Anda di halaman 1dari 20

Aplikasi PCR dalam Diagnostik

DR DEDY NUGROHO,MARS,PHD
Aplikasi Dalam Menegakkan Diagnosis
Penyakit Infeksi
 PCR mempunyai beberapa keunggulan untuk deteksi patogen
penyebab infeksi.
 Teknik ini sangat bermanfaat untuk patogen yang tidak bisa atau
sulit dibiakan secara in vitro, patogen yang mempunyai inkubasi
lama dan jika patogen itu tidak dapat diperoleh dalam jumlah yang
cukup banyak.
 Teknik ini dapat digunakan untuk mendeteksi berbagai agen
penyebab infeksi seperti virus, bakteri, jamur maupun parasit.
 Di samping keunggulannya, teknik PCR memiliki kelemahan yaitu
tidak dapat membedakan apakah patogen masih hidup atau sudah
mati.
Human Papilloma Virus (HPV)
 Virus Papilloma pada genital manusia adalah suatu kelompok virus
yang menyebabkan beberapa penyakit dan kanker.
 Mengingat arti penting virus ini, maka deteksi dan penentuan tipe
(typing) virus papilloma pada jaringan yang normal maupun sehat
perlu dilakukan untuk mengetahui peranan virus ini dalam
perkembangan kanker maupun ketidaknormalan pertumbuhan yang
lain. Ting dan Manos (1990 dalam Yuwono, 2006) telah
mengembangkan suatu metode deteksi virus papilloma dengan
PCR.
 Metode tersebut dikembangkan dengan mengidentifikasi suatu
daerah homologi di dalam genom tipe virus papilloma yang
kemudian dijadikan dasar untuk mendesain primer untuk
amplifikasi.
Deteksi Infeksi Cytomegalovirus (CMV)
 Deteksi adanya infeksi Cytomegalovirus (CMV) dapat dilakukan dengan PCR
dengan menggunakan sampel plasma penderita.
 Target yang digunakan adalah gen DNA polymerase CMV yang spesifik dan
tidak menunjukkan homologi terhadap family herpes virus lainnya.
 Metode PCR ini akan menghasilkan fragmen DNA berukuran 362 bp. Monitoring
terapi terhadap CMV dapat dilakukan dengan PCR kuantitatif dengan
menggunakan primer yang membawa biotin.
 Produk PCR didenaturasi untuk menghasilkan untai tunggal kemudian
dihibridisasi dengan pelacak yang terikat pada wadah.
 Setelah hibridisasi konyugat avidin-peroksidase akan menempel pada biotin.
Larutan substrat yang mengandung H2O2 dan 3,3, 5,5’-tetrametil-benzidin
(TMB) ditambahkan. Peroksidase yang terikat akan mengkatalisis H2O2 dan
reaksi oksidasi TMB membentuk kompleks berwarna yang diukur secara
kolorimetri.
Deteksi Infeksi Virus Influenza A (H1N1)
 Virus Influenza A(H1N1) sebelumnya disebut flu babi
dapat menyebabkan wabah, bahkan satu fase lagi dari fase
pandemi.
 Penyakit berbahaya seperti ini memerlukan diagnosa yang
cepat dan akurat. PCR merupakan teknik yang sering
digunakan.
 Teknologi saat ini memungkinkan diagnosa dalam
hitungan jam dengan hasil akurat. Disebut akurat karena
PCR mengamplifikasi daerah tertentu DNA yang
merupakan ciri khas virus Influenza A (H1N1) yang tidak
dimiliki oleh virus atau makhluk lainnya.
Deteksi Infeksi Mycobacterium tuberculosis
(M.tuberculosis)
 Saat ini telah dikembangkan suatu deteksi dengan memilih target DNA dengan
jumlah duplikat tinggi dalam kromosom. Pemilihan target ini menentukan
kepekaan deteksi. Hal ini sangat penting jika jumlah mikroba dalam sputum
rendah. Sepasang primer spesifik akan menghasilkan fragmen berukuran tertentu.
 Saat ini teknik RT-PCR dipergunakan untuk mendeteksi Mycobacterium, terhadap
genus dipergunakan primer 16S ribosomal ribonucleic acid (rRNA), sedangkan
untuk mendeteksi spesies dipergunakan primer insertion sequence (IS)6110 dan
MPB64. Primer IS6110 dan MPB64 digunakan untuk membedakan M.
tuberculosis dengan MNT. Pemeriksaan multiplex RT-PCR (M RT-PCR)
merupakan alternatif pemeriksaan limfadenitis TB selain secara histopatologi, dan
telah diaplikasikan untuk deteksi sekuens Mycobacterium deoxyribonucleic acid
(DNA) pada berbagai bahan pemeriksaan.
 GeneXpert MTB/ RIF adalah uji molekuler dengan metode PCR
memberikan sensitivitas tinggi dengan cara melipatgandakan DNA
M. tuberculosis (MTB). Hal ini telah dibuktikan pada penelitian
yang dilakukan oleh Berlian,dengan tujuan membandingkan hasil
pemeriksaan GeneXpert MTB/ RIF dengan kultur dahak MTB pada
media Lowenstein Jensen (LJ) dalam menegakkan diagnosis TB
paru pada anak yang diduga TB paru.
 Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa GeneXpert MTB/ RIF
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi dalam menegakkan
diagnosis TB. Terdapat kesepadanan hasil antara GeneXpert MTB/
RIF dan kultur dahak berdasarkan kelompok umur dan kelompok
manifestasi klinis TB.
Deteksi Infeksi Gonore
 Pemeriksaan yang lebih sensitif untuk penegakan diagnosis gonore adalah dengan
metoda PCR, dimana pada metoda ini spesimen cukup diambil dari vagina
dengan menggunakan metoda SOLVS. Garrow et al., dalam penelitiannya
membuktikan bahwa metoda SOLVS mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang
tinggi untuk mendiagnosis adanya infeksi yang disebabkan N.gonorroae,
Chlamydia dan T. vaginalis.
 Gambaran klinis gonore pada wanita asimtomatis, pada umumnya wanita datang
berobat jika sudah terjadi komplikasi.
 Sasaran primer Gonokok adalah endoservik. Diagnosis gonore ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium baik
sediaan langsung maupun kultur dengan sediaan yang diambil dari servik, muara
kelenjar bartolini atau uretra.
Deteksi infeksi difteri
 Salah satu alternatif pemeriksaan toksigenisitas C.diphtheriae
adalah teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan target gen
tox region A dan B yang telah dikembangkan oleh Nakao, et al.
 Kendala muncul karena bakteri yang tidak mempunyai gen tox
(strain nontoksigenik) tidak terdeteksi, padahal beberapa laporan
menyebutkan bahwa strain nontoksigenik juga dapat menyebabkan
penyakit mematikan dan dapat berubah menjadi toksigenik bila
terinsersi oleh Corynephage yang membawa gen tox.
 Oleh sebab itu, dilakukan penelitian oleh Sunarno dkk. (2013), yang
bertujuan untuk mengevaluasi potensi gen dtx dan dtxR sebagai
marker deteksi C.diphtheriae sekaligus pemeriksaan toksigenisitas
bakteri menggunakan PCR Multipleks.
Metode Molekuler (PCR) untuk Diagnosis Penyakit
Infeksi
Aplikasi Dalam Menegakkan Diagnosis Penyakit
Genetik
 Analisis DNA dapat digunakan untuk identifikasi
pembawa penyakit keturunan; untuk diagnosis prenatal
kelainan genetik dan untuk diagnosis awal sebelum
muncul gejala klinis.
 Analisis DNA dapat menentukan adanya mutasi genetik
tertentu.
 Sebelumnya tes genetik umumnya berdasarkan analisis
biokimia yang mengukur apakah ada atau tidak ada suatu
enzim atau produknya. Analisis DNA berdasarkan pada
adanya gen termutasi. Oleh karena itu dikembangkan uji
penapisan untuk suatu penyakit genetik.
Sickle cell anemia (Sel Sabit)
 Sickle cell anemia (Sel Sabit) merupakan penyakit genetik yang dapat dilihat
dengan adanya bentuk sel darah merah yang pipih panjang seperti bulan sabit.
Pada waktu dulu penyakit ini berakibat vatal karena adanya infeksi , kegagalan
ginjal, kegagalan jantung, atau thrombosis. Sel darah merah dalam bentuk ini
mudah terperangkap dalam pembuluh darah yang kecil yang menyebabkan
gangguan sirkulasi, dan menyebabkan kerusakan organ tersebut. Sel darah
tersebut juga mudah pecah daripada sel yang normal. Sel tersebut mempunyai
waktu hidup lebih pendek sehingga dapat menyebabkan anemia.
 Penyakit anemia sel sabit diturunkan secara genetik. Pasien dengan anemia sel
sabit homozigot untuk gen abnormal yang terletak pada kromosom autosomal.
Anak yang menerima gen abnormal dari salah satu orang tuanya dan menerima
gen normal dari orang tuanya akan menjadi pembawa anemia sel sabit. Anak
yang heterozigot tersebut biasanya tidak menunjukkan gejala.
 Sel darah penderita anemia sel sabit akan tampak di bawah mikroskop bentuk
yang iregular apabila dalam konsentrasi oksigen rendah.
 Perubahan bentuk ini disebabkan oleh perubahan satu nukleotida pada kodon ke-
6 dari rantai β. Hemoglobin dalam sel itu cacat. Deoksi Hb penderita dinamakan
hemoglobin S (HbS), sedangkan Hb normal dinamakan Hemoglobin A (HbA).
 Pada individu homozigot S/S (penderita) bentuk sel darah merah tidak teratur. Hal
tersebut disebabkan oleh konformasi hemoglobin terganggu oleh perubahan
glutamate menjadi valin.
 Anemia sel sabit ini disebabkan ketidakmampuan hemoglobin mutan untuk
membawa oksigen yang dibutuhkan. Individu heterozigot (A/S) mempunyai
bentuk sel darah merah yang normal dan tidak menunjukkan gejala, kecuali
terdapat pada kondisi yang ekstrem seperti hidup pada daerah tinggi, suhu
ekstrem sehingga pemberian oksigen menurun.
 Jika kedua orangtuanya heterozigot maka 25% anaknya, adalah penderita (S/S).
Ovalositosis
 Ovalositosis merupakan sifat bawaan yang diturunkan secara dominan autosomal
dengan sel darah merah berbentuk oval.
 Dasar molekular ovalositosis adalah perubahan protein band-3 eritrosit karena
adanya delesi 27 pasang basa, denagn akibat tidak ada 9 residu asam amino (400-
408) pada batas antara bagian sitoplasmik dan membrane.
 Kelainan genetik ini banyak ditemukan pada daerah endemik malaria seperti
thalasemia, defisiensi enzim dehidrogenase glukosa -6-fosfat (G6PD), sickle cell
anemia dan hemoglobin E.
 Tampaknya mutasi genetik tersebut memberikan keuntungan karena individu
dengan mutasi tersebut tahan terhadap infeksi malaria.
 Dasar molekular yang menarik dari ovalositosis adalah tidak adanya bentuk
homozigot delesi 27 pasang basa (pb). Hal ini dapat terjadi karena kondisi
homozigot mati selama perkembangan fetus, sebab band-3 di ginjal berfungsi
untuk transport ion dan keseimbangan asam basa.
 Kemajuan teknologi dewasa ini memungkinkan analisis
genetik populasi dengan menggunakan PCR.
 Teknik ini sederhana dan cepat untuk mengamplifikasi
fragmen yang mengalami delesi. Analisis hasil dapat
dilihat dari ukuran fragmen hasil amplifikasi PCR.
 Penderita ovalositosis akan menghasilkan dua pita dengan
ukuran 148 pb dan 175 pb. Sedangkan pada individu sehat
akan menghasilkan satu pita dengan ukuran 175 pb.
(Sudjadi, 2008).
Peramalan Hemofilia A
 Hemofilia adalah suatu penyakit yang terkait dengan
kromosom X dan disebabkan oleh kerusakan faktor
koagulasi VIII, yaitu suatu protein yang berfungsi sebagai
kofaktor dalam koagulasi darah.
 Kerusakan pada faktor koagulasi tersebut disebabkan
adanya mutasi yang bermacam-macam yang belum
diketahui secara pasti.
 Untuk meramalkan penyakit ini berdasarkan analisis
pembawanya atau diagnosis sebelum kelahiran dapat
dilakukan dengan polimorfisme DNA di dalam dan dekat
dengan gen faktor VIII.
 Ada dua macam polimorfisme yang ada pada alel faktor
VIII, yaitu yang mempengaruhi suatu enzim restriksi dan
yang tidak.
 Polimorfisme dapat dideteksi dengan analisis Southern
blot fragmen-fragmen DNA yang dipotong dengan suatu
enzim restriksi tertentu, tetapi metode semacam ini cukup
memakan waktu.
 Metode alternatif untuk mendeteksi hemophilia A adalah
metode PCR (Kogan dan Gitschier, 1990 dalam Yuwono,
2006) yang jauh lebih sederhana disbanding metode
Southern blot.
 Saat ini PCR sudah diaplikasikan secara luas untuk
berbagai macam kebutuhan, di antaranya untuk isolasi
gen, DNA Sequencing, Identifikasi Forensik dan untuk
Diagnosis Penyakit.
 PCR banyak membantu dalam penelitian dan diagnosis
penyakit. Teknik ini juga telah lama menjadi metode
standardi semua laboratorium yang melaksanakannya.
 Aplikasi PCR saat ini sangat mendukung dalam
menegakkan diagnosis penyakit baik penyakit infeksi
maupun penyakit genetik.
 Beberapa contoh aplikasi PCR dalam menegakkan
diagnosis penyakit infeksi adalah dalam (1) mendeteksi
virus, seperti Human Papilloma Virus (HVP),
Cytomegalovirus (CMV), Influenza A (H1N1), Epstein
Barr Virus (EBV)dan lain-lain; (2) mendeteksi bakteri,
seperti Mycobacterium tuberculosa (MTB),
Corynebacterium diphteriae, Neisseria gonorrhoeae, dan
lain-lain; (3) mendeteksi parasit seperti: Toxoplasma
gondii, Plasmodium spp.; dan mendeteksi jamur seperti: P.
jiroveci dan Aspergillus spp.
 TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai