Anda di halaman 1dari 30

TUGAS EMG-2 DESEMBER 2021

MANAGEMENT OF
JUVENILE
MYASTHENIA
GRAVIS
dr. Rahmi A. Gafur
C155191006
Pembimbing :
Dr. dr. Yudy Goysal,Sp.S(K)
 
OUTLINE
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
PATOFISIOLOGI
MANIFESTASI KLINIS
DIAGNOSIS
TATALAKSANA
STUDI KASUS
KESIMPULAN

2
2
DEFINISI

MYASTHENIA GRAVIS JUVENILE MYASTHENIA GRAVIS


Suatu penyakit gangguan transmisi Myasthenia gravis pada anak di bawah usia
neuromuskuler, yang diakibatkan oleh adanya
18 tahun.
antibodi pada komponen end plate otot dan
menyebabkan gangguan transmisi sinaps.

01 02

3
EPIDEMIOLOGI INGGRIS

101 anak (<18 tahun) memiliki


antibodi JMG positif (dengan
antibodi 95% AChR dan 5% MuSK),
setara dengan tingkat insidens
NORWEGIA 1,5/juta orang tahun

Pada 43 kasus :
tingkat insiden
1,6/juta orang per
tahun, Tingkat
insiden lebih rendah
pada anak-anak pra-
CINA AMERIKA
pubertas (<12 SERIKAT
tahun), sebesar Insiden 1,2/juta orang-tahun
0,9/juta orang-tahun
45% kasus memiliki onset pada
masa anak-anak (<14 tahun) . Di
Taiwan, insiden tertinggi berada di
antara kelompok usia 0-4 tahun
dengan 8,9/juta kasus, kemudian
turun menjadi 3,7/juta pada
kelompok usia 10-14 tahun 4
PATOFISIOLOGI
PATOFISIOLOGI

6
MANIFESTASI
KLINIS
01
KELEMAHAN EXTREMITAS
GANGGUAN OKULER
PTOSIS, DIPLOPIA, OPTHALMOPLEGIA
02

03
MIOKIMIA DAN FASIKULASI

KETERLIBATAN BULBAR DAN 04


RESPIRATORIK
DISARTRIA, DISFAGIA, SESAK NEFAS

Gejala dapat berfluktuasi di sepanjang hari, tetapi biasanya membaik di pagi


hari atau setelah beristirahat 7
MYASTHENIA NEONATUS
Diakibatkan oleh transfer pasif antibodi in utero dan telah dilaporkan pada
10-20% anak yang lahir dari ibu dengan MG .

GAMBARAN KLINIS ONSET MIOPATI PERSISTEN


hipotonia generalisata, tangisan Gejala dapat sembuh sendiri, dan Dikarenakan rusaknya atau
lemah, mengisap buruk, ptosis, dan biasanya muncul 48 jam setelah lahir inaktivasi AChR pada saat kritis
dalam kasus yang jarang, insufisiensi dan kemudian sembuh dalam beberapa selama perkembangan janin dan
pernapasan yang memerlukan minggu hingga bulan. telah disebut sebagai fetal AChR
ventilasi inactivation syndrome (FARIS).

8
DIAGNOSIS GAMBARAN KLINIS
Okular maupun generalisata

TES EDROFONIUM
Tes ini dapat diberikan melalui
intravena sebagai tes diagnostik
untuk JMG, di mana akan tampak
perbaikan gejala sementara.

SEROLOGI
- Autoantibodi yang menargetkan
AChR : radioimmunoprecipitation
NEUROFISIOLOGI
assay (RAI) atau teknik ELISA
- Repetitive nerve stimulation (RNS) dan - Pengujian antibodi MuSK
single-fiber electromyography (SFEMG)
- Stimulated potential analysis using
concentric needle electrodes (SPACE)
9
TATALAKSANA
TERAPI
IMUNOSUPRESIF TERAPI POTENSIAL
LAIN
TERAPI
SUPORTIF
1 3 5

2 4

TERAPI SIMPTOMATIK TIMEKTOMI


TATALAKSANA
KRISIS
MYASTHENIA
10
TERAPI SUPORTIF
HARUS DIMULAI SEJAK DINI UNTUK MENINGKATKAN LUARAN FISIK MAUPUN
PSIKOLOGIS

DIET & POLA


GAYA HIDUP

PENUNDAAN
KOMUNIKASI
VAKSINASI

HINDARI OBAT-
MANAJEMEN
OBAT YANG
OPHTALMOLOGI
MEMPERBURUK
& PSIKOLOGI
KONDISI
11
TERAPI
SUPORTIF
(Lanjutan)

12
TERAPI
SIMPTOMATIK
- Inhibitor kolinesterase (ChE-I) digunakan sebagai lini pertama terapi
simptomatik pada JMG.
- Piridostigmin : ChE-I non-selektif dan paling banyak digunakan.
- Dimulai dengan dosis 0,5-1 mg/kg, diminum 3-4 kali sehari, dan dapat
ditingkatkan hingga 1,5 mg/kg 5 kali sehari (maksimal 450 mg/hari).
- Efek samping berhubungan dengan stimulasi kolinergik berlebihan, dan
mencakup kram perut, diare, hipersalivasi, berkeringat, penglihatan kabur,
bradikardia, hipotensi, dan bronkokonstriksi

13
TERAPI IMUNOSUPRESIF
LINI PERTAMA LINI KEDUA IVIG PLEX

- Prednisolon digunakan - Azatioprin : Dosis dimulai dari 1 - Terbukti efektif sebagai - Mekanisme kerja utama Plasma
sebagai terapi imunosupresif mg/kg satu kali atau dua kali terapi rumatan, Exchange (PLEX) adalah
lini pertama.
sehari dan dapat ditingkatkan 0,5 - Dosis tipikal yang digunakan pembuangan autoantibodi
- Dosis awal yang
mg/kg setiap 2-4 minggu menjadi adalah 1 g/kg secara patogen dari sirkulasi aliran darah.
direkomendasikan adalah 0,5 2,5 mg/kg/hari - Indikasi penggunaannya serupa
mg/kg setiap hari intravena dan diulang
- Mikofenolat mofetil dengan IVIG, terutama dalam
- Dosis harus ditingkatkan secara selama 2 hari.
- Takrolimus - Dosis rumatan secara menangani eksaserbasi dan
bertahap, tunggu respon, - Rituximab
umum adalah 1 g/kg yang menginduksi stabilitas pra-operasi
kemudian naikkan hingga - Siklosporin - Terapi tipikal biasanya
maksimal 1,5 mg/kg (maksimal: diulang dengan interval 4-6
- Metotreksat membutuhkan 3-5 pertukaran
100 mg) atau 1 mg/kg/hari minggu, tetapi dosis ini
- Siklofosfamid selang-seling dan seringkali
(maksimal: 60 mg). akan tergantung pada
respons pasien. membutuhkan kateter vena sentral

14
TIMEKTOMI
Timoma indikasi mutlak untuk timektomi, tetapi perannya dalam MG non-timoma
tergantung pada status antibodi, usia dan durasi penyakit, serta subtipe MG

Perlu dipertimbangkan pada semua pasien JMG generalisata yang AChR-nya


positif.

Tidak ada indikasi timektomi pada MuSK-JMG dan perannya


dalam kasus seronegatif tidak jelas.

15
TERAPI POTENSIAL
3,4-DIAMINOPIRIDIN
LAIN ECULIZUMAB
(3,4-DAP)  Antibodi monoklonal
 Potassium channel blocker manusia yang menargetkan
non-spesifik yang dependen komplemen protein C5 dan
terhadap tegangan (Kv1.5), menghambat kerusakan
sehingga menyebabkan terminal melalui mediasi
depolarisasi membran pre– komplemen pada
sinaps di NMJ dan menunda neuromuscular junction.
repolarisasi saraf, dan
kemudian meningkatkan  Digunakan pada orang
pelepasan ACh. dewasa dengan MG
 efek samping terkait generalisata AChR-Ab
pengobatan adalah parestesia positif refrakter,
sementara,

16
TATALAKSANA
KRISIS
MYASTHENIA
ATASI TANDA GAGAL INDENTIFIKASI
PEMICU POTENSIAL
OBAT-OBATAN IVIG/PLEX
NAFAS

Pada fase awal gagal napas, 1) Infeksi 1) Inhibitor kolinesterase 1) Baik PLEX maupun IVIG
ventilasi non-invasif dapat 2) Penggunaan obat- dapat diberikan selama dapat digunakan secara
menjadi pilihan, tetapi obatan ventilasi terpasang akut
intubasi endotrakeal 3) Penyesuaian dosis 2) steroid dapat dimulai 2) PLEX lebih dipilih karena
mungkin akan diperlukan terbaru dengan dosis tertinggi onset kerjanya yang
bila terdapat infeksi dan 4) Kepatuhan terapi cepat.
atelektasis .

17
PERTIMBANGAN
TATALAKSANA PADA
PIRIDOSTIGMIN
PEREMPUAN USIA SUBUR Piridostigmin tidak melewati plasenta dan tidak
dikaitkan dengan malformasi janin dan dapat
01 dilanjutkan selama masa kehamilan

IMUNOSUPRESAN
02 Penggunaan prednisolon, azatioprin dan
siklosporin juga dianggap aman selama
kehamilan

03
TERAPI LAINNYA
mikofenolat dan metotreksat harus dihindari.
18
ALGORITMA TERAPI FARMAKOLOGI

19
STUDI
KASUS

20
STUDI KASUS
1 Seorang gadis Afro–Karibia berusia 2 tahun dirujuk ke oftalmologis pediatrik dengan ptosis
unilateral 30% saat istirahat. Orang tua melaporkan gejala tersebut telah muncul selama 3
bulan dan bervariasi dari hari ke hari. Terdapat bukti kelelahan saat lama memandang ke
atas tetapi gerakan mata masih baik. Anak tidak dapat mentolerir tes elektrodiagnostik
tetapi AChR-Ab positif. Piridostigmin mulai diberikan dan tampak respon simptomatik yang
baik. Anak diperiksa oleh dokter mata 6 bulan kemudian dan hasil pemeriksaan matanya
normal. Orang tua masih melaporkan ptosis intermiten, terutama ketika anak lelah dan
terkadang mata kirinya mengalami “drifted out”. Karena hasil pemeriksaan normal, maka
diputuskan untuk menghentikan piridostigmin, namun, setelah penghentian, anak
mengalami perburukan gejala akut dengan penglihatan ganda onset baru dan ptosis
bilateral. Pada keadaan ini, anak diberikan prednisolon 20 mg setiap hari, yang dihentikan
setelah 3 bulan karena merasa membaik. Setelah lepas dari steroid, gejalanya kembali
dengan cepat. Anak akhirnya dirujuk ke layanan neurologi pediatrik dan pada pemeriksaan
didapatkan karakteristik MG generalisata dengan kesulitan bangkit dari lantai dan
mengangkat lengan di atas kepalanya.
21
KOMENTAR STUDI KASUS 1

Kasus ini menyoroti sejumlah masalah dalam penanganan JMG:


pentingnya untuk tidak segera menghentikan pengobatan terlalu cepat,
terutama ketika ada riwayat perbaikan penyakit; diperlukannya steroid
yang adekuat dan penurunan dosis secara bertahap sebelum dihentikan;
diperlukannya gabungan tim neurologi dan oftalmologi pada tanda-tanda
kecil dari tipe generalisata yang mungkin telah terlewatkan pada penilaian
awal; dan pasien JMG tipe okuler berisiko besar berubah menjadi
generalisata dalam 2 tahun pertama dan memerlukan tinjauan rutin.

22
STUDI KASUS
2 Seorang gadis Kaukasia berusia 13 tahun dirujuk ke layanan neurologi karena bicara cadel,
kelemahan generalisata dan kelelahan, yang memburuk selama 6 minggu terakhir. Anak
sekarang terengah-engah dengan aktivitas ringan. Pemeriksaan menunjukkan ptosis
bilateral ringan, gerakan mata normal, disartria (tidak dapat menghitung dengan keras
sampai 10), dan kelemahan fleksi leher dan abduksi bahu. Gejala dan pemeriksaan
konsisten dengan MG generalisata dan tingkat keparahannya menimbulkan kekhawatiran
akan krisis miastenia. Anak dirawat di bangsal neurologi dan akan diperiksa pula oleh
anestesi. PLEX dan piridostigmin dan steroid oral diberikan secara bersamaan. Respons
simptomatik baik terhadap pengobatan dan anak dipulangkan dengan steroid oral kerja
lambat, yang diturunkan 10 mg setiap bulan menjadi rumatan awal 20 mg selang seling.
Pemeriksaan selanjutnya menunjukkan AChR-Ab positif, dimana neurofisiologinya
konsisten dengan gangguan neuromuscular junction dan CT thorax dilaporkan tidak
menunjukkan bukti timoma.

23
STUDI KASUS 2 (Lanjutan)

Relaps pertamanya terjadi ketika prednisolon diturunkan menjadi 30 mg selang seling,


sehingga dosis perlu kembali ditingkatkan. Beberapa efek samping yang dialami adalah
penambahan berat badan dan mood yang buruk. Azatioprin diputuskan untuk diberikan
sebagai agen steroid-sparing. Kadar TPMT-nya normal. Saat dosis dititrasi, fungsi hati
menjadi terganggu dan mengakibatkan penghentian obat. Anak mengalami gejala
signifikan lain sehingga membutuhkan siklus PLEX lebih lanjut dan steroidnya kembali
meningkat. Pada titik ini, anak telah terdiagnosis selama 12 bulan, namun dosis steroid
yang masih tinggi untuk menginduksi remisi menyebabkan efek samping tidak dapat
ditoleransi, sehingga menjadi depresi dan menarik diri. Akhirnya, anak dirujuk untuk
timektomi dan PLEX intermiten tetap dilanjutkan sampai sebelum operasi.

24
KOMENTAR STUDI KASUS 2

Ini adalah kasus yang menantang. Meskipun tidak refrakter terhadap


pengobatan, namun pasien dependen steroid dan tidak toleran terhadap
imunosupresan lini pertama. Kami mempertimbangkan penambahan
mikofenolat pada saat itu, tetapi khawatir akan teratogenisitasnya karena
dia berada dalam usia subur. Anak merespon baik PLEX dan mengingat
bahwa AChR-Ab positif dengan tipe generalisata, maka kami merasa
timektomi adalah langkah selanjutnya yang tepat dalam tatalaksana ini

25
STUDI KASUS
3 Seorang anak laki-laki Kaukasia berusia 8 tahun datang dengan kelemahan umum akut,
sesak napas pada aktivitas ringan, disartria dan kesulitan menelan dengan regurgitasi
cairan pada hidung. Gejalanya telah berkembang pesat dalam beberapa minggu. Gejala
secara klinis konsisten dengan MG. Anak dirawat di bangsal pediatrik dan diperiksa oleh
anestesi. Anak diawasi dengan ketat tetapi diambil keputusan untuk menunda ventilasi
invasif. ChE-I, prednisolon oral dan IVIG kemudian mulai diberikan. Tampak kemajuan yang
baik, sehingga anak dipulangkan ke rumah dengan rencana untuk melanjutkan IVIG dalam
4 minggu di rumah sakit setempat karena beratnya gejala awal, dan memberikan jeda
waktu untuk steroid menimbulkan efek. Anak kembali datang di klinik 12 bulan kemudian
dan telah menggunakan steroid maksimal. Dia juga menerima infus IVIG 4 minggu di
rumah sakit setempat. Anak maupun orang tuanya melaporkan respons drastis terhadap
IVIG, tetapi efeknya menghilang setelah sekitar 3 minggu dan gejalanya terutama untuk
kelelahan, menjadi "seburuk sebelumnya”. Pada pemeriksaan tidak didapatkan
kelemahan.
26
STUDI KASUS 3 (Lanjutan)

Sebelum terdiagnosis, pasien merupakan anak yang ramah dan sangat suka berolahraga.
Orang tuanya sekarang melaporkan anak menolak pergi ke sekolah hampir setiap hari
dan tidak lagi terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler apa pun. Mereka merasa hal sekecil
apa pun bisa membuatnya menangis. Maka diambil keputusan untuk melakukan
penilaian neurologis pada saat pemberian infus berikutnya. Kekuatan anak tercatat
normal di bangsal dan pada saat ditanya, anak terus mengatakan bahwa dia sering
mengingat dirinya ketika dirawat inap dan merasa bahwa "satu-satunya alasan dia tidak
mati adalah karena tetesan protein khusus”. Pasien mengalami gangguan stres pasca-
trauma, sehingga kami memberikan dukungan psikologis yang tepat. IVIG tetap
dipertahankan dan tampak perbaikan bertahap pada anak.

27
KOMENTAR STUDI KASUS 3

Kasus ini menyoroti pentingnya tim multidisiplin dalam mengelola pasien


muda dengan JMG. Masalah psikologis perlu ditangani lebih awal dan
mempersiapkan dukungan yang diperlukan. Tidak jarang bagi pasien muda
untuk lebih sering melaporkan kelelahan daripada kelemahan otot, yang
seringkali merupakan manifestasi gangguan mood dan bukan karena MG
mereka. Penilaian cermat perlu dilakukan pada semua pasien sebelum
menggunakan IVIG untuk memastikan bahwa IVIG digunakan dalam situasi
yang tepat.

28
KESIMPULAN
1 JMG perlu ditangani oleh tim multidisiplin.

2 Terapi suportif harus dimulai sejak dini untuk meningkatkan luaran


fisik maupun psikologis.

3 Terapi simtomatik lini pertama adalah dengan ChE-I,

Kortikosteroid digunakan sebagai terapi imunosupresan


4 lini pertama. Terapi lini kedua adalah azatioprin atau
mikofenolat

Meskipun IVIG dan PLEX dapat digunakan sebagai


5 terapi rumatan, keduanya biasanya diberikan sebagai
terapi eksaserbasi akut

6 Timoma merupakan indikasi mutlak timektomi dan


perlu dipertimbangkan pada semua pasien JMG
generalisata yang AChR-nya positif
29
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai