Anda di halaman 1dari 34

1

BLOK EMERGENCY
SKENARIO 1
PENDARAHAN PERSALINAN


Kelompok B 11

Ketua : Rujitra Tanaya Namaskara (1102010259)
Sekretaris : Prissilma Tania Jonardi (1102010221)
Anggota : Senja Wulan Nurrahmah (1102010266)
Silmi Arfiyani (1102010269)
Maulidya Sari (1102010158)
Shinta Mariana (1102010268)
Rizki Dinar Endarti (1102010252)
Yayu Puji Astuti (1102010295)
Windi Surya (1102009301)



FAKULTAS KEDOKTERAN
TAHUN PELAJARAN 2013-2014
UNIVERSITAS YARSI



2

LI.1. Mampu Memahami dan Menjelaskan Hemoragic Post Partum

LO.1.1. Definisi HPP

Pendarahan pasca persalinan (post partum) adalah pendarahan pervaginam 500
ml atau lebih sesudah anak lahir. Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor
satu (40%-60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Pendarahan pasca persalinan
dapat disebabkan oleh atonia uteri, sisa plasenta, retensio plasenta, inversio uteri,
laserasi jalan lahir dan gangguan pembekuan darah.

LO.1.2. Klasifikasi HPP

Perdarahan post partum terbagi menjadi 2 :
Perdarahan post partum primer
Perdarahan post partum terjadi dalam 24 jam pertama.
Penyebabnya : Antonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir,
terbanyak dalam 2 jam pertama.
Perdarahan post partumsekunder
Perdarahan post partum terjadi setelah 24 jam pertama.
Penyebabnya : robekan jalan lahir, dan sisa plasenta atau membrane.
LO.1.3. Etiologi HPP
Penyebab terjadinya perdarahan post partum, secara mudah adalah 4-T:
Tonus : atonia uteri, kandung kemih yang over distensi.
Tissue : retensi plasenta (sisa plasenta) dan bekuan darah.
Trauma : perlukaan pada vagina, serviks, atau uterus.
Trombin : gangguan pembekuan darah (bawaan atau didapat).
Antonia Uteri
Keadaan lemahnya tonus/konstraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu
menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta
lahir. (Merah) Pada atonia uteri uterus terus tidak mengadakan konstraksi dengan baik,
dan ini merupakan sebab utama dari perdarahan post partum.
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor predisposisi
(penunjang ) seperti :
Overdistention (regangan uterus berlebihan) uterus seperti: gemeli makrosomia,
polihidramnion, atau paritas tinggi.
Kelelahan karena persalinan lama
Kehamilan grande-multipara (kehamilan lebih dari 4 kali)
Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim
Infeksi intrauterin (korioamnionitis)
Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya


3

Predisposisi atonia uteri -> penurunan kontraksi dari otot uterus -> perdarahan setelah
janin dan plasenta lahir tidak tertutup dengan baik -> kehilangan banyak darah ->
manifestasi klinis (syok)
Diagnosis ditegakkan bila setalah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih
aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi
pusat atau lebih dengan kontraksi yang lemah.

Retensio Plasenta
Retensio Plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam
setelahkelahiran bayi. Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya
perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati, dapat terjadi plasenta inkarserata dapat
terjadi polip plasenta, dan terjadi degenerasiganas korio karsinoma.
Jenis retensio plasenta adalah:
Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena tumbuh melekat lebih dalam, yang
menurut perlekatannya dibagi menjadi :
- Placenta adhesiva, yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam
- Placenta inkreta, dimana vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua
sampai ke miometrium
- Placenta akreta, yang menembus lebih dalam ke dalam miometrium tetapi belum
menembus serosa
- Placenta perkreta, yang menembus sampai serosa atau peritoneum dinding rahim.
Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan
perdarahan yang banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah
rahim akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar
(plasenta inkarserata)
Adapun penyebab atau faktor yang mempengaruhi kejadian retensio plasenta adalah :
His kurang kuat.
Plasenta sukar terlepas karena mempunyai inersi di sudut tuba, berbentuk plasenta
membranasea atau plasenta anularis, berukuran sangat kecil, plasenta yang sukar lepas
karena sebab-sebab tersebut diatas disebut plasenta adesiva.
Patologi anatomis (plasenta inkreta, plasenta akreta, plasenta perkreta)
Faktor uterus
- Kelainan bentuk uterus (bicornus, berseptum)
- Mioma uterus
- Riwayat tindakan pada uterus yaitu tindakan bedah sesar, operasi uterus yang
mencapai kavum uteri, abortus dan dilakukan kuretase yang bisa menyebabkan
implantasi plasenta abnormal.
Umur
Paritas (banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita)

Robekan Jalan Lahir


4

Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi
banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi yaitu sumber
dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber perdarahan dapat berasal dari
perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptura uteri). Perdarahan dapat dalam
bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat arterill atau
pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat
dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan spekulum setelah sumber
perdarahan diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan melakukan ligasi.
Perdarahan pada robekan jalan lahir banyak dijumpai pada pertolongan persalinan
oleh dukun karena tanpa dijahit. Pertolongan persalinan dengan resiko rendah mempunyai
komplikasi ringan sehingga dapat menurunkan angka kematian ibu maupun perinatal.
Dengan demikian komplikasi robekan jalan lahir yang dapat menimbulkan perdarahan
akan semakin berkurang.

Tertinggalnya sebagian plasenta (sisa plasenta)

Sewaktu suatu bagian dari plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal -> uterus tidak
dapat berkontraksi secara efektif -> menimbulkan perdarahan. Tetapi mungkin saja pada
beberapa keadaan tidak ada perdarahan dengan sisa plasenta.

Inversio uterus

Uterus dikatakan mengalami inversi jika bagian dalam menjadi di luar saat
melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan.

LO.1.4. Faktor Resiko HPP

1. Perdarahan pascapersalinan dan usia ibu
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan yang dapat
mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun
fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan
pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami
penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk
terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan akan lebih besar.
Perdarahan pascapersalinan yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita
hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi daripada
perdarahan pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan
pascapersalinan meningkat kembali setelah usia 30-35tahun.

2. Perdarahan pascapersalinan dan gravida
Ibu-ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk multigravida
mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya perdarahan pascapersalinan
dibandingkan dengan ibu-ibu yang termasuk golongan primigravida (hamil pertama
kali). Hal ini dikarenakan pada multigravida, fungsi reproduksi mengalami penurunan
sehingga kemungkinan terjadinya perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar.



5

3. Perdarahan pascapersalinan dan paritas
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan
paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan
lebih tinggi. Pada paritas yang rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam
menghadapi persalinan yang pertama merupakan faktor penyebab ketidakmampuan
ibu hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan
nifas.

LO.1.5. Manifestasi Klinis HPP

Tanda dan gejala perdarahan post partum dini
- Uterus tidak berkontraksi dan lembek, perdarahan segera setelah anak lahir
disertai dengan penyulit seperti syok, bekuan darah pada serviks atau posisi
telentang akan menghambat aliran darah ke luar. (atonia uteri)
- Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir, uterus berkontraksi dan
keras, plasenta lengkap. Hal ini disertai dengan penyulit seperti pucat, lemah, dan
menggigil. (robekan jalan lahir)
- Plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, uterus berkontraksi dan
keras. Ditemukan penyulit seperti tali pusat putus akibat retraksi yang berlebihan,
inversio uteri akibat tarikan dan terjadi perdarahan lanjutan. (retensio plasenta)
- Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap,
terjadi perdarahan segera. Disertai dengan penyulit seperti uterus berkontraksi
tetapi tinggi fundus tidak berkurang. (tertinggalnya sebagian plasenta)
Tanda dan gejala perdarahan post partum lambat/sekunder
- Perdarahan yang bersifat merembes dan berlangsung lama serta mengakibatkan
kehilangan darah yang banyak.
- Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi menumpuk di
vagina dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena adanya
kenaikan fundus uteri setelah uri keluar.
- Sub-involusio uterus
- Nyeri tekan perut bawah dan pada uterus.
- Lokhia mukopuruluen dan berbau (bila disertai infeksi)

LO.1.6. Patofisiologi HPP

Secara normal, setelah bayi lahir uterus akan mengecil secara mendadak dan akan
berkontraksi untuk melahirkan plasenta, menghentikan perdarahan yang terjadi pada bekas
insersi plasenta dengan menjepit pembuluh darah (disebut living ligatures of the uterus)
pada tempat tersebut. Apabila mekanisme ini tidak terjadi atau terdapat sesuatu yang
menghambat mekanisme ini (adanya sisa plasenta, adanya selaput plasenta yang
tertinggal, adanya bekuan darah, dsb.) akan terjadi perdarahan akibat lumen pembuluh
darah pada bekas insersi plasenta tidak tertutup atau tertutup tidak optimal. Perdarahan
juga dpat terjadi akibat adanya robekan pada jalan lahir, dan gangguan pembekuan darah.



6

LO.1.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding HPP

Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada perdarahan
yang menimbulkan hipotensi dan anemia. apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus,
pasien akan jatuh dalam keadaan syok. perdarahan postpartum tidak hanya terjadi pada
mereka yang mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap persalinan kemungkinan untuk
terjadinya perdarahan postpartum selalu ada.
Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes. perdarahan yang deras biasanya
akan segera menarik perhatian, sehingga cepat ditangani sedangkan perdarahan yang
merembes karena kurang nampak sering kali tidak mendapat perhatian. Perdarahan yang
bersifat merembes bila berlangsung lama akan mengakibatkan kehilangan darah yang
banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan, maka darah yang keluar setelah uri lahir
harus ditampung dan dicatat.
Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi menumpuk di
vagina dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena adanya kenaikan
fundus uteri setelah uri keluar. Untuk menentukan etiologi dari perdarahan postpartum
diperlukan pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis, pemeriksaan umum,
pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam.
Pada atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada palpasi abdomen
uterus didapatkan membesar dan lembek. Sedangkan pada laserasi jalan lahir uterus
berkontraksi dengan baik sehingga pada palpasi teraba uterus yang keras. Dengan
pemeriksaan dalam dilakukan eksplorasi vagina, uterus dan pemeriksaan inspekulo.
Dengan cara ini dapat ditentukan adanya robekan dari serviks, vagina, hematoma dan
adanya sisa-sisa plasenta.
Step diagnosis perdarahan pascapersalinan:
Anamnesis:
identitas, faktor resiko, riwayat persalinan

Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan fisik umum : IMT (indeks massa tubuh), ABC (airways, breathing,
circulation), vital sign
Pemeriksaan fisik khusus: kelopak mata, akral dingin, pucat, pembesaran kelenjar limfe
Pemeriksaan obstetric/ ginekologi luar& dalam:
o Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
o Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak.
o Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari:
- Sisa plasenta atau selaput ketuban
- Robekan rahim
- Plasenta suksenturiata
o Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang pecah
Pemeriksaan laboratorium (kimia darah, fungsi hati, fungsi ginjal, urinalisis)


7

Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume
total tanpa mengalami gejala-gejala klinik. Gejala-gejala baru tampak pada kehilangan
darah 20%. Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok.

Diagnosis banding
Diagnosis banding dari HPP lebih cendrung ditujukan untuk mencari etiologinya
yakni sebagai berikut:
Atonia uteri (penyebab tersering perdarahan postpartum, 2/3 dari semua perdarahan
postpartum)
Robekan jalan lahir
Retensio plasenta
Tertinggalnya sebagian plasenta (sisa plasenta)
Inversio uterus

LO.1.8. Penatalaksanaan

Dalam menangani pasien perdarahan pasca persalinan terdapat 2 macam penanganan yaitu
penanganan umum dan penanganan khusus (sesuai etiologinya).
A. Penanganan Umum
o Segera mobilisasi dan siapkan fasilitas tindakan gawat darurat
o Hentikan pendarahan :
Perdarahan dalam kala III (kala pengeluaran plasenta)
Segera suntikan 10 unit oksitosin I.M / ergotamin 0,2 mg I.M (jangan
berikan pada ibu preeklamsia/eklamsi karnena akan meningkatkan
resiko terjadinya penyakit serebrovaskular) tujuannya untuk kontraksi
myometrium uterus dimana akan terjadi vasokntriksi yang akan menghentikan
perdarahan. Selanjutnya kosongkan kandung kemih dan lakukan massage
uterus dan setelah ada tanda-tanda pelepasan plasenta yang normalnya terjadi
sekitar 3-4menit setelah lahirnya bayi seperti :
fundus meninggi dan berkontraksi kuat
uterus menjadi lebih kecil dan berubah bentuk dari diskoid (seperti cakram)
memjadi globular (sferis)
tali pusat menjadi lebih panjang
terdapat tonjolan yang terlihat dan teraba di simfisis (jika kandung kemih
kosong)
sedikit semburan darah dari vagina


8

Plasenta segera dilahirkan dengan tekanan pada fundus, jika perdarahan tidak
berhenti, plasenta belum juga lepas, perdarahan mencapai 400cc, segera lepas
plasenta secara manual

Gbr. Pengeluaran plasenta secara manual (Cunningham, 2009)








Kotak 1. Pengeluaran manual plasenta (Sulaiman, 2005)

Perdarahan dalam kala IV
Jika ada perdarahan dalam kala IV dan kontraksi rahim kurang baik,
segera disuntikkan 0,2 mg ergonovin atau metil ergonovin I.M, uterus ditekan
untuk mengeluarkan gumpalan darah dan dilakukan masase.
Jika perdarahan belum berhenti, tambahkan suntikan metil ergonovin lagi
secara IV dan dipasang oksitosin drip 10 unit dalam 500cc glukosa selama
tindakan ini, masase diteruskan.
Pengeluaran secara manual, harus dilakukan dengan pemberian analgesia/anastesi yang adekuat,
setelah itu fundus dipegang melalui dinding abdomen oleh 1 tangan, tangan yang lain dimasukkan ke
dalam vagina dan di dorong ke dalam uterus sampai menelusuri tali pusat, setelah sampai plasenta
tercapai, tepinya diidentifikasi, dan sisi ulnar tangan disisipkan diantara plasenta dan dinding uterus.
Kemudian dengan punggung tangan yang berkontak dengan uterus, lakukan pergerakan seperti
memisahkan halaman buku, setelah seluruhnya dilepaskan, plasenta dipegang dengan seluruh tangan,
kemudian secara perlahan-lahan dikeluarkan (Cunningham, 2009). Selain itu pada pasien perdarahan kala
III juga diberi infus atau transfusi darah (Sulaiman, 2005)


9

Jika perdarahan belum berhenti, jangan terus terfikir pada atonia uterim
tapi pertimbangkan juga kemungkinan lain seperti robekan serviks, sisa
plasenta / plasenta suksenturiata (bagian tambahan yang melekat pada plasenta
utama lewat pembuluh arteri atau vena), ruptur uteri, koagulopati. Jika
kemungkinan ini belom dikesampingkan, lakukan pemeriksaan in spekulo dan
eksplorasi kavum uteri.
Jika masih ada perdarahan, lakukan kompresi bimanual secara Hamilton
yaitu 1 tangan masuk ke dalam vagina dan tangan ini yang dijadikan tinju
dengan rotasi merangsang dinding depan rahim, sedangkan tangan luar
menekan dindin perut di atas fundus hingga dapat merangsang dinding
belakang rahim, dilakukan selama 15 menit.

Gbr. Kompresi bimanual (Cunningham, 2009)
o Lakukan pemeriksaan secara cepat keadaan umum ibu termasuk tanda vital (nadi,
tekanan darah, pernapasan dan suhu tubuh)
o Jika dicurigai adanya syok, maka, lakukan tindakan penanganan syok
o Pasang infus cairan I.V
o Lakukan kateterisasi dan pantau cairan keluar masuk
o Resusitasi cairan :
Kritaloid normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses
intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan
karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat
dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah
dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan


10

kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan
pengunaan cairan Ringer Laktat
o Periksa kemungkinan robekan serviks, vagina dan perineum
o Transfusi darah
perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut, atau keadaan klinis pasien
menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.
Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 4 unit PRC (packed Red blood Cell)
untuk menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan
volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah
tetesan infus. Masalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS
pada masing-masing unit. Jangan menggunakan cairan Ringer Laktat untuk
tujuan ini karena kalsium yang dikandungnya dapat menyebabkan penjendalan
o Setelah perdarahan teratasi (24jam setelah perdarahan berhenti). Periksa kadar Hb
:
Jika Hb kurang dari 7g/dl atau hematokrit kurang dari 20% (anemia
berat) berikan sulfas ferrous 600mg atau ferrous fumarat 60mg + asam folat
400 mcg peroral sehari selama 6 bulan
Jika Hb 7-11 g/dl beri sulfas ferrous 600 mg atau ferrous fumarat 60 mg +
asam folat 400 mcg peroral sekali sehhari selama 6 bulan
Pada daerah endemik cacing gelang (prevalensi 20%) berikan terapi :
Albendazol 400 mg per oral sekali ; ATAU
Mebendazol 500 mg per oral sekali atauu 100 mg 2x1 selama 3 hari
Pada daerah endemik tinggi cacing gelang (prevalensi 50%) berikan
terapi dosis diatas selama 12 minggu


11


Tabel Penatalaksanaan Perdarahan yang tidak responsif terhadap Oksitosin
(Cunningham, 2009)
B. Penanganan Khusus
1) Atonia Uteri
Teruskan pemijatan uterus
Oksitosin diberikan bersamaan atau berurutan (lihat table di bawah ini)
Jenis dan Cara Oksitosin Ergotamin Misoprostol
Dosis dan cara
pemberian awal
- I.V : infus 20 unit
dalam 1lt larutan
garam fisiologis
60tetes/menit

- I.M : 10 unit
I.M atau I.V (9secara
perlahan) 0,2 mg
Oral 600 mcg atau rektal
400 mcg
Dosis lanjutan I.V : infus 20 unit
dalam 1lt larutan
garam fisiologis
dengan 40 tetes/menit
Ulangi 0,2 mg I.M
seelah 15 menit, jika
masih diperlukan, beri
I.M / I.V tiap 2-4 jam
400 mcg 2-4 jam setelah
dosis awal
Dosis maksimal
perhari
Tidak lebih dari 3 lt
larutan dengan
Total 1 mg atau 5 dosis Total 1200 mcg atau 3
dosis


12

oksitosin
Kontra Indikasi Tidak boleh memberi
I.V secara cepat atau
bolus
Preeklamsia, vitium
kordis (gangguan
jantung saat hamil),
hipertensi
Nyeri kontraksi dan asma
Tabel jenis uterotonia dan cara pemberiannya (Abdul, 2010)

Kenali dan tegakkan diagnosis atoni uteri
Antisipasi akan kebutuhan darah dan lakukan tindakan transfusi sesuaii
kebutuhan
Jika perdarahan terus berlangsung :
Pastikan plasenta lahir lengkap
Jika terdapat tanda-tanda sisa plasenta (tidak adanya bagian maternal atau
robkenya membran dengan pembuluh darahnya), keluarkan sisa plasenta
tersebut
Lakukan uji pembekuan darah sederhana sesuai kotak (Abdul 2010)







Kotak 2. Uji pembekuan darah sederhana (Abdul, 2010)

Jika perdarahan masih berlangsung :
Kompresi bimanual internal
a) Ambil 2ml darah vena ke dalam tabung reaksi kaca steril dan kering
b) Jaga tabung tetap hangat (37
0
C)
c) Setela 4 menit, ketuk tabungperlahan untukmelihat apajah ada pembekuan yang sudah
terbentuk, kemudian ketuk tiap menit sampai darah membeku dan tabung dapat dibalik
d) Kegagalan terbentuknya pembekuan setela 7 menit atau adanya bekuan lunak yang mudah
pecah menunjukan koagulopati



13


Gbr. Kompresi bimanual internal (Abdul, 2010)
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam
vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme
kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan
berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan
tetap terjadi , coba kompresi aorta abdominalis.





Kompresi aorta abdominalis


14


Gbr. Kompresi aorta abdominal (Luz, 1997)
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi
tersebut,genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus
dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat akan
menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil kompresi dengan
memperhatikan perdarahan yang terjadi.
Jika perdarahan terus belrangsug setelah dilakukan kompresi (Abdul, 2010) :
Lakukan ligasi arteria uterina dan ovarika












15



























Kotak 3. ligasi arteria uterina dan ovarika (Abdul, 2010)

Lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa setelah
ligasi
a) Berikan antibiotik dosis tunggal (ampisilin 2g I.V atau sefazolin 1g I.V)
b) Berikan infus RL atau NaCl 0,9%
c) Buka perut :
Insisi vertikal linea alba dari umbilikus sampai pubis
Insisi vertikal 2-3 cm pada fasia
Lanjutkan insisi ke atas dan ke bawah dengan gunting
Pisahkan muskulus rektus abdominis kiri dan kanan dengan tangan atau
gunting
Buka oeritoneum dekat umbilikus dengan tangan, jaga agar jangan melukai
kandung kemih
Pasang retraktor kandung kemih
d) Tarik keluar uterus sampai terlihat ligamentum latum
e) Raba dan rasakan denyuk arteri uterina pada perbatasan serviks dan segmen
bawah rahim
f) Pakai jarum besar dengan benang catgut kromik dan buat jahitan sedalam 2-
3cm pada 2 tempat. Lakukan ikatan simpul kunci
g) Tempatkan jahitan sedekat mungkin dengan uterus, karena ureter biasanya
hannya 1 cm lateral terhadap ateri uterina
h) Lakukan hal yang sama pada sisi lateral yag lain
i) Jika arteri terkena, jepit dan ikat sampai perdarahan berhenti
j) Lakukan pula pengikatan arteri utero ovarika yaitu dengan elakukan
pengikatan pada 1 jari atau 2 cm lateral bawah pangkal ligamentum
suspensorium ovarii kiri dan kanan agar hemostasis efektif
k) Lakukan pada sisi yang lain
l) Observasi perdarahan dan pembentukan hematoma
m) Jahit kembali dinding perut setelah yakin tidak ada perdarahan laggi dan tidak
ada trauma pada VU (pasang drain dan tutup fasia dengan jaitan jelujur
kromik)
n) Jika ada tanda infeksi letakkan kain kasa pada subkutan dan jahit dengan
benang catgut. Kulit dijait setelah infeksi hilang
o) Jika tidak ada tanda infeksi tutup kulit dengan jahitan matras vertikal
memakai nilon 3-0, tutup luka dengan kasa steril



16


Skema Penilaian Klinik Atonia Uteri (Abdul, 2010)

2) Robekan jalan lahir (serviks, vagina dan perineum)
o Cari sumber perdarahan lalu diklem, diikat dan luka dituutp dengan jaitan cat gut
lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti
o Teknik penjahitan memerlukan asisten, anastesi lokal, penerangan lampu yang
cukup, spekulum dan memperhatikan kedalaman luka (Sarwono, 2009)
o Untuk memudahkan penjahitan, baiknya fundus uteri ditekan ke bawah hingga
serviks dekat dengan vulva. Kemudian kedua bibir serciks dijepit dengan klem
dan ditarik ke bawah
o Dalam melakukan jahitan robekan serviks ini yang penting bukan jahitan
lukannya, tetapi pengikatan dari cabang-cabang arteri uterin
3) Retensio Plasenta


17


Skema Retensio Plasenta (Ida Bagus, 2007)
Jika plasenta atau bagian-bagiannya tetap berada dalam uterus setelah bayi lahir :
a) Jika plasenta terlaihat dalam vagina minta ibu mengedan, jika dokter dapat
merasakan plasenta dalam vagina, keluarkan plasenta tersebut
b) pastikan kandung kemih kosong, jika diperlukan, lakukan katerisasi kandung kemih
c) jika plasenta belum keluar, berikan oksitosin 10 unit I.M, jika belum dilakukan
pada penanganan aktif kala 3
d) jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin (jangan
berikan ergot karna dapat menyebabkan kontraksi uterus yang tonik
memperlambat keluarnya plasenta) dan uterus terasa kontraksi, lakukan penarikan tali
pusat terkendali / CCT


18


Gbr. Penarikan tali pusat terkendali / CCT pada penanganan kala III aktif normal,
pada retensio uteri, tidak diberi ergot
Cara melakukan CTT :
1 tangan diletakkan pada korpus uteri tepat di atas simpisis pubis. Selama
kontraksi, tangan mendorong korpus uteri dengan gerakan dorso kranial ke arah
belakang dan ke arah depan ibu
Tangan yang satu memegang tali pusat dengan klem 5-6cm di depan vulva
Jaga tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu adanya kontraksi kuat (2-3 menit)
Selama kontraksi, lakukan tarikan terkendali pada tali pusat yag terus-menerus
dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus
CTT hanya dilakukan selama uterus berkontraksi telah diberikan oksitosin
Begitu plasenta lepas, keluarkan dengan menggerakan tangan atau klem pada tali
pusat, kleuarkan plasenta dengan gerakan ke bawah dan ke atas sesuai jalan lahir,
putar plasenta searah jarum jam untuk mengeluarkan selaput ketuban
Segera setelah palsenta dan selaputnya dikeluarkan, masase fundus agar
menimbulkan kontraksi yang dapat mengurangi pengeluaran darah dan mencegah
perdarahan pascapersalinan


19

Jangan menarik tali pusat dan menekan fundus terlalu kuat karena dapat
menyebabkan inversi uterus
e) Jika belum berhasil, lakukan pengeluaran plasenta secara manual (kotak 1)
f) Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji pembekuan darah sederhana (kotak 2)
g) Jika terdapat tanda-tanda infeksi (demam, sekret vagina berbau) berikan antibiotik
untuk metritis infeksi uterus pasca persalinan (kotak 3)


Kotak 3. Antibiotik untuk metritis (Abdul, 2010)
4) Inversi Uteri
a) Memanggil bantuan anastesi dan memasang infus untuk cairan RL /darah
pengganti dan pemberian obat
b) Terakadang, diberikan juga tokolitik Magnesium Sulfat untuk melemaskan
uterus yang terbalik/inversi sebelum dilakukan reposisi manual yaitu
mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam vagina dan terus melewati
serviks sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi normalnya, hal ini
dapat dilakukan sewaktu palsenta sudah terlepas atau tidak
c) Jika ibu sangat kesakitan, berikan petidin (sebagai analgesik) 1mb/kgBB
(dosis maksimal 100mg) I.M atau I.V secara perlahan atau berikan morfin 0,1
mg/KgBB I.M
d) Di dalam uterus, plasenta dilepaskan secara manual (kotak 1) dan bila
berhasil dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat
infus atau I.M, tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali
normal dan tangan dokter baru dilepaskan
e) Pemberian antibiotik profilaksis dosis tunggal setelah mereposisi uterus
Ampisilin 2g I.V + metonidazol 500 mg I.V, ATAU
Sefazolin 1g I.V + metronidazol 500 mg IV
f) Jika terdapat tanda-tanda infeksi berikan antibiotik sesuai kotak 3
g) Intevensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras
menyebabkan manuver di atas tidak dapat dilakukan, maka dilakukan
laparotomi untuk reposisi dan jika dicurigai adanya nekrosis, lakukan
histerektomi vaginal (rujuk pusat pelayanan kesehatan tersier (rumah sakit)


Ampisilin 2g I.V/ 6jam + gentamisin 5mg/kgBB I.V/24jam+metronidazole 500 mg
I.V/8jam


20

5) Perdarahan karena gangguan pembekuan darah
Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi dara dan produknya sepetti plasma
beku segar, trombosit, fibrinogen, dan heparinisasi dan pemebrian EACA (Epsilon
amino caproic acid)
6) Sisa plasenta
Jika bagian dari plasenta satu atau lebih lobus tertinggal, maka uterus tidak
dapat berkontraksi secara efektif
a) Raba bagian dalam uterus untuk mencari sisa plasenta. Eksplorasi manual
uterus menggunakan teknik yang serupa dengan teknik yang digunakan
utnuk mengeluarkan plasenta yang tidak keluar teknik manual (kotak 1)
b) Keluarkan sisa plasenta dengan tangan atau kuret besar
Jaringan yang melekat kuat, mungkin plassenta akreta, karena sifat
perlekatannya maka biasanya membutuhkan tindakan histerektomi
c) Jika perdarahan berlanjut, lakukan uji pembekuan sederhana (kotak 2)
Selain penanganan umum dan khusus terdapat pula penanganan perdarahan pasca
persalinan tertunda atau sekunder :
1. Infus dan transfusi darah
Jika anemia berat (hb < 8g/dl) atau hematokrit kurang dari 20%, siapkan transfusi dan
berikan tablet besi oral dan asam folat
2. Jika terdapat tanda-tanda infeksi, berikan antibiotik seperti kotak 3
3. Berikan oksitosin sesuai dengan tabel uterotonika di atas
4. Jika perdarahan dari perlukaan terbuka dijahit kembali dan evaluasi kemungkinan
terjadinya hematoma
5. Jika perdarahan berasal dari bekas implantasi plasenta
a) Lakukan anastesi lalu lakuakn kuretasi dengan aman dan steril
b) Jaringan yang di dapatkan harus dilakukan pemeriksaan
6. Jika serviks masih berdilatasi, lakukan eksplorasi dengan tangan untuk mengeluarkan
bekuan-bekuan besar dan sisa plasenta
7. Jika serviks tidak berdilatasi, evakuasi uterus untuk mengeluarkan sisa plasenta
8. Jika perdarahan terus berlanjut, pikirkan kemungkinan untuk melakukan ligasi uteri
arteri uterina dan utero ovarika atau histerektomi
9. Lakukan pemeriksaan histologi dari jaringan hasil kuret/histerektomi, jika memungkina
untuk menyingkirkan penyakit trofoblas ganas



21


LO.1.9. Pencegahan HPP

Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap
penyakit kronis, anemia, dan lain-lain, sehingga pada saat hamil dan persalinan
pasien tersebut ada dalam keadaan optimal.
Mengenal faktor predisposisi PPP seperti multiparitas, anak besar, hamil kembar,
hidramnion, riwayat PPP.
Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama
Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi PPP

LO.1.10. Komplikasi
Shock hivolemik/ hemorhagic
Kematian
Infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang

LO.1.11. Prognosis
Dubia ad bonam (tidak tentu/ragu-ragu, cenderung sembuh/baik)


LI.2. Mampu Memahami dan Menjelaskan Hiperbilirubinemia pada Bayi

LI.2.1. Definisi
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya
lebih dari normal. Nilai normal bilirubin indirek 0,3 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 0,4
mg/dl.

LI.2.2. Klasifikasi

Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak
mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan
(Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup
bulan dan 10 mg% pada kurang bulan, kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak
melebihi 5 mg% perhari, kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%) atau mempunyai
potensi menjadi kernicterus (suatu bentuk kerusakan otak yang disebabkan oleh
penyakit kuning pada bayi yang baru lahir) dan tidak menyebabkan suatu morbiditas
pada bayi. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.

Ikterus patologik
Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin. Ikterus pada neonatus
tidak selamanya patologis. Ikterus patologis terjadi pada 24 jam pertama sesudah


22

kelahiran, peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam, konsentrasi
bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan dan 12,5 mg% pada neonatus
cukup bulan. Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim
G6PD dan sepsis). Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu,
asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia,
hiperosmolalitas darah.

LO.2.3. Etiologi

Penyebab Ikterus fisiologis
Kurang protein Y dan Z
Enzim glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya
Mekanisme masuknya bilirubin ke hati
Pada limfa, sel darah merah yang sudah tua pecah kemudian globin dan heme.
Bilirubin merupakan hasil metabolisme dari heme, pada awalnya di dalam limfa dan di
bawa ke hati dengan berikatan dengan albumin. Kemudian memasuki hepatosit
berikatan dengan suatu transporter protein dan melewati membrane sel. Ia berikatan
dengan protein Y dan Z Kemudian dengan ligandin agar bias memasuki Retikulum
Endoplasma Halus (SER). Di dalam SER bilirubin dikonjugasi dengan asam glukoronat
dengan katalisis UDPglukoronil transferase, menghasilkan mono dan di glukoronat
bilirubin. Bilirubin terkonjugasi kemudian ke dalam kanakuli .
Penyebab ikterus patologis
Peningkatan produksi :
- Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan
ABO.
- Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
- Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang
terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
- Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
- Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta) , diol (steroid).
- Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin
Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
- Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada
Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine,
sulfonamide, salisilat, sodium benzoat, gentamisisn,dll.
Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin
yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi ,
Toksoplasmosis, Sifilis, rubella, meningitis,dll.
Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif, hirschsprung.



23

LO.2.4. Faktor resiko

- Genetika dan keluarga: Insiden lebih tinggi pada bayi dengan saudara kandung yang
menderita sakit kuning neonatal signifikan dan terutama pada bayi yang lebih tua
saudara dirawat karena penyakit kuning neonatal. Insiden juga lebih tinggi pada bayi
dengan mutasi / polimorfisme pada gen yang kode untuk enzim dan protein yang
terlibat dalam metabolisme bilirubin, dan pada bayi dengan homozigot atau
heterozigot glukosa-6-fosfatase dehidrogenase (G-6-PD) kekurangan dan anemia
hemolitik herediter . Kombinasi varian genetik seperti tampaknya memperburuk
penyakit kuning neonatal
- Gizi: Insiden lebih tinggi pada bayi yang mendapat ASI atau yang menerima nutrisi
yang tidak memadai. Mekanisme untuk fenomena ini mungkin tidak sepenuhnya
dipahami. Namun, ketika volume makan yang tidak memadai yang terlibat,
peningkatan sirkulasi enterohepatik bilirubin mungkin memberikan kontribusi untuk
penyakit kuning yang berkepanjangan. Data terbaru menunjukkan bahwa payudara
sakit kuning susu berkorelasi dengan kadar faktor pertumbuhan epidermal, baik
dalam ASI dan dalam serum bayi. Menunjukkan bahwa perbedaan antara ASI dan
susu formula bayi mungkin kurang jelas dengan beberapa rumus yang modern .
Namun, formula yang mengandung hidrolisat protein telah terbukti meningkatkan
ekskresi bilirubin.
- Faktor ibu: Bayi dari ibu dengan diabetes memiliki insiden yang lebih tinggi.
Penggunaan beberapa obat dapat meningkatkan kejadian, sedangkan yang lain
menurunkan kejadian.
- Usia kehamilan dan berat lahir: Insiden lebih tinggi pada bayi prematur dan pada
bayi dengan berat lahir rendah.
- Infeksi Kongenital

LO.2.5. Manifestasi Klinis

Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak
pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari ke lima sampai hari
ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung
tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk)
kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat
dilihat pada ikterus yang berat.
Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul
Perut membuncit dan pembesaran pada hati
Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap


24

Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.

LO.2.6. Patofisiologi
























Bayi baru lahir dapat mengalami hiperbilirubinemia pada minggu pertama
kehidupannya berkaitan dengan:
Meningkatnya produksi bilirubin (hemolisis)
Kurangnya albumin sebagai alat pengangkut
Penurunan uptake oleh hati
Penurunan konjugasi bilirubin oleh hati


25

Penurunan ekskresi bilirubin
Peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Siklus sel darah merah pada bayi lebih pendek daripada orang dewasa. Ini berarti
lebih banyak bilirubin yang dilepaskan melalui organ hati bayi anda. Kadang-kadang hati
bayi belum cukup matang untuk mengatasi jumlah birubin yang berlebih.

LO.2.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Anamnesis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis mengenai
riwayat inkompabilitas darah (perbedaan rhesus anatara ibu dan bayi), riwayat transfusi
tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan
persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi.

Pemeriksaan Fisik
Ikterus neonatal pertama akan terlihat dalam wajah dan dahi. Identifikasi dibantu oleh
tekanan pada kulit, karena blansing mengungkapkan warna yang mendasarinya.
Penyakit kuning kemudian secara bertahap menjadi terlihat pada badan dan
ekstremitas.
Perkembangan kuning secara cephalocaudal harus dengan baik dijelaskan. Penyakit
kuning menghilang ke arah yang berlawanan. Penjelasan untuk fenomena ini tidak
dipahami dengan baik, namun kedua perubahan bilirubin-albumin mengikat berkaitan
dengan pH dan perbedaan suhu kulit dan aliran darah telah diusulkan.
Fenomena ini secara klinis berguna karena, independen dari faktor lainnya, penyakit
kuning terlihat di ekstremitas bawah sangat menunjukkan kebutuhan untuk
memeriksa tingkat bilirubin, baik dalam serum atau noninvasively melalui
bilirubinometry transkutan.
Pada sebagian besar bayi, warna kuning ditemukan hanya pada pemeriksaan fisik.
Penyakit kuning lebih intens mungkin berhubungan dengan kantuk. Batang otak
pendengaran-membangkitkan potensi dilakukan saat ini dapat mengungkapkan
perpanjangan latency, penurunan amplitudo, atau keduanya.
Temuan neurologis, seperti perubahan dalam otot, kejang, atau menangis karakteristik
berubah, pada bayi secara signifikan kuning adalah tanda-tanda bahaya dan
membutuhkan perhatian segera untuk mencegah kernikterus. Dengan adanya gejala
atau tanda-tanda, fototerapi yang efektif harus dimulai segera tanpa menunggu hasil
uji laboratorium (lihat Studi Laboratorium). Kebutuhan potensial untuk transfusi tukar
tidak harus menghalangi inisiasi langsung dari fototerapi
Hepatosplenomegali, petechiae, dan mikrosefali mungkin berhubungan dengan
anemia hemolitik, sepsis, dan infeksi bawaan dan harus memicu evaluasi diagnostik
diarahkan diagnosa ini. Ikterus neonatal dapat diperburuk dalam situasi ini.

Pemeriksaan Penunjang


26

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan sesuai dengan waktu timbulnya
ikterus, yaitu :
Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama, pemeriksaan yang perlu dilakukan:
o Kadar Bilirubin Serum berkala.
o Darah tepi lengkap (blood smear perifer ) untuk menunjukkan sel darah merah
abnormal atau imatur, eritoblastosisi pada penyakit Rh atau sferosis pada
inkompatibilitas ABO.
o Golongan darah ibu dan bayi untuk mengidentifikasi inkompeten ABO.
o Test Coombs pada tali pusat bayi baru lahir
Hasil positif test Coomb indirek membuktikan antibody Rh + anti A dan anti B
dalam darah ibu. Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya
sensitisasi ( Rh+, anti A, anti B dari neonatus )
o Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.
Ikterus yang timbul 24 72 jam sesudah lahir, biasanya Ikterus fisiologis.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
o Pemeriksaan darah tepi.
o Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
o Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
o Pemeriksaan lain bila perlu.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
Pemeriksaan Bilirubin berkala.
Pemeriksaan darah tepi.
Skrining Enzim G6PD.
Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.
Ultrasonografi: Ultrasonografi dari saluran-saluran hati dan empedu diperlukan pada
bayi dengan laboratorium atau tanda-tanda klinis penyakit kolestasis.
Radionuklida scanning: Scan hati radionuklida untuk penyerapan asam
hepatoiminodiacetic (HIDA) diindikasikan jika atresia bilier ekstrahepatik diduga. Di
institusi penulis, pasien pra-perawatan dengan fenobarbital 5 d mg / kg / hari selama
3-4 hari sebelum melakukan scan.

Diagnosis Banding

Ikterus yang timbul 24 jam pertama kehidupan mungkin akibat eritroblstosis
foetalis, sepsis, rubella atau toksoplasmosis congenital. Ikterus yang timbul setelah hari
ke 3 dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septicemia sebagai
penyebabnya. Ikterus yang permulaannya timbul setelah minggu pertama kehidupan
memberi petunjuk adanya septicemia, atresia kongental saluran empedu, hepatitis serum
homolog, rubella, hepatitis herpetika, anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-
obatan dan sebagainya.
Ikterus yang persisten selama bulan pertama kehidupan memberi petunjuk adanya
apa yang dinamakan inspissated bile syndrome. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan
nutrisi parenteral total. Kadang bilirubin fisiologis dapat berlangsung berkepanjangan


27

sampai beberapa minggu seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau
stenosis pylorus.

LO.2.8. Penatalaksanaan

Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini (pemberian
ASI).
Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya sulfa
furokolin.
Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang mana dapat
meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen dalam empedu.
Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
Fototerapi
Fototerapi adalah pengobatan utama pada neonatus dengan hiperbilirubinemia
unkonjugasi. Fototerapi efektif karena 3 reaksi dapat terjadi ketika bilirubin terkena
cahaya, sebagai berikut:
- Awalnya, fotooksidasi diyakini bertanggung jawab atas efek menguntungkan dari
fototerapi. Namun, meskipun bilirubin yang diputihkan melalui aksi cahaya,
prosesnya lambat dan sekarang diyakini berkontribusi hanya minimal untuk efek
terapi dari fototerapi.
- Isomerisasi Configurational adalah proses yang sangat cepat. Proporsi ini tidak
secara signifikan dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Data menunjukkan bahwa
pembentukan photoisomers adalah signifikan setelah hanya 15 menit dari
fototerapi.
- Isomerisasi Struktural terdiri dari siklisasi intramolekul, sehingga pembentukan
lumirubin (pigmen utama yang ditemukan dalam empedu selama fototerapi).
Proses ini ditingkatkan dengan meningkatkan intensitas cahaya. Selama fototerapi,
lumirubin dapat merupakan 2-6% dari konsentrasi bilirubin serum total.
Cahaya serat optik juga digunakan dalam unit fototerapi. Unit ini memberikan
tingkat energi yang tinggi, tetapi untuk luas permukaan terbatas. Kelemahan dari
unit fototerapi serat optik termasuk kebisingan dari kipas dalam sumber cahaya dan
mengurangi energi disampaikan dengan penuaan dan / atau kerusakan dari serat
optik. Keuntungan Cahaya serat optik meliputi:
- Resiko overheating bayi rendah
- Tidak perlu untuk pelindung mata
- Kemampuan untuk memberikan fototerapi dengan bayi dalam keranjang di
samping tempat tidur ibu
- Penyebaran sedehana untuk fototerapi rumah
- Kemungkinan penyinaran area permukaan besar bila dikombinasikan dengan unit
fototerapi overhead yang konvensional (ganda / fototerapi triple)


28


Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto terapi.
Transfusi tukasr merupakan tindakan mengeluarkan darah pasien dan memasukkan
darah donor utk mengurangi kadar serum bilirubin atau kadar hematokrit yang tinggi
atau mengurangi toksin-toksin dalam aliran darah pasien.



LO.2.9. Pencegahan

Pencegahan penyakit kuning neonatal parah yang terbaik dicapai melalui perhatian
terhadap status risiko bayi sebelum pulang dari rumah sakit lahir, melalui pendidikan
orang tua, dan melalui perencanaan yang matang dari postdischarge tindak lanjut.
Sebuah predischarge bilirubin pengukuran, diperoleh dengan pengukuran transkutan
atau serum dan diplot menjadi nomogram jam tertentu, telah terbukti menjadi alat
yang berguna pada bayi yang membedakan dengan risiko rendah kemudian
mengembangkan nilai-nilai tinggi bilirubin.
Faktor risiko klinis termasuk usia kehamilan kurang dari 38 minggu, penggunaan
oksitosin atau vakum pada saat persalinan, pemberian ASI eksklusif, saudara yang
lebih tua dengan penyakit kuning neonatal yang dibutuhkan fototerapi, kenaikan 6
mg / dL / hari ( 100 mol / L / hari) secara total kadar bilirubin serum, dan
hematoma atau memar yang luas. Berat lahir juga berhubungan dengan risiko
pengembangan penyakit kuning yang signifikan; semakin tinggi berat lahir, semakin
tinggi risiko.

LO.2.10. Komplikasi

Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)
Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental, hiperaktif,
bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang melengking.
LO.1.11. Prognosis
Prognosis baik jika pasien mendapat penanganan berdasarkan pedoman.

LI.3. Mampu Memahami dan Menjelaskan Hipotermi pada bayi

LO.3.1.Definisi



29

Bayi hipotermi adalah bayi dengan suhu tubuh dibawah normal (kurang dari
36,5
0
C). Hipotermi merupakan salah satu penyebab tersering dari kematian bayi baru
lahir, terutama dengan berat badan kurang dari 2,5 Kg.
Hipotermia bisa menyebabkan hipoglikemia (kadar gula darah yang rendah),
asidosis metabolik (keasaman darah) Yang tinggi) dan kematian. Karena tubuh dengan
cepat menggunakan energi agar tetap hangat, sehingga pada saat kedinginan bayi
memerlukan lebih banyak oksigen. Karena itu, hipotermia bisa menyebabkan
berkurangnya aliran oksigen ke jaringan.

LO.3.2. Etiologi

Penyebab terjadinya penurunan suhu tubuh pada bayi baru lahir :
Ketika bayi baru lahir tidak segera dibersihkan, terlalu cepat dimandikan, tidak
segera diberi pakaian, tutup kepala, dan dibungkus, diletakkan pada ruangan yang
dingin, tidak segera didekapkan pada ibunya, dipisahkan dari ibunya, tidak segera
disusui ibunya.
Bayi berat lahir rendah yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2,5 kg atau
bayi dengaan lingkar lengan kurang dari 9,5 cm atau bayi dengan tanda-tanda otot
lembek, kulit kerput.
Bayi lahir sakit seperti asfiksia, infeksi sepsis dan sakit berat.
Jaringan lemak subkutan tipis.
Perbandingan luas permukaan tubuh dengan berat badan besar.
Cadangan glikogen dan brown fat sedikit.
BBL (Bayi Baru Lahir) tidak mempunyai respon shivering (menggigil) pada reaksi
kedinginan.
Kurangnya pengetahuan perawat dalam pengelolaan bayi yang beresiko tinggi
mengalami hipotermi.

LO.3.3. Klasifikasi

Beberapa jenis hipotermia, yaitu:
Accidental hypothermia terjadi ketika suhu tubuh inti menurun hingga <35c.>
Primary accidental hypothermia merupakan hasil dari paparan langsung terhadap
udara dingin pada orang yang sebelumnya sehat
Secondary accidental hypothermia merupakan komplikasi gangguan sistemik
(seluruh tubuh) yang serius. Kebanyakan terjadinya di musim dingin (salju) dan
iklim dingin.
Berdasarkan kejadianya kejadiannya hipotermia pada bayi baru lahir dibedakan
menjadi tiga bagian yaitu:
Hipotermia Akut
Terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin selama 6 -12 jam. Umumnya
terjadi pada bayi yang lahir di ruang bersalin yang dingin, inkubator yang tidak cukup
panas, kelaian terhadap bayi yang akan lahir, misalnya diduga mati dalam kandungan
tetapi ternyata masih hidup. Gejalanya biasanya lemah, gelisah, pernapasan dan bunyi


30

jantung lambat serta kedua kaki dingin. Langkah awal yang harus dilakukan adalah
dengan cara memasukkan bayi ke dalam inkubator yang suhunya telah di atur menurut
kebutuhan bayi dan dalam keadaan telanjang supaya dapat diawasi dengan teliti.
Hipotermia Sepitas
Merupakan penurunan suhu tubuh 1 -2 derajat celcius sesudah lahir. Suhu tubuh
akan menjadi normal kembali sesudah bayi berumur 4 8 jam, bila suhu lingkungan
diatur sebaik-baiknya.
Hipotermia Sekunder
Penurunan suhu tubuh yang tidak disebabkan oleh suhu lingkungan yang dingin,
tetapi oleh sebab lain seperti sepsis, sindrom gangguan pernapasan dengan hipoksia
atau hipoglikemia, perdarahan intrakranial tranfusi tukar, penyakit jantung bawaan
yang berat. Pengobatan bisa dilakukan dengan cara memberikan antibiotik, larutan
glukosa, oksigen, dan sebagainya.
Hipotermi Cold injury
Biasanya terjadi pada bayi yang terlalu lama dalam ruangan dingin (lebih dari 12
jam). Gejalanya adalah lemah, tidak mau minum, badan dingin, suhu berkisar antara
29,5 35 derajat celsius, tak banyak bergerak, edema, serta kemerahan pada tangan,
kaki, dan muka seolah-olah bayi dalam keadaan sehat; pengerasan jaringan subkutis.
Bayi seperti ini sering mengalami komplikasi infeksi, hipoglikemia, dan perdarahan.
Pengobatan bisa dilakukan dengan memanaskan secara perlahan-lahan, pemberian
antibiotik, pemberian larutan glukosa 10 persen, dan kartikosteroid.

LO.3.4. Manifestasi Klinis

o Kaki dan tangan bayi teraba lebih dingin dibandingkan dengan bagian dada
o Aktivitas berkurang
o Kemampuan menghisap lemah
o Tangisan lemah
o Ujung jari tangan dan kaki kebiruan Bayi tidak mau minum atau menetek
o Bayi tampak lesu dan lemah atau mengantuk saja
o Kulitnya pucat dan tubuh bayi teraba dingin
o Bayi menggigil
o Dalam keadaan berat , denyut jantung bayi menurun dan kulit tubuh baayi
yang mengeras ( sklerema)

LO.3.5 Mekanisme terjadinya hipotermi

Bayi baru lahir (BBL) dapat mengalami hipotermi melalui beberapa mekanisme,
yang berkaitan dengan kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbanagan antara
produksi panas dan kehilangan panas.
Penurunan produksi panas
Hal ini dapat disebabkan kegagalan sistem endokrin dan terjadi penurunan
metabolisme tubuh, sehingga timbul proses penurunan produksi panas, misalnya
keadaan disfungsi kelenjar tiroid, adrenal ataupun pituitari.
Peningkatan panas yang hilang


31

Terjadi bila panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar, dan tubuh kehilangan
panas. Adapun mekanisme tubuh kehilangan panas terjadi secara:
- Konduksi
Yaitu perpindahan panas yang terjadi sebagai akibat perbedaan suhu antara
obyek. Kehilangan panas terjadi saat terjadi kontak langsung antara BBL dengan
permukaan yang lebih dingin. Sumber kehilangan panas terjadi pada BBL yang
bersentuhan pada permukaan/alas yang dingin, seperti pada waktu proses
penimbangan.
- Konveksi
Transfer panas terjadi secara sederhana dari selisih suhu antara permukaan kulit
dan aliran darah yang dingin dipermukaan tubuh bayi. Sumber kehilangan panas
disini dapat berupa: inkubator dengan jendela yang terbuka, atau pada waktu
transportasi BBL ke rumah sakit.
- Radiasi
Yaitu perpindahan suhu dari suatu objek panas ke objek yang lebih dingin,
misalnya dari bayi dengan suhu yang hangat di kelilingi suhu lingkungan yang
lebih dingin. Sumber kehilangan panas dapat berupa suhu lingkungan yang dingin
atau suhu inkubator yang dingin.
- Evaporasi
Panas terbuang akibat penguapan, melalui permukaan kulit dan traktus
respiratorius. Sumber kehilangan panas dapat berupa BBL yang basah setelah
lahir, atau pada waktu dimandikan.
Kegagalan termoregulasi
Kegagalan termoregulasi secara umum disebabkan kegagalan hipotalamus dalam
menjalankan fungsinya dikarenakan berbagai penyebab. Keadaan hipoksia
intrauterin/ saat persalinan/post partum, defek neurologik dan paparan obat prenatal
(analgesik/anastesi)dapat menekan respons neurologik bayi dalam mempertahankan
suhu tubuhnya. Bayi sepsis akan mengalami masalah dalam peratiuran suhu dapat
menjadi hipotermi atau hipertermi.

LO.3.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan hasil
pengukuran suhu tubuh.

Anamnesis
Diagnosis bayi baru lahir yang mengalami hipotermi dapat ditinjau dari riwayat
asfiksia pada waktu lahir, riwayat bayi yang dimandikan sesudah lahir, riwayat bayi
yang tidak dikeringkan setelah lahir dan tidak dijaga kehangatannya, riwayat terpapar
ruangan yang dingin dan riwayat melakukan tindakan tanpa tambahan kehangatan pada
bayi. Waktu timbulnya kurang dari 2 hari.






32
















Pemeriksaan Fisik

LO.3.7. Penatalaksanaan

Melaksanakan metode kanguru, yaitu bayi baru lahir dipakaikan popok dan tutup
kepala diletakkan di dada ibu agar tubuh bayi menjadi hangat karena terjadi kontak
kulit langsung.Bila tubuh bayi masih teraba dingin bisa ditambahkan selimut.
Bayi baru lahir mengenakan pakaian dan selimut yang disetrika atau dihangatkan
diatas tungku.
Menghangatkan bayi dengan lampu pijar 40 sampai 60 watt yang diletakkan pada
jarak setengah meter diatas bayi.
Ganti pakain yang dingin dan basah dengan pakain yang hangat dan kering,
memakai topi dan selimut yang hangat.


33

Cara lain yang sangat sederhana dan mudah dikerjakan setiap orang ialah metode
dekap, yaitu bayi diletakkan telungkup dalam dekapan ibunya dan keduanya
diselimuti agar bayi senantiasa hangat.
Bila tubuh bayi masih dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang diseterika
terlebih dahulu yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi dan ibu. Lakukan
berulangkali sampai tubuh bayi hangat. Tidak boleh memakai buli-buli panas,
bahaya luka bakar.
Biasanya bayi hipotermi menderita hipoglikemia sehingga bayi harus diberi ASI
sedikit-sedikit dan sesering mungkin. Bila bayi tidak dapat menghisap beri infus
glukosa 10% sebanyak 60-80 ml/kg per hari.
Periksa ulang suhu bayi 1 jam kemudian, bila suhu naik pada batas normal (36,5-
37,5
o
C), berarti usaha meenghangatkan berhasil.

LO.3.8. Pencegahan

Pencegahan hipotermi pada bayi baru lahir dapat dilakukan dengan :
Menyiapkan tempat melahirkan yang hangat, kering, bersih, penerangan cukup.
Memberi asi sedini mungkin dalam waktu 30 menit setelah melahirkan agar bayi
memperoleh kalori.
Mempertahankan kehangatan pada bayi.
Memberi perawatan bayi baru lahir yang memadai.
Melatih semua orang yang terlibat dalam pertolongan persalinan / perawatan bayi
baru lahir.
Menunda memandikan bayi baru lahir Pada bayi normal tunda memandikannya
sampai 24 jam.
Pada bayi berat badan lahir rendah tunda memandikannya lebih lama lagi.

LO.3.9. Komplikasi

o Gangguan sistem saraf pusat: koma,menurunnya reflex mata(seperti mengdip)
o Cardiovascular: penurunan tekanan darah secara berangsur, menghilangnya tekanan
darah sistolik
o Pernafasan: menurunnya konsumsi oksigen
o Saraf dan otot: tidak adanya gerakan, menghilangnya reflex perifer











34

















DAFTAR PUSTAKA

1. Ilmu Kebidanan, editor Prof.dr. Hanifa Wiknjosastro, SpOg, edisi Ketiga cetakan
Kelima,Yayaan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 1999
2. Williams Obstretics 21 st Ed: F.Gary Cunningham (Editor), Norman F.Grant MD,Kenneth
J,.,Md Leveno, Larry C.,Iii,Md Gilstrap,John C.,Md Hauth, Katherine
D.,Clark,Katherine D.Wenstrom,by McGraw-Hill Profesional (April 27,2001)
3. Gabbe : Obstretics Normal and Problem Pregnancies,4th ed.,Copyright 2002 Churchil
Livingstone, Inc.
4. Prof.Dr.Rustam Mochtar, MPH, Sinopsis Obstretis, edisi 2 jilid 1, Editor Dr. Delfi Lutan,
SpOG
5. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke tiga Jilid Pertama , Editor Arif Mansjoer , Kuspuji
Triyanti, Rakhmi Savitri , Wahyu Ika Wardani , Wiwiek Setiowulan.
6. http://www.geocities.com/yosemite/Rapids/1744/clobpt12.html
7. Curren Obstretric & Gynecologic Diagnosis & Tretment, Ninth edition : Alan H.
DeCherney and Lauren Nathan , 2003 by The McGraw-Hill Companies, Inc.
8. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management,
procedures, on call problems disease and drugs; edisi ke-5. New York : Lange
Books/Mc Graw-Hill, 2004; 247-50.
9. Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta : Depkes RI, 2006; 58-63.
10. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR,
eds. Manual of neonatal care; edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins,
2004; 185-222.
11. Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi
baru lahir untuk dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta : IDAI, MNH-
JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 42-8.
12. Rennie MJ, Roberton NRC. A manual of neonatal intensive care; edisi ke-4. London :
Arnold, 2002; 414-31.

Anda mungkin juga menyukai