Anda di halaman 1dari 6

Pengobatan Multi Drug Therapy Morbus Hansen

MDT-L ( LL, BL, BB )


Rifampisin : 600 mg / bulan
Klofazimin : 300 mg / bulan + 50 mg / hari
DDS : 100 mg / hari
12 bulan ( selesai < 18 bulan )

MDT T ( TT, BT )
Rifampisin : 600 mg / bulan
DDS : 100 mg / hari
6 bulan ( Selesai < 9 bulan )
Ket:
LL: Tipe lepromatosa
TT: Tipe Tubekuloid
BL: Tipe Borderline Lepromatosa
BB: Tipe Borderline
BT: Tipe Borderline Tuberkuloid

Efek Samping Kortikosteroid sistemik dan topikal
Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk atrofi, striaeatrofise,
telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat,hipopigmentasi,
dermatitis peroral.
Efek samping dapat terjadi apabila :
Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.
Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau
penggunaan sangat oklusif. Efek samping yang tidak diinginkan adalah berhubungan
dengan sifat potensiasinya, tetapi belum dibuktikan kemungkinan efek samping yang
terpisah dari potensi, kecuali mungkin merujuk kepada supresi dari adrenokortikal
sistemik. Denganini efek samping hanya bisa dielakkan sama ada dengan bergantung
pada steroid yanglebih lemah atau mengetahui dengan pasti tentang cara penggunaan,
kapan, dan dimana harus digunakan jika menggunaka
Efek Samping Kortikosteroid topical
Diabetes Melitus
osteoporosis
Dermatitis kontak alergi
steroid atrofi
Komplikasi terapi glukokortikoid sistemik meningkat, sebanding dengan peningkatan
dosis, lamanya terapi dan peningkatan frekuensi administrasi. Osteoporosis dan
katarak dapat terjadi dalam berbagai dosis harian, dan nekrosis avaskular dapat terjadi
pada pemakaian glukokortikoid jangka pendek.
Osteoporosis
o Osteoporosis terjadi pada 40% penderita dengan terapi glukokortikoid;
terutama terjadi pada anak-anak, orang tua dan wanita post-menopause.
Sepertiga dari pasien mengalami fraktur vertebra setelah pemakaian
glukokortikoid selama 5-10 tahun, proporsi ini lebih tinggi pada wanita post-
menopause. Bone loss terjadi dengan cepat pada 6 bulan pertama pemakaian
glukokortikoid, dan berlanjut dengan lebih lambat setelahnya, dengan
pengurangan massa tulang sebanyak 3-10% per tahun. Dalam beberapa kasus,
bone loss dapat reversibel setelah pemakaian glukokortikoid dihentikan,
terutama pada orang muda.
o Glukokortikoid menginhibisi osteoblas, meningkatkan ekskresi kalsium oleh
ginjal, menurunkan absorbsi kalsium oleh usus, dan meningkatkan resorpsi
tulang oleh osteoklas.
o Glukokortikoid juga menurunkan kadar estrogen dan testosteron, yang
merupakan faktor penting pada patogenesis osteoporosis.
o Osteokalsin serum, suatu penanda fungsi osteoblas, menurun, sehari setelah
memulai pemakaian dosis regimen prednison 10 mg per hari; dosis regimen
prednison 7,5 mg per hari atau lebih, dan sering menyebabkan bone loss yang
signifikan dan meningkatkan frekuensi terjadinya fraktur. Trabekula tulang
adalah yang terutama terkena, dan menyebabkan fraktur vertebra yang nyeri.
Nekrosis Avaskular
o Nekrosis avaskular menyebabkan nyeri dan pembatasan gerak pada satu atau
lebih sendi. Dapat terjadi hipertensi intra-ossea yang berakhir pada iskemik
tulang dan nekrosis.
o Umumnya, hipertensi intra-ossea pada orang yang mengkonsumsi
glukokortikoid, disebabkan oleh hipertrofi liposit intra-ossea.
o Selain itu, glukokortikoid menginduksi apoptosis osteoblas, seperti yang biasa
terjadi pada nekrosis avaskular. Penyakit yang mendasari, seperti Systemic
Lupus Erythematosus (SLE), dapat meningkatkan induksi steroid pada
nekrosis avaskular.
o Dari penelitian didapatkan bahwa pasien yang menderita nekrosis avaskular,
mengalami trombofilia atau hipofibrinolisis, yang mengarah pada oklusi
trombotik dari outflow vena tulang, penurunan perfusi arterial, dan infark
tulang.
Aterosklerosis
o Glukokortikoid mendorong banyak faktor resiko yang berhubungan dengan
aterosklerosis, termasuk hipertensi arterial, resistensi insulin, intoleransi
glukosa, hiperlipidemia, dan obesitas sentral. Oleh karena itu, pasien dengan
terapi glukokortikoid, memiliki peningkatan resiko aterosklerosis.
o Pasien dengan Cushings disease yang tidak diobati, memiliki angka
mortalitas empat kali lebih tinggi, akibat komplikasi kardiovaskular, termasuk
penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, dan stroke jantung.
o Faktor-faktor resiko aterosklerosis menetap, selama sedikitnya 5 tahun setelah
normalisasi kadar kortisol serum pada Cushings disease, hal yang sama juga
ditemukan pada pasien dengan terapi glukokortikoid jangka panjang.
Supresi Aksis Hipotalmik-Pituitari-Adrenal
o Aksis Hipotalmik-Pituitari-Adrenal (HPA) dengan cepat disupresi setelah
onset terapi glukokortikoid. Bila terapi dibatasi selama 1-3 minggu, aksis HPA
akan membaik dengan cepat.
o Terapi harian glukokortikoid yang lebih lama, akan menyebabkan supresi
aksis HPA yang menetap sampai satu tahun setelah terapi dihentikan.
o Gejala-gejala dari supresi adrenal antara lain, letargi, lemah, mual, anoreksia,
demam, hipotensi ortostatik, hipoglikemi, dan penurunan berat badan.
o Dijumpai pula sindrom withdrawal dari steroid, di mana pasien mengalami
gejala-gejala insufisiensi adrenal, meskipun tampaknya memiliki respon
kortisol terhadap adreno-corticotropic hormone (ACTH) yang normal. Gejala-
gejala utamanya, termasuk anoreksia, letargi, malaise, mual, penurunan berat
badan, deskuamasi kulit, sakit kepala, dan demam. Sedangkan gejala-gejala
yang jarang terjadi, muntah, mialgia, dan artralgia. Pasien-pasien ini telah
menyesuaikan diri dengan kadar glukokortikoid yang tinggi, dan gejala-gejala
hilang setelah setelah pengulangan pemberian glukokortikoid. Masalah ini
dapat diatasi dengan menurunkan dosis glukokortikoid secara bertahap,
umumnya, 1 mg prednison tiap beberapa minggu.
Efek Samping Imunologi
o Glukokortikoid memperbaiki reaksi hipersensitivitas tipe lambat karena dapat
menginhibisi limfosit dan monosit. Prednison dengan dosis harian 15 mg atau
lebih dapat menekan respon terhadap tuberkulin, meskipun diperlukan waktu
sekitar 13,6 hari untuk prednison oral pada dosis 40 mg per hari untuk
menginhibit respon terhadap tuberkulin. Oleh karena itu, bahkan pada situasi
yang membutuhkan prednison segera, adalah mungkin untuk melakukan tes
purified protein derivat (PPD) terhadap tuberkulin dan panel anergi.
o Secara keseluruhan, terjadi peningkatan insiden infeksi yang dapat disebabkan
oleh glukokortikoid maupun perubahan imunologis yang berhubungan dengan
penyakit yang mendasari.

Efek samping kortikosteroid kepada beberapa tingkat:
Efek Epidermal Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas
kinetik dermal,suatu penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan
pendataran darikonvulsi dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan
tretino intopikal secara konkomitan. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti
vitiligo, telah ditemukan.Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi steroid atau
injeksi steroid intrakutan.
Efek Dermal Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi
dasar. Inimenyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang
lemah akanmenyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan
intradermalyang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot
hemorrhage. Ininantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata, yang
terlihat seperti usiakulit prematur.
Efek Vaskular Efek ini termasuk Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada
awalnya menyebabkanvasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil di superfisial.
Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh
darahyang kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan
edema,inflamasi lanjut, dan kadang-kadang pustulasi.
Ketergantungan atau Rebound: sindrom penarikan kortikosteroid adalah kejadian
sering terlihat, juga disebut Sindrom Kulit Merah. Penghentian total steroid adalah
wajib dan, sementara reversibel, dapat menjadi proses yang berkepanjangan dan sulit
diatasi
Terlalu sering menggunakan steroid topikal dapat menyebabkan dermatitis. Penarikan
seluruh penggunaan steroid topikal dapat menghilangkan dermatitis.
Dermatitis perioral: Ini adalah ruam yang terjadi di sekitar mulut dan daerah mata
yang telah dikaitkan dengan steroid topikal.
Efek pada mata. Tetes steroid topikal yang sering digunakan setelah operasi mata
tetapi juga dapat meningkatkan tekanan intra-okular (TIO) dan meningkatkan risiko
glaukoma, katarak, retinopati serta efek samping sistemik
Tachyphylaxis: Perkembangan akut toleransi terhadap aksi dari obat setelah dosis
berulang tachyphylaxis signifikan dapat terjadi dari hari ke hari 4 terapi. Pemulihan
biasanya terjadi setelah istirahat 3 sampai 4 hari. Hal ini mengakibatkan terapi seperti
3 hari, 4 hari libur, atau satu minggu pada terapi, dan satu minggu off terapi.
Efek samping lokal: Ini termasuk hipertrikosis wajah, folikulitis, miliaria, ulkus
kelamin, dan granuloma infantum gluteale.
Penggunaan jangka panjang mengakibatkan Scabies Norwegia, sarkoma Kaposi, dan
dermatosis yang tidak biasa lainnya.
Jamkhedkar Preeta dkk tahun 1996 pernah melakukan studi untuk mengevaluasi
keamanan dan tolerabilitas fluticasone ini dalam terapi eksim dan psoriasis.
Fluticasone propionate 0.05% dibandingkan dengan krim betamethasone valerate
0,12%. Ada 107 pasien yang menyelesaikan studi, 61 menderita psoriasis dan 46
menderita eksim.
Secara efikasi dan afinitas, fluticasone propionate maupun betamethasone valerate
menunjukkan hasil yang setara. Penipisan kulit, setelah dilakukan ultrasound atau
biopsi tidak signifikan dibandingkan placebo dalam terapi lebih dari 8 minggu,
dengan sekali terapi sehari. Fluticasone propionate sama sekali tidak menimbulkan
efek samping sistemik berupa supresi HPA-axis.
Studi untuk menilai efek samping penggunaan fluticasone propionate, dalam hal ini
supresi HPA-axis, dilakukan oleh Hebert dkk dari University of Texas-Houston
Medical School. Studi dilakukan pada anak-anak (3 bulan-6 tahun) penderita
dermatitis atopik skala luas, yakni hampir 65% permukaan kulit mendapat terapi.
Penilaian studi adalah absennya supresi adrenal dengan pemberian fluticasone
propionate 0,05%. Ternyata tidak ada perbedaan signifikan dalam kadar kortisol rata-
rata, sebelum dan setelah terapi. Pada pasien usia 3 bulan, fluticasone tidak berimbas
pada fungsi HPA axis serta tidak menyebabkan penipisan kulit meskipun diberikan
fluticasone secara ekstensif.
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan
perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Percobaan pada
hewanmenunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil akan
menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada
kaitan dengan efek pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid
yang mencukupi diabsorbsi di kulit memasuki aliran darah wanita hamil. Oleh karena
itu, penggunaan kortikosteroid topikal pada waktu hamil harus dihindari kecuali
mendapat nasehat daridokter untuk menggunakannya. Begitu juga pada waktu
menyusui, penggunaankortikosteroid topikal harus dihindari dan diperhatikan.
Kortikosteroid juga hati-hati digunakan pada anak-anak

Anda mungkin juga menyukai