Anda di halaman 1dari 41

PENGKAJIAN PADA PASIEN GAWAT

DARURAT CIRCULATION AIRWAY


BREATHING (CAB)
SISTEM CAB
(CIRCULATION, AIRWAY, BREATHING)
A. Memeriksa keadaan pasien, respon pasien,
termasuk mengkaji ada / tidak adanya nafas
secara visual tanpa teknik Look Listen and
Feel.
B. Melakukan panggilan darurat.
1. Circulation :
 Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut
nadi maka dilanjutkan dengan memberikan bantuan
pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan denyut nadi, maka
dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada.
 Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan
untuk memeriksa denyut nadi korban.
 Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik.

 Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah


bawah sternum). Penentuan lokasi ini dapat dilakukan
dengan cara tumit dari tangan yang pertama diletakkan di
atas sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan di
atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari
tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu penolong
melakukan tiupan nafas agar tidak menekan dada.
 Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau
berdiri disamping korban jika korban berada di tempat tidur
 Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus (30
kompresi, sekitar 18 detik)
 Kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100
kompresi/menit. Kedalaman kompresi untuk dewasa
minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan untuk bayi minimal
sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar
1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm).
2. Airway.
 Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang
maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Caranya
dengan meletakkan satu tangan pada dahi korban, lalu
mendorong dahi korban ke belakang agar kepala menengadah
dan mulut sedikit terbuka (Head Tilt) Pertolongan ini dapat
ditambah dengan mengangkat dagu (Chin Lift).
 Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka
bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust yaitu dengan
mengangkat dagu sehingga deretan gigi Rahang Bawah berada
lebih ke depan daripada deretan gigi Rahang Atas.
3. Breathing.
       

Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan


jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada
korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat.
Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut :
 Pastikan hidung korban terpencet rapat
 Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)
 Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
 Berikan satu ventilasi tiap satu detik
 Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas
kedua selama satu detik.
 Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut
korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban.
 Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask
dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang
memenuhi volume tidal sekitar 600 ml.
 Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan
frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi
dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
 Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan
bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar
10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit.
 Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2,
setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan terus menerus
dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8 detik/kali.
4.  RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis
datang, pasien bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus
terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak
memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat
defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.
5.  Alat Defibrilasi Otomatis.
Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat
tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan
program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme
tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya lakukan
terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2
menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak
dapat diterapi kejut lanjutkan RJP selama 2 menit dan
periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut
hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support )
datang, atau korban mulai bergerak.
PERBEDAAN LANGKAH-LANGKAH BLS
SISTEM ABC DENGAN CAB
No ABC CAB
1 Memeriksa respon pasien Memeriksa respon pasien termasuk
ada/tidaknya nafas secara visual.
2 Melakukan panggilan darurat Melakukan panggilan darurat
dan mengambil AED
3 Airway (Head Tilt, Chin Lift) Circulation (Kompresi dada
dilakukan sebanyak satu siklus 30
kompresi, sekitar 18 detik)
4 Breathing (Look, Listen, Feel, Airway (Head Tilt, Chin Lift)
dilanjutkan memberi 2x
ventilasi dalam-dalam)
5 Circulation (Kompresi jantung Breathing ( memberikan ventilasi
+ nafas buatan (30 : 2)) sebanyak 2 kali, Kompresi jantung +
nafas buatan (30 : 2))
6 Defribilasi
ALASAN UNTUK PERUBAHAN SISTEM
ABC MENJADI CAB
 Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka
keberhasilan kelangsungan hidup tertinggi dari pasien segala
umur yang dilaporkan adalah henti jantung dan ritme Ventricular
Fibrilation (VF) atau pulseless Ventrivular Tachycardia (VT).
Pada pasien tersebut elemen RJP yang paling penting adalah
kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi otomatis
segera (early defibrillation).
 Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali
tertunda karena proses pembukaan jalan nafas (airway) untuk
memberikan ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat
pemisah atau alat pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah
menjadi C-A-B maka kompresi dada akan dilakukan lebih awal
dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus kompresi dada (30
kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18 detik).
 Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung
mendapatkan RJP dari orang sekitarnya. Ada banyak
kemungkinan penyebab hal ini namun salah satu yang
menjadi alasan adalah dalam algoritma A-B-C,
pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut
dalam Airway adalah prosedur yang kebanyakan
ditemukan paling sulit bagi orang awam.
 Memulai dengan kompresi dada diharapkan dapat
menyederhanakan prosedur sehingga semakin banyak
korban yang bisa mendapatkan RJP. Untuk orang yang
enggan melakukan ventilasi mulut ke mulut setidaknya
dapat melakukan kompresi dada.
PENGGUNAAN SISTEM ABC SAAT INI :
1.  Pada korban tenggelam atau henti nafas maka
petugas sebaiknya melakukan RJP konvensional (A-B-
C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum
mengaktivasi sistem respon darurat.
2. Pada bayi baru lahir, penyebab arrest kebanyakan adalah
pada sistem pernafasan maka RJP sebaiknya dilakukan
dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab jantung
yang diketahui.
SURVEI PRIMER (PRIMERY SURVEY)

 Primary survey menyediakan evaluasi yang


sistematis, pendeteksian dan manajemen segera
terhadap komplikasi akibat trauma parah yang
mengancam kehidupan.
 Tujuan dari Primary survey adalah untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki dengan
segera masalah yang mengancam kehidupan.
Prioritas yang dilakukan pada primary survey
antara lain (Fulde, 2009) :
 Airway maintenance dengan cervical spine
protection
 Breathing dan oxygenation

 Circulation dan kontrol perdarahan eksternal

 Disability-pemeriksaan neurologis singkat

 Exposure dengan kontrol lingkungan

Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey


bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan
langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah
sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan
tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan
peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya
menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka
(American College of Surgeons, 1997).
 Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan,
antara lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) :
General Impressions
 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara
umum.
 Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera

 Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat,


orang)
Pengkajian Airway
 Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah
memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien
berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan
jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan
jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011).
 Pasienyang tidak sadar mungkin memerlukan
bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang
leher harus dilindungi selama intubasi
endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada
kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas
paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah
pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson &
Skinner, 2000).
YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM
PENGKAJIAN AIRWAY PADA PASIEN ANTARA LAIN :

1. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat


berbicara atau bernafas dengan bebas?
 Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:

 Adanya snoring atau gurgling

 Stridor atau suara napas tidak normal

 Agitasi (hipoksia)

 Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements

 Sianosis

2. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas


bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
 Muntahan

 Perdarahan

 Gigi lepas atau hilang

 Gigi palsu

 Trauma wajah
3. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan
nafas pasien terbuka.
 Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu
pada pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang
belakang.
 Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan
nafas pasien sesuai indikasi :
 Chin lift/jaw thrust

 Lakukan suction (jika tersedia)

 Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway,


Laryngeal Mask Airway
 Lakukan intubasi
Pengkajian Breathing (Pernafasan)
 Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai
kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada
pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai,
maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan
adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury
dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada
pasien antara lain :
1. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap
ventilasi dan oksigenasi pasien.
 Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury,
flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
 Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
 Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.

2. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding


dada pasien jika perlu.
 Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih
lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
3. Penilaian kembali status mental pasien.
4. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
5. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak
adekuat dan / atau oksigenasi:
 Pemberian terapi oksigen

 Bag-Valve Masker

 Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi


penempatan yang benar), jika diindikasikan
 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedures
6. Kaji adanya masalah pernapasan yang
mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai
kebutuhan.
Pengkajian Circulation
 Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling
umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan
klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat,
ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan
produksi urin.
 Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah
terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk
melakukan upaya menghentikan pendarahan.
 Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera
adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac,
spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang
nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara
memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner,
2000)..
Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan
skala AVPU :
 A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya
mematuhi perintah yang diberikan
 V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan
suara yang tidak bisa dimengerti
 P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat
tungkai jika ekstremitas awal yang digunakan untuk
mengkaji gagal untuk merespon)
 U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik
stimulus nyeri maupun stimulus verbal.
Expose, Examine dan Evaluate
 Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera
pada pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher
atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk
dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan
pemeriksaan pada punggung pasien.
 Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan
pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama
pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah
selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat
dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan
pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
 Dalam situasi yang diduga telah terjadi
mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka
Rapid Trauma Assessment harus segera
dilakukan:
 Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan
ekstremitas pada pasien
 Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat
mengancam nyawa pasien luka dan mulai
melakukan transportasi pada pasien yang
berpotensi tidak stabil atau kritis.
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)
SURVEI SEKUNDER (SECONDARY ASSESSMENT)

 Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara


lengkap yang dilakukan secara head to toe, dari
depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil,
dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-
tanda syok telah mulai membaik.
1. Anamnesis
 Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari
anamnesis riwayat pasien yang merupakan bagian
penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien
meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan
sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial,
dan sistem. (Emergency Nursing Association,
2007).
 Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus
diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan
dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi
pasien yang terganggu, konsultasikan dengan
anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang
pertama kali melihat kejadian.
 Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan
memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin
diderita. Beberapa contoh:
 Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk
pengaman: cedera wajah, maksilo-fasial, servikal.
Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
 Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-
kranial, fraktur servikal atau vertebra lain, fraktur
ekstremitas.
 Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi,
keracunan CO.
 Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang
bisa didapat dari pasien dan keluarga (Emergency
Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan,
plester, makanan)
M: Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti
sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti
penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-
obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
Setelah dilakukan anamnesis, maka
langkah berikutnya adalah
pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda
tanda vital meliputi suhu, nadi,
frekuensi nafas, saturasi oksigen,
tekanan darah, berat badan, dan skala
nyeri.
BERIKUT INI ADALAH RINGKASAN TANDA-TANDA VITAL
UNTUK PASIEN DEWASA MENURUT EMERGENCY NURSES
ASSOCIATION,(2007).
Kompone Nilai Keterangan
n normal
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral, aksila, dan
rectal. Untuk mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri pulmonal,
kateter urin, esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial dengan
pengukur suhu. Suhu dipengaruhi oleh
aktivitas, pengaruh lingkungan,
kondisi penyakit, infeksi dan injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi perlu
dievaluais irama jantung, frekuensi,
kualitas dan kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi meliputi
frekuensi, auskultasi suara nafas, dan
inspeksi dari usaha bernafas. Tada dari
peningkatan usah abernafas adalah
adanya pernafasan cuping hidung,
retraksi interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor melalui
oksimetri nadi, dan hal ini penting
bagi pasien dengan gangguan
respirasi, penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda vital yang
Tekanan 120/80mmH Tekana darah mewakili dari
darah g gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer. Tekanan
sistolik menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu
dipompakan. Tekanan
diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.

Berat badan Berat badan penting diketahui


di UGD karena berhubungan
dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi lain
yang tergantung dengan berat
badan.
2. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kulit Kepala
2. Wajah
 Mata

 Hidung

 Telinga

 Rahang atas

 Rahang bawah

 Mulut dan faring

3. Vertebra servikalis dan leher


4. Toraks
 Inspeksi

 Palpasi

 Perkusi

 Auskultasi
5. Abdomen
 Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis,
misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan
kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita
tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan
nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian
depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul
dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen,
asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda
tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma.
 Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala
mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu
memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya
dengan transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan
(Tim YAGD 118, 2010).
6. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
 Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan
fisik (pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini
kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok,
yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/
gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim
YAGD 118, 2010).
7.Ektremitas
 Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat
inspeksi, jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat
daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa
untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat
menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma
kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas
meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin
luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran
atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010).
8. Bagian punggung
 Memeriksa punggung dilakukan dilakukan
dengan log roll, memiringkan penderita dengan
tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini
dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim
YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan,
lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi,
dan edema serta nyeri, begitu pula pada
kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
9. Neurologis
 Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan
tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan
motorik dan sendorik. Peubahan dalam status neirologis
dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis
dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau
saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long
spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan
samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang
sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas
kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih
dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa
seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi.
3. FOCUSED ASSESSMENT

 Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah


tahap pengkajian pada area keperawatan gawat darurat
yang dilakukan setelah primary survey, secondary
survey, anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan
subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head to toe).
 Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan
focused assessment ini dalam pelayanan di Emergency
Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA
dan beberapa Negara Eropa tidak menggunakan istilah
Focused Assessment tetapi dengan istilah Definitive
Assessment (O’keefe et.al, 1998).
4. REASSESSMENT

 Beberapa komponen yang perlu untuk


dilakukan pengkajian kembali
(reassessment) yang penting untuk
melengkapi primary survey pada pasien
di gawat darurat adalah :
Komponen Pertimbangan
Pastikan bahwa peralatan airway : Oro Pharyngeal
Airway Airway, Laryngeal Mask Airway , maupun Endotracheal
Tube (salah satu dari peralatan airway) tetap efektif untuk
menjamin kelancaran jalan napas. Pertimbangkan
penggunaaan peralatan dengan manfaat yang optimal
dengan risiko yang minimal.
Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan pasien :
Breathing  Pemeriksaan definitive rongga dada dengan rontgen
foto thoraks, untuk meyakinkan ada tidaknya
masalah seperti Tension pneumothoraks,
hematotoraks atau trauma thoraks yang lain yang
bisa mengakibatkan oksigenasi tidak adekuat
 Penggunaan ventilator mekanik
Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin perfusi
Circulation jaringan khususnya organ vital tetap terjaga, hemodinamik
tetap termonitor serta menjamin tidak terjadi over hidrasi
pada saat penanganan resusitasicairan.
 Pemasangan cateter vena central
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Balance cairan
 Pemasangan kateter urin
Setelah pemeriksaan GCS pada primary survey, perlu
Disability didukung dengan :
 Pemeriksaan spesifik neurologic yang lain seperti
reflex patologis, deficit neurologi, pemeriksaan
persepsi sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
 CT scan kepala, atau MRI
Konfirmasi hasil data primary survey dengan
Exposure  Rontgen foto pada daerah yang mungkin dicurigai trauma
atau fraktur
 USG abdomen atau pelvis
5. Pemeriksaan Diagnostik
 Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah
ventilasi dan hemodinamika penderita dalam
keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil,
2006). Dalam melakukan secondary survey,
mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik
yang lebih spesifik seperti :
 Endoskopi
 Bronkoskopi
 Ct-scan
 USG
 Radiologi
 MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Anda mungkin juga menyukai