Anda di halaman 1dari 7

Pasca kelahiran Hikma Maulidya, proses selanjutnya adalah mendaftarkan putri kami sebagai salah satu penghuni tanah

Surabaya. (Tapi alasan tepatnya, ya karena kalo masuk TK atau SD kan butuh akta). Terus terang selama ini belum pernah sekalipun mengurus akta kelahiran, sebelumnya akta kelahiran diurusi bidan dan rumah sakit. Tapi untuk kali ini saya harus meraskan yang katanya susah mengurusnya. Kali ini saya ingin berbagi pengalaman mengurusi akta kelahiran di kota Surabaya, siapa tahu bisa membantu yang akan mencobanya. Tahap I : Kelurahan Sesuai ketentuan birokrasi yang ketat, untuk menuju Kelurahan, kita harus memiliki surat pengantar dari RW. Jadi minta blangko surat pengantar (keterangan) untuk membuat akte baru, kemudian isi dengan lengkap dan ditandatangani oleh RT dahulu. Ingat, nama peminta surat pengantar adalah ayah bayi. Setelah dari RT lengkap (1 lembar saja), bawa ke RW. Pihak RW akan mencatat surat kita dan memberikan tanda tangan ketua RW. Sampai di sini tidak sepeserpun uang keluar (apalagi kalo dah kenal dengan beliau-beliau..) Kalaupun ada biasanya sih kita harus membayar kas. Terserah besarnya. Tergantung tempatnya yabiasanya sih Rp 3.000. Nah sekarang kita telah mendapat surat keterangan RT/RW. Kita bawa surat tersebut ke kelurahan. Ingat, sebelum ke kelurahan, jangan lupa bawa: 1. Foto copy Surat Nikah 1 lembar dilegalisir penerbit atau kalo di luar kota dilegalisir Pengadilan Negeri. 2. Foto copy KTP suami-istri @1 lembar 3. Foto copy KK, harus punya sendiri bukan nebeng mertua. 4. Foto copy Surat Keterangan Lahir dari RS 1 lb, dan juga bawa aslinya ya. Selain dokumen-dokumen tersebut, perlu dipersiapkan juga sebuah bibit pohon yang produktif . Karena sekarang ada peraturan 1 jiwa 1 pohon. Di tempat saya terserah bawa bibit pohon apa saja ++saya serahkan bibit pohon mangga seharga Rp 15.000,- yang saya beli di kebun bibit++. Bunga tidak diterima, kata petugas karena tidak bisa tumbuh hingga puluhan tahun. Di kelurahan petugas akan mengisikan form pembuatan akta. Lama juga petugas ngisinya, totalnya, dari keluarahan kita akan mendapat 2 form. Pertama form pembuatan akta, dan form satu jiwa satu pohon. Biaya yang harus saya keluarkan di kelurahan sebenarnya tidak ada, tapi saya menyumbang sebesar Rp 20 ribu. Tahap II : Kecamatan Kita ke sana berbekal form pengajuan daftar akta. Seperti biasa, jangan ragu untuk bertanya!! Bertanyalah apa saja yang dibutuhkan untuk membuat akta lahir baru. (eh..tapi liat-lihat juga. Klo udah ada tulisan di tembok ya ga usah bertanya sob). Syaratnya adalah membawa semua berkas dari kelurahan kecuali form satu jiwa satu pohon. Proses di kecamatan cukup sederhana, gak seperti di keluarahan dimana kita harus menggotong pohon. Tahap III : Dispenduk (Kantor Catatan Sipil) Syarat-syarat di dispenduk adalah berkas yang sudah kita siapkan dari kelurahan : 1. Surat Keterangan Kelahiran dari dokter/bidan/rumah sakit yang asli.

2. KK dan KTP orang tua bayi (WNI dan Orang Asing Tinggal Tetap) 3. Surat Keterangan Kelahiran dari Lurah (F-2.01 dan F-2.02) 4. Akta perkawinan / Surat Nikah orang tua dilegalisir. 5. Oh ya, ada yang lupa bila kasusnya sama dengan saya, karena anak ke-3 saya belum tercantum dalam KK, maka saya diharuskan membuat surat pernyataan diatas materai Rp 6.000, tentang belum tercantumnya anak saya tersebut. 6. Akta kelahiran Ibu bagi yang lahir di luar nikah 7. Berita Acara Kepolisian setempat (bagi anak lahir yang tidak diketahui orang tuanya) 8. SKTT orang tua bayi (bagi orang asing status tinggal terbatas) 9. Dokumen Imigrasi orang tua bayi (bagi Orang Asing pemegang izin singgah atau visa kunjungan) Setelah lengkap semua, kita tinggal menunggu antrian untuk pemanggilan, kemudian akan dinyatakan selesai bila lolos dari pengecekan petugas, pada saat itu kita akan diberi nomor akta dan pengambilannya menunggu selama 10 hari. Catatan : Ada beberapa catatan penting sebelum mengurus pembuatan akta kelahiran sendiri : 1. Di Surabaya, Dispenduk berada di belakan Samsat Jal. Manyar Kertoarjo No.6. Telp. (031) 5911110 5911101 5911102 591109 5927205. SURABAYA 2. Usia 0 s.d. 18 tahun tidak ada biaya alias gratis 3. Usia 18 tahun ke atas biaya : a. Anak ke-1 dan ke-2 Rp 100.000,- b. Anak ke-3 keatas Rp 150.000,4. Periksa semua kelengkapan persyaratan pengajuan sebelum ke Dispenduk atau Kantor Catatan Sipil. Kalau tidak lengkap maka kita akan disuruh kembali dan memulai nomor antrian dari awal. 5. Antrian di Dispenduk sangat padat, datanglah sepagi mungkin. 6. Banyak bertanya kepada petugas di sana atau kepada orang yang sama-sama sedang mengurus akta. Alhamdulillah lega rasanya kalau sudah selesai. Ternyata bila kita mengurus sendiri tidak susah sama sekali. Biasanya yang menjadi kendala adalah ketidaktahuan kita saja. Makanya bertanya adalah kunci dari proses kemudahan. Selamat berjuang buat semuanya.

Judul untuk postingan ini sebenarnya lebih tepat Cerita-cerita Saat Mengurus Akta Kelahiran, karena tulisan ini adalah catatan saat saya mengurus Akta Kelahiran untuk putra kedua kami. Banyak hal-hal yang amat-sangat menjengkelkan sebenarnya, dan sengaja memang saya share disini, mudah-mudahan bermanfaat, terutama bagi Anda yang hendak mengurus hal yang sama.

Seminggu setelah kelahiran putra kedua kami -Daffa- saya berinisiatif untuk mulai mengurus Akta Kelahiran-nya. Sebenarnya, akta tersebut akan diurus oleh bidan yang menangani persalinan istri saya. Namun untuk data-data pendukungnya harus saya yang mengurus sendiri karena kebetulan tempat tinggal kami yang sekarang berbeda dengan alamat yang tertera di Kartu Keluarga. Inilah yang kemudian menjadi kendala, karena saya harus mondar-mandir, dan waktu terbuang disitu. Okelah, saya kembali ke cerita, Selasa, tanggal 24 April, saya izin setengah hari dari kantor. Itu untuk meminta surat pengantar dari RT dan RW di Surabaya, sesuai dengan alamat pada Kartu Keluarga. Maklum, kami sekarang ini tinggal di Sidoarjo. Namun sepertinya nasib baik belum berpihak pada saya. Sekretaris (atau Bendahara?) yang bertugas mengeluarkan surat pengantar tidak berada di tempat. Sedang keluar, kata tetangganya. Tapi ketika saya coba konfirmasi lebih jauh, orang tersebut tidak bisa menjawab dengan pasti, keluar kemana atau sampai berapa lama. Saya pun bimbang: lebih baik menunggu sampai yang bersangkutan datang atau mending langsung pulang saja? Akhirnya karena rasa segan saya terhadap ibu mertua (masa baru datang langsung pulang?) saya pun menunggu-lah. Satu atau dua jam kemudian orang yang saya tunggu-tunggu pun terlihat datang. Bergegas saya menemui orang tersebut di rumahnya dan menjelaskan keperluan saya. Singkatnya, saya pun berhasil mendapatkan Surat Pengantar. Namun, karena surat itu harus bertanda-tangan dan berstempel RT/RW, saya segera menuju rumah Pak RT. Lagi-lagi nasib baik tidak bersama saya. Yang bersangkutan sedang bekerja, dan biasanya baru pulang setelah Maghrib. Saya pun menimbang-nimbang lagi: andai saya menunggu Pak RT pulang kerja dan andai saya berhasil mendapat stempel RT, tetap saja saya tidak bisa melanjutkan mengurus surat pengantar tersebut karena jam kerja RW-nya hanya sampai jam 4 sore saja. Jadi, untuk bertemu Pak RT harus malam hari sedang untuk bertemu Pak RW harus siang hari. Prosesnya juga tentu tak bisa dibalik. Hal ini yang cukup mengganggu bagi saya, yang tidak bertempat tinggal disitu. Maka dengan terpaksa surat itu saya titipkan kepada adik ipar saya agar dia mengurus validasi-nya ke Pak RW. Catatan 1: Ketika Anda hendak mengurus hal-hal semacam ini, Anda sebaiknya tidak terburu-buru mengajukan cuti. Sebab mungkin saja ada hal-hal diluar prediksi Anda -sekalipun remeh- yang akan menghambat rangkaian proses itu. Disamping cuti Anda akan sia-sia, pun juga akan memperburuk penilaian terhadap kinerja Anda. Jadi lebih aman bila untuk satu atau dua hari Anda izin masuk setengah hari. *** Tepat seminggu kemudian, saya mendapat informasi dari adik ipar saya bahwa tanda-tangan RW sudah didapatkannya. Artinya, surat pengantar itu siap untuk diproses lebih lanjut. Selasa, tanggal 2 Mei saya kembali izin setengah hari untuk mengurus ke kantor Kelurahan. Dokumen-dokumen pendukung lainnya seperti copy Surat Nikah, Kartu Keluarga dan KTP sudah saya siapkan dan saya sertakan dalam satu map. Saya pikir, beres.

Namun (lagi-lagi) nasib baik masih jauh dari saya. Dokumen saya ditolak karena dianggap belum lengkap. Copy Surat Nikah yang saya sertakan harus terlegalisir; disamping itu juga harus disertakan copy KTP dari dua orang saksi (yang ini sekedar formalitas saja karena saya dipersilahkan menggunakan KTP siapa saja). Akhirnya, dengan terpaksa saya pun kembali ngantor. Catatan 2: Karena banyaknya kasus pemalsuan dokumen seperti itu, ada baiknya bila dokumendokumen copy tersebut sudah terlegalisir. Atau bila memungkinkan bawa saja sekalian dokumen aslinya.

Perjuangan saya pun berlanjut Setelah dua kali mengalami hambatan (yaitu saat di RT dan saat di Kelurahan), Jumat-nya, 4 Mei, saya membulatkan tekad untuk mengambil izin cuti satu hari guna menuntaskan urusan ini. Setidaknya berkas harus sudah sampai di kantor Kecamatan. Namun pagi itu hujan turun sejak shubuh, dan itu sudah cukup untuk membuat saya bimbang; berangkat pagi ini atau agak siang nanti. Dan karena istri saya juga mengeluhkan elpiji yang habis, jadilah saya harus menunggu sampai toko buka. Setelah semua urusan di rumah selesai, saya pun segera berangkat ke Surabaya. Saat itu sudah pukul 9.00 siang. Kira-kira satu jam lebih saya baru sampai di Surabaya, dan saya langsung menuju ke Kantor Urusan Agama tempat surat nikah kami dulu diterbitkan, tujuannya adalah untuk melegalisir copy dokumen tersebut. Sudah saya siapkan sepuluh lembar copy Surat Nikah untuk dilegalisir, meskipun kemarin yang diminta hanya empat lembar. Lagi-lagi usaha saya agak terhambat. Rupanya copy Surat Nikah yang saya bawa belum lengkap, yaitu halaman terakhir dari buku tersebut tidak saya copy-kan. Sebenarnya di kantor tersebut terdapat mesin fotocopy sekaligus printer juga. Mestinya lebih mudah, bukan? Nyatanya tidak, sebab saat saya kesana mesin fotocopy tersebut sedang rusak dan belum bisa diperbaiki. Jadilah saya harus keluar lagi untuk mencari tukang fotocopy. Sekembalinya dari situ di tengah perjalanan sempat ada razia kendaraan oleh Polantas. Beruntung surat-surat saya lengkap. Catatan 3. Bila Anda menggunakan kendaraan pribadi, ada baiknya Anda melengkapi surat-surat sekaligus memeriksa kondisi kendaraan Anda. Intinya, jangan sampai hal-hal yang di luar proses menghambat proses tersebut. Dalam benak saya, urusan di KUA ini dan kemudian di kantor Kelurahan bisa selesai sebelum sholat Jumat, sehingga setelah sholat Jumat saya tinggal meneruskan ke kantor Kecamatan. Namun apa yang saya harapkan tak sama dengan kenyataan di lapangan. Untuk menandatangani copy-an Surat Nikah itu saja butuh waktu sampai jam 11.00, gara-gara Kepala KUA-nya masih sibuk dengan mesin fotocopy-nya yang rusak. Weleh-weleh

Catatan 4. Untuk legalisir Surat Nikah, yang harus Anda fotocopy ada tiga halaman, yaitu; halaman pertama yang berisi foto kedua pasangan; halaman berikutnya yang berisi data-data kedua pasangan; dan halaman terakhir yang berisi keterangan mas kawin dan tanggal diterbitkannya surat atau akad nikah terjadi. Dan ketiga halaman tersebut harus jadi satu dalam satu lembar folio, tidak boleh terpisah. Setelah legalisir selesai, saya mampir ke rumah mertua saya untuk mengambil copy KTP saksi yang sudah disiapkan oleh adik ipar saya. Namun, lagi-lagi tak mulus. Orang seisi rumah tak ada yang tahu dimana adik saya meletakkan copy KTP tersebut. Dan baru ketemu saat adik saya tersebut pulang dari sekolah. Dan itu sudah pukul 11.30! Tak membuang waktu, bergegas saya ke kantor Kelurahan. Dan, oleh beberapa orang yang masih berada disana saya diberi informasi bila yang bersangkutan sudah istirahat dan dipersilahkan kembali lagi nanti jam 13.00. Huft! Tapi bagaimanapun saya harus memaklumi hal itu karena hari itu adalah hari Jumat, yang sholat Jumat biasanya dimulai sebelum pukul 12.00. Saya pun bergerak ke masjid terdekat. *** Setelah sholat Jumat dan menyempatkan diri menikmati ayam bumbu bali di sebuah warung, saya lalu kembali ke kantor Kelurahan. Disana saya diterima dengan cukup baik. Petugas bagian pelayanan segera membuatkan surat pengantar untuk saya. Surat itu nantinya digunakan di kantor Kecamatan beserta dokumen-dokumen pendukung lainnya. Anehnya, petugas tersebut tidak lagi menanyakan tentang copy KTP saksi yang harus saya bawa. Asumsi saya, copy KTP tersebut digunakan saat di kantor Dinas Kependudukan. Tapi tahukah Anda, apa yang membuat saya lebih kesal? Setelah surat pengantar tersebut selesai, oleh petugas yang bersangkutan tidak segera dimintakan tanda-tangan ke Kepala Kelurahan. Anda tahu kenapa? Pak Lurah sedang istirahat (baca: tidur)! Dan petugas ini tidak berani mengganggu. Selama satu jam setengah saya menunggu disana hanya untuk menunggu Pak Lurah bangun. Walhasil, saya baru bisa meninggalkan kantor Kelurahan tepat jam 14.30. Catatan 5. Meskipun secara aturan jam kerja bisa sampai jam 16.00 sore, namun biasanya instansiinstansi semacam ini sudah tidak melayani warga lagi selepas jam 15.00. Saya tak mau komentar untuk hal ini. Tak ingin ketinggalan jam, saya segera memacu motor saya menuju ke kantor Kecamatan. Saya serahkan berkas-berkasnya termasuk Surat Pengantar dari Kelurahan. Saya kemudian diberikan tanda terima untuk mengambil hasil print out NIK-nya hari Rabu besok. Dari petugas di kantor Kecamatan tersebut saya mendapat informasi bahwa harus terbit Akta Kelahiran dulu, baru kemudian saya harus mengulang prosesnya lagi untuk mendapatkan Kartu Keluarga yang baru.

Aduh, sudah terbayang deh capeknya! Perjuangan saya kembali dilanjutkan Karena hari Rabu-nya masih ada pekerjaan yang nanggung untuk segera diselesaikan, akhirnya baru pada keesokan harinya, yaitu tanggal 10 Mei saya menyempatkan diri ke kantor Kecamatan guna mengambil hasil print out NIK. Saya tiba disana cukup pagi, yaitu pukul 9.00 kurang. Saya segera masuk dan menanyakan apakah hasil print out saya sudah bisa diambil. Jawabannya sudah bisa ditebak: belum dikerjakan. Dan karena petugasnya sudah datang, maka saya diminta menunggu sebentar agar hasil print out tersebut bisa segera saya bawa ke kantor Dispenduk. Namun, bila Anda menganggap sebentar itu berarti beberapa menit, Anda siap-siap saja mendengus kesal. Saya tidak tahu komputer model apa yang mereka gunakan, atau metode mengetik macam apa yang mereka terapkan, sehingga untuk mencetak lembaran print out tersebut membutuhkan waktu sampai satu jam lebih! Tapi Anda akan menganggap saya lebih beruntung karena beberapa orang yang datang, dengan entengnya si petugas -tanpa rasa bersalah dan permintaan maaf- mengatakan berkas belum selesai dan disuruh kembali lain hari. Dia tidak tahu bahwa untuk datang ke kantor itu, mereka harus rela meninggalkan pekerjaan mereka. Bahkan seorang nenek-nenek sempat mengeluh kepada saya tentang buruknya pelayanan di kantor Kecamatan. Dia harus bolak-balik hanya untuk mengurus surat kematian keluarganya, padahal ongkos naik becak untuk sekali pulang-pergi saja sampai 40 ribu rupiah! Saya tentu yakin uang sebesar itu besar juga nilainya buat si nenek tersebut. Petugas yang lain sempat bertanya kepada nenek tersebut, kenapa tidak naik motor (maksudnya diantar) saja? Si nenek menjawab bahwa motornya dipakai anaknya untuk bekerja. Si petugas tersebut lantas nyletuk (sambil makan roti), anak macam apa yang tidak mau mengantar ibunya Nah, siapa menyalahkan siapa sekarang??? Setelah sejam lebih bengong di kantor Kecamatan, hasil print out tersebut akhirnya selesai dan saya dipersilahkan langsung membawanya ke kantor Dispenduk. Disinilah saya melakukan kesalahan. Seharusnya, karena proses kelahiran di wilayah Sidoarjo, maka yang berhak menerbitkan Akta Kelahiran tersebut adalah Dispenduk Sidoarjo. Di kantor Dispenduk Surabaya berkas saya ditolak dan diarahkan untuk mengurusnya di Dispenduk wilayah Sidoarjo. Saya pun kembali ngantor. Catatan 6. Selalu-lah bertanya -bahkan- untuk urusan yang lebih detail. Namun jangan sampai terkesan cerewet. Sedikit catatan, karena kemudian saya hendak menaruh berkas tersebut ke Dispenduk Sidoarjo melalui bidan yang mengurusi persalinan istri saya, saya kemudian diberi formulir isian Surat Keterangan Kelahiran yang nantinya diharuskan untuk di validasi bidan tersebut dan Kepala Desa Surabaya.

Akhirnya, tanggal 15 Mei-nya saya izin keluar kantor sebentar untuk pergi ke kantor Kelurahan guna meminta tanda tangan dari Pak Lurah. Beruntung orangnya berada di tempat sehingga saya bisa langsung kembali ngantor. Pada hari itu juga, berkas tersebut saya serahkan ke bidan untuk kemudian diserahkan ke kantor Dispenduk. *** Sampai artikel ini saya tulis, akte kelahiran anak saya masih belum jadi, padahal sudah hampir 1 bulan sejak masuk kantor Dispenduk. Namun, baru saja saya mendapat informasi dari bidan yang bersangkutan bahwa akte tersebut akan selesai pada tanggal 6 Juli 2012 yang itu berarti 7 minggu dan bukan 7 hari seperti yang diiklan-kan. Huft!

Anda mungkin juga menyukai