Anda di halaman 1dari 29

3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Macam Penyakit Hati
2.1.1 J aundice dan cholestasis
Jaundice atau ikterus dapat didefinisikan sebagai menguningnya
kulit, sclera, dan kuku akibat akumulasi bilirubin dalam darah dan jaringan.
Menguningnya kulit ini disebabkan karena adanya kegagalan hati untuk
mengekskresikan bilirubin terkonjugasi dari hepatosit ke duodenum,
kegagalan hati ini disebut dengan cholestasis. Penyebab cholestasis
mencakup pemecahan hemoglobin, cedera sel hati dan penyumbatan saluran
empedu ekstrahepatik (sabiston,1995). Adanya cholestasis ini menyebabkan
bilirubin masuk ke pembuluh darah dan ke jaringan sehingga menyebabkan
kulit, sklera dan kuku menjadi kuning atau yang disebut dengan
jaundice/ikterus. Jaundice merupakan suatu gejala kuning yang terjadi
akibat ada kelainan atau penyakit pada hepar ataupun empedu. Gejala
kuning ini menandakan adanya hiperbilirubinemia yaitu tingginya kadar
bilirubin dalam darah karena terjadi gangguan dalam pemrosesan atau
pembuangan bilirubin ke duodenum, bilirubin yang berlebihan ini akan
masuk ke aliran darah dan menyebabkan warna tubuh menjadi kuning
(Wong,2008). Jaundice bisa disebabkan oleh kelainan di pre-hepatik,
hepatic, dan post hepatic. Jadi, jaundice tidak hanya semata-mata
disebabkan oleh kelainan atau penyakit hati, tetapi bisa saja kelainan
sebelum ataupun sesudah proses pembentukan bilirubin terjadi. Namun
dalam prakteknya, penyebab jaudince cenderung dibagi menjadi dua, yaitu
kelainan hepatoselular (hepatic) dan post hepatic. Berikut adalah etiologi
dari penyakit jaundice
Tabel 2.1. Tabel Etiologi J audience
Akut Kronis
Hepatoselular Hepatitis akut
Hepatitis virus
Reaksi obat
Sindrom Budd-chiarri
Penyakit hati kronis
Hepatitis B dan C
Kecanduan alkohol
Hepatitis autoimun
Hemokromatosis
Post-hepatik Obstruksi bilier
Penyakit bilier sekunder
Pankreatitis
Kanker pancreas
Penyakit bilier kronis
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosis primer
4



Patofisiologi terjadinya jaundice sebagai berikut: bilirubin merupakan hasil
pemecahan hemoglobin yang disebabkan kerusakan darah merah. Sel darah
merah yang tidak terpakai lagi atau telah rusak akan dipecah menjadi heme
dan globin. Globin akan digunakan lagi didalam tubuh, sedangkan heme
akan dirubah menjadi bilirubin tak terkonjugasi, yaitu zat yang terikat oleh
albumin. Dihati, bilirubin akan dilepas dari albumin, kemudian akan
dikonjugasikan dengan asam glukoronat dengan bantuan enzim glukoronil
transferase sehingga terbentuklah suatu senyawa dengan tingkat kelarutan
yang lebih tinggi, yaitu bilirubin glukoronat terkonjugasi yang kemudian di
ekskresi ke empedu. Dari empedu, bilirubin akan dikirim ke duodenum,
untuk kemudian direduksi oleh bakteri di usus menjadi urobilinogen yang
akan memberi warna pada feses. Bila terjadi suatu kerusakan atau penyakit
pada hepar, ataupun pada empedu sehingga bilirubin tidak dapat disalurkan
ke duodenum, maka bilirubin akan masuk ke dalam pembuluh darah dan
diedarkan ke seluruh tubuh dan jaringan sehingga membuat warna kulit
menjadi kuning (Wong,2008). Selain penyakit hepar dan post-hepar yang
dapat menimbulkan jaundice, penyakit pre-hepatik juga dapat menimbulkan
gejala ini.
Jaundice pre-hepatik atau yang disebut juga hiperbilirubinemia
hemolitik/kongenital memproduksi bilirubin tak terkonjugasi yang
berlebihan, hal ini mengurangi kemampuan hati untuk mengkonjugasi
kelebihan tersebut, seperti pada anemia hemolitik (sferisitosis herediter,
penyakit sel sabit, hipersplenisme, dan talasemia) (Crace,2006). Manifestasi
klinis penderita jaundice adalah kulit, sklera dan kuku berwarna kuning, air
kemih berwarna gelap, dan gejala-gejala lain tergantung dari penyebab
jaundice tersebut. Farmakoterapi untuk penyembuhan penyakit ini
tergantung dari penyakit penyebabnya dan ada tidaknya gambaran klinis
gagal hati. Jaundice sendiri tidak terlalu membutuhkan perawatan di rumah
sakit tetapi penyakit penyebab jaundice dan komplikasinyalah yang harus
mendapat perhatian dan memerlukan perawatan di rumah sakit
(Davey,2005). Jadi, cholestasis merupakan kegagalan hati untuk mensekresi
bilirubin ke duodenum karena adanya gangguan aliran empedu disepanjang
jalur antara hepatosit dan duodenum. Sedangkan hati terus memproduksi
bilirubin, sehingga bilirubin akan masuk ke dalam darah dan jaringan yang
menyebabkan bilirubin terakumulasi ke seluruh tubuh. Keadaan ini
menimbukan gejala jaundice atau kuning. Adanya gejala cholestasis dan
jaundice salah satunya menandakan bahwa hati sedang mengalami
gangguan ataupun kerusakan.


5



2.1.2 Hepatitis
Hepatitis merupakan peradangan yang terjadi pada hati yang
disebabkan oleh infeksi virus atau toksin termasuk alkohol (Elizabeth,
2000). Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai
nekrosis dan inflamasi pada sel-sel hati yang merupakan kumpulan
perubahan klinis, biokimia, serta seluler yang khas (Brunner & Suddarth,
2001). Hepatitis adalah infeksi virus pada hati yang berhubungan dengan
manifestasi klinik spektrum luas dari infeksi tanpa gejala, melalui hepatitis
ikterik sampai nekrosis hati (Sandra, 2001). Istilah Hepatitis dipakai untuk
semua jenis peradangan pada hati (liver). Penyebabnya dapat berbagai
macam, mulai dari virus sampai dengan obat-obatan, termasuk obat
tradisional. Virus hepatitis juga ada beberapa jenis, virus hepatitis A, B, C,
D, E, F dan G. Manifestasi penyakit hepatitis akibat virus bisa akut
(hepatitis A) dapat pula hepatitis kronik (hepatitis B dan C) dan adapula
yang kemudian menjadi kanker hati (hepatitis B dan C).
A. Hepatitis A
Hepatitis A adalah peradangan pada hati (liver) yang
diakibatkan oleh Hepatitis A Virus (HAV) dari genus Heparnavirus .
HAV termasuk ke dalam kelompok virus hepatotropik. Virus
hepatotropik menyebabkan luka pada hati dikarenakan respon imun
penjamu/host atau dari virus secara langsung melukai hepatosis seluler
dan respon imun humoral secara langsung melewati antigen virus
ditemukan pada membran hepatosit penjamu dan sirkulasinya dengan
bagian vaskular (Sukandar dkk., 2008).
Insiden terjadinya HAV berkaitan langsung dengan sanitasi
dan praktek higienis yang buruk. Infeksi HAV menular/menyebar dari
orang ke orang atau dari makanan atau minuman yang terkontaminasi.
Virus dapat masuk ke sirkulasi sistemik di dalam darah dan setelah
sampai di hepatosit, virus bereplikasi dan menyebar masuk ke dalam
darah empedu dan cairan tubuh yang lain. Kemudian virus masuk ke
dalam sistem pencernaan. Sebab itu, kotoran penderita mempunyai
konsentrasi tinggi virus selama periode infeksi (Sukandar dkk dan
Ardenari, 2008).
Infeksi HAV biasanya adalah penyakit yang dapat sembuh
dengan sendirinya dengan tingkat kasus fatal yang rendah. Penyakit ini
dapat berakhir sampai 6 bulan dalam 3 fase yaitu inkubasi, hepatitis
akut, dan penyembuhan. Sebagian besar pasien dapat sembuh dalam 12
minggu dan jarang berkembang menjadi hepatitis fulminan. Penyakit
ini adalah salah satu dari beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan
vaksin (Sukandar dkk., 2008).
6



Masa inkubasi rata-rata 28 hari dengan kisaran 15-50 hari.
Gajala klinis tergantung umur, pada anak yang kurang dari 6 tahun
umumnya ditunjukkan dengan gejala ringan, seperti influenza tanpa
kuning secara klinik. Infeksi pada orang dewasa ditunjukkan pada
hepatitis akut dengan nilai transminase hati yang meningkat dan
kuning. Gambar klinik dapat dilihat pada tabel bawah ini (Sukandar
dkk., 2008).
Tabel 2.2. Manifestasi Klinik Hepatitis A pada Fase Akut.














Pencegahan penyebaran HAV dapat dikendalikan dengan baik
dengan cara menghindari pemaparan. Cara paling penting untuk
menghindari pemaparan adalah dengan teknik mencuci tangan yang
baik dan hidup hiegenis dalam sehari-hari. Vaksin HAV yang diberikan
sebelum terpapar menunjukan efikasi proteksi 94-100% dalam waktu 1
bulan sesudah vaksinasi primer. Bila boster diberikan 6 bulan
kemudian, 100% penerima tingkat antibodinya meningkat (Sukandar
dkk., 2008).
Dosis tunggal IG 0,02 mL/kg secara intramuskular (IM)
direkomendasikan untuk orang-orang yang bepergian ke daerah
beresiko tinggi, bila masa bepergiannya <3bulan. Untuk bepergian
Gejala dan tanda
1. Fase ikterik dengan gejala seperti influenza non spesifik yaitu
anoreksia, mual, lelah, dan malaise.
2. Onset mendadak anoreksia, mual, muntah, malaise, demam, sakit
kepala, nyeri pada perut kuadran kanan atas.
3. Hepatitis ikterik dengan disertai urin berwarna gelap, acholic stools
(tinja pucat), dan gejala sistemik bertambah parah.
4. Pruritus mungkin keluhan pertama pada beberapa pasien.
Pemeriksaan fisik
1. Sklera mata, kulit dan sekret ikterik (kekuningan)
2. Berat badan turun sedikit, 2-5 kg
3. Hepatomegali
Test laboratorium
1. Anti-HAV IgM serum positif
2. Bilirubin serum, gama globulin, ALT dan AST meningkat sedikit,
sampai 2 kali nilai normal pada kondisi anikterik akut
3. Peningkatan alkalin phosphatase, gama-glutamil transferase, dan
bilirubin total pada kondisi kolestatik.

7



lama, 0,06 mL/kg IM harus diberikan setiapp 3-5 bulan. Dosis sama
untuk anak dan dewasa. Profilaksis IG post terpapar paling bermanfaat
di awal periode inkubasi dan tidak ada manfaat bila diberikan >2
minggu sesudah terpapar. Dosis tunggal IG 0,02 mL/kg IM digunakan
untuk profilaksis post-terpapar HAV (Sukandar dkk., 2008).
Vaksin diketahui memberikan tingkat proteksi antibodi untuk
paling tidak 5-8 tahun. Efek samping vaksin adalah reaksi di tempat
suntikan dan sakit kepala. Vaksin diindikasikan pada individu berumur
2 tahun atau lebih yang infeksi HAV meningkat. Kelompok yang
seharusnya menerima vaksinasi dapat dilihat pada tabel 2.
Rekomendasi dosis dapat dilihat pada tabel 3 (Sukandar dkk., 2008).
Tabel 2.3. Kelompok yang Beresiko Tinggi Menderita Hepatitis A
dan Rekomendasi untuk Vaksinasi Hepatitis A, Sebelum
Pemaparan.










Tabel 2.4. Dosis yang Direkomendasikan untuk Harvix dan Vaqta
Vaksin Usia Dosis Vol
(ml)
Jumlah
dosis
Jadwal
Havrix 2-18
18
720 ELISA units
1440 ELISA
units
0,5
1
2
2
0,6-12
0,6-12
Vaqta 2-17
17
25 units
50 units
0,5
1
2
2
0,6-12
0,6

Anak-anak yang tinggal di negara bagian, negara atau komunitas yang
tingkat hepatitis A lebih besar dari rata-rata nasional tetapi kurang dari
2 kali lipat rata-rata nasional atau 2 kali lipat dari rata-rata nasional
(rata-rata nasional = 10 kasus per 100.000 populasi)
Orang yang bekerja atau bepergian di negara bagian yang mempunyai
tinkat endemik infeksi yang tinggi atau sedang.
Laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki
Penggunaan obat ilegal
Orang yang beresiko infeksi tinggi, contohnya orang yang bekerja
dengan HAV penderita awal atau pengatur penelitian laboratorium.
Orang yang memiliki kelainan clothing factor.
Orang yang memiliki penyakit hati kronis, misalnya orang dengan
penyakit hati kronis yang disebabkan hepatitis B atau C dan orang yang
menunggu transplantasi hati

8



Vaksin hepatitis A memiliki efek samping tetapi masih
tergolong ringan, termasuk rasa sakit sementara, eritema, dan indurasi
pada tempat suntik, dan tergolong jarang termasuk demam, malaise,
lelah, sakit kepala, mual dan hilang selera makan. Efek samping vaksin
Havrix diantaranya gatal-gatal seluruh tubuh dan reaksi neurologis yang
sangat jarang. Havrix terdapat pada sediaan beredar, diantaranya
(Sukandar dkk., 2008).
1. Havrix (Smith Kline Biological Sa Belgium- Bio Farma),
cairan injeksi 360 Elisa units (K). Suspensi HVA yang telah
dilemahkan dengan formaldehid (GBM yang telah
dikembangbiakkan dalam sel diploid manusia) 320 antigen
unit/ml dijerap pada alumunium hidroksida 0,5 ml prefiled
syringe. Dosis Harvix diberikan dengan injeksi intramuskular
0,5 ml 6 bulan sebagai dosis tunggal; dosis penguat 0,5 ml 6
bulan kemudian; dosis penguat lanjutan 0,5 ml tiap tahun.
Anak di bawah 16 tahun, tidak dianjurkan menggunakannya.
Daerah deltoid lebih dipilih sebagai tempat injeksi. Injeksi
subkutan dapat digunakan untuk pasien hemofilia.
2. Havrix (Smith Kline Biological Sa Belgium Bio Farma), cairan
injeksi 1440 Elisa units (K). Suspensi HVA HM175 yang
dikembangbiakkan dalam sel diploid manusia yang telah
dilemahkan dengan formaldehid 1440 ELISA unit/ml dijerap
pada alumunium hidroksida. 1ml 1440 Elisa units prefilled
syring, 0,5 ml 720 Elisa units prefilled syring (Havrix junior
monodose). Dosis diberikan dengan injeksi intramuskular 1 ml
6 bulan sebagai dosis tunggal; dosis penguat 1 ml 6-12 bulan.
Anak di bawah 16 tahun 0,5 ml. Individu yang telah selesai
diimunisasi dengan dosis primer Havrix yunior monodose, bila
memerlukan dosis penguat dapat menggunakan 4 dosis tunggal
Havrix 1440. Daerah deltoid lebih dipilih sebagai tempat
injeksi. Injeksi subkutan dapat digunakan untuk pasien
hemofilia.
Terapi pengobatan adalah untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas akibat penyakit liver dengan menghilangkan virus atau
menghambat pertumbuhan virus. Karena infeksi HAV biasanya dapat
sembuh dengan sendirinya dengan tingkat kasus fatal yang rendah maka
penangan infeksi HAV yang terutama adalah terapi suportif termasuk
diet sehat, istirahat, mempertahankan imbangan cairan, menghindari
obat hepatotoksik dan alkohol. Terapi obat pada penderita HAV tidak
memperlihatkan manfaat yang jelas. Berikut beberapa contoh terapi
pengobatan penyakit hepatitis A (Ardenari, 2008).
1. Calcium I + Cordyceps, cara pemakaian :
9



a. pagi hari (1 jam setelah makan pagi) 2 kapsul Cordyceps
b. siang hari (setelah makan siang) 1 sachet Calcium I + 2
kapsul Cordyceps (1 jam setelah minum Calcium I)
c. sore/malam hari (setelah makan malam) 2 kapsul Cordyceps
2. Calcium I + Cordyceps + Zinc (Jika komposisi Calcium I +
Cordyceps saja belum cukup), cara pemakaian :
a. pagi hari (1 jam setelah makan pagi) 2 kapsul Cordyceps +
2 kapsul Zinc
b. siang hari (setelah makan siang) 1 sachet Calcium I + 2
kapsul Cordyceps (1 jam setelah minum Calcium I) + 2
kapsul Zinc
c. sore/malam hari (setelah makan malam) 2 kapsul Cordyceps
+ 2 kapsul Zinc
Pemberian antivirus seperti interferon, lamivudin, ribavirin,
adepovir dipivoksil dan entecavir tidak diperlukan pada hepatitis A dan
hepatitis B akut karena sekitar 99 % penderita dapat pulih kembali
asalkan daya tahan tubuh baik (Sari dkk., 2008)
B. Hepatitis B
Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh Virus
Hepatitis B (VHB) yang ditandai dengan adanya peradangan pada
organ tubuh seperti hati (Liver). Hepatitis B adalah virus nonsitopatik
yang berarti tidak menyebabkan kerusakan langsung pada sel hati
namun reaksi yang bersifat menyerang oleh sistem kekebalan tubuh
yang menyebabkan radang dan kerusakan pada hati. Hepatitis B terjadi
karena HBV yang terbungkus serta mengandung genom DNA
melingkar. HBV terdapat dalam darah, air mani, dan cairan vagina.
Patofisiologi Hepatitis B
1. Proses Perjalanan Penyakit
Virus Hepatitis menganggu fungsi liver sambil berkembang
biak dalam sel-sel liver. Oleh karena itu, sistem kekebalan tubuh
bekerja memerangi virus tersebut. Perubahan morfologik berupa
ukuran dan warna normal namun terkadang ditemukan sedikit
edema, membesar dan berwarna seperti empedu. Secara histologik,
terjadi asuhan hepatoselular menjadi cidera, nekrosis sel hati dan
peradangan perifer.
2. Manifestasi Klinik
Infeksi virus berawal dari gagal hati berat hingga hepatitis
anikterik subklinis. Terjadi gejala prodormal yang terjadi selama
satu minggu atau lebih sebelum terbentuk jaudince yang dibagi
dalam 3 stadium yakni :
10



a. Stadium Pra Ikterik
Pada stadium ini mengeluh sakit kepala, lemah,
anoreksia, mual dan muntah, demam, nyeri otot, nyeri perut
kanan atas dan urine menjadi lebih coklat. Stadium ini
berlangsung 4-7 hari.
b. Stadium Ikterik
Awalnya berawal dari sklera kemudian pada kulit
seluruh tubuh. Penderita mengalami anoreksia, muntah, lemah,
tinja berwarna kelabu hingga kuning muda, hati membesar dan
nyeri tekan. Stadium ini berlangsung 3-6 minggu.
c. Stadium Post 1 (rekovalensi)
Pada stadium ini ikterik mereda, tinja dan urin pulih
normal kembali. Pasien mengalami atralgia, artritis, urtikaria
dan ruam kulit sementara.
3. Obat
Pada dasarnya, hepatitis B akut tidak membutuhkan
pengobatan. Biasanya hanya dibutuhkan istirahat yang cukup
ditempat tidur, banyak minum cairan dan obat penawar rasa sakit
yang dapat dibeli tanpa resep dokter, yaitu ibuprofen. Obat yang
dinilai bermanfaat untuk pengobatan hepatitis kronik adalah
interferon (IFN). Obat ini merupakan protein selular stabil dalam
asam yang diproduksi oleh sel tubuh kita akibat rangsangan virus
atau akibat induksi beberapa mikroorganisme, asam nukleat,
antigen, mitogen, dan polimer sintetik. Interferon mempunyai efek
antivirus, imunomodulasi dan antiproliferatif. Pemberian interferon
pada penyakit Hepatitis B kronik ditunjukan untuk menghambat
replikasi virus hepatitis B, mengahambat nekrosis sel hati oleh
karena radang dan mencegah transformasi maligna sel-sel hati.
Diindikasikan untuk:
a. Pasien dengan HbeAG dan HBV-DNA positif
b. Pasien Hepatitis kronik aktif berdasarkan pemeriksaan
histopatologi
c. Pemberian interferon pada hepatitis fulminan akut

Pemberian IFN leukosit pada hepatitis kronik aktif dengan
dosis sedang 5-10 MU/m/hari Selama 3-6 bulan. Selain itu juga
dapat dengan pemberian IFN limfoblastoid 10 MU/m 3 kali
seminggu selama 3 bulan lebih. Sebagian pasien hepatitis kronik
memberi respon terhadap terapi interferon. Hal ini ditandai dengan
HBV DNA yang hilang dan serokonversi HbeAg/AntiHBe,
11



serokonversi HbsAg/Anti HBs yang terjadi pada 7% pasien.
Namun terapi tersebut harus dilakukan minimal selama 3 bulan.
Adapun beberapa penyebab Hepatitis yang disebabkan oleh virus,
seperti:
a. Hepatitis A, disebabkan oleh virus hepatitis A (HAV) yang
merupakan virus RNA dari famili entrovirus dengan diameter
27 nm
b. Hepatitis B, disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang
merupakan virus DNA yang berkulit ganda yang berukuran 42
nm
c. Hepatitis C, disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV) yang
merupakan virus RNA kecil terbungkus lemak yang
berdimeter sekitar 30 hingga 60 nm
d. Hepatitis D, disebabkan oleh virus hepatitis D (HDV) yang
merupakan virus RNA detektif yang membutuhkan kehadiran
hepatitis B yang berdiameter 35 nm
e. Hepatitis E, disebabkan oleh virus hepatitis E (HEV) yang
merupakan virus RNA rantai tunggal yang tidak berselubung
dan berdiameter kurang lebih 32 sampai 34 nm
f. Hepatitis F, untuk saat ini hepatitis F merupakan penyakit
hepatitis yang terpisah
g. Hepatitis G, merupakan gejala serupa dengan hepatitis C dan
seringkali infeksi bersama dengan hepatitis B dan/atau C.
Hepatitis G ini, tidak menyebabkan hepatitis fulminan ataupun
hepatitis kronik dan penularannya melalui darah jarum suntik.
C. Hepatitis C
Hepatitis C merupakan penyakit yang menyerang organ hati
yang disebabkan oleh infeksi virus yaitu virus hepatitis C (HCV).
Infeksi ini mengakibatkan peradangan organ hati hingga membengkak
dan fungsinya pun akan berhenti. Hepatitis C ini merupakan salah satu
penyakit yang tergolong serius, hal ini terbukti karena organ hati yang
diperlukan untuk membuang toksin yang terdapat di dalam darah
menjadi rusak hingga dapat menyebabkan sirosis.
Adapun gejala-gejala yang timbul pada hepatiti C, yakni adanya
gejala yang serupa dengan gejala flu, yaitu:
1. Merasa letih
2. Merasa sakit perut
3. Tidak berselera makan
4. Terasa sakit pada sendi maupun otot
5. Airseni berwarna pekat (kuning tua)
12



6. Mata dan kulit berwarna kuning
Hepatitis C dapat ditularkan melalui beberapa cara, seperti:
1. kontak dengan darah seseorang yang terinfeksi Hepatitis C,
melalui:
a. Menggunakan jarum yang telah tercemar dan atau
menggunakan alat suntik sewaktu menyuntik narkoba atau
membuat tatto secara bersama-sama
b. Transfusi darah
c. Terkena jarum suntik yang terinfeksi hingga menyebabkan
luka
d. Prosedur medis yang melibatkan peralatan medis yang
tercemar
e. Bersama-sama menggunakan alat pribadi yang mungkin dapat
mengeluarkan darah (pisau cukur, sikat gigi dan gunting kuku)
2. Hepatitis C jarang ditularkan melalui hubungan kelamin, namun
mungkin terjadi apabila ada kontak dengan darah
3. Adakalanya Hepatitis C dituarkan oleh wanita yang sedang hamil
maupun yang melahirkan kepada bayi
4. Hepatitis tidak dapat ditularkan melalui kontak biasa, seperti
berpelukan, makan bersama-sama dengan menggunkan alat
bersama
Untuk mendiagnosis seseorang terkena Hepatitis C maka
dapat dilakukan pemeriksaan
1. liver biops (sampel hati diambil dan diperiksa dengan mikroskop),
ini digunakan untuk mengetahui jenis dan parahnya kerusakan hati
sehingga dapat dilakukan perencanaan perawatan
2. blood tests termasuk:
a. antibiotik terhadap virus C
b. tes asam nukleik, misal PCR (menunjukkan adanya virus
di dalam darah)
c. tes jumlah virus (menunjukkan ada berapa banyak virus
yang aa di dalam darah)
d. tes genotipe (menunjukkan jenis nama virus yang ada di
dalam darah sehingga dapat membantu dalam tahap
perawatan)
e. tes fungsi hati (menunjukkan kerusakan hati pada saat ini)
3. Ultrasound.
Perawatan Hepatitis C dapat dilakukan dengan menggunakan
obat Interferon dan Ribivirin. Obat-obatan ini dapat digunakan selama 6
13



sampai 12 bulan dan adakalanya pun mendatangkan efek samping.
Berhasilnya perawatan ini tergantung pada genotipe dan jumlah virus di
dalam darah.
D. Hepatitis D
Hepatitis D Virus ( HDV ) atau virus delta adalah virus unik, yang
tidak lengkap dan untuk replikasi memerlukan keberadaan virus
hepatitis B. Penularan melalui hubungan seksual, jarum suntik dan
transfusi darah. Gejala penyakit hepatitis D bervariasi, dapat muncul
sebagai gejala yang ringan (co-infection) atau amat progresif.

E. Hepatitis E
Hepatitis E memiliki gejala yang mirip hepatitis A yaitu demam,
nyeri sendi, lelah, hilang nafsu makan dan sakit perut. Penyakit ini
paling sering menyerang usia dewasa muda sampai petengahan.
Hepatitis E dapat sembuh sendiri (self limited), kecuali bila terjadi pada
kehamilan khususnya trimester ketiga penyakit ini dapat mematikan.
Penularan hepatitis E dapat terjadi melalui air yang terkontaminasi
feces.

F. Hepatitis F
Walaupun telah diklasifikasikan dengan nama HFV, namun
belum dipastikan bahwa virus hepatitis F benar-benar ada. Baru ada
sedikit kasus yang dilaporkan. Saat ini para pakar belum sepakat
hepatitis F merupakan penyakit hepatitis yang terpisah.

G. Hepatitis G
Hepatitis G memiliki gejala yang serupa dengan hepatitis C,
seringkali infeksi bersamaan dengan hepatitis B dan/atau C. Tidak
menyebabkan hepatitis fulminan ataupun hepatitis kronik. Kelompok
yang beresiko tertular HGV adalah individu yang telah menjalani
tranfusi darah, tertusuk jarum suntik secara tidak sengaja, pengguna
obat intravena dan pasien hemodialisis.

2.1.3 Perlemakan Hati
Perlemakan hati secara definisi adalah penumpukan lemak yang
berlebihan dalam sel hati (Saputra L, 1999). Ada dua keadaan yang
menunjukan adanya perlemakan hati, yaitu jika jumlah lemak melebihi 5%
dari total berat hati norma atau lebih dari 30% dalam lobulus hati terdapat
penumpukan lemak. Perlemakan hati bervariasi mulai dari perlemakan hati
saja (steatosis) dan perlemakan hati dengan inflamasi (steatohepatitis) -
14



(Patel T, 2001). Perlemakan hati dapat menimbulkan komplikasi yang
berlanjut menjadi sirosis dan kegagalan fungsi hati.
Perlemakan hati merupakan penyakit dengan penyebab yang
multifaktorial, sehingga semua faktor risiko perlu dipertimbangkan dalam
upaya pencegahan baik primer maupun sekunder. Faktor risiko tersebut
ada yang dapat dimodifikasi, seperti hiperlipidemia, obesitas, diabetes
melitus, diet lemak tinggi, aktifitas dan olahraga. Ada juga faktor risiko
yang tidak bisa dimodifikasi, seperti usia, jenis kelamin. Faktor yang
sangat berperan ternyata adalah kegemukan atau obesitas. Pada
hakekatnya masalah kegemukan merupakan masalah perilaku. Dan
memang perilaku merupakan pengaruh yang paling besar dalam
mempengaruhi kesehatan. Dengan demikian, upaya untuk mengoreksi
masalah gizi tersebut dilakukan dengan pendekatan pemberian informasi
tentang perilaku gizi yang baik dan benar.
Untuk kasus di Indonesia, perlemakan hati yang umum terjadi
tentunya bukanlah jenis alkoholik (Non Alcoholic Fatty Liver Disease/NA
FLD) karena sebagian besar masyarakatnya bukanlah alkoholik.
Perlemakan hati jenis ini mempunyai derajat berat yang berbeda. Yang
ringan berupa perlemakan hati saja atau steatosis dan yang lebih berat
adalah perlemakan hati Non Alcoholic Steatohepatitis/NASH . Jenis ini
dapat menyebabkan peradangan atau inflamasi sel hati, bahkan kematian
sel hati, yang akhirnya membentuk jaringan parut (fibrosis) hati. Proses
peradangannya dapat berlanjut dalam kurun 1020 tahun dan menjadi
pengerasan serta pengecilan hati yang sering dikenal dengan istilah sirosis.
Kelanjutannya akan membuat kerusakan hati menjadi permanen, tidak
berfungsi dengan baik, bahkan menimbulkan kanker hati.
Perlemakan hati sering diketahui pada saat pemeriksaan kesehatan
tahunan yang ditandai oleh pemeriksaan laboratorium fungsi hati, yaitu
1. Meningkatnya SGOT dan SGPT tanpa adanya sebab lain seperti
hepatitis
2. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan bentuk hati yang membesar
3. Ultrasonografi (USG) abdomen, CT-scan, dan MRI abdomen dapat
pula dijadikan pemeriksaan penunjang
4. Untuk memastikan adanya perlemakan hati, terutama adanya NASH ,
diperlukan tindakan biopsi hati atau pengambilan jaringan hati,
meskipun tidak lazim dilakukan.
Penatalaksanaan perlemakan hati bergantung pada faktor risikonya.
Jika disebabkan sindrom metabolik, maka penurunan berat badan dan
kadar lemak serta gula darah menjadi sangat penting untuk memperlambat
15



perjalanan penyakit. Berat badan diharapkan turun setengah kilogram
perminggu secara bertahap dan terkontrol. Beberapa diet yang dapat
diterapkan adalah:
1. Diet rendah lemak dan karbohidrat, namun tinggi protein
2. Menghindari konsumsi alkohol
3. Olahraga teratur dianjurkan bersamaan dengan diet
4. Pemberian antioksidan terutama vitamin E Perlemakan hati merupakan
penyakit yang makin sering terjadi. Diperlukan deteksi dini,
penatalaksanaan yang tepat dengan mengobati faktor risiko, dan
perubahan gaya hidup yang lebih sehat untuk menghindarinya.
Upaya lainnya yang dapat dilakukan sebagai pencegahan
perlemakan hati sama dengan upaya pencegahan gangguan lemak dalam
darah seperti yang diutarakan oleh Semiardji G 2000, dapat dilakukan
melalui penyuluhan tentang gaya hidup sehat, meliputi:
1. Pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang dengan meningkatkan
konsumsi sayuran dan buah sebagai sumber serat. Dan membatasi
konsumsi makanan tinggi lemak dan karbohidrat sederhana.
2. Kegiatan jasmani yang cukup sesuai umur dan kemampuan. Adapun
frekuensi yang disarankan dalam melakukan olahraga adalah minimal
tiga kali seminggu dan maksimal lima kali seminggu. Untuk
mengetahui Intensitas dari latihan yang dilakukan denyut nadi sewaktu
latihan dapat dijadikan patokan. Besarnya denyut nadi sewaktu latihan
ini harus sesuai dengan denyut nadi dalam zona latihan menurut KH
Cooper.
3. Mempertahankan berat badan normal, dengan batasan melalui index
masa tubuh.
4. Tidak merokok.
Selain itu, untuk penatalaksanaan perlemakan hati, juga dapat
melalui terapi obat-obatan yang dapat menurunkan kadar glukosa dan
menurunkan kadar lipid, antara lain seperti berikut:
1. Insulin-sensitizing agent
a. Pioglitazone
Obat ini digunakan dengan dosis 15-30 mg untuk penggunaan
satu kali sehari, dan dapat ditingkatkan hingga dosis maksimum 45
mg untuk penggunaan satu kali sehari jika tidak juga timbul efek
setelah pengguaan 4 minggu.


16



b. Rosiglitazone
Rosiglitazone digunakan dengan dosis 4 mg untuk satu kali sehari
dan jika setelah 6-8 minggu belum menunjukkan efek terapi, maka
dosis dapat ditingkatkan hingga 8 mg per hari dalam 1 atau 2 dosis.
c. Metformin
Metformin digunakan dalam dosis awal 500 mg dengan
pemakaian 1-3 kali sehari, dan dapat ditingkatkan berdasarkan
respon hingga 850 mg dengan pemakaian 2-3 kali sehari.
2. Obat yang dapat menurunkan kadar lemak
Salah satu contoh obat yang berefek menurunkan lemak adalah
gemfibrozil. Gemfibrozil digunakan dalam dosis 600 mg dengan
pemakaian dua kali sehari. Kontraindikasi obat ini adalah pada pasien
yang alergi gemfibrozil. Selain itu, efek samping yang dapat timbul
berupa sakit kepala, myalgia, depresi, mulut kering, urtikaria,
apendisitis, dan impotensi.
3. Obat yang memperbaiki aliran darah
Contoh obat yang dapat memperbaiki alirah darah ialah
pentoxifylline. Dosis yang digunakan untuk pemakaian pentoxifylline
yaitu 400 mg untuk 2-3 kali sehari. Efek samping yang bisa timbul
seperti sakit kepala, muntah, nausea, palpitasi, ruam, hipersensitivitas,
perdarahan, urtikaria, angina, dan halusinasi.
2.1.4 Abses
Abses hati merupakan infeksi yang terjadi pada hati. Infeksi ini
dapat disebabkan oleh bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis yang
bersumber dari sistem gastrointestinal dan ditandai dengan adanya proses
supurasi, pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel
inflamasi atau sel darah di dalam parenkim hati. Abses hati dibagi menjadi
dua, yaitu abses hati amoeba dan abses hati piogenik. Angka kejadian
abses hati piogenik lebih banyak ditemukan dibandingkan abses hati
amoeba (Sudoyo dkk, 2006)..
1. Abses hati amoeba
Abses hati amoeba dapat disebabkan oleh Entamoeba histolytica
terbawa aliran vena porta ke hepar, namun tidak semua amoeba yang
masuk ke hepar dapat menimbulkan abses. Pembentukan abses
memerlukan faktor pendukung lainnya, yaitu:
a. Orang tersebut pernah terkena infeksi amoeba
b. Kadar kolesterol yang tinggi
c. Pascatrauma hepar
17



d. Alkoholic
Akibat infeksi amoeba tersebut, maka akan terjadi reaksi radang
dan akhirnya nekrosis jaringan hepar. Sel hepar yang jauh dari sel yang
terinfeksi juga mengalami sedikit perubahan yang diakibatkan oleh toksin
amoeba (Sjamsuhidayat, 2005).
Entamoeba hystolitica memiliki dua bentuk yaitu tropozoid dan
kista. Bentuk kista ini dapat bertahan di luar tubuh manusia. Kista masuk
ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman yang telah terkontaminasi.
Tropozoid akan berubah dari bentuk kista dalam usus kecil dan akan terus
ke kolon dan dari sini akan memperbanyak diri.
Baik bentuk trophozoid maupun kista dapat
ditemukan pada lumen usus. Namun hanya bentuk trophozoid yang
dapat menginvasi jaringan. Amoeba dapat menjadi patogen dengan
mensekresi enzim cys-teine protease yang dapat melisiskan jaringan
maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan
perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke dalam
submukosa memasuki kapiler darah akan mengikuti
aliran darah melalui vena porta menuju hati. Di dalam hati Entamoeba
hystolitica akan mensekresi enzim proteolitik yang dapat melisiskan
jaringan hati, dan membentuk abses. Lokasi yang sering terkena
infeksi adalah kanan yaitu sekitar 70% - 90%. Hal tersebut dapat
diakibatkan karena cabang vena porta kanan lebih lebar dari pada cabang
vena porta kiri (Moore, 2002).
18




Gambar 2.1. Patofisiologi Abses Hati
Abses ini sebetulnya lebih menyerupai proses pencairan jaringan
nekrosis multipel yang makin lama makin besar dan bergabung
membentuk abses. Cairan abses terbungkus oleh hiperplasia jaringan ikat
yang disebut simpai namun bukan berupa simpai sejati. Jaringan ikat ini
membatasi perusakan lebih jauh, kecuali bila ada infeksi tambahan. Cairan
abses menyerupai achovy paste dan berwarna coklat kemerahan, sebagai
akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna (Moore, 2002).
Penyakit ini timbul secara perlahan, disertai demam, berkeringat,
dan berat badan menurun. Tanda lokal yang paling sering adalah nyeri
spontan dan nyeri tekan perut kanan atas, di daerah lengkung iga dengan
hepar yang membesar. Kadang nyeri ditemukan di daerah bahu kanan
akibat iritasi diafragma. Bila lobus kiri yang terkena, akan ditemukan
massa di daerah epigastrium. Gejala khas adalah suhu tubuh yang tidak
lebih dari 38,5C.
19



Dalam pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan beberapa hal
sebagai berikut:
a. Abses amoeba ini, dapat ditemukan jumlah leukosit yang berkisar
antara 5.000 dan 30.000, tetapi umumnya antara 10.000-12.000
b. Kadar fosfatase alkali serum meningka
c. Tes serologi titer amoeba di atas atau sama dengan 1:128
d. Ditemukan anemia ringan sampai sedang
e. Kista dan tropozoit pada kotoran hanya teridentifikasi pada 15-50%
penderita
f. Pada foto roentgen pasien dengan abses hati amoeba dapat terlihat
kubah diafragma kanan meninggi, efusi pleura, abses paru dan
atelektasis.
Dalam hal pengobatan dari abses hati amoeba ini dapat dilakukan
dengan beberapa hal seperti berikut:
1. Pengobatan dengan obat ambisid
Obat amebisid digolongkan berdasarkan tempat kerjanya menjadi
beberapa macam:
a. Amebisid jaringan atau sistemik, yaitu obat yang bekerja terutama
di dinding usus, hati dan jaringan ekstra intestinal lainnya seperti
emetin, dehidroemetin, klorokuin.
b. Amebisid luminal, yaitu yang bekerja dalam usus dan disebut juga
amebisid kontak contohnya, diyodohidroksikuin,
yodoklorhidroksikuin, kiniofon, glikobiarsol, karbason, klifamid,
diklosanid furoat, tetrasiklin dan paromomisin.
c. Amebisid yang bekerja pada lumen maupun jaringan, seperti obat-
obat nitroimidazol.
Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunnjukan
penyembuhan yang besar bila di terapi hanya dengan antiamoeba. Ada
beberapa pengobatan yang lebih dianjurkan, di antaranya adalah:
1. Metronidazole
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole. Dosis
50mg/kgBB/hari. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati
amoeba adalah 3 x 750 mg/hari selama 7-10 hari. Derivat
nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole
dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari. Metronidazol
merupakan obat terpilih dan telah dilaporkan menyembuhkan 80-
100% abses hati amoeba. Pasien yang berhasil diterapi dengan
metronidazol mempunyai respon klinis dramatis, biasanya menjadi
tidak demam dan bebas nyeri dalam 24 dan 48 jam.
2. Dehydroemetine (DHE).
20



Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis
yang direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x
500 mg perhari selama 10 hari.
3. Chloroquin.
Dosis yang dianjurkan adalah 1g/hari selama 2 hari dan
diikuti 500mg/hari selama 20 hari. Absorbsi klorokuin di usus
halus sangat baik dan lengkap (kadar di hati 200-700 kali di
plasma), sehingga kadar dalam kolon sangat rendah. Oleh karena
itu perlu ditambah amebisid luminal untuk menghindari relaps.
Pada penelitian ditemukan bahwa kadar klorokuin setelah
diabsorbsi tertinggi di dalam jaringan hati maka sangat baik untuk
terapi abses hati amebiasis (Kortz dan Sabiston, 1994)
2. Terapi bedah
Terapi bedah yang dapat dilakukan adalah berupa aspirasi dan
penyaliran.
a. Teknik aspirasi
Teknik ini dapat dilakukan secara buta, tetapi sebaiknya
dengan tuntunan ultrasonografi sehingga dapat mencapai sasaran
dengan tepat. Jika gejala menetap lebih dari 1 minggu dan
gambaran radiologi menunjukkan kista yang tetap ada setelah
terapi antibiotika, maka bisa diindikasikan aspirasi per kutis atau
drainase bedah. Sumber lain juga mengatakan, apabila pengobatan
medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak
berhasil (72 jam) atau bila terapi dengan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi.
Aspirasi dapat dilakukan berulang-ulang secara tertutup atau
dilanjutkan dengan pemasangan kateter penyalir. Pada semua
tindakan harus diperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik untuk
mencegah infeksi sekunder. Cara aspirasi menguntungkan karena
tidak mengganggu fungsi vital, sedikit mempengaruhi kenyamanan
penderita, tidak menyebabkan kontaminasi rongga peritoneum dan
murah. Aspirasi harus dilakukan dengan kateter yang cukup besar.
b. Penyaliran terbuka
Sedangkan untuk teknik ini dilakukan bila pengobatan gagal
dengan terapi konservatif, termasuk aspirasi berulang. Indikasi lain
adalah abses hati lobus kiri yang terancam pecah ke rongga
peritoneum dan ke organ lain termasuk ke dinding perut, dan
infeksi sekunder yang tidak terkendali. Angka kematian dengan
cara ini lebih tinggi (Sjamsuhidayat, 2005).
2. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini
pada anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis dan pada
21



orang tua sebagai komplikasi penyakit saluran empedu. Abses hati piogenik
merupakan kondisi serius dengan angka kematian tinggi bila diagnosis tidak
dibuat secara dini.
Hampir semua organisme patologik dapat menimbulkan abses hati
piogenik. Beberapa mikroorganisme yang dapat mengakibatkan abses hati
piogenik adalah E. Coli, Staphylococcus aureus, Proteus, Klebsiella,
Pseudomonas dan bakteri anaerob, seperti Bacteroides dan Clostridium.
Kecurigaan kuman anaerob lebih besar bila didapat nanah yang berbau busuk,
gas dalam abses dan tidak ada kuman pada pembiakan aerob (Hetti, 2010).
Abses hati dapat berasal dari radang bilier, dari daerah splanknik
melalui vena porta atau sistemik dari manapun di tubuh melalui arteri hepatika.
Sumbernya kadang disebabkan oleh trauma atau infeksi langsung ke hati atau
sistem di sekitarnya.
Ada beberapa mekanisme terjadinya abses hati piogenik, di antaranya
adalah:
a. Infeksi melalui sistim porta (piemia porta)
Sebelum era antibiotik, sepsis intraabdomen, terutama apendisitis,
divertikulitis, disentri basiler, infeksi daerah pelvik, hemoroid yang
terinfeksi dan abses perirektal, merupakan penyebab utama abses hati
piogenik. Biasanya berawal sebagai pileflebitis perifer disertai pernanahan
dan trombosis yang kemudian menyebar melalui aliran vena porta ke dalam
hati.
Apabila abses hati piogenik berhubungan dengan pileflebitis, vena porta
dan cabangnya tampak melebar dan mengandung nanah, bekuan darah, dan
bakteria. Di sekitar abses terdapat infiltrasi radang. Apabila abses
merupakan penyulit penyakit bilier, biasanya abses berisi nanah yang
berwarna hijau.
b. Hematogen (melalui arteri hepatica)
Trauma tajam atau tumpul dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan, dan
nekrosis jaringan hati serta ekstravasasi cairan empedu yang mudah
terinfeksi. Hematoma subkapsuler dapat juga mengundang infeksi dan
menimbulkan abses yang soliter dan terlokalisasi.
Sebagian kecil disebabkan tindakan diagnostik atau terapeutik. Terjadinya
abses pasca trauma sangat bergantung pada kualitas pembedahan yang
dilakukan untuk menanggulangi trauma hati sebelumnya. Sepsis dengan
penyebaran melalui arteri hepatika menyebabkan abses pada 20-40%
pasien. Abses biasanya multipel dan kecil di kedua lobus hati.
c. Kriptogenik
Tidak ada penyebab ditemukan pada hampir separuh kasus. Namun angka
22



kejadiannya meningkat pada pasien diabetes mellitus dan kanker yang
mengalami metastasis. Pasien dengan abses hepar piogenik berulang
sebaiknya dilakukan evaluasi traktus biliaris dan gastrointestinal.
d. Penyebaran langsung
Abses hati dapat terjadi akibat penyebaran langsung infeksi dari struktur
yang berdekatan, seperti empiema kandung empedu, pleuritis, ataupun
abses perinefrik. Abses hati piogenik dapat merupakan penyulit dari
keganasan hati, baik primer maupun sekunder. Nekrosis jaringan baik dari
tumor maupun jaringan hati akan mudah mengundang infeksi sekunder dan
menimbulkan abses yang biasanya soliter.
Kista di dalam jaringan hati juga dapat mengalami infeksi sekunder
sebagaimana kelainan hati yang lain, seperti sistosomiasis, tuberkulosis,
askariasis dan penyakit hidatidosa (kista ekinokokus) (Sjamsuhidayat,
2005).
Abses hati piogenik dapat menimbulkan beberapa macam gejala, di
antaranya adalah:
a. Demam/panas tinggi merupakan keluhan paling utama
b. Nyeri pada kuadran kanan atas abdomen di bawah iga kanan dan disertai
dengan keadaan syok. Nyeri sering berkurang bila penderita berbaring pada
sisi kanan
c. Dapat dijumpai gejala dan tanda efusi pleura
d. Setelah era pemakaian antibiotik yang adekuat, gejala dan manifestasi klinis
abses hati piogenik adalah malaise, demam yang tidak terlalu tinggi, dan
nyeri tumpul pada abdomen yang menghebat dengan adanya pergerakan
e. Apabila abses hati piogenik letaknya dekat dengan diafragma, maka akan
terjadi iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan,
batuk ataupun terjadi atelektasis
f. Mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, penurunan berat badan,
kelemahan badan, jaudince, buang air besar berwarna seperti kapur, dan
buang air kecil berwarna gelap.
g. Pada pemeriksaan mungkin didapatkan febris
h. Pada palpasi terdapat hepatomegali atau ketegangan pada perut kuadran
lateral atas abdomen atau pembengkakan pada daerah interkostal.
Ketegangan lebih nyata pada perkusi. Apabila abses terdapat pada lobus
kiri, mungkin dapat diraba tumor di epigastrium
i. Splenomegali didapatkan apabila abses telah menjadi kronik, selain itu bisa
didapatkan asites, jaudince, serta tanda-tanda hipertensi portal
j. Jaudince terutama terdapat pada abses hati piogenik karena penyakit saluran
empedu yang disertai dengan kolangitis supurativa dan pembentukan abses
multipel
k. Dapat pula terjadi septikemia dan syok. Akan tetapi, banyak juga yang tidak
menunjukkan gejala khas. Oleh karena itu, kemungkinan abses hati piogenik
23



patut dipikirkan pada setiap penderita dengan demam tanpa sebab yang
jelas
Sedangkan untuk pemeriksaan penunjang dapat ditemukan beberapa
hal yang terjadi pada orang yang terkena abses hati piogenik, di antaranya
adalah:
a. Leukosit meningkat jelas (>10.000/mm3)
b. Laju endapan darah biasanya meningkat dan dapat terjadi anemia ringan
(50-80% pasien)
c. Meningkatnya alkali fosfatase (pada 95-100% pasien), enzim transaminase
dan serum bilirubin (pada 28-73% pasien)
d. Berkurangnya kadar albumin serum (<3 g/dl), meningkatnya nilai globulin
(>3 g/dl) dan waktu protrombin yang memanjang (71-87% pasien)
menunjukkan adanya kegagalan fungsi hati yang disebabkan abses hati
piogenik
e. Prognosis buruk bila kadar serum amino transferase meningkat
f. Tes serologi digunakan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial
g. Kultur darah yang memperlihatkan bakteri penyebab menjadi standar emas
untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik
h. Pada foto polos rontgen, elevasi atau perubahan diafragma kanan terlihat
pada 50% kasus. Dapat dijumpai efusi pleural, atelektasis basiler, pleuritis,
empiema, abses paru, dan jarang sekali fistel bronkopleural. Kadang dapat
dilihat garis batas udara dan cairan yang terdapat di dalam rongga abses.
Pada foto toraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut
kostofrenikus anterior tertutup. Abses lobus kiri akan mendesak kurvatura
minor. Secara angiografik, abses merupakan daerah avaskuler. Pemeriksaan
penunjang yang lain yaitu CT-scan abdomen atau MRI, ultrasonografi
abdomen dan biopsi hati, kesemuanya saling menunjang sehingga memiliki
nilai diagnostik semakin tinggi. CT-scan abdomen memiliki sensitivitas 95-
100% dan dapat mendeteksi luasnya lesi hingga kurang dari 1 cm.
Ultrasonografi abdomen memiliki sensitivitas 80-90%, Ultrasound-Guided
Aspiraate for Culture and Special Stains didapatkan positif 90% kasus,
sedangkan gallium and technectium radionuclide scanning memiliki
sensitivitas 50-90%.
Dalam pengobatannya dapat dilakukan dengan beberapa pemberian
obat seperti:
a. Antibiotik
Pemberian antibiotik ini disesuaikan dengan hasil tes kepekaan kuman.
Bila hasil tes belum ada, sedangkan pengobatan harus dimulai, pada terapi
awal digunakan penisilin.
b. Dikombinasikan antara ampisilin, aminoglikosida atau sefalosporin
generasi III dan klindamisin atau metronidazol. Metronidazol dan
klindamisin baik untuk melawan bakteri anaerob dan mampu melakukan
24



penetrasi ke dalam kavitas abses. Aminoglikosida dan sefalosporin
generasi III mampu melawan bakteri gram negatif. Contoh obat
aminoglikosida yang digunakan yaitu:
1) Dibekacin
Dosis yang digunakan pada obat ini, untuk dewasa dengan IM
ialah 100 mg per hari, sedangkan pada untuk anak yaitu 1-2 mg/kg/hari
untuk 1-2 dosis terbagi. Obat ini menimbulkan efek samping berupa
syok, nefrotoksisitas dan ototoksisitas. Interaksi obat dapat terjadi
dengan karbenisilin, tikarsilin, piperasilin, sulbenisilin, diuretik, dan
anastesi.
2) Netilmicin
Dosis netimicin yang digunakan pada dewasa ialah 4-5
g/kg/hari terbagi dalam 8-12 jam, sedangkan pada anak menggunakan
dosis 6-7,5 mg/kg/hari terbagi dalam 8 jam untuk pemakaian 7-14 hari.
Efek samping yang dapat ditimbulkan berupa ototoksisitan dan
nefrotoksisitas, sedangkan interaksi dapat timbul dengan obat
otoksisitas dan nefrotoksisitas.
3) Kanamicin
Kanamicin digunakan oleh dewasa dengan dosis 15 mg/kg/hari
dalam dosis terbagi dan dengan dosis maksimal 1,5 g/hari. Pada anak
juga digunakan dosis 15 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, sedangkan
pada bayi yang baru lahir 7,5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi. Efek
samping yang bisa timbul yaitu alergi, ototksisitas, dan nefrotoksisitas,
sedangkan interaksi obatnya bisa terkihat dengan obat diuretik dan
anastetik.
4) Gentamicin
Pada dewasa, gentamicin digunakan dalam dosis 4-7 mg/kg 1
kali sehari secara IM atau IV. Pada anak berusia 1 bulan sampai 10
tahun, melalui IM atau IV dengan dosis 7,5 mg/kg 1 kali sehari atau
2,5 mg/kg setiap 8 jam. Pada anak berusia lebih dari 5 tahun,
digunakan dosis 1,5-2,5 mg/kg/hari setiap 8 jam, dan pada anak
berusia lebih dari 10 tahun digunakan dosis 6 mg/kg 1 kali sehari atau
1-2 mg/kg setiap 8 jam dengan IM atau IV. Interaksi dapat timbul
dengan obat ototoksik, nefrotoksik, neurotoksik, anastetik umum, dan
diuretik poten. Efek samping yang dapat ditimbulkan berupa pusing,
vertigo, tinitus, ruam, gangguan penglihatan, telingan berdengung dan
kehilangan pendengaran, letargi, depresi napas, hipotensi, dan
urtikaria.
5) Amikacin
Penggunaan amikacin pada dewasa yaitu dengan dosis 16-24
mg/kg 1 kali sehari atau dalam 2-3 dosis terbagi secara IM atau IV.
Pada anak lebih dari 10 tahun digunakan secara IM atau IV dengan
25



dosis 18 mg/kg 1 kali sehari atau 15 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis
terbagi. Pada anak berusia kurang dari 10 tahun digunakan secara IM
atau IV dengan dosis 22,5 mg/kg 1 kali sehari atau 7,5 mg/kg 3 kali
sehari. Efek samping yang dapat diakibatkan berupa nefrotoksisitas
dan ototoksisitas, sedangkan interaksinya dapat timbul dengan obat
diuretik poten dan anestetik.
Sedangkan dari golongan azol, seperti:
1) Metronidazole
Metronidazole digunakan pada dewasa dengan dosis 500-750
mg 3 kali sehari selama 5-10 hari, sedangkan pada anak digunakan
dosis 35-50 mg/kg/hari dalam dosis terbagi selama 10 hari. Efek
samping yang dapat ditimbulkan ialah mual, muntah, anoreksia, rasa
kecap logam, pruritus, gangguan GI, urtikaria, angioderma, dan
anafilaksis. Interaksinya dapat dengan alkohol yang menimbulkan
reaksi seperti disulfiram, serta dengan warfarin meningkatkan efek
antikoagulan.
2) Tinidazole
Pada dewasa, digunakan tinidazole dengan dosis tunggal 2
gram selama 3 hari atau 600 mg 2 kali sehari selama 5 hari. Pada anak
digunakan dosis tunggal 50-60 mg/kg selama 3 hari. Efek samping
yang bisa terlihat yaitu rasa logam, sakit kepala, lelah, anoreksia,
gangguan GI, gangguan neurologi, reaksi hipersensitif, dan
leukopenia. Interaksi yang bisa ditimbulkan yaitu intoleransi alkohol.
3) Secnidazole
Pada dewasa dosis secnidazole yang digunakan yaitu 1,5 g/hari
1 untuk dosis tunggal atau terbagi selama 5 hari, sedangkan pada anak
dosis yang digunakan 2-30 mg/kg/hari untuk dosis tunggal.
Secnidazole dapat menimbulkan efek samping berupa rasa kecap
logam, bingung, gelisah, glositis, dan urtikaria. Interaksi obat
menimbulkan potensiasi efek warfarin.
c. Floroquinolon dapat dijadikan alternatif bagi pasien yang alergi terhadap
golongan penisilin. Terapi ini biasanya efektif pada pasien dengan abses
unilokular dengan ukuran kurang dari 3 cm. Jika dalam waktu 48-72 jam
belum ada perbaikan klinis dan laboratoris maka antibiotik yang
digunakan diganti dengan antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur
sensitivitas aspirat abses hati.
a. Pengobatan secara parenteral dapat dirubah menjadi oral setelah
pengobatan parenteral selama 10-14 hari dan kemudian dilanjutkan
kembali hingga 6 minggu kemudian. Bilamana perlu, antibiotik dapat
diberikan langsung ke saluran empedu melalui penyalir T yang dipasang
sewaktu melakukan laparatomi atau langsung ke sistem porta melalui vena
26



umbilikalis. Keberhasilan pengobatan bergantung pada ukuran, letak dan
jumlah abses.

2.1.5 Sirosis
Gambaran Umum dan Manifestasi Klinis
Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari
kata Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna
pada nodul-nodul yang terbentuk (Sutadi, 2003. Pengertian sirosis hati dapat
dikatakan sebagai berikut yaitu suatu keadaan disorganisasi yang difus dari
struktur hati yang normal akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan
mengalami fibrosis (Sutadi, 2003).
Secara lengkap Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro,
anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sitem arsitektur hati mengalami
perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis)
disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi (Sutadi, 2003).
Sirosis hepatis juga dapat diartikan sebagai penyakit yang ditandai oleh
adanya peradangan difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi
jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan
dalam susunan parenkim hati (Husnul, 2008 dalam Oktaviani, 2012). Sirosis
hepatis juga merupakan penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya
dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari
penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati. Kondisi ini menyebabkan
terbentuknya banyak jaringan ikat dan regenerasi noduler dengan berbagai ukuran
yang dibentuk oleh sel parenkim hati yang masih sehat. Akibatnya bentuk hati
yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah
dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan hipertensi
portal (Husnul, 2008 dalam Oktaviani, 2012).
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkan dengan kaum wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak
antara golongan umur 30 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 449 tahun
(Sutadi, 2003).
Sirosis hati merupakan faktor risiko utama kanker hati di dunia. Setiap
tahun 3-5% dari pasien sirosis hati akan menderita kanker hati dan kanker hati
merupakan salah satu penyebab kematian pada sirosis hati. Waktu yang
dibutuhkan dari sirosis hati untuk berkembang menjadi kanker hati sekitar 30
tahun (Mansjoer, 2001).
Konsumsi alkohol merupakan salah satu faktor resiko terjadinya sirosis
hati. Mekanisme penyakit hati yaitu sel hati mengalami fibrosis dan destruksi
protein yang berkepanjangan akibat metabolisme alkohol yang menghasilkan
acetaldehyde. Fibrosis yang terjadi merangsang pembentukan kolagen.
Regenerasi sel tetap terjadi tetapi tidak dapat mengimbangi kerusakan sel,
27



penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil, berbenjol-benjol dan
mengeras sehingga terjadi sirosis hati (Mansjoer, 2001).
Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hati atas 3 jenis, yaitu:
1. Mikronodular
2. Makronodular
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)
(Sutadi, 2003).
Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :
1. Sirosis hati kompensata
Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada atadiu kompensata ini belum
terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat
pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati Dekompensata
Dikenal dengan sirosis hati aktif, dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah
jelas, misalnya: ascites, edema dan jaudince (Sutadi, 2003).

Manifestasi Klinis Sirosis Hati
Manifestasi klinis :
Gejala terjadi akibat perubahan morfologi dan lebih menggambarkan
beratnya kerusakan yang terjadi. Gejalanya yaitu:
1. Gejala-gejala gastrointestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah
dan diare.
2. Demam, berat badan turun, dan edema
3. Asites, hidrotoraks dan edema.
4. Jaudince, kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatan.
5. Hepatomegali, bila telah lanjut dapat mengecil karena fibrosis.
6. Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral di dinding abdomen dan
toraks, kaput medusa dan varises esophagus
7. Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme yaitu:
a. Impotensi, atrofi testis, ginekomastia.
b. Amenore, hiperpigmentasi areola mammae.
c. Spider nevi dan eritema.
d. Hiperpigmentasi.
8. Jari tabuh
(Mansjoer, 2001).
Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan
terasa nyeri bila ditekan (Husnul, 2008 dalam Oktaviani, 2012). Manifestasi klinis
dari sirosis hati disebabkan oleh satu atau lebih hal-hal yang tersebut di bawah ini:
1. Kegagalan Prekim hati
Manifestasi klinis sirosis pada stadium akhir kebanyakan sama dan dapat
dibagi menjadi
28



dua kategori: kegagalan hepatoselular dan hipertensi porta.Manifestasi
kegagalan hepatoselular pada sirosis adalah semua hal yang berkaitan dengan
kegagalan sel hati yang tersisa untuk melakukan fungsi normalnya yang
mencakup: (1) jaudince (akibat menurunnya kemampuan sel hati untuk
mengkonjugasi dan mengekskresi bilirubin), (2) gangguan endokrin,(3) gangguan
hematologi, (4) edema perifer terkait dengan hipoalbuminemia, (5) fetor
hepatikum, (6) ganguan metabolisme, dan (7) ensefalopati hepatikum atau koma
hepatikum (suatu sindrom neuropsikiatri yang berhubungan dengan kadar NH
3

serum yang tinggi), faktor pencetus utamanya adalah perdarahan gastrointestinal.
2. Hipertensi portal
Sedangkan manifestasi hipertensi porta pada sirosis disebabkan oleh
meningkatnya resistensi terhadap aliran melalui hati yang sangat fibrotik yang
menyebabkan hipertensi porta dan kembalinya darah ke vena cava melalui jalur
kolateral. Manifestasi ini mencakup: (1) asites atau penimbunan cairan dalam
rongga peritoneum, (2) varises esofagus, (3) splenomegali yang disebabkan oleh
kongesti pasif kronis, (4) kaput medusa (vena berdilatasi disekitar umbilikus)
yang disebabkan aliran kolateral melalui vena superfisial dinding abdomen, (5)
hemoroid.
3. Asites
Asites merupakan manifestasi kardinal (utama) sirosis dan bentuk penyakit hati
lain.
4. Ensefalophati hepatitis
(Sutadi, 2003)
Keluhan dari sirosis hati dapat berupa :
1. Merasa kemampuan jasmani menurun
2. Nausea, nafsu makan menurun dan diikuti dengan penurunan berat badan
3. Mata berwarna kuning dan buang air kecil berwarna gelap
4. Pembesaran perut dan kaki bengkak
5. Perdarahan saluran cerna bagian atas
6. Pada keadaan lanjut dapat dijumpai pasien tidak sadarkan diri (Hepatic
Enchelopaty)
7. Perasaan gatal yang hebat
8. Manifestasi sirosis hati di rongga mulut diantaranya dapat menyebabkan
hiperpigmentasi pada mulut.
(Sutadi, 2003)

Patofisiologi
Sirosis dapat terjadi karena virus Hepatitis B dan C yang berkelanjutan,
alkohol, perlemakan hati, atau penyakit lain yang menyebabkan sumbatan saluran
29



empedu (Depkes RI, 2007). Menuryt Sutadi (2003), etiologi sirosis hati terdiri
dari:
1. Virus hepatitis (B, C, dan D)
Hepatitis virus sering juga disebut sebagai salah satu penyebab dari
sirosishepatis. Dan secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih
banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa
sertamenunjukkan perjalanan yang kronis bila dibandingkan dengan
hepatitis virusA. Penderita dengan hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi
sirosis karena banyak terjadi kerusakan hati yang kronis.
Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus mulai dari hepatitis
virus menjadi sirosis hepatis belum jelas. Patogenesis yang mungkin terjadi yaitu:
a. Mekanis
Pada daerah hati yang mengalami nekrosis konfluen, kerangka retikulum
lobulus hepar yang mengalami kolaps akan berlaku sebagai kerangka
untuk terjadinya daerah parut yang luas. Dalam kerangka jaringan ikat ini,
bagian parenkim hati yang bertahan hidup berkembang menjadi nodul
regenerasi (Silbernagl dan Lang, 2006).
b. Immunologis
Sirosis hepatis dikatakan dapat berkembang dari hepatitis akut jika melalui
proses hepatitis kronik aktif terlebih dahulu. Mekanisme imunologis
mempunyai peranan penting dalam hepatitis kronis, yang terdiri dari tipe
B dan autoimun atau tipe NANB. Proses respon imunologis pada sejumlah
kasus tidak cukup untuk menyingkirkan virus atau hepatosit yang
terinfeksi, dan sel mengandung virus ini merupakan rangsangan untuk
terjadinya proses imunologis yang berlangsung terus sampai terjadi
kerusakan sel hati (Price dan Wilson, 2006).
c. Kombinasi keduanya
Faktor genetik dan lingkungan yang menyebabkan kerusakan sel hati
dapat menyebabkan sirosis melalui respon patobiologi yang saling
berhubungan, yaitu sistem imun, peningkatan sintesis matriks dan
abnormalitas perkembangan sel hati yang tersisa (Silbernagl dan Lang,
2006).
2. Alkohol
Sirosis terjadi dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman
keras (Brunner dan Suddarth, 1996). Alkohol dapat menyebabkan terjadinya
kerusakanfungsi sel hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak. Sedangkan kerusakan kronik akan
30



berupa sirosis hepatis. Efek yang nyata dari etil-alkohol adalah penimbunan
lemak dalam hati (Hadi, 2002).
3. Kelainan metabolik seperti Hemakhomatosis (kelebihan beban besi), Penyakit
Wilson (kelebihan beban tembaga), defisiensi Alphal-antitripsin, Glikonosis type-
IV, Galaktosemia, Tirosinemia
Setelah terjadi peradangan dan bengkak, hati mencoba memperbaiki
dengan membentuk bekas luka atau parut kecil. Parut ini disebut "fibrosis" yang
membuat hati lebih sulit melakukan fungsinya. Sewaktu kerusakan berjalan,
semakin banyak parut terbentuk dan mulai menyatu, dalam tahap selanjutnya
disebut "sirosis". Sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar di
sebagian besar hati. Sirosis diduga berasal dari nekrosis sel-sel tunggal karena
kurangnya mekanisme perbaikan yang menyebabkan meningkatnya aktivitas
fibroblastik dan pembentuan jaringan parut (Lu, 1995). Pada sirosis, area hati
yang rusak dapat menjadi permanen dan menjadi sikatriks.
Perlukaan terhadap sel hati dapat menyebabkan kematian sel, yang
kemudian diikuti terjadinya jaringan parut (fibrosis) atau pembentukan nodul
regenerasi. Hal tersebut selanjutnya akan menyebabkan gangguan fungsi hati,
nekrosis sel hati dan hipertensi porta. Hipertensi porta menyebabkan penurunan
volume intravaskuler sehingga perfusi ginjalpun menurun (Silbernagl dan Lang,
2006). Darah tidak dapat mengalir dengan baik pada jaringan hati yang rusak dan
hati mulai menciut, serita menjadi keras (Depkes RI, 2007). Hal ini meningkatkan
aktivitas plasma renin sehingga aldosteron juga meningkat.
Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit terutama
natrium. Dengan peningkatan aldosetron maka terjadi retensi natrium yang pada
akhirnya menyebabkan retensi cairan. Namun yang utama adalah terjadinya
peningkatan aktivitas fibroblas dan pembentukan jaringan ikat (Silbernagl dan
Lang, 2006).
Bila hati rusak berat, mengakibatkan bendungan di limpa dan
kerongkongan bagian bawah akibat tekanan di organ yang tinggi. Dampak dari
kondisi ini yang disebut sebagai hipertensi portal termasuk pendarahan saluran
cerna atas dan cairan dalam perut (asites). Kerusakan pada hati juga dapat
mengurangi pembuatan cairan empedu yang dibutuhkan untuk pencernaan yang
baik dan mengurangi kemampuan hati untuk menyimpan dan menguraikan bahan
nutrisi yang dibutuhkan untuk hidup. Dampak lain dari hati yang rusak temasuk
ketidakmampuan untuk menyaring racun dari aliran darah, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan bahkan koma (Green, 2005).
Yang dapat timbul karena kegagalan sirosis hati adalah edema, jaudince,
koma, spider nevi, alopesia pectoralis, ginekomastia, kerusakan hati, asites,
31



rambut pubis rontok, eritema Palmaris, atropi testis, kelainan darah
(anemia,hematon/mudah terjadi perdaarahan) (Sutadi, 2003).. Dapat juga timbul
hipertensi portal yang menyebabkan varises oesophagus, spleenomegali,
perubahan sumsum tulang,caput medusa, asites, collateral veinhemorrhoid,
kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni) (Sutadi, 2003).
Komplikasi yang dapat timbul karena hal tersebut adalah:
1. Perdarahan Gastrointestinal
Hipertensi portal menimbulkan varises oesopagus, dimana suatu saat akan pecah
sehingga timbul perdarahan.
2. Koma Hepatikum.
3. Ulkus Peptikum
4. Karsinoma hepatosellural
Kemungkinan timbul karena adanya hiperflasia noduler yang akan berubah
menjadi adenomata multiple dan akhirnya menjadi karsinoma yang multiple.
5. Infeksi
Misalnya : peritonisis, pnemonia, bronchopneumonia,TB paru, glomerulonephritis
kronis, pielonephritis, sistitis, peritonitis, endokarditis, srisipelas, septikema
6. Kematian

Anda mungkin juga menyukai

  • Bahan OPERKULEKTOMI
    Bahan OPERKULEKTOMI
    Dokumen5 halaman
    Bahan OPERKULEKTOMI
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Watchout
    Watchout
    Dokumen13 halaman
    Watchout
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Oklusi Normal
    Oklusi Normal
    Dokumen2 halaman
    Oklusi Normal
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Laporan DL Kelainan Endokrin
    Laporan DL Kelainan Endokrin
    Dokumen19 halaman
    Laporan DL Kelainan Endokrin
    Charmelita Clara
    0% (1)
  • DL Kanker
    DL Kanker
    Dokumen25 halaman
    DL Kanker
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Bahan OPERKULEKTOMI
    Bahan OPERKULEKTOMI
    Dokumen5 halaman
    Bahan OPERKULEKTOMI
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Perikoronitis B2 (Trismus) Dicek Lagi
    Perikoronitis B2 (Trismus) Dicek Lagi
    Dokumen3 halaman
    Perikoronitis B2 (Trismus) Dicek Lagi
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Bruxism
    Bruxism
    Dokumen2 halaman
    Bruxism
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Bahan PBL
    Bahan PBL
    Dokumen8 halaman
    Bahan PBL
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Etiologi Maloklusi
    Etiologi Maloklusi
    Dokumen6 halaman
    Etiologi Maloklusi
    Charmelita Clara
    100% (1)
  • Sasbel pbl2
    Sasbel pbl2
    Dokumen6 halaman
    Sasbel pbl2
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Akibat Maloklusi
    Akibat Maloklusi
    Dokumen2 halaman
    Akibat Maloklusi
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • GANGGUAN TIDUR
    GANGGUAN TIDUR
    Dokumen11 halaman
    GANGGUAN TIDUR
    Dahyanto Hadi M
    Belum ada peringkat
  • Dapus PBL
    Dapus PBL
    Dokumen4 halaman
    Dapus PBL
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Bahan PBL
    Bahan PBL
    Dokumen8 halaman
    Bahan PBL
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • BAB Ilaporan PBL1
    BAB Ilaporan PBL1
    Dokumen16 halaman
    BAB Ilaporan PBL1
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Implan
    Presentasi Implan
    Dokumen19 halaman
    Presentasi Implan
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Pengendalian Infeksi Di Yankesgilut
    Pengendalian Infeksi Di Yankesgilut
    Dokumen16 halaman
    Pengendalian Infeksi Di Yankesgilut
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Praktek Kedokteran
    Praktek Kedokteran
    Dokumen43 halaman
    Praktek Kedokteran
    Febridho
    Belum ada peringkat
  • Cs Maloklusi
    Cs Maloklusi
    Dokumen11 halaman
    Cs Maloklusi
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Implan
    Presentasi Implan
    Dokumen19 halaman
    Presentasi Implan
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Dental Implant
    Dental Implant
    Dokumen13 halaman
    Dental Implant
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • SEKRESI SALIVA
    SEKRESI SALIVA
    Dokumen14 halaman
    SEKRESI SALIVA
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • RAS MANUSIA
    RAS MANUSIA
    Dokumen11 halaman
    RAS MANUSIA
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Step 3
    Step 3
    Dokumen2 halaman
    Step 3
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Manifestasi Oral HIV Anak
    Manifestasi Oral HIV Anak
    Dokumen20 halaman
    Manifestasi Oral HIV Anak
    nyongek
    Belum ada peringkat
  • PROTEIN
    PROTEIN
    Dokumen54 halaman
    PROTEIN
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat
  • Processing Acrylic Resin
    Processing Acrylic Resin
    Dokumen55 halaman
    Processing Acrylic Resin
    Charmelita Clara
    Belum ada peringkat