Anda di halaman 1dari 2

Di sudut sekolah, aku tertegun mendengar kabar tak menyenangkan.

Sesampai di
rumah air mata membasuh pipi, sedih, miris melihat kenyataan pahit diterima salah satu
keluarga (bukan keluarga dekat) seorang siswi dinyatakan positif hamil, dikeluarkan dari
sekolah bersangkutan, kemudian keluarganya menikahkannya secara baik-baik. Anak gadis
tersebut terdaftar sebagai siswi kelas 3 SMK negeri, sedangkan tiga bulan lagi akan ikut
Ujian Nasional (UN). Pada akhirnya siswi tersebut tidak ikut ujian dan putus sekolah. Putus
sudah harapan siswi cantik itu untuk melanjutkan sekolah tinggi, padahal dia sejak smp selalu
mendapat juara di sekolahnya. Kini, wanita itu sudah menggendong anak, kehidupannya
tidak cerah. Tidak sangka akan demikian jadinya jika melihat dari kecerdasan dan kepintaran
otaknya. Seharusnya dia menjadi wanita sukses dengan modal kecerdasannya.
Itulah sekelumit kisah pilu anak didik yang harus putus sekolah lantaran hamil
ataupun karena menikah. Siswi hamil antara dibolehkan atau tidaknya ikut ujian nasional,
saat ini terjadi pro-kontra di berbagai daerah di Indonesia.
Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar membolehkan siswi hamil mengikuti ujian
nasional (UN). Sebab di dalam petunjuk teknis (juknis) UN, tidak ada larangan mengenai
peserta yang berbadan dua untuk ikut ujian. Kebijakan tersebut bertolak belakang dengan
ketentuan yang digariskan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur yang menyebutkan bahwa
UN terlarang bagi pelajar yang sedang mengandung, seperti dilansir situs okezone.
Berbeda dengan di Surabaya, siswi hamil diserahkan ke sekolah, apakah dia boleh
ikut ujian atau tidak, tergantung keputusan sekolah. Situs JPNN mewartakan, Kepala
Dispendik Surabaya Ikhsan menjelaskan, siswi hamil tentu sudah dianggap bersalah. Mereka
telah melanggar peraturan sekolah. Dia memberikan hak otonom kepada masing-masing
sekolah terkait dengan boleh atau tidaknya siswi hamil mengikuti unas. Karena itu, orang tua
dan sekolah bisa berkomunikasi demi nasib siswi yang bersangkutan.
Dinas pendidikan Sorolangun, siswi hamil dilarang keras ikut ujian nasional, situs
jambinews mewartakan peringatan keras bagi siswi di Sarolangun agar tidak main-main
menghadapi Ujian Nasional (UN). Pasalnya bagi siswi yang kedapatan hamil, maka
dipastikan tidak bisa mengikuti ujian semester dan UN. Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik)
Sarolangun menegaskan, kejadian siswi hamil saat masih bersekolah amat merugikan dari sisi
moral dan kepentingan dunia kependidikan itu sendiri. Bagi siswi yang masih bersekolah
sudah seharusnya belajar dan tidak boleh berbuat neko-neko (aneh-aneh). Sikap sebagai
pelajar yang baik harus ditunjukkannya saat berada di luar sekolah. Tanggung jawab sekolah
hanya pada saat mereka berada di sekolah, selebihnya banyak waktu mereka di luar sekolah.
Sikap sebagai pelajar harus mampu dipertanggung jawabkannya dengan baik, sehingga tidak
membuat malu keluarga dan sekolah.
Terlepas dari pro-kontra yang terjadi, saya mengajukan gagasan bahwa siswi yang
hamil (bukan karena perzinahan) dibolehkan mengikuti ujian nasional, diberlakukan secara
nasional, tidak tergantung pada keputusan masing-masing sekolah (otonom sekolah). Hal ini
bukan tanpa dasar, gagasan ini mengacu pada undang-undang perkawinan dan undang-
undang perlindungan anak.
Salah satu pasal dalam undang-undang perkawinan menyebutkan Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut bahwa seorang wanita sudah boleh menikah jika
sudah berusia 16 tahun dan berusia 19 tahun bagi laki-laki. Akan tetapi untuk melangsungkan
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat
izin kedua orang tua.
Dalam undang-undang perlindungan anak disebutkan Negara, pemerintah, keluarga,
dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk
memperoleh pendidikan Pasal 49 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak.
Yang dimaksud anak dalam undang-undang tersebut adalah seseorang yang belum
berusia 18 tahun. Dalam undang-undang ini seseorang yang sudah menikah (belum berusia
18 tahun) tidak disebutkan sebagai orang dewasa. Dengan kata lain, seseorang yang belum
berusia 18 tahun meski sudah menikah, tetap dianggap sebagai anak. Pasal 1 nomor 1
undang-undang perlindungan anak, berbunyi Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dari kedua undang-undang tersebut, dapatlah membentuk dalil bahwa wanita yang
sudah menikah (sudah berusia 16 tahun) tetapi belum berusia 18 tahun masih dapat
menikmati pendidikan, bisa ikut ujian nasional.
Uraian di atas, analoginya bisa diuraikan sebagai berikut; seorang siswi SMA
sederajat (sudah berusia diatas 16 tahun), bila sudah menikah (hamil atau tidak hamil) boleh
mengikuti pendidikan dan juga ujian nasional. Tetapi jika seorang siswi SMP sudah menikah
(berusia dibawah 16 tahun) tidak boleh mengikuti pendidikan, karena perkawinannya
melanggar undang-undang. Namun jika hamil karena pemerkosaan, tentu siswi yang hamil
boleh menikmati pendidikan dan ikut ujian nasional. Bagaimana dengan lelaki? perlakuan itu
tidak berlaku bagi laki-laki, sebab usia perkawinan bagi laki-laki adalah berusia 19 tahun.
Pembahasan di atas merupakan permasalahan wanita yang menikah dan hamil
semasih berstatus sekolah bukan karena perzinahan, melainkan karena perkawinan yang sah
menurut hukum agamanya masing-masing. Permasalahan yang pelik adalah ketika seorang
siswi hamil akibat perzinahan atau pun seks bebas. Hal ini pun negara wajib melindungi
seperti bunyi pasal 66 ayat (1) udang-undang perlindungan anak sebagai berikut;
Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat. Dalam undang-undang ini juga dilarang perlakuan diskriminasi
yang dapat merugikan anak secara materiil maupun moriil. Melarang siswi ikut ujian nasional
tentu dapat merugikan anak didik secara materiil.
Selain itu, sekedar diketahui, pada tahun sebelumnya, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Mohammad Nuh, meminta kepada seluruh Dinas Pendidikan di tingkat Kota
dan Kabupaten untuk memperkenankan para siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang
bermasalah dan sedang hamil tetap mengikuti Ujian Nasional (UN). Sebab, menurutnya,
kelulusan tersebut merupakan bekal siswa tersebut di kehidupan selanjutnya. Siswa yang
terkena masalah harus diperlakukan sama dengan siswa lain. Siswa atau siswi tersebut harus
diberi kesempatan untuk menjalani ujian atau paling tidak lulus dengan program paket C.
Intinya, menurut pak menteri, anak-anak tidak boleh terputus apapun kondisinya. Harus
diberi kesempatan untuk ikut UN, kalau tidak bisa juga paling tidak mereka bisa ikut ujian
kelulusan paket C.

Anda mungkin juga menyukai