Anda di halaman 1dari 7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tinea Corporis merupakan infeksi dari jamur dermatofit yang menyerang
daerah kulit halus di daerah muka, badan dan tungkai (termasuk punggung tangan
dan kaki). Infeksi ini biasanya disebabkan disebabkan oleh golongan jamur
Epidermophyton, Trichophyton, dan Microsporum (1) (2) Gejala klinis yang
timbul disebabkan oleh jamur yang bermetabolisme dan menghasilkan toksik dan
menjadi alergen bagi kulit manusia. (1)
2.2 Etiologi
Semua spesies dermatofit mampu menyebabkan lesi pada kulit halus,
meskipun terdapat beberapa jenis dermatofit yang biasanya menyebabkan infeksi
dengan tipe yang berbeda. (1) (3) Tinea korporis umumnya disebabkan oleh
Tricophyton Rubrum. Epidermophyton floccosum, T. Interdigitale (strain
antrofilik dan zoofilik), M. Canis dan T. Tonsurans juga merupakan jenis jenis
jamur yang menyebabkan tinea korporis. (4). Berbeda dengan tinea capitis,
terdapat hubungan dengan faktor demografi pada penyakit tinea korporis. Di
daerah dengan jumlah penderita tinea capitis yang tinggi, terdapat kemungkinan
bahwa species yang sama juga menyebabkan tinea coporis. Oleh karenanya, T.
Tonsurans yang menyebabkan tinea capitis pada anak juga merupakan agen
penyebab tinea corporis pada orang dewasa yang sehari-hari merawat anak.(1)
Berdasarkan habitatnya dermatofit digolongkan sebagai antropofilik
(manusia), zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah).

Dermatofit yang antropofilik
paling sering sebagai sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di
identifikasi (jika mungkin) untuk mencegah reinfeksi manusia.
(9)

IV. PATOGENESIS
Infeksi secara alami didapatkan dari perlengketan oleh jamur dari individu
yang rentan. Sumber infeksi biasanya adalah lesi yang aktif pada hewan, atau
pada manusia. Pada anak-anak yang terinfeksi T.Rubrum dan E. Floccosum,
setengah dari jalur infeksi datang dari orang tua mereka sendiri. Penyebaran dari
lokasi infeksi, misalnya kaki, lipat paha, kulit kepala dan kuku bukanlah hal yang
jarang terjadi. Invasi jamur kekulit yang menjadi pusat infeksi diikuti dengan
penyebaran secara sentrifugal melalui lapisan stratum korneum kulit. Setelah
periode inkubasi selama 1-3 minggu, jaringan akan merespon bahwa telah terjadi
infeksi. Karakteristik yang berupa gambaran lesi annular merupakan hasil dari
eliminasi jamur yang terdapat di sentral lesi (central healing). Area ini biasanya
menjadi resisten akan infeksi berulang . Selain itu juga biasanya dapat ditemukan
gambaran lesi yang berupa vesikel dan dan lesi makulopapular dengan central
yang hiperemis. Pada lesi yang berbentuk anular biasanya disebabkan oleh T.
Rubrum, sedangkan pada lesi makulopapular biasanya disebabkan oleh E.
Floccosum. Beberapa kasus inflamasi dari infeksi yang ditularkan oleh hewan
sembuh dengan spontan dalam beberapa bulan, namun infeksi yang disebabkan
oleh T. Rubrum biasanya bisa bertahan sampai beberapa tahun (3) (1)
V. GAMBARAN KLINIK

Infeksi ini biasanya mengenai bagian tubuh yang terbuka. Keluhan berupa
rasa gatal. Lesi biasanya berbentuk sirkular dengan tepi yang meninggi. Lesi
dapat berjumlah tunggal ataupun terdiri dari beberapa plak. Derajat inflamasi
sangat bervariasi. Hal ini bukan saja tergantung dari jenis jamur yang menyerang
ataupun kekebalan tubuh seseorang, melainkan juga tergantung dari berapa
banyak jumlah folikel yang diserang oleh jamur tersebut. (3)
Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal, dimulai
sebagai lesi eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan membesar,
selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang anular akan
mengalami resolusi, dan bentuk lesi menjadi anular berupa skuama, krusta,
vesikel, dan papul sering berkembang, khususnya pada bagian tepinya. Kadang-
kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada umumnya merupakan
bercak terpisah satu dengan yang lainnya. (3) (1)
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal
ringan. Lesi nya dapat berupa patch eritematus ataupun hipopigmentasi, kering
dengan pingggir yang tajam disertai dengan sentral healing. Tinea corporis yang
meluas dapat menjadi tanda bahwa penderitanya menderita AIDS ataupun juga
dapat berhubungan dengan penggunaan penggunaan kortikosteroid topikal atau
calcineurin inhibitor. ( 5)

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dalam patogenesisnya, jamur patogen akan menyebabkan kelainan pada
kulit sehingga atas dasar kelainan kulit inilah kita dapat membangun diagnosis.
Akan tetapi kadang temuan efloresensi tidak khas atau tidak jelas, sehingga
diperlukan pemeriksaan penunjang agar diagnosis dapat ditegakkan. Pemeriksaan
mikroskopik langsung dengan mengambil kerokan kulit merupakan pemeriksaan
yang umummnya dilakukan. Kerokan kulit juga bisa di kultur selama seminggu
atau 2 minggu untuk menentukan diagnosis, namun pemeriksaan ini cenderung
mahal dan jarang dilakukan. Pemeriksaan dengan menggunakan woodlamp
biasanya tidak dilakukan karena dianggap tidak terlalu berguna. Pemeriksaan
KOH merupakan pemeriksaan tunggal yang paling penting untuk mendiagnosis
infeksi dermatofit secara langsung dibawah mikroskop dimana terlihat hifa
diantara material keratin.

(5, 6)


VII. DIAGNOSIS
Diagnosis pasti didapatkan dengan melakukan pemeriksaan dengan
menggunakan mikroskop untuk mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk
mengetahui infeksi dermatofit. Infeksi dapat dikonfirmasi atau beberapa dari
keadaan ini diidentifikasi dari hasil positif kerokan oleh kultur jamur. (5)
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Bergantung variasi gambaran klinis, tinea korporis kadang sulit dibedakan
dengan beberapa kelainan kulit yang lainnya. Beberapa penyakit yang mirip
dengan Tinea corporis antara lain Ptyriasis rosea, impetigo, dermatitis numular,
dermatitis seboroik, tinea versikolor, cutaneous candidiasis dan psoriasis. Oleh
karenanya diperlukan pemeriksaan KOH ataupun kultur untuk menegakkan
diagnosis tinea korporis dengan tepat. (4,5)

IX. PENATALAKSANAAN
Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan
daerah lesi selalu kering dan memakai baju yang menyerap keringat.
A. Terapi topikal
Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit
biasanya hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan
alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan
keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari
selama 2 minggu. Topikal azol biasanya sering digunakan karena juga
berguna sebagai antibiotik broad spectrum. (4,5,7). Topikal azol yang
sering digunakan antara lain:
a. Econazol 1 %
b. Ketoconazol 2 %
c. Clotrinazol 1%
d. Miconazol 2% dll. (7)
B. Terapi sistemik
Terdapat 5 jenis terapi sistemik yang sering digunakan, dintaranya
terbinafine, itraconazole, griseofulvin, ketokonazole, dan fluconazole.
1. Terbinafine
Pada penderita tinea corporis, terbinafine oral diberikan dengan dosis
250 mg/hari selama 2-4 minggu.
2. Itrakonazole
Itrakonazole oral diberikan dengan dosis 200 mg/ hari selama satu
minggu
3. Griseofulvin
Griseofulvin tersedia dalam dosis besar dan dosis kecil. Dosis besar
adalah 500 mg/hari sedangkan dosis kecil adalah 330-375 mg/hari
selama 2-4 minggu.
4) Ketokonazole
Ketokonazole oral diberikan dengan dosis 200-400 mg/hari selama 4
minggu.
5) Fluconazole
Fluconazole oral diberikan dengan dosis 150-300 mg sekali seminggu
selama 2-4 minggu. (7)


X. PROGNOSIS
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, biasanya pasien akan sembuh
sendiri setelah beberapa bulan. Prognosisnya akan lebih baik dengan tingkat
kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan menggunakan anti jamur. (1)




















Daftar Pustaka
1. Rippon JW. Characteristic of Fungi. 3rd ed. Saunders Company: 1988.
2. William E. Peter G. Jack D. 2003. Clinical Mycology. Oxford University Press
3. Hay RJ. Moore M. Mycology in Rook Textbook of Dermatology. 7th ed.
Blackwell Science. 2007. P.1277-376
4. Verma S. Heffernan MP. Superficial Fungal Infection: dermatophytosis,
Onicho-mycosis, tinea nigra, piedra. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors, Fitzpatrics Dermatology in General
Medicine. 7th edition. New York: McGraw-Hill; 2008. P.1807-21
5. James WD. Berger TG. Elston DM. Andrews Disease of The Skin Clinical
Dermatology. Edisi 11. United Kingdom: Saunders Elsevier. 2011 p.297-331.
6. Hainer BL. Dermatophyte Infections. Am Fam Physician. 2003; 67: p.101-8
7. Gupta AK. Cooper A. Update in Antifungal Theraphy of Dermathophytosis.
Mycopathologia 2008; 166; p.353-67.

Anda mungkin juga menyukai