Anda di halaman 1dari 2

Lima Belas Tahun Tempo

HENRY Luce dan temannya mendapat ilham yang bagus membuat majalah patriotik
dengan aktualitas internasional. Luce, anak seorang misionaris di Cina, memberi suatu misi
kepada majalahnya: memerangi aliran komunis dan berjuang untuk yang disebut demokrasi
Amerika. Majalah yang diberi nama Time itu menjadi trendsetter, dan di sana-sini sang bapak
mulai beranak. Der Spiegel yang tebal mencerminkan pemikiran orang Jerman yang gemuk.
Elsevier, penuh nasihat, mewakili bangsa Belanda yang setiap Mmggu harus ikut mendengar
khotbah. Orang Prancis yang membuat dua ratus macam keju tidak cukup membuat satu sumber
informasi dan opini. Le Point, Le Nouvel Obsservateurt dan LExpresse menjadi lambang pikiran
ramai orang Paris.
Kalau TEMPO menjadi majalah aktualitas di Indonesia, mungkin dapat ditanyakan dalam
hal apa jiwa Indonesia sezaman dicerminkan dalam halaman-halamannya. Rakyat, yang tidak
hanya memakai surat kabar dan kertas majalah untuk membungkus kacang goreng, tapi juga
membaca isinya, membagi pers kita menjadi dua: yang berani dan yang tidak berani. Di
Indonesia memang ada kemerdekaan dan kebebasan pers penuh, tapi ada yang lebih bebas dari
yang lain karena kebebasan terlalu besar mengakibatkan pencabutan SIUPP, yang dulu
disebut pembreidelan. Memberi informasi dalam suasana kemerdekaan ialah tugas sama sulit
dengan tugas akrobat yang, di atas tali tegang, berjalan dan tiang kanan ke tiang kiri.
TEMPO dimasukkan ke dalam kategori pers berani dan cukup laku di kampus dan studio
seniman. Misi TEMPO bukan perang anti komunis atau perjuangan demokrasi Amerika, tetapi,
menurut seorang pengamat pers kita, perjuangan untuk keadilan.
Sartre, dalam wawancara dengan Simone de Beauvoir, mengatakan ada dua macam
keadilan: satu dari lembaga resmi yang berlaku dan berkuasa, yang lain yang lahir dalam hati
rakyat. Bulan Januari orang bisa membaca dua berita. Satu tentang anak gelandangan berumur
16 tahun dan mencuri potongan besi, ditangkap, lari dan ditembak empat kali. Berita lain ialah
pencurian satu milyar rupiah di Pemda Jawa Barat yang dibereskan intern, artinya di luar
pengadilan, karena empat ratus juta sudah hilang dan muka pelbagai orang harus diselamatkan.
Seorang pegawai kaya dari Pertamina dituduh merencanakan pembunuhan seorang mahasiswa,
tapi berdasan akal sejumlah dokter, keadilan dihalangi; sedang Dharsono dihukum beberapa hari
sebelum batas waktu tahanan.
Nurani rakyat membedakan dua macam keadilan, meskipun sulit sekali menilai yang dua
itu dengan wajar. TEMPO rupanya mendukung keadilan murni, suatu policy yang hanya
mungkin dalam suasana kemerdekaan.

Perjuangan untuk keadilan selalu menjadi perjuangan untuk kemerdekaan; jelas bahwa
perjuangan tidak gampang. Dalam dunia pers ada istilah yellow paper, muncul pada zaman
Randolph Hearst, yang pernah mengatakan kepada wartawan: engkau memberi informasi, saya
memberi perang. Pers yang bikin heboh, supaya pemberitaan menjadi ramai, tidak kurang jahat
dari pers yang melukis dunia hanya dengan warna hitam dan putih. Itulah tugas
yang sulit bagi majalah yang berjuang untuk kemerdekaan dan keadilan. Melukiskan pemerintah
sebagai hantu, setan, atau versi modem dari Jan Pieterszoon Coen jelas termasuk kerja yellow
paper, sedang menjilat kaki dan tangan yang berkuasa boleh diberi warna yang lebih jelek.
Pers ialah orang (le journal est un monsieur), dan orang itu menjadi pers yang baik kalau dia
mewakili nurani rakyat tapi juga menilai pemerintah dan orang yang berpengaruh dengan adil.
Tidak heran, hidup seorang editor yang tidak mau majalahnya dibreidel, tapi mau meninjau
pemerintah dengan adil dan ingin mewakili aspirasi rakyat dan genenasi muda, bukan hidup yang
selalu penuh bahagia.
Kebenaran sering harus dicetak dengan tinta putih, yaitu antara deretan huruf yang
dicetak hitam. Wartawan dan para editor tanah air menjadi seniman penyelundupan dan sihir
kalau, dengan simsalabim, kebenaran diwahyukan dengan topeng atau pakaian bagus. Omongan
falsafah sering berguna untuk menyatakan kebenaran sehari-hari. Tulisan Mohammad Goenawan
(Goenawan Mohamad: Red), Mahbub Djunaidi, dan Syubah Asa boleh dibaca dua kali supaya
intisari dinilkmati penuh.
Itu sukar, karena bukan semua pembaca TEMPO nongkrong di kampus atau studio. Tidak
heran kebanyakan pembaca lebih senang membaca Indonesiana daripada Kolom, dan berita
perkara pengadilan tidak perlu diberi bumbu seperti pokok politik, ilmu sosial, atau agama.
Anak yang merayakan hari ulang tahun kelima belas dan menghadap orangtua atau guru pasti
akan mendapat banyak nasihat dan petunjuk. TEMPO yang berumur lima belas tahun mungkin
dulu boleh dipuji. TEMPO memang enak dibaca, lay out menarik, pemberitaan daerah cukup
diwakili, sedang features boleh dianggap cukup representatif.
Kalau pembaca boleh mengucapkan harapannya, memang satu hal pantas didoakan,
Dalam pers dunia Timur, satu tulisan sering menjadi tulisan satu orang; sedang kalau ada cukup
banyak duit, sarana dan peneliti, memang lebih baik tulisan ialah joint venture beberapa onang.
Di luar tanah air tidak mustahil satu tulisan ditelurkan dua puluh orang lebih dan berdasar riset
yang luas dan dalam. Mengenai sarana keuangan, sang pembaca pernah mendengar bahwa Sartre
ditawani US$ 600.000 (enam ratus ribu dolar AS) untuk skenario tv. Bagaimana situasi di Pasar
Senen, tanyalah Pak Mahbub yang makin pendek dan kurus.

1971 TEMPO 1986

Anda mungkin juga menyukai