Anda di halaman 1dari 57

FARMAKOTER

API PPOK
apt. Asyrun Alkhairi Lubis, M.Farm.
PENDAHULUAN
• Menurut WHO dalam GOLD 2015
COPD/PPOK  Suatu penyakit yang bisa
dicegah dan diatasi, yang dikarakterisir
dengan keterbatasan aliran udara yang
menetap, yang biasanya bersifat progresif,
dan terkait dengan adanya respon inflamasi
kronis saluran nafas dan paru-paru
terhadap gas atau partikel berbahaya.
Serangan akut dan komorbiditas
berpengaruh terhadap keparahan penyakit
secara keseluruhan.
BRONKITIS KRONIS
Kondisi dimana terjadi sekresi mukus berlebihan
ke dalam cabang bronkus yang bersifat kronis
dan kambuhan, disertai batuk yang terjadi pada
hampir setiap hari selama sedikitnya 3 bulan
dalam setahun untuk 2 tahun berturut-turut
EMFISEMA
Kelainan paru-paru yang dikarakterisir oleh
pembesaran rongga udara bagian distal sampai
ke ujung bronkiole yang abnormaldan
permanen, disertai dengan kerusakan dinding
alveolus.
• Bronkitis kronis dan emfisema  merupakan peny
yang berdiri sendiri atau mjd bagian dari PPOK.
• Pasien mengalami kedua gangguan ini, dengan
salah satunya bisa lebih dominan atau sama
beratnya, dengan keparahan yang bervariasi
EPIDEMIOLOGI
• RISKESDAS 2013  prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%
• WHO memperkirakan tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari
urutan 6 menjadi peringkat ke-3 dunia dan dari peringkat ke-6 menjadi
peringkat ke-3 penyebab kematian tersering.
• Prevalensi PPOK meningkat seiring meningkatnya usia
• Prevalensi juga lebih tinggi pada pria daripada wanita
• Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara2 dmn merokok merupakan gaya
hidup
• Kematian akibat PPOK rendah pada pasien usia < 45 tahun dan meningkat
dengan bertambahnya usia
ETIOLOGI PPOK
• Faktor lingkungan :
-Merokok
-Pekerjaan
-Polusi udara
-Infeksi

o Faktor host :
- Usia
- Jenis kelamin
- Penyakit paru yang sudah ada
- Predisposisi genetik
PATOGENESIS

• Adanya inflamasi bronkus di sepanjang saluran pernafasan, parenkim


paru, dan sistem pembuluh darah pulmonar.
• Terdapat peningkatan jumlah makrofag, sel limfosit T dan neutrofil di
berbagai bagian paru  melepaskan berbagai mediator yang dapat
merusak struktur paru atau memperlama inflamasi neutrofilik
• Ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase di paru-paru, dan
adanta stress oksidatif
• Inflamasi paru disebabkan oleh: paparan partikel dan gas berbahaya
yang terhirup, asap rokok.
PATOFISIOLOGI BRONKITIS KRONIS

ASAP ROKOK, POLUTAN

HAMBATAN PEMBERSIHAN MUKOSILIAR

IRITASI BRONKIALE

HIPERPLASIA DAN HIPERTROFI DAN PROLIFERASI KELENJAR MUKUS

HIPERSEKRESI MUKUS

OBSTRUKSI BRONKIOLUS DAN ALVEOLI


PATOFISIOLOGI PPOK
Merokok
Polusi udara

Inflamasi paru

Makrofag,
neutrofil
Leukosit

Enzim proteolitik Mediator inflamasi


elastase, collagenase lainnya

Jika kadar alfa antitripsin rendah

Alfa-antitripsin
Secara normal menghambat enzim
proteolitik
PATOFISIOLOGI EMFISEMA

EMFISEMA
↓ pertukaran gas
destruksi jaringan paru
melemahnya saluran nafas
↓ elastisitas saluran nafas
↓ daya kembang paru
TANDA & GEJALA
• Diagnosa ditegakkan berdasarkan adanya gejala-gejala: Batuk, produksi
sputum, dispnea, dan riwayat paparan suatu faktor resiko. Juga
obstruksi saluran pernafasan (FEV1/FVC pasca bronkodilator < 0,70).
• Indikator kunci PPOK:
1. Batuk kronis : berselang/setiap hari, seringkali sepanjang hari
2. Produksi sputum secara kronis
3. Bronkitis akut: tjd secara berulang
4. Sesak napas (dispnea): progresif, setiap hari, memburuk jika
berolahraga dan terkena infeksi pernafasan
5. Riwayat paparan thd faktor resiko: merokok, partikel dan senyawa
kimia, asap dapur
TANDA & GEJALA
• Gejala klinik PPOK :
- ‘Smoker cough’
- Sputum banyak dan lengket -> berwarna bila infeksi
- Dispnea
• Gejala Eksaserbasi akut
- Peningkatan volume sputum
- Perburukan nafas secara akut
- Dada terasa berat
- Peningkatan purulensi sputum
- Peningkatan kebutuhan bronkodilator
- Lelah, lelu
- Cepat lelah, terengah-engah
TANDA & GEJALA

• Pada gejala berat, dapat terjadi:


1. Cyanosis
2. Gagal jantung dan oedema perifer
3. Plethoric complexion
KLASIFIKASI PPOK
• Untuk membedakan keparahan PPOK, dapat didasarkan pada hasil uji
spirometri yang menunjukkan tingkat keparahan obstruksinya.
• Uji spirometri sebaiknya dilakukan pada saat pasien dalam kondisi stabil dan
bebas infeksi
• Pasien tidak boleh menggunakan bronkodilator aksi pendek dalam waktu 6
jam sebelum test dilakukan, atau β-agonis aksi panjang 12 jam sebelum test,
atau teofilin lepas lambat 24 jam sebelum test dilakukan.
• FEV1 harus diukur sebelum pemberian inhalasi bronkodilator.
• FEV1 diukur lagi 30-45 menit setelah pemberian bronkodilator.
• Peningkatan FEV1 lebih besar dari 200 ml atau 12% dianggap signifikan
KLASIFIKASI PPOK

• Klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada pasien PPOK


berdasarkan nilai FEV1 postbronkodilator (GOLD 2015)

Tingkat Interpretasi Nilai FEV1 dan gejala


GOLD I Ringan FEV1 ≥ 80%
GOLD II Sedang 50% < FEV1< 80%
GOLD III Berat 30% < FEV1 < 50%
GOLD IV Sangat berat FEV1 < 30%
• Keparahan berdaskan kategori tersebut tidak selalu
berkolerasi dengan kualitas hidup pasien.
• Alat ukur yang telah dikembangkan, CAT (COPD Assesment
Test) paling banyak digunakan karena cukup praktis untuk
pemakaian klinis rutin.
• Nilai CAT < 10 menunjukkan gejala yang sedikit, sedangkan
nilai ≥ 10 menunjukkan gejala yang parah.
• Ada juga alat ukur terhadap kemampuan bernafas, mMRC
(Modified British Medical Research Council Questionaire)
dengan angka 0-4, dimana semakin meningkat angkanya
menunjukkan kesulitan bernafas yang makin meningkat.
• GOLD 2015 mengelompokkan pasien PPOK menjadi 4
golongan:
1. Pasien kelompok A: resiko rendah, gejala lebih sedikit GOLD
1 atau GOLD 2, serangan akut 0-1/ tahun dan tanpa
hospitalisasi, CAT < 10 atau mMRC 0-1
2. Pasien kelompok B: resiko rendah, gejala lebih banyak GOLD
1 atau GOLD 2, serangan akut 0-1/tahun dan tanpa
hospitalisasi, CAT ≥ 10 atau mMRC ≥ 2
3. Pasien kelompok C: resiko tinggi, gejala lebih sedikit GOLD 3
atau GOLD 4, serangan akut ≥ 2/tahun atau ≥ 1 dengan
hospitalisasi, CAT < 10 atau mMRC 0-1
4. Pasien kelompok D: resiko tinggi, gejala lebih banyak GOLD 3
atau GOLD 4, serangan akut ≥ 2/tahun atau ≥ 1 dengan
hospitalisasi, CAT ≥ 10 atau mMRC ≥ 2
TATALAKSANA TERAPI
• Penatalaksanaan terapi PPOK melibatkan 3 hal, yaitu:
1. Penatalaksanaan terapi pada serangan akut PPOK
2. Penatalaksanaan terapi pada PPOK yang stabil (terapi pemeliharaan)
3. Penatalaksanaan terapi PPOK yang disertai komorbiditas
TUJUAN TERAPI
• Memperbaiki keadaan obstruksi kronik
• Mencegah dan mengatasi eksaserbasi akut
• Menurunkan progresivitas penyakit
• Meningkatkan keadaan fisik dan psikis
• Menurunkan jumlah hari tidak masuk kerja
• Menurunkan lama tinggal di RS
• Menurunkan angka kematian

Tujuan terapi pada eksaserbasi akut adalah untuk


memelihara fungsi pernapasan dan memperpanjang
survival
STRATEGI TERAPI
• Penatalaksanaan terapi PPOK stabil harus diawali dengan assesment
thd penyakit pasien. Assesment yg perlu dilakukan antara lain:
1. Bagaimana paparan thd faktor resiko, termasuk intensitas dan
durasinya.
2. Seperti apa riwayat kesehatannya, meliputi penyakit terkait seperti
asma, alergi, sinusitis, polip hidung, infeksi saluran nafas, atau
peny.paru lainnya
3. Apakah ada riwayat keluarga PPOK dan pnyakit paru kronis
4. Seperti apa pola perkembangan gejalanya.
5. Seperti apa riwayat eksaserbasi atau perawatarn RS sblmnya?
6. Apakah ada peny penyerta sprt peny jantung atau rematik, yang
mgkn mempengaruhi aktivitas
STRATEGI TERAPI
TERAPI NON-FARMAKOLOGI
• Menghentikan kebiasaan merokok
• Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif dengan fisioterapi
dan latihan pernafasan
• Perlu diberikan hidrasi secukupnya (minum air 8-10 gelas
sehari)
• Perbaikan nutrisi (untuk menambah energi) yaitu diet kaya
protein dan mencegah makan berat menjelang tidur
• Terapi berupa aktivitas fisik
• Vaksinasi disarankan bagi yg memiliki faktor resiko tinggi thd
infeksi pneumococcus maupun viral.
TERAPI FARMAKOLOGI
PPOK  Penyakit progresif  prinsip umum terapi:
1. Pengobatan cenderung makin banyak karena
status penyakit umumnya akan memburuk
2. Terapi secara regular harus selalu dijaga pada
tingkat yang sama, kecuali ada efek samping yang
signifikan terjadi atau keparahan meningkat
3. Perlu pemantauan secara hati-hati dalam jangka
waktu yg cukup untuk memastikan terapi mencapai
tujuan
Untuk PPOK stabil, penggunaan obat ditujukan untuk
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan
keparahan serangan, memperbaiki status kesehatan,
dan meningkatkan kemampuan aktivitas fisik.
• Sampai saat ini, tidak ada satu obat pun yang dapat
memodifikasi penurunan fungsi paru (tanda khas
PPOK)
• Bronkodilator=terapi utama penatalaksanaan PPOK,
bisa diberikan bila perlu atau secara reguler, tgtg
kondisi pasien.
• Bronkodilator utama = β2 agonis dan antikolinergik
baik tunggal maupun kombinasi
Pilihan terapi awal berdasarkan karakteristik
pasien
Kelompo Lini pertama Lini kedua Alternatif
k pasien lain
A SAMA prn LAMA atau Teofilin
atau SABA prn LABA atau
SABA+SAM
A
B LAMA atau LAMA dan SABA
LABA LABA dan/atau
SAMA
Pilihan terapi awal berdasarkan karakteristik pasien
C ICS + LABA LAMA + LABA SABA dan/atau
atau LAMA atau LAMA + SAMA
PDE4I atau LABA Teofilin
+ PDE4I
D ICS + LABA ICS + LAMA + Karbosistein
dan/atau LABA atau ICS + SABA dan/atau
LAMA LABA + PDE4I SAMA
atau LAMA + Teofilin
LABA
atau LAMA +
PDE4I
KETERANGAN:
• SAMA = short acting antimuscarinic/
anticholinergic
• SABA = short ating beta agonist
• LAMA = long acting antimuscarinic/
anticholinergic
• LABA = long ating beta agonist
• ICS = inhaled corticosteroid
• PDE4I =phosphodiesterase 4 inhibitor
•Pada pasien PPOK, vaksinasi influenza
dapat mengurangi angka kesakitan yang
serius
•Jika tersedia, vaksin Pneumoccocus
direkomendasikan bagi pasien PPOK > 65
tahun serta pasien PPOK < 65 tahun tapi
FEV1 < 40% prediksi.
•Penggunaan oksigen jangka panjang
(>15jam sehari) pada pasien dengan
kegagalan pernapasan kronis dapat
memperpanjang harapan hidup pasien
• Diagnosis Eksaserbasi PPOK (akibat infeksi saluran
nafas baik infeksi virus atau bakteri) berdasarkan
gejala klinis pasien : dispnea, batuk dan produksi
sputum yang lebih dari biasanya.
• Eksaserbasi ringan  rawat jalan, eksaserbasi
berat  hospitalisasi dan perawatan intensif
• Penatalaksanaan terapi eksaserbasi akut 
bronkodilator inhalasi (β agonis atau
antikolinergik), teofilin, dan kortikosteroid sistemik
• Bronkodilator aksi pendek (SABA atau SAMA) lebih
dipilih karena memberikan onset yang cepat
•Pasien yang mengalami gejala klinis
infeksi seperti peningkatan volume dan
purulensi sputum dan demam sebaiknya
diberi antibiotika
•Bantuam pernapasan berupa
Noninvasive positive pressure
ventilation (NIPPV) terbukti dapat
memperbaiki gas dan pH darah,
mengurangi mortalitas di RS,
mengurangi ventilasi yang invasif, dan
mengurangi lama rawat di RS
OBAT – OBAT YANG
DIGUNAKAN
a) BRONKODILATOR

• Untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi


serangan, dan untuk mencegah kekambuhan atau
mengurangi gejala
• Jika diberikan dalam bentuk inhalasi, teknik pemberian
inhalasi sangat penting diketahui  untuk menjamin
efektivitas pemberian obat
• Pemberian bronkodilator aksi panjang secara reguler
lebih efektif dan nyaman untuk pasien daripada
bronkodilator aksi pendek
• Bronkodilator dalam PPOK = golongan antikolinergik, β-
agonis, metilksantin, dan kombinasinya
Antikolinergik

• Terapi lini pertama PPOK yang stabil


• Mekanisme kerja golongan ini: blokade reseptor muskarinik
M3
• Termasuk golongan ini adalah ipratropium dan oksitropium
(beraksi pendek) serta tiotropium bromida (beraksi panjang)
• Efek bronkodilatasi inhalasi antikolinergik aksi pendek lebih
panjang daripada β-agonis aksi pendek  sampai 8 jam
seterlah pemberian
• Tiotropium memiliki durasi efek > 24 jam
• Kombinasi antikolinergik dengan simpatomimetik
meningkatkan fungsi paru yang bermakna pada pasien
PPOK
• Penggunaan antikolinergik jangka panjang
secara inhalasi terbukti cukup aman
• ES utama golongan obat ini: mulut kering,
beberapa merasakan rasa logam setelah
menggunakan ipratropium. Jika terkena mata
dapat menyebabkan gangguan penglihatan
(mata kabur)
Simpatomimetik

• Obat golongan simpatomimetik yang selektif terhadap


reseptor adrenergik β-2 bersifat bronkodilator dan
mungkin meningkatkan pembersihan mukosiliar
• Penggunaann secara oral memberikan onset yang lebih
lambat dan efek samping yang lebih banyak dibanding
inhalasi
• Efek bronkodilatasi β- agonis aksi cepat  berakhir
setelah 4-6 jam
• β-agonis aksi panjang seperti salmeterol dan formoterol
menunjukkan durasi aksi sampai 12 jam atau lebih
• Pada pasien PPOK stabil, simpatomimetik direkomendasikan
sebagai terapi lini kedua terapi pemeliharaan, sebagai
tambahan atau menggantikan ipratropium untk pasien yang
tidak menunjukkan keuntungan klinik dengan menggunakan
ipratropium saja.
• Pada eksaserbasi akut, penggunaan β-agonis merupakan
pilihan pertama karena onset yg lebih cepat
• Simpatomimetik sangat berguna pada berbagai kondisi:
1. Sebagai monoterapi utk episode PPOK yang ringan
2. Utk gejala PPOK yang stabil secara kronik dalam kombinasi
dengan antikolinergik
3. Digunakan dalam gejala PPOK stabil secara kronik sebagai
obat yang tetap
•ES golongan ini adalah: tremor dan
takikardi pada pasien yang sensitif.
Hipokalemia dapat terjadi jika dipakai
secara peroral dan dikombinasi dengan
diuretik tiazid
Kombinasi antikolinergik dan
simpatomimetik
• Sering digunakan jika perkembangan penyakit
meningkat atau gejala memburuk.
• Kombinasi dua golongan bronkodilator ini lebih
efektif dibanding digunakan sendiri-sendiri selain
itu juga dapat menurunkan dosis efektifnya shg
menurunkan potensi efek sampingnya.
• Sebuah studi melaporkan kombinasi tiotropium
bromida dengan formoterol memberikan
perbaikan fungsi paru yang lebih baik daripada
kombinasi salmeterol dan flutikason
Metilsantin
• Bergeser yang awaknya sebagai lini pertama,
sekarang menjadi terapi lini ketiga.
• Teofilin atau aminofilin digunakan jika pasien
intoleran terhadap bronkodilator lainnya.
• Untuk terapi pemeliharaan teofilin digunakan
dengan dosis awal 200 mg 2x sehari, dan dititrasi
meningkat dalam 3-5 hari, sampai dicapai dosis
lazimnya antar 400-900 mg sehari.
• Penyesuaian dosis selanjutnya seharusnya dilakukan
berdasarkan kadar serumnya.
• Dipantau ES maupun toksisitas serta IO
Kortikosteroid

• Penggunaan pada PPOK masih diperdebatkan


• Kortikosteroid  mpy mekanisme kerja sbg
antiinflamasi dan mpy keuntungan pada
penanganan PPOK yaitu mereduksi permeabilitas
kapiler untuk mengurangi mukus, menghambat
pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan
menghambat prostaglandin.
• Manfaat klinis terapi dengan kortikosteroid sistemik
blm banyak didukung oleh fakta, sementara resiko
ES dan toksisitas lebih banyak dikemukakan
• Sebuah studi tahun 1998  penggunaan kortikosteroid
oral pada PPOK stabil  hanya 10% pasien yang
menunjukkan perbaikan gejala dibanding plasebo  dari
10% pasien tersbut sebagian juga menderita asma (dilihat
dari adanya eosinofil pada sputumnya)
• Dari berbagai hasil studi klinik, GOLD 2015 menyarankan:
Penggunaan kortikosteroid dapat diberikan dalam
kombinasi dengan bronkodilator pada kelompok C dan D.
• Kortikosteroid sistemik bermanfaat pada eksaserbasi akut
PPOK  mempercepat waktu pemulihan, memperbaiki
fungsi paru, dan mengurangi hipoksemia
• GOLD 2015 merekomendasikan pemberian
prednison per oral dengan dosis 40 mg/hari selama
5 hari
• Prednisolon per oral bisa sebagai pilihan
• Pemberian kortikosteroid dapat dimulai selama
eksaserbasi akut bila kondisi pasien memburuk atau
tidak membaik, walau sdh menggunakan
antikolinergik, simpatomimetik, atau metilksantin.
• Jika kondisinya berat bisa diawali metilprednisolon
0,5 – 1 mg/kg IV setiap 6 jam.  bila gejala
membaik bisa diganti dengan prednisone 40 mg
sehari.
• Steroid sebaiknya dihentikan secara tappering
dalam 7-14 hari
• Bila perlu terapi lebih lama, digunakan dosis rendah
yaitu 7,5 mg/hari yang diberikan pada pagi hari atau
selang sehari
• Pasien yang memerlukan terapi steroid lanjutan,
pemberian oral prednison dengan jumlah besar dan
dalam waktu singkat selama status klinik buruk akan
efektif dalam menurunkan waktu tinggal di RS 
namun tidak disarankan pengg steroid oral jangka
panjang karena resiko ES lebih besar dari manfaat
pada PPOK
Terapi Oksigen Jangka Panjang
• Penggunaan O2 berkesinambungan (>15 jam sehari)
 meningkatkan harapan hidup bagi pasien2 yang
mengalami kegagalan respirasi kronis, dan
memperbaiki tekanan arteri pulmonar, polisitemia
(hematokrit<55%), mekanik paru-paru, dan stattus
mental.
• Cara pemberian:
Dengan kanula hidung yang menyalurkan 24-28% O2
(1-2 L/menit).
• Tujuannya: mencapai PaO2 di atas 60 mmHg.
• Diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat
keparahan IV (sangat berat) jika:
1. PaO2 ≤ 7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤
88%, dengan atau tanpa hiperkapnia, atau
2. PaO2 antara 55 – 60 mmHg, atau SaO2 89%,
tetapi ada tanda hipertensi pulmonar, edema
perifer yang menunjukkan adanya gagal
jantung kongestif, atau polisitemia.
Antibiotik
• Antibiotik harus mulai diawali jika pasien memperlihatkan
sedikitnya 2 tanda dari 3 tanda-tanda berikut ini:
peningkatan dyspnea, peningkatan volume sputum, dan
peningkatan purulensi sputum
• GOLD 2015 merekomendasikan pengg antibiotika pada
pasien yang:
1. Pasien dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama
yaitu : increased dyspnea, increased sputum volume,
increased sputum purulence, atau
2. Pasien dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama, jika
peningkatan purulensi sputum merupakan salah satunya, atau
3. Pasien dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan
ventilasi mekanik, baik invasif maupun non-infavasif
• Terapi AB dimulai dalam 24 jam setelah
gejala terlihat untuk mencegah percepatan
penurunan fungsi paru-paru karena iritasi
dan sumbatan mukus karena adanya proses
infeksi
• Durasi yang disarankan selama 5-10 hari
• Pemilihan AB harus berdasarkan bakteri yg
paling umum menginfeksi
TERAPI ANTIBIOTIKA YANG
DIREKOMENDASIKAN UNTUK
EKSASERBASI AKUT PPOK
Karakteristik pasien Patogen penyebab yang mungkin Terapi yang direkomendasikan

Eksaserbasi tanpa komplikasi S. pneumoniae, H. influenzae, H. Makrolid (azitromisin, klaritromisin),


parainfluenzae, dan M. catarrhalis Sefalosporin generasi 2 atau 3,
< 4 eksaserbasi setahun umumnya tidak resisten Doksisiklin

Tidak ada penyakit penyerta

FEV1 > 50%

Eksaserbasi kompleks H. influenzae, M. catarrhalis, S. Amoksisilin/klavulanat,


pneumoniae penghasil beta- Florokuinolon (levofloksasin,
Umur > 65 tahun laktamase, Enterobacteriaceae (K. gatiflokasin, moksifloksasin),
pneumonia, E. coli, Proteus, Sefalosporin generasi 2 atau 3
> 4 eksaserbasi pertahun Enterobacter, dll)

FEV1 < 50% tapi 35%


TERAPI ANTIBIOTIKA YANG
DIREKOMENDASIKAN UNTUK
EKSASERBASI AKUT PPOK
Karakteristik pasien Patogen penyebab yang mungkin Terapi yang direkomendasikan

Eksaserbasi kompleks dengan resiko Seperti di atas, ditambah P. Florokuinolon (levofloksasin,


P. aeruginosa aeruginosa gatiflokasin, moksifloksasin),
Terapi IV jika perlu: Sefalosporin
generasi 3 atau 4
Imunisasi

• Vaksin influenza terbukti mengurangi gangguan serius


dan kematian akibat PPOK sampai 50%
• Direkomendasikan bagi pasien PPOK usia lanjut
karena cukup efektif mencegah eksaserbasi akut
PPOK
• Sebaiknya menerima satu atau dua kali vaksin
pneumococcal dan vaksin influenza per tahun untuk
megurangi insiden pneumonia
• Bila pasien terpapar influenza sebelum divaksinasi,
maka dapat digunakan obat anti virus amantadin dan
rimantadin
Mukolitik

• Seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol


teriodinasi  memberi manfaat pada sebagian
pasien PPOK
• GOLD 2015 tidak merekomendasikan penggunaan
mukolitik berdasarkan bukti klinis yang ada
• Mukolitik seperti N-asetil sistein memiliki juga
aktivitas antioksidan yang memungkinkan mencegah
kekambuhan serangan akut
• Penggunaan N-asetil sistein dosis tinggi dapat
mengurangi kekambuhan PPOK pada pasien dengan
keparahan GOLD 2.
TERAPI PENGGANTI AAT

• Terapi AAT (ALPHA ANTI TRYPSINE)  Terapi tambahan


• Terapi terdiri dari infus AAT secara rutin (mingguan)
untuk memelihara kadar AAT plasma diatas 10
mikromolar
• Sebuah studi menunjukkan bahwa terapi pengganti AAT
dapat memperlambat progresivitas penyakit (dengan
parameter FEV 1) dan mengurangi mortalitas.
• Regimen dosis yang direkomendasikan 60 mg/kg secara
IV sekali seminggu dengan kecepatan 0,08 mL/kg per
menit
Inhibitor fosfodiesterase-4

• Obat golongan ini seperti roflumilast  salah satu


pilihan dalam terapi pemeliharaan
• Mekanisme kerjanya menghambat enzim PDE-4
yang bekerja menguraikan siklik AMP (cAMP)
• Sebuah studi menunjukkan roflumilast dapat
mengurangi serangan akut PPOK sedang-berat
sampai 15-20% pada pasien serangan akut PPOK
yang berat.
EVALUASI DAN PEMANTAUAN TERAPI

• PPOK stabil kronis  perlu dilakukan tes fungsi paru


secara periodik utk mengetahui pengaruh perubahan
terapi atau penghentian suatu terapi
• Perlu dipantau skor dispnea, kualitas hidup, frekuensi
eksaserbasi, termasuk jml masuk RS karena PPOK
• Untuk eksaserbasi akut, perlu dilakukan evaluasi thd
hitung leukosit, tanda vital, rontgen dada, dan
perubahan dalam frekuensi dispnea, volume sputum,
dan purulensi sputum selama terapi berlangsung
• Pada eksaserbasi yg lebih berat, analisa saturasi dan
gas darah harus dilakukan
• Monitoring fungsi paru, gas darah arteri,
kemungkinan tjd gagal jantung kanan, hematokrit,
fungsi otot respirasi, efek pengobatan yang
diperoleh dan terapi yang lain, serta riwayat
kejadian eksaserbasi.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai