Mendengar dan menaati seorang (pemimpin) yang Muslim adalah
wajib, baik dalam perkara yang disenangi atau dibenci, selama tidak
diperintahkan untuk maksiat. (HR al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan
Ahmad dari Ibnu Umar ra).
Keterkaitan antara ketiganya (Allah Swt., Rasulullah saw, dan umara)
juga disebutkan dalam hadis Nabi saw. berikut:
Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada
Allah Azza wa Jalla. (HR Ahmad dari Ali ra).
Menurut as-Sadi, bisa jadi inilah rahasia dihilangkannya
frasa ath pada perintah untuk menaati ulil amri dan disebutkannya kata
tersebut pada perintah untuk menaati Rasul. Artinya, Rasulullah saw. tidak
memerintahkan kecuali ketaatan kepada Allah. Karena itu, siapa saja yang
menaati Beliau berarti sama dengan menaati Allah Swt. Adapun kepada ulil
amri, perintah taat itu disyaratkan tidak dalam perkara maksiat.
Wajibnya menaati ulil amri ini juga menunjukkan hukum tentang
kewajiban mewujudkannya. Sebab, tidak mungkin Allah Swt. mewajibkan
kaum Muslim untuk menaati seseorang yang tidak ada wujudnya
Kata minkum memberikan batasan bahwa ulil amri itu harus min al-
Muslimn(dari kalangan Muslim). Jika bukan Muslim maka tidak ada hak
wilayah baginya atas Muslim dan tidak ada ketaaan kepadanya. Ayat ini
juga bisa menjadi dalil bahwa khalifah haruslah seorang Muslim. Kesimpulan
itu makin kukuh tatkala dalam al-Quran tidak didapati kata ulil amri kecuali
disertai dengan penjelasan bahwa mereka dari kalangan kaum Muslim.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: fa in tanzatum f syay[in]
faruddhu il Allh wa ar-Rasl. Kata tanzu berarti mencabut hujjah
lawannya dan menyikirkannya. Kata ini untuk menggambarkan adanya
perselisihan dan perdebatan yang terjadi antara dua pihak atau lebih.
Kata syay[in] (sesuatu)meliputi semua urusan, baik urusan ad-
dn maupun dunia. Namun, ketika dilanjutkan, faruddhu ila Allh wa ar-
Rasl, maka kalimat itu menjelaskan bahwa sesuatu yang diperselisihkan itu
adalah urusan ad-dn.
Kata tanzatum berarti kalian berselisih, baik yang terjadi di antara
kalian atau antara kalian dengan umara kalian. Jika hal itu terjadi, mereka
diperintahkan mengembalikan perkara yang mereka perselisihkan itu kepada
Allah dan Rasul, yakni pada al-Kitab dan as-Sunnah. Demikian penafsiran
para mufassir, seperti Mujahid, Qatadah, Maimun bin Mahran, dan as-Sudi;
juga an-Nasafi, Ibnu Katsir, al-Khazin, asy-Syaukani, Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-
Wahidi, al-Jazairi, as-Samarqandi, dan al-Sadi.
Kemudian Allah Swt. berfirman: in kuntum tuminna bi Allh wa al-
yawmi al-khir. Mengomentari kalimat ini, as-Sadi berkata, Hal itu
menunjukkan bahwa orang yang tidak mengembalikan masalah yang
diperselisishkan kepada keduanya (al-Quran dan as-Sunnah) pada
hakikatnya bukanlah seorang Mukmin, namun beriman kepada thght,
sebagaimana disampaikan dalam ayat selanjutnya.
Hal senada juga dinyatakan oleh Ibnu Katsir.
Ayat ini kemudian diakhiri dengan firman-Nya: Dzlika khayru wa
ahsanu tawl[an]. Kata Dzlika menunjuk pada tindakan mengembalikan
perkara pada al-Kitab dan as-Sunnah. Qatadah menyatakan, maksud farasa
ini adalah:ahsanu tsawb[an] wa khayru qibat[an] (sebaik-baik pahala dan
seutama-utama akibat).
C. Penjelasan Politik
Ayat ini mengatakan kepada kaum Mukmin, selain taat kepada
Tuhan dan Rasulnya, maka haruslah kalian taat kepada para pemimpin yang
adil. Karena ketaatan itu merupakan kelaziman iman kepada Tuhan dan Hari
Kiamat.
Dalam riwayat sejarah disebutkan, bahwa Rasul Saw ketika
berangkat ke perang Tabuk beliau melantik Imam Ali as sebagai
penggantinya di Madinah. Beliau berkata, "Wahai Ali! Engkau di sisiku,
seperti Harun untuk Musa." Selanjutnya ayat ini turun dan masyarakat
diperintah untuk menaatinya.
Berangkat dari ada kemungkinan masyarakat akan berselisih
menentukan Ulil Amri, kelanjutan ayat menyatakan, "Dalam keadaan seperti
ini, rujuklah kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul yang merupakan sebaik-
baik hakim dan sebaik-baik kesudahan bagi kalian. Namun yang jelas,
ketaatan kepada Ulil Amri dan Rasul Saw adalah dalam rangka
ketaatan kepada Tuhan. Perkara ini tidak bertentangan dengan tauhid.
Karena kita menaati Nabi dan Ulil Amri atas perintah Tuhan juga.
ari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ketaatan kepada Rasul dan Ulil Amri dalam ayat ini bersifat mutlak,
tanpa ada syarat yang ditaati harus tidak memiliki kekurangan.
2. Rasul memiliki dua kedudukan. Pertama, menjelaskan hukum-hukum
Tuhan dan menunaikan risalahNya. Kedua, mengelola urusan
masyarakat dan menjelaskan peraturan-peraturan pemerintahan
berdasarkan kebutuhan.
3. Jalan yang terbaik menyelesaikan perselisihan mazhab Islam adalah
merujuk kepada al-Quran dan Sunnah Rasul yang diterima oleh semua
orang.
4. Masyarakat haruslah menerima pemerintahan Islam dan mendukung
para pimpinan yang adil. (IRIB Indonesia)
D. Kontradiksi dengan Demokrasi
Sebagaimana telah dijelaskan, ayat ini menjadi dalil bagi kewajiban
untuk mengangkat ulil amri atau pemimpin yang berwenang mengatur
urusan kaum Muslim. Ayat ini juga memberikan penjelasan mengenai pilar-
pilar pemerintahan Islam. Berkenaan dengan masalah kedaulatan, ayat ini
memberikan konsep amat jelas, bahwa kedaulatan dalam pemerintahan
Islam (yang dikenal dengan sebutan Khilafah) ada di tangan syariah. Di
antara beberapa buktinya adalah:
Pertama, perintah untuk menaati Allah Swt. dan Rasulullah saw,
yakni tunduk dan patuh pada segala ketentuan dalam al-Quran dan as-
Sunnah. Ketetapan ini meniscayakan, semua hukum dan undang-undang
yang diberlakukan wajib bersumber dari keduanya. Memang benar, selain
diperintahkan taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, kaum Muslim juga
diperintahkan taat kepada uli al-amri. Namun, ketaatan itu bukan tanpa
batasan sama sekali. Kewajiban taat itu berlaku jika perkara yang
diperintahkan ulil amri bersesuaian dengan hukum syariah. Jika perkara
yang diperintahkan menabrak syariah, kaum Muslim tidak boleh taat.
Lebih dari itu, ulil amri juga menjadi pihak yang wajib tunduk pada
syariah. Sebab, mereka termasuk yang diseru ayat ini.
Ungkapan minkum pada kata wa ul al-amri minkum menunjukkan bahwa
mereka juga termasuk dalam bagian al-ladzna man. Karena itu, mereka
pun wajib menaati Allah Swt. Bahkan kedudukan mereka sebagai ulil amri
adalah dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. dan Rasul-
Nya (syariah).
Kedua, ayat ini menetapkan, setiap perselisihan yang terjadi wajib
dikembalikan pada syariah. Firman Allah Swt., Fa in tanzatum f syay[in]
faruddhu ila Allh wa ar-Rasl, jelas menunjukkan makna demikian.
Bertolak dari dua bukti di atas, jelaslah bahwa kedaulatan dalam
pemeritahan Islam ada di tangan syariah.
Kenyataan ini tentu bertolak belakang dengan konsep demokrasi.
Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat. Sebagai pemilik
kedaulatan, semua kehendak rakyat harus dipatuhi. Konsekuensinya,
rakyatlah yang memiliki hak menentukan perjalanan hidup masyarakat.
Rakyat pula yang menentukan sistem, hukum, dan konstitusi yang cocok
bagi mereka, tidak peduli apakah undang-undang itu sejalan dengan syariah
atau berlawanan dengannya. Sebagaimana rakyat berhak membuat dan
menetapkan sebuah undang-undang, rakyat juga berhak membatalkan,
mengganti atau mengubah undang-undang tersebut. Singkatnya, apa pun
yang menjadi kehendak rakyat harus terjadi.
Dalam demokrasi, solusi akhir ketika terjadi perselisihan adalah suara
terbanyak. Karena rakyat merupakan sekumpulan orang, sementara
kehendak mereka bisa berseberangan satu sama lainnya, maka yang
dijadikan sebagai kata pemutus adalah kehendak mayoritas. Ide, aspirasi,
atau kebijakan apa pun yang mendapatkan dukungan suara terbanyak harus
diterima sebagai keputusan terakhir yang ditaati oleh semua pihak; tidak
peduli apakah keputusan tersebut benar atau salah; sejalan atau
bertabrakan dengan hukum Allah Swt.
Wajar saja demokrasi bertentangan dengan Islam. Demokrasi tidak
berakar dari Islam, namun lahir dari ideologi sekular yang kufur.
Wallhu alam bi ash-shawb.