Anda di halaman 1dari 30

Pengapuran Sendi Lutut (Osteoarthritis)

Diperkirakan kurang lebih 25% orang berusia 55 tahun atau lebih mengalami nyeri lutut yang terjadi hampir setiap hari dalam satu bulan. Pengapuran sendi lutut atau istilah medisnya dikenal sebagai osteoarthritis sendi lutut, meningkat prevalensinya sejalan dengan bertambahnya usia dan lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan pria. Faktor risiko terjadinya pengapuran sendi lutut meliputi kegemukan (obesitas), trauma daerah lutut, riwayat operasi daerah lutut, pekerjaan yang membuat seseorang membungkuk dan mengangkat beban. Perjalanan penyakit pengapuran sendi lutut ini sangat bervariasi. Penyakit dapat membaik pada beberapa pasien, tetap stabil tidak berubah pada pasien lain, atau penyakit memburuk secara perlahanlahan pada pasien lainnya. Pengapuran sendi lutut merupakan penyebab tersering terjadinya gangguan mobilitas pada orang usia lanjut. Banyak orang dengan nyeri pada sendi lututnya mengalami keterbatasan dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari, seperti mandi, berpakaian, menggunakan jamban, berjalan, dan sebagainya. Pengapuran sendi lutut memengaruhi seluruh struktur di dalam sendi, tidak hanya menyebabkan hilangnya lapisan hialin rawan sendi, namun perubahan bentuk tulang atau pembesaran tulang juga terjadi, yang disertai pula dengan teregangnya kapsul sendi dan kelemahan otot-otot di sekitar sendi lutut. Nyeri pada pengapuran sendi lutut umumnya terkait dengan aktivitas, seperti naik tangga, bangkit dari kursi, dan berjalan dengan jarak cukup jauh. Kekakuan sendi juga lazim terjadi pada pagi hari namun biasanya berlangsung kurang dari 30 menit. Tatalaksana pengapuran sendi lutut meliputi upaya untuk mengurangi rasa nyeri, memperbaiki bentuk abnormal sendi lutut yang menjadi bengkok, serta mengidentifikasi ketidakstabilan sendi lutut Terapi non farmakologis (terapi bukan obat) meliputi: - Latihan jasmani dengan berat badan tanpa atau hanya sebagian saja ditopang oleh sendi lutut (misalnya berenang, naik sepeda, dan sebagainya), serta latihan jasmani untuk menguatkan otototot paha. Hindari melakukan latihan jasmani jika nyeri pada sendi lutut bertambah buruk - Menurunkan berat badan atau bila perlu berjalan dengan bantuan tongkat untuk mengurangi beban dari berat badan yang harus ditopang oleh sendi lutut. Tongkat yang digunakan dipegang oleh tangan yang berada di sisi yang berseberangan dengan sisi sendi lutut yang nyeri. Pada saat digunakan, tongkat dan tungkai yang nyeri harus menapak pada saat yang bersamaan. - Memperbaiki abnormalitas sendi lutut yang membengkok dengan brace atau patellar taping atau lapisan dalam sepatu (shoe insert) jika tidak membaik dengan terapi medis lainnya - Akupunktur dapat mengurangi rasa nyeri setelah beberapa kali sesi akupunktur dilakukan Terapi obat meliputi: - Analgetik untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat berupa obat minum atau obat topikal yang dioleskan di daerah lutut

- Suntikan asam hialuronat (hyaluronic acid) ke dalam sendi lutut - Glukosamin and kondroitin sulfat - Suntikan kortikosteroid ke dalam sendi lutut Obat pengurang rasa nyeri yang lazim digunakan meliputi asetaminofen (parasetamol), obat anti inflamasi (anti radang) non-steroid (AINS) misalnya Natrium Diklofenak, Piroksikam, Ibuprofen, dan sebagainya, serta penghambat siklooksigenase-2 (COX-2 inhibitor) seperti Celecoxib. AINS dan COX-2 inhibitor lebih efektif mengurangi rasa nyeri dibandingkan parasetamol. Walaupun demikian, kelebihan AINS terhadap parasetamol dalam mengurangi rasa nyeri tersebut tidak terlalu berbeda jauh dan oleh karena efek samping toksisitas AINS terhadap ginjal dan efek samping AINS terhadap terjadinya perdarahan saluran cerna, parasetamol seyogianya menjadi terapi lini pertama untuk mengurangi nyeri pada pengapuran sendi lutut, meskipun tampaknya parasetamol kurang efektif di antara pasien yang telah mendapat terapi AINS sebelumnya.

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN OSTEOARTHRITIS LUTUT PENDAHULUAN Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi, dimana terjadi proses degradasi interaktif sendi yang kompleks, terdiri dari proses perbaikan pada kartilago, tulang dan sinovium diikuti komponen sekunder proses inflamasi. Prosesnya tidak hanya mengenai rawan sendi namun juga mengenai seluruh sendi, termasuk tulang subkondral, ligamentum, kapsul dan jaringan sinovial serta jaringan ikat periartikuler. Pada stadium lanjut rawan sendi mengalami kerusakan, ditandai adanya fibrilasi, fisur, dan ulserasi yang dalam pada permukaan sendi. Paling sering 1, 2, 3, 4 mengenai vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan tangan kaki. OA merupakan kelainan degeneratif sendi yang paling banyak didapatkan di masyarakat, terutama pada usia lanjut. Lebih dari 80% usia diatas 75 tahun menderita OA. OA merupakan kasus terbanyak yang terdapat di rumah sakit dari semua kasus penyakit rematik. Di poliklinik Reumatologi RSUP Sanglah Denpasar (2001-2003), OA merupakan kasus tertinggi (37%) diikuti dengan RNA, AG, SLE, dan lain-lain. Kelainan pada lutut merupakan kelainan terbanyak dari OA diikuti sendi panggul dan tulang belakang. Di Indonesia prevalensi OA lutut yang tampak secara radiologik mencapai 15,5 % pada pria dan 12,7 % pada wanita berumur antara 40-60 tahun. Data di RSUP Sanglah Denpasar (2001-2002), 3, 5 keluhan lutut didapatkan terbanyak (97%) dari semua penderita OA. OA diklasifikasikan menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder. OA disebabkan oleh perubahan biomekanikal dan biokimia tulang rawan, dimana akan terjadi ketidakseimbangan antara degradasi dan sintesis tulang rawan. Ketidakseimbangan ini menyebabkan pengeluaran enzim-enzim degradasi dan pengeluaran kolagen yang akan mengakibatkan kerusakan tulang rawan sendi dan sinovium (sinuvitis sekunder) akibat terjadinya perubahan matriks dan struktur. Selain itu juga akan terjadi pembentukan osteofit sebagai suatu proses perbaikan untuk membentuk kembali persendian 1,4,7 sehingga dipandang sebagai kegagalan sendi yang progresif. Pada umumnya penderita OA mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama tetapi berkembang secara perlahan-lahan. Penderita OA biasanya mengeluh pada sendi yang terkena yang bertambah dengan gerakan atau waktu melakukan aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Selain itu juga terdapat kaku sendi dan krepitus, bentuk sendi berubah dan gangguan fungsi sendi. Pada derajat yang lebih berat, nyeri dapat dirasakan terus menerus sehingga sangat mengganggu mobilitas

penderita. OA sendi lutut ditandai oleh nyeri pada pergerakan yang hilang bila istirahat, kaku sendi terutama setelah istirahat lama atau bangun tidur, krepitasi sewaktu pergerakan dan dapat disertai sinovitis dengan atau tanpa efusi cairan sendi. Nyeri akan bertambah jika melakukan kegiatan yang membebani lutut seperti berjalan, naik turun tangga, berdiri lama. Gangguan tersebut mulai dari yang 8,9 paling ringan sampai yang paling berat sehingga penderita tidak bisa berjalan. Diagnosis OA sudah dapat ditegakkan berdasarkan kriteria klasifikasi The American College of Rheumatology yaitu adanya nyeri lutut dan gambaran radiografik osteofit dan salah satu dari : umur > 50 tahun, kaku sendi <>3,10 Prinsip penatalaksanaan OA bertujuan untuk menghilangkan keluhan, mengoptimalkan fungsi sendi, mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kualitas hidup, menghambat progresivitas penyakit dan mencegah komplikasi. Pilar terapi: non farmakologis (edukasi, terapi fisik, diet, penurunan berat badan), farmakologis (analgetik, kortikosteroid lokal, sistemik, kondroprotektif dan biologik), dan 1,3 pembedahan. OA sendi lutut merupakan kelainan sendi yang mempunyai dampak terhadap kehidupan sehari8,11 hari penderitanya. Walaupun belum ada pengobatan medis yang dapat menyembuhkan dan menghentikan progresifitas OA, banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghilangkan nyeri, menjaga mobilitas dan meminimalkan disabilitas. Merupakan sebuah tantangan bagi para klinisi untuk menemukan cara mempertahankan fungsi sendi, mengobati nyeri sendi dan inflamasi yang bisa 12,13 terjadi. Kunci menuju manajemen yang efektif dari OA berpegangan kepada diagnosis yang akurat dan tepat. Pengelolaan penderita OA baik secara farmakologik atau non farmakologik dapat dilakukan dengan lebih tepat dan aman bila terdapat pemahaman yang baik mengenai patogenesis dan sifat nyeri OA yang multifaktorial. Hal ini menuntut ketrampilan para tenaga medis pada umumnya dan dokter umum pada khususnya sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat dan adekuat terhadap penderita dengan OA. Pada tinjauan kasus ini akan dibahas mengenai pendekatan diagnostik dan penatalaksanaan pada penderita dengan OA lutut. KASUS Seorang penderita, perempuan, 49 tahun, agama Islam, suku Sunda, pekerja serabutan TK Barunawati, beralamat di Pulau Ambon No.25 Denpasar, datang dengan keluhan nyeri pada lutut sejak 3 bulan SMRS. Nyeri dirasakan pada lutut kanan dan terlokalisir. Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk pada lutut kanan. Nyeri yang dirasakan sangat hebat sampai penderita tidak bisa berjalan dengan baik, seperti terpincang-pincang, sulit berjalan meskipun masih belum menggunakan alat bantu tongkat dan aktivitas sehari-hari menjadi terhambat. Nyeri dirasakan setiap hari, dimana pada awalnya nyeri dirasakan tidak terlalu berat, muncul secara perlahan-lahan namun sejak 2 bulan SMRS nyeri dirasakan semakin memberat. Nyeri memberat terutama bila penderita melakukan aktivitas seperti berjalan jauh, bolak-balik dari rumah ke tempat kerjanya dan mengangkat beban yang berat (membawa 2 ember berisi air masingmasing 5 liter). Nyeri pada lutut dirasakan memberat bila penderita mencoba untuk berjalan dan sedikit membaik bila penderita beristirahat. Nyeri juga membaik setelah penderita minum jamu Mahkota Dewa, dimana nyeri berkurang namun 2 hari kemudian muncul lagi saat penderita beraktivitas biasa. Penderita juga mengeluh susah menggerakkan lutut kanannya sejak 2 bulan SMRS, dirasakan biasanya pada pagi hari sekitar 20-30 menit. Lutut susah digerakkan, terasa kaku seperti diikat. Kondisi ini mengakibatkan penderita sulit melakukan gerakan seperti menekuk lutut kanan, meluruskan maupun mengangkat tungkai kanan. Kondisi lutut kanan susah digerakkan ini terjadi setiap hari dan lebih sering pada pagi hari saat penderita baru bangun tidur. Keluhan susah menggerakkan lutut kanan ini perlahan

1,3

bisa hilang setelah penderita memaksakan untuk menggerakkan lututnya dengan melakukan aktivitas rumah tangga yang rutin dilakukan (menyapu dan memasak) meskipun nyeri lutut masih dirasakan. Keluhan lain yang dirasakan yaitu lutut kanan yang membesar. Hal ini dirasakan penderita sejak 2 bulan yang lalu dan dirasakan bertambah besar sejak 1 bulan SMRS. Lutut kanan membesar terasa seperti ada benda yang mendesak dari dalam lutut, warna kulit sama seperti disekitarnya, dan bila ditekan akan mudah kembali dengan cepat. Lutut kanan penderita membesar hingga menyerupai cabang batang pohon mangga. Pembesaran lutut kanan terjadi secara perlahan-lahan tanpa disadari oleh penderita hingga saat 1 bulan SMRS penderita baru menyadarinya. Pembesaran lutut tidak berkurang meski penderita mencoba beristirahat atau dengan minum jamu. Penderita juga mengeluh lutut terasa hangat sejak 2 bulan SMRS. Keluhan hangat di lutut terasa di lutut kanan. Hangat terasa seperti air hangat untuk mandi (suam-suam kuku). Awalnya penderita tidak nemyadari lutut kanannya terasa hangat, namun sejak lututnya membengkak, setelah penderita membandingkan dengan lutut kirinya, barulah penderita sadar lututnya terasa hangat. Lutut terasa hangat ini terjadi terus-menerus, tidak menghilang, namun juga tidak bertambah panas. Penderita juga mengeluh bunyi krepet-krepet di lutut sejak 3 bulan SMRS. Keluhan ini terasa di lutut kanan. Bunyi krepet-krepet dirasa seperti bunyi orang membelah kerupuk. Bunyi krepet-krepet ini kadang-kadang bisa sampai terdengar bila penderita bangun dari jongkok, meluruskan atau menekuk lututnya setelah beraktivitas. Bunyi krepet-krepet ini terjadi awalnya bersamaan dengan nyeri lutut yang diraakan penderita. Bunyi ini bisa berkurang setelah penderita beristirahat lama, namun kemudian memberat (mengeras) bila penderita beraktivitas seperti berjalan jauh, berdiri lama atau mengangkat ember yang berat. Penderita tidak pernah mengeluh kemerahan pada lututnya. Keluhan bengkak pada pangkal ibu jari tidak ada. Keluhan bengkak pada ibu jari yang tiba-tiba tidak ada. Penderita tidak ada keluhan yang sama pada sendi-sendi lainnya seperti sendi jari tangan, gelang kaki atau telapak kaki. Penderita tidak pernah mengalami benjolan seperti kelereng pada siku dan pergelangan kaki. Penderita tidak mengalami kencing batu. Penderita tidak pernah mengalami kolik. Penderita saat ini sulit menggerakkan lututnya, baik untuk menekuk atau meluruskan kakinya. Akibat nyeri lutut yang dideritanya saat ini penderita menjadi berjalan terpincang-pincang. Riwayat menderita diabetes melitus tidak pernah dialami oleh penderita. Riwayat mengalami benjolan di jari-jari tangan tidak ada. Penderita menderita kegemukan sejak ia menikah yakni kira-kira 2 tahun yang lalu. Penderita mengalami riwayat mikrotrauma akibat sering berjalan kaki setiap harinya dengan jarak yang jauh (kira-kira sehari 2-3 kilometer) sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu. Riwayat menderita sakit gondok tidak ada. Di keluarga penderita, tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan penderita. Di keluarga penderita ada yang menderita penyakit diabetes melitus yakni kakak penderita. Penderita setiap harinya bekerja sebagai pekerja serabutan di TK Barunawati, Denpasar, sejak sekitar 5 tahun yang lalu. Setiap harinya penderita berjalan bolak-balik sebanyak 10-15 kali dari TK Barunawati gedung selatan menuju gedung utara yang jaraknya 150 meter. Penderita juga tiap hari mengangkat 2 ember ukuran 5 liter yang berisi air minum anak SD dengan volume penuh dan membawanya dari gedung selatan menuju gedung utara, dimana penderita sering membawa ember tersebut tidak hanya dengan menenteng saja, namun dengan mengangkat lebih tinggi. Terkadang penderita membawa ember tersebut di kepalanya. Sejak 2 bulan yang lalu penderita mengkonsumsi jamu Mahkota Dewa untuk menghilangkan nyeri lututnya, namun keluhan nyeri tetap muncul setelah 1 hari minum jamu tersebut. Penderita telah berhenti mengkonsumsi jamu tersebut 2 minggu SMRS. Penderita tidak merokok. Penderita tidak pernah menjalani pemeriksaan kadar asam urat.

Pada pemeriksaan fisik umum pada tanggal 13 Januari 2007 didapatkan kesan sakitnya sedang, kesadaran kompos mentis, tinggi badan 155 cm, berat badan 62 kg, dengan status gizi BB Lebih dan IMT = 25 (Obese I).Tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 100 kali/menit, pernafasan 24 kali/menit, temperatur axila 36,5C. Pada pemeriksaan kedua mata tidak tampak anemik. Pada telinga terkesan tenang, tidak ada tophus pada telinga kanan maupun kiri. Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan peningkatan JVP dan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan thoraks, dari inspeksi didapatkan ictus cordis tidak tampak. Pada palpasi, ictus cordis terba di ICS V, satu jari lateral linea midklavikularis kiri, kuat angkat. Pada perkusi didapatkan batas jantung kanan di linea parasternal kanan, batas jantung kiri di satu jari lateral linea midklavikularis kiri, dan ada pinggang jantung. Pada auskultasi jantung didapatkan suara jantung S 1S2 tunggal reguler tidak didapatkan murmur. Pada pemeriksaan paru tidak dijumpai adanya kelainan. Pada pemeriksaan abdomen, tidak didapatkan balotemen serta nyeri ketok sudut kostovertebra. Pemeriksaan fisik lokalis pada sendi ekstemitas didapatkan sendi lutut kanan: pada inspeksi didapatkan asimetrisitas lutut, terdapat pembesaran sendi pada lutut kanan dengan menghilangnya cekungan sekitar patela berukuran diameter 10 cm dengan tidak ada perubahan warna kulit (hiperemi). Palpasi pada lutut kanan didapatkan nyeri tekan derajat 3, dirasakan hangat pada lutut kanan, tidak ada bengkak maupun nyeri. Pemeriksaan gerak sendi didapat keterbatasan gerak fleksi hanya dapat mengerakkan lutut 0 sebesar 60 dan tidak dapat melakukan gerakan ekstensi lutut kanan (ekstensi 0 ). Auskultasi didapatkan suara krepitasi pada sendi lutut kanan. Keadaan sekitar sendi tidak ada kelainan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Pemeriksaan pada lutut kiri normal. Tabel 1. Pemeriksaan Khusus Sendi

Sendi

Inspeksi

Palpasi

Pergerakan

Auskultasi

Sekitar Sendi Tidak ada kelainan

Genu Dekstra

Pembesaran sendi diameter 10 cm, hilangnya cekungan sekitar patela, tidak ada hiperemi

Nyeri tekan derajat 3, teraba hangat, tidak bengkak tidak nyeri.

Fleksi 600, ektensi 00.

Krepitasi ada

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan meliputi pemeriksaan laboratorium darah, kimia darah, urine lengkap, dan radiologi. Pemeriksaan laboratorium darah tanggal 12 januari 2007 didapatkan : WBC: 11,27 k/uL, Hb: 14,8 g/dL, HCT: 42,8% dan PLT:453 K/uL. Hasil kimia darah tanggal 12 januari 2007 BUN 13,6 mg%, serum creatinin 0,78 mg%, uric 5,3mg/dl, ureum 29,1 mg/dl. Pemeriksaan urin lengkap didapatkan hasil: Leukosit 5, pH 5,0, protein albumin tidak ada, warna kuning. Sedimen: Leukosit 6-8, eritrosit tidak ada, sel epitel gepeng 2, bulat 4-5, tubulus cell tidak ada. Pemeriksaan roentgen Genu dextra AP/Lateral pada tanggal 10 januari 2007 didapatkan osteofit pada tepi sendi dan terjadi penyempitan celah sendi dengan kesan: OA genu Dextra.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, maka penderita didiagnosis dengan Fungsional Kelas II/OA et. causa Sekunder/Genu Dekstra. Terapi yang diberikan berupa non farmakologis dan farmakologis. Terapi non farmakologis meliputi edukasi, terapi fisik dan diet 1200 kalori per hari. Terapi farmakologis yaitu Na diklofenak 250 mg. PEMBAHASAN OA adalah penyakit degenerasi kartilago artikuler yang berlangsung secara perlahan-lahan ditandai nyeri 12 sendi, kekakuan dan keterbatasan gerakan yang berkembang secara progresif. Tanda-tanda tersebut kami temukan pada penderita ini. Berdasarkan etiologinya OA diklasifikasikan menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin, trauma (akut atau kronik akibat pekerjaan atau olahraga), inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama, faktor mekanik, penyakit deposit kalsium, penyakit tulang dan sendi lainnya, difus, neuropatik 1 endemik. Beberapa faktor resiko yang diketahui berhubungan dengan penyakit OA, diantaranya : faktor resiko umum yang penting yaitu kegemukan, faktor genetik dan jenis kelamin dengan wanita lebih sering, serta beberapa faktor resiko lain seperti usia lebih dari 40 tahun, suku bangsa, genetik, cedera sendi, 1,4,6 pekerjaan, olahraga, kelainan pertumbuhan, kepadatan tulang, dan lain-lain. Pada penderita ini, berdasarkan anamnesis riwayat sosialnya, penderita melakukan aktivitas/pekerjaan yang menyebabkan penggunaan berlebihan (overuse evercise) dari sendi lutut kanan penderita. Aktivitas/pekerjaan tersebut telah dijalankannya sejak lebih kurang 2 tahun. Selain itu dari pemeriksaan fisik, penderita ini juga mengalami kegemukan (obese I). Kondisi-kondisi merupakan faktor-faktor risiko terjadinya OA. Jadi dapat disimpulkan pada penderita ini termasuk OA sekunder. Penderita datang dengan keluhan utama nyeri sendi pada lutut kanan sejak 3 bulan SMRS. Nyeri sendi merupakan keluhan yang umum terjadi pada penyakit reumatik, yaitu artritis gout, OA, keganasan, reumatik septik dan lain sebagainya. Pada penderita ini nyeri terlokalisir pada lutut kanan tanpa adanya nyeri pada sendi yang lain, nyeri bertambah saat melakukan gerakan (seperti berjalan) dan berkurang apabila beristirahat. Tidak ada demam. Tidak ada podagra. Nyeri tidak menetap sepanjang hari. Nyeri seperti ini biasanya ditemukan pada OA. Penderita juga mengeluh mengalami kaku sendi. Kaku sendi dirasakan penderita pada pagi hari. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh desakan cairan yang berada di sekitar jaringan yang mengalami inflamasi (kapsul sendi, sinovia, atau bursa). Kaku sendi makin nyata pada pagi hari atau setelah istirahat. Setelah digerak-gerakkan, cairan akan menyebar dari jaringan yang mengalami inflamasi sehingga penderita merasa terlepas dari ikatan dan bisa menggerakkan sendinya kembali. Lama kaku 1 sendi pada OA adalah kurang dari 30 menit sedangkan pada AR minimal satu jam. Pada penderita ini, kaku sendi juga dirasakan pada pagi hari selama kira-kira 20-30 menit dan menghilang dengan sendirinya bila penderita menggerakkan kakinya dengan beraktivitas seperti biasa. Hal ini sesuai untuk mendukung keluhan pada penderita OA. Penderita juga mengeluh mengalami pembesaran lutut. Dirasakan oleh penderita sejak 1 bulan yang lalu. Sendi yang membengkak/membesar bisa disebabkan oleh penonjolan tulang, sinovitis, efusi dan karena adanya osteofit yang dapat mengubah permukaan sendi. Pada penderita ditemukan osteofit pada pemeriksaan rontgen. Pemeriksaan fisik lokalis pada ekstemitas didapatkan sendi lutut kanan: pada inspeksi didapatkan asimetrisitas lutut terdapat pembesaran sendi pada lutut kanan dengan menghilangnya cekungan sekitar patela berukuran diameter 10 cm dengan tidak ada perubahan warna kulit. Palpasi pada lutut kanan

didapatkan nyeri tekan derajat 3 dan pada perabaan dirasakan hangat pada lutut kanan. Pemeriksaan gerak sendi didapat keterbatasan gerak fleksi hanya dapat mengerakkan lutut sebesar 60 dan tidak dapat melakukan gerakan ekstensi lutut kanan. Hambatan gerak terutama disebabkan oleh adanya osteofit remodeling, penebalan kapsul, dan juga adanya efusi. Pada auskultasi sendi lutut kanan penderita ditemukan adanya krepitasi, dimana terdengar suara gemeretak kretek-kretek seperti suara krupuk yang diremukkan. Gejala ini mungkin timbul disebabkan karena gesekan kedua permukaan tulang 1, 14 sendi yang iregular pada saat sendi digerakkan ataupun secara pasif dimanipulasi. Pemeriksaan radiologis pada penderita ini didapatkan adanya gambaran radiologis berupa penyempitan sendi dan osteofit pada pinggir sendi. Menipisnya rawan sendi diawali dengan retak dan terbelahnya permukaan sendi di beberapa tempat yang kemudian menyatu dan disebut sebagai fibrilasi. Di lain pihak pada tulang akan terjadi pula perubahan sebagai reaksi tubuh untuk memperbaiki kerusakan. Perubahan itu adalah penebalan tulang subkondral dan pembentukan osteofit marginal, disusul kemudian dengan perubahan komposisi molekular dan struktur tulang. Penipisan kartilago sendi akibat proses degeneratif memberi gambaran penyempitan celah sendi yang tidak simetris pada polos radiologi. Fungsi kartilago sendi berkurang bahkan menghilang mengakibatkan beban stres di daerah subkhondral bertambah. Beberapa subkhondral tersebut dapat diamati pada photo polos radiologi berupa pembentukan osteofit, subkhondral sklerotik, maupun pembentukan kista subkhondral. Pada penderita ini ditemukan adanya pembentukan osteofit. Pada OA, dari anamnesa (gejala klinis), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologi sudah dapat menunjang ditegakkannya diagnosis OA lutut. Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna. Darah tepi (Hb, leukosit, dan LED) dalam batas normal, kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan arthritis peradangan. Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor rheumatoid, dan komplemen) juga normal. Pada OA yang disertai peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis sedang hingga ringan, peningkatan ringan sel radang (<8000/m)>1 Pada penderita ini dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, kimia darah dan urin lengkap karena pemeriksaan tersebut merupakan pemeriksaan rutin. Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada penderita ini tidak ditemukan adanya kelainan. Diagnosis OA sudah bisa ditegakkan secara klinis dengan memakai kriteria OA yang dibuat 1 oleh Subcommittee American College of Rheumatology (ACR). Kriteria OA lutut secara klinis, laboratorium, dan radiologis adalah adanya nyeri lutut, osteofit, dan salah satu dari usia lebih dari 50 1, 3, 5 tahun, kaku sendi kurang dari 30 menit atau adanya krepitus. Pada penderita ini wanita berusia 49 tahun, ditemukan memiliki keluhan nyeri sendi lutut kanan, terdapat kaku sendi selama 20-30 menit, terdapat krepitus, dan pada pemeriksaan radiologi ditemukan adanya osteofit. Pada penderita ini termasuk dalam OA fungsional kelas II, karena berdasarkan anamnesa penderita masih bisa beraktivitas/bekerja sehari-harinya, dan dapat berjalan untuk melaksanakan aktivitas tersebut tanpa bantuan alat; dan dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya gangguan pada sendi lutut kanan. Sehingga berdasarkan kriteria ACR maka penderita ini didiagnosis menderita Fungsional kelas II/OA genu dekstra. Pengelolaan penderita dengan OA bertujuan untuk untuk menghilangkan keluhan, mengoptimalkan fungsi sendi, mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kualitas hidup, menghambat progresivitas penyakit dan mencegah komplikasi. Pilar terapi: non farmakologis (edukasi, terapi fisik, diet/penurunan berat badan), farmakologis (analgetik, kortikosteroid lokal, sistemik, kondroprotektif dan biologik), dan 1,3 pembedahan. Edukasi sangat penting bagi semua pasien OA. Dua hal yang menjadi tujuan edukasi adalah bagaimana mengatasi nyeri dan disabilitas. Pemberian edukasi (KIE) pada penderita ini sangat penting

karena dengan edukasi diharapkan pengetahuan penderita mengenai penyakit OA menjadi meningkat dan pengobatan menjadi lebih mudah serta dapat diajak bersama-sama untuk mencegah kerusakan 3 organ sendi lebih lanjut. Edukasi yang kami berikan pada penderita ini yaitu memberikan pengertian bahwa OA adalah penyakit yang kronik, sehingga perlu dipahami bahwa mungkin dalam derajat tertentu akan tetap ada rasa nyeri, kaku dan keterbatasan gerak serta fungsi. Selain itu juga kami memberi pemahaman bahwa hal tersebut perlu dipahami dan disadari sebagai bagian dari realitas kehidupannya. Kami juga menyarankan agar rasa nyeri dapat berkurang, maka pasien sedianya mengurangi aktivitas/pekerjaannya sehingga tidak terlalu banyak menggunakan sendi lutut dan lebih banyak beristirahat. Pasien juga kami sarankan untuk kontrol kembali sehingga dapat diketahui apakah penyakitnya sudah membaik atau ternyata ada efek samping akibat obat yang diberikan. Terapi fisik bertujuan untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai dan melatih 1 pasien untuk melindungi sendi yang sakit. Pada penderita ini kami anjurkan untuk berolah raga tapi olah raga yang memperberat sendi sebaiknya dihindari seperti lari atau joging. Hal ini dikarenakan dapat menambah inflamasi, meningkatkan tekanan intraartikular bila ada efusi sendi dan bahkan bisa dapat 15 menyebabkan robekan kapsul sendi. Untuk mencegah risiko terjadinya kecacatan pada sendi, sebaiknya dilakukan olah raga peregangan otot seperti m. Quadrisep femoris,dengan peregangan dapat membantu dalam peningkatan fungsi sendi secara keseluruhan dan mengurangi nyeri. Pada pasien ini kami sarankan untuk senam aerobic low impact/intensitas rendah tanpa membebani tubuh selama 30 menit sehari tiga kali seminggu. Hal ini bisa dilakukan dengan olahraga naik sepeda atau dengan melakukan senam lantai. Senam lantai bisa dilakukan dimana pasien mengambil posisi terlentang sambil meregangkan lututnya, dengan cara mengangkat kaki dan secara perlahan menekuk dan meluruskan lututnya. Diet bertujuan untuk menurunkan berat badan pada pasien OA yang gemuk. Hal ini sebaiknya menjadi program utama pengobatan OA. Penurunan berat badan seringkali dapat mengurangi keluhan 1 13 dan peradangan. Selain itu obesitas juga dapat meningkatkan risiko progresifitas dari OA. Pada pasien ini kami menyarankan untuk mengurangi berat badan dengan mengatur diet rendah kalori sampai mungkin mendekati berat badan ideal. Dimana prinsipnya adalah mengurangi kalori yang masuk dibawah energi yang dibutuhkan. Penurunan energi intake yang aman dianjurkan pemberian defisit energi antara 500-1000 kalori perhari, sehingga diharapkan akan terjadi pembakaran lemak tubuh dan penurunan berat badan 0,5 1 kg per minggu. Biasanya intake energi diberikan 1200-1300 kal per hari, dan paling rendah 800 kal per hari. Formula yang dapat digunakan untuk kebutuhan energi berdasarkan berat badan adalah 17 22kal/kgBB aktual/hari, dengan cara ini didapatkan defisit energi 1000 kal/hari. Pada pasien ini kami anjurkan untuk diet 1200 kal perhari agar mencapai BB idealnya yakni setidaknya mencapai 55 kg. Contoh komposisi makanan yang kami anjurkan adalah dalam sehari pasien bisa memasak 1 gelas beras (550 kal), 4 potong tempe sedang (150 kal), 1 buah telur (100 kal), 2 potong ayam sedang (300 kal) dan 1 ikat sayuran kangkung (75 kal). Terapi farmakologis pada penderita OA biasanya bersifat simptomatis. Untuk membantu mengurangi keluhan nyeri pada penderita OA, biasanya digunakan analgetika atau Obat Anti Inflamasi 1 Non Steroid (OAINS). Untuk nyeri yang ringan maka asetaminophen tidak lebih dari 4 gram per hari merupakan pilihan pertama. Untuk nyeri sedang sampai berat, atau ada inflamasi, maka OAINS yang selektif COX-2 merupakan pilihan pertama, kecuali jika pasien mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya hipertensi dan penyakit ginjal. OAINS yang COX-2 non-selektif juga bisa diberikan asalkan ada perhatian khusus untuk terjadinya komplikasi gastrointestinal dan jika ada risiko ini maka harus dikombinasi dengan inhibitor pompa proton atau misoprostol. Injeksi kortikosteroid intraartikuler bisa diberikan terutama pada pasien yang tidak ada perbaikan setelah pemberian asetaminophen dan OAINS. Tramadol bisa diberikan

tersendiri atau dengan kombinasi dengan analgetika lain jika nyerinya belum berkurang. Opioid bisa 3 diberikan jika analgetika yang lain kurang memberikan manfaat. Asetaminophen merupakan analgetika non opioid lini pertama yang semestinya diberikan pada penderita dengan keluhan nyeri yang tidak begitu berat sebelum pemberian analgetik yang lebih 15 kuat. Asetaminophen adalah metabolit fenacetin yang bertangung jawab atas efek analgetiknya. Obat ini adalah penghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek anti inflamasi yang bermakna. Obat ini diberikan per oral dengan dosis untuk nyeri akut yaitu 325-500 mg 4 kali sehari. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, namun tidak adekuat untuk terapi keadaan peradangan. Pada dosis terapi kadang-kadang timbul peningkatan ringan enzim hati tanpa ikterus. Keadaan ini reversibel bila obat dihentikan. Gejala dini kerusakan hati meliputi mual, muntah, diare dan 16 nyeri abdomen. OAINS mempunyai aktifitas anti inflamasi, analgesik dan antipiretik, namun obat-obat golongan ini tidak bisa menghentikan perjalanan alamiah suatu penyakit reumatik. Mekanisme kerja OAINS adalah menghambat kerja enzim cyclooksigenase (COX) sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin (PG) dihambat. COX-1 bermanfaat mempertahankan integritas mukosa gaster dan duodenum, renal blood flow, dan aktifitas koagulasi. Jika aktifitas COX-1 ini dihambat oleh OAINS maka muncul risiko efek samping OAINS tersebut yaitu perdarahan gaster dan duodenum, renal insufisiensi dan perdarahan pada tempat lain. Ekspresi COX-2 meningkat seiring dengan beratnya proses inflamasi. Jika aktifias COX-2 dihambat dengan OAINS, maka proses inflamasi akan berkurang. Natrium diklofenak merupakan obat golongan OAINS COX-1 non-selektif yang diberikan secara oral dengan dosis 50 mg 2-3 15 kali sehari. Obat ini cepat diabsorbsi dan mempunyai waktu paruh yang pendek. Obat ini dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti artritis remathoid dan OA, serta untuk pengobatan nyeri otot rangka akut. Efek samping terjadi pada kira-kira 20% penderita dan meliputi distress dan perdarahan 16 saluran cerna, dan tukak lambung. Bila muncul efek samping gasterointestinal, pengobatan Na diklofenak diganti dengan golongan COX-2 inhibitor selektif seperti colecoxib yang memberikan efek terhadap gastrointestinal lebih rendah dari pada Na diklofenak. Apabila penderita memiliki risiko tinggi terhadap gangguan kardiovaskuler dan ginjal, maka obat NSAID golongan COX-2 selektif inhibitor sebaiknya tidak dijadikan pilihan dan dipilih obat golongan COX1 non selektif. Hal ini disebabkan karena COX-2 inhibitor selektif bisa merangsang aterotrombosis dengan menghambat pembentukan prostasiklin (PGI2)- lewat COX-2 izoenzim di sel endotel makrovaskular- yang merupakan vasodilator yang poten dan inhibitor terhadap proliferasi sel otot polos dan agregasi platelet. Sebagai tambahan, COX-2 inhibitor selektif gagal untuk menghambat pembentukan tromboksan A2 (TXA2) yang memfasilitasi vasokontriksi, aktivasi platelet dan proliferasi otot polos. Teori ini juga didukung oleh penelitian Vioxx Gastrointestinal Outcomes Research (VIGOR) , dimana dilaporkan peningkatan risiko relatif (RR) (2,38 kali; 95% CI; 1,4-4,0) dari kejadian kardiovaskular aterotrombotik di antara 8076 pasien dengan Rheumatois Artritis yang secara acak diberikan pengobatan 18 rofecoxib dibandingkan dengan pengobatan naproxen. Untuk mengurangi keluhan nyeri pada penderita ini, telah diberikan pengobatan Na-diklofenak dengan dosis 250 mg. Hal ini disebabkan pada pasien selain rasa nyeri yang dideritanya, juga terjadi proses inflamasi yakni ditandai adanya bengkak dan rasa hangat di lutut. Pasien sebelumnya telah meminum paracetamol, namun nyeri yang dikeluhkan tidak hilang. Na-diklofenak merupakan obat golongan OAINS COX-1 inhibitor yang non-selektif, dimana obat ini diberikan pada penderita karena tidak terdapat riwayat pernah menderita gangguan gastrointestinal. Pasien ini tidak diberikan obat golongan COX-2 selektif untuk menghindari terjadinya risiko kardivaskuler seperti yang telah diuraikan di atas.

Terapi pembedahan. Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis dan rehabilitasi tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit; dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas yang 1,3 menimbulkan gangguan mobilisasi sendi yang mengganggu aktifitas sehari-hari . Operasi dipertimbangkan pada pasien dengan kerusakan sendi yang nyata, dengan nyeri yang menetap dan 4 kelemahan fungsi . Berdasarkan algoritma management OA lutut yang baru terdiagnosa, terapi pembedahan pada OA bisa dilakukan setelah 18 minggu nyeri OA lutut yang tidak dapat dikontrol dengan baik. Namun algoritma ini tidak mutlak mengingat terapi OA yang sebaiknya bersifat individual dan 6 fleksibel . Teknik yang digunakan adalah total joint arthroplasty dan revision arthroplasty. Sebelum diputuskan untuk melakukan terapi pembedahan, harus dipertimbangkan terlebih dahulu risiko dan keuntungannya. Pada pasien ini tidak sampai dilakukan terapi pembedahan karena nyeri yang dirasa pasien tidak sampai membuat pasien tidak melakukan aktivitas sehari-harinya. Selain itu bila didasarkan pada algoritma penatalaksanaan OA lutut yang baru terdiagnosa, pada penderita ini belum bisa dievaluasi terkontrol tidaknya nyeri yang dirasakan. RINGKASAN Telah dilaporkan kasus dengan OA genu dekstra pada penderita perempuan 49 tahun. OA merupakan kelainan degeneratif sendi yang paling banyak didapatkan di masyarakat. Kelainan degeneratif secara primer terjadi pada tulang rawan dan secara sekunder akan menyebabkan keradangan sekitarnya terutama jaringan sinovium. Penyebab OA diperkirakan multifaktorial. Patogenesis OA secara umum adalah adanya ketidakseimbangan antara degradasi dan sintesis dari tulang rawan sehingga menyebabkan kerusakan tulang rawan dan diikuti dengan perubahan pada tulang subkhondral dan pembentukan osteofit. Perubahan ini secara umum disebabkan berbagai faktor penyebab seperti genetik, host, dan lingkungan. Diagnosis klinis OA dapat dibuat hanya berdasarkan kelainan klinis saja atau dengan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis dengan memakai ACR. Kriteria OA lutut secara klinis, laboratorium, dan radiologis adalah adanya 1) Nyeri lutut dan 2) Osteofit dan 3) salah satu dari usia lebih dari 40 tahun, kaku sendi kurang dari 30 menit dan adanya krepitus. Pada penderita ini didapatkan nyeri sendi lutut kanan, bengkak pada lutut kanan, kaku sendi selama 20-30 menit,dan terdengar adanya krepitasi. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan adanya penyempitan celah sendi dan gambaran osteofit di tepi sendi.

Penanganan rasional OA adalah memakai pendekatan secara menyeluruh sesuai dengan penyebab, beratnya penyakit, dan keadaan umum penderita dan dilihat dari berbagai aspek. Penatalaksanaan OA bertujuan untuk menghilangkan keluhan, mengoptimalkan fungsi sendi, mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kualitas hidup, menghambat progresivitas penyakit dan mencegah komplikasi. Pilar terapi meliputi: Non farmakologis (edukasi, terapi fisik, diet, penurunan berat badan), terapi farmakologis (analgetik, kortikosteroid lokal, sistemik, kondroprotektif dan biologik), dan terapi pembedahan. Beberapa modalitas pengelolaan dapat diterapkan pada penderita OA lutut yaitu penanganan tanpa obat (terapi non-farmakologis), penanganan dengan medikamentosa (terapi farmakologis), dan pembedahan. Pada penderita ini telah diberikan terapi edukasi mengenai OA, terapi fisik dan diet untuk penurunan berat badan dan penanganan dengan obat seperti Na Diklofenak. FAKTOR PREDISPOSISI Ada beberapa faktor predisposisi yang diketahui berhubungan erat dengan terjadinya osteoartrosis sendi lutut, yaitu umur,

jenis kelamin, obesitas, ras dan trauma. Umur merupakan faktor risiko yang penting. Rata-rata lakilaid mendapatkan osteoartrosis sendi lututpada umur 59,7 tahun dengan puncaknya pada usia 5564 tahun, sedangkan wanita 65,3 tahun dengan puncaknya pada usia 6574 tahun. Selain itu juga didapatkan bahwa penderita osteoartrosis yang berumur lebih tua ternyata sudah menderita osteoartrosis lebih lama dibandingkan yang berusia lebih muda (3) . Penderitaosteoartrosis sendi lututmeningkatpada usia lebih dari 65 tahun, baik secara klinik, maupun radiologik. Gambaran radiologik yang berat (grade III dan IV menurut kriteria Kellgreen-Lawrence) makin meningkat dengan bertambahnya umur, yaitu 11,5% pada usia kurang dari 70 tahun, 17,8% pada umur 7079 tahun dan 19,4% pada usia lebih dari 80 tahun; wanita yang mempunyai gambanan radiologik osteoartnosis berat adalah 10,6% pada umur kurang dani 70 tahun, 17,6% pada umur 70-79 tahun dan 21,1% pada umur lebih dari 80 tahun; sedangkan pada laki-laki 12,8% pada umur kurang dani 70 tahun, 18,2% pada umur 7079 tahun dan 17,9% pada umur lebih dani 80 tahun (7) . Prevalensi radiologik osteoantrosis akan meningkat sesuai dengan umur. Pada umur di bawah 45 tahun jarang didapatkan

gambaran radiologik yang berat. Pada usia tua gambanan radiologik osteoartrosis sendi lutut yang berat mencapai 20% (8) . Pada penelitian lain didapatkan bahwa dengan makin meningkatnya umur, maka beratnya osteoartrosis secara radiologik akan meningkat secara eksponensial (dikutip dan 5). Hubungan antana osteoantrosis dengan umur sampai saat ini belum jelas. Penelitian biokimiawi menunjukkan adanya perbe- daan kelainan rawan sendi yang disebabkan oleh proses menua Dibacakan pada Simposium Gangguan Muskuloskeletal, Wisma Metropolitan, Jakarta, 16 April 1994. Cermin Dunia Kedokteran No. 104, 1995 8 dengan yang disebabkan oleh osteoartrosis. Selain perubahan pada rantai proteoglikan dan kandungan air pada rawan sendi, ternyata perubahan pada pembuluh darah sendi akan mengurangi aliran darah ke sendi yang bersangkutan sehIngga akan mempengaruhi proses perbaikan sendi bila terjadi kerusakan (4,5) . Jenis kelamin mempengaruhi timbulnya osteoartrosis. Pada usia di bawah 45 tahun, frekuensi osteoartrosis pada kedua jenis kelamin sama, sedangkan di atas 50 tahun lebih sering terjadi

pada wanita (7,9) . Dari 500 pasien dengan osteoartrosis pada anggota badan, ternyata 41,9% adalah penderita osteoartrosis sendi lutut dan jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki (1,3: 1) (3) . Wanita dan orang kulit hitam akan mendapatkan osteoarthritis sendi lutut lebih berat dibandingkan laki-laki yang menderita osteoartrosis sendi lutut yang berderajat sedang adalah 7%, sedangkan wanita 15,5% dan pada orang kulit hitam, laki-laki 15,6% sedangkan wanita 28,6% (10) . Rasa nyeri juga lebih banyak didapatkan pada wanita dibandingkan laid-laid. Pada orang kulit putih 45,9% wanita merasakan nyeri, sedangkan pada laki-laki hanya 32,5% dan pada orang kulit hitam, wanita yang merasakan nyeri 51,9% sedangkan laki-laki hanya 38,9% (10) . Pada penelitian HANES I didapatkan penderita osteoartrosis sendi lutut pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki (7,6% dibandingkan 4,3%). Frekuensi OA lutut pada wanita kulit hitam lebih tinggi dibandingkan dengan pada wanita kulit putih, sedangkan pada laki-laki, frekuensi pada kulit hitam sama dengan pada kulit

putih (11) . Faktor lain yang berperan pada timbulnya osteoantrosis sendi lutut adalah obesitas. Pada penelitian Framingham didapatkan hubungan yang kuat antara obesitas dan osteoartrosis sendi lutut, terutama pada wanita (12) . Pada penelitian Cushnagan ternyata sebagian besar pasien osteoartrosis mempunyai berat rata-rata di atas normal (3) . Pada penelitian HANES I, ternyata didapatkan pula hubungan yang erat antara berat badan dengan osteoartrosis sendi lutut (11) . Penelitian Silberger menunjukkan bahwa faktor kegemukan bukan hanya berperan dari segi biomekanik tapi juga dari segi metabolik (dikutip dari 4,5). Tikus yang diberi makan makanan yang mengandung asani lemak jenuh, akan lebih banyak yang menderita osteoartrosis dibandingkan tikus yang diberi makan makanan yang banyak mengandung asam lemak tak jenuh. Maquet berusaha menjelaskan secara biomekanika beban yang diterima lutut pada obesitas. Pada keadaan normal, gaya

berat badan akan melalui medial sendi lutut dan akan diimbangi oleh otot-otot paha bagian lateral sehingga resultannya akan jatuh pada bagian sentral sendi lutut. Pada keadaan obesitas, resultan gaya tersebut akan bergeser ke medial sehingga beban yang diterima sendi lutut tidak seimbang. Pada keadaan yang berat dapat timbul perubahan bentuk sendi menjadi varus yang akan makin menggeser resultan gaya tersebut ke medial (dikutip dari 13). Faktor ras diduga mempengaruhi timbulnya osteoartrosis (10,11) . Osteoartrosis lutut lebih sering ditemukan pada orang Asia, sedangkan osteoartrosis panggul lebih sering pada orang Kaukasia. Pekerjaan dan olah raga juga merupakan faktor predisposisi osteoantrosis sendi lutut. Penelitian HANES I mendapatkan bahwa pekerja yang banyak membebani sendi lutut akan mempunyai risiko terserang osteoantrosis lebih besar dibandingkan pekerja yang tidak banyak membebani lutut (11) . Faktor lain adalah merokok. Makin berat perokok, maka makin rendah frekuensi osteoartrosis pada kelompok tersebut (14) .

Hal yang sama juga didapatkan pada penelitian HANES I dan Framingham (11,12) . Hubungan antana merokok dan rendahnya prevalensi osteoartrosis sendi lutut, belum dapat dijelaskan secara pasti. Beberapa faktor metabolik seperti diabetes melitus, hipertensi, hiperurisemi dan Calcium pyrophosphare deposition disease dikatakan juga berperan sebagai faktor predisposisi timbulnya osteoantrosis (4,5) . GAMBARAN KLINIK DAN RADIOLOGIK Gejala klinik yang paling menonjol adalah nyeri. Ada tiga tempat yang dapat menjadi sumber nyeri, yaitu sinovium, jaringan lunak sendi dan tulang. Nyeri sinovium dapat terjadi akibat reaksi radang yang timbul akibat adanya debris dan kristal dalam cairan sendi. Selain itu juga dapat terjadi akibat kontak dengan rawan sendi pada waktu sendi bergerak. Kerusakan pada jaringan lunak sendi dapat menimbulkan nyeri, misalnya robekan ligamen dan kapsul sendi, peradangan pada bursa atau kerusakan meniskus. Nyeri yang berasal dari tulang biasanya akibat rangsangan pada periosteum karena periosteum kaya akan serabut-serabut

penerima nyeri (15) . Selain itu rasa nyeri s dipengaruhi oleh keadaanpsikologikpasien, sehinggadianjurkan untuk melakukan evaluasi psikologik dalam penatalaksanaan penderita osteoartrosis (16) . Nyeri pada osteoantrosis sendi lutut, biasanya mempunyai irama diurnal; nyeri akan menghebat pada waktu bangun tidur dan sore hari. Selain itu, nyeri juga dapat timbul bila banyak berjalan, naik dan turun tangga atau bergerak tiba-tiba. Nyeri yang belum lanjut biasanya akan hilang dengan istirahat, tetapi pada keadaan lanjut, nyeri akan menetap walaupun penderita sudah istirahat (13) . Kaku sendi merupakan gejala yang sering ditemukan, tetapi biasanya tidak lebih dari 30 menit. Kaku sendi biasanya muncul pada pagi hari atau setelah dalam keadaan inaktif. Selain itu krepitusjuga sering ditemukan. Krepitus dapat ditemukan tanpa disertai rasa nyeri, tapi biasanya berhubungan dengan nyeri yang tumpul. Kadang-kadang ditemukan pembengkakan sendi akibat efusi cairan sendi.

Pada keadaan lanjut, dapat ditemukan deformitas sendi lutut, misalnya genu v `rum maupun genu valgus. Bila sudah ditemukan instabilitas ligamentum, hal ini menunjukkan kerusakan yang progresif dan prognosis yang buruk (13,17) . Gambaran radiologik osteoantrosis pertama kali diperkenalkan oleh Kellgren dan Lawrence pada tahun 1957 dan akhirnya diambil oleh WHO pada tahun 1961. Berdasarkan kriteria tersebut, maka gambaran radiologik osteoantrosis dapat berupa pemCermin Dunia Kedokteran No. 104, 1995 bentukan osteofit pada tepi sendi, periarticular ossicles terutama pada sendi interfalang distal dan proksimal, penyempitan celah sendi akibat penipisan rawan sendi, psedokista subkondral dengan dinding yang skierotik, dan perubahan bentuk ujung tulang. Dari lima kriteria tersebut, dibuat kiasifikasi radiologik osteoartrosis atas 5 gradasi, yaitu tidak ada osteoartrosis (0 kritreria), meragukan (1 kriteria), minimal (2 kriteria), sedang (3 kriteria), berat (45 kriteria) (18,19) . Ada hubungan yang positif antara gambaran klinik osteoartrosis sendi lutut dengan gambaran radiologiknya (20) . Tetapi penelitian lain mendapatkan bahwa pada

evaluasi setelah I tahun pengobatan walaupun secara klinik terdapat perbaikan, secara radiologik didapatkan perburukan. Juga didapatkan bahwa obesitas ternyata berhubungan dengan perburukan gambaran radiologik (21) . Altman dkk. menganjurkan foto anteroposterior sendi lutut dalam keadaan berdiri agar dapat dinilai adanya penyempitan celah sendi, osteofit dan sklerosis pada bagian medial dan lateral sendi lutut (22) . KRITERIA DIAGNOSIS DAN INDEKS OSTEOARTROSIS SENDI LUTUT Bila pada seorang penderita hanya ditemukan nyeri lutut, maka untuk diagnosis osteoartrosis sendi lutut hams ditambah 3 kriteria dan 6 kriteria berikut, yaitu umur lebih dari 50 tahun, kaku sendi kurang dari 30 menit, nyeri tekan pada tulang, pembesanan tulang dan padaperabaan sendi lutut tidak panas. Kriteria ini memiliki sensitifitas 95% dan spesifisitas 69% (23) . Bila selain nyeri lutut juga didapatkan gambaran osteofit pada foto sendi lutut, maka untuk diagnosis osteoartrosis sendi lutut dibutuhkan 1 kriteria tambahan dan 3 kriteria berikut, yaitu

umur lebih dari 50 tahun, kaku sendi kurang dari 30 menit dan krepitus. Kriteria ini mempunyai sensitifitas 91% dan spesifisitas 86% (23) . Selain itu dikembangkan pula kriteria untuk menilai berat ringannya osteoartrosis sendi lutut dengan menggunakan index (24) (Tabel 1). Dengan sistem ini, maka bila indexnya 14, maka derajat osteoartrosisnya ekstrim berat; 1113, sangat berat; 810, berat; 57, sedang dan 14, ringan. PENATALAKSANAAN Osteoartrosis sendi lutut merupakan kelainan sendi yang mempunyai dampak terhadap kehidupan sehari-hari penderitanya. Osteoartrosis lutut akan mengurangi penampilan dan mengganggu aktifitas sehari-hari seperti berbelanja, kegiatan rumah tangga dan kegiatan sosial lainnya (25) . Penatalaksanaan penderita osteoartrosis sang at penting agan penderita dapat kembali melakukan aktifitas sehari-hari seperti sediakala. Tujuan penatalaksanaan osteoantrosis sendi lutut adalah untuk menghilangkan nyeri dan peradangan, menstabilkan sendi lutut dan mengurangi beban pada sendi lutut. Penatalaksanaan

sebaiknya dilakukan pada stadium dini, terutama sebelum deformitas sendi dan instabilitas sendi terjadi. Untuk mengurangi beban pada sendi lutut, maka dalam melakukan aktifitas sehari-hari disarankan untuk memperhatikan hal-hal berikut (26)
2

0 atau 2

1) Jangan berjalan atau jogging sebagai pilihan olah raga. Berenang dan bersepeda merupakan alternatifpilihan yang baik. 2) Hindari naik-turun tangga. 3) Duduk lebih baik danipada berdiri. 4) Duduk di kursi yang lebih tinggi lebih baik daripada duduk di sofa yang rendah. 5) Hindari berlutut dan jongkok. 6) Sebelum bangkit dan duduk, geserlah dudukan ke tepi kursi dengan posisi kaki di bawah badan, kemudian gunakan tangan untuk mengangkat badan dan kursi. Diet memegang peranan penting dalam penatalaksanaan penderita osteoantrosis sendi lutut, terutama untuk menurunkan kelebihan berat badan penderita. Walaupun sampai saat ini belum pernahditeliti penganuh penurunan berat badan terhadap nyeri lutut dan progresifitas osteoartrosis sendi lutut, tetapi dihanapkan beban terhadap sendi lutut akan berkurang. Evaluasi psikologik sangat penting untuk diperhatikan, ka-

rena beratnya nyeri dan gangguan fungsional berhubungan erat dengan keadaan psikologik penderita (16) . Terapi fisik memegang peranan yang sangat penting; latihan otot yang teratur akan memperbaiki gangguan fungsional, mengurangi ketergantungan terhadap orang lain dan mengurangi nyeri. Perbaikan tersebut mencapai 1025% pada rehabilitasi selama 24 bulan dan dapat bertahan sampai 8 bulan setelah rehabilitasi (27) . Terapi fisik dapat berupa pemanasan atau pendinginan Cermin Dunia Kedokteran No. 104, 1995 pada sendi yang sakit maupun latihan otot-otot sekitar sendi. Pemanasan dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya diaterini, ultrasound, sinar inframerah dan lain sebagainya. Pemanasan selama 1520 menit cukup efektif untuk mengurangi nyeri dan kekakuan sendi (26) . Latihan-latihan otot yang dapat dilakukan untuk penderita osteoartrosis sendi hitut antara lain adalah quadriceps setting exercise, straight leg raises, progressive resistive exercise (PRE) dan hamstring exercise. Pada quadriceps setting exercise, pen- derita dalam posisi berbaring di tempat tidur

dengan lutut lurus, kemudian penderita disuruh menekan lututnya ke bawah. Per- tahankan selama 5 detik, kemudian istirahat selama 5 detik dan diulangi sampai 1015 kali. Latihan ini dilakukan sebanyak 3 kali perhari, kemudian dapat ditingkatkan sampai 10 kali sehari. Pada straight leg raises, penderita dalam posisi berbaring telen- tang. Bila tungkai kanan yang akan dilatih, maka tungkai kiri dipertahankan lurus, kemudian tungkai kanan diangkat lurus setinggi-tingginya, kemudian turunkan perlahan-lahan sampai kira-kira 6 inchi dari alas dan pertahankan selama 5 detik, lalu istirahat 5 detik. Ulangi sampai 510 kali dan latihan dilakukan 23 kali sehari. Pada progressive resistive exercise (PRE), pen- denta dalam posisi duduk dengan lutut dalam keadaan fleksi dan tungkai bawah diberi beban. Kemudian lutut diekstensikan per-lahanlahan sampai tercapai ekstensi maksimal dan pertahankan selama 5 detik, kemudian istirahat. Latihan diulangi sampai 10 kali dan dilakukan 3 kali perhari. Pada hamstring exercise, penderita dalam posisi berdini kemudian lutut difleksikan 20 kali atau sampai penderita lelah (17) . Obat-obatan untuk osteoartrosis, umumnya hanya bersifat simtomatik untuk mengurangi nyeri. Pada tahap awal dapat dicoba analgetik sederhana, seperti asetaminofen atau salisilat. Bila tidak ada perbaikan, dapat diberikan obat anti inflamasi non

steroid Obat anti inflamasi non steroid bersifat menghambat sintesis prostaglandin sehingga tidak boleh diberikan pada penderita ulkus peptikum yang aktif atau dengan riwayat perdarahan. Pemberian pada orang tuajuga hams hati-hati karena hambatan terhadap sintesis prostaglandin akan menurunkan aliran darah ke ginjal. Pemberian steroid secara sistemik tidak dianjurkan karena efek sampingnya jauh lebih besar daripada efek terapinya. Pemberian injeksi steroid intra-artikuler dapat dipertimbangkan pada keadaan nyeri hebat atau efusi cairan sendi berulang. Efek penurunan nyeri setelah injeksi steroid akan menyebabkan penderita merasa nyaman sehingga penderita tertentu akan tidak memperhatikan pantangan dalam melakukan aktifitas seharihari, sehingga osteoartrosis akan makin berat. Selain itu steroid juga dapat menyebabkan kerusakan rawan sendi secara langsung. Pada keadaan lanjut dengan nyeri persisten,gangguan fungsi yang berat dan deformitas sendi lutut,maka tindakan bedah dapat dipertimbangkan. Pembedahan dapat hanya berupa osteotomi atau sampai tindakan artroplasti maupun artrodesis (13,17,26) . KESIMPULAN 1) Osteoartrosis merupakan kelainan yang bersifat progresif lambat yang mengenai rawan sendi. Kelainan ini akan meng-

ganggu aktifitas sehari-hari penderitanya, terutama bila mengenai sendi lutut. 2) Banyak faktor yang merupakan predisposisi osteoartrosis sendi lutut, seperti umur, jenis kelamin, ras, obesitas, merokok dan beberapa penyakit metabolik. 3) Untuk diagnosis osteoartrosis sendi lutut, dapat digunakan kriteria Altman walaupun sebenarnya kriteria ini dikembangkan untuk penelitian. 4) Pada penatalaksanaan osteoartrosis sendi lutut, penurunan beban terhadap sendi lutut hams diperhatikan, baik dengan mengatur aktifitas sehari-hari maupun dengan mengatur diet dan latihan-latihan otot. Obat umumnya hanya bersifat simtomatik. Pada keadaan yang lanjut, tindakan bedah dapat dipertimbangkan.
KEPUSTAKAAN

1. Massardo L, Watt I, Cushnaghan J, Dieppe P. Osteoarthritis of the knee: an

eight year prospective study. Ann Rheum Dis 1989; 48: 8937.

2. Harry Isbagio, AZ Effendi. Osteoartritis. Dalam: Suparman (ed). Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid 1.2nd ed. Balai Penerbit FKUI, Jakarta! 985; 680-8.

3. Cushnaghan J, Dieppe P. Study of 500 patients with limb joint osteoarthri-

tis. I. Analysis by age, sex and distribution of symptomatic joint sites. Ann.

Rheum. Dis. 1991; 50: 813.

4. Moskowitz RW. Clinical and laboratory findings in osteoartritis. Dalam:

Mc Carty D (ed). Arthritis and Allied Condition. Textbook of Rheumato-

logy. 10th ed. Philadelphia: Lea & Febinger, 1985: 140832.

5. Mankin H.J. Clinical features of osteoarthritis. Dalam: Kelly ED, Ruddy S,

Sledge CS (eds). Textbook of Rheumatology. Vol III. 3rded. Philadelphia:

WB Saunders, 1989: 1480500.

6. Minor MA, Hewet(JE, Webel RR dkk. Efficacy of physical conditioning

exercise in patients with Rheumatoid Arthritis and Osteoarthritis. Arthr.

Rheum. 1989; 32(11): 1396405.

7. Felson DT, Naimark A, Anderson J et al. The prevalence of knee osteo-

arthritis in the elderly. The Framingham Osteoarthritis study. Arthr Rheum

1987; 30(8): 9148.

8. Van Saase JLCM, Van Romunde LKJ, Cats A et a!. Epidemiology of

osteoarthritis: Zoetermeer survey. Comparison of radiological osteoarthri-

tis in a Dutch population with that in 10 other populations. Ann. Rheum.

Dis. 1989; 48: 27 180.

9. Felson DI. Epidemiology of hip and knee osteoarthritis. Epidemiol. Rev.

1988, 10: 118.

10. Forman MD, Malamet R, Kaplan D. A survey of osteoarthritis of the knee

in the elderly. J. Rheumatol 1983; 10: 2827.

11. Anderson JJ, Felson DT. Factors associated with osteoarthritis of the knee

in the First National Health and Nutrition Examination Survey (HANES I).

Incidence for an association with overweight, race and physical demands of

work. Am. J. Epidemiol. 1988; 128: 17989.

12. Waldron HA. Prevalence and distribution of osteoarthritis in a population

from Georgian and early Victorian London. Ann. Rheum. Dis. 1991; 50:

3017.

12. Felson DT, Anderson JJ, Naimark A et al. Obesity and Osteoarthritis. The

Framingham study. Ann Intern Med 1988; 109: 1824.

13. Solomon L, Helfet AJ. Osteoarthritis. Dalam: Helfet AJ (ed). Disorders of

the Knee. 2nd ad. Philadelphia: JB Lippincott Co, 1982: 18398.

14. Felson DT, Anderson JJ, Naimark et al. Does smoking protect against

osteoarthnitis 7. Arthr. Rheum. 1989; 32(2): 16672.

15.. Hutton CW. Treatment, pain and epidemiology of osteoarthritis. Current

Opinion in Rheumatology 1990; 2: 7659.

16. Summers MN, Haley WE, Reveille JD et al. Radiographic assessment and

psychologic variables as predictors of pain and functional impairment in

osteoarthnitis of the knee or hip. Arthr. Rheum. 1988; 31(2): 2049.

17. Cailliet R. Knee pain and disability. Philadelphia: F.A Davis Co, 1989 :

130.

Cermin Dunia Kedokteran No. 104, 1995 11 Osteoartritis dari Segi Neurologi R.T. Rumawas Bagian NeurologiFakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat Kajian Otak Indonesia, Jakarta Osteoarthnitis (Sin.: osteoarthrosis, hyperytrophic arthritis, degenerative joint disease) adalah gangguan sendi berupa : Penipisan dan kerusakan pada tulang rawan sendi yang progresif, Sekunder:skierosis dan pembentukan osteofit dengan akibat

hilangnya fungsi persendian. Sebutan arthritis atau arthrosis tergantung pada segi pandangan. Yang menganggap inflamasi adalah sekunder menyebutnya osteo- arthrosis, yang menganggap inflamasi yang primer menyebutnya osteoarthritis. Osteoarthritis primerjika penyebabnya tidak diketahui atau dianggap herediter dan osteoarthnitis sekunder jika penyebabnya diketahui. KLASIFIKASI A. Primer : 1. Perifer (umum) 2. Spinal B. Sekunder : 1. Kongenital 2. Metabolik 3. Trauma 4. Inflamasi 5. Endokrin 6. Degenerasi Menurut lokasi OA dibagi juga dalam: 1. OA perifer 2. OA spinal. PATOLOGI DAN PENYEBAB Pada permulaan terjadi fibrilasi, penipisan dan robekan lapisan tulang rawan. Kemudian sekunder terjadi perubahan tulang di bawahnya berupa osteofit, kista dan sklerosis yang menyebabkan hilangnya lapisan tulang rawan, disorganisasi

permukaan tulang sendi, fibrosis pada kapsula, ankilosis dan hilangnya fungsi persendian. Faktor predisposisi adalah tiap kondisi yang menyebabkan kerusakan pada permukaan sendi yang mengganggu artikulasi : trauma, fraktura, inflamasi, obesitas, kristal deposit (asam urat), perdarahan (hemofihia), dan lain-lain. KELUHAN DAN GEJALA Umumnya terdapat pada manula. Gejala utama adalah rasa nyeri terutama waktu istirahat sesudah sendi bersangkutan banyak digunakan. Kaku sendi pada pagi hari dan sesudah istirahat. Dalam keadaan akut terdapat pembengkakan tulang, nyeri tekan, rasa panas lokal, krepitasi dan pembatasan gerakan. Gangguan fungsi, karena gangguan gerakan pada sendi yang terserang. Deformitas, juga karena kerusakan sendi, tulang rawan, tulang osteofit dan benjolan-benjolan Heberden (DIP-joint) dan Bouchard (PIP-joint) pes varus dan hallux valgus. DISTRIBUSI Osteoarthritis adalahpenyakit khronis-progresifyang sering terdapat, terutama pada manula. Secara radiologis pada 80% dari populasi terdapat tanda-tanda osteoarthritis yang dengan meningkatnya umur frekuensinya meningkat dengan tajam. Umumnya pada wanita dan pria terdapat sama banyaknya hanya pada umur di bawah 45 tahun lebih banyak pada pria dan di atas 45

tahun lebih banyak pada wanita. Prevalensi tidak terpengaruh oleh iklim, lokasi geografis maupun faktor etnis. Distribusi anatomis(1) A. Osteoarthritis umum (OAU): Bilateral 80% Monoartikuler 10% Sendi lutut 75% Cermin Dunia Kedokteran No. 104, 1995 35 Tangan dan jarijari 60% Kaki 40% Panggul 25% Bahu 15% B. Osteoarthritis Spinal (OAS): Lumbal 30% Cervical 20%

Anda mungkin juga menyukai