Anda di halaman 1dari 3

Republika

Minggu, 25 November 2007


Jari Patah
Cerpen: Agus ahri !usein
Dari mana harus memulai ceritanya? Barangkali lebih mudah memulainya dari orang itu
saja. Orang yang di saku celananya cuma ada Rp 20.000. Orang miskin. Soal
kemiskinannya itu sebabnya kebanyakan karena kesalahannya sendiri, karena kebodohan
dan kemalasan. Orang tidak bisa menyalahkan orang lain karena kemiskinannya, atau
mengatakan sudah takdir !uhan. dalam hal ini !uhan tidak bisa dipersalahkan sama
sekali, sebab !uhan hanya memberi kepada mereka yang berusaha.
Dan, orang itu, yang tubuhnya pendek, kulitnya hitam, dan rambutnya keriting kecil"kecil,
sudah jelas kebodohannya, tetapi dia bukan orang malas dalam bekerja dan lagi terkenal
jujur. Baiklah dipahami, !uhan memberi berdasar kecerdikan orang juga. Orang itu bodoh,
sebab jika tidak bodoh tentu dia tidak akan jadi helper setiap bergabung dalam proyek. !iap
kontraktor yang mengenalnya, jika butuh helper yang mau jadi bola, rela ditendang kesana
kemari, dialah orangnya.
#elper adalah posisi terendah dalam grup kerja. !ugasnya melayani teknisi, atau pekerjaan
apa saja sepanjang tidak membutuhkan skill, dan sering harus ikhlas menampung caci"
maki, atau gurauan yang tidak semestinya. Dan orang itu, karena kebodohannya, tidak
mampu memperlajari ketrampilan"ketrampilan, seperti misalnya mengelas atau memasang
batu"bata.
$nak orang inilah yang jarinya patah, dan yang kemudian membuat saya marah dan berkata
tidak senonoh kepada dokter dan para pera%at di &'D. Saya secara kebetulan bertemu
orang itu, ketika anak bungsu saya sedang dira%at di ruang ()* RS&D. $nak saya masih
kecil, dan %abah DB itu sedang terjadi di mana"mana. +eskipun anak saya gemuk, kena
juga.
,egemukan anak saya merepotkan para pera%at, sebab mereka kesulitan menemukan urat
darah, untuk memasukkan jarum in-us. Setelah tangan kanan dicoba dan gagal, kemudian
pindah ke tangan kiri. $nak saya tidak menangis, tetapi marah"marah. *ara pera%at
dibentak"bentak. Dibilang sakit ya sakit/ Sudah/
!etapi anak itu tidak bisa mela%an, tubuhnya sudah lemas. Setelah berjuang beberapa lama
akhirnya pera%at itu berhasil juga. $nak itu masih marah"marah, bahkan setelah dia
dibaringkan di kamarnya di ruang ()* "" ada $0, kulkas, tele1isi, meja tamu, dan kamar
mandi "" dengan jendela dan pintu keluar menghadap tempat parkir mobil.
Dari jendela itulah saya melihat dia, yang jari anaknya patah, berjalan mondar"mandir di
halaman &'D, sebentar masuk, sebentar keluar. Dari ambang pintu saya teriaki dia. Setelah
tengok kanan"kiri, dia melihat saya di ambang pintu, kemudian setengah berlari, 22$duh
*ak/ Bersyukur sekali Bapak ada di sini. Saya telepon ke rumah, tidak diangkat, ke #*,
juga tidak diangkat.... $duh, maa-, *ak. Siapa yang sakit, *ak?22
&ntunglah dia lekas menyadari, sebab kurang ajar sekali jika dia merasa bersyukur karena
bertemu saya di rumah sakit, meskipun dia belum tahu anak saya kena DB. Sudah pasti
tidak ada yang mengangkat telepon, di rumah tidak ada orang, dan #* saya entah di mana,
tidak sempat saya pikirkan.
Setelah dokter tetangga memeriksa anak saya, termometer di ketiak menunjuk angka 34,
sambil membasahi kepala anak itu dengan handuk basah sampai ke lehernya. 225angsung
diba%a ke &'D ya, *ak/22 *erkataan seperti itu, yang diulang lagi ketika dia menulis surat
rujukan, pastilah membuat setiap orang yang punya anak jadi gugup, dan istri saya panik.
Orang ke rumah sakit tentu saja dengan memba%a masalah, juga orang itu, dengan
kegugupannya yang tidak dibuat"buat, menceritakan anaknya yang jarinya patah. Sekarang
masih tergeletak di &'D, ditunggu ibunya, dan belum ditangani, karena, seperti
dikatakannya dengan setengah menangis, dia tidak punya kartu asuransi, tidak ada rujukan
dari *uskesmas, dan di kantong celananya cuma ada Rp 20.000.
22+ohon maa-, saya terpaksa merepotkan Bapak. !olonglah saya, katakan kepada dokter,
sudilah Bapak menjadi penjamin saya.22 ,alau tidak saya cegah, tentulah dia sudah
mencium lutut saya. Dengan cara itu dia memba%a saya kembali ke &'D.
$nak itu, yang jari telunjuk kirinya patah, tergeletak tak tersentuh, di sudut ruangan,
merintih"rintih hampir tak bersuara memegangi jarinya yang patah. )bunya mengipasinya
dengan selembar koran sambil membujuknya. Di samping anak itu tergeletak botol
minuman yang tinggal separoh isinya.
$nak itu jatuh dari sepeda, menabrak kucing. Sepeda dan kucing tidak apa"apa, dan karena
upayanya untuk menyangga badannya yang terjatuh, jarinya terlipat ke belakang dan patah.
!idak keluar darah, tetapi melihat bengkak dan birunya, kemungkinan terjadi pendarahan di
dalam.
Siapapun yang pernah patah jarinya, tentulah bisa membayangkan bagaimana sakitnya.
Dan, dia anak laki"laki. 6ari tangan sangat penting untuk bekerja. Dan nanti, jika akan
beristri, apa jadinya jika jari telunjuk tangan kirinya terpaksa diamputasi karena terlambat
ditangani? *erempuan tidak suka punya suami yang jari telunjuk kirinya diamputasi.
Saya pandangi sekeliling. !idak ada pasien lain. Dokter dan para pera%at tengah asyik
mengobrol sendiri"sendiri. Dan, dokter itu, perempuan muda dan cantik, yang tadi saya
kagumi karena keramahannya, mengatakan tidak ada kartu, tidak ada rujukan, dan orang itu
tidak punya uang, kecuali Rp 20.000 di saku celananya, dan sekarang sudah sore.
+ejanya saya gebrak sekerasnya. Dia terdiam dan pucat, juga para pera%at yang tengah
mengobrol. 5alu tanpa tertahan lagi keluar kata"kata tidak senonoh itu dari mulut saya.
Saya katakan bah%a semua ini, biaya pera%atan jari patah anak orang miskin, jangan dikira
gratis/ Semua dibiayai $*BD, dan jumlahnya mencapai sembilan miliar per tahun/ Soal
kartu atau yang lainnya itu bisalah diurus nanti/ 6angan sampai ada anak mati tak tera%at
karena orang tuanya tak punya kartu. 0obalah pikirkan, jika anakmu jarinya patah dan di
sakumu tak lebih Rp 20.000. Ra%at/
Sudah cukup saya kira. !anpa mengeluarkan suara, mereka jadi cekatan sekali menangani
anak itu. !ak sampai seperempat jam, jari anak itu sudah diganjal kayu dan digips. Dokter
ramah kembali, setengahnya karena takut.
,arena cuma ada Rp 20.000 di saku celananya, orang itu saya beri Rp 300.000 supaya dia
bisa beli obat dan ongkos pulang. Saya bisa memberinya lebih banyak, tetapi tidak saya
lakukan, karena saya tidak suka berlebihan, dan nanti tidak baik bagi dia. Saya tidak mau
dia merasa hutang budi. Rp 300.000 sudah cukup, mungkin masih ada sisanya sedikit. Dan,
seperti tadi, orang itu hendak mencium lutut saya, tetapi saya cegah. Saya tidak suka lutut
saya dicium.
Saya segera kembali ke Si 'endut yang terkena DB. ,arena hujan, saya tidak bisa le%at
halaman, saya harus le%at lorong dalam, yang dijaga satpam. *intu itu ditutup, karena
bukan jam be7oek. $da beberapa orang yang hendak masuk ditolak, dan beberapa lagi,
yang punya kartu tunggu, harus membukai barang ba%aannya. Sebab, seperti dikatakan
satpam, banyak yang cuma memba%a sampah.
22Bapak mau ke mana?22 Begitu garang nada suaranya, tetapi berubah seketika setelah
mendengar kata ()* dari mulut saya. 22Silahkan, *ak. Silahkan.22
Dibukanya pintu untuk saya. Si 'endut beruntung punya orang tua seperti saya. +eskipun
tidak kaya sekali, namun mampu membayar ra%at"inap di kamar ()*. Dia harusnya tidak
boleh marah hanya karena ditusuk lengannya, meskipun, ya memang sakit juga.888
0ilegon, +ei 2009

Anda mungkin juga menyukai