Anda di halaman 1dari 36

BAB I

LAPORAN KASUS


I. IDENTITAS PASIEN
Nomor CM : 380802
Tanggal operasi : 29 September 2014
Nama pasien : Tn. Irwansyah
Alamat : Jl. Kedondong T/12 Mekarsari, Depok
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki

II. ANAMNESIS
Tanggal 28 September 2014, pukul 17:30 WIB
Keluhan utama : Nyeri, bengkak, dan merah pada daerah buah zakar.
Keluhan tambahan : Tidak ada
Riwayat penyakit sekarang
Pasien dirawat di RSPAD Gatot Soebroto 1 hari yang lalu. Satu minggu
sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri dan bengkak di daerah
buah zakarnya. Keluhan disertai demam dan kemerahan di buah zakar. Namun
sekarang pasien sudah tidak demam karena telah diberi antiobiotik selama di
RSPAD. Pasien mengaku memiliki riwayat diabetes sejak 2 tahun yang lalu,
tetapi terkontol dengan minum obat metformin sesuai anjuran dokter. Pasien
juga mengaku pernah di operasi di daerah kening berupa benjolan pada tahun
2012 di RSPAD. Pasien tidak mual, tidak muntah, tidak batuk pilek, tidak
nyeri dada, dan sedikit cemas. Tidak ada gigi palsu, tidak ada alergi obat, dan
makanan.
Riwayat penyakit terdahulu
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat diabetes mellitus : sejak 2 tahun lalu terkontrol
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat sakit kejang : disangkal
f. Riwayat penyakit kuning : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat kencing manis : disangkal
c. Riwayat jantung : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
Kebiasaan
a. Merokok : satu bungkus perhari
b. Menkonsumsi alkohol : disangkal
Riwayat operasi dan anestesi
Riwayat operasi 2012 dengan bius umum, tidak ada komplikasi
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum
Kesadaran : Compos Mentis
BB : 72 kg
Tinggi badan : 168 cm
2. Vital sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 90 x/menit
Frekuensi nafas : 24 x/menit
Suhu : 36,4
0
C per axilla
3. Status Generalis
Kepala : Normocephal, Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik(-),
buka mulut > 2 jari, gigi palsu (-), gigi goyang (-).
Leher : Pembesaran kelenjar tiroid dan KGB (-), pergerakan leher
maksimal.
Thorax : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Suara napas vesikuler, ronki (-/-), whezzing (-/-)
Abdomen :
I : Dinding perut datar
A : Bising usus (+) normal
P : Timpani seluruh lapang perut
P : Nyeri tekan (-)
Urogenital : Hiperemis pada bagian scrotum sampai ke perianal.
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), capilary refil <2 detik
Ruas tulang belakang : Bentuk, postur, dan gerakan dalam batas normal.
Scoliosis (-)
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium (26-09-14)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 13,7 12-16 g/dl
Hematokrit 39 37-43
Eritrosit 5,2 4,3-6,0jt/ul
Leukosit 9.300 5000- 10000 /ul
Trombosit 282.000 150000- 450000 /ul
Kimia Klinis
Glukosa darah (sewaktu) 170 <140 mg/dL
Natrium 139 135-147 mmol/L
Kalium 3.9 3.5-5.0 mmol/L
Klorida 98 95-105 mmol/L
SGPT 12 <41
SGOT 15 <42
Ureum 43 20-50
Kreatinin 1,3 0,5-1,5 mg/dL
Hematologi
Bleeding time 2'00" 13 menit
Clotting time 4'00" 16 menit

Radiologi
o Kesan: Nefrolithiasis sinistra tak tampak pelviokaliektasis atau
kelainan lain kedua ginjal, ultrasonogram organ-organ abdomen
lainnya dalam batas normal, G. Prostat volume 13,41 cc (normal)
EKG : dalam batas normal

IV. DIAGNOSA KERJA
Abses Scrotum dan perianal

V. DIAGNOSA ANASTESI
ASA II dengan diabetes mellitus

VI. RENCANA PEMBEDAHAN
Tutup defek primer

VII. RENCANA ANESTESI
Anestesi regional dengan teknik spinal blok

VIII. KESIMPULAN
Pasien seorang laki-laki berusia 52 tahun, status fisik ASA II dengan diabetes
mellitus dan disertai abses scrotum dan perianal akan dilakukan tindakan tutup
defek primer pada abses dengan rencana anestesi regional dengan teknik spinal
blok.


I. PERSIAPAN PRE-OPERATIF
A. Persiapan pasien
Di ruang perawatan (28 September 2014)
1. Pengecekan Informed consent dan surat persetujuan operasi yang sudah
ditandatangani oleh pasien/keluarga.
2. Anamnesis pasien yang meliputi keluhan utama, keluhan tambahan, riwayat
penyakit, riwayat kebiasaan, dan riwayat penyakit kelarga, dll.
3. Pemeriksaan fisik di ruang perawatan berupa kesadaran pasien dan tanda vital,
status generalis.
4. Pasien dipuasakan sejak pukul 01:00 WIB tanggal 29 mei 2013.

Di ruang persiapan
1. Identifikasi pasien
2. Pasien masuk kamar persiapan dengan memakai baju operasi yang disediakan.
3. Pasien masuk ke kamar operasi dan dibaringkan di meja operasi, segera
memasang EKG, manset, saturasi, infus, dan kanulasi.
4. Monitoring tanda vital dan saturasi pasien.

B. Persiapan Alat Anestesi
-Sepasang glove steril



-Jarum spinal no. 27


Persiapan Alat monitoring
a. Mesin anestesi
- Komponen I : Sumber gas, flowmeter dan vaporizer
- Komponen II : Sirkuit napas / system ventilasi yaitu open , semi open,
semiclose
- Komponen III : Alat penghubung sistem ventilasi dengan pasien yaitu
sungkup muka dan pipa ombak.

b. Elektrokardiografi ( EKG )
c. Sfigmomanometer digital
d. Oksimeter/saturasi
e. Infus set dan cairan infuse

2. Persipan Obat Anestesi
a. TRIAS Anestesi
- Analgetik : Bupivacain HCl 0.5%, Fentanyl, Tramadol, Pethidine,
Morfin
- Hipnotik-Sedatif : Propofol dan Midazolam HCL
- Muscle Relaxan : Atracurium Besylate
b. Obat emergency
- Adrenalin, Sulfas Atropin, Ephedrin
c. Anti emetik
- Ondansentron
d. Antibiotik
- Cefriaxone
e. Spinal anestesi KIT

II. INTRA-OPERATIF
1. Pelaksanaan Spinal Anestesi
2. Monitoring Tanda Vital dan Saturasi
3. Monitoring Resusitasi Cairan
Berat Badan : 72 Kg
a. Maintenance (M) = BB x Kebutuhan cairan perjam
= (10x4)+(10x2)+(41x1)cc/kg/jam
= 101 cc/jam
b. Pengganti puasa (P) = M x Jam puasa
= 101 cc/jam x 8 jam
= 808 cc
c. Jenis operasi (O) kecil = BB x Jenis operasi
= 61 kg x 4 cc/kgbb = 244cc
Pemberian Cairan Pada Operasi ini
Pada jam I
= 50% (P) + M + O
= 50% (808) + 101+ 244
= 749 cc
Pada jam II
= 25%(P) + M + O
= 25% (808) + 101 + 244
= 547 cc
Pada jam III
= 25%(P) + M + O
= 25% (808) + 101 + 244
= 547 cc

III. POST-OPERATIF
1. Monitoring Tanda Vital dan Aldrette Score di Recovery Room
2. Mempersiapkan pasien kembali ke ruang perawatan


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Blokade spinal, kaudal, dan epidural pertama kali digunakan untuk prosedur
pembedahan pada abad ke 20. Blok sentral tersebut secara luas digunakan sebelum
tahun 1940 sampai meningkatnya laporan terjadinya gangguan neurologis permanen.
Akan tetapi, suatu penelitian epidemiologis yang besar tahun 1950 menunjukkan
bahwa sesungguhnya komplikasi jarang terjadi bila blok dilakukan dengan teknik
yang benar dengan perhatian pada sepsis dan penggunaan obat anestesi lokal yang
lebih aman.
1

Blokade spinal, epidural, dan kaudal disebut juga sebagai anestesi neuroaxial.
Setiap blok tersebut dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau dengan kateter
supaya dapat dilakukan suntikan intermiten atau kontinu. Anestesi neuroaxial secara
luas menambah persenjataan ahli anestesi dan merupakan alternatif dari anestesi
umum. Dapat juga digunakan secara simultan dengan anestesi umum atau setelah
anestesi umum untuk pengelolaan nyeri pascabedah serta untuk pengelolaan nyeri
akut dan nyeri kronis.
1

Blokade neuroaxial dapat dilakukan dengan aman bila dikelola dengan baik,
akan tetapi, tetap mempunyai resiko untuk terjadi komplikasi. Reaksi buruk dan
rentang komplikasi dimulai dari yang sembuh sendiri sampai terjadi kerusakan saraf
permanen dan kematian. Karena itu praktisi harus mempunyai pengertian yang baik
tentang anatomi, familier dengan farmakologi dan dosis toksik dari obat yang
digunakan, teknik yang steril dan mampu mengantisipasi dan dengan cepat
mengobati perubahan fisiologi yang terjadi.
1


I. ANATOMI
1. Tulang Punggung (Kolumna vertebralis)
Kolumna vertebralis terdiri atas : 7 vertebra servikal, 12 vertebra thorakal, 5
vertebra lumbal, 5 vertebra sakral, dan 4 vertebra koksigeal.
1,2



2. Peredaran darah
Medula spinalis diperdarahi oleh a. Spinalis anterior dan a. Spinalis posterior
yang berjalan secara longitudinal bersama medula spinalis.
2



3. Lapisan jaringan punggung
Untuk mencapai cairan serebrospinalis, maka jarum suntik akan menembus :
kulit subkutis lig. Suspensorium -> lig. Interspinosum lig flavum
ruang epidural duramater ruang subaraknoid.
2



4. Medula spinalis
Medula spinalis normalnya memanjang dari foramen magnum sampai setinggi
L1 pada orang dewasa. Pada anak-anak medula spinalis berakhir pada L3,
tetapi akan bertambah naik ke kranial seiring dengan pertambahan usia. Serat
saraf anterior dan posterior setiap level spinal berhubungan satu dengan yang
lainna dan keluar melalui foramina intervertebralis dari C1 sampai S5. Di
level servikal, serat saraf muncul dari ruas vertebrae di atasnya, tetapi mulai
T1 serat araf ini keluar dari ruas tulang belakang di sebelah bawahnya.
Sehingga terdapat 8 serat saraf yang keluar dari 7 ruas vertebrae servikal.
Sebenarnya, pada level servikal dan bagian atas thorakal, serat saraf yang
keluar dari medula spinalis hampir setinggi atau dekat dengan tempat
keluarnya di foramen vertebralis. Karena medula spinal yang paling bawah
berbentuk cauda equine (ekor kuda). Oleh karena itu lumbal punksi
dianjurkan dilakukan di kaudal L1 pada orang dewasa dan kaudal L3 pada
anak-anak untuk menghindari trauma medla spinal akibat jarum spinal. Sakus
duralis, ruang subaraknoid dan ruang subdural biasanya memanjang sampai
S2 pada orang dewasa dan sering S3 pada anak-anak. Walaupun begitu,
anestesia kaudal pada anak-anak tetap beresiko masuknya obat ke ruang
subarakhnoid dibandingkandengan orang dewasa.
3



5. Cairan Serebrospinal (CSS)
Cairan Serebrospinal adalah produk ultrafiltrasi plasma yang dihasilkan oleh
pleksus koroideus lateral, ventrikel III, dan IV. Cairan ini diserap oleh vili
arakhnoidea dalam kranium, dengan kecepatan penyerapan normalnya sama
dengan kecepatan produksinya, yaitu sebanyak 0,35 mL/menit atau kurang
lebih 500 mL/hari. Total volume cairan serbrospinalis adalah 120 sampai 150
mL. Tekanan cairan serebrospinalis normalnya pada daerah lumbal adalah
pada posisi pasien horisontal adalah 60 sampai 80 mmH
2
O. Berat jenis cairan
serebrospinalis ini adalah 1,0006 0,0003 pada suhu 37
o
Celsius.
3

II. Fisiologi anestesi spinal
Larutan Anestesi local disuntikkan kedalam ruang subarachnoid yang akan
memblok konduksi impulse saraf walaupun beberapa saraf lebih mudah diblok
disbanding yang lain. Ada 3 klas syaraf, yaitu motoris, sensorys dan autonomic.
Stimulasi saraf motorik menyebabkan kontraksi otot dan ketika itu diblok akan
menyebbakan paralisis otot. Saraf sensory mentransmisikan sensasi seperti nyeri dan
sentuhan ke spinal cord dan dari spinal cord ke otak. Dan saraf autonomic
mengontrol pembuluh darah, heart rate, kontraksi usus, dan fungsi lainnya yang tidak
disadari.
Secara umum pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf
simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan
tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar
(vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya
kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan
urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih.

III. SPINAL ANESTESIA
1. Mekanisme Kerja
Tempat kerja utama dari blokade neuroaxial adalah nerve root/radiks saraf. Obat
anestesi lokal disuntikkan ke CSF (spinal anestesi) atau ruangan epidural ( epidural
dan caudal anestesi) dan merendam root nerve di ruang subarachnoid atau ruang
epidural. Suntikan langsung obat anestesi lokal kedalam CSF untuk spinal anestesi
membutuhkan jumlah volume dan dosis yang relatif kecil dibandingkan dengan
epidural dan kaudal anestesia. Blokade transmisi neural (konduksi) dari serabut nerve
root posterior memblok sensasi somatik dan visceral, sedangkan blokade nerve root
anterior mencegah outflow otonom dan eferent motoris.
1


Blokade Somatik
Dengan menghentikan transmisi stimuli nyeri dan menghilangkan tonus otot
skelet, blokade neuroaxial dapat memberikan kondisi pembedahan yang ekselen.
Blokade sensoris menghambat nyeri somatik dan visceral, sedangkan blokade motoris
menyebabkan relaksasi otot skelet. Efek obat anestesi lokal pada serabut saraf
bervariasi bergantung pada ukuran serabut saraf, bermielin, dan konsentrasi serta
lamanya kontak. Akar nerves spinalis terdiri dari gabungan bermacam serabut saraf.
Serabut yang lebih kecil dan bermielin umumnya lebih mudah diblok daripada
serabut saraf yang lebih besar dan tidak bermielin. Kenyataan bahwa konsentrasi obat
anestesi lokal menurun dengan meningkatnya jarak dari level penyuntikan,
menerangkan fenomena perbedaan blokade.
1


Blokade Otonom
Penghentian transmisi otonom pada radiks saraf spinal dapat menimbulkan
blokade saraf simpatis dan parasimpatis. Simpatic outflow dari medula spinalis
adalah di torakolumbal, sedangkan parasimpatis outflow di craniosacral.
1


2. Indikasi
2

- Bedah ekstrimitas bawah
- Bedah panggul
- Tindakan sekitar rektum-perineum
- Bedah obstetri-ginekologi
- Bedah urologi
- Bedah abdomen bawah
- Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasikan dengan
anestesia umum ringan

3. Kontraindikasi
2,3

Absolut
Infeksi pada tempat suntikan
Pasien menolak
Koagulopati atau gangguan perdarahan lainnya
Hipovolemia berat, syok
Peningkatan tekanan intrakranial
Stenosis aorta berat
Mitral stenosis berat
Fasilitas resusitasi minim
Kurangnya pengalaman/tanpa didampingi konsultan anestesia
Relatif
Sepsis
Pasien tidak kooperatif
Defisit neurologis
Lesi valvula jantung stenosis
Deformitas spinal berat
Bedah lama
Kelanan psikis
Kontroversi
Pernah dioperasi pada tempat suntikan
Ketidakmampuan komunikasi dengan pasien
Operasi yang lama, perdarahan banyak, tindakan yang
mempengaruhi fungsi pernafasan


4. Teknik Anestesia Spinal
Posisi Pasien
a. Sitting position (posisi duduk).
Anatomi midline paling mudah bila pasien duduk dibandingkan dengan bila pasen
dalam posisi lateral decibitus, terutama pada pasien obesitas. Pasien duduk dengan
siku terletak di paha atau memeluk bantal. Fleksi spine (like a mad cat)
memaksimalkan target area antara prosesus spinosus dan membawa spine mendekati
kulit. Garis yang menghubungkan titik tertinggi krista iliaka kanan-kiri disebut Garis
Tuffier. Garis yang menghubungkan posterior superior spina iliaka melewati
foramina S2.
1


Gambar. Sitting position for neuraxial blockade. Note an assistant helps in obtaining
maximal spinal flexion.


Gambar. The effect of flexion on adjacent vertebrae. Posterior view (A). Lateral view (B).
Note the target area (interlaminar foramen) for neuraxial blocks increases in size with
flexion


b. Lateral decubitus
Banyak klinisi yang lebih menyukai posisi lateral untuk blok neuroaksial. Pasien
berbaring pada satu sisi dengan lutut fleksi dada ditarik semaksimal mungkin kearah
dada atau abdomen, seperti posisi fetal (disebut fetal position).
1

c. Posisi prone
Posisi ini digunakan untuk prosedur anorektal utilizing obat anestesi lokal yang
hipobarik. Keuntungannya blok ini dikerjakan pada posisi yang sama seperti posisi
untuk prosedur pembedahannya (jackknife). Kerugian teknik ini adalah CSF tidak
bebas mengalir melalui jarum, maka penusukan yang tepat tidak dapat
dikonfirmasikan dengan aspirasi CSF. Posisi prone juga digunakan bila diperlukan
tuntunan flurokopi.
1


Gambar. Lateral decubitus position for neuraxial blockade. Note again the assistant
helping to provide maximal spine flexion



Prosedur
a. Posisikan pasien (duduk, lateral dekubitus, atau prone)
b. Identifikasi space atau celah antar ruas tulang vertebrae
c. Pakai sarung tangan dan kemudian periksa alat alat apakah sudah dalam
kondisi steril.
d. Ambillah obat anestesi local yang akan disuntikkan secara intratekhal dengan
jarum suntik 5 ml dari ampul dan pstikan bahwa jarum tidak menyentuh
bagian luar ampul yang tidak steril.
e. Ambillah obat anestesi local yang akan digunakan untuk infiltrasi kulit
kedalam jarum suntik 2 ml.
f. Bersihkan punggung pasien dengan kapas dan antispetik dan pastikan sarung
tangan tidak menyentuh bagian kulit yang tidak steril
g. Carilah ruang interspinosa, mungkin akan dibutuhkan penekanan yang lebih
dalam pada pasien yang gemuk untuk menvari ruang interspinosa
h. Lakukan penyuntikan dengan menggunakan jarum spinal (MIDLINE
APPROACH/PARAMEDIAN)
- MIDLINE APPROACH
Pendekatan ini adalah yang paling populer dan paling sering
dilakukan. Setelah celah diidentifikasi maka jarum penuntun (jika
menggunakan jarum penuntun) atau jarum berisi anestetika lokal untuk
infiltrasi disuntikan pada garis tengah sampai kedalam jarum kira-kira
sampai di ligamentum interspinosum).
- PARAMEDIAN
Pada pendekatan paramedian ini secara anatomi celah yang akan
dilalui oleh jarum spinal lebih besar dibandingkan dengan midline posisi
atau lokasi penyuntikan adalah 2 cm ke lateral dan 2 cm ke arah kaudal.
Pada titik ini diakukan penyuntikan dengan besar sudut 10-25 derajat dari
midline yang diarahkan ke titik seperti pada pendekatan midline. Pada
pendekatan paramedian jarum tidak melewati ligamentum intespinosum.
Oleh karena itu identifikasi ligamentum flavum dan masuknya ujung
jarum ke ruang epidural dengan sensasi hilang tahanan sering sulit
dibedakan dibandingkan dengan pada pendekatan midline.
i. Gunakan introducer jika menggunakan jarum 24-25 gauge
j. Suntikan obat anestesi local yang sudah disiapkan kedalam tempat suntikan
yang ditentukan dengan menggunakan jarum dispossible 27-gauge, 26-gauge
atau 25-gauge.
5. Komplikasi
1

Komplikasi yang dihubungkan dengan Perubahan Respon Fisiologi
High Neural Blokade
Blokade saraf dengan level tinggi dapat terjadi baik dengan anestesi spinal atau
anestesi epidural. Pasien sering mengeluh sesak nafas dan mati rasa dan lemah pada
ekstremitas atas. Mual dengan atau tanpa muntah sering terjadi mendahului hipotensi.
Harus diingat pasien harus ditenteramkan hatinya, pemberian oksigen dinaikan, serta
hipotensi dan bradikardi harus dikoreksi.
Anestesi Spinal yang menaik ke level servikal menyebabkan hipotensi berat,
bradikardi, dan depresi nafas. Tidak sadar, apnoe, dan hipotensi akibat blok spinal
tinggi disebut sebagai high spinal atau total spinal. Hipotensi berat yang berlangsung
terus menerus dengan blok sensoris yang lebih rendah juga dapat membawa kearah
terjadinya apnoe akibat hipoperfusi batang otak. Anterior Spinal Artery Syndrome
telah dilaporkan terjadi setelah anestesi neuroaksial, mungkin disebabkan hipotensi
berat yang lama bersama-sama dengan peningkatan tekanan intraspinal.
Terapi untuk blok neuroaksial tinggi adalah mempertahankan airway dan ventilasi
adekuat dan support sirkulasi. Bila terjadi depresi nafas, tambahan dari suplement
oksigen adalah mungkin diperlukan melakukan assisted ventilasi, intubasi, dan
ventilasi mekanis. Hipotensi diterapi dengan pemberian cepat cairan intavena, posisi
head down, dan pemberian vasopressor secara agresif. Epinefrin harus segera
digunakan bila efedrin atau penilefrin tidak berefek. Bradikardi harus segera diterapi
dengan sulfas atropin. Efedrin atau epinefrin juga dapat meningkatkan denyut
jantung. Kalau pengendalian hemodinamik dan respirasi segera tercapai dan dapat di
maintenance setelah high atau total spinal, operasi dapat diteruskan.

Cardiac Arrest selama Anestesi Spinal
Banyak klinisi percaya bahwa penyebab henti jantung adalah oversedasi dan
hipoventilasi yang tidak terdeteksi. Suatu pengujian yang baru pada masalah ini
menunjukkan respons vagal dan penurunan preload merupakan faktor kunci dan
menyokong bahwa pasien dengan tonus vagal yang tinggi beresiko untuk terjadinya
henti jantung. Pemberian cairan profilaksis dianjurkan dan terapi dini dan segera dari
bradikardi dengan vagolitik (atropin) dan bila diperlukan diikuti dengan efedrin dan
epinefrin.


Retensi Urine
Blokade radiks saraf S2-S4 dengan obat anestesi lokal menurunkan tonus vesica
urinaria dan menghambat refleks kencing. Harus dipasang kateter urine untuk semua
pasien yang dilakukan neuroaksial blok. Kalau kateter tidak dipasang, diperlukan
monitoring ketat untuk melihat pasien sudah bisa kencing. Disfungsi vesica urinaria
yang menetap dapat terjadi sebagai komplikasi serius cedera neuron.

Komplikasi yang dihubungkan dengan Pemasangan Jarum atau Kateter
1

Anestesi atau Analgesi Tidak Adekuat
Sama dengan teknik anestesi regional lainnya, blokade neuroaksial adalah teknik
blind yang mengandalkan dari tanda tidak langsung dari penempatan jarum yang
tepat. Hal ini tidak aneh, bila dihubungkan dengan kegagalan kecil tapi signifikan
yang berbanding terbalik dengan pengalaman klinisinya. Target anestesi spinal (ada
aliran CSF) lebih pasti daripada loss of ressistance. Kegagalan masih bisa terjadi
walaupun nyata keluar CSF yang dapat disebabkan karena pergerakan jarum selama
penyuntikkan, ujung jarum yang tidak lengkap masuk ruangan subarachnoid,
suntikan subdural, atau hilangnya potensi obat anestesi lokal. Larutan tetracain bila
disimpan dalam jangka waktu lama pada temperatur tinggi akan hilang potensinya.

Suntikan I ntravaskuler
Suntikan obat anestesi lokal kedalam intravaskuler yang tidak disengaja untuk
epidural atau caudal anestesi akan menyebabkan sangat tingginga level obat didalam
serum. Konsentrasi tinggi obat anestesi lokal mempengaruhi SSP (menimbulkan
kejang dan hilangnya kesadaran) dan sistem kardiovaskuler (hipotensi, aritmia,
kolaps kardiovaskuler). Disebabkan dosis obat untuk spinal anestesi relatif kecil
komplikasi ini terutama terlihat bila dilakukan anestesi epidural atau caudal. Obat
anestesi lokal mungkin disuntikan langsung kedalam pembuluh darah melaui jarum
atau kateter yang masuk kedalam darah vena.


Backache
Ketika jarum masuk menembus kulit, jaringan subkutis, otot, dan ligamen
menyebabkan tingkatan trauma jaringan yang berbeda. Suatu respons inflamasi lokal
dengan atau tanpa refleks spasme otot merupakan penyebab terjadinya backache
pascabedah. Sakit punggung pascabedah umumnya ringan dan sembuh sendiri,
walaupun berakhir beberapa minggu. Bila diperlukan terapi, asetaminofen, NSAID,
kompres hangat atau dingin dapat menolong. Walaupun sakit punggung umumnya
jinak, mungkin merupakan tanda klinis penting adanya komplikasi yang lebih berat
misalnya abses atau hematom epidural.

Postdural Puncture Headache
Setiap robekan dura dapat menyebabkan Postdural Puncture Headache (PDPH).
Keadaan ini dapat terjadi setelah tusukan lumbal untuk diagnosa, mielogram, anestesi
spinal, atau suatu epidural wet tap dimana jarum epidural melalui ruangan epidural
dan masuk ruangan subarachnoid. Hal yang sama, kateter epidural menembus dura
dan menimbulkan PDPH. Khasnya, PDPH sakit kepalanya bersifat bilateral, frontral,
atau retroorbital, occipital, dan meluas keleher. Mungkin berdenyut-denyut atau
konstan dan dihubungkan dengan fotofobia dan mual. Tanda dari PDPH adalah
dihubungkan dengan posisi tubuh. Nyeri menghebat dalam posisi duduk atau berdiri
dan berkurang bila berbaring terlentang. Onset sakt kepala umumnya 12-2 jam
setelah tusukan dura, akan tetapi, dapat juga segera terlihat. Bila tidak diobati, nyeri
akan berlangsung berminggu-minggu tapi jarang memerlukan tindakan pembedahan
untuk reparasi dura.
PDPH dipercaya akibat dari bocornya CSF dari defect dura dan menurunkan
tekanan intrakranial. Hilangnya CSF lebih cepat daripada produksinya menyebabkan
traksi dari struktur yang menyokong otak, terutama dura dan tentorium. Peningkatan
traksi pada pembuluh darah juga berperanan timbulnya nyeri. Kejadian PDPH
berhubungan secara jelas dengan ukuran jaum, tipe jarum, dan populasi. Lebih besar
ukuran jarum, lebih besar kejadian PDPH. Ujung jarum cutting/tajam lebih besar
kejadian PDPH dari pada pencil point dalam ukuran besar jarum yang sama. Faktor-
faktor yang meningkatkan resiko PDPH antara lain umur muda, jenis kelamin wanita,
dan kehamilan. Kejadian tertinggi adalah bila terjadi tusukan dura oleh jarum
epidural pada pasien obstetri (mungkin setinggi 20-50%). Kejadian paling rendah
pada geriatri dan memakai jarum no 27 (kejadiannya < 1%). Penelitian pasien
obstetri yang dilakukan spinal anestesi untuk SC dengan jarum kecil tipe pencil
point, kejadian PDPH sekitar 3-4%.
Terapi konservatif seperti posisi recumbent, analgesik, pemberian cairan peroral
atau intavena, dan caffein. Mempertahankan posisi pasien supine akan menurunkan
tekanan hidrostatik dan membawa air keluar dari dural hole dan mengurangi sakit
kepala. Analgesik dapat diberikan mulai asetaminofen sampai NSAID. Hidrasi dan
caffein bekerja untuk mengstimulasi produksi CSF. Coffein juga mempunyai efek
vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial. Feses harus lunak dan diet lunak untuk
mengurangi mengejan Valsalva. Sakit kepala akan menetap beberapa hari meskipun
diberi terapi konservatif.
Neurological I njury
Mungkin tidak ada komplikasi yang lebih mengejutkan atau menyulitkan
daripada kerusakan saraf permanen setelah neuroaksial blok, setelah penyebab karena
epidural hematom atau epidural abses dikeluarkan. Radiks saraf atau medulla spinalis
mungkin telah cedera. Cedera medulla spinalis mungkin dihindari apabila blokade
neuroaksial dilakukan dibawah L1 pada dewasa atau dibawah L3 pada anak -anak.
Neuropati perifer postoperatif dapat disebabkan karena trauma fisik langsung pada
radiks saraf. Walaupun dapat sembuh spontan, beberapa permanen. Beberapa dari
defisit dihubungkan dengan parestesi dari jarum atau kateter atau mengeluh nyeri
selama penyuntikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usaha penusukan yang
berkali-kali pada kasus yang sulit merupakan faktor resiko. Suntikan harus segera
dihentikan dan jarum dicabut bila ada rasa sakit. Suntikan langsung pada medulla
spinalis dapat menyebabkan paraplegia. Kerusakan pada conus medularis dapat
menyebabkan disfungsi sacral yang terisolasi termasuk paralis pada biceps femoralis;
anestesi pada paha posterior, daerah sadle, ibu jari kaki, hilangnya fungsi kandung
kencing dan bowel.

Hematoma Spinal atau Epidural
Trauma akibat jarum atau kateter pada vena epidural sering menyebabkan
perdarahan ringan didalam kanalis spinalis yang pada umumnya sembuh sendiri.
Spinal hematom yang jelas secara klinis dapat terjadi setelah anestesi spinal atau
anestesi epidural, terutama dengan adanya pembekuan yang abnormal atau gangguan
perdarahan. Kejadian hematom kira-kra 1:150.000 untuk blok epidural dan 1:220.000
untuk spinal anestesi. Beberapa mempunyai hubungan dengan kesulitan teknik atau
block yang berdarah-darah. Itu harus dicatat bahwa banyak hematom terjadi segera
setelah penarikan kateter epidural. Jadi pemasangan atau penarikan kateter
merupakan faktor resiko.
Insult patologis pada medulla spinalis dan saraf disebabkan karena efek kompresi
dari massa pada jaringan saraf dan menyebabkan tekanan langsung dan menyebabkan
injury dan iskemia. Gejalanya adalah punggung seperti diiris dan nyeri kaki dengan
mati rasa dan kelemahan motoris dan atau disfungsi sphincter.

Meningitis dan Arachnoiditis
Infeksi ruangan subarachnoid setelah neuroaksial blok adalah akibat kontaminasi
alat atau larutan yang disuntikkan, atau dari organisme dari kulit. Untungnya, hal ini
jarang terjadi. Arachnoiditis, komplikasi neuroaksial yang jarang terjadi, dapat
infeksious atau noninfectious. Secara klinis, hal ini ditandai dengan nyeri dan
symptom neurologis lain dan pada pemeriksaan MRI terlihat adanya gumpalan radiks
saraf.
6. Faktor yang mempengaruhi lama kerja anestesia lokal
2

Lama kerja anestesia lokal bergantung pada :
- Jenis anestesia lokal
- Besarnya dosis
- Ada tidaknya vasokonstriktor
- Besarnya penyebaran anestetika lokal
7. Obat anestesia spinal
a. Obat anetetik
Bupivacaine
Definisi
Sebuah anastesi lokal yang long-acting yang sering digunakan untuk blok
saraf, persalinan, anestesi epidural dan anastesi subdural. Bupivakain (Rinn) adalah
obat bius lokal milik kelompok amino amida. Bupivakain adalah anestesi lokal yang
menghambat generasi dan konduksi impuls saraf. Hal ini umumnya digunakan untuk
analgesia oleh infiltrasi sayatan bedah. Penggunaan preemptive analgesik (termasuk
anestesi lokal digunakan untuk mengontrol nyeri pasca operasi) yaitu sebelum cedera
jaringan, disarankan untuk memblokir sensitisasi sentral, sehingga mencegah rasa
sakit atau nyeri membuat lebih mudah untuk mengontrol.
Indikasi dan Penggunaan untuk Bupivakain
4

Bupivakain diindikasikan untuk anestesi lokal termasuk infiltrasi, blok saraf,
epidural, dan intratekal anestesi. Bupivakain sering diberikan melalui suntikan
epidural sebelum artroplasti pinggul Obat tersebut juga biasa digunakan untuk luka
bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai 20 jam setelah
operasi. Bupivacaine dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk
memperpanjangdurasi efek obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil
untuk analgesi epidural
Kontra Indikasi
4

Pada pasien dengan alergi terhadap obat golongan amino-amida dan anestesi
regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan adanya
absorpsi sistemik dari obat tersebut, hati-hati terhadap pasien degan gangguan hati,
jantung, ginjal, hipovolemik, hipotensi, dan pasien usia lanjut.

Farmakodinamik
2, 4

Bupivacaine adalah agent anastesi local yang sering digunakan untuk injeksi
spinal pada tulang belakang untuk anatesi total bagian pinggul kebawah. Bupivacaine
bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok influk
natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan
serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan
tidak memiliki selubung mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke
dalam serabut saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa
proprioseptif yang mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.
Bupivacaine mempunyai lama kerja obat yang lebih lama dibandingkan dengan obat
anastesi local yang lain. Pada pemberian dosis yang berlebihan dapat menyebabkan
toxic pada jantung dan system saraf pusat. Pada jantung dapat menekan konduksi
jantung dan rangsangan, yang dapat menyebabkan blok atrioventrikular, aritmia
ventrikel dan henti jantung, dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu,
kontraktilitas miokard dan depresi vasodilatasi perifer terjadi, menyebabkan
penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri. Efek pada SSP mungkin termasuk
eksitasi SSP (gugup, kesemutan di sekitar mulut, tinitus, tremor, pusing, penglihatan
kabur, kejang) diikuti oleh mengantuk, hilangnya kesadaran, depresi pernafasan dan
apnea).
Farmakokinetik
4

Digunakan secara injeksi epidural dan bersifat lipofilik dimana 95% terikat protein
plasma, absorpsi bupivacaine dari ruang subarachnoid relatif lambat, yaitu 0,4 mg/ml
pada setiap 100 mg yang diinjeksikan sehingga konsentrasi maksimal di plasma sulit
dicapai. Setelah disuntikkan di ruang subarachnoid dosis maksimal (20 mg) akan
menghasilkan konsentrasi plasma < 0,1 mg/ml. Bupivacaine dimetabolisir oleh hepar
menjadi 2,6 pipecolylxylidine serta derivetnya, hanya 6% yang diekskresikan dalam
bentuk yang tak berubah. Bupivacaine dapat menembus plasenta. Karena ikatan
protein pada fetus kurang dibandingkan ibu, maka konsentrasi total plasma akan lebih
tinggi pada ibu, walaupun konsentrasi obat bebas plasma.
Mula Kerja Obat
3

Anestesi lokal seperti bupivakain memblok generasi dan konduksi impuls saraf,
mungkin dengan meningkatkan ambang eksitasi untuk listrik pada saraf, dengan
memperlambat penyebaran impuls saraf, dan dengan mengurangi laju kenaikan dari
potensial aksi. Bupivakain mengikat bagian saluran intraseluler natrium dan memblok
masuknya natrium ke dalam sel saraf, sehingga mencegah depolarisasi.
Lama kerja obat
1

SHORT act MEDIUM act LONG act
Prototipe Prokain Lidokain Bupirokain
Gol Ester Amida Amida
Onset 2 5 15
Durasi 30-45 60-90 2-4jam
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 2 10
Dosis max 12 Mg/KgBB 6 mg/KgBB 2 Mg/KgBB
Metabolisme Plasma Liver Liver

Dosis dan penggunaan
1

Dosis (mg) Lama kerja
(menit)

Obat Sediaan Perineum/
lower
limb
Abdomen
bawah
Abdomen
atas
Polos Epinefrin
Procain

Larutan
10%
75 125 200 45 60
Bupivacain 0,75%
dalam
8,25%
4-10 12-14 12-18 90-120 100-150
dextrose
Tetracaine Larutan
1%
dalam
glukose
10%
4-8 10-12 10-16 90-120 120-240
Lidokain
1)
5%
dalam
7,5%
glukose
25-50 50-75 75-100 60-75 60-90
Ropivacaine
2)
Larutan
0,2%-
1%
8-12 12-16 16-18 90-120 90-120
1) sudah tidak dianjurkan lagi. Harus diencerkan menjadi < 2,5%
2) pada labelnya tidak dipakai sebagai spinal anestetika

Efek Samping dan toksisitas
Bupivacaine mempunyai ikatan dengan protein tinggi dan kelarutan dalam
lemak yang tinggi, menyebabkan tingginya durasi dan potensi kardiotoksisitasnya.
Pada konsentrasi tinggi obat anestesi local akan menghambat respirasi mitokondria
pada sel yang mempunyai metabolisme cepat, sehingga akan menurunkan
pembentukan ATP, efek ini tergantung pada lipofilisitas obat anestasi local, dan
bupivacaine mempunyai lipofilisitas yang tinggi, hal inilah yang menyebabkan
kardiotoksisitasnya tinggi. Ikatan bupivacaine pada chanel Na pada sistem konduksi
jantung 100% lebih lama dibandingkan dengan lidokain, hal ini karena bupivacaine
bersifat fast-in, slow-out terhadap chanel Na sedangkan lidokain bersifat fast-in, fast-
out. Hal ini menyebabkan bupivacaine 9 kali lebih kardiotoksik dibandingkan
lidokain.
Pada saat bupivacaine masuk ke sistemik, bupivacaine akan berikatan dengan
protein. Tetapi bila tempat pengikatan protein sudah jenuh terikat dengan
bupivacaine, penambahan dosis bupivacaine secara cepat akan menimbulkan
toksisitas. Sehingga toksisitas bupivacaine sering muncul sebagai neurotoksisitas
stimulaneus (kejang) terlebih dahulu sebelum akhirnya muncul kardiotoksisitas.
Kardiotoksisitas yang muncul berupa fibrilasi ventrikel dan high-grade conduction
block. Resusitasi sangat sulit untuk berhasil (sekitar 70% mortalitas, separuh dari
yang selamat dengan disabilitas jangka panjang).
Efek samping pada kardiovaskuler dapat berupa efek toksik konsentrasi bupivacaine
plasma yang tinggi, sehingga menyebabkan efek pada jantung, berupa hipotensi
kerena relaksasi otot polos arteriol dan depresi langsung pada miokard, sehingga
menurunkan resistensi vaskuler sistemik dan cardiac output.
b. Opioid
Tramadol
4,5

Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol mengikat
secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghambat
sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Disamping itu tramadol menghambat
pelepasan neurotransmiter dari saraf aferen yang sensitif terhadap rangsang,
akibatnya impuls nyeri terhambat. Tramadol peroral diabsorpsi dengan baik dengan
bioavailabilitas 75%. Tramadol dan metabolitnya diekskresikan terutama melalui urin
dengan waktu 6,3 7,4 jam.
Indikasi : Untuk pengobatan nyeri akut dan kronik yang berat, nyeri pasca
pembedahan.
Dosis : Dewasa dan anak di atas 16 tahun :
Dosis umum : dosis tunggal 50 mg Dosis tersebut biasanya cukup untuk meredakan
nyeri, apabila masih terasa nyeri dapat ditambahkan 50 mg setelah selang
waktu 4 6 jam.
Dosis maksimum 400 mg sehari.
Dosis sangat tergantung pada intensitas rasa nyeri yang diderita. Penderita
gangguan hati dan ginjal dengan bersihan klirens < 30 mL/menit : 50 100
mg setiap 12 jam, maksimum 200 mg sehari.
Dosis yang dianjurkan untuk pasien dengan cirrhosis adalah 50 mg setiap 12 jam.
Efek samping
Efek samping yang umum terjadi seperti pusing, sedasi, lelah, sakit kepala, pruritis,
berkeringat, kulit kemerahan, mulut kering, mual, muntah, dispepsia dan konstipasi
c. Antiemetik
5

Ondansetron

Ondansetron adalah suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif.
Penggunaan Ondansetron adalah mencegah dan mengobati mual dan muntah pasca
bedah. Diberikan dengan cara IV secara lambat, 4 mg, tanpa diencerkan dalam 1-5
menit. Jika perlu dosis dapat diulang. Awitan aksi terjadi dalam waktu <30 menit,
dengan lama aksi 12-24 jam.



BAB III
PEMBAHASAN
Ny. EW, 47 tahun, BB 61 kg, TB 156 cm, didiagnosis Batu ureter proximal
sinistra. Dari hasil anamnesa pasien mempunyai riwayat hipertnsi dengan pengobatan
amlodipin 1x5 mg PO dan lipitor 1x1 PO. Keluahan seperti batuk, ilek, sesak napas,
demam, dan nyeri dada disangkal. Riwayat penyakit kencing manis, asma, disangkal.
Pasien mengaku mempunyai riwayat alergi terhadap udang, dan riwayat operasi
dengan bius total, tidak ada komplikasi post operasi. Dari hasil pemeriksaan tanda
vital dalam batas normal. Pemeriksaan head to toe didapatkan kepala dalam batas
normal, leher dalam batas normal, thorax dalam datas normal, abdomen dalam batas
normal, ekstremitas dalam batas normal, tidak ditemukan adanya scoliosis. Kesan
pasien dengan ASA II, dengan hipertensi terkontrol dan kardiomegali.
Proses anestesi untuk tindakan operasi pada pasien ini menggunakan anestesi
regional menggunakan teknik anestesi spinal sesuai dengan indikasi dari pasien.
Spinal anestesi paling baik digunakan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum. Tidak ditemukan kontraindikasi baik yang relatif maupun
absolut dari pasien sehingga teknik anestesi spinal merupakan pilihan yang cocok

Pre Operatif
Persiapan pra operatif pada pasien ini meliputi persiapan alat, penilaian dan
persiapan pasien, serta persiapan obat anestesi yang diperlukan. Penilaian dan
persiapan pasien di antaranya meliputi :
a. Penilaian klinis penanggulangan keadaan darurat
b. Informasi
1) Riwayat alergi obat, hipertensi, diabetes mellitus, operasi
sebelumnya, asma
2) Riwayat keluarga (penyakit dan komplikasi anestesia)
3) Menilai daerah sekitar tempat tusukan apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan tulang punggung dan sebagainya.
4) Menilai tanda-tanda vital
5) Edukasi makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung
karena regurgitasi atau muntah pada saat anestesi)
c. Persiapan informed concent, suatu persetujuan medis untuk mendapatkan
ijin dari pasien sendiri dan keluarga pasien untuk melakukan tindakan
anestesi dan operasi.
Intra Operatif
1. Pelaksanaan Spinal Anestesi
2. Monitoring Tanda Vital dan Saturasi
3. Monitoring Resusitasi Cairan
Berat Badan : 61 Kg
d. Maintenance (M) = BB x Kebutuhan cairan perjam
= (10x4)+(10x2)+(41x1)cc/kg/jam
= 101 cc/jam
e. Pengganti puasa (P) = M x Jam puasa
= 101 cc/jam x 8 jam
= 808 cc
f. Jenis operasi (O) kecil = BB x Jenis operasi
= 61 kg x 4 cc/kgbb = 244cc
Pemberian Cairan Pada Operasi ini
Pada jam I
= 50% (P) + M + O
= 50% (808) + 101+ 244
= 749 cc
Pada jam II
= 25%(P) + M + O
= 25% (808) + 101 + 244 = 547 cc
Pada jam III
= 25%(P) + M + O
= 25% (808) + 101 + 244
= 547 cc
Post operatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post
operasi dengan dilakukan pemantauan secara ketat setiap 15 menit, meliputi
vital sign (tekanan darah, nadi, suhu dan respirasi). Oksigen tetap diberikan 4-
6 liter/menit. Pada saat diberikan analgetik tramadol 100 mg dan pethidin 25
mg pasien mengelu mual dan pusing.
Saat masuk ke recovery room hasil Aldrrete score didapatkan nilai 9. Setelah
kondisi stabil dan nilai Aldrrete score 10 pasien dipindahkan ke ruang
perawatan.

Instruksi Pasca Bedah
- Bila kesakitan : tramadol dan pethidin diganti dengan paracetamol
3x500 mg PO
- Bila mual/muntah : diberikan Ondansetron 3x4 mg IV
- Antibiotik : Ceftriaxone 1x2 gr
- Infus : Ringer Laktat 20 tetes/menit
- Minum : pasien dapat langsung minum, bila tidak mual dan muntah
pasien dapat makan seara bertahap
- Pemantauaan tanda vital di ruang perwatan dilakukan setiap 60
menit sekali selama 4 jam
- Lain-lain : pasien tidak boleh duduk atau berdiri selama 24 jam

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clincal Anesthesiology, 4th
ed. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006,289-323
2. Latief SA. Suryadi KA. Dachlan MR, Petunjuk Praktis
Anestesiologi dan Terapi Intensif Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2001.
3. Sukmono R. Besthadi. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.
4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Departement
Farmakologi dan Terapeutik
Ed
5 farmakologi dan Terapi. Jakarta :
Gaya Baru ; 2007
5. Sensorcaine Marcaine, 2012. Bupivacaine. Medsacape. Diunduh
dari : http://reference.medscape.com/drug/marcaine-sensorcaine-
bupivacaine-343360#0. [Pada tanggal 13 mei 2013]

Anda mungkin juga menyukai