Anda di halaman 1dari 27

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

“Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)


atau Dialisis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan (DPMB)”

Disusun oleh :

dr. Ciptadi Iqbal

Pembimbing :

dr.

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
RSUD ULIN BANJARMASIN
2022
I. PENDAHULUAN

Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO), secara global lebih dari
500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronik (PGK). Di Indonesia, berdasarkan
Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, jumlah pasien
PGK diperkirakan sekitar 50 orang per satu juta penduduk, 60% nya adalah usia dewasa
dan usia lanjut. PGK merupakan masalah kesehatan global yang memberikan dampak
sosio-ekonomi yang besar khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia. Bila
tidak ditangani dengan baik, PGK akan berujung pada penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA) yang pada akhirnya akan mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas
penderitanya.1
Pengobatan gagal ginjal kronik dibagi dalam dua tahap yaitu penanganan
konservatif dan terapi penggantian ginjal. Penanganan gagal ginjal secara konservatif
terdiri dari tindakan untuk menghambat berkembangnya gagal ginjal, menstabilkan
keadaan pasien, dan mengobati setiap faktor yang reversible. Sedangkan penanganan
dengan terapi pengganti ginjal (TPG) terdiri dari tiga modalitas, yaitu hemodialisis (HD),
peritoneal dialysis (PD), dan transplantasi ginjal .2
Pada negara berkembang, angka laju pertambahan PGTA setiap tahunnya berkisar
antara 4,2-17,3%.3 Di Indonesia, berdasarkan data Indonesian renal registry (IRR) pada
tahun 2018, jumlah pasien aktif yang mendapatkan terapi pengganti ginjal (TPG) adalah
sebanyak 132.142 atau 499 per juta penduduk dengan pertambahan pasien yang
mendapatkan TPG sebesar 66.433 atau 251 per juta penduduk, angka tersebut mengalami
peningkatan hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.3
Hemodialisis merupakan modalitas yang paling banyak digunakan, namun
jumlahnya masih terbatas terutama pada daerah terpencil. Sementara ketersediaan donor
ginjal yang masih sedikit juga menjadi kendala tersendiri. Pemanfaatan PD dapat menjadi
solusi untuk pemerataan layanan ginjal di Indonesia. Pasien dengan PD dapat menjalani
dialisis secara mandiri tanpa harus ke rumah sakit. Selain itu, pasien dengan PD memiliki
preservasi fungsi ginjal sisa (residual kidney function) dan kualitas hidup yang lebih baik
dibandingkan pasien HD. Berbagai studi juga telah menunjukkan bahwa penggunaan PD
lebih ekonomis dibandingkan HD.4
Menurut National Kidney and Urologic Disease Information Clearinghouse tahun
2006 hemodialisis merupakan terapi yang paling sering digunakan pada penderita gagal
ginjal kronis.5 Berdasarkan data PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) tahun
2012, jenis fasilitas layanan yang diberikan oleh renal unit adalah hemodialisis (78%),
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (3%), transplantasi (16%) dan Continuous
Renal Replacement Therapy (3%).6
Dari dua jenis PD yang tersedia (continuous ambulatory peritoneal
dialysis/CAPD dan automatic peritoneal dialysis), hanya CAPD yang telah tersedia di
Indonesia. Sejak tahun 1985 sampai dengan saat ini, penggunaan CAPD di Indonesia
belum begitu populer. Hampir seluruh pasien di Indonesia menjalani HD dan hanya 2%
yang menggunakan CAPD. Masalah keuangan, kelangkaan fasilitas yang dapat
menyediakan CAPD, dan kurangnya tenaga kesehatan yang terampil untuk CAPD adalah
beberapa alasan mengapa CAPD tidak berkembang dengan baik di Indonesia.
CAPD dapat dipergunakan sendiri-sendiri atau secara bergantian (saling
melengkapi). Di beberapa negara seperti Meksiko dan Hongkong, lebih dari 80% pasien
PGK tahap 5 memakai CAPD. Oleh karena prosedurnya sederhana, CAPD
memungkinkan untuk dikembangkan lebih luas dengan cepat. Prosedur ini mempunyai
keterbatasan, terutama komplikasi infeksi (saat ini dengan insiden yang kecil), hambatan
aliran, dan klirens yang semakin lama menurun.7

II. DEFINISI
Dialisis Peritoneal merupakan salah satu terapi pengganti ginjal yang fungsinya
sama dengan hemodialisis, tetapi dengan metode yang berbeda. Peritoneal dialisis adalah
metode dialisis dengan bantuan membran peritoneum (selaput rongga perut), jadi darah
tidak perlu dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan dan disaring oleh mesin dialisis.8
Jenis Dialisis Peritoneal :9
1. APD (Automated Peritoneal Dialysis). Merupakan bentuk terapi dialysis peritoneal
yang baru dan dapat dilakukan di rumah, pada malam hari sewaktu tidur dengan
menggunakan mesin khusus yang sudah diprogram terlebih dahulu.
2. CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis). Bedanya tidak menggunakan
mesin khusus seperti APD. Dialisis peritoneal diawali dengan memasukkan cairan
dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter,
lalu dibiarkan selama 4-6 jam.

III. ANATOMI RONGGA PERITONEUM


Peritoneum merupakan membran serosa yang meliputi rongga abdomen dan
terdiri dari peritoneum parietal dan peritoneum visceral. Membran peritoneum memiliki
luas permukaan yang sama dengan luas permukaan tubuh yaitu sekitar 1-2 m2 pada
dewasa. Peritoneum parietal merupakan bagian dari peritoneum yang meliputi 40% dari
total permukaan peritoneum, bagian ini meliputi bagian depan dinding abdomen dan
bagian bawah diafragma. Peritoneum parietal mendapat perdarahan dari arteri lumbar,
intercostal epigastric, dan drainasenya melalui vena kava inferior. Sementara itu,
peritoneum visera merupakan bagian dari peritoneum yang meliputi organ abdomen dan
mendapat perdarahan dari arteri mesenterika superior dan drainase vena melalui sistem
porta. Total aliran darah peritoneum berkisar ~50-100 ml/menit, atau 1% dari total
cardiac output. Diantara peritoneum parietal dan visera didapatkan adanya rongga
peritoneum, yang pada orang normal didapatkan cairan kurang dari 100 mL.10
Membran peritoneum terdiri dari tiga lapisan, lapisan endotel kapiler, lapisan
interstitium peritonuem, dan lapisan mesotelium yang banyak mengandung mikrovili.
Pada lapisan mikrovili didapatkan lapisan tipis cairan yang dinamakan
phosphotidylcholine yang berfungsi sebagai surfaktan, lapisan ini juga berfungsi untuk
melindungi lapisan mesotelium pada saat proses ultrafiltrasi dialisis.10

IV. FISIOLOGI DIALISIS PERITONEAL


Dialisis adalah proses pengeluaran sisa-sisa metabolisme dan kelebihan cairan
dari darah melalui membran semipermeabel. Peritoneum merupakan selaput yang
berfungsi sebagai membran semipermeabel ternyata dapat berperan dalam proses dialisis,
hal ini didasarkan pertimbangan bahwa luas permukaan peritoneum kira-kira sama
dengan luas permukaan seluruh kapiler glomerulus.11
Peritoneum dapat berperan sebagai membran dialisis dengan beberapa
alasan,yaitu:12
a. Zat-zat molekul kecil/kristaloid dapat berdifusi melalui membran semi permeabel
dari suatu cairan di satu pihak ke cairan di pihak lain tergantung perbedaan
konsentrasi.
b. Koloid/molekul protein tidak dapat berdifusi melalui membran semi permeabel.
c. Ultrafiltrat sebagai hasil proses filtrasi ginjal normal mempunyai komposisi sama
dengan plasma kecuali tidak mengandung protein.
d. Peritoneum sebagai membran semipermeabel dapat menggantikan fungsi filtrsi
glomerulus.
e. Fungsi tubulus ginjal dalam resorpsi selektif cairan dan kristaloid dapat
digantikan dengan pemberian cairan parenteral.

Proses yang terjadi pada dialisis peritoneum adalah sebagai berikut: 10


1. Difusi
Difusi merupakan mekanisme utama untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme
pada dialisis peritoneal. Pada proses difusi terjadi pertukaran solut dari dua larutan yang
dipisahkan oleh membran semipermeabel, yaitu pertukaran solut yang berada dalam
darah kapiler pada peritoneum dan cairan dialisat dalam rongga peritoneum. Secara
mikroskopis anatomis membran peritoneum merupakan lapisan heterogen yang berupa
jaringan ikat fibrosa elastik yang diliputi oleh sel mesotel, sehingga dalam proses
perpindahan air dan solut dari darah ke cairan dialisat dalam rongga peritoneum harus
melewati lapisan tahanan, yaitu yaitu lapisan dari selaput darah, endotel pembuluh darah,
membrana basalis, jaringan interstitial, mesotel dan selaput dialisat.
Faktor yang mempengaruhi kecepatan difusi:
a. Perbedaan konsentrasi: bila perbedaan konsentrasi mengecil, transport solut tidak
terjadi lagi, sehingga untuk kelangsungan proses ini diperlukan perbedaan
konsentrasi antara dialisat dan darah harus tetap tinggi.
b. Berat molekul: keadaan berat molekul mempengaruhi kecepatan pergerakan ini.
Solut dengan berat molekul kecil kecepatan difusinya lebih cepat dibandingkan
dengan yang mempunyai berat molekul lebih besar, seperti urea dengan BM 60, lebih
cepat difusinya dibandingkan dengan kreatinin yang mempunyai BM 116.
c. Tahanan membran: peritonitis akan meningkatkan permeabilitas membran terhadap
air dan solut.

2. Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi yaitu terjadinya pergerakan zat terlarut dan pelarut melalui membrane
semipermeabel yang terjadi akibat adanya perbedaan tekanan osmotik atau tekanan
hidrostatik. Pada dialisis peritoneal yang paling berperan adalah ultrafiltrasi akibat
perbedaan tekanan osmotik. Proses ini terjadi bila konsentrasi larutan di salah satu sisi
membran lebih rendah, artinya molekul air lebih banyak dari molekul solut dan sisi lain
membran mempunyai konsentrasi larutan lebih tinggi, artinya molekul air lebih sedikit
dari molekul solut, maka air akan bergerak dari konsentrasi larutan rendah ke konsentrasi
larutan tinggi. Dalam pergerakannya molekul air akan menarik solut kecil melalui
membran sehingga akhirnya tercapai keseimbangan.
Dalam dialisis peritoneal, proses ini terjadi akibat penambahan glukose ke dalam
cairan dialisat berupa dekstrosa 1,5%, atau 2,5%, atau 4,25%. Tekanan osmotik yang
disebabkan glukosa ini menyebabkan penarikan air dari darah ke dialisat. Dalam proses
ini glukosa dalam dialisat diabsorpsi ke dalam darah. Dalam keadaan kelebihan cairan
dipakai cairan dialisat dengan kadar glukosa 4,25% untuk menarik kelebihan cairan
tersebut. Derajat penjernihan/klirens suatu zat pada dialisa peritoneal dapat ditentukan
dengan rumus :
C = D__x___V
Pxt
Ket.
C : penjernihan /klirens suatu zat (ml/menit).
D : konsentrasi suatu zat dari cairan dialisat yang tlah dikeluarkan (mg/dl).
V : volume dialisat (ml).
P : konsentrasi zat dalam plasma (mg/dl).
t : interval waktu.

Dari variable diatas, V dan t dapat diatur untuk menentukan C. dari hasil
penelitian didapatkan bahwa bila lama cairan dialisat dalam rongga peritoneum
(indwelling) 60 menit, besar difusi urea mencapai 70% dan mencapai 100% dalam 120
menit.

3. Absorpsi Cairan
Absorpsi cairan dari rongga peritoneal terjadi melalui drainase aliran limfatik
dengan laju absorpsi yang konstan. Laju absorpsi peritoneal sekitar 1-2 ml/min. Faktor
yang memengaruhi laju absorpsi cairan pada peritoneal antara lain tekanan hidrostatik
intraperitoneal dan efektivitas saluran limfatik.
Tenaga yang menggerakkan air, melewati membran peritoneum selama dialisa
adalah glukosa yang menimbulkan derajat osmotik. Derajat osmotik glukosa dari 1
mOsm glukosa menghasilkan derajat hidrostatik sekitar 19 mmHg. Dianggap konsentrasi
glukosa plasma adalah 100 mg/dl, maka derajat hidrostatik maksimal untuk ultrafiltrasi
yang ditimbulkan oleh glukosa 1,5 % atau 4,25% adalah 1481 mmHg (78 mOsm) dan
4391 mmHg (231mOsm).
Untuk mengukur kinetik dari pergerakkan air melewati membrane peritoneal
dapat dilihat dengan berbagai cara, antara lain dengan cara mengukur volume dialisat
setelah beberapa waktu cairan dialisat berada dalam rongga peritoneum. Pada
pengukuran cairan dialisat setelah berlangsung 30 menit dari 6 anak yang ditambahkan
glukosa 1,5%, 4,24% dan 2,5% didapatkan volume tambahan masing-masing 6%, 16,5%
dan 13%. Hasil yang hampir sama diperoleh pada penderita dewasa. Dibawah ini terlihat
perubahan volume dialisat intraperitoneal untuk waktu tertentu dan dari konsentrasi
glukosa yang berbeda.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi transport dari solute air pada
peritoneum, antara lain : jumlah volume dialisat; lama dari inflow, dwelling dan outflow;
kadar glukosa dari dialisat; temperature dari dialisat, makin tinggi temperature dari
dialisat akan meningkatkan klirens peritoneal sampai 30-35%; Proses dialisa berbanding
lurus dengan keasaman. Pada pH asam akan mempengaruhi mikrosirkulasi untuk
mengadakan dilatasi. Peranan asetat pada cairan dialisat mempengaruhi arteriole.

V. PERITONEAL EQUILIBRATION TEST (PET)


Pemeriksaan PET ditujukan untuk menilai jenis membran peritoneal pada masing-
masing pasien untuk memandu pemeberian resep CAPD. Efektivitas transpor peritoneal
dihitung menggunakan rasio equilibrasi antara dialisat dan urea plasma (D/P urea),
kreatinin (D/P Cr) dan Natrium (D/P Na). Rasio equilibrasi mengukur efek kombinasi
dari difusi dan ultrafiltrasi. Nilai PET dipengaruhi berat molekul solut dan permeabilitas
membran peritoneal pasien serta luas permukaannya. 13
Berdasarkan Core Curriculum tahun 2003 oleh Teitelbaum, dkk. protokol standar
untuk melakukan PET adalah : 14
1. Dilakukan pagi hari setelah proses penggantian cairan dialisat CAPD (biasanya >8
jam jika menggunakan CAPD).
2. Masukkan dialisat dengan 2,5% dextrose.
3. Segera ambil sampel dialisat, pada jam ke-2, dan jam ke-4 untuk menentukan
kreatinin, urea, dan konsentrasi glukosa.
4. Ambil sampel darah 2 jam setelah infus dialisat untuk menentukan kreatinin, urea,
dan kadar glukosa.
5. Keluarkan dialisat pada jam ke-4 dan catat volume pengeluaran.
6. Kalkulasi dialisat/plasma rasio (D/P ratio) untuk urea dan kreatinin pada jam ke-2
dan ke-4. Kalkulasi dialisat/glukosa dan bandingkan dengan konsentrasi inisial
(D/Do) pada jam ke-2 dan ke-4.
7. Plot hasil tersebut pada grafik standar PET untuk menentukan tipe membran
peritoneal pasien.
Hasil dari nilai PET dapat mengetahui tipe membran peritoneal pasien yang
kemudian bersama data klinis dapat memandu dokter dalam membuat resep CAPD dan
memilih jenis konsentrasi cairan dialisat yang sesuai untuk pasien. Klasifikasi transpor
membran peritoneal berdasarkan tes PET adalah sebagai berikut:15
1. High transporters, mencapai keseimbangan equilibrasi kreatinin dan urea yang
paling cepat karena memiliki luas permukaan peritoneal yang besar dan/atau
memiliki permeabilitas membran yang tinggi. Namun, pada high transporters cepat
terjadi kehilangan gradien osmotik untuk proses ultrafiltrasi karena dialisat glukosa
berdifusi melalui membran permeabilitas yang tinggi. Sehingga, membran jenis high
transporter memiliki D/P Cr, D/P Ur, dan D/P Na yang tinggi, tetapi ultrafiltrasi
yang rendah. Disamping itu, membran high transporter juga mengakibatkan protein
loss yang tinggi sehingga kadar albumin cenderung lebih rendah. Pergantian cairan
dialisat dengan dwell volume jangka pendek seperti APD lebih menguntungkan untuk
jenis membran ini. Bila tidak ada APD seperti di Indonesia, dapat juga dilakukan
dengan meningkatkan frekuensi pergantian cairan dialisat.
2. Low transporters, mencapai keseimbangan equilibrasi urea dan kreatinin lebih
lambat dari high transporters, menunjukkan permeabilitas membran dan/atau luas
permukaan peritoneal yang lebih kecil. Sehingga, low transporters menunjukkan D/P
Ur, D/P Cr, dan D/P Na yang rendah, dengan D/Do G dan net ultrafiltrasi yang
tinggi. Hilangnya protein lebih rendah, serum albumin lebih tinggi. Low transporters
membutuhkan waktu pergantian lebih lama, dan volume pergantian yang lebih besar.
Ultrafiltasi terjadi lebih baik pada tipe membran ini.
3. High-average dan low-average transporters, memiliki nilai diantara high dan low
transporters.

VI. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI DIALISIS PERITONEAL


Dialisis peritoneal pada anak harus sesegera mungkin dilaksanakan sesuai dengan
indikasi tanpa menunggu gejala atau manifestasi lain yang mungkin timbul. Oleh karena
pada anak mempunyai kecepatan metabolisme yang lebih tinggi dari dewasa sehingga
akan lebih cepat terjadi penumpukan sisa metabolisme yang sangat merugikan. Apalagi
pada anak dengan oligouri/anuria akan sangat susah untuk memenuhi kebutuhan kalori
karena ada keterbatasan dalam pemberian jumlah cairan. 16
Indikasi pada gagal ginjal akut adalah hiperkalemia (serum K > 7,0 mEq/L);
Asidosis berat; Fluid overload, biasanya dengan hipertensi, payah jantung dan bendungan
paru; Azotemia berat (BUN> 150 mg/dl); Gejala Uremia (ensefalopati, perikarditis,
perdarahan, intractable vomiting); Hiponatremia, hipokalsemia, dan hyperphosphatemia
(berat dan bergejala); Fluid removal untuk nutrisi yang optimal, transfuse. Indikasi lain
untuk dialisa adalah pada keracunan zat/obat, antara lain barbiturate, sodium salisilat dan
metal alkohol.17
Sedangkan kontra indikasi dialisa peritoneal umumnya berhubungan dengan tidak
utuhnya rongga peritoneum, misalnya pada bayi dengan omphalocele, gastroschizis,
hernia diafragmatika. Pasca operasi abdomen, adanya shunt ventriculo – peritoneal pada
anak dengan hidrosefalus bukan merupakan kontraindikasi absolut.17

VII. SYARAT DAN KRITERIA CAPD


Syarat (wajib terpenuhi) 7
1. Pasien dengan PGK tahap 5 yang telah didiagnosa oleh seorang Konsultan Ginjal
Hipertensi (KGH) atau Internist yang telah mengikuti pelatihan HD dan dinilai
mampu untuk melaksanakan CAPD.
2. Pasien telah mendapat penjelasan dan pelatihan intensif mengenai prosedur CAPD
dan komplikasinya.
3. CAPD dapat dilakukan sebelum atau sesudah tindakan HD.

Kriteria 7
1. Pasien mandiri: dapat mengerjakan semua prosedur CAPD sendiri dan tidak
mempunyai keterbatasan fisik.
2. Memahami prinsip asepsis dan antisepsis serta dapat menerapkannya dengan baik.
3. Pasien tinggal di tempat yang bersih dan lingkungan yang sehat.
4. Pasien dapat dengan mudah berkomunikasi langsung dengan dokter atau perawat
CAPD di unit dialisis (melalui telepon, handphone dll).
VIII. PROSEDUR CAPD
Prosedur CAPD 7
1. Pemasangan kateter intraperitoneal dilakukan oleh Dr Spesialis Bedah atau KGH
yang terlatih bersama dengan perawat CAPD.
Kateter yang digunakan:
 Rigid plastic catheter/polythelene catheter dengan stilet.
Jenis ini yang tersedia di Indonesia yaitu buatan Otsuka dan Amecath (Ameco
Medical Industries, Egypt). Jenis kateter ini digunakan untuk dialisa peritoneal
48-72 jam.
 Tenckhoff catheter dan modifikasinya.
Terbuat dari silicon yang bersifat inert. Dapat dipasang untuk waktu yang lama.
Untuk dialisa peritoneal akut yang diperkirakan lama dipakai jenis kateter ini.

Teknik pemasangan kateter rigid:


 Persiapan penderita termasuk membersihkan kulit/tindakan antiseptic pada kulit di
sekitar yang akan menjadi insersi kateter, pengosongan kandung kencing dan
usus, informed consent dan premedikasi dengan sedative ringan (diazepam)
 Memerlihatkan aspek sterilisasi ruangan, pakaian dan pemakaian masker
 Memilih tempat insersi, yang paling baik pada garis tengah, 2-3 cm di bawah
umbilicus kemudian dilakuakn anestesi okal dengan xylocain 2%/lidokain 2%
 Buat insisi kulit 2-3 mm, kateter dengan stilet ditusukkan ke dinding abdomen
melalui luka insisi kulit dengan dorongan dan pemutaran. Ketika kateter dengan
stilet masuk ke dalam rongga peritoneum yang dapat diketahui dengan hilangnya
tahanan dan terdengar suara “pep”. Pada saat itu stilet ditarik perlahan-lahan dan
kateter dimasukkan lebih dalam dengan mengarah kea rah pelvis. Seluruh lubang
kateter harus berada I dalam rongga peritoneum untuk menghindari infiltrasi
cairan dialisa ke dinding abdomen. Ada yang menganjurkan, sebelum kateter
dengan stilet dimasukkan ke dalam rongga peritoneum, rongga peritoneum diisi
dulu dengan 15-20 ml/kgBB cairan dialisat sebagai priming dengan menggunakan
jarum panjang kecil (intracath). Priming ini untuk menghindarkan tertusuknya
organ vital abdomen, usus, atau pembuluh darah besar.
 Kateter diperiksa alirannya dengan 2-3 kali siklus tanpa dwelling time. Setelah
diketahui alirannya lancer, kateter diikat pada kulit dan ditutup dengan kassa
steril.

2.

Penggantian cairan CAPD dilakukan 3-4 kali sehari atau lebih sesuai dengan berat badan
pasien. Proses ini dilakukan secara terus menerus dengan teratur.
Cairan Dialisat pada CAPD
Komposisi cairan CAPD dibedakan berdasarkan agen osmotik, buffer, dan
elektrolit. Konsentrasi cairan dialisat CAPD berbasis dextrose tersedia dalam 1,5%,
2,5%, dan 4,25%. Pada CAPD konvensional, digunakan laktat sebagai buffer dan
memiliki pH ~5.5. Pada keadaan pH cairan dialisat yang rendah memiliki efek pada
leukosit dan mengganggu fungsi fagosit. Sehingga, untuk mengurangi produksi
glucose degradation product (GDP), dibuat dua kompartemen cairan dialisat yang
bertujuan menghasilkan GDP yang rendah pada cairan CAPD dengan pH normal.
Glukosa sebagai agen osmotik walaupun aman, murah, dan sumber kalori,
dapat menyebabkan hiperglikemia, hiperinsulinemia, hiperlipidemia, peningkatan
berat badan dan akhirnya meningkatkan risiko mortalitas kardiovaskular. Saat ini,
telah dikembangkan cairan dialisat CAPD untuk mengurangi risiko toksisitas yang
disebut glucose-sparing solutions dengan pH netral dan rendah GDP. Tersedia dua
macam cairan CAPD dengan komposisi tersebut, yaitu icodextrin dan amino-acid
base.
 Icodextrin
Merupakan cairan poliglukosa dan bersifat iso-osmolar. Absorpsi poligukosa
melalui sistem limfatik lebih lambat dibanding glukosa. Icodextrin digunakan
terutama pada malam hari menggunakan CAPD dan dapat sepanjang hari
menggunakan APD, dan indikasi utama digunakan pada pasien dengan kegagalan
ultrafiltrasi. Penggunaan icodextrin meningkatkan ultrafiltrasi dan status volume
pasien, memperbaiki kontrol glikemik, menurunkan berat badan, dan menjaga fungsi
membran peritoneal jangka panjang
 Amino-acid base
Digunakan sebagai suplemen nutrisi pada pasien dengan gangguan nutrisi
karena diserap pada akhir 4-6 jam proses dialisis. Namun pada penggunaan cairan ini,
ada risiko meningkatkan asidosis.

Pelaksanaan Dialisis Peritoneal


 Cairan dialisat dihangatkan dalam waterbath, suhu sekitar 37-38 °C> Volume
cairan dialisa pada awalnya diberikan 15-20 ml/kgBB, kemudian secara bertahap
dinaikkan menjadi 40-50 ml/kgBB pada bayi dan anak kecil atau menjadi 30-40
ml/kgBB pada anak yang lebih besar.
 Heparin 500-1000 unit/L ditambahkan ke dalam cairan dialisa dalam 3 siklus
pertama dan diteruskan selama cairan dialisa berwarna merah
 Cairan dialisa dimasukkan ke dalam rongga peritoneum (inflow) dalam 5-10
menit, lalu dibiarkan selama 30 menit (dwelling), kemudian dikeluarkan dalam
10-20 menit (outflow). KCl ditambahkan 3-4 mEq/L pada cairan dialisa bila kadar
K plasma <4 mEq/L.
 Konsentrasi glukosa dalam cairan dialisa (1,5%, 2,5%, 4,25%) dipilih bergantung
pada balans cairan. Pada keadaan kelebihan cairan tubuh, digunakan cairan dilaisa
dengan konsentrasi glukosa lebih tinggi dari standar (1,5%), dengan maksud
untuk menarik kelebihan cairan tersebut.
 Lamanya dialisa peritoneal 36-48 jam
3. Memperhatikan exit-site kateter, merawat dan mencegah infeksi.

4. Pasien mencatat dalam buku catatan:


 Jumlah cairan masuk dan keluar.
 Masalah yang terjadi dalam prosedur ini.
 Memperhatikan cairan yang keluar dalam hal kejernihan, kelainan pada
dialisat serta tanda-tanda infeksi.

5. Konsultasi dengan dokter SpPD KGH setiap 1-2 bulan dengan memperlihatkan buku
catatan, hasil laboratorium yang berkaitan dan untuk memperoleh resep cairan serta
obat-obat yang diperlukan.

6. Tiap 6 bulan dialakukan penggantian transfer set oleh perawat CAPD terlatih.
IX. PERALATAN/OBAT UNTUK CAPD
Peralatan/Obat
1. Paket awal :
• Kateter Tenckhoff dan peralatannya untuk operasi pemasangan
• Cairan CAPD
2. Paket rutin
• Cairan CAPD 1,5%, 2,3%, 2,5% dan 4,25% sesuai dengan kebutuhan pasien.
• Minicap antiseptic dan larutan antiseptik.
3. Tansfer set Transfer set harus diganti setiap 6 bulan.
4. Obat-obatan yang secara rutin diberikan pada pasien PGK untuk mencegah dan
mengobati komplikasi kardiovaskular, komplikasi pada tulang dan infeksi yang
mungkin terjadi.

X. MONITORING DAN EVALUASI CAPD


Monitoring & evaluasi
1. Sistim pencatatan Laporan dikirim secara berkala oleh unit dialisis ke Pusat
Registrasi Nasional.
2. Monitor dilakukan perawat terlatih meliputi :
• Kunjungan rumah secara rutin untuk mengetahui keadaaan umum pasien,
lingkungan sekitar, dan memberi nasihat atau pelatihan cara-cara mencegah dan
mengatasi komplikasi.
• Membantu mengatasi komplikasi akut yang tidak dapat diatasi oleh pasien sendiri
• Laporan kunjungan diberikan ke dokter KGH untuk ditindaklanjuti.
3. Apabila terjadi peritonitis atau hambatan aliran masuk/keluar cairan yang tidak dapat
diatasi sendiri, maka pasien harus kembali ke unit dialisis secepatnya.
4. Kateter Tenckhoff dicabut apabila terdapat peritonitis yang tidak dapat diatasi dengan
antibiotika yang adekuat dalam 2 minggu, atau terdapat infeksi jamur, atau membran
peritoneum sudah tidak efektif lagi. Apabila infeksi peritonitis sudah sembuh, kateter
Tenckhoff dapat dipasang lagi dalam waktu paling cepat 1 bulan.

XI. KEUNGGULAN CAPD


Pemilihan modalitas antara CAPD dan HD banyak menjadi pertimbangan pasien
sebelum memulai terapi pengganti ginjal. Telah banyak penelitian yang membandingkan
CAPD dengan HD mengenai survival pasien, risiko peritonitis, technique survival,
kualitas hidup, dan kepuasan pasien. Keberhasilan modalitas CAPD ditentukan oleh
banyak faktor, yaitu faktor pasien sendiri dan dukungan keluarga, tenaga kesehatan yaitu
dokter dan perawat pada senter dialisis terkait, sistem edukasi, serta training dan
monitoring yang baik dan efektif. Dengan demikian, risiko komplikasi seperti peritonitis
dapat dikurangi. Luaran pasien selain juga dipengaruhi berbagai faktor lain seperti usia,
RKF, juga dipengaruhi komorbid lain seperti diabetes dan komplikasi kardiovaskular.

Residual Kidney Function 18


Menjaga fungsi ginjal sisa (residual kidney function/ RKF) sangat penting karena
berperan dalam meningkatkan adekuasi dialisis, kualitas hidup, dan mortalitas pada
pasien dialisis. Laju penurunan RKF merupakan faktor prognosis yang lebih kuat
daripada baseline RKF pada all-cause mortality pasien CAPD. Pada studi di Kanada,
dilaporkan bahwa setiap 250 ml penambahan volume urin, maka terjadi penurunan pada
2 tahun kematian sebanyak 36%. Banyak bukti klinis menunjukkan bahwa CAPD dapat
mempertahankan RKF lebih baik dibanding HD, kemungkinan karena pada CAPD risiko
deplesi volume intravaskular lebih rendah dibanding HD. Berkurangnya RKF akan
mengurangi klirens toksin dengan berat molekul kecil-sedang, sintesis eritropoietin
sangat berkurang, dan retensi natrium, fosfor, dan air lebih tinggi. Keadaan ini
mengakibatkan berbagai komplikasi yang lebih berat seperti anemia, malnutrisi, dan
gagal jantung yang pada akhirnya meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas
kardiovaskular. Sebuah studi menunjukkan CAPD memiliki 65% risiko penurunan RKF
lebih rendah daripada HD pada 1 tahun pertama. Studi observasional pada 231 pasien
CAPD menunjukkan 50% penurunan all-cause mortality pada setiap peningkatan eGFR 1
ml/min. Pemilihan cairan dialisat peritoneal konsentrasi rendah dan pemberian ACE
inhibitor merupakan upaya untuk menjaga RKF

Beberapa alasan yang mengakibatkan manfaat CAPD menurun seiring dengan


waktu menjalani modalitas adalah pertama, adanya penurunan bertahap dari RKF,
ditambah adanya proses dialisis yang tidak adekuat. Kedua, berkurangnya kemampuan
ultrafiltrasi yang disebabkan fibrosis peritoneal dan inflamasi lokal. Pasien CAPD harus
dievaluasi secara teratur untuk menilai apakah terdapat indikasi perubahan dosis dialisat
atau risiko perubahan modalitas dialisis.
Obesitas juga berpengaruh pada peningkatan mortalitas pasien CAPD dibanding
HD terutama pada pasien dengan IMT >30 kg/m2. Angka komplikasi peritonitis, dan
kesulitan mencapai dialisis yang adekuat memengaruhi luaran negatif dari CAPD pada
pasien obesitas. Karakteristik pasien CAPD di Cina atau Asia memiliki volume dialisis
yang lebih rendah, sehingga bila pada pasien kaukasian membutuhkan 8 Liter per hari,
pada pasien Asia membutuhkan 6 Liter per hari dialisis, namun tergantung kepada postur
tubuh. Hal ini dapat menurunkan risiko peritonitis dan hiperglikemia.
Saat ini, telah berkembang adanya CAPD incremental atau peresapan CAPD
dimana pertukaran cairan pada CAPD dilakukan kurang dari empat kali sehari (dosis
standar “full dose”) dengan memperhitungkan RKF pada saat inisiasi CAPD pertama
kali.24-26 Dosis dialisis ini akan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan penurunan
RKF pasien seiring dengan lamanya tindakan CAPD. Dengan dilakukannya incremental
CAPD, kebutuhan cairan dialisat menjadi berkurang, sehingga biaya yang dikeluarkan
menjadi lebih rendah. Pada incremental CAPD, pertukaran dialisat yang kurang dari 4
kali diharapkan dapat mencapai tujuan pembersihan individual yang sama dengan full
dose CAPD, sehingga CAPD menjadi lebih efisien dan efektif. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Lee, dkk. dihasilkan bahwa peresepan incremental CAPD pada pasien
yang melakukan inisiasi CAPD diketahui memberikan efek yang lebih baik dalam
menjaga RKF dibandingkan dengan pasien yang memulai CAPD dengan dosis standar. 19
Pada tahun 2019, kebijakan pemberlakuan incremental CAPD mulai diterapkan di
Amerika Serikat. Pada praktiknya, full dose maupun incremental CAPD sebaiknya dipilih
dengan tetap berfokus pada pasien. Gejala pasien, RKF, dan kecukupan target dialisis
harus selalu dipantau. Pada pasien dengan incremental CAPD, resep harus ditingkatkan
sesuai kebutuhan pasien. Hal ini bertujuan untuk terus menghasilkan CAPD yang
berkualitas tinggi.
Selain faktor medis, faktor usia juga berasosiasi secara independen dengan pilihan
CAPD pada pasien. Pasien berusia kurang dari 45 tahun, dan lebih dari 75 tahun,
berdasarkan studi analisis multivariat di Perancis, memilih CAPD sebagai modalitas
terapi utama. Pendekatan secara individual sesuai dengan karakteristik pasien penting
untuk meningkatkan penggunaan modalitas CAPD pada pasien PGTA. Blake, dkk.
mengajukan enam langkah pendekatan yang dapat dilakukan sebelum memulai CAPD
pada seorang pasien. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan dan
pengetahuan pada pasien sebelum memutuskan pilihan modalitas yang sesuai dengan
karakteristik pasien. 20
1. Identifikasi kandidat potensial untuk CAPD.
Pasien yang termasuk dalam populasi kandidat CAPD antara lain semua pasien
terdiagnosis PGTA, pasien dengan graft failure yang membutuhkan dialisis, pasien
selama 30 hari dialisis dependen, walaupun dengan diagnosis gagal ginjal akut.
2. Menilai eligibilitas untuk CAPD
Pada pasien yang akan menjalani inisiasi CAPD, beberapa faktor esensial perlu
dipertimbangkan, seperti motivasi, kemampuan fisik dan mental untuk menjalani
prosedur CAPD, dan juga gejala uremia. Tim multidisiplin menilai terlebih dahulu
apakah kandidat pasien CAPD mampu untuk melakukan CAPD, dan apakah terdapat
kontraindikasi/halangan untuk melakukan CAPD.

3. Menawarkan pilihan CAPD pada pasien


Pada langkah ini, pasien diberi edukasi dan kesempatan untuk menentukan modalitas
CAPD melalui sesi tanya jawab, edukasi sesama pengguna CAPD, brosur, video.
4. Pasien menentukan pilihan
Pada langkah ini, pasien diberi kebebasan memutuskan pilihan setelah mendapat
penjelasan modalitas dengan lengkap.
5. Pemasangan kateter CAPD
Salah satu faktor kunci keberhasilan dari CAPD adalah pemasangan kateter Tenchoff
sebagai akses peritoneal yang bersifat permanen untuk mengalirkan cairan dialisat ke
dalam rongga peritoneum. Terdapat beberapa teknik insersi kateter CAPD seperti
perkutan, peritoneoskopik, diseksi surgikal, dan laparoskopi. Tindakan insersi kateter
CAPD dapat dilakukan oleh nefrologis, dokter spesialis bedah
umum/digestif/urologi. Seringkali meskipun pasien telah memilih CAPD sebagai
modalitas TPG, pasien tetap harus melakukan HD terlebih dahulu. Hal ini
dikarenakan beberapa hal, seperti rujukan terlambat sehingga pasien memerlukan HD
emergensi. Rujukan terlambat yang kerap terjadi ini menyebabkan hilangnya
kesempatan memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga untuk pemilihan
modalitas.
6. Inisiasi CAPD
Idealnya, inisiasi CAPD dilakukan setelah 10 hari sampai dengan 2 minggu pasca
pemasangan kateter CAPD, namun dapat pula segera dimulai bila keadaan
mendesak. Tindakan CAPD yang berhasil ditandai dengan pasien dapat melakukan
CAPD secara mandiri.

XII. KOMPLIKASI CAPD


1. Peritonitis
Diagnosis peritonitis dapat ditegakkan bila ditemukan manifestasi seperti nyeri
abdomen, demam, cairan dialisat yang keruh, hitung leukosit pada cairan dialisat lebih
dari 100 leukosit/mm3 dan hasil kultur cairan dialisat yang positif. Peritonitis pada
umumnya disebabkan oleh bakteri, baik gram positif maupun gram negatif. Namun, dapat
juga disebabkan oleh jamur dan bakteri tahan asam. Sumber infeksi dapat disebabkan
oleh kontaminasi akibat sentuhan (touch contamination), infeksi yang berhubungan
dengan kateter (exite site/ tunnel infection), enteric, dan iatrogenic (bakteremia dan
ginekologis).
Jalur invasi bakteri yang paling sering adalah infeksi yang berhubungan dengan
kateter yaitu melalui lumen kateter dan melalui rute perikateter. Penyebab bakteri
terbanyak pada peritonitis adalah gram positif: S. epidermidis > S. aureus >
Enterococcus. Kuman S. aureus pada mukosa nasal dan kulit juga berperan pada exit-site
dan catheter-related infections pada peritonitis. Pemeriksaan kultur cairan peritoneal
dapat dilakukan dengan mengambil 5-10 ml cairan peritoneal dan dikirim ke
laboratorium dalam waktu sesegera mungkin. Terapi antibiotik empiris harus segera
dimulai setelah terdiagnosis peritonitis. Rute pemberian antibiotik yang dianjurkan adalah
melalui intraperitoneal. Bila didapati tanda-tanda sepsis, maka diperlukan pemberian
antibiotik intravena.
Terapi inisial antibiotik empiris harus meliputi bakteri gram-negatif dan gram-
positif. Nyeri perut biasanya berkurang dalam 48-72 jam setelah pemberian antibiotik.
Pada keadaan berat, apabila infeksi tidak teratasi, diperlukan pencabutan kateter CAPD
dan pasien sementara dipindahkan untuk menjalani hemodialisis.

Pencegahan Peritonitis
Upaya pencegahan peritonitis dapat dimulai dengan:
 menjaga kedisiplinan dan kebersihan tangan pada tahap penggantian cairan dialisat,
 pemberian antibiotik profilaksis seperti sefalosporin pada saat pemasangan kateter,
 pemberian krim Mupirocin pada exit-site yang dapat mencegah infeksi S. Aureus atau
penggunaan salep gentamicin yang terbukti mengurangi infeksi Pseudomonas dan
gram negatif pada exit-site.

2. Komplikasi Non Infeksi CAPD


Komplikasi Mekanik
Adanya cairan dialisat pada rongga peritoneum meningkatkan tekanan intra
abdomen. Peningkatan tekanan intraperitoneal berisiko menimbulkan hernia,
kebocoran perikateter, kebocoran diafragma, dan nyeri.

Komplikasi Metabolik
Absorpsi glukosa dari cairan dialisat CAPD sebanyak 500-800 kkal/hari,
menyebabkan risiko hiperglikemia pada pasien CAPD tanpa riwayat diabetes
sebelumnya. Komplikasi metabolik lain, seperti hiperlipidemia, hiponatremia,
hipokalemia, hiperkalsemia, hipermagnesemia, dan hipoalbuminemia juga dapat
timbul pada pasien yang menjalani CAPD.

Encapsulating Peritoneal Sclerosis


Encapsulating peritoneal sclerosis (EPS) adalah komplikasi yang jarang
namun berbahaya, dengan insiden kumulatif dari 0,5-4,4% yang meningkat seiring
dengan lamanya menggunakan CAPD. Insiden EPS antara 2,1-4,4% pada 5 tahun
pertama, dan 5,9-19,4% pada 8 tahun CAPD. Pada kondisi ini, terjadi sklerosis masif
pada membran peritoneal, sehingga terjadi enkapsulasi jaringan intestinal. Hal ini
mengganggu fungsi saluran cerna, gangguan motilitas, gangguan absorpsi nutrisi,
ileus obstruktif, anoreksia, dan perburukkan klinis secara progresif. Kondisi ini dapat
dilihat melalui gambaran CT scan. Belum ada terapi definitif pada EPS. Tindakan
pembedahan dapat melepas adhesi pada intestinal, namun dibutuhkan kehati-hatian
karena berisiko menimbulkan fistula enterokutan.

XIII. KEGAGALAN MODALITAS


Pada beberapa kondisi, perlu dilakukan perubahan modalitas dari CAPD ke
HD. Kondisi yang menyebabkan perubahan modalitas antara lain bila dijumpai
CAPD tidak adekuat, kegagalan ultrafiltrasi, hipertrigliseridemia berat, peritonitis
berulang, dan gangguan teknis/mekanik berulang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ika A, Khairun Nisa. Terapi Konservatif dan Terapi Pengganti Ginjal sebagai
Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik. Majority Volume 4, Nomor 7. Juni 2015| 49
2. Wilson LM. Pengobatan Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Hartanto H, Susi N, Wulansari P,
Mahanani DA, editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses -Proses Penyakit. 6 ed. Vol 2.
Jakarta: EGC; 2006. hlm. 965-978
3. Bikbov B, Purcell CA, Levey AS, Smith M, Abdoli A, Abebe M, et al. Global, regional,
and national burden of chronic kidney disease, 1990–2017: a systematic analysis for the
global burden of disease study 2017. Lancet. 2020;395(10225):709-33.
4. Mushi L, Marschall P, Flessa S. The cost of dialysis in low and middle-income countries:
a systematic review. BMC Health Serv Res. 2015;15:506
5. National Kidney and Urologic Disease Information Clearinghouse (NKUDIC).
Hemodialysis treatment metode for kidney failure [internet]. Institutes of health (NIH)
[disitasi tanggal 5 april 2015]. Tersedia dari: http://www.kidney.niddk.nih.gov.
6. PERNEFRI. (2012). 5 th Report Of Indonesian Renal Registry; 2012
7. Pedoman Pelayanan Hemodialisis di Sarana Pelayanan Kesehatan. Direktorat Bina
Pelayanan Medik Spesialistik Depkes RI tahun 2008.
8. Jha V. Periotoneal dialysis in India: current status and challenges. PeritDial Int
2008;28:36-41.
9. Yu AWY, Chau KF, Ho YW, Li PKT. Development of the “Peritoneal Dialysis First”
model in HongKong. Perit Dial Int 2007;27:53-5.
10. Nolph KD. Peritoneal anatomy and transport physiology. Dalam: Maher FJ, penyunting.
Replacement of renal function by dialysis: A textbook of dialysis. Edisi ke-3. Boston:
Kluwer Academic; 1989. h. 516-36.
11. Sorkin MI, Diaz-Buxo JA. Physiology of peritoneal dialysis. Dalam: Daugirdas JT,
Todds SI, penyunting. Handbook of dialysis. Edisi ke-2. Boston: Little Brown and Co;
1994. h. 245-6.
12. Odel HM, Ferris DO, Power MH. Peritoneal lavage as an effective means of extrarenal
excretion. A clinical appraisal. Am J Med. 1950:63-75
13. Daudrigas JT, Blake PG, Ing TS. Handbook of Dialysis, 5th ed. Philadelphia, PA:
Wolters Kluwer; 2015.
14. Teitelbaum I, Burkart J. Peritoneal dialysis. Am J Kidney Dis. 2003;42(5):1082-96.
15. Andreoli MCC, Totoli C. Peritoneal dialysis. Rev Assoc Med Bras. 2020;66(Suppl
1):s37-44.
16. Chan JCM, Campbell RA. Peritoneal dialysis in children: A survey of its indications and
applications. Clin Ped.1973;12:131-8.
17. Vans Stone JC. Hemodialysis apparatus. Dalam: Daugirdas JT, Ing TS, penyunting.
Handbook of dialysis. Boston: Little Brown and Co; 1994. h. 30-52
18. Perl J, Bargman JM. Peritoneal dialysis: from bench to bedside and bedside to bench. Am
J Physiol Renal Physiol. 2016;311(5):F999- 1004
19. Lee Y, Chung SW, Park S, Ryu H, Lee H, Kim DK, et al. Incremental peritoneal dialysis
may be beneficial for preserving residual renal function compared to full-dose peritoneal
dialysis. Sci Rep. 2019;9(1):10105 .
20. Blake PG, Dong J, Davies SJ. Incremental peritoneal dialysis. Perit Dial Int.
2020;40(3):320-26.

Anda mungkin juga menyukai