Anda di halaman 1dari 19

Laporan Hasil Mini Riset

EKSISTENSI USAHA PENJUALAN KUE BOHONG SEBAGAI


BENTUK CONTOH USAHA PEDAGANG KAKI LIMA DI
KECAMATAN LUBUK PAKAM, KABUPATEN DELI
SERDANG

Oleh
.
.
KELOMPOK 4:
ANGEL BERUTU
HAMIDAH CINDRA
RIFKI YOVANDRI
RIMA ANNISA HAQI

Mata kuliah : Geografi Ketenagakerjaaan


Dosen pengampu :Dra.Walbiden Lumbantoruan,M.Si
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Salah satu kegiatan usaha yang bergerak di sektor informal adalah Pedagang Kaki Lima. Kesulitan untuk mencari
pekerjaan serta keterbatasan kemampuan modal untuk mendirikan usaha bagi masyarakat golongan ekonomi lemah
mendorong mereka untuk melakukan suatu usaha dalam mempertahankan hidupnya. Untuk mempertahankan
hidupnya mereka mencari nafkah yang sesuai dengan kekuatan serta kemampuan yang dimilikinya yang serba
terbatas. Wujud keterbatasan ini adalah keterbatasan tingkat pendidikan, keterbatasan kemampuan ekonomi atau
keterbatasan modal, keterbatasan tentang pengetahuan dalam tatanan atau peraturan yang berlaku, membuat mereka
para masyarakat ekonomi lemah untuk berusaha dalam bentuk usaha dagangan berupa pedagang kaki lima (PKL)
yang mereka laksanakan di kota-kota besar untuk memenuhi kebutuhan hidup (Nurcahyani, Dwi, Sulton, 2020).
Pedagang kaki lima memiliki jenis yang bermacam macam mulai dari berdagang pakaian, makanan dll. Lubuk
pakam adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Deli Serdang yang memiliki jenis jenis pedagang
kaki lima yang menjual beragam salah satunya pedagang kaki lima kue bohong. Kue bohong adalah salah satu
makanan yang dijual pedagang kaki lima di daerah lubuk pakam,makanan yang bahan dasarnya tepung terigu ini
adalah jajanan kue yang di jual di daerah lubuk pakam yang di jajakan oleh pedagang kaki lima. Namun tidak
banyak pedagang yang mahir dalam mengembangkan kue tersebut karena kendala dalam poengadonan dan
pembuatannya memerlukan keahlian khusus.

Dari penjelasan tersebut, kami tertarik untuk mengangkat bahasan ini sebagai mini riset kami dengan judul
“EKSISTENSI USAHA PENJUALAN KUE BOHONG SEBAGAI BENTUK CONTOH USAHA PEDAGANG
KAKI LIMA DI KECAMATAN LUBUK PAKAM, KABUPATEN DELI SERDANG”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.Apa saja yang dihadapi tenaga kerja dalam melakukan usahanya?
2.Bagaimana kendala dan cara penanggulangan yang dilakukan tenaga kerja tersebut?
3.Bagaimana eksistensi dan perkembangan usaha kue bohong di Kec. Lubuk Pakam, Kab. Deli Serdang?

1.3 TUJUAN MINI RISET


1.Untuk menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Geografi Ketenagakerjaan
2.Mengetahui sosok tenagakerja dan penerapannya secara nyata
3.Mengetahui permasalahan umum terkait pedagang kaki lima dan solusinya
4.Mengetahui eksistensi dari kue bohong dalam kehidupan masyarakat Kec. Lubuk Pakam
BAB II
KAJIAN TEORITIS

2.1 Pedagang Kaki Lima


Pedagang adalah orang yang bekerja dengan cara membeli suatu barang yang kemudian barang tersebut dijual
kembali dengan harga yang lebih tinggi sehingga mendapat keuntungan dari barang tersebut. Kaki lima diartikan
sebagai lokasi berdagang yang tidak permanen atau tetap. Dengan demikian, pedagang kaki lima dapat diartikan
sebagai pedagang yang tidak memiliki lokasi usaha yang permanen atau tetap. Sedangkan menurut kamus umum
Bahasa Indonesia oleh W.J.S Poerwadarminta, istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung
rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) dimuka pintu atau di tepi jalan (Dikri et al., 2014).
Pedagang Kaki Lima, yang selanjutnya disingkat PKL, adalah pelaku usaha yang melakukan usaha
perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota,
fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak
menetap. Pedagang kaki lima merupakan salah satu jenis perdagangan dalam sektor informal, yakni operator usaha
kecil yang menjual makanan, barang dan atau jasa yang melibatkan ekonomi uang dan transaksi pasar, hal ini sering
disebut dengan sektor informal perkotaan (Islahuddin, 2017).
2.2 Sejarah Pedagang Kaki Lima
Istilah Pedagang Kaki Lima berasal dari masa kolonial Belanda. Tepatnya pada saat Gubernur Jendral Stanford
Raffles berkuasa (1811- 1816). Jauh sebelum Indonesia merdeka, pemerintah Belanda membuat sebuah peraturan
yakni setiap jalanan yang dibangun harus memiliki sarana untuk para pedestrian atau pejalan kaki yang dinamakan
trotoar. Trotoar ini memiliki lebar 5 feet way (kaki: satuan panjang yang digunakan oleh mayoritas bangsa Eropa).
Kebijakan ini juga diterapkan oleh Raffles pada saat ia bertugas di Singapore pada tahun 1819, tepatnya di
Chinatown.
Kemudian setelah Indonesia merdeka, trotoar untuk pejalan kaki itu sering dimanfaatkan untuk tempat berjualan.
Kata 5 feet sering disalah artikan ke dalam bahasa Melayu yakni Kaki Lima karena penerjemahan Bahasa Inggris ke
dalam Bahasa Melayu menggunakan hukum Diterangkan-Menerangkan. Dari istilah trotoar kaki lima inilah
pedagang yang berjualan di wilayah tersebut sering dijuluki dengan nama Pedagang Kaki Lima. Istilah ini menjalar
ke Medan, kemudian dari Medan terus menjalar sampai ke Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia. Kemudian
setelah Indonesia merdeka, trotoar yang tadinya berfungsi sebagai jalur pedestrian atau pejalan kaki sering
disalahgunakan oleh pedagang untuk tempat berjualan atau sekedar untuk tempat beristirahat meletakkan gerobak
dagangan mereka. Sehingga masyarakat Indonesia menyebutnya dengan Pedagang Kaki Lima.
2.3 Faktor Pendorong Adanya Pedagang Kaki Lima
Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998, banyak sekali kegiatan ekonomi yang
bergerak di sektor formal beralih ke sektor informal. Faktor utama beralihnya kegiatan ekonomi dari
sektor formal ke sektor informal adalah sifat dari sektor informal yang tidak memerlukan tingkat
keterampilan yang tinggi, modal usaha yang besar, dan sarana yang sederhana sehingga mudah
dijangkau oleh semua lapisan masyarakat atau mereka yang belum memiliki pekerjaan yang tetap
(Nurcahyani, Dwi, Sulton, 2020).
Pedagang Kaki Lima umumnya menempati tempat-tempat yang senantiasa dipandang sebagai sebuah
keuntungan, misalnya pusat kota, tempat keramaian, hingga tempat-tempat yang berpotensi menjadi
objek wisata. Pedagang kaki lima terutama di daerah tujuan pariwisata sangat bersentuhan dengan
pengunjung ataupun masyarakat pada umumnya. Karena pedagang kaki lima lebih mudah untuk
dijumpai dibanding dengan pedagang resmi yang berjualan di tempat yang tetap. Hal ini memudahkan
wisatawan ataupun masyarakat untuk memenuhi kebutuhan berupa barang-barang ecer. Dengan
demikian peran pedagang kaki lima dalam memenuhi kebutuhan masyarakat mendapat tempat yang
cukup penting.
2.4 Relevansi Penelitian
Dasar atau acuan yang berupa teori-teori atau temuan-temuan melalui hasil berbagai penelitian
sebelumnya merupakan hal yang sangat perlu dan dapat dijadikan sebagai data pendukung. Salah satu
data pendukung yang menurut peneliti perlu dijadikan bagian tersendiri adalah penelitian terdahulu
yang relevan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini. Dalam hal ini, fokus
penelitian terdahulu yang dijadikan acuan adalah terkait dengan terjadinya perubahan fungsi lahan.
Oleh karena itu, peneliti melakukan langkah kajian terhadap beberapa hasil penelitian berupa tesis dan
jurnal-jurnal melalui internet. Beberapa contoh penelitian terdahulu yang dapat digunakan sebagai
referensi untuk penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. Penelitian yang berjudul Analisis
Eksistensi Usaha Penjualan Kue Bohong Di Kec. Lubuk Pakam ini bertujuan untuk mengetahui
Kendala apa yang dihadapi pedagang kaki lima di kecamatan Lubuk Pakam Khususnya pedagang kue
Bohong.
2.5 Kerangka Berpikir
Kerangka pemikiran merupakan alur penelitian yang dipakai oleh seorang peneliti. Pada
kerangka pemikiran ini berisi gambaran mengenai penelitian yang akan dilakukan. Pada penelitian
Analisis Eksistensi Usaha Penjualan Kue Bohong Di Kec. Lubuk Pakam, faktor-faktor yang
mempengaruhinya antara lain pengetahuan pedagang tentang inovasi dan kreasi dalam kewirausahaan,
serta kemampuan pedagang dalam berpikir kritis tentang masalah yang dihadapi. Kombinasi dari kedua
faktor tersebut diperkirakan akan mempengaruhi ekstensi usaha pedagangan kue bohong. Kemudian,
nantinya peneliti akan menganalisis dampak terhadap keberhasilan usaha penjualan kue bohong.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi yang digunakan adalah seluruh pedagang kaki lima yang ada di salah satu trotoar di Kecamatan Lubuk
Pakam, Deli Serdang, Kota Medan, Sumatera Utara. Sedanngkan sampelnya adalah seorang responden yang
satu-satunya penjual kue bohong wilayah tersebut, yaitu Abang Rian Fitrian Taruna (23 tahun).

3.2 Metode Pengumpulan Data


Pada penelitian kami, kami menggunakan dua metode, yaitu metode penelitian langsung dan analisis, maksud
dari metode analisis adalah suatu metode atau cara untuk mengolah sebuah data menjadi informasi sehingga
karakteristik data tersebut menjadi mudah untuk dipahami dan juga bermanfaat untuk menemukan solusi
permasalahan, yang terutama adalah masalah yang tentang sebuah penelitian. Dan sumber yang kami analisis
adalah beberapa jurnal dan sebuah artikel yang berkaitan dengan judul mini riset. Sedangkan untuk penelitian
langsung, peneliti langsung ke lokasi untuk melihat situasi dan kondisi daerah penjualan kue bohong lalu
melakukan wawancara dengan narasumber secara tatap muka. Pengambilan potret gambar wilayah disana
sebagai pendukung kebenaran data penelitian.
BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH
1. Letak Wilayah
Kecamatan Lubuk Pakam merupakan Ibu kota Kabupaten Deli Serdang (BPS Kab Deli
Serdang, 2019) dengan luas Wilayah + 31,19 km² terdiri atas 7 Kelurahan, 6 Desa dan 105
Dusun/Lingkungan. Wilayah Kecamatan Lubuk Pakam merupakan Daerah Pantai dengan
ketinggian 0 s.d 8 meter dari permukaan Laut dan berbatas dengan:
Utara berbatas dengan Kecamatan Beringin
Timur berbatas dengan Kecamatan Pagar Merbau
Barat berbatas dengan Kecamatan Tanjung Morawa
Selatan berbatas dengan Kecamatan Pagar Merbau
Di Kecamatan Lubuk Pakam mengalir 2 sungai yang besar yaitu Sei Batu Gingging dan Sei
Kuala Namu. Jarak dari Kecamatan Lubuk Pakam ke Pusat Provinsi Sumatera Utara adalah 22
Km. Berdasarkan PP No. 7/1984 Pasal 1 dijelaskan bahwa Pusat Pemerintahan Kecamatan
Lubuk Pakam berkedudukan di Kelurahan Lubuk Pakam I-II.
Alamat : Jl. Tengku Raja Muda No.30, Petapahan, Kec. Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Ser
Camat : Kurnia Boloni Sinaga SSTP
Penduduk : 91.981 jiwa
Luas wilayah : 31,19 km²
Kordinat : 3⁰53’ - 3⁰86’ Lintang Utara dan 98⁰85’ - 98⁰89’ Bujur Timur
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Samosir

Misi merupakan rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi maka
ditetapkan misi pembangunan Kabupaten Samosir Tahun 2011-2015 adalah sebagai berikut:
1. Memantapkan Good Governance dengan dukungan SDM yang berkualitas serta prasarana dan sarana yang
memadai dan berstandart;
2. Mengembangkan ekonomi kerakyatan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dengan pengelolaan Sumber Daya
Alam (SDA) yang berkelanjutan dan terkendali;
3. Meningkatkan infrastruktur dan konservasi alam yang handal berdasarkan tata ruang yang mantap untuk
mendukung industri pariwisata berbasis lingkungan dan budaya;
4. Meningkatkan kondusifitas daerah dengan mendorong pelaksanaan demokrasi dan penegakan hukum;
5. Mengembangkan jejaring yang sinergis kepada semua pihak.
Strategi pembangunan merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Samosir Tahun
2011-2015 dalam rangka mewujudkan visi dan menjalankan misi. Strategi yang dikembangkan adalah hasil
pemikiran yang konseptual yang dianalisis dengan komprehensif untuk pencapaian tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan. Sedangkan arah kebijakan adalah suatu langkah yang ditetapkan untuk mencapai misi dan tujuan yang
merupakan penjabaran dari strategi yang ada. Strategi yang ditetapkan dalam perencanaan ini bersifat dinamis agar
dapat mengakomodir perkembangan seiring perkembangan waktu lima tahun ke depan dengan program yang fokus
dan terarah sekaligus dapat dijadikan sebagai umpan-balik yang konstruktif dalam penyusunan perencanaan
pembangunan pada masa-masa yang akan datang
2. Penduduk
Lubuk Pakam memiliki penduduk sekitar 80.847 jiwa pada tahun 2010, kemudian meningkat
menjadi 96.038 jiwa pada tahun 2017 dan 97.996 jiwa pada tahun 2018. Sehingga laju persentase
pertumbuhan penduduk dari 2010-2018 sebesar 2,41% dan untuk rentang 2017-2018 sebesar 2,04%.
Berdasarkan rasio jenis kelamin, jumlah penduduk 2018: pria (48.528 jiwa), wanita (49.468 jiwa), total
97.996 jiwa dengan rasio 98,10. Untuk distribusi masyarakat didapatkan hasil 3.142 jiwa dalam
kepadatan/km2. Diketahui bahwa jumlah penduduk produktif sekitar 66.581 jiwa. Jumlah rumah tangga
penduduk sekitar 22.477 jiwa dengan rata-rata anggota keluarga berjumlah 4 orang.
3.Topografi Wilayah

Kelurahan Tinggi Mdpl Kontur Tanah


Paluh Kemiri 7 Hamparan
Petapahan 7 Hamparan
Tanjung Garbus I 7 Hamparan
Pagar Merbau III 7 Hamparan
Cemara 8 Hamparan
Pasar Melintang 8 Hamparan
Pagar Jati 8 Hamparan
Syahmad 8 Hamparan
Lubuk Pakam III 7 Hamparan
Lubuk Pakam I/II 7 Hamparan
Lubuk Pakam Pekan 8 Hamparan
Bakaran Batu 7 Hamparan
Sekip 8 Hamparan
BAB V
PEMBAHASAN PENELITIAN

4.1 Hasil Penelitian


Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dalam penelitian kepustakaan, beberapa hal yang dapat dikaji, antara
lain:
Pedagang Kaki Lima adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha
bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan
milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.
Istilah PKL berawal dari digunakannya trotoar sebagai lokasi penjualan. Trotoar ini memiliki lebar 5 feet way. Kata 5
feet sering disalah artikan ke dalam bahasa Melayu yakni Kaki Lima karena penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam
Bahasa Melayu menggunakan hukum Diterangkan-Menerangkan.
Pedagang kaki lima merupakan salah satu jenis perdagangan dalam sektor informal, yakni operator usaha kecil yang
menjual makanan, barang dan atau jasa yang melibatkan ekonomi uang dan transaksi pasar, hal ini sering disebut
dengan sektor informal perkotaan.
Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998, banyak sekali kegiatan ekonomi yang bergerak di sektor formal
beralih ke sektor informal. Faktor utama beralihnya kegiatan ekonomi dari sektor formal ke sektor informal adalah sifat
dari sektor informal yang tidak memerlukan tingkat keterampilan yang tinggi, modal usaha yang besar, dan sarana
yang sederhana.
Pedagang Kaki Lima umunya menempati tempat-tempat yang senantiasa dipandang sebagai sebuah keuntungan,
misalnya pusat kota, tempat keramaian, hingga tempat-tempat yang berpotensi menjadi objek wisata. Dengan demikian
peran pedagang kaki lima dalam memenuhi kebutuhan masyarakat mendapat tempat yang cukup penting.
4.2 Pembahasan
Dari data BPS 2019, wilayah penjualan kue bohong terletak di Jl. Deli pada kelurahan Lubuk
Pakam I/II. Kelurahan ini memiliki luas sekitar 0,43 km2 atau sebesar 1,38% dari total wilayah
kec. Lubuk Pakam. Berdasarkan BPS 2019 dinyatakan jumlah penduduk kelurahan Lubuk Pakam
I/II tahun 2018 yaitu Total Penduduk (8.087 jiwa), Jumlah Penduduk Dewasa (5.484 jiwa), Jumlah
Penduduk (LK) (3.928 jiwa), Jumlah Penduduk (PR) (4.159 jiwa), Jumlah Kartu Keluarga
(1.774 KK).
Sesuai dengan judul penelitian, topik ini menjadi sorotan bagi peneliti untuk mengulik bagaimana
usaha penjualan kue bohong di kec. Lubuk Pakam. Dari pengamatan yang kami dapatkan,
sebanyak 176 orang yang bermata pencaharian sebagai pedagang atau usaha perdagangan. Dari
seluruh dagangan yang dijajakan, hanya narasumber kami saja yang berjualan kue bohong. Hal ini
membuat narasumber kami menjadi satu-satu penjual kue bohong terlaris dan digemari oleh
banyak masyarakat.
Usaha kue bohong dimulai dari tahun 1984 awal mulanya kue bohong masih menggunakan
gerobak yang menggunakan kendaraan sepeda hingga tahun 1995. Kue bohong sendiri dulu masih
menggunakan kompor yang berbahan bakar minyak tanah, untuk membuat api nya lebih deras
seperti menggunakan gas pemilik menngunakan alat pompa api supaya kue bohong dapat
berkembang sempurna. Kue bohong sendiri adalah kue khas masyarakat Tionghoa yang lebih
dikenal dengan sebutan ancimpyang. Hingga tahun 1990-an, kue bohong masih belum diterima
masyarakat yang berada di sekitar Lubuk Pakam dan pada tahun 1998 ketika terjadinya kerusuhan
yang melibatkan masyarakat Tionghoa, kue bohong sendiri semakin tidak diminati.
Namun, hingga saat ini kue bohong ini belum dapat membuka cabangnya dikarenakan proses
pembuatan adonannya dan sistematika cara memasaknya masih belum dapat dikuasai kalangan bebas
dengan mudahnya dikarenakan teknik pengadonannya termasuk kedalam kategori yang cukup
sulit,untuk cara memasak sendiri pun masih cukup sulit juga karena harus mengatur api dengan teliti
jika api terlalu besar membuat kue dapat mengembang tetapi keedalam kue tersebut belum tentu masak
demikian juga jika api terlalu kecil kue tidak akan mengembang dan akan berminyak itu yang
mengakibatkan kue bohong yang berada di Lubuk Pakam sulit berkembang.
Berdasarkan wawancara dengan penjual kue bohong, Rian Fitrian Taruna (23 tahun), selama ini
penjualan kue bohong berjalan baik dan memiliki banyak peminat. Kondisi ini juga didukung oleh
peluang yang besar karena hanya responden kami saja yang berjualan kue bohong di daerah tersebut.
Untuk mengenai masalah yang dihadapi lebih ke masalah umum yang ditemukan hampir seluruh
pedagang kaki lima. Salah satu masalah adalah adanya pemalak atau preman yang selalu minta
pungutan liar (pungli) dengan berkedok ‘uang keamanan’. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan niat
responden untuk tetap berjualan. Dengan adanya peraturan pemerintah, aksi pungli ini sudah tidak ada
lagi.
Selain itu, kendala yang ditemukan adalah keterbatasan sarana dan prasarana sebagai pendukung
usaha karena posisi usaha berada di trotoar yang membuat penjual hanya menggunakan terpal untuk
menjadi atap dari tempat jualan tersebut. Hal ini dapat menjadi masalah khususnya ketika musim hujan
dan musim pancaroba datang. Walaupun begitu, responden tetap gigih berjualan dan selalu ada ide-ide
cemerlang untuk setiap masalah yang ada.
5.1 Kesimpulan

Pedagang Kaki Lima adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan
sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas
umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.
Istilah ini karena disangkut-pautkan dengan ukuran trotoar sekitar 5 kaki. Dan karena krisis ekonomi
1998, banyak orang beralih profesi sebagai pedagang kaki lima.
Dari analisis penelitian ini, peneliti menemukan bahwa usaha penjualan kue bohong dimulai dari tahun
1984. Kue bohong sendiri dulu masih menggunakan kompor yang berbahan bakar minyak tanah. Pada
tahun 1990-an, kue bohong masih belum diterima masyarakat yang berada di sekitar Lubuk Pakam dan
diperparah oleh terjadinya kerusuhan yang melibatkan masyarakat Tionghoa pada 1998. Namun, tahun
2000-an masyarakat yang berada di Lubuk Pakam mulai membeli dan menyukai kue bohong hingga
saat ini.
Berdasarkan wawancara dengan penjual kue bohong, Rian Fitrian Taruna (23 tahun), selama ini
penjualan kue bohong berjalan baik dan memiliki banyak peminat. Kondisi ini juga didukung oleh
peluang yang besar karena hanya responden kami saja yang berjualan kue bohong di daerah tersebut.
Untuk mengenai masalah yang dihadapi lebih ke masalah umum yang ditemukan hampir seluruh
pedagang kaki lima. Tetapi hal tersebut tidak menyurutkan niat responden untuk tetap berjualan.
Responden tetap gigih berjualan dan selalu ada ide-ide cemerlang untuk setiap masalah yang ada.
d.Penerapan Teori Sentralitas
Analisis Skalogram
Analisis skalogram merupakan salah satu alat untuk mengidentifikasi pusat pertumbuhan wilayah kecamatan
berdasarkan fasilitas yang dimilikinya, dengan demikian dapat ditentukan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan
aktivitas pelayanan suatu wilayah. Wilayah dengan fasilitas yang lebih lengkap merupakan pusat pelayanan,
sedangkan wilayah dengan fasilitas yang kurang akan menjadi daerah kecamatan belakang (hinterland). Metode yang
digunakan dalam perhitungan skalogram ini adalah metode Guttzman.
Analisis Skalogram merupakan suatu alat analisis yang digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam
rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Semakin tinggi perkembangan suatu wilayah berarti wilayah
tersebut semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya. Pelayanan yang dimaksud dalam hal ini
adalah
ketersediaan fasilitas-fasilitas yang ada didaerah itu seperti fasilitas yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi,
aktivitas sosial dan pemerintahan. Dengan analisis skalogram dapat ditentukan daerah ataupun kecamatan yang dapat
dijadikan sebagai pusat pertumbuhan. Kecamatan yang memiliki kelengkapan fasilitas tertinggi dapat ditentukan
sebagai pusat
pertumbuhan. (Rodinelli dalam Ermawati, 2010:47).
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai