Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Latar Belakang Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit gangguan metabolik endokrin kronis ditan dai dengan hiperglikemi kronik disertai berbagai kelainan metabolik yang disebab kan oleh karena keturunan atau didapat, ditandai kurangnya produksi hormon insul in oleh pankreas atau karena rendahnya kualitas dari hormon insulin (Mansjoer, 1 999, Tantri, 2003). Penyakit Diabetes Mellitus dikenal sebagai penyakit yang ber kontribusi terhadap kematian dini, angka kesakitan, dan keterbatasan fisik. Peny akit ini dapat menyebabkan komplikasi berbagai organ yang saling berkaitan, term asuk di dalamnya sistem kardiovaskuler, sistem perkemihan, sistem penglihatan, d an lain-lain dimana memerlukan biaya yang sangat besar untuk menangani dan meraw at penderita dengan penyakit ini (Australian Government Initiative, 2004). Bila kita melihat angka kejadian Diabetes Mellitus dewasa ini, ternyata peradaba n barat sangat mempengaruhi peningkatan kejadian Diabetes Mellitus (Zimmet, 1978 ). Di Samudra Pasifik, Diabetes Mellitus sangat jarang terjadi pada orang poline sia yang masih melakukan cara hidup tradisional, berbeda dengan daerah urban sep erti Mikronesia, Guam, dan negara-negara Polinesia seperti Tonga, Hawai, Tahiti dimana penderita Diabetes Mellitus sangat tinggi (Sukaton, 1987). WHO memperkirakan pada tahun 2002 terdapat 150 juta jiwa penderita DM di dunia. Menurut Global Diabetes Statistic, pada tahun 2003 diperkirakan ada 194 juta j iwa penderita DM, dan pada tahun 2005 mencapai 330 juta jiwa penderita DM di dun ia. Penelitian di Kodya Surabaya dan analisis dari poli diabet seluruh Indonesia pada tahun 1991 diperkirakan terdapat 1.350.000 penderita DM di Indonesia, 230 .000 di Jawa Timur, dan 27.000 di Surabaya (Naniek, 2005). Askandar (2003) meny ebutkan bahwa penderita Diabetes Mellitus saat ini semakin banyak jumlahnya, hal ini kemungkinan dipicu oleh perubahan pola dan gaya hidup. Sampai akhir 2002, p enyakit Diabetes Mellitus tercatat menempati urutan pertama dari sepuluh macam p enyakit terbesar penderita rawat jalan di RSUD Dr. Soetomo dengan jumlah penderi ta 25.331 orang. Jumlah tersebut meningkat drastis dimana pada tahun 1964 tercat at hanya 134 penderita. Sedangkan di wilayah Surabaya lebih banyak lagi, sekitar 60.000 - 70.000 penderita (Askandar, Pusat Diabetes dan Nutrisi RSUD dr. Soetom o, 2002). Di kabupaten Malang, menurut data dari dinas kesehatan kota Malang penyakit Diab etes Mellitus berada pada urutan ketiga belas dari daftar jenis penyakit terbes ar di kota Malang, pada tahun 2004 tercatat sebanyak 9.969 penderita Diabetes Me llitus dari berbagai tingkat usia yang datang berobat ke tempat pelayanan keseha tan di wilayah kabupaten Malang (Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, 2005). Sedang kan di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang data insiden penderita Diabetes Mellitus dalam kurun waktu 2004 sampai bulan Mei 2005 sebanyak 393 penderita. Dengan rata -rata 23 penderita/bulan (Medical Record RSSA Malang, 2005). Penyakit Diabetes Mellitus merupakan penyakit endokrin yang banyak menimbulkan k omplikasi metabolik, antara lain : kelemahan fisik, hiperglikemi, koma hipoglike mik, ketoasidosis, hiperglikemi hiperosmoler non ketotik, koma hiperosmoler non ketotik, gangguan pembuluh darah di jantung, otak dan organ lain, retinopati dia betik, nefropati diabetik, neuropati diabetik, kaki diabetik, infeksi, serta ter jadinya penurunan tekanan darah karena tirah baring atau hipotensi orthostatik ( Chris E. Kauffman, 1996, Mansjoer, 1999, Timothy C. Hain, 2004). Salah satu komp likasi awal yang bisa terjadi pada penderita Diabetes Mellitus adalah terjadinya hipotensi orthosatstik, yang didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sist olik sebesar > 20 mmHg atau lebih dan diastolik sebesar > 10 mmHg atau lebih ke tika seseorang berubah posisi dari berbaring ke posisi berdiri. Hal ini disebabk an oleh karena penderita Diabetes Mellitus mengalami suatu keadaan yang disebut dengan hiperglikemi sehingga mengakibatkan kelemahan fisik. Pada akhirnya pender ita lebih banyak tirah baring daripada beraktifitas. Selain pada penderita Diabe tes Mellitus, hipotensi orthostatik ini juga dapat dialami oleh seseorang yang d alam kondisi normal. (John W. Engstorm, Michael J. Aminof, 1997, McGraw-Hill, 20 02).

Adapun salah satu tindakan keperawatan yang dilakukan selama ini untuk mencegah terjadinya hipotensi orthostatik yaitu menganjurkan penderita untuk melakukan mo bilisasi aktif dan bertahap sebelum melakukan aktifitas (Kozier,1991). Pada pend erita yang bangun tidur pada pagi hari, sebelum melakukan kegiatan disarankan un tuk latihan isometrik terlebih dahulu selama beberapa menit (Timothy C. Hain, 2 004). I.2. Perumusan masalah Terjadinya hipotensi orthostatik pada penderita Diabetes Mellitus dapat dipengar uhi oleh kelemahan fisik yang menyebabkan kurangnya aktifitas, sehingga penderit a lebih banyak tirah baring. Oleh karena itu dianjurkan pada penderita Diabetes Mellitus untuk melakukan mobilisasi secara aktif untuk mencegah terjadinya hipot ensi orthostatik. Untuk menilai apakah ada pengaruh mobilisasi aktif terhadap pe ncegahan hipotensi orthostatik pada penderita Diabetes Mellitus dengan hiperglik emi. I.3. Tujuan 1.3.1. Tujuan umum Mengetahui pengaruh mobilisasi aktif terhadap pencegahan hipotensi orthostatik p ada penderita Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi. 1.3.2. Tujuan khusus a) Mengetahui tanda-tanda dan gejala terjadinya hipotensi orthostatik pada penderita Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi. b) Mengetahui terjadinya hipotensi orthostatik pada penderita Diabetes Mell itus dengan hiperglikemi yang mengalami tirah baring. c) Mengetahui pentingnya mobilisasi aktif sebagai tindakan yang dapat mence gah hipotensi orthostatik. d) Mengetahui langkah-langkah dan prosedur dalam melakukan tindakan teknik mobilisasi aktif. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit endokrin metabolik yang banyak menimb ulkan kondisi patologis pada semua sistem dalam tubuh, termasuk sistem kardiovas kular, salah satu manifestasi dari gangguan sistem ini yaitu timbulnya hipotensi orthostatik atau penurunan tekanan darah, dimana salah satu faktor pencetusnya karena tirah baring yang lama dan kurangnya aktifitas. Keadaan ini merupakan sal ah satu tanda adanya gangguan sirkulasi karena faktor hemodinamik, dimana didahu lui oleh kondisi hiperglikemi yang dalam kondisi kronis dapat mengganggu fungsi sistem syaraf otonom sehingga menjadi faktor pencetus terjadinya kelemahan fisik yang mengakibatkan intoleran aktifitas sehingga menyebabkan penderita lebih ba nyak berada di tempat tidur (tirah baring). Pada penderita Diabetes Mellitus yan g mengalami tirah baring lama bisa timbul kondisi patologis seperti diatas, oleh karena itu dianjurkan supaya melakukan mobilisasi secara aktif untuk mencegah t erjadinya hipotensi orthostastik. II.1. Diabetes Mellitus II.1.1. Batasan Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu keadaan gangguan endokrin karena def isiensi insulin absolut maupun relatif yang ditandai dengan hiperglikemi kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, dimana bisa menim bulkan berbagai komplikasi kronik pada semua organ tubuh (Mansjoer, 1999). II.1.2. Diagnosa Diabetes Mellitus Diagnosa Diabetes Mellitus harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laboratorium . Pemeriksaan laboratorium disini dilakukan dengan pemeriksaan gula darah yang d iambil dari sampel darah penderita sesuai dengan cara yang telah ditetapkan. Dia gnosis klinik Diabetes Mellitus dipikirkan bila terdapat keluhan yang khas antar a lain polifagi, polidipsi, poliuri, lemas dan penurunan berat badan, dan gejala lain yang mungkin dikeluhkan seperti kesemutan, gatal, penglihatan kabur, impot

ensi pada pria dan pruritus vulva pada wanita. Jika terdapat keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah acak > 200 mg/dl, atau glukos a darah puasa > 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Namun pemer iksaan sekali saja belum cukup, sekurang-kurangnya diperlukan dua kali pemeriks aan kadar glukosa darah yang abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari ya ng lain atau Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Kriteria pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk menegakkan diagn ostik Diabetes Mellitus adalah sebagai berikut : 1. Kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl. 2. Kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl. 3. Kadar glukosa plasma 200/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pad a TTGO (Mansjoer, 1999). II. 2. Hiperglikemi Diabetes Mellitus II.2.1. Definisi Pada penderita Diabetes Mellitus yang tidak terkontrol, kadar insulin ya ng sangat rendah sering dialami penderita. Seiring dengan proses perjalanan peny akit, hal ini memicu terjadinya peningkatan kadar gula darah atau yang sering d isebut hiperglikemi (Porth, et. al, 1998). Keadaan hiperglikemi tanpa disertai k etosis, tetapi berlangsung lama dan berkepanjangan akan disertai peningkatan osm olalitas cairan plasma dan dehidrasi, sehingga penderita akan mengalami dehidras i tingkat seluler dan mengganggu metabolisme yang menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan energi, pada akhirnya penderita akan jatuh dal am kondisi fisik yang lemah dan mengganggu aktifitas (McGraw-Hill, 2002). Sedang kan dehidrasi terjadi ketika kadar glukosa plasma melebihi 180 mg/dl, sehingga t erjadi kehilangan air lewat urine melalui proses diuretik osmosis (Chris, 1996). II.2.2. Etiologi Beberapa etiologi yang diduga menyebabkan terjadinya hiperglikemi antara lain : Penderita Diabetes Mellitus tipe II/NIDDM (Non Insulin Dependent DM) yang tidak terkontrol. Pada keadaan stress yang mengakibatkan sekresi insulin tidak adekuat dan peningk atan hormon glukagon. Intoleran glukosa. (Chris, 1996, Mansjoer, 1999). II.2.3. Manifestasi Klinis Onset hiperglikemi pada penderita Diabetes Mellitus dapat terjadi dalam periode yang begitu cepat dan akut, tanda dan gejala yang bisa muncul antara lai n : kelemahan fisik, poliuri, polidipsi, dan pada kondisi berat dapat terjadi co nfusion, letargi, kejang bahkan koma yang dalam (McGraw-Hill, 2002, Porth, et. a l. 1998). II.2.4 Pemeriksaan Laboratorium Beberapa hasil laboratorium yang sering ditemukan pada penderita Diabete s Mellitus dengan hiperglikemi antara lain : Kadar glukosa darah mengalami kenaikan > 600 mg/dl. Glukosuria. Osmolalitas mengalami kenaikan antara 330-340 mosm/kg. Ketosis dan asidosis jarang terjadi. (McGraw-Hill, 2002). II.2.5. Diagnosa Diagnosa pasti terjadinya Diabetes Mellitus Hiperglikemi dapat ditegakkan berdas arkan hasil pemeriksaan laboratorium, yaitu : Hiperglikemi > 600mg/dl. Glukosuria dengan kadar glukosa dalam urine sebesar 1% dari glukosa darah. Osmolalitas serum >310-350 mosm/kg. Tidak didapatkan asidosis, ph darah berkisar 7,3. (Mansjoer, 1999, McGraw-Hill, 2002). II.2.6. Patofisiologi Defisiensi insulin baik parsial maupun relatif mengawali sindrom terjadi

nya kekurangan suplay glukosa di otot, jaringan lemak dan hepar yang mengakibatk an sel-sel tubuh kekurangan glukosa sebagai bahan baku untuk menghasilkan energi , sehingga terjadi kelemahan fisik. Sementara itu di dalam tubuh terjadi kenaika n kadar glukagon sehingga mengalami apa yang disebut hiperglukagonemi dan mengak ibatkan peningkatan produksi glukosa di hepar, pada akhirnya kadar glukosa darah akan mengalami kenaikan. Kadar glukosa yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan osm olalitas cairan tubuh. Hal ini memicu perpindahan cairan dari intrasel ke extras el, kemudian masuk ke intravaskuler, sehingga kerja filtrasi ginjal meningkat da n air diekskresi melalui urine bersama glukosa, sehingga terjadi apa yang disebu t poliuri dan glukosuri. Ekskresi air disertai glukosa yang berlebihan dan berla ngsung lama ini mengakibatkan tubuh mengalami dehidrasi dan kekurangan energi, s ehingga menimbulkan beberapa efek dan gejala yang abnormal antara lain : ganggua n metabolisme tubuh, kelemahan fisik, poliuri, polidipsi, dan pada kondisi berat dapat terjadi confusion, letargi, kejang bahkan koma yang dalam. (McGraw-Hill, 2002, Porth, et. al. 1998). II.3. Hipotensi Orthostatik Hipotensi orthostatik atau hipotensi postural adalah suatu keadaan abnormal dima na terjadi penurunan tekanan darah secara tiba-tiba (sistole > 20 mmHg, diastole > 10 mmHg) yang diduga oleh karena perubahan posisi, dan hal ini terjadi pada w aktu posisi berdiri (Carol, 1998, Anne, 2004). Penurunan tekanan darah ini dapat berlangsung setelah 1-2 menit perubahan posisi berbaring ke posisi tegak (Darmo jo & Martono, 2004). Dalam hal ini reflek baroreceptor sangat berperan penting d alam mempertahankan fungsi sirkulasi sistem kardio vaskuler. Ketidak adequatan d ari reflek baroreceptor ini akan mengakibatkan penurunan tekanan atau volume dar ah yang normal, menyebabkan darah terkumpul di tubuh bagian bawah ketika posisi sedang berdiri, cardiac output menurun, dan aliran darah ke otak juga berkurang. Dalam kondisi demikian dapat terjadi hal-hal antara lain: wajah pucat, pusing, berdebar-debar, mata berkunang-kunang, pandangan gelap bahkan pingsan (Rilantono , 1999). II.3.1. Mekanisme Hipotensi Orthostatik Mekanisme mempertahankan tekanan darah merupakan refleks dimana serabut aferen b erasal dari baroreseptor di sinus karotikus. Serabut ini berjalan menuju pusat v asomotor di batang otak melalui syaraf glossofaringeus. Serabut eferen berjalan melalui medula spinalis dan serabut pre ganglionik ke rantai simpatis, kemudian ke serabut post ganglionik ke pembuluh darah (Darmojo & Martono, 2004). Pada pen derita penyakit Diabetes Mellitus kronik yang kurang atau tidak terkontrol, dapa t menyebabkan gangguan pada sistem sirkulasi dan perubahan struktur anatomi sist em konduksi jantung (Reeves, et. al, 2001). Perubahan fungsi sistem konduksi ini juga bisa dipengaruhi oleh karena kerusakan sistem syaraf otonom (simpatis) yan g menghantarkan impuls ke serabut otot jantung, dalam hal ini gangguan pada refl ek baroreceptor (Guilliani, et. al, 1991). Pada perubahan posisi dari berbaring ke berdiri terjadi perpindahan hampir 700 cc darah meninggalkan rongga dada menu ju ke pool cadangan vena di daerah perut dan kaki. Tekanan di atrium kanan turun ke/lebih rendah dari tekanan dalam rongga dada, menyebabkan venous return ke ja ntung kanan menurun. Isi sekuncup menurun, dengan akibat penurunan tekanan darah (Darmojo & Martono, 2004). Pada Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi, penderita mengalami kelemahan fisik dan penurunan aktifitas, sehingga lebih sering melakukan tirah baring. Tirah bar ing yang lama bisa menyebabkan tonus otot menurun yang selanjutnya bisa menyebab kan tonus pembuluh darah juga menurun sehingga mengakibatkan vasodilatasi pembul uh darah. Tirah baring yang lama juga bisa mempengaruhi kepekaan receptor (baror eceptor) di serabut otot jantung untuk menghantarkan impuls, impuls syaraf lebih lambat dan pada akhirnya konduksi listrik jantung juga melemah, sehingga kekuat an jantung untuk memompa darah menurun dan terjadi penurunan tekanan darah dan v olume darah (Asbury, et. al, 1992, Carol, 1998). Pada penderita Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi yang disertai tirah baring yang lama, hipotensi orthostatik terjadi karena perubahan posisi tubuh yang dila kukan secara tiba-tiba dari berbaring ke posisi berdiri. Pada waktu posisi berdi

ri, + 700 cc darah meninggalkan rongga dada menuju ke pool cadangan vena di daer ah perut dan kaki, darah terkumpul di bagian bawah tubuh kira-kira sekitar 500-7 00 ml. Tekanan di atrium kanan turun ke/lebih rendah dari tekanan dalam rongga d ada, menyebabkan venous return ke jantung kanan menurun. Isi sekuncup menurun, d engan akibat penurunan tekanan darah dan hal ini mengakibatkan penurunan volume darah sentral dan tekanan arterial. Kondisi ini bisa menyebabkan terjadinya penu runan tekanan darah sistole sebanyak > 20 mmHg dan > diastol 10 mmHg (Engstorm-A minof, 1997). Namun pada orang normal juga bisa mengalami hipotensi orthostatik, hal ini dapat disebabkan oleh karena respon penurunan cardiac output, volume ve nous return dan proses adaptasi dari reflek baroreceptor dan vasomotor setelah t ubuh mengalami istirahat, tidak beraktifitas dan merubah posisi secara tiba-tiba dari tidur, jongkok atau duduk ke posisi berdiri. Tetapi tubuh cepat menyesuai kan dengan kondisi demikian, karena mekanisme kompensasi dan adaptasi sistem kar dio vaskuler dan reflek dari baroreceptor serta vasomotor masih baik. Reaksi kom pensasi berupa efek simpatis dengan terjadinya vasokonstriksi arteriol dan vena disertai dengan reaksi simpatis berupa percepatan denyut jantung ( Anne & Kannay iram, 2004, Darmojo & Martono, 2004). II.3.2. Tekanan Darah Normal Seiring dengan bertambahnya usia, tekanan darah akan mengalami peningkat an, dari lahir sampai usia 20 tahun sebesar 110/70 mmHg, usia 40 tahun 130/80 mm Hg, usia 60 tahun 140/90 mmHg, dan pada usia 80 tahun bisa mencapai 150/100 mmHg . Nilai tekanan darah yang bervariasi tersebut dikelompokkan dalam kategori teka nan darah normal. Gambar di bawah ini melukiskan tekanan sistolik, diastolik, da n tekanan normal arteri rata-rata.

Gambar 2.1. Perubahan-perubahan tekanan normal dari sistole, diastole, dan tekan an arteri rata-rata dengan meningkatnya usia (Guyton, 1995). II.3.3. Hubungan Diabetes Mellitus Dengan Terjadinya Hipotensi Orthostatik Salah satu komplikasi awal yang bisa terjadi pada penderita Diabetes Mellitus ad alah terjadinya hipotensi orthosatstik. Hal ini disebabkan oleh karena penderita Diabetes Mellitus bisa mengalami suatu keadaan yang disebut dengan hiperglikemi sehingga mengakibatkan kelemahan fisik. Pada akhirnya penderita lebih banyak ti rah baring daripada beraktifitas yang mencetuskan terjadinya hipotensi orthostat ik (John W. Engstorm, Michael J. Aminof, 1997, McGraw-Hill, 2002). Adapun beberapa penyebab terjadinya hipotensi orthostatik pada penderita Diabete s Mellitus maupun beberapa orang yang tidak mengalami Diabetes Mellitus antara l ain : a. Penurunan fungsi sistem syaraf otonom. b. Berkurangnya volume vaskuler . c. Hilangnya elastisitas dinding pembuluh darah. d. Gangguan aktifitas baro-refleks akibat tirah baring yang terlalu lama. e. Obat-obatan anti hipertensi dan diuretik. f. Usia terutama usia lanjut. g. Idiopati. Carol (1998), Darmojo & Martono (2004). II.3.4. Perawatan Hipotensi Orthostatik Beberapa perawatan non farmakologis yang sangat dianjurkan untuk mencegah dan me

ngurangi resiko terjadinya hipotensi orthostatik pada penderita Diabetes Mellitu s dengan tirah baring yang lama antara lain : a. Menghindari berdiri terlalu lama. b. Pelan-pelan dan hati-hati dalam merubah posisi, terutama jika waktu bang un tidur di pagi hari. c. Menghindari konsumsi alkohol. d. Menghindari lingkungan yang panas dan suhu air yang panas waktu mandi. e. Makan porsi kecil tapi sering dan disesuaikan dengan dietnya. f. Menghindari latihan fisik yang berlebihan. g. Tidur dengan posisi kepala lebih tinggi. h. Jadwalkan aktifitas di sore hari. i. Menambahkan garam pada makanan dan intake cairan selama tidak ada kontra indikasi j. Melakukan aktifitas ringan di tempat tidur sebelum beraktifitas. (Engstorm-Aminof, 1997). II.4. Mobilisasi Mobilisasi adalah suatu kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah, terus menerus, serta dilakukan sesuai kemauan pada lingkungan dimana seseorang t inggal, dan hal ini merupakan bagian penting dari kehidupan (Kozier, 1991). Mobi lisasi merupakan suatu kebutuhan vital yang harus dilakukan secara mandiri. Keti dakmampuan melakukan mobilisasi bagi seseorang diartikan sebagai suatu gangguan, kecuali pada bayi yang masih tergantung sepenuhnya pada orang lain karena masih belum memiliki kemampuan untuk melakukan mobilisasi secara mandiri. Masyarakat sering mengartikan kondisi dan kesehatan mereka sesuai dengan kemampuan untuk be rgerak secara bebas, dimana efektifitas kemampuan fisik dan mental tergantung se penuhnya pada status kemampuan mobilisasi. II.4.1. Faktor Yang Mempengaruhi Mobilisasi Beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan mobilisasi antara lain : a. Gaya hidup. b. Keterbatasan fisik. c. Ketersediaan tenaga. d. Umur (Kozier, 1991). II.4.2. Manfaat Mobilisasi Menurut Kozier (1991), beberapa manfaat mobilisasi yang sangat penting bagi sese orang antara lain: a. Mempertahankan fungsi sirkulasi. b. Mempertahankan fungsi pernafasan. c. Mempertahankan fungsi muskulo skeletal. d. Mempertahankan pemasukan nutrisi dan cairan. e. Mempertahankan pola eliminasi. f. Mempertahankan keutuhan integritas kulit. g. Mempertahankan fungsi psiko sosial. II.4.3. Teknik Mobilisasi Mobilisasi sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya masalah pada fungsi siste m tubuh atau mengembalikan beberapa fungsi tubuh yang mengalami gangguan setelah immobilisasi. Beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk melakukan mobilisasi a ntara lain: a. Reposisi tubuh. Diartikan sebagai merubah posisi tubuh. Dalam keadaan normal posisi tubuh seseor ang berubah setiap beberapa menit. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengura ngi tekanan pada bagian tubuh tertentu dan melancarkan sirkulasi darah ke seluru h bagian tubuh. Pada seseorang yang mengalami immobilisasi, teknik yang dapat di lakukan meliputi: miring kanan-kiri, duduk, turun dari tempat tidur, berdiri, ke mudian berjalan. b. Latihan isotonik dan isometrik. Isotonik diartikan sebagai latihan gerak, dimana tonus otot tidak berubah tetapi otot mengalami pemendekan sehingga menimbulkan kontraksi dan pergerakan. Sedang

kan isometrik merupakan latihan gerak, dimana tonus otot mengalami perubahan tet api panjang otot tetap, sehingga tidak menimbulkan pergerakan, namun hal ini pen ting dilakukan untuk mempersiapkan kekuatan otot jika tubuh akan mengalami perge rakan. Kedua hal tersebut bisa dilakukan seseorang, baik aktif maupun pasif. Akt if jika dilakukan secara mandiri, dan pasif jika dalam melakukannya dibantu oleh orang lain. c. Latihan ROM (Range Of Motion). Pengertian Range Of Motion adalah suatu latihan yang ditujukan untuk melatih ger ak persendian, dimana seseorang menggerakkan semua persendian di tubuhnya semaks imal mungkin. Latihan ini bermanfaat untuk menjaga kekuatan otot dan membantu me njaga fungsi sistem sirkulasi dan respirasi, juga mencegah terjadinya kontraktur .

d. Melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri. Selama tidak dalam kondisi ketergantungan total, diharapkan seseorang dengan imm obilisasi melakukan aktifitas dan memenuhi kebutuhannya secara mandiri semaksima l mungkin. Beberapa teknik mobilisasi bertahap lain yang bisa dilakukan pada kondisi tirah baring yang cukup lama antara lain : a. Posisi terlentang dengan sokongan. Postur tubuh dalam keadaan lurus pada satu sumbu, tetapi dalam posisi ho rizontal. b. Posisi miring (lateral) dengan sokongan. Sama dengan posisi terlentang, hanya letak tubuh secara keseluruhan meng hadap ke samping baik kanan maupun kiri. c. Posisi Sims (semi tengkurap) dengan sokongan. Berat badan ditumpukan pada satu sisi dan seperti merangkul guling. d. Posisi tengkurap dengan sanggaan. Posisi dengan punggung menghadap keatas dan muka, perut dan dada menghadap ke tempat tidur. e. Posisi fowler dengan sandaran. Kepala ditinggikan 450-600, lutut agak ditinggikan sedikit. f. Duduk di tempat tidur. Posisi tubuh vertikal sedangkan lutut lurus, dilakukan diatas tempat tid ur. g. Duduk di tepi tempat tidur. Posisi tubuh vertikal sedangkan lutut lurus, dilakukan di tepi tempat ti dur. h. Bangun dari tempat tidur. Berusaha turun dari tempat tidur dengan hati-hati. i. Berdiri di sisi tempat tidur. Setelah turun dari tempat tidur, maka berdiri sebentar di samping tempat tidur. j. Berjalan. Setelah merasa kuat, dianjurkan berjalan secara perlahan-lahan. (Perry, 2000). Teknik diatas sangat bermanfaat apabila dilakukan sesegera mungkin setelah seseo rang mengalami immobilisasi, karena dapat mengurangi resiko gangguan pada bebera pa sistem tubuh (Kozier, 1991).

II.5. Hubungan Diabetes Mellitus Dengan Hipotensi Orthostatik Perjalanan penyakit Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi sampai terjadi nya Hipotensi Orthostatik dapat dilihat pada gambar 2.2 dibawah ini : Diabetes Mellitus Kronik Insulin <<

Glukosa darah Osmolalitas airan Glukosa otot Glukosa + cairan plasma ATP sintesa injal Kalori <<, energi << produksi Hiperosmolar Ketidakseimbangan ketersediaan kalori Poliuri + glukosa & kebutuhan energi Glukosuri Kelemahan keseimbangan cairan & elektrolit Gangguan fungsi motorik Aktifitas << n Mobilisasi << N. otonom Bedrest Tonus otot Reflek baroreceptor Tonus pembuluh darah Gangguan kontraksi & Perubahan konduksi listrik hemodinamika jantung Cardiac output Venous return Volume vakuler ad & after-load Hipotensi Orthostatik BAB III PEMBAHASAN Tekanan darah Impuls syaraf <<

Hiperglikemi Dehidrasi tingkat seluler plasma Inisiasi N. otonom Pusat haus Haus Polidipsi Gangguan SSP Volume c

Filtrasi g Urine

Gangguan kesadara

perubahan sistem kardiovaskuler

Vasodilatasi pembuluh darah Pre-lo

Dari hasil pengalaman mahasiswa selama melaksanakan praktek di RS Syaiful Anwar malang, didapatkan pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien DM belum sepenuhnya dilakukan, meliputi peran perawat sebagai : 1. Pemberi asuhan keperawatan (care giver) Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar m anusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan. Pemberian asuhan

keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks. Perawat m emberikan bantuan secara langsung pada klien dan keluarga yang mengalami masalah terkait dengan kebutuhan keamanan. Dalam latihan mobilisasi peran perawat seba gai care giver antara lain: a. Membantu memenuhi kebutuhan klien dalam melakukan mobilitasnya b. Memberi kenyamanan pada klien saat melakukan asuhan keperawatan c. Mengidentifikasi kebutuhan yang berbeda-beda dalam diri klien akan rasa nyaman. 2. Sebagai Educator atau Pendidik Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, yaitu tindakan yang diberikan sehingga terjadi perubahan perilaku da ri klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan. Peran perawat sebagai edukator dalam latihan mobilisasi diantaranya : a. Memberikan pemahaman tentang pengertian dan manfaat latihan mobilisasi b. Memberi dukungan emosi kepada pasien dalam latihan Mobilisasi c. Memberi kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan dan keluhan seputar latihan mobilisasi 3. Sebagai Fasilitator Perawat mampu menjembatani dengan baik terhadap pemenuhan kebutuhan keamanan kli en dan keluarga sehingga faktor risiko dalam ketidakpemenuhan kebutuhan keamanan dapat diatasi. Dalam hal ini perawat berperan memfasilitasi pasien untuk bisa m endapatkan pelayanan latihan mobilisasi. Selama menjalani praktek klinik mahsiswa juga sering menemukan tanda dan gejal a hipotensi orthostatic antara lain : 1. Mengalami pusing selama sakit Hipotensi orthostatik dapat menyebabkan rasa pusing karena terjadi penurunan sup lai darah dan oksigen ke otak yang menyebabkan gangguan sirkulasi di otak sehing ga sebagian jaringan otak mengalami iskemi yang merangsang terjadinya rasa pusin g. Pada tirah baring yang lama dengan sedikt beraktifitas jika mengalami hipoten si orthostatik terjadinya rasa pusing lebih tinggi. 2. Penderita mengalami pusing setelah bangun tidur dan sebelum beraktifitas . Rasa pusing terjadi karena adanya iskemi dari sebagian jaringan otak yang diseba bkan oleh penurunan tekanan darah yang mengakibatkan berkurangnya suplai darah d an oksigenasi ke otak. Keadaan ini dapat terjadi pada keadaan setelah bangun tid ur dan akan lebih berat jika penderita mengalami tirah baring yang lama (Darmojo & Martono, 2004). Dengan dilakukannya mobilisasi aktif sebelum beraktifitas mak a diharapkan suplay darah dan oksigen ke otak dapat lebih adekuat dan terjadinya rasa pusing dapat lebih dihindari. 3. Penderita mengalami pusing dari posisi berbaring ke berdiri. Rasa pusing disini dicetuskan oleh karena darah banyak menuju ke tubuh bagian b awah sehingga aliran darah ke otak juga mengalami penurunan. Karena tirah baring yang lama maka respon tubuh untuk mempertahankan sirkulasi di otak juga akan me nurun. Pada perubahan posisi dari berbaring ke berdiri ini, terjadi perpindahan hampir 700 cc darah meninggalkan rongga dada menuju ke pool cadangan vena di dae rah perut dan kaki. Sehingga aliran darah dan oksigen ke otak akan menurun dan m enyebabkan rasa pusing karena adanya iskemik dari sebagian jaringan otak (Darmoj o & Martono, 2004). Dengan dilakukannya mobilisasi aktif maka tubuh dilatih untu k menjaga tonus pembuluh darah untuk mencegah penurunan volume darah ke tubuh ba gian bawah, dengan harapan dapat mempertahankan sirkulasi darah terutama di otak dapat lebih stabil. 4. Penderita berdiri sempoyongan saat terjadi pusing. Karena adanya hipoksia yang menyebabkan gangguan pada sistem neurologis, maka da mpak selanjutnya yang tampak adalah gangguan sistem keseimbangan tubuh yang terl etak di organ vestibularis sebagai pengatur keseimbangan tubuh. (Guyton, 1995). Pada saat melakukan mobilisasi aktif tubuh akan berespon terhadap stimulus yang

diberikan, terutama sistem sirkulasi dan sistem neurologi. Respon ini berupa pen yesuaian tubuh terhadap reaksi yang timbul setelah adanya mobilisasi aktif yang kemudian berpengaruh terhadap kerja kedua sistem diatas untuk bekerja lebih maks imal sehingga tubuh dapat melakukan kompensasi terhadap perubahan yang terjadi, dalam hal ini adanya gangguan perfusi di otak dan mengganggu sistem keseimbangan tubuh yang berada di otak. 5. Dada merasa berdebar-debar saat terjadi pusing. Keadaan ini merupakan reaksi kompensasi terhadap vasodilatasi pemuluh darah dan penurunan tekanan darah yang berupa efek simpatis dengan terjadinya vasokonstrik si arteriol dan vena disertai dengan reaksi syaraf simpatis berupa percepatan de nyut jantung untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi dan perfusi jaringan, terutama k e otak ( Anne & Kannayiram, 2004, Darmojo & Martono, 2004). Dengan dilakukan mob ilisasi aktif maka akan terjadi respon terhadap reflek baroreceptor yang berpera n terhadap tonus pembuluh darah dan pengaturan tekanan darah sehingga membantu m empertahankan tekanan darah dalam ambang batas normal sesuai kemampuan tubuh, di harapkan denyut nadi dapat stabil dan tidak menimbulkan rasa berdebar-debar. 6. Penderita berdiri bepegangan Kondisi ini dapat terjadi karena berkaitan dengan sistem keseimbangan yang menga lami gangguan, dan perilaku ini ditunjukkan penderita untuk mencegah cedera akib at jatuh karena tubuh tidak bias mempertahankan keseimbangan. Jika sebelum berak tifitas melakukan mobilisasi aktif maka tindakan ini merupakan suatu pencegahan karena tubuh telah dipersiapkan untuk menghadapi perubahan yang terjadi akibat d ari adanya gangguan sistem keseimbangan yang bisa terjadi. BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Penderita Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi mempunyai kecenderungan lebih b anyak berada di tempat tidur daripada beraktifitas, sehingga resiko terjadinya h ipotensi orthostatik lebih tinggi. Salah satu tindakan keperawatan yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya hi potensi orthostatik adalah teknik mobilisasi aktif yang dilakukan oleh penderita secara mandiri dengan anjuran dan bimbingan dari perawat. 4.2 Saran Diperlukan penyuluhan dan penjelasan tentang hipotensi orthostatik sebagai efek dari tirah baring yang lama. Peran keluarga sangat diperlukan untuk membantu melakukan mobilisasi aktif bagi penderita. Selama tidak ada kontraindikasi, mobilisasi aktif sangat dianjurkan untuk menceg ah terjadinya hipotensi orthostatik. Sebagai pemberi pelayanan yang holistic, perawat diharapkan mampu memberikan kes empatan dan bimbingan kepada penderita untuk melakukan mobilisasi aktif.

Anda mungkin juga menyukai