Anda di halaman 1dari 12

Tujuan: Untuk mengetahui apakah gangguan pendengaran berhubungan dengan insiden penyebab demensia dan penyakit Alzheimer (AD).

Desain: Calon studi adalah 639 orang yang menjalani pengujian audiometri dan tidak

mengalami demensia pada tahun 1990 hingga 1994. Gangguan pendengaran ditetapkan berdasarkan rata-rata nada murni dari ambang batas pendengaran yaitu 0.5, 1, 2, dan 4 kHz pada telinga dengan pendengaran yang baik (normal, 25 dB [n = 455] gangguan ringan, 25-40 dB [n = 125], gangguan sedang, 41-70 dB [n = 53]; dan gangguan berat 70 dB [n = 6]). Diagnosis insiden demensia dihasilkan dalam konferensi konsensus diagnostik. Cox proportional hazards models digunakan sebagai contoh waktu pada insiden demensia menurut keparahan gangguan pendengaran dan disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, ras, pendidikan, diabetes mellitus, merokok, dan hipertensi. Pengaturan: Studi Penuaan Baltimore Longitudinal Peserta: Enam ratus tiga puluh sembilan individu yang berusia 36-90 tahun. Hasil Ukur Utama: Kasus kejadian penyebab demensia dan AD sampai dengan 31 Mei 2008. Hasil: Selama rata-rata 11,9 tahun penindaklanjutan, telah didiagnosa 58 kasus penyebab

insiden demensia dimana 37 kasus nya adalah AD. Resiko insiden penyebab demensia meningkat secara log linear dengan tingkat keparahan gangguan pendengaran awal (1,27 per l gangguan 10 dB-, selang kepercayaan (confidence interval) 95%, 1,06- 1,50). Dibandingkan dengan pendengaran normal, hazard ratio (95% confidence interval) untuk penyebab insiden demensia adalah 1,89 (1,00-3,58) untuk gangguan pendengaran ringan, 3,00 (1,43- 6.30) untuk gangguan pendengaran sedang, dan 4,94 (1,09-22,40) untuk gangguan pendengaran berat.

Risiko terjadinya AD juga meningkat dengan awal gangguan pendengaran (1.20 per 10 dB gangguan pendengaran) tetapi dengan confidence interval yang lebih luas (0,94-1,53). Kesimpulan: Gangguan pendengaran secara independen terkait dengan insiden penyebab

demensia. Apakah gangguan pendengaran merupakan penanda untuk tahap awal demensia atau sebenarnya faktor risiko yang dapat diubah bagi demensia sehingga layak untuk menerima penyelidikan lebih lanjut.

Jumlah kasus demensia diproyeksikan meningkat dua kali lipat setiap 20 tahun sehingga pada
tahun 2050, lebih dari 100 juta orang atau mendekati 1 dari 85 orang akan mengalaminya di seluruh dunia. Dampak buruk demensia pada penderita serta beban yang dipikul oleh keluarga mereka dan masyarakat telah menghasilkan pencegahan dan pengobatan bagi penderita demensia melalui suatu prioritas kesehatan masyarakat. Campur tangan yang hanya bisa menunda serangan demensia selama 1 tahun tersebut akan menyebabkan lebih dari 10 % penurunan jumlah kasus demensia secara global pada tahun 2050. Sayangnya , tidak ada campur tangan yang saat ini diketahui memiliki efektivitas seperti itu. Pendekatan epidemiologi telah difokuskan pada identifikasi faktor resiko yang telah diduga sehingga dapat ditargetkan untuk pencegahan karena didasari oleh asumsi bahwa demensia lebih mudah dicegah daripada diobati. Faktor penyebabnya termasuk rendahnya keterlibatan dalam kegiatan waktu senggang dan interaksi sosial, kurang bergerak, diabetes mellitus ,dan hipertensi. Beberapa peneliti juga telah menyatakan bahwa demensia kemungkinan ada hubungannya dengan hambatan sosial dan pengurangan masukan stimulasi pada individu yang mengalami gangguan pendengaran. Namun sepengetahuan kami, hipotesis ini belum pernah dipelajari secara prospektif. Pemahaman apakah gangguan pendengaran merupakan faktor risiko demensia adalah penting mengingat semakin banyak orang dengan gangguan pendengaran dan jajaran intervensi secara teknologi yang saat ini tersedia bagi rehabilitasi aural. Kami melakukan penelitian ini untuk menyelidiki hubungan yang muncul dari gangguan pendengaran dan insiden demensia dalam kelompok Baltimore Studi Longitudinal Aging ( BLSA ) .

METODE SUBYEK Subyek penelitian adalah peserta dalam BLSA, yaitu sebuah studi prospektif yang berkelanjutan mengenai efek penuaan yang diprakarsai pada tahun 1958 oleh National Institute of Aging. Kelompok BLSA terdiri dari relawan yang bergabung dalam komunitas yang melakukan perjalanan ke National Institute on Aging di Baltimore dua tahun sekali untuk 21/2 hari melakukan pengujian yang intensif . Dari tahun 1990 hingga 1994, 1305 peserta menyelesaikan

minimal 1 penelitian kunjungan, dimana 976 peserta menjalani audiometry dan 749 peserta menjalani kedua pengujian yaitu audiometri dan pengujian kognitif. Beberapa peserta tidak mendapatkan data audiometry maupun penelitian kognitif Audiometri dikarenakan waktu yang tidak cukup untuk melakukan pengujian atau tidak adanya penguji selama kunjungan penelitian. Kelompok awal kami terdiri dari 639 peserta yang ditindaklanjuti hingga 31 May 2008 setelah mengeluarkan individu-individu dengan demensia yang umum (n=58), mereka dengan lebih dari 3 kekeliruan dalam Blessed Information Memory Concentration Test (n=39), dan mereka dengan dugaan demensia (n=13). (tindak lanjut rata-rata peserta selama 11,9 tahun ) ( Gambar 1 ) . Bagi peserta dengan lebih dari 1 kunjungan selama periode ini, data yang didapat dari penilaian pertama tetap digunakan . Semua peserta memberikan persetujuan tindakan medis secara tertulis, dan protokol penelitian BLSA disetujui oleh badan pemeriksaan institusional .

PENGUJIAN KOGNITIF dan DIAGNOSIS DEMENSIA Protokol untuk penanganan demensia di BLSA telah digunakan terus menerus sejak tahun 1986 dan telah dijelaskan sebelumnya. Peserta 65 tahun atau lebih menjalankan pemeriksaan neurologis secara menyeluruh dan pemeriksaan neuropsikologi dengan deretan pengujian yang standard. Peserta yang berusia kurang dari 65 tahun pertama-tama menjalani proses screening dengan Blessed Information Memory Concentration Test dan menjalani pemeriksaan lebih lanjut apabila mereka membuat 3 kesalahan ataupun lebih . Diagnosis demensia ditetapkan selama konferensi konsensus multidisiplin diagnostik menggunakan Diagnostic and Statistical Manual of mental disorder ( Edisi revisi ketiga ) untuk diagnosis demensia dan kriteria dalam National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke-Alzheimer Disease and Related Disorder untuk mendiagnosa penyakit Alzheimer ( AD ). Jika peserta dinyatakan mengalami penurunan kognitif yang signifikan secara klinis namun tidak memenuhi kriteria demensia, mereka diklasifikasikan sebagai yang dicurigai mengalami demensia. Ini sesuai dengan diagnosis yang masih berlaku saat ini mengenai kerusakan kognitif ringan. Peserta awalnya menjalani evaluasi untuk demensia setiap 2 tahun selama kunjungan penindaklanjutan rutin BLSA. Pada tahun 1997 , penindaklanjutan dialihkan ke jadwal dengan skala yang bergeser untuk mengurangi beban peserta dan meningkatkan pengumpulan data. Peserta dengan usia

diatas 80 tahun diperiksa setiap tahun, mereka yang berusia 60 hingga 80 tahun diperiksa dua tahun sekali, dan mereka yang berusia kurang dari 60 tahun diperiksa setiap 4 tahun sekali.

AUDIOMETRI Audiometri dilakukan di BLSA pada tahun 1958-1994. Selama beberapa periode dari 1990 hingga 1994, pada waktu evaluasi awal analisis ini dilakukan, ambang batas pendengaran diukur dengan menggunakan perangkat pengujian otomatis (Audiometer Model 320 ; Virtual Equipment Co , Portland, Oregon ) dalam ruang kedap suara dengan kondisi tanpa bantuan. Rata-rata nada murni ( PTA ) dari ambang batas konduksi udara pada 0.5 ,1, 2, dan 4 kHz dihitung pada setiap telinga , dan PTA di telinga dengan pendengaran yang lebih baik digunakan untuk analisis selanjutnya karena telinga tersebut yang akan menjadi penentu utama pendengaran dan kemampuan menanggapi pembicaraan sehari-hari. Kami menggunakan PTA dalam desibel baik sebagai variabel berkesinambungan maupun variabel mutlak yang didefinisikan dalam tingkatan yang biasa digunakan dalam gangguan pendengaran seperti berikut: normal (<25dB), gangguan ringan ( 25-40 dB ) , gangguan sedang ( 41-70 dB ) , dan gangguan berat (>70 dB ). Sebelum tahun 1990, Pengujian audiometri dilakukan dengan menggunakan audiometer Bekesy ( GSI 1701 , Grason Stadler , Littleton , Massachusetts ), dan data ini digunakan dalam analisis awal lintas pendengaran.

KOVARIAT LAIN Diagnosis diabetes mellitus didasari oleh puasa tingkatan glukosa yang lebih dari 125 mg / dL (untuk mengubah ke milimol per liter, kalikan dengan 0,0555), hasil test ketahanan patologis glukosa oral, atau riwayat diagnosis dokter ditambah pengobatan dengan obat-obatan oral antidiabetes atau insulin. Diagnosis hipertensi didasarkan pada tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mm Hg dan / atau tekanan darah diastolik minimal 90 mm Hg atau pengobatan dengan obat antihipertensi. Ras (putih / hitam / lainnya), pendidikan (dalam tahun), status merokok (saat ini / mantan / tidak pernah), dan penggunaan bantuan pendengaran didasarkan pada laporan diri.

ANALISIS STATISTIK Karakteristik dasar anggota kelompok dibandingkan dengan menggunakan varians analisis 1 arah untuk variabel berkesinambungan dan X2 atau Fisher exact test untuk variabel mutlak . Cox proportional hazards model digunakan untuk mempelajari waktu pada semua kejadian penyebab demensia atau AD . Peserta yang didiagnosis tidak memiliki demensia kemudian diperiksa pada saat kesimpulan akhir evaluasi kognitif negatif mereka. Waktu studi ( misalnya waktu ketika masuk ke dalam kelompok penelitian ) digunakan sebagai skala waktu dengan pengecualian dari 1 model yang menggunakan usia sebagai skala waktu. Semua model Cox menyertakan kovariat dari jenis kelamin, usia , ras , pendidikan , diabetes , merokok , dan hipertensi . Diabetes dan hipertensi dimasukkan sebagai kovariat dalam analisis karena keduanya ditemukan sebagai faktor risiko untuk demensia. Nilai awal Blessed (variabilitas residual dalam pengetahuan setelah penentuan kelompok dasar ) dan penggunaan alat bantu pendengaran termasuk dalam model tambahan. Semua kovariat diperlakukan sebagai variabel waktu tetap. Penerimaan proporsionalitas model cox dan hubungan linear antara gangguan pendengaran dan demensia diuji menggunakan metode residual Schoenfeld. Untuk menguji hubungan dalam grafik antara ambang batas pendengaran dan demensia, kami menggunakan smoothing spline untuk ambang batas pendengaran dan usia dalam Cox proportional hazard model. Locally weighted scatterplot smoother (lowess smoother) kemudian diterapkan pada eksponensial dari tempat residual yang berasal dari hazard model pada ambang batas pendengaran. Prosedur bootstrap digunakan untuk menghasilkan 10.000 set data yang kemudian digunakan untuk memperkirakan 95 % confidence interval ( CI ) pada lowess smoother. Analisis lintasan gangguan pendengaran sebelum awal dilakukan dengan menggunakan analisis efek acak dan disesuaikan dengan usia. Population Attributable risiko (PAR) dihitung menggunakan persamaan berikut: PAR=(Pexposed([R1])/(1_Pexposed[RR1]), Pexposed adalah prevalensi gangguan pendengaran awal dari sedikitnya 25 dB dan RR yang merupakan nilai perbandingan (Hazard Ratio [HR]) dari risiko demensia yang terkait dengan gangguan pendengaran. Peserta dengan data yang tidak lengkap (hilang) dikeluarkan dari

analisis, ini menunjukkan ada kurang dari 0,2% sampel penelitian (1 peserta) untuk seluruh analisis kecuali untuk analisis gabungan penggunaan alat bantu pendengaran, di mana adanya kehilangan data yang lebih luas (biasanya antara peserta dengan pendengaran yang normal yang tidak merespon). Pengujian signifikansi untuk semua analisis adalah 2 sisi dengan kesalahan tipe I dari.05. Perangkat lunak statistik yang digunakan adalah perangkat lunak yang tersedia secara gratis (R, version 2.9.1;http://www.r-project.org)

Result Karakteristik dasar demografi peserta dengan gangguan pendengaran ditampilkan pada Tabel 1. Secara umum, peserta yang lebih banyak menderita gangguan pendengaran adalah orang berusia lanjut, laki-laki, dan hipertensi. Nilai Blessed tidak dibedakan berdasarkan kategori gangguan pendengaran (P = 08), meskipun kisaran dari kesalahan yang terjadi itu sempit (0-3) karena pada awalnya peserta dengan lebih dari 3 kesalahan dikeluarkan dari kelompok penelitian. Dasar kovariat yang berkaitan dengan peningkatan risiko semua insiden penyebab demensia yaitu gangguan pendengaran, usia, hipertensi, penggunaan alat bantu dengar, dan nilai Blessed (Tabel 2). Usia independen , dalam 15 tahun sebelum pengujian awal (520 peserta dengan 2.678 observasi), peserta yang kemudian mengembangkan insiden demensia mengalami gangguan PTA rata-rata 0,52 dB / y ( 95 % CI , 0,34 - 0.70 dB / y ) dibandingkan dengan 0,27 dB / y ( 0,21-0,33 dB / y ) pada mereka yang tidak mengembangkan demensia. Dalam cox proportional hazards, model diatur berdasarkan jenis kelamin ,usia, ras , pendidikan , diabetes , merokok , dan hipertensi ( model dasar ) , risiko berlebihan insiden demensia per 10 dB dari gangguan pendengaran adalah 1,27 ( 95 % CI , 1,06-1,50 ) ( Tabel 3 ) . Resiko insiden demensia terbukti pada gangguan pendengaran yaitu sebesar 25 dB dan selanjutnya meningkat secara log linear dengan gangguan lebih yang parah ( Gambar 2 ) . Hubungan ini tetap signifikan setelah menyensor peserta yang mengembangkan demensia dalam 2 - , 4 - , atau 6 tahun periode washout dari awal ( P = 0,008 , P = .003 , dan P = .04 , masingmasing) .

Konfirmasi analisis dari model termasuk nilai awal kesalahan pada Blessed (untuk memperhitungkan fungsi dasar kognitif) atau model yang lebih menggunakan usia sebagai skala waktu daripada waktu studi (untuk memperhitungkan pembauran residual antara usia dan gangguan pendengaran) menghasilkan temuan yang pada hakekatnya tidak berubah (Tabel cf 3). Membatasi kelompok analisis pada peserta berusia 65 tahun atau lebih pada awal ( n = 315 ) atau tidak memasukkan peserta pada awalnyanya dengan riwayat stroke atau transient ischemic attack ( n = 19 ) juga tidak banyak mengubah temuan-temuan utama ( Tabel 3 ) . Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa laporan diri dalam penggunaan alat bantu pendengaran dikaitkan dengan penurunan risiko demensia (HR , 0,97 , P =.92 Dalam analisis selanjutnya, kita mengategorikan gangguan pendengaran sesuai dengan level yang diterima secara umum dari keparahan gangguan pendengaran. Dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendengaran yang normal, peserta dengan gangguan pendengaran ringan untuk insiden demensia memiliki HR 1,89 ( 95 % CI , 1,00-3,58 , P = 0,049 ), mereka dengan gangguan pendengaran sedang memiliki HR 3,00 ( 1,43-6,30 ; P = .004 ) , dan orang-orang dengan gangguan pendengaran berat ( n = 6 ) memiliki HR 4,94 ( 1,09-22,40 , P = .04 ) . Apabila hasil analisis dibatasi untuk insiden AD ( 37 dari 58 kasus demensia ), gangguan pendengaran dikaitkan dengan risiko yang berlebihan yaitu 1,20 per 10 dB gangguan pendengaran ( 95 % CI , 0,94-1,53 ). Hasil ini sebanding dengan risiko yang terlihat untuk semua penyebab demensia ( Tabel 3 ), tetapi dengan CI yang lebih luas, kemungkinan dikarenakan oleh ukuran sampel yang lebih kecil. Setelah mengkalkulasi proporsi semua insiden penyebab resiko demensia yang disebabkan gangguan pendengaran bagi peserta berusia diatas 60 tahun dalam kelompok, kami berasumsi bahwa gangguan pendengaran secara kausal dapat dikaitkan dengan demensia. Gangguan pendengaran dengan setidaknya 25 dB pada telinga dengan pendengaran yang lebih baik dalam 43% dari sub-kelompok ini, dan resiko relatif (HR) demensia yang berhubungan dengan gangguan pendengaran adalah 2,32 (95% CI, 1,32-4,07). Dengan demikian, timbulnya risiko demensia yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pada sub-kelompok ini adalah 36,4% (95% CI, 12,8% -58,6%).

Uraian Dalam penelitian ini, gangguan pendengaran secara independen berhubungan dengan semua insiden penyebab demensia yaitu berdasarkan jenis kelamin, usia, ras, pendidikan, diabetes, merokok, dan hipertensi, dan temuan kami kuat untuk beberapa sensitivitas analisis. Risiko semua penyebab demensia meningkat secara log linear bersamaan dengan keparahan gangguan pendengaran, dan untuk orang yang berusia lebih tua dari 60 tahun dalam kelompok kami, lebih dari sepertiga risiko semua insiden penyebab demensia dikaitkan dengan pendengaran. Temuan kami memberikan kontribusi yang signifikan dalam diskusi pada literatur yang gangguan

membahas apakah gangguan pendengaran merupakan faktor risiko untuk demensia atau tidak. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa individu dengan gangguan pendengaran lebih mungkin didiagnosis demensia dan memiliki fungsi kognitif yang lebih buruk. Untuk mendukung hipotesis ini, penelitian kecil yang berikutnya telah mengamati bahwa gangguan pendengaran berkaitan dengan percepatan penurunan kognitif pada individu dengan demensia yang umum. Meskipun penelitian sukarelawan lanjut usia yang normal secara kognitif ini gagal menemukan hubungan yang bermakna antara gangguan pendengaran pada awal penelitian dan fungsi kognitif berikutnya, hasil penelitian masih dipertanyakan karena singkatnya kegiatan penindaklanjutan (5 tahun) dan tingkat berhentinya sukarelawan sebanyak 50%. Dalam penelitian kami, gangguan pendengaran, yakni suatu kondisi yang sangat lazim di kalangan individu berusia lanjut yang seringkali tetap tidak diobati, adalah sangat dan secara prospektif terkait dengan insiden demensia. Sejumlah mekanisme dapat secara teoritis terlibat dalam hubungan yang diamati antara gangguan pendengaran dan insiden demensia . Adanya diagnosis demensia yang berlebihan pada individu yang mengalami gangguan pendengaran atau sebaliknya, sebuah diagnosis gangguan pendengaran yang berlebihan pada individu dengan gangguan kognitif awal bisa saja terjadi. Namun sebuah diagnosis demensia yang berlebihan dalam penelitian kami tidak mungkin karena diagnostic protokol untuk insiden demensia bergantung pada konferensi konsensus yang menguji informasi dari berbagai sumber . Kami juga melakukan penyensoran analisis sensitifitas individu yang didiagnosa menderita demensia selama 6 tahun periode washout dari awal yang tidak mempengaruhi hasil penelitian kami. Dalam analisis tersebut, individu barangkali memiliki hasil

yang normal pada beberapa pemeriksaan kognitif dengan gangguan pendengaran sebelum didiagnosa menderita demensia, ini kemungkinan besar menunjukkan bahwa diagnosis demensia tidak disebabkan oleh komunikasi yang buruk. Gangguan pendengaran (ketulian mendalam yang singkat) juga minimal merusak komunikasi tatap muka di lingkungan yang tenang ( yaitu, selama pengujian kognitif ), khususnya dalam pengaturan pengujian oleh penguji berpengalaman yang terbiasa bekerja dengan orang berusia lanjut. Sebuah diagnosis gangguan pendengaran yang berlebihan juga tidak mungkin karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penurunan kognitif ringan akan mempengaruhi kehandalan pengujian audiometri . Pure- tone audiometry telah dilakukan pada anak-anak berumur 5 tahun. Kami juga tidak memasukkan individu dengan gangguan kognitif yang sudah diakui pada awalnya (kerusakan kognitif ringan atau nilai Blessed >3), dan hasil kami kuat untuk pengendalian models pada nilai awal Blessed. Kemungkinan lain adalah bahwa gangguan pendengaran dan gangguan progresif kognitif disebabkan oleh proses neuropathologic umum, yang juga mungkin merupakan penyebab yang mengarahkan pada AD. Namun, pure tone Audiometry biasanya dianggap sebagai suatu ukuran pinggiran pendengaran karena deteksi nada murni hanya mengandalkan transduksi koklea dan saraf aferen ke inti batang otak dan kortex pendengaran utama. Persepsi bahwa nada murni tidak memerlukan tingkat yang lebih tinggi dari pemrosesan kortikal pendengaran dan hasil pengujian respon batang otak terhadap pendengaran pada jalur ini biasanya normal pada pasien dengan AD. Sebaliknya, inti pendengaran pusat yang memerlukan perintah tingkat tinggi untuk pemrosesan pendengaran dapat dipengaruhi oleh AD neuropatologi, dan tes fungsi pendengaran pusat telah ditemukan terkait dengan AD. Kemungkinan proses neurobiologis lain seperti penyakit vaskular atau faktor yang berhubungan dengan riwayat keluarga (misalnya,apolipoprotein E [ ApoE ] status) yang menyebabkan gangguan pendengaran dan demensia juga tidak dapat sepenuhnya dihindari. Namun, faktor resiko untuk penyakit vaskular seperti diabetes, merokok, dan hipertensi disesuaikan dalam model kami, dan hubungan positif antara Status apoE dan gangguan pendengaran belum ditemukan pada pendahuluan penelitian. Variabel lainnya , seperti aktivitas mental dan aktivitas diwaktu senggang, tidak dimasukkan sebagai kovariat dalam model kami karena variabelvariabel ini tidak diharapkan untuk menyebabkan gangguan pendengaran dan bertindak sebagai

pembaur yang berarti dalam model kami. Hasil kami juga kuat sehingga mengeluarkan individu yang pada awal memiliki riwayat stroke atau transient ischemic attack. Akhirnya, gangguan pendengaran kemungkinan secara kausal berkaitan dengan demensia , kemungkinan melalui kepenatan pada cadangan kognitif, isolasi sosial, deafferentation lingkungan, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Cadangan kognitif mencerminkan perbedaan antar individu dalam pemrosesan neurokognitif sehingga memungkinkan beberapa individu mengatasinya dengan neuropatologi daripada yang lainnya. Penelitian pencitraan fungsional resonansi magnetik menunjukkan variasi perbedaan antarindividu dalam efisiensi pengolahan saraf yang berubungan dengan tugas menyediakan beberapa bukti dari konsep ini. Cadangan kognitif juga telah digunakan untuk menjelaskan perbedaan antara tingkat neuropatologi yang terlihat pada otopsi dan pernyataan klinis dari demensia. Efek berpotensial pada gangguan pendengaran terhadap cadangan kognitif ditampilkan dalam penelitian yang menunjukkan bahwa, dalam kondisi di mana tanggap pendengaran sulit ( misalnya , gangguan pendengaran), sumber kognitif yang lebih besar didedikasikan untuk pengolahan pemahaman pendengaran terhadap kerusakan dari proses kognitif lainnya seperti memory yang sedang bekerja. Realokasi sumber saraf terhadap pengolahan pendengaran dapat menguras cadangan kognitif yang tersedia bagi proses kognitif lainnya dan mungkin mengarahkan pada peryataan klinis demensia lebih cepat. Gangguan komunikasi yang disebabkan oleh gangguan pendengaran juga dapat menyebabkan isolasi sosial pada orang dengan usia lanjut, dan epidemiologic serta penelitian neuroanatomic telah menunjukkan hubungan antara jaringan sosial yang buruk terhadap demensia. Hasil kami juga tampaknya mendukung hal yang memungkinkan ini karena resiko demensia berhubungan dengan gangguan pendengaran yang muncul hanya untuk meningkatkan ambang batas pendengaran menjadi lebih besar dari 25dB. Ini merupakan ambang batas di mana gangguan pendengaran mulai mengganggu komunikasi verbal. Akhirnya, mekanisme hipotesis, dimana gangguan pendengaran dapat secara langsung mempengaruhi neuropatologi AD, disarankan oleh demonstrasi penelitian pada hewan bahwa memperkaya lingkungan (mungkin sejalan dengan manusia untuk memiliki akses terhadap rangsangan pendengaran dan lingkungan) dapat mengurangi tingkat B-amyloid pada model tikus transgenic. Hipotesis ini juga didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa individu yang tetap terlibat dalam kegiatan pada waktu senggang memiliki risiko lebih rendah mengalami demensia.

Dalam penelitian ini, laporan diri mengenai penggunaan alat bantu dengar tidak terkait dengan penurunan yang signifikan terhadap risiko demensia, namun data pada kunci variabel lainnya (misalnya, jenis alat bantu dengar yang digunakan, berapa jam digunakannya per hari, beberapa tahun digunakan, karakteristik peserta memilih untuk menggunakan alat bantu dengar, penggunaan strategi komunikatif lain, dan kecukupan rehabilitasi) yang akan mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi aural dan mempengaruhi hubungan yang diamati belum terkumpulkan . Akibatnya, apakah alat bantu dengar dan strategi rehabilitatif aural dapat mempengaruhi penurunan kognitif dan demensia tetap belum diketahui dan memerlukan studi lebih lanjut. Penelitian kami memiliki batasan. Pertama, hanya keparahan awal gangguan pendengaran yang dipertimbangkan dalam analisis , dan informasi tidak tersedia pada lintasan pendengaran setelah penilaian awal atau pada kemungkinan etiologi dari gangguan pendengaran. Namun, keterbatasan ini tidak mungkin secara substansial memprasangkai temuan kami mengingat bahwa gangguan pendengaran yang reversible jarang terjadi, dan gangguan pendengaran cenderung memburuk sejalan dengan waktu. Pembauran residual oleh lingkungan lainnya, genetik, atau proses neuropathologi juga masuk akal tapi spekulatif berdasarkan pengetahuan kami saat ini mengenai faktor resiko yang tidak dapat dipungkiri untuk gangguan pendengaran dan demensia. Mengingat usia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan gangguan pendengaran dan demensia , mungkin saja ada pembauran residual yang tidak terhitung. Namun, ini tidak mungkin karena kami juga mengkonfirmasi temuan kami dalam model statistik dengan lebih munggunakan usia daripada waktu studi sebagai skala waktu untuk memperhitungkan efek nonlinear usia pada pendengaran dan kesadaran. Temuan kami juga tidak berubah setelah membatasi kelompok kami kepada peserta berusia 65 tahun atau lebih. Akhirnya , kewaspadaan harus diterapkan ketika menyamaratakan hasil penelitian mutakhir kami karena BLSA adalah kelompok individu sukarelawan dengan status sosial ekonomi yang tinggi. Konfirmasi lebih lanjut dari hasil kami dirasa perlu dilakukan dalam penelitian yang lebih besar menggunakan perwakilan yang lebih, sampel berbasis masyarakat. Namun, batasan potensi untuk generalisasi yang luas dapat memperkuat keabsahan internal dari temuan kami mengingat homogenitas yang saling berhubungan dalam kelompok penelitian sedang dalam pengamatan dan kemungkinan menjadi karakteristik yang tidak teramati.

Apabila dikonfirmasikan dalam kelompok independen lain, temuan penelitian kami dapat memberikan implikasi yang besar bagi individu dan kesehatan masyarakat. Gangguan pendengaran pada orang dewasa berusia lanjut mungkin dapat dicegah dan dapat diatasi dengan praktek teknologi saat ini (misalnya, alat bantu dengar digital dan koklea implan ) dan dengan intervensi rehabilitatif lainnya yang difokuskan pada pengoptimalan kondisi pendengaran sosial dan lingkungan. Dengan meningkatnya jumlah orang dengan gangguan pendengara , penelitian ke dalam jalur mekanistik yang menghubungkan gangguan pendengaran dengan demensia dan potensi strategi rehabilitatif untuk mencukupkan hubungan ini sangat dibutuhkan.

Anda mungkin juga menyukai