Anda di halaman 1dari 23

1. APA PERBEDAAN ANTARA HIV DAN AIDS?

HIV /AIDS sering dikaitkan satu sama lainnya dengan pengertian yang sama. Akan tetapi HIV
dan AIDS mempunyai arti yang berbeda. HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency
Virus.Virus ini yang menyerang system kekebalan tubuh seseorang. Seseorang dapat terjangkit virus
HIV, apabila virus tersebut masuk ke dalam saluran peredaran darah. Virus HIV menyerang system
kekebalan seseorang. Jika tidak diatasi, maka virus ini akan merusak system kekebalan tubuh
sehingga daya tahan tubuh melemah terhadap penyakit lain bahkan dapat mengakibatkan kematian.
Kondisi inilah yang dinamakan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).
Penderita HIV bukan berarti pengidap penyakit AIDS atau seseorang yang akan segera
mati.Bahkan tanpa pengobatan banyak penderita HIV masih dapat bertahan hidup cukup lama. Pada
saat ini pengobatan yang telah dikembangkan hanya dapat memperlambat kerusakan pada sistim
kekebalan tubuh.Dengan pengobatan tersebut banyak penderita HIV dapat hidup sehat dan bahagia.
Perjalanan HIV / AIDS : Masa inkubasi atau masa laten, sangat tergantung pada daya tahan tubuh
masing-masing orang rata-rata 5-10 tahun, selama masa ini orang tidak memperlihatkan gejala-gejala
walaupun jumlah HIV semakin bertambah dan sel-sel T-4 semakin menurun. Semakin rendah jumlah
sel T-4, semakin rusak fungsi sistem kekebalan tubuh. Pada waktu sistem kekebalan sudah dalam
keadaan parah ODHA akan mulai menampakkan gejala-gejala AIDS.

2. PEMBANTU DIAGNOSIS UNTUK MIKOSIS

Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas emeriksaan
langsung basah dan biakan. Pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan histopatologik, percobaan
binatang, dan imunologik tidak berpelukan.
Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan bahan jamur diperlukan bahan klinis, yang
dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil dan
dikumpulkan sebagai berikut : terlebih dahulu tempat kelainan dibersihkan dengan spiritus 70%,
kemudian untuk :
1. Kulit Tidak Berambut (Glabrous Skin)
Dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit diluar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok
dengan pisau tumpu steril.
2. Kulit Berambut
Rambut dicabut pada bagain kulit yang mengalami kelainan : kulit didaerah tersebut dikerok untuk
mengumpulkan sisik kulit, pemeriksaan dengan lampo Wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan
untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terkena infeksi dengan kemungkinan adanya fluoresensi
pada kasus-kasus tinea kapitis tertentu.
3. Kuku
Bahan diambil dari permukaan kuku yang sakt dan dipotong sedalam-dalamnya sehingga mengenai
seluruh ketebalan kuku, bahan dibawah kuku diambil pula.
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-mula dengan
pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100
biasanya tidak diperlukan.
Sediaan basah dilakukakn dengan meletakkan bahan diatas gelas alas, kemudian ditambah 1-2
tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan
kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ni diperlukan
untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercept proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan
basah diatas api kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup. Bila
terjadi penguapan, maka akan terbentuk Kristal KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai.
Untuk melihat elemen jamur lebih nyata, maka dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH,
misalnya tinta Parer super-chroom blue black.
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terpisah oleh
bersekat, dan bersekat maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama dan atau sudah
diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora).
Spora dapat tersusun diluar rambut (ektotris) atau didalam rambut (endoktris). Kadang-kadang data
juga ditemukan hifa pada sediaan rambut.
Pemeriksaan dengan pembiakan dilakukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan
basah dan menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan deengan menanamkan bahan klinis
pada media nuatan. Yang dianggap paing baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa
Sabouraud. Pada agar Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja (kloramfenikol) atau ditambah
klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun
jamur kontaminan.
3. TANDA KLINIS MIKOSIS SUPERFISIALIS

1. Tinea Pedis
Tinea pedis atau yang sering dikenal dengan nama athlete's foot atau kutu air adalah
dermatofitosis pada kaki, terutama sela- sela jari dan telapak kaki. Selain pada kaki, kelainan juga
dapat terjadi pada tangan dan disebut tinea manus. Terdapat beberapa jenis tinea pedis. Yang sering
terlihat adalah bentuk interdigitalis dengan predileksi terutama pada sela jari ke-4 dan ke-5. Kelainan
berupa fisura yang dilingkari oleh sisik halus dan tipis. Kelainan dapat meluas ke daerah subdigital
dan sela jari lain. Kelainan juga sering disertai maserasi akibat dari keadaan daerah kaki yang
seringkali lembab. Bila maserasi dibersihkan akan terlihat kulit baru yang umumnya juga telah
diserang oleh jamur. Hal ini dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama, hingga bertahun-
tahun dengan sedikit atau bahkan tanpa keluhan sama sekali. Kelainan juga dapat disertai infeksi
sekunder sehingga dapat terjadi selulitis, limfangitis, atau erisipelas. Selain bentuk interdigitalis, dapat
terjadi juga bentuk moccasin foot berupa kulit yang menebal dan bersisik pada seluruh kaki dengan
eritema ringan pada tepi lesi disertai papul atau vesikel, atau bentuk subakut yang ditandai dengan
vesikel dan vesikopustul yang jika pecah membentuk lingkaran yang disebut dengan koleret. Tinea
pedis banyak terjadi pada orang- orang yang sehari- hari sering memakai sepatu tertutup dan
perawatan kaki yang tidak baik atau para pekerja yang kakinya sering basah.

2. Tinea Unguium
Tinea unguium adalah dermatofitosis pada kuku. Terdapat 3 bentuk klini menurut ZAIAS, yaitu:
- subungual distalis, yang dimulai dari tepi distal atau disolateral kuku dan menjalar ke proksimal.
Pada bagian bawah kuku dapat ditemui sisa kuku yang rapuh. Jika proses berlanjut kuku pada bagian
distal akan hancur menjadi menyerupai kapur;
- subungual proksimalis, dimulai dari pangkal kuku. Pada kelainan tipe ini, didapatkan kuku bagian
distal masih utuh sedangkan bagian proksimal sudah rusak. Sering dijumpai pada kuku kaki;
- leukonikia trikofita, kelainan kuku berupa keputihan di permukaan kuku. Kelainan ini disebabkan
oleh Trichophyton mentagrophytes.

3. Tinea Kruris
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada daerah lipat paha, perineum, dan sekitar anus.
Kelainan dapat bersifat akut atau menahun bahkan hingga seumur hidup. Lesi dapat meluas dari
daerah genito-krural hingga ke sekitar anus, daerah gluteus, atau perut bagian bawah. Tinea kruris
menimbulkan kelainan berupa lesi berbatas tegas pada daerah kruris. Peradangan pada tepi lebih nyata
daripada daerah tengah. Eflorosensi bersifat polimorf, terdiri dari lesi primer dan sekunder. Bila
berjalan kronik, lesi dapat berupa bercak hitam yang bersisik sedikit. Tinea kruris sering ditemukan di
Indonesia.

4. Tinea Korporis
Tinea korporis merujuk pada semua dermatofitosis pada daerah kulit yang tidak berambut
kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan skrotum. Kelainan berupa lesi yang bulat atau lonjong
berbatas tegas dengan eritema dan skuama kadang disertai vesikel dan papul di tepinya. Seperti jenis
tinea lainnya, lesi lebih aktif pada tepinya. Lesi- lesi pada umumnya merupakan bercak- bercak
terpisah satu dengan lainnya dan jika menjadi satu membentuk lesi dengan tepi polisiklik. Kelainan
lebih sering ditemukan pada anak- anak. Pada tinea korporis menahun, biasanya tidak terlihat tanda
radang lagi. Bentuk menahun dengan penyebab Trichophyton rubrum sering terlihat bersama- sama
tinea unguium. Terdapat bentuk tinea korporis lain yang khas yaitu tinea imbrikata berupa lingkaran-
lingkaran skuama yang konsentris. Pada kasus menahun penderita seringkali sudah tidak merasa gata
seperti pada awal infeksi dan kadangi kadang lesi dapat menyerupai iktiosis

5. Tinea Fasialis
Tinea fasialis adalah dermatofitosis pada kulit tidak berambut pada wajah. Secara tidak
langsung, tinea fasialis sebenarnya merupakan bagian dari tinea korporis akan tetapi karena
penampakan yang seringkali atipikal, tinea ini dibedakan dari tinea korporis. Pada laki- laki dapat
juga terjadi tinea barbae yaitu dermafitosis pada bagian jenggot. Tinea fasialis seringkali didapatkan
dari binatang peliharaan akan tetapi juga dapat ditularkan dari individu lain yang memiliki
dermatofitosis dari bagian tubuh lainnya. Sehubungan dengan kompleksitas anatomi wajah,
penampakan atipikal seringkali muncul pada kulit wajah dibandingkan dengan lesi tinea korporis pada
bagian tubuh lainnya. Lesi muncul berupa bercak eritematosa tunggal atau multipel tanpa struktur
anular yang seringkali menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga seringkali salah didiagnosis.
Manifestasi tipikal seperti pada tinea korporis lainnya juga dapat terjadi yaitu lesi eritematosa anular
atau serpiginosa dengan tepi yang aktif dan kadang ditemui papul atau vesikel. Bagian kulit yang
paling sering terkena adalah pipi, disusul dengan hidung, periorbital, dagu, dan dahi.

6. Tinea Kapitis
Tinea kapitis merupakan dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala. Kelainan ditandai
dengan lesi bersisik, kemerahan, alopesia, dan kadang terjadi kerion. Tinea kapitis terbagi menjadi 3
bentuk secara klinis, yaitu:
- grey patch ringworm, merupakan tinea kapitis yang disebabkan oleh microsporum sp. Awalnya
berupa papul merah kecil di sekitar rambut kemudian melebar, membentuk bercak, dan menjadi pucat
bersisik. Keluhan terutama berupa rasa gatal. Selain itu ditemukan perubahan pada warna rambut dan
menjadi tidak berkilat. Rambut kemudian mudah patah dan terlepas dari akar sehingga pencabutan
dengan pinset tidak menimbulkan rasa nyeri. Pada akhirnya dapat ditemukan alopesia setempat yang
terlihat sebagai grey patch. Pada pemeriksaan dengan lampu wood, dapat terlihat fluoresensi hijau
kekuningan yang luasnya dapat melebihi grey patch.
- kerion, merupakan tinea kapitis dengan peradangan yang berat. Dapat terlihat pembengkakan
dengan bentukan seperti sarang lebah dengan sebukan sel radang di sekitarnya. Kerion dapat
menyebabkan jaringan parut yang menyebabkan alopesia menetap.
- black dot ringworm, disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum. Gambar
klinis awalnya menyerupai grey patch ringworm. Rambut yang terinfeksi kemudian patah tepat pada
muara folikel,meninggalkan ujung rambut yang penuh spora, memberikan gambaran black dot.

4. HISTOPATOLOGI LAPISAN KULIT
a. Di Epidermis
1. Hiperkeratosit a/ penebalan st. korneum bia inti sel masih terlihat pd penebalan st.
korneum disebut parakeratosit, bila tidak terlihat lagi inti disebut ortokeratosit
2. Hipergranulosis a/ penebalan st. Granulosum
3. Akantosis a/ penebalan st. Spinosum
4. Hiperplasia a/ penebalan epidermis akibat bertambahnya jumlah sel
5. Hipoplasia a/ penipisan epidermis akibat berkurangnya jumlah sel
6. Hipertrofi a/ penebalan epidermis akibat sel2 bertambah besar
7. Atrofi a/ penipisan epidermis akibat sel2 bertambah kecil
8. Spongiosi a/ penimbunan cairan di antara sel2 epidermis sehingga celah antar sel jadi
renggang
9. Degenerasi balon a/ edema di dalam sel epidermis sehingga sel jadi besar
10. Eksositosis a/ sel2 radang yg masuk ke dalam epidermis, bisa juga Sel darah merah
11. Akantolisis a/ hilangnya daya kohesi antar sel epidermis sehingga menyebabkan
terbentuknya celah, vesikel atau bula dlam epidermis
12. Sel diskeratotik a/ sel epidermis yg mengalami keratinisasi lebih awal
13. Nekrosis a/ kematian sel atau jaringan setempat pada organisme yg masih hidup
14. Degenerasi hidropik st. Basal a/ rongga di bawah/atas st basalis yg dapat bergabung dan
berisi serum yg mengakibatkan susunan st basalis jadi tiak teratur

b. Di Dermis
1. Papilomatosis a/ papil yg memanjang melampaui batas permukaan kulit
2. Fibrosis a/ jumlah kolagen bertambah serta susunannya berubah, dan fibroblas
bertambah banyak
3. Sklerosis a/ jumlah kolagen bertambah, susunan berubah, tampak lebih homogen dan
eosinofilik seperti degenerasi hialin dengan jumlah fibroblas berkurang
4. Granuloma a/ histiosit yg tersusun berkelompok
5. Jaringan granulasi a/ penyembuhan luka yg terdiri atas jaringan edematosa, proliferasi
pembluh darah dan sel radang campuran
Note. Gambar liat di buku merah halaman 25 (kalo mau liat itu juga)
PERBEDAAAN MH PAUSIBASILAR DAN MULTIBASILAR
PB MB
1. Lesi kulit
(makula datar, papul
yg meninggi, nodus)
- 1-5 lesi
- Hipopigmentasi/eritema
- Distribusi tidak simetris
- Hilangnya sensasi yg jelas
- > 5 lesi

- Distribusi simetris
- Hilangnya sensasi
kurang jelas
2. Kerusakan saraf
(menyebaban hilngnya
sensasi/kelemahan
otot yg dipersarafi
oleh saraf yg terkena
- Hanya satu cabang saraf - Banyak caang saraf
3. Sediaan apusan - BTA negatif - BTA positif

5 A pada MH : (anastesi, achromi,atropi,anhidrosis, alopesia)

5. SIFILIS
1. Stadium apa saja?
- Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi). Terdiri atas S I, SII, stadium
rekuren, dan stadium laten dini.
- Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi). Terdiri atas stadium laten
lanjut dan SIII.

2. Stadium II, gejala klinisnya.
-Timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak SI. Lama S II dapat sampai sembilan
bulan.
- Gejala umumnya tidak berat : anoreksia, turun berat badan, malaise, nyeri kepala, demam
yang tidak tinggi, atralgia.
Kelainan kulit : dapat menyerupai berbagai penyakit kulit (the great imitator)
Dapat juga memberi kelainan pada mukosa, KGB, mata, hepar, tulang, dan saraf.
Kelainan kulit pada S II tidak gatal, sering disertai limfadenitis generalisata, pada S II dini
kelainan kulit juga terjadi pada telapak tangan.
-Perbedaan S II dini dan S II lanjut :
S II dini : kelainan kulit generalisata, simetrik, lebih cepat hilang ( beberapa hari
hingga beberapa minggu.
S II lanjut : kelainaan kulit setempat, asimetrik, dan bertahan lebih lama (beberapa
minggu hingga beberapa bulan).
-Bentuk lesi : roseola, papul, pustul, atau bentuk lain.
a. roseola adalah kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada S II, disebut roseola
sifilitika (S II dini).
b. papul, bentuk yang paling sering terlihat pada S II. Dapat berskuama pada pinggir
(koleret) disebut papulo-skuamosa. Skuama bisa menutupi papul, mirip dengan
psoriasis, disebut psoriasiformis. Bercak bekas papul dinamakan leukoderma
sifilitikum. Bentuk lain adalah kondiloma lata.
c. pustul, jarang ditemukan.
d. bentuk lain : sifilis impetiginosa. Ektima sifilitikum. Rupia sifilitika. Sifilis
ostrasea.
- S II pada mukosa : Angina sifilitika eritematosa., plaque muqueuses.
- S II pada rambut : alopesia areata, alopesia areolaris.
- S II pada kuku : onikia sifilitika. Paronikia sifilitika.
- S II pada alat lain :
KGB : pembesaran KGB
Mata : S II lanjut -> uveitis anterior.
Hepar : hepatitis.
Tulang : pembengkakan pada sendi dan bursa (jarang), tidak nyeri, pergerakan tidak
terganggu. Periostitis -> nyeri.
Saraf : GK pada stadium ini jarang, tetapi dapat disebabkan oleh meningitis
akut/subakut. Peningkatan TIK (mual, muntah, udem papil)

6. PMS
1. PMS akibat virus.
Etiologi PMS
Herpes Simplex Virus Herpes genitalis
Herpes B virus Hepatitis fulminan akut dan kronik
Human papiloma virus Kondiloma akuminatum, papiloma laring
pada bayi.
Molluscum contangiosum virus Moluskum kontangiosum
Human Immmunideficiensy virus A.I.D.S (Acquired Immune Deficiency
Syndrome)

2. PMS akibat bakteri
Etiologi PMS
Neisseria gonorrhoeae Uretritis, epididimitis, servisitis. Proktitis,
faringitis, konjungtivitis, Bartholinitis.
Chlamydia trachomatis Uretritis, epididimitis, servisitis, proktitis,
salpingitis, limfogranuloma venereum.
Mycoplasma hominis Uretritis, epididimitis, servisitis, proktitis,
salpingitis
Ureaplasma urealyticum Uretritis, epididimitis, servisitis, proktitis,
salpingitis
Treponema pallidum Sifilis
Gardnerella vaginalis Vaginitis
Donowania granulomatis Granuloma inguinal

7.Pengobatan Multi Drug Therapy Morbus Hansen
MDT-L ( LL, BL, BB )
Rifampisin : 600 mg / bulan
Klofazimin : 300 mg / bulan + 50 mg / hari
DDS : 100 mg / hari
12 bulan ( selesai < 18 bulan )

MDT T ( TT, BT )
Rifampisin : 600 mg / bulan
DDS : 100 mg / hari
6 bulan ( Selesai < 9 bulan )
Ket:
LL: Tipe lepromatosa
TT: Tipe Tubekuloid
BL: Tipe Borderline Lepromatosa
BB: Tipe Borderline
BT: Tipe Borderline Tuberkuloid

8. EFEK SAMPING KORTIKOSTEROID SISTEMIK DAN TOPIKAL
Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk atrofi, striaeatrofise,
telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat,hipopigmentasi,
dermatitis peroral.
Efek samping dapat terjadi apabila :
Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.
Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau
penggunaan sangat oklusif. Efek samping yang tidak diinginkan adalah berhubungan
dengan sifat potensiasinya, tetapi belum dibuktikan kemungkinan efek samping yang
terpisah dari potensi, kecuali mungkin merujuk kepada supresi dari adrenokortikal
sistemik. Denganini efek samping hanya bisa dielakkan sama ada dengan bergantung
pada steroid yanglebih lemah atau mengetahui dengan pasti tentang cara penggunaan,
kapan, dan dimana harus digunakan jika menggunaka
Efek Samping Kortikosteroid topical
Diabetes Melitus
osteoporosis
Dermatitis kontak alergi
steroid atrofi
Komplikasi terapi glukokortikoid sistemik meningkat, sebanding dengan peningkatan
dosis, lamanya terapi dan peningkatan frekuensi administrasi. Osteoporosis dan
katarak dapat terjadi dalam berbagai dosis harian, dan nekrosis avaskular dapat terjadi
pada pemakaian glukokortikoid jangka pendek.
Osteoporosis
o Osteoporosis terjadi pada 40% penderita dengan terapi glukokortikoid;
terutama terjadi pada anak-anak, orang tua dan wanita post-menopause.
Sepertiga dari pasien mengalami fraktur vertebra setelah pemakaian
glukokortikoid selama 5-10 tahun, proporsi ini lebih tinggi pada wanita post-
menopause. Bone loss terjadi dengan cepat pada 6 bulan pertama pemakaian
glukokortikoid, dan berlanjut dengan lebih lambat setelahnya, dengan
pengurangan massa tulang sebanyak 3-10% per tahun. Dalam beberapa kasus,
bone loss dapat reversibel setelah pemakaian glukokortikoid dihentikan,
terutama pada orang muda.
o Glukokortikoid menginhibisi osteoblas, meningkatkan ekskresi kalsium oleh
ginjal, menurunkan absorbsi kalsium oleh usus, dan meningkatkan resorpsi
tulang oleh osteoklas.
o Glukokortikoid juga menurunkan kadar estrogen dan testosteron, yang
merupakan faktor penting pada patogenesis osteoporosis.
o Osteokalsin serum, suatu penanda fungsi osteoblas, menurun, sehari setelah
memulai pemakaian dosis regimen prednison 10 mg per hari; dosis regimen
prednison 7,5 mg per hari atau lebih, dan sering menyebabkan bone loss yang
signifikan dan meningkatkan frekuensi terjadinya fraktur. Trabekula tulang
adalah yang terutama terkena, dan menyebabkan fraktur vertebra yang nyeri.
Nekrosis Avaskular
o Nekrosis avaskular menyebabkan nyeri dan pembatasan gerak pada satu atau
lebih sendi. Dapat terjadi hipertensi intra-ossea yang berakhir pada iskemik
tulang dan nekrosis.
o Umumnya, hipertensi intra-ossea pada orang yang mengkonsumsi
glukokortikoid, disebabkan oleh hipertrofi liposit intra-ossea.
o Selain itu, glukokortikoid menginduksi apoptosis osteoblas, seperti yang biasa
terjadi pada nekrosis avaskular. Penyakit yang mendasari, seperti Systemic
Lupus Erythematosus (SLE), dapat meningkatkan induksi steroid pada
nekrosis avaskular.
o Dari penelitian didapatkan bahwa pasien yang menderita nekrosis avaskular,
mengalami trombofilia atau hipofibrinolisis, yang mengarah pada oklusi
trombotik dari outflow vena tulang, penurunan perfusi arterial, dan infark
tulang.
Aterosklerosis
o Glukokortikoid mendorong banyak faktor resiko yang berhubungan dengan
aterosklerosis, termasuk hipertensi arterial, resistensi insulin, intoleransi
glukosa, hiperlipidemia, dan obesitas sentral. Oleh karena itu, pasien dengan
terapi glukokortikoid, memiliki peningkatan resiko aterosklerosis.
o Pasien dengan Cushings disease yang tidak diobati, memiliki angka
mortalitas empat kali lebih tinggi, akibat komplikasi kardiovaskular, termasuk
penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, dan stroke jantung.
o Faktor-faktor resiko aterosklerosis menetap, selama sedikitnya 5 tahun setelah
normalisasi kadar kortisol serum pada Cushings disease, hal yang sama juga
ditemukan pada pasien dengan terapi glukokortikoid jangka panjang.
Supresi Aksis Hipotalmik-Pituitari-Adrenal
o Aksis Hipotalmik-Pituitari-Adrenal (HPA) dengan cepat disupresi setelah
onset terapi glukokortikoid. Bila terapi dibatasi selama 1-3 minggu, aksis HPA
akan membaik dengan cepat.
o Terapi harian glukokortikoid yang lebih lama, akan menyebabkan supresi
aksis HPA yang menetap sampai satu tahun setelah terapi dihentikan.
o Gejala-gejala dari supresi adrenal antara lain, letargi, lemah, mual, anoreksia,
demam, hipotensi ortostatik, hipoglikemi, dan penurunan berat badan.
o Dijumpai pula sindrom withdrawal dari steroid, di mana pasien mengalami
gejala-gejala insufisiensi adrenal, meskipun tampaknya memiliki respon
kortisol terhadap adreno-corticotropic hormone (ACTH) yang normal. Gejala-
gejala utamanya, termasuk anoreksia, letargi, malaise, mual, penurunan berat
badan, deskuamasi kulit, sakit kepala, dan demam. Sedangkan gejala-gejala
yang jarang terjadi, muntah, mialgia, dan artralgia. Pasien-pasien ini telah
menyesuaikan diri dengan kadar glukokortikoid yang tinggi, dan gejala-gejala
hilang setelah setelah pengulangan pemberian glukokortikoid. Masalah ini
dapat diatasi dengan menurunkan dosis glukokortikoid secara bertahap,
umumnya, 1 mg prednison tiap beberapa minggu.
Efek Samping Imunologi
o Glukokortikoid memperbaiki reaksi hipersensitivitas tipe lambat karena dapat
menginhibisi limfosit dan monosit. Prednison dengan dosis harian 15 mg atau
lebih dapat menekan respon terhadap tuberkulin, meskipun diperlukan waktu
sekitar 13,6 hari untuk prednison oral pada dosis 40 mg per hari untuk
menginhibit respon terhadap tuberkulin. Oleh karena itu, bahkan pada situasi
yang membutuhkan prednison segera, adalah mungkin untuk melakukan tes
purified protein derivat (PPD) terhadap tuberkulin dan panel anergi.
o Secara keseluruhan, terjadi peningkatan insiden infeksi yang dapat disebabkan
oleh glukokortikoid maupun perubahan imunologis yang berhubungan dengan
penyakit yang mendasari.

Efek samping kortikosteroid kepada beberapa tingkat:
Efek Epidermal Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas
kinetik dermal,suatu penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan
pendataran darikonvulsi dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan
tretino intopikal secara konkomitan. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti
vitiligo, telah ditemukan.Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi steroid atau
injeksi steroid intrakutan.
Efek Dermal Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi
dasar. Inimenyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang
lemah akanmenyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan
intradermalyang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot
hemorrhage. Ininantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata, yang
terlihat seperti usiakulit prematur.
Efek Vaskular Efek ini termasuk Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada
awalnya menyebabkanvasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil di superfisial.
Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh
darahyang kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan
edema,inflamasi lanjut, dan kadang-kadang pustulasi.
Ketergantungan atau Rebound: sindrom penarikan kortikosteroid adalah kejadian
sering terlihat, juga disebut Sindrom Kulit Merah. Penghentian total steroid adalah
wajib dan, sementara reversibel, dapat menjadi proses yang berkepanjangan dan sulit
diatasi
Terlalu sering menggunakan steroid topikal dapat menyebabkan dermatitis. Penarikan
seluruh penggunaan steroid topikal dapat menghilangkan dermatitis.
Dermatitis perioral: Ini adalah ruam yang terjadi di sekitar mulut dan daerah mata
yang telah dikaitkan dengan steroid topikal.
Efek pada mata. Tetes steroid topikal yang sering digunakan setelah operasi mata
tetapi juga dapat meningkatkan tekanan intra-okular (TIO) dan meningkatkan risiko
glaukoma, katarak, retinopati serta efek samping sistemik
Tachyphylaxis: Perkembangan akut toleransi terhadap aksi dari obat setelah dosis
berulang tachyphylaxis signifikan dapat terjadi dari hari ke hari 4 terapi. Pemulihan
biasanya terjadi setelah istirahat 3 sampai 4 hari. Hal ini mengakibatkan terapi seperti
3 hari, 4 hari libur, atau satu minggu pada terapi, dan satu minggu off terapi.
Efek samping lokal: Ini termasuk hipertrikosis wajah, folikulitis, miliaria, ulkus
kelamin, dan granuloma infantum gluteale.
Penggunaan jangka panjang mengakibatkan Scabies Norwegia, sarkoma Kaposi, dan
dermatosis yang tidak biasa lainnya.
Jamkhedkar Preeta dkk tahun 1996 pernah melakukan studi untuk mengevaluasi
keamanan dan tolerabilitas fluticasone ini dalam terapi eksim dan psoriasis.
Fluticasone propionate 0.05% dibandingkan dengan krim betamethasone valerate
0,12%. Ada 107 pasien yang menyelesaikan studi, 61 menderita psoriasis dan 46
menderita eksim.
Secara efikasi dan afinitas, fluticasone propionate maupun betamethasone valerate
menunjukkan hasil yang setara. Penipisan kulit, setelah dilakukan ultrasound atau
biopsi tidak signifikan dibandingkan placebo dalam terapi lebih dari 8 minggu,
dengan sekali terapi sehari. Fluticasone propionate sama sekali tidak menimbulkan
efek samping sistemik berupa supresi HPA-axis.
Studi untuk menilai efek samping penggunaan fluticasone propionate, dalam hal ini
supresi HPA-axis, dilakukan oleh Hebert dkk dari University of Texas-Houston
Medical School. Studi dilakukan pada anak-anak (3 bulan-6 tahun) penderita
dermatitis atopik skala luas, yakni hampir 65% permukaan kulit mendapat terapi.
Penilaian studi adalah absennya supresi adrenal dengan pemberian fluticasone
propionate 0,05%. Ternyata tidak ada perbedaan signifikan dalam kadar kortisol rata-
rata, sebelum dan setelah terapi. Pada pasien usia 3 bulan, fluticasone tidak berimbas
pada fungsi HPA axis serta tidak menyebabkan penipisan kulit meskipun diberikan
fluticasone secara ekstensif.
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan
perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Percobaan pada
hewanmenunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil akan
menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada
kaitan dengan efek pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid
yang mencukupi diabsorbsi di kulit memasuki aliran darah wanita hamil. Oleh karena
itu, penggunaan kortikosteroid topikal pada waktu hamil harus dihindari kecuali
mendapat nasehat daridokter untuk menggunakannya. Begitu juga pada waktu
menyusui, penggunaankortikosteroid topikal harus dihindari dan diperhatikan.
Kortikosteroid juga hati-hati digunakan pada anak-anak.

9. Lapisan kulit dari luar ke dalam:

1. Lapisan Epidermis
a. Stratum Korneum :
Lapisan tanduk, tdd dari sel epitel gepeng yang mati, tidak berinti, protoplasmanya berubah menjadi
keratin.
b. Stratum Lusidum :
Lapisan sel gepeng tanpa inti, protoplasmanya berubah menjadi protein eleidin. Lapisan paling jelas di
telapak tangan dan kaki.
c. Stratum Granulosum :
Lapisan keratohialin, 2 / 3 lapis sel sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar (keratohialin) dan
terdapat inti diantaranya. jelas pada telapak tangan dan kaki. mukosa tidak ada lapisan ini.
d. Stratum Spinosum :
Stratum malphigi / prickle cell layer / lapisan akanta. tdd beberapa lapis sel bentuk poligonal dgn
variasi ukuran, protoplasma jernih mengandung glikogen, inti terletak di tengah. antara sel stratum
terdapat intreselular bridges tdd dr protoplasma dan tenofibril/keratin. Perlekatan antara jembatan =
nodulus bizzozero. antara sel spinosum banyak sel langerhans.
e. Stratum Basale :
Tdd sel berbentuk kubus (kolumnar) tersusun vertikal membentuk palisade pada perbatasan dermo-
epidermal. Lapisan epidermis terbawah. Lapisan ini tdd dua sel yaitu sel kolumnar dan sel pembentuk
melanin (melanosit)/ clear cell.

2. Lapisan Dermis
Lapisan bawah epidermis yang jauh lebih tebal dari epidermis.
a. Pars papilare: Bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.
b. Pars retikulare: Bagian yang menonjol ke subkutan, tdd serabut2 penunjang; serabut kolagen,
elastin dan retikulin. dasar / matriks lapisan tdd asam hialuronat dan kondroitin sulfat. serabut kolagen
dibentuk fibroblast yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin.

3. Lapisan Subkutis
Tdd jaringan ikat longgar berisi sel sel lemak didalamnya. Lapisal sel lemak disebut penikulus adiposa,
Fungsi: cadangan makanan, di lapisan ini terdapat ujung2 saraf tepi, pembuluh darah dan getah
bening. Vaskularisasi diatur 2 pleksus. Pleksus superficialis (atas dermis) dan pleksus profunda (di
subkutis). Pleksus dermis bagian atas beranastomosis di papil dermis.

Faal kulit
Fungsi proteksi
Fungsi absorpsi
Fungsi ekskresi
Fungsi persepsi
Fungsi pengahturan suhu tubuh
Fungsi pembentukan pigmen
Fungsi keratinisasi
Fungsi pembentukan Vit. D

10. PENYAKIT MENULAR SEKSUAL (PMS)


I. GONORE

DEFINISI
Gonore mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Gonore
disebabkan oleh gonokok yang ditemuakan oleh Neisser. Kuman tersebut dimasukkan dalam
kelompok Neisseria gonorrhoeae. Kuman ini bersifat gram negatif , tampak di luar dan di dalam
leukosit, tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering, tidak tahan suhu di
atas 39
o
C, dan tidak akan menimbulakan reaksi radang. Daerah yang paling mudah terinfeksi adalah
daerah dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum berkembang (imatur), yakni
pada vagina wanita sebelum pubertas.

GAMBARAN KLINIS
Masa tunas gonore sangat singkat, pada pria umumnya berkisar antara 2-5 hari, kadang-
kadang lebih lama. Pada wanita masa tunas sulit untuk ditentukan karena pada umumnya
asimtomatik. Tempat masuk kuman pada pria di uretra menimbulkan uretritis. Yang peling sering
adalah yretritis anterior akuta dan dapat menjalar ke proksimal dan dapat menyebabkan komplikasi
lokal, asendens serta diseminata. Keluhan subjekstif berupa rasa gatal, panas di bagian distal
uretra di sekitar orifisum uretra eksternum, kemudian disusul disuria polakisuria, keluar duh tubuh
dari ujung uretra yang kadang-kadang disertai darah, dapat pula disertai nyeri pada waktu ereksi.
Pada pemeriksaan tampak orifisum uretra eksternum kemerahan, edema, dan ektropion. Tampak
pula tubuh yang mukopurulen. Pada beberapa kasus dapat terjadi pembesaran kelenjar getah
bening inguinal unilateral atau bilateral. Infeksi pada wanita pada mulanya hanya mengenai serviks
uteri. Dapat asimtomatik kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri pada pinggul bawah. Pada
pemeriksaan serviks tampak merah dengan sekresi dan sekret mukopurulen.Duh tubuh akan terlihat
lebih banyak bila terjadi servisitis akut atau disertaivaginitis yang disebabkan oleh Trichomonas
vaginalis.

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan pembantu
yang terdiri atas beberapa tahapan :
A. Sediaan Langsung
Pada sediaan langsung denagn pengecatan Gram akan ditemukan gonokok negatif-Gram,
intraseluler, dan intraseluler. Bahan duh tubuh pada pria diambil dari daerah fosa navikularis,
sedangkan pada wanita diambil dari uretra, muara kelenjar Bartholin, serviks, dan rektum.
B. Kultur
Untuk identifikasi perlu dilakukan kultur (pembiakan). Dua macam media yang dapat digunakan
ialah media transpor seperti media Stuart dan media Transgrow dan media pertumbuhan seperti
media Thayer-Martin, Modifikasi Thayer-Martin dan Agar coklat McLeod.
C. Tes Definitif
1. Tes oksidasi
Reagen oksidasi yang mangandung larutan tetrametil-p-fenilendiamin hidroklorida 1% ditambahkan
pada koloni gonokok tersangka. Semua Neisseria memberikan reaksi positif dengan perubahan
warna koloni yang semula bening berubah menjadi merah muda sampai merah lembayung.
2. Tes Fermentasi
Tes oksidasi positif dilanjutkan dengan tes fermentasi menggunakan glukosa, maltosa, dan sukrosa.
Kuman gonokok hanya meragikan glukosa.
D. Tes beta-Laktamase
Tes ini menggunakan cefinase TM disc. Apabila kuman yang mengandung enzim beta-laktamase
akan menyebabkan perubahan warna dari uk mengetahui kuning menjadi merah.
E. Tes Thomson
Tes ini berguna untuk mengetahui sampai dimana infeksi sudah berlangsung. Pada tes ini ada
syarat yang perlu diperhatikan :
Sebaiknya dilakukan setelah bangun pagi
Urin dibagi dalam dua gelas
Tidak boleh menahan kencing dari gelas I ke gelas II.
Syarat mutlak ialah kandung kencing harus mengandung air seni paling sedikit 80-100 ml, jika
kurang maka gelas II sukar dinilai karena baru menguras uretra anterior.



PENGOBATAN
Pada pengobatan yang perlu diperhatikan adalah efektivitas, harga, dan sesedikit mungkin efek
toksiknya. Pemilihan regimen pengobatan sebaiknya mempertimbangkan pula tempat infeksi,
resistensi galur N. Gonorrhoeae terhadap anti mikrobial, dan kemungkinan infeksi Chlamydia
Trachomatis yang terjadi bersamaan. Oleh karena seringkali terjadi koinfeksi dengan C.
Trachomatis maka pada seorang dengan gonore dianjurkan pula untuk diberi pengobatan secara
bersamaan dengan rejimen yang sesuai untuk C. Trachomatis.
Banyak antibiotika yang aman dan efektif untuk mengobati gonore. Membasmi N.
Gonorrhoeae, menghentikan rantai penularan, mengurangi gejala dan mengurangi kemungkinan
terjadinya gejala sisa. Pilihan utama ialah Penisilin + probenesid, kecuali di daerah yang tinggi
insidens N. Gonorrhoeae penghasil penisilinase (NGPP). Secara epidimiologis pengobatan yang
dianjurkan ialah obat denagn dosis tunggal. Macam-macam obat yang dapat dipakai adalah antara
lain :
Penisilin
Yang efektif ialah penisilin G prokain akua. Dosis 3-4,8 juta unit + 1 gam probenesid. Obat
tersebut dapat menutupi gejala sifilis . Kontraindikasinya ialah alergi penisilin.
Ampisilin dan amoksisilin
Ampisilin dosisnya ialah 3,5 gram + 1 gram probenesid. Suntikan ampisilin tidak dianjurkan.
Kontraindikasinya ialah alergi penisilin.
Sefalosporin
Seftriakson (generasi ke-3) cukup efektif dengan dosis 250 mg i.m. Sefoperazon denagn
dosis 0,50 sampai 1,00 g secara intramuskular. Dosis ini cukup aman dan efektif untuk mengobati
gonore tanpa komplikasi di semua tempat. Obat ini dapat menutupi gejala sifilis.
Spektinomisin
Dosisnya ialah 2 gram i.m. baik untuk penderita yang alergi penisilin, yang megalami
kegagalan pengobatan dengan penisilin, dan terhadap penderita yang juga tersangka menderita
sifilis karena obat ini tidak menutupi gejala sifilis. Namun obat ini relatif tidak efektif untuk infeksi
gonore pada farings.
Kenamisin
Dosisnya 2 gram i.m. Kebaikan obat ini sama dengan spektinomisin. Kontraindikasinya
kehamilan
Kuinolon
Dari golongan kuinolon, obat yang menjadi pilihan adalah ofloksasin 400 mg, siprofloksasin
250-500 mg, dan norfloksasin 800 mg secara oral. Kuinolon tidak boleh diberikan untuk wanita
hamil atau menyusui ataupun orang yang berusia dibawah 17 tahun.
Obat dengan dosis tunggal yang tidak efektif lagi untuk mengobati gonore saat ini adalah
tetrasiklin, streptomisin, dan spiramisin.
Obat-obat yang dapat digunakan untuk pengobatan gonore denagn galur NGPP adalah
Spektinomisin, kanamisin, sefalosporin, ofloksasin, dan tiamfenikol. Peningkatan frekuensi
timbulnya galur NGPP ini terjadi begitu cepat dan harus kita waspadai. Karena itu pengobatan
gonore dengan penisilin dan derivatnya perlu dipikirkan lagi megenai efektivitasnya.


II. INFEKSI GENITAL NON SPESIFIK

DEFINISI
Infeksi genital non spesifik (IGNS) merupakan satu infeksi traktus genital yang disebabkan
oleh penyebab yang non spesifik yang meliputi uretritis nonspesifik, proktitis nonspesifik pada pria
homoseksual, dan infeksi nonspesifik pada wanita.Uretritis nonspesifik (UNS) adalah peradangan
uretra yang penyebabnya dengan pemeriksaan laboratorium tidak dapat dipastiakn atau diketahui.
Uretritis non gonore (UGN) adalah peradangan uretra yang bukan disebabkan oleh kuman N.
Gonorrhoeae.

GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik infeksi pada pria ditunjukkan dengan keluarnya duh tubuh uretra, berupa
lendir yang jernih sampai keruh. Keluhan yang paling umum adalah waktu pagi hari, tetapi bisa juga
berupa bercak di celana dalam. Nyeri kencing atau disuri merupakan salah satu keluhan yang
banyak dijumpai, dan sangaat bervariasi dari rasa terbakar sampai rasa tidak enak pada saluran
kencing waktu mengeluarkan urin, gatal di saluran kencing, bila peradangan hebat maka pada
waktu muskulus sfingter uretra berkontraksi timbul pendarahan kecil. Pada pemeriksaan klinis
muara uretra tampak tanda peradangan berupa edema dan eritema. Sekret uretra bisa banyak atau
sedikit sekali, atau kadang-kadang terlihat pada celana dalam penderita. Sekret umumnya serosa,
seromukus, mukous, dan kadang bercampur nanah. Gambaran klinis infeksi pada wanita sering tidak
khas, asimtomatik, atau sangat ringan. Bila ada keluhan berupa du tubuh genital yang kekuningan.

DIAGNOSIS
Dasar untuk menegakkan diagnosis IGNS adalah pemeriksaan laboratorium berupa apusan
sekret uretra/ serviks. Pada pemeriksaan sekret uretra dengan pewarnaan gram ditemukan leukosit
> 5 pada pemeriksaan mikroskopis dengan pembesaran 1000 kali. Pada pemeriksaan sekret uretra
dengan pewarnaan gram ditemukan > 30 leukosit per lapangan padang dengan pembesaran 1000
kali.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan anamnesis, pemeriksaan klinis dan
laboratorium aadanya tanda uretritis, serta tidak ditemukan kuman penyebab spesifik.
PENGOBATAN
Tetrasiklin sampai saat ini masih efektif untuk pengobatan Chlamydia dan Ureaplasma
urealyticum. Dosis yang dianjurka adalah 4 kali 500 mg sehari selama 1 minggu atau lebih.
Eritromicin lebih efektif terhadap Ureaplasma dibandingkan terhadap Chlamydia, dosis yang
dianjurkan ialah 4 kali 500 mg selama 1 minggu atau lebih. Obat ini dipakai untuk mengobati wanita
hamil denagn IGNS. Doksisiklin merupakan obat yang paling banyak dianjurkan karena cara
pemakaian yang lebih mudah dan dosis lebih kecil yaitu 2 kali 100 mg selama seminggu atau lebih.
Azithromisin merupakan suatu terobosan baru dalam pengobatan masa sekarang, dengan
dosis tunggal 1 gram sekali minum dan juga efektif untuk gonore.
Tetrasiklin, doksisiklin, dan azitromisin tidak boleh diberikan untuk wanita hamil.
Pengobatan Kombinasi
Sekarang ini diperkenalkan pengobatan kombinasi mengingat insidens infeksi campuran
yang cukup banyak, obat yang digunakan ialah :
1. Thiamfenikol
Dosis 2,5 g hari pertama kemudian 3 kali 500 mg selam 5 hari.
2. Siprofloksasin 500 mg hari pertama, lalu doksisiklin 2 x 100 mg selama 7 hari.
3. Azithromisin 1 gram dosis tunggal.
Dalam pengobatan IGNS harus dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan
terhadap mitra seksual penderita. Penderita dikatakan sembuh bila kontrol setelah pengobatan
dilakukan setiap 7 hari sampai 3 kali berturut-turut tidak ditemukan adanya keluhan dan
pemeriksaan laboratorium menjadi negatif. Pengobatan IGNS dapat dilanjutkan sampai 4 minggu.

11. MIKOSIS
A. Dermatofitosis
Klasifikasi (lokasi)
Tinea kapitis
Tinea barbae
Tinea kruris
Tinea pedis et manum
Tinea unguium
Tinea korporis
Gejala Klinis Khas :
Kelainan berbatas tegas
Polimorfi
Tepi lebih aktif
Disertai rasa gatal
B. Non-Dermatofitosis
Pitiriasis versikolor
Makula/plakat hipopigmentasi/hiperpigmentasi dgn skuama halus
Folikular disertai gatal
Piedra hitam & putih
Benjolan (nodus) sepanjang rambut
Krusta melekat erat pd rambut
Tinea nigra palmaris
Makula tengguli hitam & bersisik

Tinea
Klasifikasi Predileksi Gambaran Klinis
1. Tinea kapitis
Kulit & rambut kepala
Grey patch ribgworm
(non inflammatory)
Kerion (inflammatory)
Black dot ringworm
2. Tinea barbae Dagu & jenggot
Superfisial (seperti tinea
korporis)
Deep -> folikulitis
3. Tinea kruris
Genitokrural, sekitar anus,
bokong, kadang sampai
perut bag. bawah
Lesi berbatas tegas
Tepi meninggi
Polimorfi
Hiperpigmentasi/
likhenifikasi (bila
menahun)
4. Tinea pedis et manum Kaki & tangan
Interdigitalis : Fisura dgn
skuama halus, maserasi
(antar jari IV-V)
Papuloskuamosa kronik
(mocassin foot) : Kering
seluruh tepi kaki &
telapak kaki
Vesikular/ vesikobulosa
: Vesikel sela jari yg
meluas ke punggung
kaki/telapak kaki
Ulseratif akuta (jarang)
5. Tinea unguium Kuku jari tangan & kaki
Bentuk subungual
distalis
Leukonikia trikofita
Bentuk subungual
proksimalis
6. Tinea korporis
Bagian lain yg tidak
termasuk di atas.
Lesi bulat lonjong, batas
tegas
Pinggir lebih aktif,
polimorfi, kadang
polisiklis

12. Gejala Penderita HIV/AIDS Menurut Tingkatan Klinisnya
Tingkat klinis 1 (asimptomatik atau limfadenopati generalisata persisten
(LGP)
1. Tanpa Gejala sama sekali
2. LGP

Pada tingkat ini, penderita belum mengalami kelainan dan dapat melakukan aktifitas normal

Tingkat klinis 2 (dini)
1. Penurunan BB kurang dari 10%
2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis,
ulkus pada mulut yang berulang dan keilitis angularis
3. Herpes Zoster yang timbul pada lima tahun terakhir
4. Infeksi saluran napas berulang
Pada tingkat ini, penderita sudah menunjukan gejala, tetapi aktifitas masih normal.
Tingkat Klinis 3 (menengah)
1. Penurunan BB lebih dari 10%
2. Diare kronik lebih dari 1 bulan, tanpa diketahui penyebabnya
3. Demam yang tidak diketahui sebabnya selama satu bulan, hilang timbul maupun terus
menerus
4. Kandidosis mulut
5. Hairy Leukoplakia
6. TB Paru setahun terakhir
7. Infeksi bacterial berat misalnya pneumonia
Tingkat Klinis 4 (lanjut)
1. HIV Wasting Syndrome >> BB turun lebih dari 10%, demam dan diare kronik lebih dari satu
bulan tanpa diketahui apa sebabnya atau demam dengan kelemahan kronik leih dari 1 bulan
tanpa diketahui sebabnya.
2. Pneumonia Pneumocystis carinii
3. Toksoplasmosis otak
4. Kriptokokosis dengan diare lebih dari satu bulan
5. Kriptokokosis di luar paru
6. Infeksi CMV pada organ tubuh kecuali limpa, hati dan KGB
7. Infeksi Herpes simpleks di mukokutan lebih dari satu bulan atau di alat dalam (visceral),
lama tidak dibatasi.
8. Mikosis apa saja yang endemic, menyerang banyak organ tubuh (diseminata)
9. Mikobakteriosis atipik diseminata
10. Septicemia salmonella non tifoid
11. TB ektra pulmonal
12. Limfoma
13. Sarcoma Kaposi
14. Ensefalopati HIV. Sesuai criteria CDC: gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu aktifitas sehari-hari progresif sesudah beberap minggu atau bulan tanpa
ditemuka penyebab selain HIV.

(Sumber: buku merah Hal: 429)
Tambahan lain tentang HIV/AIDS
1. Singkatan HIV/AIDS (katanya kemarin ini keluar). HIV: Human Immunodeficiency Virus. AIDS
Aquired Immune Deficiency Syndrome
2. Cara penularannya (dulu ada pertanyaan ini, tapi gak sering): dari cairan tubuh (semen,
cairan vagina >> kecil kemungkinan tertular melalui keringat, ASI, air liur, air mata, keringat,
gigitan serangga) , jalur pemindahan darah atau produk darah (misal: transfusi, alat suntik,
alat beda, tato, mikrolesi dsb) dan Jalur transplasental

13. DERMATITIS
Dermatitis peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap pengaruh faktor
eksogen maupun faktor endogen yg timbulkan kelainan kulit polimorfik, residif dan kronik
Etiologi
1. Eksogen :
- bahan kimia (contoh : detergen, asam, basa, oli)
- Fisik (contoh : sinar, suhu)
- Mikro organisme (contoh: bakteri,jamur)
2. Endogen : Pada dermatitis atopik
Tata nama dermatitis berdasarkan :
- Etiologi (dermatitis kontak, medikamentosa, radiodermatitis)
- Morfologi (dermatitis vesikulosa, papulosa, madidans,eksfoliativa)
- Bentuk (dermatitis numularis)
- Lokalisasi (dermatitis tangan, intertriginosa)
- Stadium (dermatitis akut, kronis)

DERMATITIS KONTAK
DKA DKI
EPIDEMIOLOGI Hanya pada orang kulit peka Semua orang
ETIOLOGI Allergen Bahan iritan kuat (bahan pelarut, deterjen,
minyak pelumas, asam, alkali, serbuk kayu)
PATOGENITAS Kontak bahan kimia sederhana
(hapten)/allergen Reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV)
Bahan iritan rusak lapisan tanduk ,
denaturasi keratin, singkirikan lap.tanduk ,
ubah daya ikat air-kulit induksi
vasodilatasi dan tingkatkan permeabilitas
vaskuler
KEADAAN TIMBUL LESI Kontak berulang Kontak pertama
KELUHAN Gatal Perih dan panas
LAMANYA Kronis Akut dan kronis
BENTUK LESI Bentuk eritematosa berbatas kurang
tegas edema, papulovesikel,
vesikel, bula erosi (polimorfik)
AKUT : eritema, vesikel, bula batas tegas
KRONIS : kulit kering, eritema, skuama
hiperkeratosis, likenifikasi, batas tidak
tegas (monomorf)
PATCH TEST (setelah 48
jam dibuka)
Reaksi meningkat (crescendo) Reaksi menurun (decrescendo)
TERAPI Anti histamin (ringan), kortikosteroid
(berat) Prednison 30mg/hari
Hindarkan iritan, pelembab, bila
peradangan kortikosteroid topikal
hidrokortison

Reaksi hipersensitivitas DKA
1. Fase sensitisasi : disebabkan oleh sinyal iritan dari hapten (bahan kimia yg blm diproses)
hanya individu yg sudah mengalami sensitisasi yang kena DKA
2. Fase elitisasi : terjadi pada pajanan ulang hapten

DERMATITIS ATOPIK
Peradangan kulit kronik dan residif, disertai gatal
Epidemiologi : sering pada bayi dan anak-anak, wanita 1,3:1 , keturunan DA
Etiologi : berhubungan dengan peningkatan kadar igE dalam serum, peningkatan eosinofil, riwayat
atopi pada keluarga/penderita, asma bronkial/ rinitis alergik berhubungan secara sistemik (reaksi
imun tipe 1)
Faktor pemicu : anak kecil makanan (telur, susu, gandum,kedelai, kacang tanah), mudah terinfeksi
sering ditemukan s.aureus sehingga tubuh membuat igE spesifik thd superantigen dan degranulasi
mast cell memicu siklus gatal garuk
D.A Infantil D.A Anak D.A remaja & dewasa
Usia 2 bulan 2 tahun 2 tahun 10 tahun >10 tahun
Lokasi Wajah, daerah popok
lesi meluas ke skalp,
leher, pergelangan
tangan, lutut (bila
mulai merangkak)
Lipat siku, lipat lutut,
fleksor pergelangan
tangan, kelopak mata,
leher
Sama D.A anak + dahi
Efluorosensi Eritema, papulo-
vesikel halus (digaruk
menjadi krustalesi
meluas)
Papul lebih banyak,
likenifikasi, skuama
sedkit
Plak papular
eritematosa
berskuama, likenifikasi
Ciri lesi Eksudatif dapat
menjadi generalisata
kronis &residif
Kering Kering, agak
menimbul, gatal
terutama pada malam
hari, saat stress

Penatalaksanaan :
1. Hidrasi kulit krim hidrofilik urea 10% + hidrokortison 1 %
Tegakkan diagnosis dengan 3 kriteria mayor + 3 kriteria minor (kriteria rajfa & hanifin)
NEURODERMATITIS SIRKUMSKIPTA / LIKEN SIMPLEKS KRONIKUS
Peradangan kulit kronis, gatal sekali sampai ganggu tidur-muncul saat tidak sibuk, sirkumskrip
ditandai kulit tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol menyerupai kulit batang kayu didasari
penyakit yang mendasari (gagal ginjal,obstruksi saluran empedu,limfoma hodgkin)
DERMATITIS NUMULARIS
Lesi berbentuk seperti mata uang coin, atau agak lonjong, eritematosa, berbatas tegas, efloresensi
papulovesikel mudah pecah. Setelah pecah penyembuhan mulai dari tengah (berkesan seperti
dermatomikosis)
DERMATITIS STASIS
Dermatitis sekunder akibat insufisiensi kronik vena/ hipertensi vena tungkai bawah . terjadi
pelebaran vena/ varises dan edema mudah terlihat bila pasien berdiri mulai dari permukaan tungkai
bagian bawah medial atau lateral diatas maleolus bertahap meluas.
DERMATITIS AUTOSENSITISASI
Dermatitis akut yg timbul pada tempat jauh dari fokus inflamasi lokal, penyebabnya tidak
berhubungan langsung dengan penyebab fokus inflamasi tersebut. Erupsi vesikular akut dan luas.
Sering berhubungan dengan ekzem kronis tungkai bawah (dermatitis stasis)
DERMATITIS SEBOROIK (tergolong dermatosis eritroskuamosa)
Kelainan kulit eritema dan skuama berminyak dan agak kekuningan batas kurang tegas, ringan
mengenai kulit kepala berupa skuama halus pitiriasis sika (ketombe) pitiriasis steatoides (bentuk
berminyak ) sering meluas ke dahi, glabela, telinga posaurikular dan leher
Pada daerah supraorbital skuama halus di alis mata, kulit di bawahnya eritematosa dan gatal

Anda mungkin juga menyukai