Disusun oleh :
Pembimbing :
dr.
Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO), secara global lebih dari
500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik (PGK). Di Indonesia, berdasarkan
Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, jumlah pasien
PGK diperkirakan sekitar 50 orang per satu juta penduduk, 60% nya adalah usia dewasa
dan usia lanjut. PGK merupakan masalah kesehatan global yang memberikan dampak
sosio-ekonomi yang besar khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia. Bila
tidak ditangani dengan baik, PGK akan berujung pada penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA) yang pada akhirnya akan mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas
penderitanya.1
Pengobatan gagal ginjal kronik dibagi dalam dua tahap yaitu penanganan
konservatif dan terapi penggantian ginjal. Penanganan gagal ginjal secara konservatif
terdiri dari tindakan untuk menghambat berkembangnya gagal ginjal, menstabilkan
keadaan pasien, dan mengobati setiap faktor yang reversible. Sedangkan penanganan
dengan terapi pengganti ginjal (TPG) terdiri dari tiga modalitas, yaitu hemodialisis (HD),
peritoneal dialysis (PD), dan transplantasi ginjal .2
Pada negara berkembang, angka laju pertambahan PGTA setiap tahunnya berkisar
antara 4,2-17,3%.3 Di Indonesia, berdasarkan data Indonesian renal registry (IRR) pada
tahun 2018, jumlah pasien aktif yang mendapatkan terapi pengganti ginjal (TPG) adalah
sebanyak 132.142 atau 499 per juta penduduk dengan pertambahan pasien yang
mendapatkan TPG sebesar 66.433 atau 251 per juta penduduk, angka tersebut mengalami
peningkatan hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.3
Hemodialisis merupakan modalitas yang paling banyak digunakan, namun
jumlahnya masih terbatas terutama pada daerah terpencil. Sementara ketersediaan donor
ginjal yang masih sedikit juga menjadi kendala tersendiri. Pemanfaatan PD dapat menjadi
solusi untuk pemerataan layanan ginjal di Indonesia. Pasien dengan PD dapat menjalani
dialisis secara mandiri tanpa harus ke rumah sakit. Selain itu, pasien dengan PD memiliki
preservasi fungsi ginjal sisa (residual kidney function) dan kualitas hidup yang lebih baik
dibandingkan pasien HD. Berbagai studi juga telah menunjukkan bahwa penggunaan PD
lebih ekonomis dibandingkan HD.4
Menurut National Kidney and Urologic Disease Information Clearinghouse tahun
2006 hemodialisis merupakan terapi yang paling sering digunakan pada penderita gagal
ginjal kronis.5 Berdasarkan data PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) tahun
2012, jenis fasilitas layanan yang diberikan oleh renal unit adalah hemodialisis (78%),
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (3%), transplantasi (16%) dan Continuous
Renal Replacement Therapy (3%).6
Dari dua jenis PD yang tersedia (continuous ambulatory peritoneal
dialysis/CAPD dan automatic peritoneal dialysis), hanya CAPD yang telah tersedia di
Indonesia. Sejak tahun 1985 sampai dengan saat ini, penggunaan CAPD di Indonesia
belum begitu populer. Hampir seluruh pasien di Indonesia menjalani HD dan hanya 2%
yang menggunakan CAPD. Masalah keuangan, kelangkaan fasilitas yang dapat
menyediakan CAPD, dan kurangnya tenaga kesehatan yang terampil untuk CAPD adalah
beberapa alasan mengapa CAPD tidak berkembang dengan baik di Indonesia.
CAPD dapat dipergunakan sendiri-sendiri atau secara bergantian (saling
melengkapi). Di beberapa negara seperti Meksiko dan Hongkong, lebih dari 80% pasien
PGK tahap 5 memakai CAPD. Oleh karena prosedurnya sederhana, CAPD
memungkinkan untuk dikembangkan lebih luas dengan cepat. Prosedur ini mempunyai
keterbatasan, terutama komplikasi infeksi (saat ini dengan insiden yang kecil), hambatan
aliran, dan klirens yang semakin lama menurun.7
II. DEFINISI
Dialisis Peritoneal merupakan salah satu terapi pengganti ginjal yang fungsinya
sama dengan hemodialisis, tetapi dengan metode yang berbeda. Peritoneal dialisis adalah
metode dialisis dengan bantuan membran peritoneum (selaput rongga perut), jadi darah
tidak perlu dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan dan disaring oleh mesin dialisis.8
Jenis Dialisis Peritoneal :9
1. APD (Automated Peritoneal Dialysis). Merupakan bentuk terapi dialysis peritoneal
yang baru dan dapat dilakukan di rumah, pada malam hari sewaktu tidur dengan
menggunakan mesin khusus yang sudah diprogram terlebih dahulu.
2. CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis). Bedanya tidak menggunakan
mesin khusus seperti APD. Dialisis peritoneal diawali dengan memasukkan cairan
dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter,
lalu dibiarkan selama 4-6 jam.
2. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi yaitu terjadinya pergerakan zat terlarut dan pelarut melalui membrane
semipermeabel yang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan osmotik atau tekanan
hidrostatik. Pada dialisis peritoneal yang paling berperan adalah ultrafiltrasi akibat
perbedaan tekanan osmotik. Proses ini terjadi bila konsentrasi larutan di salah satu sisi
membran lebih rendah, artinya molekul air lebih banyak dari molekul solut dan sisi lain
membran mempunyai konsentrasi larutan lebih tinggi, artinya molekul air lebih sedikit
dari molekul solut, maka air akan bergerak dari konsentrasi larutan rendah ke konsentrasi
larutan tinggi. Dalam pergerakannya molekul air akan menarik solut kecil melalui
membran sehingga akhirnya tercapai keseimbangan.
Dalam dialisis peritoneal, proses ini terjadi akibat penambahan glukose ke dalam
cairan dialisat berupa dekstrosa 1,5%, atau 2,5%, atau 4,25%. Tekanan osmotik yang
disebabkan glukosa ini menyebabkan penarikan air dari darah ke dialisat. Dalam proses
ini glukosa dalam dialisat diabsorpsi ke dalam darah. Dalam keadaan kelebihan cairan
dipakai cairan dialisat dengan kadar glukosa 4,25% untuk menarik kelebihan cairan
tersebut. Derajat penjernihan/klirens suatu zat pada dialisa peritoneal dapat ditentukan
dengan rumus :
C = D__x___V
Pxt
Ket.
C : penjernihan /klirens suatu zat (ml/menit).
D : konsentrasi suatu zat dari cairan dialisat yang tlah dikeluarkan (mg/dl).
V : volume dialisat (ml).
P : konsentrasi zat dalam plasma (mg/dl).
t : interval waktu.
Dari variable diatas, V dan t dapat diatur untuk menentukan C. dari hasil
penelitian didapatkan bahwa bila lama cairan dialisat dalam rongga peritoneum
(indwelling) 60 menit, besar difusi urea mencapai 70% dan mencapai 100% dalam 120
menit.
3. Absorpsi Cairan
Absorpsi cairan dari rongga peritoneal terjadi melalui drainase aliran limfatik
dengan laju absorpsi yang konstan. Laju absorpsi peritoneal sekitar 1-2 ml/min. Faktor
yang memengaruhi laju absorpsi cairan pada peritoneal antara lain tekanan hidrostatik
intraperitoneal dan efektivitas saluran limfatik.
Tenaga yang menggerakkan air, melewati membran peritoneum selama dialisa
adalah glukosa yang menimbulkan derajat osmotik. Derajat osmotik glukosa dari 1
mOsm glukosa menghasilkan derajat hidrostatik sekitar 19 mmHg. Dianggap konsentrasi
glukosa plasma adalah 100 mg/dl, maka derajat hidrostatik maksimal untuk ultrafiltrasi
yang ditimbulkan oleh glukosa 1,5 % atau 4,25% adalah 1481 mmHg (78 mOsm) dan
4391 mmHg (231mOsm).
Untuk mengukur kinetik dari pergerakkan air melewati membrane peritoneal
dapat dilihat dengan berbagai cara, antara lain dengan cara mengukur volume dialisat
setelah beberapa waktu cairan dialisat berada dalam rongga peritoneum. Pada
pengukuran cairan dialisat setelah berlangsung 30 menit dari 6 anak yang ditambahkan
glukosa 1,5%, 4,24% dan 2,5% didapatkan volume tambahan masing-masing 6%, 16,5%
dan 13%. Hasil yang hampir sama diperoleh pada penderita dewasa. Dibawah ini terlihat
perubahan volume dialisat intraperitoneal untuk waktu tertentu dan dari konsentrasi
glukosa yang berbeda.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi transport dari solute air pada
peritoneum, antara lain : jumlah volume dialisat; lama dari inflow, dwelling dan outflow;
kadar glukosa dari dialisat; temperature dari dialisat, makin tinggi temperature dari
dialisat akan meningkatkan klirens peritoneal sampai 30-35%; Proses dialisa berbanding
lurus dengan keasaman. Pada pH asam akan mempengaruhi mikrosirkulasi untuk
mengadakan dilatasi. Peranan asetat pada cairan dialisat mempengaruhi arteriole.
Kriteria 7
1. Pasien mandiri: dapat mengerjakan semua prosedur CAPD sendiri dan tidak
mempunyai keterbatasan fisik.
2. Memahami prinsip asepsis dan antisepsis serta dapat menerapkannya dengan baik.
3. Pasien tinggal di tempat yang bersih dan lingkungan yang sehat.
4. Pasien dapat dengan mudah berkomunikasi langsung dengan dokter atau perawat
CAPD di unit dialisis (melalui telepon, handphone dll).
VIII. PROSEDUR CAPD
Prosedur CAPD 7
1. Pemasangan kateter intraperitoneal dilakukan oleh Dr Spesialis Bedah atau KGH
yang terlatih bersama dengan perawat CAPD.
Kateter yang digunakan:
Rigid plastic catheter/polythelene catheter dengan stilet.
Jenis ini yang tersedia di Indonesia yaitu buatan Otsuka dan Amecath (Ameco
Medical Industries, Egypt). Jenis kateter ini digunakan untuk dialisa peritoneal
48-72 jam.
Tenckhoff catheter dan modifikasinya.
Terbuat dari silicon yang bersifat inert. Dapat dipasang untuk waktu yang lama.
Untuk dialisa peritoneal akut yang diperkirakan lama dipakai jenis kateter ini.
2.
Penggantian cairan CAPD dilakukan 3-4 kali sehari atau lebih sesuai dengan berat badan
pasien. Proses ini dilakukan secara terus menerus dengan teratur.
Cairan Dialisat pada CAPD
Komposisi cairan CAPD dibedakan berdasarkan agen osmotik, buffer, dan
elektrolit. Konsentrasi cairan dialisat CAPD berbasis dextrose tersedia dalam 1,5%,
2,5%, dan 4,25%. Pada CAPD konvensional, digunakan laktat sebagai buffer dan
memiliki pH ~5.5. Pada keadaan pH cairan dialisat yang rendah memiliki efek pada
leukosit dan mengganggu fungsi fagosit. Sehingga, untuk mengurangi produksi
glucose degradation product (GDP), dibuat dua kompartemen cairan dialisat yang
bertujuan menghasilkan GDP yang rendah pada cairan CAPD dengan pH normal.
Glukosa sebagai agen osmotik walaupun aman, murah, dan sumber kalori,
dapat menyebabkan hiperglikemia, hiperinsulinemia, hiperlipidemia, peningkatan
berat badan dan akhirnya meningkatkan risiko mortalitas kardiovaskular. Saat ini,
telah dikembangkan cairan dialisat CAPD untuk mengurangi risiko toksisitas yang
disebut glucose-sparing solutions dengan pH netral dan rendah GDP. Tersedia dua
macam cairan CAPD dengan komposisi tersebut, yaitu icodextrin dan amino-acid
base.
Icodextrin
Merupakan cairan poliglukosa dan bersifat iso-osmolar. Absorpsi poligukosa
melalui sistem limfatik lebih lambat dibanding glukosa. Icodextrin digunakan
terutama pada malam hari menggunakan CAPD dan dapat sepanjang hari
menggunakan APD, dan indikasi utama digunakan pada pasien dengan kegagalan
ultrafiltrasi. Penggunaan icodextrin meningkatkan ultrafiltrasi dan status volume
pasien, memperbaiki kontrol glikemik, menurunkan berat badan, dan menjaga fungsi
membran peritoneal jangka panjang
Amino-acid base
Digunakan sebagai suplemen nutrisi pada pasien dengan gangguan nutrisi
karena diserap pada akhir 4-6 jam proses dialisis. Namun pada penggunaan cairan ini,
ada risiko meningkatkan asidosis.
5. Konsultasi dengan dokter SpPD KGH setiap 1-2 bulan dengan memperlihatkan buku
catatan, hasil laboratorium yang berkaitan dan untuk memperoleh resep cairan serta
obat-obat yang diperlukan.
6. Tiap 6 bulan dialakukan penggantian transfer set oleh perawat CAPD terlatih.
IX. PERALATAN/OBAT UNTUK CAPD
Peralatan/Obat
1. Paket awal :
• Kateter Tenckhoff dan peralatannya untuk operasi pemasangan
• Cairan CAPD
2. Paket rutin
• Cairan CAPD 1,5%, 2,3%, 2,5% dan 4,25% sesuai dengan kebutuhan pasien.
• Minicap antiseptic dan larutan antiseptik.
3. Tansfer set Transfer set harus diganti setiap 6 bulan.
4. Obat-obatan yang secara rutin diberikan pada pasien PGK untuk mencegah dan
mengobati komplikasi kardiovaskular, komplikasi pada tulang dan infeksi yang
mungkin terjadi.
Pencegahan Peritonitis
Upaya pencegahan peritonitis dapat dimulai dengan:
menjaga kedisiplinan dan kebersihan tangan pada tahap penggantian cairan dialisat,
pemberian antibiotik profilaksis seperti sefalosporin pada saat pemasangan kateter,
pemberian krim Mupirocin pada exit-site yang dapat mencegah infeksi S. Aureus atau
penggunaan salep gentamicin yang terbukti mengurangi infeksi Pseudomonas dan
gram negatif pada exit-site.
Komplikasi Metabolik
Absorpsi glukosa dari cairan dialisat CAPD sebanyak 500-800 kkal/hari,
menyebabkan risiko hiperglikemia pada pasien CAPD tanpa riwayat diabetes
sebelumnya. Komplikasi metabolik lain, seperti hiperlipidemia, hiponatremia,
hipokalemia, hiperkalsemia, hipermagnesemia, dan hipoalbuminemia juga dapat
timbul pada pasien yang menjalani CAPD.
1. Ika A, Khairun Nisa. Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai
Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik. Majority Volume 4, Nomor 7. Juni 2015| 49
2. Wilson LM. Pengobatan Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Hartanto H, Susi N, Wulansari P,
Mahanani DA, editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses -Proses Penyakit. 6 ed. Vol 2.
Jakarta: EGC; 2006. hlm. 965-978
3. Bikbov B, Purcell CA, Levey AS, Smith M, Abdoli A, Abebe M, et al. Global, regional,
and national burden of chronic kidney disease, 1990–2017: a systematic analysis for the
global burden of disease study 2017. Lancet. 2020;395(10225):709-33.
4. Mushi L, Marschall P, Flessa S. The cost of dialysis in low and middle-income countries:
a systematic review. BMC Health Serv Res. 2015;15:506
5. National Kidney and Urologic Disease Information Clearinghouse (NKUDIC).
Hemodialysis treatment metode for kidney failure [internet]. Institutes of health (NIH)
[disitasi tanggal 5 april 2015]. Tersedia dari: http://www.kidney.niddk.nih.gov.
6. PERNEFRI. (2012). 5 th Report Of Indonesian Renal Registry; 2012
7. Pedoman Pelayanan Hemodialisis di Sarana Pelayanan Kesehatan. Direktorat Bina
Pelayanan Medik Spesialistik Depkes RI tahun 2008.
8. Jha V. Periotoneal dialysis in India: current status and challenges. PeritDial Int
2008;28:36-41.
9. Yu AWY, Chau KF, Ho YW, Li PKT. Development of the “Peritoneal Dialysis First”
model in HongKong. Perit Dial Int 2007;27:53-5.
10. Nolph KD. Peritoneal anatomy and transport physiology. Dalam: Maher FJ, penyunting.
Replacement of renal function by dialysis: A textbook of dialysis. Edisi ke-3. Boston:
Kluwer Academic; 1989. h. 516-36.
11. Sorkin MI, Diaz-Buxo JA. Physiology of peritoneal dialysis. Dalam: Daugirdas JT,
Todds SI, penyunting. Handbook of dialysis. Edisi ke-2. Boston: Little Brown and Co;
1994. h. 245-6.
12. Odel HM, Ferris DO, Power MH. Peritoneal lavage as an effective means of extrarenal
excretion. A clinical appraisal. Am J Med. 1950:63-75
13. Daudrigas JT, Blake PG, Ing TS. Handbook of Dialysis, 5th ed. Philadelphia, PA:
Wolters Kluwer; 2015.
14. Teitelbaum I, Burkart J. Peritoneal dialysis. Am J Kidney Dis. 2003;42(5):1082-96.
15. Andreoli MCC, Totoli C. Peritoneal dialysis. Rev Assoc Med Bras. 2020;66(Suppl
1):s37-44.
16. Chan JCM, Campbell RA. Peritoneal dialysis in children: A survey of its indications and
applications. Clin Ped.1973;12:131-8.
17. Vans Stone JC. Hemodialysis apparatus. Dalam: Daugirdas JT, Ing TS, penyunting.
Handbook of dialysis. Boston: Little Brown and Co; 1994. h. 30-52
18. Perl J, Bargman JM. Peritoneal dialysis: from bench to bedside and bedside to bench. Am
J Physiol Renal Physiol. 2016;311(5):F999- 1004
19. Lee Y, Chung SW, Park S, Ryu H, Lee H, Kim DK, et al. Incremental peritoneal dialysis
may be beneficial for preserving residual renal function compared to full-dose peritoneal
dialysis. Sci Rep. 2019;9(1):10105 .
20. Blake PG, Dong J, Davies SJ. Incremental peritoneal dialysis. Perit Dial Int.
2020;40(3):320-26.