Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN Al-Quran merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malakat Jibril

untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia. hal itulah yang menjadikan Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam dan menjadi pedoman hidup yang sifatnya universal. Universalitas AlQuran ang dimaksudkan di sini adalah hukum-hukum yang terkandunga di dalmnya berlaku untuk seluruh dunia dan makhluknya tanpa memandang perbedaan struktur etnis dan geografis. Hanya saja, dalam menjabarkan arti abadi dan universal itu menjadi bahan diskusi para ulama karena adanya perbedaan masalah yang mereka tekankan. Sebagian ulama melihat bahwa faktor kesucian Al-Quran yang paling menonjol, sedangkan yang lainnya melihat faktor kelanggengan Al-Quran dalam menjawab setiap tuntutan situasi dan kondisi. Di antara masalah rumit yang sudah lama menjadi bahan perbincangan mereka adalah nasikh dan mansukh. Diskursus tentang konsep nasikh mansukh sampai saat ini masih menjadi polemik yang berkepanjangan. Pertanyaan pokoknya adalah apakah ada nasikh mansukh dalam Al-Quran? Persoalan ini bernuansa ikhtilaf (baca: kontradiksi) di kalangan ulama. 1Sebagian ulama menolak konsep nasakh, namun sebagian mendukung konsep nasakh tersebut, bahkan yang terbanyak dari mereka berpendapat dan berkeyakinan bahwa tidak semua ayat Al-Quran yang berkenaan dengan hukum itu masih berlaku, sebab di antara ayat-ayat tersebut sudah ada yang dinasakh.

Ahmad Izzan, Ulumul Quran: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Quran, Ed. Revisi, Bandung: Tafakur, 2009., h. 187.

BAB II NASIKH MANSUKH DALAM ALQURAN A. Pengertian Nasikh dan Mansukh Nasikh menurut bahasa ialah hukum syara yang menghapuskan, menghilangkan, atau memindahkan atau juga yang mengutip serta mengubah dan mengganti. Menurut Quraish Shihab, para Ulama secara bahasa mendifinisikan nasikh ke dalam empat makna yaitu :2 1. Izalah (menghilangkan), seperti dalam ayat berikut : ) : ( Artinya : Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksna.(Qs.Al-hajj : 52) 2. Tabdil (penggantian), sepertidalamayatberikut : ) : ( . Artinya : Dan Apabila kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja. Bahkan, kebanyakan mereka tiada mengetahui.(QS. An-Nahl: 101) 3. Tahwil (memalingkan), seperti tanasukh Al-mawarist, artinya memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain. 4. Naql (memindahkan dari satu tempat ketempat yang lain), seperti nasakhtu Al-Kitaaba, yakni mengutip atau memindahkan isi kitab tersebut berikut lafazh dan tulisannya. Sebagian ulama menolak makna keempat ini, dengan alasan bahwa sinasikh tidak dapat mendatangkan lafazh yang dimansukh itu, tetapi hanya mendatangkan lafazh lain. Sedangkan pengetian nasikh secara terminologi, para ulama mendefinisikan nasikh dengan rafu Al-hukm Al-syari (menghapuskan hukum syara dengan dalil syara yang lain).3 Kata-kata menghapuskan yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum syari yang disebabkan oleh adanya hukum syari yang lain. Dalam hal ini, banyak yang berpendapat bahwa hukum syari yang mengahpus (nasikh) harus lebih tinggi derajatnya ketimbanga hukum syari yang dihapus (mansukh). Kata Mansuhk sendiri dalam segi bahasa bermakna sesuatu yang di hapus atau dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil oleh keberadaan hukum syari yang lainnya. Sedangkan menurut istilah, para ulama mendefnisikan mansukh sebagai hukum syara yang diambil dari dalil syara yang sama, yang belum
2 3

Ibid, hlm. 187 Ibid, hlm. 188

diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hukum syara yang baru yang datang kemudian. Dengan kata lain, yang dimaksud mansukh adalah berupa ketentuan hukum syara pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.4 B. Dasar- Dasar PenetapanNasikhdanMansukh Dalam kitab Manna Al-Qatthan, menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus). Ketiga dasar adalah: 1. Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql Al-sharih ) dari Nabi atau para sahabatnya, seperti halnya dalam sebuah hadis berikut : Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah 2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh 3. Melalui studi sejarah. Dalam hal ini, untuk menentukan nasikhmansukh terhadap suatu dalil syari, hendaknya mengetahui dimensi sejarah ayat itu sendiri, khususnya terkait dengan ayat mana yang turun sebelumnya (mansukh) dan ayat mana yang turun kemudian (mansukh). Dalam hal ini, Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau latar-belakang keislaman salah seorang dari pembawa riwayat. C. Rukun dan Syarat Nasikh-Mansukh Penentuan nasikh-mansukh dalam al-Qurah haruslah memenuhi beberapa rukun dan sayarat yang telah ditentukan oleh sebagian ulama terdahulu. Dalam hal ini, para Ulama menetapkan rukun dan syarat nasikh-mansukh sebagai berikut :5 Rukun Nasikh 1. Adat nasikh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada. 2. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan Diapulalah yang menghapusnya. 3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan. 4. Mansukhanh, yaitu orang yang dibebani hukum. Syarat-Syarat Nasikh 1. Yang dibatalkan adalah hukum syara 2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara 3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakahirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di nasikh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut. 4. Tuntutan yang mengandung nasikh harus datang kemudian. D. Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Naskh dalam AL-Quran
4 5

Ibid, hlm. 188. Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, ( Bandung : Pustaka Setia : 2007), hlm. 165.

Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh dalam Al-Quran dibagi menjadi empat macam yaitu:6 1. Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat tentang perng (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal(8) yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir : ) : (. Artinya : Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oangorang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti. ( QS.Al-Anfal : 65 ) Dan menurut jumhur ulama ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama : ) : ( . Artinya : Sekarang Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir. ( QS.Al-Anfal : 66 2. Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2): ) : ( . Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib kerabatnya secara maruf. 3. Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah (2) 234 di-naskh oleh ketentuan iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.

Ibid, hlm.167

4. Naskh juzi, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku pada semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu,atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan ukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4, dihapus oleh ketentuan lian, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika sipenuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama. Sedangkan dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh menjadi tiga macam yaitu:7 1. Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan. Misal sebuah riwayat Al Bukhori Muslim yaitu hadis Aisyah R.A. Artinya; Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-quran) adalah sepuluh radahaat (isapan menyusu) yang diketahui, kemudian di naskh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Setelah rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-quran. 2. Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada. Misalnya ayat tentang mendahulukan sedekah ( QS.Mujadilah : 12 ) 3. ) : ( . Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang ( QS.Mujadilah : 12 ) Ayat ini di Naskh oleh surat yang sama ayat 13 : . ) : ( Artinya : Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul?maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ( QS.Al-Mujadilah :13)

Ibid, hlm. 180

4. Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya diambil dari yat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-Quran. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah : Artinya : Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya Cerita tentang ayat orang tua berzina diataas diturunkan berdsarkan riwayat Ubay bin Kaab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap bacaanya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam: . Artinya : Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).

BAB III KONTROVERSI NASIKH-MANSUKH DALAM AL-QURAN A. Nasikh Mansukh dalam Perspektif Pendukungnya Salah satu ayat yang menjadi basis pembangunan teori naskh adalah firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah:106: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? Ulama yang mempelopori konsep nasikh-mansukh dalam Al-Quran adalah Al-Syafii, Al-Nahhas, Al-Suyuthi dan Al-Syaukani.8 Persoalan naskh bagi kelompok pendukungnya merupakan salah satu cara menyelesaian beberapa dalil yang dianggap bertentangan secara zhahir, maka diupayakan pengkompromian kedua dalil tersebut. Apabila tidak bisa dikompromikan maka salah satunya di naskh (dibatalkan). Ada beberapa definisi nasakh yang dikemukakan kelompok ini, antara lain oleh Al-Ghazali: 9 . Nasakh adalah titah yang menunjukkan terangkatnya hukum yang ditetapkan dengan titah terdahulu dalam bentuk seandainya ia tidak terangkat tentu masih berlaku disamping hukum yang datang kemudian. Al-Amidi, seperti yang dikutip oleh Rosihan Anwar, mengatakan : .10 Ibarat dari titah pembuat hukum (syari) yang menolak kelanjutan berlakunya hukum yang ditetapkan dengan titah terdahulu. Dalam kedua definisi di atas terlihat perbedaan fungsi naskh. Definisi pertama mengartikan nasakh sebagai ) pencabutan( perberlakuan hukum terdahulu, maka dalam definisi kedua naskh diartikan sebagai ( mencegah), yaitu mencegah kelangsungan berlakunya hukum yang terdahulu. Kedua definisi itu diterima oleh kalangan jumhur. Al-Syatibi dari kalangan ulama Maliki juga menetapkan naskh dengan arti mencabut yang dirumuskan dalam definisinya: 11 Dari beberapa definisi yang berbeda tersebut dapat dapat dipahami bahwa nasakh itu adalah memiliki beberapa terminologi yang tidak sama antara satu dan lainnya bahkan di kalangan para pendukungnya. Namun jika di rangkum beberapa pandangan ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa nasakh tiada lain adalah dengan melihat bahwa ada suatu hukum, setelah itu ada perubahan, penggantian, dan penambahan. Inilah yang menyebabkan adanya kesimpulan tentang keberadaan nasakh.

Ahmad Izzan, Ulumul Quran: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al -Quran, Ed. Revisi, Bandung: Tafakur, 2009., hlm. 187. 9 Ibid, hlm. 186 10 Rosihan Anwar, hlm. 167 11 Ahmad Izzan, hlm. 189

Mengenai adanya nasakh dalam syariat Islam ini telah menimbulkan pertanyaan. Mengapa terjadi nasakh dalam syariat Islam? Menjawab pertanyaan ini para ulama pendukung teori nasakh mengemukakan argumentasi dan sejumlah alasan, baik yang didasarkan argumentasi rasional maupun yang bersandar pada nash. Argumentasi rasional, pertama, bahwa naskh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran dan setiap yang tidak terlarang berarti boleh. Kedua, seandainya naskh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam naskh, maka syari akan tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya dengan perintah sementara dan melarangnya dengan larangan sementara. Ketiga, seandainya naskh itu tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut samiyat, maka tidak akan ditetapkan risalah Muhammad sebab syariat yang terdahulu dengan sendirinya akan kekal. Padahal risalah Muhammad merupakan risalah pengganti dan penyempurna. Oleh karena itu naskh boleh dan dapat terjadi. Keempat, bahwa terdapat dalil yang menunjukkan naskh terjadi menurut nash.12 Dasar terjadinya naskh menurut nash dapat dicontohkan sebagai berikut: Pertama, sumber dalam Taurat menjelaskan bahwa setelah Nabi Nuh turun dari sampannya Allah memerintahkan bahwa semua binatang melata dan tumbuhtumbuhan boleh dimakan, tetapi kemudian diketahui syariat Nabi Nuh mengharamkan sebagian binatang melata. Kedua, Allah menyuruh Adam mengawinkan anak perempuannya dengan anak laki-lakinya, kemudian yang berbeda bapak boleh kawin mengawini, akan tetapi sekarang orang Islam, Yahudi dan Nasrani menolak kebiasaan ini. Kasus di atas merupakan contoh terjadinya naskh dalam syariat-syariat terdahulu. Sedangkan naskh dalam syariah Islam antara lain dipahami dari sumber antara lain: Q.S. Al-Baqarah 106; Q.S. AlRaad: 39, An-Nahl: 101; An-Nisa :160. Dalam Al-Quran sendiri menurut penganut teori nasakh terdapat cukup banyak ayat yang dinasakh hukumnya.13 Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan orang tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba Allah. Tampaknya para ulama penganut teori naskh mengakui proses penahapan pengiriman ilahi dengan penyesuaian terhadap realitas yang berkembang. Bahwa Nabi Muhammad diutus di tengah masyarakat jahiliyah yang tidak mengenal agama, maka jika sekiranya hukum diberikan sekaligus akan berat untuk diterima oleh masyarakatnya, maka diturunkanlah hukum itu secara tahap demi tahap, sesuai dengan kebutuhan hukum waktu itu. Maka kalau ada hukum yang dinasakh itu bukan hukum yang berlaku abadi. Di samping itu telah disepakati
12 13

Kamal Muchtar (et. al.), Ushul Fiqh, Jilid 1,( Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995) hlm. 188. Ibid, hlm. 190

ulama bahwa terjadinya nasakh itu hanyalah pada masa Nabi Muhammad dan tidak terjadi naskh mansukh itu sesudah nabi wafat.14 Para ulama pembela konsep nasakh memandang naskh sangat signifikan, hal itu dapat diukur dari sejumlah besar karya yang ditulis berkaitan dengan subjek tersebut. Pengetahuan yang memadai tentang naskh adalah merupakan hal mendasar untuk dapat memahami Al-quran dengan baik. Para ulama pembela konsep ini berpendapat, bahwa seseorang tidak diperkenankan menafsirkan AlQuran kecuali setelah mengetahui dengan baik konsep abrogasi. Ibnu Salama misalnya, sebagaimana dikutip oleh Rippin menyatakan bahwa seseorang tidak mungkin mendalami ilmu Al-Quran tanpa memiliki pengetahuan yang matang tentang doktrin nasakh. Any one who engages in the scientific study of the quran without having mastered the doctrine of abrogation is deficent (naqis). 15 Di samping literatur tentang teori naskh, ditemukan juga sejumlah riwayat yang disandarkan pada sahabat-sahabat yang menekankan perlunya memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat yang menghapus dan ayat-ayat yang dihapus dalam Al-Quran. Fazlur Rahman, pemikir modernis termasuk salah seorang pendukung teori naskh, menjelaskan doktrin naskh secara psikologis. Ia mengemukakan bahwa Muhammad memang pernah memikirkan semacam kompromi seperti yang didesak oleh musuh-musuhnya, tetapi Allah segera menghapus atau membatalkan nya. Di dalam Al-Quran banyak sekali bukti-bukti bahwa ketika nabi pada waktu-waktu tertentu menghendaki perkembangan ke arah tertentu, ternyata wahyu Allah menunjukkan ke arah lain. Dari pernyataannya di atas, meskipun Rahman dapat dimasukkan ke dalam tokoh modernis yang menerima tentang teori nasakh, namun Rahman mengajukan eksposisi yang lain dan orisinil tenang naskh sekaligus menolak terhadap doktrin nasikh mansukh tradisional seperti kalangan modernis klasik lainnya. Menurut Rahman, ordonansi ilahi yang bertalian dengan sektor sosial memiliki suatu bidang moral dan suatu bidang legal spesifik. Yang terakhirbidang legal spesifik- merupakan transaksi antara keabadian kalam dan situasi ekologis aktual Arabia abad ketujuh. Aspek ekologis ini tentu saja dapat dikenakan perubahan, asalkan bidang moral atau prinsip-prinsip moral yang berada di balik ketentuan legal spesifik- yang merupakan respon terhadap situasi ekologis tersebut- tetap terjaga.16 Jadi, bagi Rahman, keabadian kandungan legal spesifik Al-Quran terletak pada prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai yang mendasarinya, bukan pada ketentuan-ketentuan harfiahnya. Masih dalam konteks nasikh mansukh ia memberikan penjelasan argumentatif dengan mengatakan: Bila orang mempelajari aspek reformasi sosial Al-Quran, maka akan terlihat dua karakteristik yang nyata: Pertama, sebelum memperkenalkan suatu ketetapan atau perubahan sosial, terlebih dahulu dipersiapkan landasan yang kokoh baginya, barulah ketetapan itu diperkenalkan secara gradual. Contohnya
14 15

Kamal Muchtar (et. al.), Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995 hlm), 188. Ibid, hlm 188 16 , Kamal Muchtar, hlm. 189

walaupun pernyataan al-Quran tentang riba dikeluarkan di Makkah, namun riba tidaklah dilarang secara legal hingga beberapa waktu kemudian di madinah.17 Sehubungan dengan prinsip graduasi di atas Rahman lebih lanjut menyatakan: suatu pewahyuan total pada satu waktu adalah mustahil berdasarkan kenyataan sesungguhnya bahwa Al-Quran harus turun sebagai petunjuk bagi kaum muslim dari waktu ke waktu selaras dengan kebutuhan yang timbul. Jika konsep nasakh sebagaimana diintrodusir Rahman ini dipahami lebih lanjut, maka nasikh mansukh merupakan suatu proses penahapan pengiriman pesan ilahi dengan penyesuaian atas realitas yang berkembang. Konsep seperti ini mengindikasikan nuansa antropologis Al-Quran, bahwa terjadi dialektika antara Al-Quran sebagai wahyu dengan kondisi objektif. Masalah ini menjadi tidak sederhana ketika ditarik dalam wacana teologis yang dianut oleh rata-rata pendukung teori nasakh. Fenomena nasakh dalam pemikiran agama yang hegemonik dan dominan memunculkan problem yang dihindari untuk dibicarakan, antara lain bagaimana mengkompromikan antara fenomena ini dengan konsekuensi yang ditimbulkannya bahwa teks mengalami perubahan melalui naskh, dengan keyakinan umum bahwa teks sudah ada sejak azali di Lauh al-Mahfuzh. B. Nasikh Mansukh dalam Perspektif Penolaknya Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam Al-Quran berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang terlihat bertentangan sehingga tidak perlu di nasakh. Kelompok penolak ini dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahani (w. 322 H), seorang pakar tafsir yang termasyur dari kalangan Mutazilah. Menurut tokoh ini, di dalam Al-Quran tidak terdapat nasakh. Mengakui perihal adanya nasakh berarti juga mengakui adanya kebatilan di dalam Al-Quran. Isfahani mendasarkan argumennya pada Q.S. Al-Fushshilat: 42 yang menegaskan: Yang tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Hukum-hukum yang dibawa al-Quran bersifat abadi dan berlaku universal. Oleh karena itu, tidak layak kalau di dalam Al-Quran terdapat nasakh. Di samping itu -kata Abu Muslim- ayat-ayat yang dinyatakan Jumhur mufassirin, saling bertentangan ternyata masih dapat dikompromikan dengan mulus dan rasional. Pada mulanya pendirian Abu Muslim itu tidak mendapat dukungan dan dianggap sebagai pendirian yang kontroversial. Pakar tafsir di era klasik yang tercatat telah mendukung pendirian Abu Muslim tersebut hanya Fakhruddin alRazi (w 606 H). Di era modern pendirian Abu Muslim mulai mendapat dukungan. Mereka yang termasuk mendukung pendirian Abu Muslim tersebut adalah Syekh Muhammad Abduh (w.1325 H) dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha (w 1354), Maulana Muhammad Ali, Abd al-Mutaal al Jabari, Abd al-Karim alAthaillah, Sifat Operatif Ayat Al-Quran: Tanggapan terhadap Teori Nasakh dalam AlQuran) dalam Al-Banjary jurnal Ilmiah Imu-Ilmu Keislaman, Volume 3 nomor 5 Januari-Juni 2004.( Banjarmasin: Pascasarjana IAIN Antasari, 2004), hlm. 43.
17

Khathib dan Dr. Ahmad Hijazi al-Saqa,18 meskipun demikian, jumlah mereka yang telah menolak teori nasakh di dalam Al-Quran seperti dipresentasikan oleh Abu Muslim tidak sebanyak jumlah mereka yang mendukung keberadannya. Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat kecenderungan semakin luas dalam memberikan pandangan kritis terhadap doktrin nasikh-mansukh. Salah satu sumber kritik itu adalah ulama-ulama klasik yang menerima doktrin ini juga silang pendapat dalam menentukan mana ayat yang nasikh dan mana ayat yang mansukh. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa terdapat kecenderungan di kalangan ulama klasik untuk menekankan jumlah ayat yang mansukh hingga mencapai bilangan yang mengerikan. Ayat tentang jihad misalnya, dikatakan telah membatalkan sekitar 113 ayat yang mengandung perintah untuk bersikap sabar, pemaaf dan toleran, dalam keadaan tertekan. Al-Suyuthi kemudian mereduksi ratusan ayat yang dinyatakan mansukh menjadi hanya dua puluh ayat. Sedangkan Syah Waliyullah menguranginya hingga tersisa lima ayat. Melihat ayat-ayat yang mansukh ini kian lama kian berkurang jumlahnya seiring dengan jalannya sejarah, Sir Sayyid Ahmad Khan langsung memproklamirkan bahwa di dalam Al-Quran tidak terdapat nasikh dan mansukh.19 Ahmad Khan menegaskan keyakinannya bahwa Al-Quran memiliki kebenaran yang bersifat universal. Ia memandang keutuhan Al-Quran tidak boleh terkena interplasi atau pengurangan oleh tangan manusia. Demikian juga tentang susunan ayat-ayat Al-Quran yang otentik. Beberapa karakteristik Al-Quran ini memang merupakan keyakinan yang umumnya dipegang oleh kaum muslimin. Dengan demikian pandangan-pandangan Ahmad Khan tersebut memiliki kedudukan yang absah di antara kreteria penafsiran Al-Quran. Salah satu prinsip karakteristik Al-Quran menurut Khan, karena kebenaran tidak mungkin bertolak belakang dengan kebenaran, tentunya tidak akan ada ketidakselarasan antara kebenaran Tuhan, kebenaran Al-Quran dan kebenaran Ilmu Pengetahuan. Dalam Life of Mohammed, masalah nasikh mansukh juga pernah dibahas secara panjang lebar oleh Ahmad Khan. Ia akhirnya sampai pada kesimpulan yang senada dengan pandangan yang dirumuskannya dalam prinsip di atas. Sementara hadits-hadis yang mengabsahkan adanya nasikh mansukh di dalam Al-Quran, menurut Ahmad Khan, tidak di dukung oleh otoritas yang dapat dipercaya. Bagi Ahmad Khan dan para penolak teori naskh, daripada menganggap wahyu AlQuran terdahulu dihapus oleh wahyu yang sesudahnya, akan lebih baik jika wahyu terdahulu tetap dianggap valid untuk diimplementasikan dalam kondisi yang sama dengan kondisi saat wahyu tersebut diturunkan. 20 Muhammad Abduh, dalam menanggapi diskursif nasikh mansukh juga terlihat menolak adanya naskh dalam Al-Quran dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di
18 19

Ibid, hlm. 43 Taufik Adnan Amal, Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Quran: Sebuah Kerangka Konseptual, cet. III,( Bandung: Mizan, 1992), hlm. 29. 20 Farid Esack, Samudra Al quran (Diterjemahkan dari judul asli: The Quran: a Short Introduction, oleh Nuril Hidayah), (Jogyajarta: Diva Press, 2007), hlm. 230.

tempat ayat hukum yang lain).21 Dalam pemahaman Abduh yang demikian, semua ayat Al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Dalam perspektif hikmah, pemahaman semacam ini menurut Quraish Shihab akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.22 Penolakan teori nasakh juga dikemukakan oleh Ahmad Hasan. Ia tidak mengakui adanya naskh dalam Al-Quran, sebab jika memang dalam Al-Quran terdapat teks-teks yang mansukh tentu Rasulullah akan menjelaskannya. Mengenai itu ia menyatakan: Teori klasik naskh tak mungkin berasal dari Rasulullah, karena kita tidak menemukan informasi apapun dari beliau akan adanya ayat-ayat yang dibatalkan dalam Al-Quran dengan pengertian ini. Seandainya suatu ayat telah benar-benar dibatalkan, tentu beliau akan menunjukkan dengan tegas kepada orang banyak. Karena ajaran Al-Quran ditujukan bagi setiap zaman dan tempat, sangat sulit dipercaya bahwa Rasulullah telah menyerahkan persoalan yang demikian penting, yang menyangkut pemahaman Al-Quran kepada kebijaksanaan orang banyak.23 Taufik Adnan Amal dengan tajam juga mengkritisi teori nasikh mansukh sebagai berikut : Doktrin nasikh-mansukh ini sesungguhnya hanya ada di dalam fiqh, bukan di dalam Al-Quran. Yang bertentanan sebenarnya adalah fiqh dan Al-Quran, bukan antara ayat Al-Quran yang satu dengan lainnya. Penisbatan nasikh-mansukh ke dalam ayat-ayat Al-Quran pada faktanya telah memperkosa doktrin keabadian Al-Quran, kohenrensi (pertalian) dan graduasi kitab suci tersebut.24 Menurut Amal, pendekatan yang sepotong-sepotong dan harfiah terhadap AlQuran telah menimbulkan sejumlah kebingungan dalam melihat proses graduasi (tahapan) ajaran-ajaran Al-Quran. Kebingungan inilah yang menyebab-kan timbulnya konsep-konsep analisis seperti nasikhmansukh, am-khash dan dikotomi-dikotomi lainnya yang sesungguhnya tidak perlu ada. Menurut Amal, konsep analisis seperti itu pada dasarnya menunjukkan kegagalan kaidah ushul fiqh dalam menyampaikan pesan Al-Quran secara utuh. 25

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. XIX, Bandung: Mizan, 1994 dalam Tema Nasikh Mansukh h. 143 22 Ibid, hlm.148 23 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemah A. Garnadi, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 61 24 Taufik Adnan Amal, hlm. 29 25 Ibid, hlm,31

21

BAB IV PENUTUP Dari pembahasan seputar pengertian nasikh-mansukh berikut sejarah ringkas serta keberadaannya dalam hukum Islam dan khususnya dihubungkan dengan penasakhan al-Quran al-Quran dengan sesama ayat al-Quran, dapatlah dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, konsep nasikh-mansukh pada mulanya memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang ketika dihubungkan dengan konsep nasikh-mansukh eksternal agama. tetapi dalam perjalanan selanjutnya, ruang-lingkup nasikhmansukh mengalami penyempitan obyek pembahasan ketika dibatasi hanya dalam konteks internal agama Islam dan lebih sempit lagi ketika nasikh-mansukh dipaksakan internal al-Quran. Kedua, hukum Islam tidak hanya mengakui dan menerima keberadaan nasikhmansukh yang bersifat eksternal antara syariat yang satu dengan syariat yang lain, akan tetapi juga memberikan ruang bagi kemungkinan nasikh-mansukh yang bersifat internal hukum Islam. Ketiga, pemikiran yang mengakui keberadaan nasikh-mansukh internal alQuran, sulit diterima keberadaannya jika yang dimaksud adalah penghapusan ayat-ayat al-Quran dalam bentuknya yang manapun. Selain bertentangan dengan prinsip-prinsip al-Quran itu sendiri, argumentasi berikut dalil naqli yang dibangun para pendukung nasikh mansukh tampak lemah.

DAFTAR PUSTAKA Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilm Ushul, Libanon: Dar al-Kutub Ilmiyah, 2008. Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Dar al-Fikr al-Arabi, 1958 Ash- Shidieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al Quran/ Tafsir, Jakarta, Bulan Bintang, 1954. Ahmad Izzan, Ulumul Quran: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas AlQuran, Ed. Revisi, Bandung: Tafakur, 2009. Athaillah, Sifat Operatif Ayat Al-Quran: Tanggapan terhadap Teori Nasakh dalam Al-Quran) dalam Al-Banjary jurnal Ilmiah Imu-Ilmu Keislaman, Volume 3 nomor 5 Januari-Juni 2004, Banjarmasin: Pascasarjana IAIN Antasari, 2004 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemah A. Garnadi, Bandung: Pustaka, 1994 Farid Esack, Samudra Al quran ,Diterjemahkan dari judul asli: The Quran: a Short Introduction, oleh Nuril Hidayah, Jogyajarta: Diva Press, 2007 Muhammad Az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi-Ulum al-Quran, juz I,Isa al-Baby Al-Halabi, Mesir, Kamal Muchtar (et. al.), Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. XIX, Bandung: Mizan, 1994 Ridha, Muhammad Rasyid, Muhammad Abduh, t.t., Tafsir al-Quran al-Hakim (tafsir al-Manar), Beirut-Lubnan: Dar al-Fikr. Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, Bandung : Pustaka Setia : 2007. Taufik Adnan Amal, Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Quran: Sebuah Kerangka Konseptual, cet. III,( Bandung: Mizan, 1992)

Anda mungkin juga menyukai