Anda di halaman 1dari 6

Klorin

Mei
4
Untuk mengelola air limbah secara baik diperlukan
keterpaduan dari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan
yang baik yang bersifat teknis administratif maupun secara
operasional (Santi, 2004). Air limbah yang tidak ditangani
secara benar akan mengakibatkan dampak negatif khususnya
bagi kesehatan, sehingga perlu pengelolaan yang baik agar
bila dibuang ke suatu areal tertentu tidak menimbulkan
pencemaran yang didukung dengan Instalasi Pengolahan Air
limbah (IPAL) (Rahmawati dan Azizah, 2004, dan Khusnuryani,
2008).
Pengolahan limbah dapat dibagi menjadi pengolahan primer,
pengolahan sekunder, dan pengolahan tersier (Woodard,
2001). Pengolahan primer (pengolahan secara fisika) biasanya
dilakukan dengan koagulasi flokulasi atau penyaringan,
sedangkan pada pengolahan sekunder (pengolahan secara
biologi), limbah diuraikan dengan bantuan mikroorganisme.
Limbah yang bersifat tidak dapat diuraikan secara biologi
(non-biodegradable), diolah dengan pengolahan tersier.
Beberapa contoh limbah non-biodegradable adalah limbah
pewarna tekstil, pestisida, herbisida, organik klor, dan
sebagainya (Tang, 2004 dalam Hudaya et al., 2011).
Menurut Zinkus et al., (1998) dalam Hudaya et al., (2011)
menyatakan bahwa pengolahan limbah tersier dapat dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya dengan metode
incineration, air stripping, activated carbon adsorption, dan
ozone treatment. Metoda incineration merupakan metoda yang
mahal dalam penggunaannya; metoda ozone treatment hanya
menguraikan secara parsial/tidak sempurna di samping
penggunaan ozone yang relatif mahal dan kurang efisien;
sedangkan metoda activated carbon adsorption dan air
stripping hanya memindahkan senyawa-senyawa pencemar ke
media atau fasa lain. Metoda lain yaitu Advanced oxidation
process (AOP), memiliki kelebihan utama yaitu dapat
mendegradasi/menguraikan secara tuntas senyawa-senyawa
berbahaya bersifat non-biodegradable dalam limbah melalui
proses oksidasi (oxidative degradation).
Advanced oxidation process (AOP) merupakan sistem yang
didasarkan pada sifat oksidatif yang sangat kuat dari radikal
hidroksil (OH*). Radikal ini dapat terbentuk dari kombinasi
antara radiasi UV dan salah satu diantara komponen berikut:
ozon (O3), hidrogen peroksida (H2O2), dan titanium dioksida
(TiO2). Selain itu, radikal ini juga dapat dihasilkan dari
kombinasi antara hidrogen peroksida dengan ion fero (Fe2+)
yang biasa disebut sebagai Fenton reagent (Legrini et al.,
1993; Ray, 1998; dan Heredia et al., 2001 dalam Hudaya et
al., 2011). Beberapa contoh oksidator lain adalah klorin, klorin
dioksida, dan permanganate (WEF, 2008).
Karakteristik Senyawa Klorin
Klorin (Cl2) merupakan salah satu unsur yang ada di bumi dan
jarang dijumpai dalam bentuk bebas. Pada umumnya klorin
dijumpai dalam bentuk terikat dengan unsur atau senyawa lain
membentuk garam natrium klorida (NaCl) atau dalam bentuk
ion klorida di air laut (Hasan, 2006). Klor atau turunannya di
perairan berasal dari limbah industri yang menggunakan klor
misalnya sebagai desinfektan atau pelarut yang di buang ke
perairan (Enjarlis et al., 2006).
Klorin pertama kali diidentifikasi oleh seorang ahli farmasi dari
Swedia, Carl Wilhem Scheele, pada tahun 1774 dengan
meneteskan sedikit larutan asam klorida (HCl) pada lempeng
mangan oksida (MnO2) yang menghasilkan gas berwarna
kuning kehijauan. Reaksi dari percobaan tersebut adalah
sebagai berikut (Keenan et al., 1993):
4HCl(ag)+MnO2(s) -> Cl2(g)+MnCl2(ag)+2H2O(l)
Pada saat itu, Scheele belum dapat memastikan kandungan
gas tersebut. Pada tahun 1810 Sir Humprey Davy, seorang
ahli kimia Inggris menyatakan bahwa gas kuning kehijauan
pada percobaan Scheele adalah sebuah unsur dan
menamakannya chlorine, yang berarti khloros dalam bahasa
Yunani atau hijau. Menurut Scott (1994) dalam Hasan (2006)
menyatakan bahwa klorin dalam suhu kamar berbentuk gas
halogen (Golongan VII), bersifat sangat reaktif dan merupakan
jenis oksidator kuat yang mudah bereaksi dengan berbagai
unsur lain. Pada suhu -340C, klorin berbentuk cair dan pada
suhu -1030C berbentuk padatan kristal kekuningan.
Secara alami, klorin terdapat dalam bentuk ion klorida dengan
jumlah relatif jauh lebih besar dibandingkan ion-ion halogen
lainnya. Klorin dalam bentuk garam (misal NaCl) merupakan
bentuk paling aman, sedangkan dalam bentuk gas, klorin
dapat diperoleh dengan mengekstraksi larutan garam NaCl
dengan cara elektrolisis.
Klorin disamping mempunyai fungsi yang berarti dalam
kehidupan manusia, juga berdampak negatif bagi lingkungan.
Untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan akibat
pembuangan limbah, termasuk limbah klorin maka suatu
industri diwajibkan mengelola limbahnya terlebih dahulu
sebelum dibuang ke lingkungan, dimana hal ini sesuai dengan
pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu untuk mencegah
terjadinya pencemaran pada badan air, Pemerintah melalui
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep-
51/MenLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi
Kegiatan Industri menetapkan parameter dan batasan
konsentrasi yang diizinkan untuk dibuang, salah satunya yakni
klorin dengan batasan 1 mg/L dalam bentuk klorin bebas (Cl2)
(Hasan, 2006).
Pemanfaatan Klorin
Dalam kehidupan manusia, klorin memegang peranan penting
yaitu banyak benda-benda yang kita gunakan sehari-hari
mengandung klorin seperti peralatan rumah tangga, alat-alat
kesehatan, kertas, obat dan produk farmasi, pendingin,
semprotan, pembersih, pelarut, dan berbagai produk lainnya
(Hasan, 2006; Retnowati, 2008). Pada industri tekstil dan
kertas, senyawa klorin baik dalam bentuk klorin dioksida
(ClO2) atau sodium hipoklorid (NaOCl). Pemutihan dengan
menggunakan klorin, proses oksidasinya selalu melibatkan
atom Cl. Jika sebuah oksidator melepaskan elektron, maka
akan terjadi proses oksidasi dan struktur kimia dari molekul
tersebut berubah dan warnanya juga berubah (Retnowati,
2008). Penggunaan senyawa klorin sebagai pemutih
memungkinkan terjadinya produk samping atau limbah yang
berbahaya bagi lingkungan (Jayanudin et al., 2010).
Penggunaan klorin dalam pengolahan air minum dimanfaatkan
sebagai desinfektan. Klor atau klorin merupakan bahan kimia
bersifat oksidator yang berfungsi untuk menghilangkan
pertumbuhan mikroorganisme. Bahan kimia ini akan
membunuh mikroorganisme dengan daya oksidasinya. Klorin
merupakan bahan kimia yang murah dan mempunyai
daya desinfeksi sampai beberapa jam setelah penambahannya
(Lestari et al., 2008).
Kandungan klor yang tinggi dalam air minum dapat
menyebabkan racun bagi tubuh, namun apabila klor dalam
konsentrasi yang layak tidak berbahaya bagi manusia bahkan
dibutuhkan sebagai desinfektan. Klor dalam air dengan
konsentrasi tinggi apabila berikatan dengan Na+ akan
menyebabkan rasa asin dan dapat merusak pipa-pipa air
(Antara et al., 2008)
Meskipun dalam pengolahan air limbah klor juga dapat
digunakan, namun tidak dianjurkan karena menurut penelitian
klor berpotensi menghasilkan Trihalometan (THMs) yang
disebabkan oleh adanya reaksi antara senyawa-senyawa
organik berhalogen dalam air limbah dengan klor.
Trihalomentan merupakan senyawa yang bersifat karsinogenik
dan mutagenik (Sururi et al., 2008). Beberapa jenis limbah
yang dapat diolah dengan menggunakan oksidator klor adalah
limbah yang mengandung sianida seperti pada industri metal
plating dan industri tambang (WEF, 2008). Contoh aplikasi
klorin dalam pengolahan limbah adalah sebagai oksidator
dalam pengolahan limbah sianida.
Pengolahan Limbah Sianida dengan Oksidator Klorin
Pengolahan limbah sianida dapat dilakukan dengan beberapa
cara. Salah satunya adalah dengan menggunakan senyawa
klorin. Oksidasi sianida dengan menggunakan klorin
merupakan metode yang paling umum digunakan, dan
merupakan metode yang paling efektif (Sari, 2008). Klorin
yang bersifat sebagai oksidator paling efektif adalah NaOCl
5%, namun larutan ini tidak mampu menghilangan senyawa
anorganik (Yanti, 2004). Metode ini dapat dioperasikan pada
system batch maupun continue. Metode ini juga cocok
dilakukan secara manual dan berjalan pada kondisi ambient.
Oksidasi sianida dengan menggunakan klorin terbagi atas dua
tahap. Pada tahap pertama, sianida dikonversi menjadi sianat;
pada tahap kedua, sianat dihidrolisa menjadi karbondioksida
dan gas nitrogen. Pada tahap pertama, gas klorin atau
hipoklorit bereaksi dengan sianida untuk menghasilkan
sianogen klorida.
NaCN + Cl2 > CNCl + NaCl
NaCN + NaOH + H2O -> CNCl + 2NaOH
2NaCN + Ca(OCl)2 + 2H2O > 2CNCl + Ca(OH)2 +
2NaOH
Reaksi ini tidak tergantung pada pH dan hampir terjadi secara
cepat. Sianogen klorida merupakan zat beracun dan sangat
mudah menguap. Maka dari itu, harus langsung dikonversi
menjadi senyawa yang tidak berbahaya. Sianogen klorida
terpecah secara cepat di atas pH 10.0 dan suhu 20C. Pada pH
yang lebih rendah, konversi sianat sangat lambat; maka dari
itu pH 8.0 merupakan pH minimum untuk pembentukan sianat
sianogen klorida. Konversi sianogen klorida menjadi sianat,
yang stabil dan lebih rendah toksisitasnya daripada sianida,
terjadi dengan hidrolisis alkalin seperti berikut:
CNCl + 2NaOH > NaCNO + NaCl + H2O
Reaksi diatas berlangsung dalam 10 30 menit pada pH 8,5
9. Jika pHnya naik hingga 10 11, maka reaksi dapat
selesai dalam waktu 5 7 menit, perlakuan reaksi ini harus
pada sisi yang aman untuk mencegah pembentukan sianogen
klorida. Maka dari itu, oksidasi dengan menggunakan klorin
dari sianida menjadi sianat selalu terjadi pada pH lebih tinggi
dari 9,5 10 dan nilai pH lebih dari 10,5 sangat dianjurkan.
Pada tahap kedua, sianat dihidrolisa untuk menghasilkan
ammonia dan karbondioksida. Reaksi berjalan pada pH alkali,
namun reaksi ini sangat lambat, kecuali jika ada keberadaan
klorida bebas. Reaksi berjalan selama beberapa jam pada pH
10, namun pada pH 8.5 9.9, reaksi juga dapat berjalan
dengan durasi yang baik.
3Cl2 + 4H2O + 2Na2CNO > 3Cl2 + (NH4)2CO3 +
Na2CO3
Klorin tidak ikut serta dalam reaksi, namun hanya
mempercepat proses reaksi. Dengan keberadaan klorin, reaksi
masih membutuhkan 1 1.5 jam untuk bias selesai dengan
sempurna. Dengan keberadaan klorin bebas, ammonia secara
cepat terkonversi menjadi gas nitrogen.
3Cl2 + 6NaOH + (NH4)2CO3 + Na2CO3 -> 2NaHCO3 + N2
+ 6NaCl + 6H2O
Seperti dengan seluruh aplikasi breakpoint klorinasi, produk
lain seperti N2O dan NCl3 juga dapat terbentuk. Cara lain
menghidrolisa sianat dengan menggunakan kondisi asam (pH
< 2.5)
2NaCNO + H2SO4 + 4H2O > (NH4)2SO4+ 2NaHCO3
Reaksi ini bisa selesai dalam 5 menit. Tapi metode ini jarang
digunakan karena membutuhkan biaya yang tinggi dan
membutuhkan netralisasi pada efluen (Sari, 2008).
Penggunaan klorin sebagai oksidator memiliki dampak negatif
yakni terbentuknya senyawa dioksin penyebab kanker
(carcinogen) (Nugroho dan Ikbal, 2005). Menurut Water
Research Centre, klorin pada effluent yang dibuang ke badan
air penerima akan dapat menimbulkan efek merugikan
terhadap ekologi perairan. Sebaiknya air limbah terolah dapat
dimanfaatkan kembali untuk menyiram tanaman atau mencuci
mobil dan tidak langsung dibuang ke badan air penerima
(Djaja dan Maniksulistya, 2006).

Anda mungkin juga menyukai