Anda di halaman 1dari 29

TUGAS RISET

MODUL KULIT DAN JARINGAN PENUNJANG Hubungan Stress Psikologis Terhadap Kekambuhan Dermatitis Atopik

Nama NIM

: Irene Olivia Salim : I11112030

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA 2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit kronik berulang yang sering terjadi pada usia bayi dan anak-anak, dengan abnormalitas fungsi dari barrier kulit dan sensitasi allergen, dengan karakteristik seperti kekeringan, eritema, dan gatal yang hebat.1 Dermatitis atopik masih merupakan masalah kesehatan, terutama pada bayi dan anak, karena sifatnya yang kronik residif, sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Dermatitis atopik paling sering pada bayi, namun dapat juga pada anak dan dewasa. Pada sebagian besar pasien, dermatitis atopik merupakan manifestasi klinis atopi yang pertama, dan banyak diantara mereka kemudian akan mengalami asma dan rinitis alergik. Walaupun predisposisi genetik merupakan salah satu faktor risiko yang paling penting, tetapi meningkatnya prevalensi dermatitis atopik di negara-negara industri menunjukkan bahwa faktor lingkungan (pajanan mikroba dan nutrisi) juga mempunyai peran yang cukup penting.2 Istilah atopi diperoleh dari kata Yunani yang berarti tidak terbatas pada satu tempat, dan diperkenalkan tahun 1923 oleh Coca dan Cooke untuk menggambarkan status hipersensitivitas pada manusia yang ditandai dengan peningkatan kapasitas sampai bentuk reagin (sekarang diketahui sebagai IgE) yang berespon terhadap beberapa antigen.3,4,5 Dermatitis atopik dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan berkaitan erat dengan penyakit atopik pada organ lain seperti rinitis alergika, asma pada penderita sendiri ataupun keluarganya.Frekuensi insiden penyakit ini semakin bertambah dan data terakhir tentang imunopatogenesis penyakit ini mengarahkan kita pada model perawatan baru yang efektif.6

Prevalensi dermatitis atopik pada anak cenderung meningkat pada beberapa dekade terakhir. Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children, prevalensi penderita dermatitis atopik pada anak bervariasi di berbagai negara. Prevalensi dermatitis atopik pada anak di Iran dan China kurang lebih sebanyak 2%, di Australia, England dan Scandinavia sebesar 20%. Prevalensi yang tinggi juga didapatkan di Negara Amerika Serikat yaitu sebesar 17,2% 7 Pada penelitian Yuin Chew Chan dkk, di Asia Tenggara didapatkan prevalensi dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sebesar kurang lebih 20% .7 Etiologi pasti dermatitis atopik ini belum diketahui, namun berbagai penelitian menunjukkan bahwa dermatitis atopik ini disebabkan dari interaksi antara genetik, lingkungan, defek sawar kulit dan sistem imun.8 Banyak faktor yang mempengaruhi, baik eksogen atau endogen, maupun keduanya. Faktorfaktor yang berperan antara lain faktor genetik, disfungsi sawar kulit, imunologis, lingkungan, dan psikologis.1 Simptom utama dari dermatitis atopik ialah gatal. Gatal merupakan masalah utama selama tidur, pada waktu kontrol kesadaran terhadap garukan menjadi hilang. Untuk bayi, dermatitis atopik dapat menyebabkan keadaan yang tidak menyenangkan dan mengganggu oleh karena iritasi di daerah kulit yang disertai rasa gatal, garukan, sampai terjadinya infeksi. Kesemua ini dapat membuat bayi menjadi rewel, proses pemberian makan menjadi terganggu, dan akhirnya akan mempengaruhi proses tumbuh kembangnya.9 Stres psikologis telah diketahui sebagai salah satu faktor internal pencetus beberapa kelainan kulit yang berhubungan dengan gangguan fungsi pertahanan di lapisan epidermis kulit seperti pada psoriasis dan dermatitis atopik, walaupun belum banyak studi yang dapat menerangkan

patogenesisnya secara jelas. Berdasarkan beberapa studi lebih lanjut telah diketahui pula bahwa sistem imunitas dan neuroendokrin memegang peranan pada mekanisme reaksi yang ditimbulkan oleh stres psikologis dan pada fungsi pertahanan kulit.10

Banyak peneliti melakukan penelitian tentang peran respon imun dan reaksi hipersensitivitas pada patofisiologi dermatitis atopik. Namun sejak diketahui adanya reseptor terhadap hormon stress dipermukaan sel-sel imun, maka dibuktikan adanya pengaruh sistem neuro-endokrin terhadap

patogenesis dermatitis atopik. Telah diketahui bahwa peran kortisol dan norepinefrin sebagai hormon stres utama yang memegang peran dalam regulasi respon imun. Beberapa penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa pada penyakit atopik seperti dermatitis atopik, rinitis alergi dan asma bronkhiale kadar kortisol saliva lebih rendah daripada yang tidak menderita penyakit atopik. Dengan bukti tersebut diasumsikan bahwa rendahnya kadar kortisol sebagai akibat hiporesponsivitas sumbu hypotalamus-pituitary-adrenal terhadap stresor, hal ini akan mengakibatkan peningkatan kadar norepinefrin dan interleukin-4 (IL-4). Ke duanya akan menyebabkan stimulasi sel Th2 untuk mensintesis IL-4, IL-4 ini berperan penting pada sintesis

imunoglobulin-E (IgE), imunoglobulin ini sangat perperan dalam patogenesis dermatitis atopik dengan meningkatkan hipersensitivitas terhadap berbagai alergen lingkungan.

1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti yaitu : Hubungan Antara Stress Psikologis Terhadap Kekambuhan Dermatitis Atopik 1.3. Tujuan Penelitian Memberikan informasi mengenai Hubungan Antara Stress

Psikologis Terhadap Kekambuhan Dermatitis Atopik

1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain: 1. Sebagai sumber ilmu pengetahuan baru tentang pengaruh stress terhadap penyakit dermatitis atopik.

2.

Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan mengenai dermatitis atopik dan bagaimana hubungan stress psikologis terhadap dermatitis atopik

3.

Bagi peneliti lain, yaitu sebagai referensi untuk melakukan penelitian yang sama atau yang terkait.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Dermatitis Atopik Dermatitis atopik adalah suatu dermatitis yang bersifat kronik residif yang dapat terjadi pada bayi, anak dan dewasa dengan riwayat atopi pada penderita atau keluarganya.11 2.2. Epidemiologi Dermatitis atopik (DA) merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada orang dewasa 1-3% .12 Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1.5:1.6 Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa pertumbuhan (earlyonset dermatitis atopic). Empat puluh lima persen kasus dermatitis atopik pada anak pertama kali muncul dalam usia 6 bulan pertama, 60% muncul pada usia satu tahun pertama dan 85% kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun. Lebih dari 50% anak-anak yang terkena dermatitis atopik pada 2 tahun pertama tidak memiliki tanda-tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi jauh lebih peka selama masa dermatitis atopik.Sebagian besar yaitu 70% kasus penderita dermatitis atopik anak, akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada saat dewasa ( late onset dermatitis atopic ), dan pasien ini dalam jumlah yang besar tidak ada tanda-tanda sensitisasi yang dimediasi oleh IgE.13 Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children, prevalensi penderita dermatitis atopik pada anak bervariasi di berbagai negara. Prevalensi dermatitis atopik pada anak di Iran dan China kurang

lebih sebanyak 2%, di Australia, England dan Scandinavia sebesar 20%. Prevalensi yang tinggi juga didapatkan di Negara Amerika Serikat yaitu sebesar 17,2% .14 Penelitian Yuin Chew Chan dkk, di Asia Tenggara didapatkan prevalensi dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sebesar kurang lebih 20% .7 Penyebab dari peningkatan prevalensi dermatitis atopik belum sepenuhnya dimengerti. Riwayat keluarga yang positif mempunyai peran yang penting dalam kerentanan terhadap dermatitis atopik, namun faktor genetik saja tidak dapat menjelaskan peningkatan prevalensi yang demikian besar. Dari hasil observasi yang dilakukan pada negara-negara yang memiliki ethnis grup yang sama didapatkan bahwa faktor lingkungan berhubungan dengan peningkatan risiko dermatitis atopik (Flohr, et al., 2005 dalam Gondokaryono, 2009; Tay, 2002 dalam Leung, et al., 2007). Prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di daerah pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan yang dihubungkan dengan hygiene hypothesis, yang mendalilkan bahwa ketiadaan pemaparan terhadap agen infeksi pada masa anak-anak yang dini meningkatkan kerentanan terhadap penyakit alergi.13 Beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan prevalensi dermatitis atopik yaitu pada daerah kota dengan peningkatan pemaparan stimulus dari lingkungan industri yang berbahaya, sosial ekonomi yang tinggi, jumlah anak yang sedikit, migrasi dari pedesaan ke perkotaan, infeksi terhadap Staphylococcus aureus, dan umur ibu yang tua pada saat melahirkan.1,6 2.3. Etiologi dan Patogenesis Dermatitis Atopik Faktor endogen yang berperan, meliputi faktor genetik,

hipersensitivitas akibat peningkatan kadar immunoglobulin (Ig)E total dan spesifik, kondisi kulit yang relatif kering (disfungsi sawar kulit), dan

gangguan psikis. Faktor eksogen pada DA, antara lain adalah trauma fisikkimia-panas, bahan iritan, allergen debu, tungau debu rumah, makanan (susu sapi, telur), infeksi mikroba, perubahan iklim (peningkatan suhu dan kelembaban), serta hygiene lingkungan. Faktor endogen lebih berperan sebagai faktor predisposisi sedangkan faktor eksogen cenderung menjadi faktor pencetus.15 2.3.1. Faktor Endogen a. Sawar kulit Penderita DA pada umumnya memiliki kulit yang relatif kering baik di daerah lesi maupun non lesi, dengan mekanisme yang kompleks dan terkait erat dengan kerusakan sawar kulit. Hilangnya ceramide di kulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air di ruang ekstraselular stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi pH kulit dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar kulit mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss (TEWL) 2-5 kali normal, kulit akan makin kering dan merupakan port dentry untuk terjadinya penetrasi allergen, iritasi, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien dermatitis atopik mensekresi ceramidase yang menyebabkan metabolisme ceramide menjadi sphingosine dan asam lemak, selanjutnya semakin mengurangi ceramide di stratum korneum, sehingga menyebabkan kulit makin kering. Selain itu, faktor luar (eksogen) yang dapat memperberat keringnya kulit adalah suhu panas, kelembaban yang tinggi, serta keringat berlebih. Demikian pula penggunaan sabun yang bersifat lebih alkalis dapat mengakibatkan gangguan sawar kulit. Gangguan sawar kulit tersebut meningkatkan rasa gatal, terjadilah garukan berulang (siklus gatal-garuk-gatal) yang menyebabkan kerusakan sawar kulit. Dengan demikian penetrasi alergen, iritasi, dan infeksi menjadi lebih mudah .15

b. Genetik Pendapat tentang faktor genetik diperkuat dengan bukti, yaitu terdapat DA dalam keluarga. Jumlah penderita DA di keluarga meningkat 50% apabila salah satu orangtuanya DA, 75% bila kedua orangtuanya menderita DA. Risiko terjadi DA pada kembar monozigot sebesar 77% sedangkan kembar dizigot sebesar 25%. Dari berbagai penelitian terungkap tentang polimorfisme gen dihubungkan dengan DA. Selain itu pada penderita DA atau keluarga sering terdapat riwayat rinitis alergik dan alergi pada saluran napas. Mekanisme imunologik berkaitan erat dengan ekspresi gen penyandi, diantaranya : 15 1. Ekspresi human leucocyte antigen (HLA)-DR pada sel Langerhans meningkat berkaitan dengan gen penyandi pada kromosom 6p21.3. 2. Aktivasi sel T oleh sel penyaji antigen atau antigen presenting cells (APC) atau sel Langerhans dengan ekspresi kuat reseptor IgE (FcRI). Selain itu ditemukan peningkatan jumlah IgE (100-1000 kali lipat) pada sel Langerhans di epidermis lesi DA yang sangat efisien untuk mempresentasikan alergen tungau debu rumah ke sel T. 3. Secara konsisten terdapat peningkatan sintesis IgE spesifik terhadap banyak alergen. Hal tersebut berkaitan dengan kromosom 5q gen penyandi IgE terangkai dengan penyandi interleukin (IL)-4 4. Peningkatan activated cutaneous lymphocyte antigen (CLA) dan sel T, serta jumlah IL-4 dan IL-13 produksi sel Th2, yang secara genetik menunjukkan adanya polimorfisme. Terdapat asosiasi genotip antara gen pengkode sel T dengan gen pengkode IL-4 pada DA. Peningkatan kadar IL-4 dan IL-13 berperan penting pada induksi produksi IgE. 5. Peningkatan sekresi IL-4 dan IL-13 produksi sel Th2 sesuai penemuan para peneliti imunogenetik, yaitu adanya polimorfisme :

- Gen pada 5q3.33 merupakan gen penyandi IL-5, IL-9, IL-10, IL-13. - Gen pada 5q31-33 merupakan gen penyandi IL-4, IL-5, IL-13 dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) produksi sel Th2. - Ditemukan peningkatan IL-6 (dihasilkan sel keratinosit), selain sitokin lain yang sudah ditemukan sebelumnya, yaitu IL-4, IL-8, IL-10, IL-12, GM-CSF dan regulated on activation normal T-cell expressed and secreted (RANTES). 6. Terdapat penurunan kadar interferon (IFN) produksi sel Th1 pada DA : - IFN- memediasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat dan menghambat produksi IgE. - Pada DA kronik didominasi peningkatan IFN- bersama-sama dengan peningkatan IL-12. 7. Eosinofil pada lesi DA fase akut : - Terdapat peningkatan kadar sitokin yang dihasilkan sel T helper (ThCD4+), yaitu : IL-4, IL-5, dan IL-13. Sitokin tersebut yang sangat berperan penting sebagai induksi molekul adhesi (E selectin) sel endotel pada inflamasi dan reaksi alergik, sehingga mampu menarik eosinofil dan sel inflamasi lainnya. - IL-5 berfungsi memacu perkembangan, aktivitasi, kemotaksis dan kelangsungan hidup sel eosinofil dalam menghasilkan granul protein sitotoksik, major basic protein (MBP) pada lesi DA. 8. Ditemukan gen yang berkaitan dengan reseptor, yaitu gen 14q12 penyandi reseptor sel T (TCR) dan gen 11q13 penyandi reseptor subunit reseptor subunit IgE (FcRI).

9. Bukti polimorfisme lainnya, antara lain adalah polimorfisme keterikatan DA dan asma pada gen reseptor di 11q12-13. Pada DA terdapat keterikatan gen di kromosom 3q21 (penyandi CD80 dan CD86). Keterikatan antara kromosom 1q21 dan 17q21, kedua lokus tersebut berdekatan dengan lokus gen penyandi psoriasis (1q21 dan 17q25). c. Hipersensitivitas Berbagai hasil penelitian terdahulu membuktikan adanya peningkatan kadar IgE dalam serum dan IgE di permukaan sel Langerhans epidermis. Data statistik menunjukkan peningkatan IgE pada 85% pasien DA dan proliferasi sel mast. Pada fase akut terjadi peningkatan IL-4, IL-5, IL-13 yang diproduksi sel Th2, baik di kulit maupun dalam sirkulasi, penurunan IFN-, dan peningkatan IL-4. Produksi IFN- juga dihambat oleh prostaglandin (PG) E2 mengaktivasi Th1, sehingga terjadi peningkatan produksi IFN-, sedangkan IL-5 dan IL-13 tetap tinggi. Pasien DA bereaksi positif terhadap berbagai alergen, misalnya terhadap alergen makanan 40-96% DA bereaksi positif (pada food challenge test).15 d. Faktor psikis Berdasarkan laporan orangtua, antara 22-80% penderita DA menyatakan lesi DA bertambah buruk akibat stress emosi.15 2.3.2. Faktor eksogen a. Iritan Kulit penderita DA ternyata lebih rentan terhadap bahan iritan, antara lain sabun alkalis, bahan kimia yang terkandung pada berbagai obat gosok untuk bayi dan anak, sinar matahari, dan pakaian wol (Boediardja, 2006). b. Alergen Penderita DA mudah mengalami alergi terutama terhadap beberapa alergen, antara lain:

1. Alergen hirup, yaitu debu rumah dan tungau debu rumah. Hal tersebut dibuktikan dengan peningkatan kadar IgE RAST (IgE spesifik). 15 2. Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usia kurang dari 1 tahun (mungkin karena sawar usus belum bekerja sempurna). Konfirmasi alergi dibuktikan dengan uji kulit soft allergen fast test (SAFT) atau double blind placebo food challenge test (DBPFCT). 15 3. Infeksi: Infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada > 90% lesi DA dan hanya pada 5% populasi normal. Hal tersebut mempengaruhi derajat keparahan dermatitis atopik, pada kulit yang mengalami inflamasi ditemukan 107 unit koloni setiap sentimeter persegi. Salah satu cara S.aureus menyebabkan eksaserbasi atau mempertahankan inflamasi ialah dengan mensekresi sejumlah toksin (Staphylococcal enterotoin A,B,C,D SEA-SEB-SEC-SED) yang berperan sebagai superantigen, menyebabkan rangsangan pada sel T dan makrofag. Superantigen S.aureus yang disekresi permukaan kulit dapat berpenetrasi di daerah inflamasi Langerhans untuk memproduksi IL-1, TNF dan IL-12. Semua mekanisme tersebut meningkatkan inflamasi pada DA dengan kemungkinan peningkatan kolonisasi S.aureus. Demikian pula jenis toksin atau protein S.aureus yang lain dapat mengindusi inflamasi kulit melalui sekresi TNF- oleh keratinosit atau efek sitotoksik langsung pada keratinosit. 15 c. Lingkungan Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada kekambuhan DA, misalnya asap rokok, polusi udara (nitrogen dioksida, sufur dioksida), walaupun secara pasti belum terbukti. Suhu yang panas, kelembaban, dan keringat yang banyak akan memicu rasa gatal dan kekambuhan DA. Di negara 4 musim, musim dingin memperberat lesi DA, mungkin karena penggunaan heater (pemanas ruangan). Pada beberapa kasus DA terjadi eksaserbasi akibat reaksi fotosensitivitas terhadap sinar UVA dan UVB. 15 2.4 Faktor Psikis

Hubungan psikis dengan penyakit dapat timbal balik, demikian pula pada DA. Akibat perjalanan penyakit yang kronik residif, pada umumnya penderita DA mengalami gangguan emosi. Stres merangsang pengeluaran substansi tertentu melalui jalur imunoendokrinologi yang menimbulkan rasa gatal (Boediarja, 2000). Faktor psikologik

memperngaruhi beberapa kondisi dermatologi termasuk dermatitis atopik, psoriasis, alopecia areata, urtikaria dan angioedema, and acne vulgaris. Pasien atopic dengan masalah emosional dapat terjadi anxiety/depresi dan gejala dermatologi yang hebat.gatal yang hebat menyebabkan insomnia dan tidur yang kurang, keadaan jiwa yang labil.16 2.5 Gejala Klinis Gejala dermatitis atopik dapat bervariasi pada setiap orang. Gejala yang paling umum adalah kulit tampak kering dan gatal. Gatal merupakan gejala yang paling penting pada dermatitis atopik. Garukan atau gosokan sebagai reaksi terhadap rasa gatal menyebabkan iritasi pada kulit, menambah peradangan, dan juga akan meningkatkan rasa gatal. Gatal merupakan masalah utama selama tidur, pada waktu kontrol kesadaran terhadap garukan menjadi hilang. Gambaran kulit atopik bergantung pada parahnya garukan yang dialami dan adanya infeksi sekunder pada kulit. Kulit dapat menjadi merah, bersisik, tebal dan kasar, beruntusan atau terdapat cairan yang keluar dan menjadi keropeng (krusta) dan terinfeksi (Dewi, 2004). Kulit yang merah dan basah (eksim) disebabkan peningkatan peredaran darah di kulit akibat rangsangan alergen, stress, atau bahan pencetus lain. Peningkatan aliran darah diikuti dengan perembesan cairan ke kulit melalui dinding pembuluh darah. Kulit kering dan bersisik membuat kulit lebih sensitif sehingga lebih mudah terangsang. Bila sangat kering kulit akan pecah sehingga menimbulkan rasa nyeri. Penebalan kulit (likenifikasi) terutama di daerah yang sering mengalami garukan, disertai dengan perubahan warna menjadi lebih gelap akibat peningkatan jumlah pigmen kulit. Daerah yang lebih sering

mengalami likenifikasi ialah leher bagian belakang, lengan bawah, daerah pusar, di atas tulang kering, dan daerah genital. Dermatitis atopik dapat juga mengenai kulit sekitar mata, kelopak mata dan alis mata. Garukan dan gosokan sekitar mata menyebabkan mata menjadi merah dan bengkak.17 Gejala dermatitis atopik dibedakan menjadi 3 kelompok usia yaitu dermatitis atopik pada masa bayi (0-2 tahun), masa anak (2-12 tahun), dan saat dewasa (>12 tahun). Dermatitis atopik yang terjadi pada masa bayi dan anak mempunyai gejala yang berbeda-beda, baik dalam usia saat mulai timbul gejala maupun derajat beratnya penyakit. Pada masa bayi, umumnya gejala mulai terlihat sekitar usia 6-12 minggu. Pertama kali timbul di pipi dan dagu sebagai bercak-bercak kemerahan, bersisik dan basah. Kulit pun kemudian mudah terinfeksi. Kelainan kulit pada bayi umumnya di kedua pipi sehingga oleh masyarakat sering dianggap akibat terkena air susu ibu ketika disusui ibunya, sehingga dikenal istilah eksim susu. Sebenarnya, pendapat tersebut tidak benar, pipi bayi yang mengalami gangguan bukan akibat terkena air susu ibu. Bahkan bayi yang pada beberapa bulan pertama diberi air susu ibu (ASI) secara ekslusif (hanya ASI saja) akan lebih jarang terkena penyakit ini dibandingkan bayi yang mendapat susu formula.9 Selain itu, sisik tebal bewarna kuning kerak juga sering ditemui pada bayi di kepala (cradle cap), yang dapat meluas ke daerah muka.17 Bersamaan dengan proses tumbuh kembang bayi, saat bayi lebih banyak bergerak dan mulai merangkak, maka daerah yang terkena dapat meluas ke lengan dan tungkai. Lesi kulit muncul sebagai bintil-bintil merah kecil yang terasa gatal yang dapat bergabung membentuk bercak yang berukuran besar. Pada umumnya lesinya polimorfik cenderung eksudatif, kadang-kadang disertai dengan infeksi sekunder atau pioderma. Bayi dengan dermatitis atopik sering tampak gelisah dan rewel karena rasa gatal dan rasa tak nyaman oleh penyakitnya. Ketika mencapai usia sekitar

18 bulan kulit bayi mulai meperlihatkan tanda-tanda perbaikan. Walaupun demikian bayi tersebut mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mempunyai kulit yang kering dan dermatitis atopik di kemudian hari.7,9 Pada masa anak, pola distribusi lesi kulit mengalami perubahan. Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian besar merupakan kelanjutan fase bayi. Tempat predileksi cenderung di daerah lipat lutut, lipat siku dan sangat jarang di daerah wajah, selain itu juga dapat mengenai sisi leher (bagian anterior dan lateral), sekitar mulut, pergelangan tangan, pergelangan kaki, dan kedua tangan.11 Distribusi lesi biasanya simetris. Manifestasi dermatitis sub akut dan cenderung kronis. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan likenifikasi. Biasanya kelainan kulit dimulai dengan beruntusan yang menjadi keras dan bersisik bila digaruk. Kulit di sekitar bibir dapat juga terkena dan upaya menjilat terus-menerus di daerah tersebut dapat menyebabkan kulit sekitar mulut pecah-pecah dan terasa nyeri, demikian pula bagian sudut lobus telinga sering mengalami fisura. Lesi dermatitis atopik pada anak juga dapat ditemukan di paha dan bokong. Pada sebagian anak penyakit akan menyembuh untuk jangka waktu yang lama. Pada anak usia sekolah sering terjadi ruam kulit di kedua paha atas bagian belakang menyerupai lingkaran tempat duduk (toilet seat eczema). Terdapat bentuk lain yang mengenai kaki, disebut sebagai eksim kaos kaki (sweaty sock dermatitis), menyerupai infeksi jamur tetapi sela jari kaki terbebas dari ruam.2,7,9 Pada awal masa pubertas oleh karena pengaruh hormon, stress, dan penggunaan produk atau kosmetik perawatan kulit yang bersifat iritasi penyakit dapat timbul kembali.9 Sebagian orang yang mengalami dermatitis atopik pada masa anak juga mengalami gejala pada masa dewasanya, namun penyakit ini dapat juga pertama kali timbul pada saat telah dewasa. Gambaran penyakit saat dewasa serupa dengan yang terlihat pada fase akhir anak. Pada umumnya ditemukan adanya penebalan kulit di daerah belakang lutut dan fleksural

siku serta tengkuk leher. Akibat adanya garukan secara berulang dan perjalanan penyakit yang kronis, lesi ditandai dengan adanya

hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan likenifikasi. Distribusi lesi biasanya simetris. Lokasi lesi menjadi lebih luas, selain fosa kubiti dan poplitea, juga dapat ditemukan bagian lateral leher, tengkuk, badan bagian atas dan dorsum pedis. Namun, dapat pula terbatas hanya pada beberapa bagian tubuh, misalnya hanya tangan atau kaki. Pada fase remaja, area di sekitar puting susu juga dapat terkena.7 2.6 Diagnosis Kriteria diagnosis dermatitis atopik Menetapkan kriteria diagnostik yang kuat dan bermanfaat untuk semua bentuk DA adalah tugas yang sulit karena heterogenitas klinis dan patofisiologi (morfologi, distribusi, usia, peran, iritasi atau alergi, dll). Adapun fenotipe imunologi, Wuthrich mengusulkan dua tipe: 1. DA yang diasosiasikan dengan hipersensitivitas IgE-mediated (dengan atau tanpa penyakit respiratori atopik), tipe ekstrinsik (eDA); 2. DA tanpa penaikan serum total IgE, hasil skrining IgE negatif untuk aeroallergen dan allergen makanan in vitro dan oleh skin prick test, dan hasil anamnesis negatif untuk penyakit atopik lain tapi dengan disregulasi nonspesifik, tipe instrinsik (iDA). Secara total, 20-40% pasien dengan pure DA (tanpa penyakit respiratori) dilaporkan termasuk ke tipe iDA. Masalah definisi ini adalah perubahan yang berhubungan dengan usia dari abnormalitas imunologi, tidak memungkinkan klasifikasi yang pasti pada anak-anak seperti yang ditunjukkan oleh studi follow-up oleh Novembre et al. Penulis mengusulkan istilah berikut:

Early atopic: hasil skin prick test positif pada evaluasi awal (umur 2 tahun) (64% pada serinya);Late-onset atopic: hasil skin prick test negatif pada evaluasi pertama (umur 2 tahun), tapi positif pada follow-up (umur 11 tahun)(21%);Non-atopic(iDA): hasil skin prick test negatif pada evaluasi pertama dan follow-up (15%). Masih belum ada penanda khusus untuk DA. Dengan tidak adanya petunjuk sederhana untuk diagnosis, itu harus disusun dari konstelasi ciri karakteristik. Hanifin dan Rajka yang pertama kali mengupayakan pendekatan sistematis terhadap standardisasi diagnosis DA pada tahun 1980.18 Dari criteria mayor, pruritus dan kronik atau DA yang mengalami remisi dengan distribusi dan morfologi yang khas merupakan hal-hal yang penting untuk diagnosis DA.1 Diagnosis DA dapat ditegakkan jika terdapat masing-masing minimal tiga dari kriteria mayor dan minor. Kriteriakriteria ini berdasarkan pengalaman klinis dan masih disebut sebagai 'gold standard' dalam penelitian dan pengajaran akademis. Kriteria mayor Pruritus Distribusi dan morfologi khas: - Wajah dan ekstensor - Terjadi selama masa bayi dan awal masa kanak-kanak Kronik dan kekambuhan kronis dermatitis Riwayat atopik keluarga (asma, rinokonjungtivitis alergi,

dermatitis atopik) Kriteria minor Xerosis

Ichthyosis/hiperlinearitas palmar/pilaris keratosis Reaktivitas IgE (IgE meningkat, hasil skin prick test positif) Dermatitis pada tangan dan kaki Keilitis Dermatitis pada kulit kepala Kerentanan terhadap infeksi kutaneus (khususnya Staphylococcus aureus dan virus herpes simpleks) Aksentuasi perifolikular (khususnya pada ras yang berpigmen)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode metaanalisis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Banyak peneliti menyimpulkan bahwa rendahnya kortisol disebabkan karena terjadinya hiporeaktivitas sistem Hypothalamus-pituitary-adrenal axis (sumbu HPA) terhadap stresor pada pasien dermatitis atopik. Buske-Kirschbaum, Penelitiannnya pada tahun tahun 2003 dengan subyek asthma pada anak-anak, dengan age and sex-matched healthy controls, subyek yang menderita asthma dan kontrol diberi perlakuan stres dengan metode Trial Social Stress Test for Children (TSST-C) yaitu anak diminta melakukan berbicara di depan umum dan menyelesaikan tugas mental aritmatika. Dengan hasil kadar kortisol saliva 20 dan 30 menit setelah perlakuan terjadi peningkatan pada kedua kelompok, namun peningkatan pada kontrol lebih besar secara bermakna dibandingkan peningkatan pada kasus dengan p < 0,01. Wright et al pada tahun 2005 melakukan penelitian pada 28 anak usia 7-16 tahun yang menderita asma. Pengukuran kadar kortisol plasma dilakukan secara berseri pada malam hari, dengan hasil bahwa kadar kortisol plasma penderita asma lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kontrol yang tidak menderita asthma terutama pada jam 04.00 dan 08.00. Demikian juga Koadama et al pada 2009 meneliti 202 pasien usia 12-19 tahun yang menderita penyakit atopi yaitu, dermatitis atopik, rinitis dan asma. Pengukuran kortisol diambil dari saliva dengan kit radioimmunoassay, dengan hasil bahwa kadar kortisol saliva pada pasien dengan penyakit atopik lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan kontrol yang tidak mempunyai penyakit atopi (p<0,001). Peneliti menyimpulkan bahwa kortisol sebagai produk akhir dari sumbu HPA memegang peran penting dalam penyakit atopik. Penelitianpenelitian di atas kebanyakan pasien penyakit atopik secara keseluruhan pada anak dan yang diukur adalah kortisol dari saliva. Pada penelitian ini yang diukur

adalah kortisol plasma pada dermatitis orang dewasa. Ada perbedaan antara kortisol plasma dan saliva. Level stres dari penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya tentang hubungan stres dengan kekambuhan dermatitis atopik.Asadi and Usman (2007) melaporkan 50 % sampai 60 % dari penyakit ini dicetuskan oleh faktor stres psikologis. Kodama et al (2008) mengamati peranan stres sebagai pencetus dermatitis atopik, dari penduduk yang mengalami gempa bumi di Jepang, ternyata 63 % dari pasien dermatitis atopik terjadi kekambuhan setelah mengalami kerusakan berat akibat gempa dan hanya 19 % dari pasien yang tidak mengalami kerusakan akibat gempa, dengan rasio odd cukup tinggi 2,98. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Tarigan (2008) yang mengatakan 68 % pasien dermatitis atopik menghadapi stresor psikis dari ringan sampai berat. Seiffert et al, (2009) dalam penelitiannya mendapatkan pasien dermatitis atopik secara bermakna mengalami kecemasan, depresi dan gangguan emosi dibandinngkan yang tidak menderita dermatitis atopik. Hasil penelitian case-control secara deskriptif yang dilakukan oleh Made Wardhana (2008) membuktikan bahwa kortisol plasma pada dermatitis atopik (4,89 + 2,11 ug/dl) secara bermakna lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (9,12 + 2,33 ug/dl), pada interval kepercayaan (IK) 95 %; p < 0,001). Analisis multiple logistik regresi mendapatkan rasio odd untuk kortisol sebesar 3,45, hasil ini lebih tingga dari pada rasio odd variabel bebas yang lain seperti norepinefrin, IL-4, riwayat atopi dan kelembaban kulit. Hasil uji korelasi menunjukkan kortisol berkorelasi negatif dengan norepinefrin dengan r = - 0.684 (p < 0.001), dan berkorelasi negatif dengan IL-4 dengan r = - 0.55 (p < 0.001). 22 Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa rendahnya kadar kortisol plasma merupakan faktor risiko dermatitis atopik dan berkorelasi negatif dengan norepinefrin dan IL-4.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Megumi et al (2003) menunjukkan bahwa tingkat kortisol saliva secara signifikan lebih tinggi pada pasien Dermatitis Atopik dibandingkan dengan subyek sehat ( <0,01).Tingkat kortisol saliva

secara signifikan berkorelasi dengan indeks SCORAD(Scoring atopic dermatitis) ( = 0,42, <0,05) sedangkan serum TARC(Thymus and activation-regulated chemokine) dan LDH(Lactate dehydrogenase) tingkat yang berkorelasi positif dengan indeks SCORAD.Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat kortisol saliva merupakan biomarker yang berguna untuk mengevaluasi stres pada pasien Dermatitis Atopik.23 Pada tahun 2010 Sung oh Ha melakukan penelitian yang membandingkan tingkat stres dengan gangguan dermatologi antara pasien dengan Dermatitis Atopik dan digunakan kontrol orang yang sehat . Kuesioner , yang terdiri dari lima tes mengevaluasi depresi , kecemasan , kecemasan interaksi, kesadaran tubuh pribadi , dan kualitas kehidupan dermatologi, Sampel penelitian memiliki jenis kelamin dan umur yang sama dengan Penderita Dermatitis Atopik ( n = 28 ) dan kontrol yang sehat ( n = 28 ) . Pasien dengan AD menunjukkan skor tinggi pada semua kuesioner.Semua parameter menunjukkan nilai yang lebih tinggi daripada kontrol yang sehat ( p < 0,001 ) . Korelasi signifikan secara statistik yang diamati antara masing-masing parameter psikologis dan Indeks Kualitas Hidup diantara parameter klinis , hanya pruritus berkorelasi positif dengan kecemasan ( R = 0,573 , p < 0,05 ). Disimpulkan bahwa kecemasan mungkin terkait dengan induksi pruritus melalui neuropeptida Faktor pertumbuhan Y dan saraf.24
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sanja Pavlovic,et all (2008) menyimpulkan bahwa stress akan memperburuk keadaan Dermatitis Atopik melalui proses peradangan neurogenik pada kulit yang tergantung dari Substansi P pada saraf.25

Pada penelitian Jeoung A. Kwon tahun 2013 menyimpulkan bahwa Tingkat stres secara signifikan berhubungan dengan risiko

dermatitis atopik. Penelitian ini membandingkan antara anak laki-laki yang melaporkan'' tidak ada'' stres dengan anak laki-laki dengan'' sangat tinggi'' stres memiliki 46% lebih tinggi resiko memiliki dermatitis atopik lebih berat (OR = 1,46, 95% CI, 1,20-1,78, P, 0,0001), 44% lebih tinggi (OR = 1,44, 95% CI, 1,19-

1,73; P, 0,0001) dengan stres yang tinggi, dan 21% lebih tinggi (OR = 1,21, 95% CI, 1,00-1,45, P = 0,05) dengan stres moderat. Sebaliknya pada peneltian tersebtu tidak menemukan hubungan yang signifikan secara statistik antara stres dan dermatitis atopik pada anak perempuan. Studi ini menunjukkan bahwa stres dan tingkat pendidikan orang tua dikaitkan dengan dermatitis atopik. Secara khusus, tingkat stres berkorelasi positif dengan kemungkinan didiagnosis dengan kondisi ini dan meningkatkan risiko keparahan.26

4.2 Pembahasan Patogenesis dermatitis atopik belum diketahui secara pasti, namun telah disepakati bahwa penyakit ini berhubungan dengan hipersensitivitas seseorang terhadap alergen lingkungan, hal ini didasari oleh perubahan keseimbangan aktivitas sel limfosit T helper 1 (Th1) dan sel limfosit T helper 2 (Th2) yang didominasi oleh peran sel Th2 yang menyebabkan peningkatan kadar imunoglobulin E (IgE), interleukin-4 (IL-4) dan interleukin-5 (IL-5), ke tiganya merupakan mediator utama dalam patogenesis dermatitis atopik. Oleh karena itu dermatitis atopik disebut juga Th2 mediated disease.13 Penyebab perubahan keseimbangan Th1-Th2 dan hipersensitivitas terhadap alergen pada dermatitis atopik belum diketahui dengan pasti namun disepakati merupakan mekanisme multiorgan, selain mekanisme imunologis, sistem saraf pusat, sistem saraf otonom dan sistem endokrin juga berperan dalam pengendalian respon imun.21 Hal ini tampak dengan manifestasi klinis berupa gangguan sekresi kelenjar keringat dan kepucatan kulit. Beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa faktor stresor psikologis berperan dalam kekambuhan dermatitis atopik.1 Stresor akan diterima oleh saraf pusat sebagai stress perception, kemudian akan menimbulkan stress responses melalui beberapa jalur terutama jalur hipothalamus dan sistem saraf simpatetik, hasil akhir dari respon ini akan menyebabkan meningkatnya sintesis kortisol dan norepinefrin. Ke dua hormon ini sangat berpengaruh terhadap homeostatis tubuh.

Kortisol alah hormon stres yang dihasilkan oleh korteks adrenal, merupakan produk akhir dari Hypothalamus-Pituitary-Adrenal axis (sumbu HPA) sebagai pusat dari stress responses. Kortisol memiliki peran biologis terhadap metabolisme glukosa, namun kemudian diketahui adanya reseptor glukokortikoid juga dijumpai di permukaan sel imunokompeten dan menekan aktivitas sel Th2.6 Norepinefrin, selain sebagai hormon juga sebagai neurotransmiter yang dihasilkan di berbagai tempat seperti, locus ceruleus, sistem saraf simpathetik dan medula kelenjar adrenal. Norepinefrin berefek langsung terhadap monosit melalui reseptor -adrenergic untuk meningkatkan sintesis IL-10, Interleukin ini secara langsung mengaktivasi Th2 untuk meningkatkan produksi IL-4 dan IL-5.7,8 Baik secara langsung maupun tidak langsung sintesis norepinefrin dihambat oleh kortisol melalui glucocorticoid receptor (GR) di sistem simpatetik adrenal.27,28 Secara umum stres psikologis akan meningkatkan produk kedua hormon stres tersebut sehingga berefek terhadap respon imun dengan dominasi dari peran sel Th2, IL-4 adalah salah satu sitokin Th2 yang berperan dalam patogenesis dermatitis atopik, sehingga stres dikatakan sebagai faktor pencetus kejadian dermatitis atopik.29

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan Kesimpulan pada penelitian ini adalah : Stress psikologis berhubungan dengan kekambuhan dermatitis

5.2 Saran Dibutuhkan penelitian lebih lanjut memngenai tatalaksana yang tepat terhadap kekambuhan dermatitis atopi yang diinduksi oleh stress psikologis

DAFTAR PUSTAKA

1. Leung, D. Y. M., Eichenfield, L. F. & Boguniewicz, M.Atopic

Dermatitis. Dalam Wolff, K., Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S. & Leffell, D. J. (Eds.) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York, Mc Graw-Hill.2008
2. Wisesa, T.W.,Masalah Kulit yang Sering Ditemukan pada Bayi dan

Anak. Dalam: Boediardja, S.A., ed. Masalah Kulit dan Keputihan Pada Bayi dan Anak. Jakarta: Balai Penerbitan FK UI,1-8. 2009
3. James, W. D., Berger, T. G. & Elston, D. M.Andrews' Disease of The

Skin Clinical Dermatology, Pennsylvania, Saunders Elsevier.2006


4. Krafchik, B. R., Halbert, A., Yamamoto, K. & Sasaki, R. Eczematous

Dermatitis. Dalam Schachner, L. A. & Hansen, R. C. (Eds.) Pediatric Dermatology. 3rd ed. London, Mosby.2003
5. 6.

Cohen, B. A. Pediatric Dermatology, Maryland, Elsevier Mosby.2005 Abramovits, W. Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol, 53, S8693.2005

7. Zulkarnain I.Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik.

Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 3951.2009
8. Peterson, J.D., Chan L.S.,A Comprehensive Management Guide For

Atopic

Dermatitis.

Available

from:

http://www.medscape.com/viewarticle/551352.[Accesed Desember 1, 2013]. 2006

9.

Dewi, R.W.N.Eksim Susu pada Bayi dan Anak . Dalam: Boediardja, S.A, ed. Eksim Pada Bayi dan Anak. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 18-31.2004

10. Aberg K, Radek K et al. Psychological Stress Downregulates

Epidermal Antimicrobial Peptide Expression and Increases Severity of Cutaneous Infections in Mice. J Clin Invest 2007;117:3339
11. Dharmadji, H.T.Berbagai Dermatitis yang Sering Terjadi pada Bayi

dan Anak. Dalam: Djajakusumah T.S., ed. Antiinflamasi Topikal pada Pengobatan Dermatitis Bayi dan Anak. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 1-10.2006
12. Leung, D. Y. M .et al. Atopic Dermatitis (Atopic Eczema). In:
th

Kliegman R.M., ed. Nelson Textbook of Pediatrics. 18 ed. USA: Saunders Elsevier, 970-975. 2007
13. Bieber, T.Atopic Dermatitis. N Engl J Med, 358 (14): 1483-1493.2008 14. Simpson, E.L., Hanifin, J.M.Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol,

53 (1): 115-128.2005
15. Boediardja, S.A.Etiopatogenesis Beberapa Dermatitis pada Bayi dan

Anak. Dalam: Djajakusumah, T.S., ed. Antiinflamasi Topikal pada Pengobatan Dermatitis Bayi dan Anak. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 11-28.2006
16. Levenson, J. L.Psychiatric Issues in Dermatology, Part 1: Atopic

Dermatitis and Psoriasis. Primary Psychiatry, 15, 35-38.2008


17. Soebaryo, R.W.Masalah Alergi Kulit pada Bayi dan Anak. Dalam:

Boediardja, S.A., ed. Alergi Kulit pada Bayi dan Anak. Jakarta: Balai Penerbitan FK UI,1-8.2002
18. Harper, John., Oranje, Arnold., Prose, Neil.Textbook of Pediatric

Dermatology. Volume 1 2nd ed. Blackwell Publishing.2006


19. Wright et al.The impact of stress on the development and expression of

atopy. Curr Opin Allergy Clin immunol 5:2329.2005


20. Kodama A, Horikawa T, Suzuki T, Ajiki W, Takhasima T, Harada S,

and Ichihasi M.Effect of stress on atopic dermatitis : investigation in

patients after the great Hanshin earthquake. J Allergy Clin Immunol ; 104(1): 173-176.2009
21. Elenkov IJ, and Chrousos GP.Stress Hormones, Proinflammatory and

Anti-inflammatory Cytokines, and Autoimmunity. Ann. N.Y. Acad. Sci ; 966: 290-303.2012
22. Made Wardhana. Stress Psikologis pada Dermatitis Atopik dan

Hubungannya

dengan

Kadar

Norepinefrin

dan

Interleukin-4

Plasma.Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin.FK Unud/RS Sanglah, Denpasar.2008


23. Megumi Mizawaet al.Stress Evaluation in Adult Patients with Atopic

Dermatitis Using Salivary Cortisol. BioMed Research International Volume 2013, Article ID 138027.
24. Sang Ho Oh. Association of Stress with Symptoms of Atopic Dermatitis.Acta
Derm Venereol 2010; 90: 582588

25. Sanja Pavlovic.et all. Further Exploring the BrainSkin Connection: Stress
Worsens Dermatitis via Substance P dependent Neurogenic Inflammation in Mice Journal of Investigative Dermatology 128.2008: 434446

26. Jeoung A. Kwon. Does Stress Increase the Risk of Atopic Dermatitis

in Adolescents? Results of the Korea Youth Risk Behavior Web-Based Survey (KYRBWS-VI). PLOS ONE. Stress and Atopic

Dermatitis.Vol.8.August 2013
27. Dhabhar FS and McEwen BS. Bidirectional Effects of Stress and

Glucocorticoid Hormones on Immune Function: Possible Explanations for Paradoxical Observation. In Ader R et al. eds. Psychoneuroimmunology 3rd 338
28. Szentivanyi A, Heim O, Schultze P and Szetivanyi J.Adrenoceptor

Academic Press Sandiego. 2011;301-

Binding Stuies with Dihydroalprenolol and Dihydroergocryptine on Membranes of Lymphocytes from patients with Atopic Disease. Acta Dermatovener (Stockholm) Suppl. 92. 2009;19-21

29. Andrea L. Suarez.et al. Psychoneuroimmunology of Psychological

Stress and Atopic Dermatitis: Pathophysiologic and Therapeutic Updates.Acta Derm Venereol 2012; 92: 715

Anda mungkin juga menyukai