheimers Penyakit Alzheimer adalah suatu kondisi di mana sel-sel saraf di otak mati, sehingga sinyal-sinyal otak sulit ditransmisikan dengan baik. 3. Multi-infarct dementia 4. Sindrom Hepatorenal Sindrom Hepatorenal adalah suatu sindrom klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoactive endogen. SHR bersifat fungsional dan progresif. SHR merupakan suatu gangguan fungsi ginjal pre renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus rendah, dimana sirkulasi di luar ginjal terdapat vasodilatasi arteriol yang luas yang menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan hipotensi. 5. Sirosis hati tingkat lanjut dengan enselopati Sirosis adalah perusakan jaringan hati normal yang meninggalkan jaringan parut yang tidak berfungsi di sekeliling jaringan hati yang masih berfungsi. 6. Hipotensi Hipotensi (tekanan darah rendah) adalah suatu keadaan dimana tekanan darah lebih rendah dari 90/60 mmHg atau tekanan darah cukup rendah sehingga menyebabkan gejala-gejala seperti pusing dan pingsan. 7. Penyakit terminal Penyakit terminal adaah penyakit pada stadium lanjut, penyakit utama yang tidak dapat disembuhkan bersifat progresif, pengobatan hanya bersifat paliatif (mengurangi gejala dan keluhan, memperbaiki kualitas hidup). 8. Organic brain syndrome Organic Brain Syndrom adalah ketidaknormalan kelainan mental akibat gangguan struktur atau fungsi otak. Pasien-pasien yang memiliki kelainan diatas akan disarankan untuk tidak melakukan terapi hemodialisa karena ditakutkan terapi yang dilakukan justru berakibat pada kegagalan (kematian). Indikator Keberhasilan Hemodialisis Proses hemodialisa akan dikatakan berhasil jika zat-zat racun yang ada dalam darah dapat dieliminasi. Namun dalam kenyataannya, mesin hemodialisa tidak dapat benar-benar menyaring darah dari zat-zat racun secara sempurna. Diperlukan beberapa indikator dalam menentukan keberhasilan proses hemodialisa. Untuk menentukan indikator keberhasilan hemodialisa yaitu dengan beberapa cara berikut ini. 1. Pengambilan sampel darah Pengambilan sampel darah ini bertujuan untuk memeriksa kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam darah dan dilakukan sebelum dan sesudah proses dialisa. BUN mengukur tingkat nitrogen dalam darah. Tingginya kadar BUN pada darah merupakan indikasi terjadinya peningkatan kadar buangan nitrogen akibat menurunnya fungsi ginjal yang berakibat pada peningkatan plasma urin, level creatinine, dan buangan racun pada air kencing. 2. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium ini juga dilakukan sebelum dan sesudah proses dialisa. Pemeriksaan ini dilakukan untuk membandingkan kadar zat-zat racun dalam darah sehingga dapat ditentukan bahwa proses dialisa berhasil. Pemeriksaan laboratorium meliputi : Sebelum dialis Urea-Nitrogen plasma. Diukur setiap bulan sebelum tindakan dialisis pada minggu pertama atau minggu pertengahan, kadar 110 mg/dl atau 60 mg/dl berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas. Urea- nitrogen plasma sebelum dialisis dapat menunjukan katabolisme protein rata-rata pada penderita dengan pemasukan protein yang stabil. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi urea-nitrogen plasma sebelum dialisa antara lain : Hasil urea-nitrogen plasma lebih tinggi dari yang diharapkan. 1. Peningkatan masukan protein. 2. Hiperkatabolisme (infeksi). 3. Perdarahan gastrointestinal. 4. Fungsi renal residual menurun. 5. Efisiensi hemodialisis menurun. Resirkulasi. Kehilangan klearensi pada pemakaian ulang dialiser Hasil urea-nitrogen plasma lebih rendah dari yang diharapkan. 1. Penurunan pemasukan protein Kelelahan. Ekonomi. Disengaja. 1. Fungsi ginjal residu meningkat. 2. Efisiensi hemodialisis meningkat. 3. Penyakit hati Sesudah dialisa Kandungan zat dibawah ini perlu diperiksa setelah proses dialisa. Pemeriksaan ini berkaitan dengan ada tidaknya kemungkinan komplikasi yang terjadi setelah dialisa. 1. Urea-Nitrogen plasma. Konsentrasi urea-nitrogen setelah dialisis harus diukur setiap bulan, dan rasio urea-nitrogen plasma setelah/sebelum dialisis dipakai untuk menghitung Kt/V yang akan diberikan. 2. Albumin. Merupakan indikator penting keadaan nutrisi, albumin rendah merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas yang sangat kuat. Albumin 3,0 gr/dl risiko morbiditas dan mortalitas meningkat. Dianjurkan albumin 4,0gr/dl dan diperiksa setiap 3 bulan. 3. Kreatinin. Diperiksa sebelum dialisis setiap bulan. Kadar rata-rata yang biasa pada pasien HD 12-15 mg/dl (rentang 8-20 mg/dl). Pada penderita HD risiko morbiditas menurun apabila kadar kreatinin tinggi. Kreatinin plasma merupakan indikator massa otot dan status nutrisi. Kreatinin plasma dan urea-nitrogen harus diperiksa sekaligus. Jika perubahan pararel keduanya terjadi, maka perubahan dalam resep dialisis dan tingkat fungsi renal residual harus dipertimbangkan. Jika tingkat kreatinin plasma tetap konstan tetapi perubahan yang mencolok terjadi pada nilai urea-nitrogen plasma, perubahan pada yang terakhir paling mungking karena perubahan pemasukan protein diet atau katabolisme protein endogen. 4. Kolesterol. Kolesterol adalah indikator status gizi. Mortalitas menurun apabila sebelum dialisis kadar kolesterol 200-250 mg/dl, tetapi kolesterol yang rendah (<150 mg/dl) akan meningkatkan mortalitas. 5. Kalium. Sebelum dialisis kadar K 5,0-5,5 mEq/liter dapat menurunkan resiko mortalitas, peningkatan resiko mortalitas terjadi pada kadar K>6,5 dan K<3,5 mEq/liter. 6. Posfor. Diperiksa setiap bulan, mortalitas menurun kadar posfor 5-7 mg/dl, dan meningkat pada kadar posfor <3,0 mg/dl atau posfor >9,0 mg/dl. 7. Kalsium. Diperiksa setiap bulan, dan lebih sering diperiksa apabila mengubah dosis vitamin D. Mortalitas menurun pada kadar 9-12 mg/dl dan mortalitas meningkat pada kadarnya 12 mg/dl dan 7 mg/dl. 8. Alkalin fosfatase. Diperiksa setiap 3 bulan, kadar yang tinggi merupakan tanda hiperparatirodisme atau penyakit hati. Mortalitas menurun pada kadar alkali fosfatase <100 u/liter, dan meningkat berlipat pada kadar alkali fosfatase >150 U/liter. Dianjurkan kadar alkalin fosfatase 30-115 U/liter. 9. Bikarbonat. Diperiksa setiap bulan. Mortalitas menurun pada kadar bikarbonat 20-22,5 mEq/liter, meningkat pada kadar yang lebih rendah dan lebih tinggi. Peningkatan mortalitas sangat tinggi kadar 15 mEq/liter sebelum dialisis. Asidosis sebelum dialisis bisa dikoreksi dengan pemberian alkali pada saat dialisis. 10. Hematokrit. Sebelum dialisis hematokrit idea 30-40%, Ht 30% meningkatkan risiko mortalitas. Peningkatan hematokrit secara spontan (tanpa terapi eritropoetin) dapat merupakan tanda penyakit ginjal polikistik, penyakit kista renal yang diperoleh, hidronefrosis ataupun karsinoma ginjal. 11. Fosfat. Salah satu dari resiko mortalitas yang kuat adalah hiperfostatemia. Setengah dari penderita HD reguler akan mengalami hiperfostaemia terutama disebabkan oleh hiperparatiroid sekunder. Keadaan ini menyebabkan gangguan hemodinamik seperti hipertensi, kalsifikasi koroner, hipertropi ventrikel jantung kanan yang berhubungan dengan meningkatnya insiden kematian mendadak. 12. Pemeriksaan laboratorium lainnya. Aminotransferase plasma diperiksa setiap bulan, kadar yang meningkat dapat disebabkan penyakit hati yang tersembunyi. Pemeriksaan penyaring untuk mengetahui adanya antigen hepatitis B dan C. Kadar ferritin, besi serum, dan TIBC serta indeks eritrosit harus diperiksa setiap 3 bulan. Kadar hormon parathyroid dan kadar aluminium dapat diukur apabila dicurigai adanya hiperparatiroid ataupun intoksikasi aluminium VI. PENATALAKSANAAN 1. Terapi medikamentosa 2. Terapi bedah : Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi terapi bedah yaitu : a. Retensio urin berulang b. Hematuria c. Tanda penurunan fungsi ginjal d. Infeksi saluran kencing berulang e. Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel,hidroureter, dan hidronefrosis. f. Ada batu saluran kemih.
Macam-macam tindakan pada klien BPH : 1. PROSTATEKTOMI a. Prostatektomi Supra pubis. Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas. b. Prostatektomi Perineal. Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung, drainage oleh bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah penglihatan langsung,angka mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah, serta ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas. c. Prostatektomi retropubik. Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah labih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan serta insiden hemorargi akibat pleksus venosa prostat meningkat juga osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit.
2. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ). Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
3. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat ) TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop. TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika (Anonim,FK UI,1995). Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar. TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
USG Atau Ultrasonografi Adalah Suatu Teknik Diagnostik Pencitraan Yang Menggunakan Ultrasonik Yaitu Gelombang Suara Dengan Frekuensi Yang Lebih Tinggi Dari Kemampuan Pendengaran Manusia