Anda di halaman 1dari 12

Nasikh-Mansukh dalam Al-Quran

Makalah Ini Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Studi Al-Quran : Teori dan Metodologi

Disusun Oleh: A. FAidi (1320510041)

Konsentrasi Sejarah dan Kebudayaan Islam Progaram Studi Agama dan Filsafat Pasca Sarjana Univertsitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2013

BAB I PENDAHULUAN Al-Quran merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malakat Jibril untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia. hal itulah yang menjadikan Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam dan menjadi pedoman hidup yang sifatnya universal. Universalitas AlQuran ang dimaksudkan di sini adalah hukum-hukum yang terkandunga di dalmnya berlaku untuk seluruh dunia dan makhluknya tanpa memandang perbedaan struktur etnis dan geografis. Hanya saja, dalam menjabarkan arti abadi dan universal itu menjadi bahan diskusi para ulama karena adanya perbedaan masalah yang mereka tekankan. Sebagian ulama melihat bahwa faktor kesucian Al-Quran yang paling menonjol, sedangkan yang lainnya melihat faktor kelanggengan Al-Quran dalam menjawab setiap tuntutan situasi dan kondisi. Di antara masalah rumit yang sudah lama menjadi bahan perbincangan mereka adalah nasikh dan mansukh. Diskursus tentang konsep nasikh mansukh sampai saat ini masih menjadi polemik yang berkepanjangan. Pertanyaan pokoknya adalah apakah ada nasikh mansukh dalam Al-Quran? Persoalan ini bernuansa ikhtilaf (baca: kontradiksi) di kalangan ulama. 1Sebagian ulama menolak konsep nasakh, namun sebagian mendukung konsep nasakh tersebut, bahkan yang terbanyak dari mereka berpendapat dan berkeyakinan bahwa tidak semua ayat Al-Quran yang berkenaan dengan hukum itu masih berlaku, sebab di antara ayat-ayat tersebut sudah ada yang dinasakh.

Ahmad Izzan, Ulumul Quran: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al -Quran, Ed. Revisi, Bandung: Tafakur, 2009., h. 187.

BAB II NASIKH MANSUKH DALAM ALQURAN A. Pengertian Nasikh dan Mansukh Nasikh menurut bahasa ialah hukum syara yang menghapuskan, menghilangkan, atau memindahkan atau juga yang mengutip serta mengubah dan mengganti. Menurut Quraish Shihab, para Ulama secara bahasa mendifinisikan nasikh ke dalam empat makna yaitu :2 1. Izalah (menghilangkan), seperti dalam ayat berikut : ) : ( Artinya : Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksna.(Qs.Al-hajj : 52) 2. Tabdil (penggantian), seperti dalam ayat berikut : ) : ( . Artinya : Dan Apabila kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja. Bahkan, kebanyakan mereka tiada mengetahui.(QS. An-Nahl: 101) 3. Tahwil (memalingkan), seperti tanasukh Al-mawarist, artinya memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain. 4. Naql (memindahkan dari satu tempat ketempat yang lain), seperti nasakhtu Al-Kitaaba, yakni mengutip atau memindahkan isi kitab tersebut berikut lafazh dan tulisannya. Sebagian ulama menolak makna keempat ini, dengan alasan bahwa si nasikh tidak dapat mendatangkan lafazh yang dimansukh itu, tetapi hanya mendatangkan lafazh lain. Sedangkan pengetian nasikh secara terminologi, para ulama mendefinisikan nasikh dengan rafu Al-hukm Al-syari (menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang lain).3 Kata-kata menghapuskan yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum syari yang disebabkan oleh adanya hukum syari yang lain. Dalam hal ini, banyak yang berpendapat bahwa hukum syari yang mengahpus (nasikh) harus lebih tinggi derajatnya ketimbanga hukum syari yang dihapus (mansukh). Kata Mansuhk sendiri dalam segi bahasa bermakna sesuatu yang di hapus atau dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil oleh keberadaan hukum syari yang lainnya. Sedangkan menurut istilah, para ulama mendefnisikan mansukh sebagai hukum syara yang diambil dari dalil syara yang sama, yang belum
2 3

Ibid, hlm. 187 Ibid, hlm. 188

diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hukum syara yang baru yang datang kemudian. Dengan kata lain, yang dimaksud mansukh adalah berupa ketentuan hukum syara pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.4 B. Dasar- Dasar PenetapanNasikhdanMansukh Dalam kitab Manna Al-Qatthan, menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar adalah: 1. Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql Al-sharih ) dari Nabi atau para sahabatnya, seperti halnya dalam sebuah hadis berikut : Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah 2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh 3. Melalui studi sejarah. Dalam hal ini, untuk menentukan nasikhmansukh terhadap suatu dalil syari, hendaknya mengetahui dimensi sejarah ayat itu sendiri, khususnya terkait dengan ayat mana yang turun sebelumnya (mansukh) dan ayat mana yang turun kemudian (mansukh). Dalam hal ini, Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau latar-belakang keislaman salah seorang dari pembawa riwayat. C. Rukun dan Syarat Nasikh-Mansukh Penentuan nasikh-mansukh dalam al-Qurah haruslah memenuhi beberapa rukun dan sayarat yang telah ditentukan oleh sebagian ulama terdahulu. Dalam hal ini, para Ulama menetapkan rukun dan syarat nasikh-mansukh sebagai berikut :5 Rukun Nasikh 1. Adat nasikh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada. 2. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan Diapulalah yang menghapusnya. 3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan. 4. Mansukhanh, yaitu orang yang dibebani hukum. Syarat-Syarat Nasikh 1. Yang dibatalkan adalah hukum syara 2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara 3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakahirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di nasikh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut. 4. Tuntutan yang mengandung nasikh harus datang kemudian. D. Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Nasikh dalam AL-Quran
4 5

Ibid, hlm. 188. Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, ( Bandung : Pustaka Setia : 2007), hlm. 165.

Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, nasikh dalam Al-Quran dibagi menjadi empat macam yaitu:6 1. Nasikh Sharih Adapun yang dimaksud dengan Nasikh Sharih adalah ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat tentang pearng (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal(8) yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir : ) : (. Artinya : Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti. ( QS.Al-Anfal : 65 ) Menurut jumhur ulama ayat ini di-nasikh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama : ) : ( . Artinya : Sekarang Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir. ( QS.Al-Anfal : 66 2. Nasikh dhimmy Nasikh Dhimmy adalah jika terdapat dua nash yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2): ) : ( . Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tandatanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib kerabatnya secara maruf. 3. Nasikh Kully Nasikh Kully adalah menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah (2) 234 dinasikh oleh ketentuan iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama. 4. Nasikh Juzi

Ibid, hlm.167

Adapun yangdimaksud dengan Nasikh Juzi adalah menghapus hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4, dihapus oleh ketentuan lian, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama. Sedangkan dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh menjadi tiga macam yaitu:7 1. Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan. Misal sebuah riwayat Al Bukhori Muslim yaitu hadis Aisyah R.A. Artinya; Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-quran) adalah sepuluh radahaat (isapan menyusu) yang diketahui, kemudian di nasikh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Setelah rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-quran. 2. Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada. Misalnya ayat tentang mendahulukan sedekah ( QS.Mujadilah : 12 ) ) : ( . Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang ( QS.Mujadilah : 12 ) Ayat ini di Nasikh oleh surat yang sama ayat 13 : . ) : ( Artinya : Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul?maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( QS.Al-Mujadilah :13)

Ibid, hlm. 180

3. Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-Quran. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah : Artinya : Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya Cerita tentang ayat orang tua berzina diataas diturunkan berdsarkan riwayat Ubay bin Kaab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap bacaanya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam: . Artinya : Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).

BAB III KONTROVERSI NASIKH-MANSUKH DALAM AL-QURAN A. Nasikh Mansukh dalam Perspektif Pendukungnya Ulama yang mempelopori konsep nasikh-mansukh dalam Al-Quran adalah Al-Syafii, Al-Nahhas, Al-Suyuthi dan Al-Syaukani.8 Persoalan nasikh bagi kelompok pendukungnya merupakan salah satu cara menyelesaian beberapa dalil yang dianggap bertentangan secara zhahir, maka diupayakan pengkompromian kedua dalil tersebut. Apabila tidak bisa dikompromikan maka salah satunya di nasikh (dibatalkan). Para ulama yang mendukung adanya teori nasakh-mansukh dalam al-Quran mengungkapkan pendapat yang saling berbeda antara satu sama lainnya. Namun jika dirangkum, maka beberapa pandangan ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa nasakh tiada lain adalah adanya suatum hukum yang ekmudian mengalami perubahan, penggantian, dan penambahan. Inilah yang menyebabkan adanya kesimpulan tentang keberadaan nasakh. Mengenai adanya nasakh dalam syariat Islam ini telah menimbulkan pertanyaan. Mengapa terjadi nasakh dalam syariat Islam? Menjawab pertanyaan ini para ulama pendukung teori nasakh mengemukakan argumentasi dan sejumlah alasan, baik yang didasarkan argumentasi rasional maupun yang bersandar pada nash. Argumentasi rasional, pertama, bahwa nasikh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran dan setiap yang tidak terlarang berarti boleh. Kedua, seandainya nasikh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam nasikh, maka syari akan tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya dengan perintah sementara dan melarangnya dengan larangan sementara. Ketiga, seandainya nasikh itu tidak boleh menurut akal, maka tidak akan ditetapkan risalah Muhammad sebab syariat yang terdahulu dengan sendirinya akan kekal. Padahal risalah Muhammad merupakan risalah pengganti dan penyempurna. Oleh karena itu nasikh boleh dan dapat terjadi. Keempat, bahwa terdapat dalil yang menunjukkan nasikh terjadi menurut nash.9 Dasar terjadinya nasikh menurut nash dapat dicontohkan sebagai berikut: Pertama, sumber dalam Taurat menjelaskan bahwa setelah Nabi Nuh turun dari sampannya Allah memerintahkan bahwa semua binatang melata dan tumbuhtumbuhan boleh dimakan, tetapi kemudian diketahui syariat Nabi Nuh mengharamkan sebagian binatang melata. Kedua, Allah menyuruh Adam mengawinkan anak perempuannya dengan anak laki-lakinya, kemudian yang berbeda bapak boleh kawin mengawini, akan tetapi sekarang orang Islam, Yahudi dan Nasrani menolak kebiasaan ini. Kasus di atas merupakan contoh terjadinya nasikh dalam syariat-syariat terdahulu. Sedangkan nasikh dalam syariah Islam antara lain dipahami dari sumber antara lain: Q.S. Al-Baqarah 106; Q.S. AlRaad: 39, An-Nahl: 101; An-Nisa :160. Dalam Al-Quran sendiri menurut penganut teori nasakh terdapat cukup banyak ayat yang dinasakh hukumnya.10
Ahmad Izzan, Ulumul Quran: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al -Quran, Ed. Revisi, Bandung: Tafakur, 2009., hlm. 187. 9 Kamal Muchtar (et. al.), Ushul Fiqh, Jilid 1,( Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995) hlm. 188. 10 Ibid, hlm. 190
8

B. Nasikh Mansukh dalam Perspektif Penolaknya Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam Al-Quran berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang terlihat bertentangan sehingga tidak perlu di nasakh. Kelompok penolak ini dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahani (w. 322 H), seorang pakar tafsir yang termasyur dari kalangan Mutazilah. Menurut tokoh ini, di dalam Al-Quran tidak terdapat nasakh. Mengakui perihal adanya nasakh berarti juga mengakui adanya kebatilan di dalam Al-Quran. Isfahani mendasarkan argumennya pada Q.S. Al-Fushshilat: 42 yang menegaskan: Yang tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Hukum-hukum yang dibawa al-Quran bersifat abadi dan berlaku universal. Oleh karena itu, tidak layak kalau di dalam Al-Quran terdapat nasakh. Di samping itu -kata Abu Muslim- ayat-ayat yang dinyatakan Jumhur mufassirin, saling bertentangan ternyata masih dapat dikompromikan dengan mulus dan rasional. Ahmad Khan menegaskan keyakinannya bahwa Al-Quran memiliki kebenaran yang bersifat universal. Ia memandang keutuhan Al-Quran tidak boleh terkena interplasi atau pengurangan oleh tangan manusia. Demikian juga tentang susunan ayat-ayat Al-Quran yang otentik. Beberapa karakteristik Al-Quran ini memang merupakan keyakinan yang umumnya dipegang oleh kaum muslimin. Dengan demikian pandangan-pandangan Ahmad Khan tersebut memiliki kedudukan yang absah di antara kreteria penafsiran Al-Quran. Salah satu prinsip karakteristik Al-Quran menurut Khan, karena kebenaran tidak mungkin bertolak belakang dengan kebenaran, tentunya tidak akan ada ketidakselarasan antara kebenaran Tuhan, kebenaran Al-Quran dan kebenaran Ilmu Pengetahuan.11 Dalam Life of Mohammed, masalah nasikh mansukh juga pernah dibahas secara panjang lebar oleh Ahmad Khan. Ia akhirnya sampai pada kesimpulan yang senada dengan pandangan yang dirumuskannya dalam prinsip di atas. Sementara hadits-hadis yang mengabsahkan adanya nasikh mansukh di dalam Al-Quran, menurut Ahmad Khan, tidak di dukung oleh otoritas yang dapat dipercaya. Bagi Ahmad Khan dan para penolak teori nasikh, daripada menganggap wahyu AlQuran terdahulu dihapus oleh wahyu yang sesudahnya, akan lebih baik jika wahyu terdahulu tetap dianggap valid untuk diimplementasikan dalam kondisi yang sama dengan kondisi saat wahyu tersebut diturunkan. 12 Muhammad Abduh, dalam menanggapi diskursif nasikh mansukh juga terlihat menolak adanya nasikh dalam Al-Quran dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).13 Dalam pemahaman Abduh yang demikian, semua ayat Al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian
Farid Esack, Samudra Al quran (Diterjemahkan dari judul asli: The Quran: a Short Introduction, oleh Nuril Hidayah), (Jogyajarta: Diva Press, 2007), hlm. 230. 12 Ibid hlm. 230. 13 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. XIX, Bandung: Mizan, 1994 dalam Tema Nasikh Mansukh h. 143
11

hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Dalam perspektif hikmah, pemahaman semacam ini menurut Quraish Shihab akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.14 Penolakan teori nasakh juga dikemukakan oleh Ahmad Hasan. Ia tidak mengakui adanya nasikh dalam Al-Quran, sebab jika memang dalam Al-Quran terdapat teks-teks yang mansukh tentu Rasulullah akan menjelaskannya. Mengenai itu ia menyatakan: Teori klasik nasikh tak mungkin berasal dari Rasulullah, karena kita tidak menemukan informasi apapun dari beliau akan adanya ayat-ayat yang dibatalkan dalam Al-Quran dengan pengertian ini. Seandainya suatu ayat telah benar-benar dibatalkan, tentu beliau akan menunjukkan dengan tegas kepada orang banyak. Karena ajaran Al-Quran ditujukan bagi setiap zaman dan tempat, sangat sulit dipercaya bahwa Rasulullah telah menyerahkan persoalan yang demikian penting, yang menyangkut pemahaman Al-Quran kepada kebijaksanaan orang banyak.15 Taufik Adnan Amal dengan tajam juga mengkritisi teori nasikh mansukh sebagai berikut : Doktrin nasikh-mansukh ini sesungguhnya hanya ada di dalam fiqh, bukan di dalam Al-Quran. Yang bertentanan sebenarnya adalah fiqh dan AlQuran, bukan antara ayat Al-Quran yang satu dengan lainnya. Penisbatan nasikh-mansukh ke dalam ayat-ayat Al-Quran pada faktanya telah memperkosa doktrin keabadian Al-Quran, kohenrensi (pertalian) dan graduasi kitab suci tersebut.16

Ibid, hlm.148 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemah A. Garnadi, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 61 16 Taufik Adnan Amal, hlm. 29
15

14

BAB IV PENUTUP Dari pembahasan seputar pengertian nasikh-mansukh berikut sejarah ringkas serta keberadaannya dalam hukum Islam dan khususnya dihubungkan dengan penasakhan al-Quran al-Quran dengan sesama ayat al-Quran, dapatlah dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, konsep nasikh-mansukh pada mulanya memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang ketika dihubungkan dengan konsep nasikh-mansukh eksternal agama. Tetapi dalam perjalanan selanjutnya, ruang-lingkup nasikhmansukh mengalami penyempitan obyek pembahasan ketika dibatasi hanya dalam konteks internal agama Islam dan lebih sempit lagi ketika nasikh-mansukh dipaksakan internal al-Quran. Kedua, hukum Islam tidak hanya mengakui dan menerima keberadaan nasikhmansukh yang bersifat eksternal antara syariat yang satu dengan syariat yang lain, akan tetapi juga memberikan ruang bagi kemungkinan nasikh-mansukh yang bersifat internal hukum Islam. Ketiga, pemikiran yang mengakui keberadaan nasikh-mansukh internal alQuran, sulit diterima keberadaannya jika yang dimaksud adalah penghapusan ayat-ayat al-Quran dalam bentuknya yang manapun. Selain bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Quran itu sendiri, argumentasi berikut dalil naqli yang dibangun para pendukung nasikh mansukh tampak lemah.

DAFTAR PUSTAKA Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilm Ushul, Libanon: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2008. Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, 1958 Ash- Shidieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al Quran/ Tafsir, Jakarta, Bulan Bintang, 1954. Ahmad Izzan, Ulumul Quran: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas AlQuran, Ed. Revisi, Bandung: Tafakur, 2009. Athaillah, Sifat Operatif Ayat Al-Quran: Tanggapan terhadap Teori Nasakh dalam Al-Quran) dalam Al-Banjary jurnal Ilmiah Imu-Ilmu Keislaman, Volume 3 nomor 5 Januari-Juni 2004, Banjarmasin: Pascasarjana IAIN Antasari, 2004 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemah A. Garnadi, Bandung: Pustaka, 1994 Farid Esack, Samudra Al quran ,Diterjemahkan dari judul asli: The Quran: a Short Introduction, oleh Nuril Hidayah, Jogyajarta: Diva Press, 2007 Muhammad Az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi-Ulum al-Quran, juz I,Isa al-Baby Al-Halabi, Mesir, Kamal Muchtar (et. al.), Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. XIX, Bandung: Mizan, 1994 Ridha, Muhammad Rasyid, Muhammad Abduh, t.t., Tafsir al-Quran al-Hakim (tafsir al-Manar), Beirut-Lubnan: Dar al-Fikr. Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, Bandung : Pustaka Setia : 2007. Taufik Adnan Amal, Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Quran: Sebuah Kerangka Konseptual, cet. III,( Bandung: Mizan, 1992)

Anda mungkin juga menyukai