Serat Gatholoco

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 108

SERAT GATHOLOCO

Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa


yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA
Ditulis ulang oleh: Koma On www.koma.web.id

Purwaka
Pupuh I
Mijil
(Pembukaan, Kumpulan Syair I, Lagu ber-irama Mijil)

1. Prana putk kaptk ngranuhi, wiyoganing batos, raosing tyas karaos kkse, tmah
bangkit upami nylaki, rudah gung prihatin, nalangsa kalangkung.

Oleh sebab sesak yang semakin menjadi-jadi, yang muncul dalam hati, terasa bagai diirisiris, bangkit semakin tak tertahan lagi, gelisah dan gundah, nelangsa berlebih-lebih.
2. Jroning kingkin sinalamur nulis, srat Gatholoco, cipteng nala ngupaya ljare, tarlen
muhung mrih ayming galih, ywa kalatur sdhih, minangka panglipur.
Ditengah keresahan sengaja aku menulis untuk menghibur, (menulis) srat Gatholoco,
maksud hati mencari kejelasan, sehingga bisa menentramkan hati, supaya tidak sedih
berlarut-larut, sebagai sarana menghibur diri.

3. Kang kinarya bebukaning rawi, Rjasari pondhok, wontn Kyai jumnng Gurune, tiga
pisan wasis muruk ilmi, kathah para santri, kapencut maguru.
Sebagai cerita pembuka, (tersebutlah sebuah) pondok (pesantren) Rjasari, ada Kyai
berkedudukan sebagai guru, berjumlah tiga orang sangat pandai mengajarkan ilmu,
banyak para santri, terpikat untuk berguru.
4. Bakda subuh wau tiga Kyai, rujuk tyasnya condhong, Guru tiga ngrasuk busanane, arsa
linggar sadaya miranti, duk wanci byar enjing, sarng angkatipun.
Seusai (shalat) Subuh ketiga Kyai (tersebut), sepakat bersama-sama, ketiga Guru berganti
busana, hendak melakukan perjalanan semua (santri) telah menanti, tepat ketika pagi
menjelang, berangkatlah bersama-sama.
5. Murid nnm umiring tut wuri, samya angggendhong, kang ginendhong kitab
sadayane, gunggung kitab kawan likur iji, ciptaning panggalih, tuwi mitranipun.
Diiringi enam orang murid mengikut dibelakang, masing-masing membawa, yang dibawa
banyak kitab, jumlah kitab sebanyak dua puluh empat buah, tujuan perjalanan, hendak
bertandang ke tempat seorang sahabat.
6. Ingkang ugi dadya Guru santri, ing Cpkan pondhok, Kyai Kasan Bsari namane, wus
misuwur yen limpad pribadi, putus sagung ilmi, pra Guru maguru.
Yang juga berkedudukan sebagai seorang Guru dari banyak para santri, di pondok
(pesantren) Cpkan, bernama Kyai Kasan Bsari (Hassan Bashori), sudah terkenal akan
kepandaiannya, menguasai segala macam ilmu, sehingga para Guru-pun berguru
(kepadanya).
7. Datan wontn ingkang animbangi, pinunjul kinaot, langkung agng pondhokan
santrine, krana saking kathahipun murid, ujaring pawarti, pintn-pintn atus.

Tak ada yang mampu mengimbangi, terkenal dan dihormati, sangat besar pondok
pesantrennya, karena memang muridnya-pun sangat banyak, menurut kabar, beratas-ratus
(orang).
8. Amangsuli kang lagya lumaris, sadaya mangulon, spi mendhung sumilak langite, saya
siyang lampahnya wus tbih, sunaring hyang rawi, sagt bnteripun.
Kembali menceritakan mereka yang tengah berjalan, bergerak ke barat, tak ada mendung
bergelayut sangat terang langit dikala itu, semakin siang perjalanan mereka semakin jauh,
sinar hyang rawi (matahari), terasa menyengat panas.
9. Marma reren sapinggiring margi, ngandhap wringin ayom, aym samya anyrng

kacune, tinamakkn ayoming waringin, pan kinarya linggih, jengkeng smu timpuh.

Oleh karenanya memutuskan untuk berhenti dipinggir jalan, tepat dibawah pohon
beringin yang sejuk, segar terasa semua mengeluarkan sapu tangan ( pada jaman itu sapu
tangan yang dipakai kebanyakan berukuran besar, seukuran handuk mini pada jaman
sekarang), dibentangkan dibawah beringin, dipakai sebagai alas duduk, berjongkok
setengah bersimpuh.

10. cisira cinublskn siti, murid sami lunggoh, munggeng ngarsa ajejer lungguhe,
kasiliring samirana ngidid, pating clumik muji, tsbehnya den etung.
Tongkat ditancapkan diatas tanah, para murid telah duduk semua, mengambil posisi
duduk didepan ( dan menghadap Kyai Guru) berjajar-jajar, diterpa hembusan angin, bibir
(ketiga Kyai Guru) berkomat-kamit melantunkan doa, sembari menghitung tasbih
(masing-masing).
11. Murid nnm ambelani muji, dikir lenggak-lenggok, manggut-manggut sirah gedheggedheg, dereng dangu nulya aningali, mring sajuga janmi, lir dandang lumaku.

Keenam murid mengikut berdoa, berdzikir kepalanya melenggak-lenggok, menganggukangguk kadang bergeleng-geleng pula, belum begitu lama lantas melihat, seorang
manusia, (buruk rupa) bagaikan seekor burung gagak yang tengah berjalan.

Pupuh II

Dandanggula

(Kumpulan Syair II, Lagu ber-irama Dandanggula)

1. ndhek cilik remane barintik, tur aburik wau rainira, ciri kera ing mripate, alis
barungut tpung, irung sunthi cangkme nguplik, waja gingsul tur pthak, lambe kandl
biru, janggut goleng smu nynthang, pipi klungsur kupingira anjpiping, gulu panggl
tur cndhak.

Berpostur pendek dan kecil dengan rambut keriting, kulit wajahnya kasar, bermata kera
(arah pandang mata yang tidak normal), alisnya tebal dan bertemu ujung keduanya,

hidung pesek mulut maju, gigi gingsul besar berwarna putih, bibirnya tebal berwarna
biru, janggut tumpul (tidak runcing) dan melebar jelek, pipinya kempot bentuk daun
telinga maju (seperti telinga gajah), sedangkan leher besar dan pendek.
2. Pundhak brojol smune angmpis, punang asta cndhak tur kuwaga, ting carnthik
darijine, alkik dhadhanipun, wtng bekel bokongnya canthik, smu ekor dhngkulnya,
lampahipun impur, kulit ambsisik mangkak, ambngkerok napasira kmpas-kmpis,
sayak lsu kewala.

Pundak turun seperti luruh kebawah, tangannya pendek dan besar, jari jemarinya tidak
rapi jelek, dadanya kempis, perut buncit kecil pantat kecil, lututnya kecil, tidak rapi saat
berjalan, kulit tubuh seolah bersisik dengan warna gelap, saat bernafas suaranya
terdengar dan tersengal-sengal, bagaikan orang yang tengah kelelahan.
3. Bdudane pring tutul kinisik, apan blorok kuninge smu bang, asungsun tiga
ponthange, bongkot tngah lan pucuk, timah budhng ingkang kinardi, cupak irng tur
tuwa, gripis nynypipun, mlng-mlng smu nglnga, labt saking kenging kukus
sabn ari, pangoturik den asta.

Pipa rokok yang dibawa berasal dari pohon bambu berukuran kecil yang digosok,
warnanya kuning bersemu merah, diberikan hiasan pada tiga tempat, dibagian pangkal
tengah dan ujung, timah hitam yang dipakai hiasan, terlihat jelek berwarna hitam pekat,
dibagian untuk menghisap telah gripis (sedikit rusak), berminyak kehitam-hitaman,
karena setiap saat terkena asap, walaupun begitu tetap saja dipakai.
4. Kandhutane klelet gangsal glindhing, alon lenggah cakt Guru tiga, sarwi angempos
napase, kapyarsa snguk-snguk, gandanira prngus asangit, tumanduk mring panggenan,
santri ingkang lungguh, Gatholoco ngambil sigra, kandhutane tgsan kang aneng
kendhit, gya nitik karya brama.

Bekal yang dibawa adalah candu tiga gelintir, pelan mengambil duduk dekat dengan
ketiga Guru, terdengar suara nafasnya, tercium bau badan yang tidak sedap, prengus
(istilah Jawa untuk mendefinisikan jenis bau yang mirip dengan bau kambing) sangit
(istilah Jawa untuk mendefinisikan bau dari sisa pembakaran), menebar ke sekeliling,
ditempat mana para santri tengah duduk, Gatholoco segera mengambil, bekal yang
tersimpan dalam buntalan yang terikat dipinggangnya, lantas memantik korek api.
5. Nulya udut kebulnya ngbuli, para santri kawratan sdaya, asngak sanget sangite,
murid nnm tumungkul, mrgo sarwi atutup rai, sawneh mithes grana, kang sawneh
watuk, mingsr saking palnggahan, samya pindhah neng wurine guruneki, nyingkiri
punang ganda.

Seketika asap rokok menyebar, semua santri terganggu, sngak (istilah Jawa untuk
mendefinisikan bau dari benda yang kotor) sangat sangit (lihat keterangan di syair: 5
diatas), kontan keenam murid mengalihkan pandangan dari Gatholoco, sembari menutup
wajah (karena terganggu asap berbau tidak sedap), seorang lagi memencet hidung,
seorang lagi terbatuk-batuk, segera mereka bergeser, duduk dibelakang para guru mereka,
menghindari bau yang tak sedap.
6. Guru tiga waspada ningali, mring Wajuja ingkang lagya prapta, kawuryan msum
ulate, sareng denira nebut, astagapirullah-hal-ngadim, dubillah minas setan, ilaha lallahu,
lah iku manusa apa, salawase urip aneng dunya iki, ingsun durung tumingal.

Ketiga guru memperhatikan dengan seksama, kepada Wajuja (diambil dari nama
sekelompok makhuk bar-bar pengganggu yang tertulis dalam Al-Quran, yaitu Yajuj wa
Majuj) yang baru datang ini, terlihat tidak patut tingkahnya, hampir bersamaan mereka
berucap, Astaghfirullahal adzim (Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha
Agung), Audzubillahiminassyaithon (Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan),
Laillahailallahu (Tiada Tuhan selain Allah), Manusia apakan ini? selama hidupku didunia
ini, aku belum pernah menjumpai.
7. Janma ingkang rupane kayeki, sarwi noleh ngandika mring sabat, Padha tingalana
kuwe, manusa kurang wuruk, datan wruh sakehing Nabi, neng dunya wus cilaka, iku
durung besuk, siniksa aneng akherat, rikl sewu siksane neng dunya kuwi, mulane wkas
ingwang.

Manusia yang berwujud seperti ini, sembari menoleh berkatalah kepada para sahabat
(para santri), Lihatlah itu, manusia kurang pengajaran, tidak mengenal Para Nabi, didunia
sudah celaka, belum kelak, disiksa di akherat, berlipat seribu siksaannya lebih dari
siksaan didunianya kini, oleh karenanya aku berpesan.
8. Ingkang pthel sinauwa ngaji, amrih wruh sarak Rasulullah, slamt dunya akherate,
sapa kang nja manut, ing saringat Andika Nabi, msthi oleh kamulyan, sapa kang tan
manut, bakale nmu cilaka, Ahmad Ngarip mangkana denira eling, Janma iku sun kira.

Yang rajin dalam mengaji, supaya mengetahui syariat Rasulullah, akan selamat dunia
akhirat, barangsiapa yang berkehendak menurut, kepada syariat Baginda Nabi, pastilah
akan mendapatkan kemuliaan, barangsiapa yang tak menurut, bakal menemukan celaka,
begitulah pesan dari Ahmad Ngarip (Ahmad Arif), Manusia itu aku duga.
9. Dudu anak manusa saykti, anak Blis Setan Brkasakan, turune Mmdi Wewe,
Gatholoco duk ngrungu, den wastani yen anak Blis, langkung sakit manahnya, nanging
tan kawtu, ngungkapi gembolanira, kleletipun sajbug sigra ingambil, den untal babar
pisan.

Bukan anak manusia sesungguhnya, akan tetapi anak Iblis Setan Brkasakan (makhluk
yang tidak karu-karuan hidupnya), keturunan Mmdi (makhluk yang menakutkan) atau
Wewe (Jin perempuan yang berwujud jelek), Gatholoco mendengar akan hal itu, disebut
sebagai anak Iblis, sangat-sangat sakit hatinya, akan tetapi didiamkan saja, membuka
gembolannya kembali, diambilnya candu sekepal, dimakan sekaligus semuanya.
10. Pan sakala ndme mratani, mrasuk badan kulit dagingira, ludira otot bayune, balung
kalawan sungsum, kkiyatan sadaya pulih, kawistara njrbabak, cahyanipun santun, Guru
tiga wrin waspada, samya eram tyasnya ngungun tan andugi, pratingkah kang mangkana.

Seketika mabuklah dia, candu merasuk badan kulit dan dagingnya, darah otot dan
kekuatannya, tulang dan sumsumnya, seluruh kekuatan terasa pulih, dapat dilihat dari
wajahnya yang memerah, cahaya wajahnya kembali, ketiga Guru waspada mengamati,
heran hati mereka tak bisa memahami, kelakuan yang seperti itu.
11. Abdul Jabar ngucap mring Mad Ngarip, Lah ta mara age takonana, apa kang den
untal kuwe, lan sapa aranipun, sarta manh wismane ngndi, apa panggotanira, ing
sadinanipun, lan apa tan adus toya, salawase dene awake mbasisik, janma iku sun kira.

Abdul Jabar berkata kepada (Ah)mad Ngarip (Ahmad Arif), Segeralah kamu tanyai, apa
yang dimakannya barusan, dan siapa namanya, dan lagi rumahnya dimana, apa
pekerjaannya, pekerjaan sehari-harinya, dan apakah tidak pernah mandi, sehingga
kulitnya bersisik, manusia ini aku kira.
12. Ora ngrti nyarak lawan sirik, najis mkruh batal lawan karam, mung nganggo
snnge dhewe, sanajan iwak asu, daging celeng utawa babi, anggr doyan pinangan, ora
nduwe gigu, tan pisan wdi duraka, Ahmad Ngarip mrpeki gya muwus aris, Wong ala
ingsun tannya.

Tidak mengetahui syariat dan larangannya, najis makruh batal apalagi haram, hanya
menuruti kesenangan sendiri, walaupun daging anjing, daging celeng maupun babi, kalau
suka pasti dimakannya, tak memiliki rasa jijik, tak takut akan durhaka, Ahmad Ngarip
(Ahmad Arif) mendekat dan segera berkata, Hai manusia jelek aku hendak bertanya.
13. Lah ta sapa aranira ykti, sarta manh ngndi wismanira, kang tinannya lon saure,
Gatholoco aranku, ingsun janma Lanang Sujati, omahku tngah jagad, Guru tiga
ngrungu, sarng denya latah-latah, Bdhes buset aran nora lumrah janmi, jnngmu iku
karam.

Siapakah namamu sesungguhnya? Dan lagi dimanakah rumahmu? Yang ditanya


menjawab pelan, Gatholoco namaku, aku manusia Lanang Sujati ( Lelaki Sejati ),

rumahku ditengah-tengah jagad, Ketiga Guru mendengar, bersamaan mereka tertawa


terbahak-bahak, Monyet! Busyet! Nama tidak umum dipakai manusia, namamu saja itu
sudah haram!
14. Gatholoco ngucap tannya aris, Dene sira padha latah-latah, anggguyu apa kuwe,
Kyai Guru sumaur, Krana saking tyasingsun gli, gumun mring jnngira, Gatholoco
muwus, Ing mangka jnng utama, Gatho iku tgse Sirah Kang Wadi, Loco Pranti
Gosokan.

Gatholoco tenang bertanya, Kenapa kalian terbahak-bahak? Mentertawai apakah? Kyai


Guru menjawab, Hatiku sangat geli, heran kepada namamu, Gatholoco berkata, Padahal
itu adalah nama utama, Gatho itu artinya Kepala Yang Dirahasiakan ( Gathel : Penis ),
Loco artinya Dikocok.
15. Marma kabeh padha sun lilani, sakarsane ngundang marang ingwang, yekti sun sauri
bae, ttlu araningsun, kang sawiji Barang Kinisik, siji Barang Panglusan, nanging kang
misuwur, manca pat manca llima, iya iku Gatholoco aran mami, prasaja tandha priya.

Maka aku rela jika kalian semua, mau memanggil aku apa, pasti aku akan terima, tiga
namaku, yang pertama Barang Kinisik ( Barang yang sering digosok-gosokkan kepada
lobang), satunya lagi Barang Panglusan (Barang yang sering dihaluskan dengan cara
dikeluar masukkan), akan tetapi yang terkenal, di empat penjuru angin bahkan di-lima
penjuru angin, ialah Gatholoco, tanda seorang pria sejati.
16. Kyai Guru mangsuli Tan bcik, jnngira iku luwih ala, jalaran bangt sarune, karam
najis lan mkruh, iku jnng anyilakani, jnng dadi duraka, jnng ora patut, wus
kasbut jroning kitab, nyirik karam yen mati munggah suwargi, kang karam manjing
nraka.

Kyai Guru menjawab Tidak patut, namamu itu sangat-sangat jelek, karena sangat
tabunya, bukah hanya makruh tapi sudah najis bahkan haram! Itu nama yang
mencelakakan, nama yang membuat orang menjadi durhaka, nama yang tidak patut,
sudah disebutkan didalam kitab, apabila menghindari hal-hal yang haram jika meninggal
kelak pasti akan naik ke surga, yang tidak menghindari hal-hal yang haram pasti kelak
masuk neraka.
17. Gatholoco menjp ngiwi-iwi, gya gumujng nyawang Guru tiga, sarwi mangkana
ujare, Sarak-ira kang kliru, sapa bisa anglus wadi, ykti janma utama, iku apsipun,
priyayi kang lungguh Dmang, myang Panewu Wadana Kliwon Bupati, liyane ora bisa.

Gatholoco mencibir memperolok-olok, lantas tertawa memperhatikan ketiga Guru,


sembari berkata demikian, Pemahamanmu atas syariat salah! Siapa saja yang mampu

mengerti rahasia (proses penciptaan melalui sexualitas), dialah manusia utama, hal inilah
kelemahan, seluruh manusia walaupun berpangkat Dmang, berpangkat Panwu
berpangkat Wadana berpangkat Kliwon maupun Bupati sekalipun, semuanya tidak ada
yang memahami.

_________________
Last edited by Koma on Mey 03, 2012 - www.koma.web.id

SERAT GATHOLOCO (2)

Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa


Yang disimpan oleh :
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

Sebelum melanjutkan ke-Pada (Syair) berikutnya (akan saya posting pada catatan bagian
tiga), maka perlulah kiranya kita ulas beberapa Pada (Syair) yang telah saya posting pada
catatan bagian pertama. Beberapa Pada (Syair) penting yang patut diulas agar tidak
menimbulkan kesalah pemahaman adalah sebagai berikut :

1. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 9 :


Dudu anak manusa saykti, anak Blis Setan Brkasakan, turune Mmdi Wewe,

Gatholoco duk ngrungu, den wastani yen anak Blis, langkung sakit manahnya, nanging
tan kawtu, ngungkapi gembolanira, kleletipun sajbug sigra ingambil, den untal babar
pisan.
Bukan anak manusia sesungguhnya, akan tetapi anak Iblis Setan Brkasakan (makhluk
yang tidak karu-karuan hidupnya), keturunan Mmdi (makhluk yang menakutkan) atau
Wewe (Jin perempuan yang berwujud jelek), Gatholoco mendengar akan hal itu, disebut
sebagai anak Iblis, sangat-sangat sakit hatinya, akan tetapi didiamkan saja, membuka
gembolannya kembali, diambilnya candu sekepal, dimakan sekaligus semuanya.

Penulis Gatholoco tampaknya mengambil pola pikir dari ajaran Shiwa Tantrayana yang
sangat populer ditanah Jawa pada masa lampau. Dalam kitab Mahanirvana Tantra jelas
disebutkan sebagai berikut :

Pautvaa pitvaa punah pitvaa yaavat patati bhuutale, Punarutyaaya dyai potvaa
punarjanma ga vidhate.
Minum, teruslah minum hingga kamu terjerembab ke tanah. Lantas berdirilah kembali
dan minum lagi hingga sesudah itu kamu akan terbebas dari punarjanma (kelahiran
kembali) dan mencapai kesempurnaan (Moksha).

Maksud dari sutra ini, tak lain adalah meminum minuman spiritual, bukan minuman
berwujud fisik yang mengandung alkhohol. Seseorang yang terus meminum anggur
spiritualitas hingga jatuh bangun, dan tetap tidak jera untuk terus mereguknya, maka
hanya dengan jalan seperti itu, dapat dipastikan, Kesadaran akan tertempa, terbangun dan
terasah.
Meminum anggur spiritualitas sehingga mabuk, atau dalam syair diatas digambarkan
memakan CANDU SPIRITUALITAS, sehingga terikat betul dengan Ke-Illahi-an,
sehingga KECANDUAN betul dengan Kesempurnaan, adalah prasyarat mutlak bagi
siapa saja yang ingin menggapai Kesadaran Purna.

2. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 11 :

Abdul Jabar ngucap mring Mad Ngarip, Lah ta mara age takonana, apa kang den untal
kuwe, lan sapa aranipun, sarta maneh wismane ngndi, apa panggotanira, ing
sadinanipun, lan apa tan adus toya, salawase dene awake mbasisik, janma iku sun kira.
Abdul Jabar berkata kepada (Ah)mad Ngarip (Ahmad Arif), Segeralah kamu tanyai, apa
yang dimakannya barusan, dan siapa namanya, dan lagi rumahnya dimana, apa
pekerjaannya, pekerjaan sehari-harinya, dan apakah tidak pernah mandi, sehingga
kulitnya bersisik, manusia ini aku kira.

Masyarakat awan atau dalam istilah Tassawuf Islam disebut Mukmin Am (seringkali
ditulis dengan logat Mukmin Ngam dalam setiap sastra Jawa klasik) atau Walaka dalam
istilah Shiwa Buddha, sudah barang tentu akan keheran melihat tingkah laku manusiamanusia aneh yang kecanduan spiritualitas seperti Gatholoco. Mereka akan bertanyatanya, apa yang di-makan-nya? Apa yang di-telan-nya sehingga demikian gila-nya
itu orang? Fenomena ini digambarkan secara konotatif dalam adegan diatas. Dimana
sosok manusia Gatholoco menelan candu didepan para agamawan sehingga membuat
keheranan mereka.
Manusia Gatholoco akan membuat logika spiritual orang awam terjungkir-balikkan,
bahkan mereka yang mengaku agamawan sekalipun akan dibuat kalang-kabut olehnya.
Manusia Gatholoco sangat unik karena benar-benar mabuk oleh candu Illahi. Siapapun
yang mabuk candu Illahi, maka Kesadarannnya akan terayun kesegala arah bagai Palu
Illahi yang tanpa ampun akan menggedor sekat-sekat sempit pemahaman awam tentang
syariat. Fenomena yang dialami oleh manusia Gatholoco, akan sulit dipahami oleh
mereka yang tidak mau menikmati candu yang sama.

3. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 13 :

Lah ta sapa aranira ykti, sarta maneh ngndi wismanira, kang tinannya lon saure,
Gatholoco aranku, ingsun janma Lanang Sujati, omahku tngah jagad, Guru tiga
ngrungu, sarng denya latah-latah, Bdhes buset aran nora lumrah janmi, jnngmu iku
karam.
Siapakah namamu sesungguhnya? Dan lagi dimanakah rumahmu? Yang ditanya
menjawab pelan, Gatholoco namaku, aku manusia Lanang Sujati ( Lelaki Sejati ),
rumahku ditengah-tengah jagad, Ketiga Guru mendengar, bersamaan mereka tertawa
terbahak-bahak, Monyet! Busyet! Nama tidak umum dipakai manusia, namamu saja itu
sudah haram!

Manusia Gatholoco akan menyatakan dirinya sebagai Lanang Sujati (Hal ini akan
diuraikan dalam syair ke-18 pada bagian tiga) yang bertempat tinggal di TENGAHTENGAH DUNIA. Tengah-tengah dunia menyiratkan bahwa DIA TIDAK DITIMUR
TIDAK DIBARAT TIDAK DIUTARA TIDAK DISELATAN TIDAK PULA DI ATAS,
DITENGAH ATAU DIBAWAH. SEMUA ARAH ADALAH TEMPATNYA.
Dualitas duniawi, senang-sedih, panas-dingin, tinggi-rendah, nikmat-sakit, hidup-mati
dan sebagainya akan menyeret manusia awam kearah salah satu kutub-nya. Namun bagi
manusia Gatholoco, dia telah mampu berpijak ditengah-tengah keduanya. Berpijak dalam
keadaan seimbang total! Manusia Gatholoco telah melampaui dualitas duniawi!
Manusia Gatholoco tidak condong ke kanan maupun kekiri. Manusia Gatholoco telah
melampaui dualitas duniawi (Rwabhineda) sehingga tepatlah jika dikatakan
KEDUDUKAN DIA BERADA DITENGAH-TENGAH JAGAD atau DUNIA!

4. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 14 :

Gatholoco ngucap tannya aris, Dene sira padha latah-latah, anggguyu apa kuwe, Kyai
Guru sumaur, Krana saking tyasingsun gli, gumun mring jnngira, Gatholoco muwus,
Ing mangka jnng utama, Gatho iku tgse Sirah Kang Wadi, Loco Pranti Gosokan.
Gatholoco tenang bertanya, Kenapa kalian terbahak-bahak? Mentertawai apakah? Kyai
Guru menjawab, Hatiku sangat geli, heran kepada namamu, Gatholoco berkata, Padahal
itu adalah nama utama, Gatho itu artinya Kepala Yang Dirahasiakan ( Gathel : Penis ),
Loco artinya Dikocok.

Inilah pernyataan Gatholoco yang sangat vulgar tentang arti namanya. Gatho atau
GATHEL (maaf) dalam bahasa Jawa berarti PENIS, sedangkan LOCO artinya KOCOK.
Gatholoco tak lebih berarti KOCOKAN DARI PENIS. Dan akibat dari aktifitas
KOCOKAN ini, pada ujungnya memuncak pada fenomena TERPANCARNYA
CAIRAN SPERMA. Arti nama Gatholoco sangatlah tabu jika hal ini dikaitkan dengan
etika masyarakat pada umumnya. Namun bagaimana-pun juga, manusia yang terdiri dari
tiga bentukan badan (sarira) sesuai dengan mantra-mantra yang ada dalam
ATMOPANISHAD, yaitu Badan Fisik atau STHULA SARIIRA, Badan Halus atau
SUKSMA SARIIRA dan Badan Sejati atau ATMA SARIIRA, semua memang

tercipta dari fenomena PANCARAN ini.


Dalam istilah Tassawuf Islam, Badan Fisik (STHULA) disebut JASAD dan dalam
istilah Islam Kejawen, disebut DHINDHING JALAL ARAN KIJAB (Dinding Agung
Yang Disebut Hijab ; Penghalang/Tabir/Tirai).
Sedangkan Badan Halus (SUKSMA) dalam istilah Tassawuf Islam disebut NAFS
(Pribadi/personil) dan dalam Islam Kejawen disebutROH ILAPI (Ruh Idlafi), DAMAR
ARAN KANDHIL (Pelita bernama Kandil) dan SESOTYA ARAN DARAH (Cahaya
bernama Darah)
Badan Sejati (ATMA) dalam istilah Tassawuf Islam disebut RUH dan dalam Islam
Kejawen disebut KAYU SAJARATUL YAKIN (Hayyu Syajaratul Yaqin ; Hidup
Sebagai Pohon/Akar Keyakinan Utama) , NUR MUHAMMAD (Cahaya Terpuji) dan
KACA ARAN MIRATULKAYAI (Cermin bernama Miratul Haya; Mirah = Cermin,
Haya = Malu) atau cukup disebut KANG NGURIPI (Yang membuat manusia hidup).
Dalam istilah Kristiani, Badan Fisik (STHULA) dan Badan Halus (SUKSMA) ,
keduanya di sebut tataran DAGING. Dan Badan Sejati (ATMA) disebut ROH
KUDUS!
Dalam tataran materi (Skala), proses terbentuknya Badan Fisik dan Badan Halus tidak
bisa lepas dari fenomena TERPANCARNYA SPERMA KEDALAM RAHIM
SEBAGAI PUNCAK DARI SEBUAH AKTIFITAS SEXUAL. Tak jauh beda pula pada
tataran Immateri (Niskala), terciptanya Atma dan seluruh semesta ini tak lepas pula dari
fenomena dahsyat PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEPADA
APA YANG DINAMAKAN PRAKRTI.
BRAHMAN yang mutlak atau PARAMASHIWA, yaitu SUMBER SEGALA SUMBER
HIDUP INI atau HIDUP itu sendiri (Tassawuf Islam menyebutnya ALLAH, Kejawen
menyebutnya URIP yang artinya adalah Hidup, Kristiani menyebutnya ALLAH
BAPA), Yang Melampaui Segalanya, Mengatasi Segalanya, Tidak diketahui apa
sesungguhnya Dia, Mengatasi segala pribadi, Sempurna, Yang Murni dan sebagainya,
pada suatu saat, berkehendak mempersempit ke-Mutlak-an-Nya.
Proses ini dinamakan DOSHA atau KESALAHAN. Sebuah DOSHA yang memang
disengaja oleh-Nya. BRAHMAN atau PARAMASHIWA yang mempersempit keMutlak-an-Nya ini lantas mengenakan sifat MAHA. MAHA ADA, MAHA KUASA,
MAHA AGUNG, MAHA SUCI dan sebagainya. Dia lantas dikenal dengan nama
PURUSHA yang artinya YANG BERKEHENDAK atau SADASHIWA (Tassawuf Islam
menyebutnya NURUN ALA NUURIN yang artinya Cahaya Diatas Cahaya. Kejawen
menyebutnya KANG GAWE URIP yang artinya Yang Menyebabkan adanya
kehidupan material. Kristiani menyebutnya ALLAH PUTRA).
Bersamaan proses mempersempit ke-Mutlak-an-Nya tersebut, tercipta bayangan
BRAHMAN atau PARAMASHIWA yang disebut PRAKRTI. PRAKRTI inilah cikal-

bakal bahan materi seluruh alam semesta. (PRA : Sebelum, KRTI : Membuat).
PRAKRTI mengandung unsur negatif dan positif semesta, PRAKRTI inilah yang
sesungguhnya dalam tradisi agama timur tengah disebut PENGHULU MALAIKAT dan
IBLIS itu sendiri!
Bahan-bahan positif dari PRAKRTI yang kelak membentuk Badan Halus dan Badan
Kasar manusia dengan unsur positif-nya, inilah yang disimbolkan sebagai MALAIKAT
YANG MENJAGA MANUSIA. Sedangkan bahan-bahan negatif PRAKRTI yang kelak
membentuk Badan Halus dan Badan Kasar manusia dengan unsur negatif-nya, inilah
yang disimbolkan sebagai SETAN-SETAN YANG MENGGODA MANUSIA!
UNSUR POSITIF ALAM DIDALAM PRAKRTI ITULAH PARA PENGHULU
MALAIKAT! UNSUR NEGATIF ALAM DIDALAM PRAKRTI ITULAH IBLIS.
SEGALA HAL YANG TERDAPAT DALAM BADAN HALUS DAN BADAN
KASAR ANDA YANG MENUNJANG KEARAH KEBENARAN, ITULAH
MALAIKAT PENDAMPING ANDA! SEGALA HAL YANG TERDAPAT DALAM
BADAN HALUS MAUPUN BADAN KASAR ANDA YANG SENANTIASA
MENGGANGGU ANDA BERJALAN DIJALAN KEBENARAN, ITULAH ANAKANAK IBLIS YANG DISEBUT SETAN! BUKALAH KESADARAN ANDA SAAT
INI JUGA!
MALAIKAT tercipta dari CAHAYA. IBLIS tercipta dari API. CAHAYA dan API tidak
bisa dipisahkan! Mengapa masih juga anda tidak mengerti dengan simbolisasi seperti ini?
Akibat PANCARAN ENERGI DARI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEPADA
PRAKRTI, maka terperciklah tak terhitung ATMA-ATMA sebagai percikan PURUSHA.
Bagai API dengan PERCIKANNYA. Bagai AIR dengan TETESANNYA.
Bahkan dari proses PANCARAN ENERGI ini, tercipta pula bahan-bahan material alam
semesta sebagai bakal wadah bagi Atma-Atma.
Dari PURUSHAatau SADASHIWA terciptalah ATMA-ATMA, dan dari bahan-bahan
material akibat PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEPADA
PRAKRTI terciptalah kelak Badan Halus (SUKSMA) dan Badan Fisik (STHULA).
PRAKRTI HANYA SEKEDAR SEBAGAI TEMPAT PENAMPUNGAN SEMUA ITU.
PRAKRTI IBARAT RAHIM SEMESTA!
Dan semua proses ini tak lain berawal dari PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU
SADASHIWA KEPADA PRAKRTI.
Dan proses ini diulang kembali, dalam bentuk aktifitas badaniah antara laki-laki dan
wanita yang dinamakan sexualitas. Dimana penis makhluk jantan harus dikocok didalam
vagina makhluk wanita (Gatholoco) agar memancarlah sperma yang penuh dengan
berjuta-juta bibit kehidupan (Atma) kedalam rahim.

Proses sexualitas, adalah proses pematangan agar Atma benar-benar dibungkus oleh
Badan Halus (Suksma) dan Badan Fisik (Sthula) didalam kandungan seorang wanita
selama rentang waktu sembilan bulan sepuluh hari.
Nama Gatholoco sangat tabu, tapi dari Gatholoco-lah seluruh kehidupan tercipta. Maka
sesungguhnya benar apa yang dikatakan Gatholoco, bahwa nama yang dipakainya adalah
nama Rahasia Yang Mulia.

5. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 15 :

Marma kabeh padha sun lilani, sakarsane ngundang marang ingwang, ykti sun sauri bae,
ttlu araningsun, kang sawiji Barang Kinisik, siji Barang Panglusan, nanging kang
misuwur, manca pat manca llima, iya iku Gatholoco aran mami, prasaja tandha priya.
Maka aku rela jika kalian semua, mau memanggil aku apa, pasti aku akan terima, tiga
namaku, yang pertama Barang Kinisik ( Barang yang sering digosok-gosokkan kepada
lobang), satunya lagi Barang Panglusan (Barang yang sering dihaluskan dengan cara
dikeluar masukkan), akan tetapi yang terkenal, di empat penjuru angin bahkan di-lima
penjuru angin, ialah Gatholoco, tanda seorang pria sejati.

Nama lain GATHOLOCO adalah BARANG KINISIK (Benda yang digosok-gosokkan


didalam lobang) dan satunya lagi BARANG PANGLUSAN (Benda yang dihaluskan
dengan cara dikeluar masukkan). Maknanya tiada beda, tak lain adalah PENIS YANG
DIKOCOK.
KESADARAN MANUSIA GATHOLOCO MAMPU MEMAHAMI, bahwasanya cikal
bakal kehidupan manusia dan beberapa makhluk yang mulai berkembang Kesadaranya,
HARUS MELALUI PROSES PANCARAN SPERMA KEDALAM RAHIM.
Lebih tinggi dari itu, KESADARAN MANUSIA GATHOLOCO JUGA MEMAHAMI,
bahwa SELURUH SEMESTA RAYA INI TERCIPTA JUGA AKIBAT PANCARAN
ENERGI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEDALAM KANDUNGAN PRAKRTI!
Proses ini adalah sebuah proses yang SAKRAL dan SUCI. Jadi sangat-sangat tidak patut
jika aktifitas sexual hanya dipergunakan untuk sekedar mengejar sensasi kenikmatan
belaka!

Manusia-manusia Gatholoco hanya akan MENGKOCOK PENIS MEREKA KEDALAM


LIANG VAGINA sekedar untuk memberikan jalan bagi kelahiran kembali para Atma
yang hendak melanjutkan proses evolusinya dialam manusia.
Manusia-manusia yang bukan manusia Gatholoco hanya akan melakukan
PENGKOCOKAN PENIS MEREKA KEDALAM VAGINA sekedar untuk menikmati
sensasi kenikmatannya belaka!
Laki-laki yang memahami hal ini, patut disebut PRIA SEJATI. Begitu juga wanita yang
memahami akan hal ini, sepatutnya juga disebut WANITA SEJATI.
ITULAH BEDA MANUSIA GATHOLOCO DAN YANG BUKAN MANUSIA
GATHOLOCO! SEMOGA ANDA SEMUA MEMAHAMI MAKSUD PENULIS
GATHOLOCO DAN TIDAK SALAH MENGERTI KARENANYA!

_________________
Last edited by Koma on Mey 03, 2012 - www.koma.web.id

SERAT GATHOLOCO (3)


Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

18. Rehning ingsun tan dadi priyayi, mung jnngku jnng Wadi Mulya, supaya turunku
tmbe, dadi priyayi agung, Abdul Jabar angucap bngis, Dhapurmu kaya luwak, nganggo
sira ngaku, lamun Sujatine Lanang, Gatholoco gumujng alon nauri, Ucapku nora salah.

Walaupun aku bukan priyayi (bangsawan), akan tetapi namaku adalah Rahasia Mulia,
supaya kelak para keturunanku, akan menjadi priyayi (bangsawan) besar (maksud
Gatholoco, bangsawan spiritualitas), Abdul Jabar berkata bengis, Rupamu saja seperti
Luwak (binatang sejenis musang yang berwujud jelek)! Bisa-bisanya mengaku, sebagai
Sujatine Lanang (Sejatinya Lelaki), Gatholoco tertawa dan menjawab pelan, Ucapanku
tidak salah.

19. Ingsun ngaku wong Lanang Sujati, basa Lanang Sujati tmnan, wadiku apa dhapure,
Sujati tgsipun, ingSUn urip tan nJA maTI, Guru tiga angucap, Dhapurmu lir antu,
sajge tan kambon toya, Gatholoco macucu nulya mangsuli, Ewuh kinarya siram.
Aku mengaku sebagai Lanang Sujati (Lelaki Sejati), arti dari Lanang Sujati (Lelaki
Sejati) sesungguhnya adalah, aku disebut LANANG karena memahami Rahasia Mulia
barang (penis)-ku, sedangkan SUJATI (Sejati) artinya ingSUn urip tan nJA ma TI
(Aku Yang Hidup Tak Dapat Mati Selamanya). Ketiga Guru berkata, Rupamu seperti
hantu, tak pernah tersentuh air, Gatholoco cemberut lantas menjawab, Aku bingung
hendak mandi dengan apa.

20. Upamane ingsun adus warih, badaningsun wus kaisen toya, kalamun adus gnine, jro
badan isi latu, yen rsika sun gosok siti, asline saking lmah, sun dus-ana lesus, badanku
sumbr maruta, tuduhna kinarya adus punapi, ujarnya Guru tiga.
Jikalau aku harus mandi menggunakan air, tubuhku sudah penuh dengan unsur air,
jikalau harus mandi menggunakan api, didalam badan penuh unsur api, jikalau harus
membersihkan diri dengan menggunakan tanah, sudah jelas daging ini berasal dari tanah,
aku mandi menggunakan angin leysus, badanku sumber dari angin, beritahu kepadaku
apa yang harus aku pakai untuk mandi? Ketiga Guru menjawab.

21. Asal banyu ykti adus warih, dimen suci iku badanira, Gatholoco sru saure, Sira
santri tan urus, yen suciya sarana warih, sun kungkum sangang wulan, ora kulak kawruh,
satmne bae iya, ingsun adus Tirta Tekad Suci ning, ing tyas datan kaworan.
Tubuhmu berasal dari cairan (sperma) sudah layak jika mandi menggunakan air, agar
suci dirimu itu, Gatholoco lantang menjawab, Kalian santri bodoh! Jikalau bisa suci
karena mandi dengan air, aku akan berendam selama sembilan bulan saja, tidak perlu
mencari ilmu (Ke-Tuhan-an), ketahuilah bahwa sesungguhnya, aku telah mandi Air
Tekad Suci yang Jernih, yaitu jernihnya hati tanpa dikotori oleh.

22. Bangsa salah kang kalbu ciri, iya iku adusing manusa, ingkang sabnr-bnre, Kyai
Guru sumaur, Wong dhapure lir kirik gring, sapa ingkang pracaya, nduwe pikir jujur,

sira iku ingsun duga, ora nduwe batal karam mkruh najis, wruhmu amung halal.
Segala macam perbuatan yang salah, itulah mandi yang sesungguhnya bagi manusia,
mandi yang sebenar-benarnya mandi, Kyai Guru menyahut, Rupamu saja seperti kirik
gring (anjing penyakitan), siapa yang bakalan mempercayai, jika kamu memiliki
kejujuran? Jika tak salah dugaanku, kamu pasti tidak mengenal peraturan tentang batal
haram makruh najis, yang kamu ketahui hanya halal saja.

23. Najan arak iwak celeng babi, anggr doyan msthi sira pangan, ora wedi durakane,
Gatholoco sumaur, Iku bnr tan nganggo sisip, kaya pambatangira, najan iwak asu, sun
titik asale purwa, lamun bcik tan dadi sriking janmi, najan babi celenga.
Walaupun arak daging celeng dan babi, asal kamu doyan pasti kamu makan, tidak takut
dosa, Gatholoco menyahut, Benarlah dan tidak salah, semua dugaanmu kepadaku itu,
walaupun daging anjing, aku teliti asal usulnya, manakala diperoleh dengan jalan yang
tidak menyakiti sesama manusia, begitupun juga walau daging babi dan celeng.

24. Ngingu dhewe awit saking cilik, sapa ingkang wani nggugat mring wang, halal-e
ngungkuli cmpe, sanajan iwak wdhus, yen asale srana tan bcik, karam lir iwak sona,
najan babi iku, tinilik kawitanira, yen purwane ngingu dhewe awit gnjik, luwih saking
maenda.
Apabila didapat dari hasil beternak sendiri (bukan hasil curian), siapa yang bakalan
berani melarangku (untuk memakannya)? Halal-nya melebihi daging kambing, walaupun
daging kambing, jika diperoleh dengan jalan tidak baik, itu haram melebihi daging
anjing, telitilah asal usulnya, jika daging tersebut berasal dari binatang yang kita pelihara
sendiri semenjak kecilnya, halal-nya melebihi kambing!

25. Najan wdhus nanging nggonmu maling, luwih babi iku karam-ira, najan mangan
iwak celeng, lamun asale jujur, mburu dhewe marang wanadri, dudu celeng colongan,
halal-e kalangkung, sanajan iwak maesa, yen colongan luwih karam saking babi, ujarnya
Guru tiga.
Walaupun kambing namun hasil dari mencuri, melebihi babi itu haram-nya, walaupun
memakan daging celeng, tapi jika diperoleh dengan cara yang jujur, berburu sendiri
dihutan, bukan celeng curian, halal-nya luar biasa, walaupun daging kerbau, namun hasil
curian lebih haram dari babi, Ketiga Guru berkata.

26. Luwih halal padune si Blis, pants tmn uripmu cilaka, kamlaratan salawase, tan
duwe bras pantun, sandhangane pating saluwir, kabeh amoh gombalan, sajge tumuwuh,
ora tau mangan enak, ora tau ngrasakake lgi gurih, kuru tan darbe wisma.

Memang halal menurut Iblis! Pantas jika hidupmu celaka, melarat selamanya, tak
memiliki makanan cukup, busana-pun compang camping, semua hanya gombal lusuh,
selama hidup, tak pernah memakan makanan enak, tidak pernah menikmati rasa manis
dan gurih, makanya kurus kering dan tak memiliki rumah.

27. Gatholoco ngucap anauri, Ingkang sugih sandhang lawan pangan, pirang kthi
momohane, kalawan pirang tumpuk, najis ingkang sira simpni, Guru tiga duk myarsa,
gumuyu angguguk, Sandhangan ingkang wus rusak, awor lmah najisku kang tibeng
bumi, kabeh wus awor kisma.
Gatholoco menjawab, Yang kaya akan busana dan makanan, berapa peti jumlah
busananya, berapa tumpuk persediaan makanannya, itu najis jika cuma kamu simpan
sendiri, Ketiga Guru begitu mendengar, seketika tertawa geli, Pakaian yang sudah kotor
dan jelek, kami jadikan satu ditanah bersama kotoranku, semua sudah kubuang menjadi
satu ke tanah! (Lantas mana yang disebut najis dalam hal semua pakaian yg kumiliki?)

28. Gatholoco anauri malih, Yen mangkono isih lumrah janma, ora kinaot arane, beda
kalawan Ingsun, kabeh iki isining bumi, sakurbing akasa, dadi darbek-Ingsun, kang
anyar sarwa gumbyar, Sun kon nganggo marang sanak-sanak mami, Ngong trima
nganggo ala.
Gatholoco menyahuti lagi, Jikalau begitu jelas kalian hanya manusia lumrah, bukan
manusia pilihan namanya, berbeda dengan-Ku, sesungguhnya semua yang ada dibumi,
dan yang ada dibawah langit, adalah milik-Ku, yang baru dan gemerlap, sengaja Aku
berikan kepada saudara-saudaraku (semua makhluk hidup), Aku rela memakai yang
jelek-jelek saja.

29. Apan Ingsun trima nganggo iki, ppanganan ingkang enak-enak, kang lgi gurih
rasane, pdhs asin sadarum, Sun kon mangan mring sagung janmi, ingkang sinipat
gsang, dene Ingsun amung, ngawruhi sadina-dina, Sun tulisi sastrane salikur iji, Sun
simpn jroning manah.
Cukuplah Aku memakan yang ini saja, segala makanan yang enak-enak, yang manis
gurih rasanya, pedas dan asin semuanya, Aku berikan untuk dimakan oleh seluruh
manusia, dan semua makhluk yang bersifat hidup, sedangkan Aku hanyalah, meneliti
setiap hari, Ku catat dalam sebuah sastra sebanyak Duapuluh Satu buah (angka Dua
melambangkan mereka yang masih terikat Dualitas duniawi, angka Satu melambangkan
mereka yang telah lepas dari Dualitas duniawi. Manusia yang Kesadarannya tinggi,
mampu meneliti dan mengamati kedua jenis tingkatan kesadaran para manusia tersebut.
Inilah makna Sastra Salikur Iji atau Sastra Duapuluh Satu yang dimaksud Gatholoco),
dan Aku simpan didalam hati.

30. Ingsun dhewe mangan sabn ari, Ingsun milih ingkang luwih panas, sarta ingkang
pait dhewe, najise dadi gunung, kabeh gunung ingkang ka-eksi, mulane kang bawana,
padha mtu kukus, tumuse gni Sun pangan, ingkang dadi padhas watu lawan curi, klelet
ingkang sun pangan.
Yang Ku-makan setiap hari, Ku-pilih yang sangat panas, dan yang terlampau pahit
(maksudnya semua unsur-unsur negatif Alam yang terlalu ekstrim), kotoran (batin)-Ku
menjadi gunung, seluruh gunung yang terlihat, (maksudnya, semua unsur negatif yang
terlalu ekstrim dari Alam, mampu didaur ulang menjadi unsur yang lebih positif melalui
olah batin dari manusia-manusia yang berkesadaran tinggi. Dilambangkan dengan
keberadaan sebuah gunung yang menyimpan api menakutkan, namun lava dari gunung
berapi, sangat bermanfaat menyuburkan tanah, sehingga tanaman apapun akan gampang
tumbuh disekeliling gunung berapi. Jelasnya, dari sesuatu yang menakutkan semacam
gunung berapi, mampu didaur ulang menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi
manusia. Begitu pula proses daur ulang yang secara tidak disadari telah dilakukan oleh
manusia-manusia berkesadaran tinggi semacam Gatholoco kepada semua unsur negatif
alam yang terlalu ekstrim), apa sebabnya dunia diliputi asap saja (maksudnya, banyak
unsur api terlampau ekstrim yang sesungguhnya melingkupi dunia ini, namun berkat
manusia-manusia yang penuh kesadaran semacam Gatholoco, secara tidak sengaja,
mereka-mereka ini menyerap unsur api yang terlalu ekstrim tersebut dan didaur ulang
menjadi unsur api positif yang lebih bermanfaat. Jika tidak ada manusia-manusia
berkesadaran tinggi semacam Gatholoco, dapat dipastikan, meteor-meteor raksasa dan
hal-hal ekstrim lainnya, akan menghantam dan mengacaukan bumi tanpa ada penghalang
lagi! Sadarilah ini!), sebab api telah Aku makan, kotoran (batin)-Ku menjadi batu cadas
(seperti halnya dipilihnya Gunung sebagai sebuah perumpamaan proses pendaur ulangan unsur ektrim Alam agar menjadi lebih bermanfaat, Batu Cadas dipilih pula karena
identik dengan kekokohan, sesuatu yang kokoh kuat. Maksudnya jelas, unsur ekstrim
alam, bisa diubah menjadi sesuatu yang stabil demi keberlangsungan semesta sebagai
tempat berevolusi. Berterima kasihlah kepada manusia-manusia berkesadaran tinggi
seperti Gatholoco!) Aku cukup memakan candu ini. (maksudnya candu spiritualitas)

31. Sadurunge Ingsun ngising najis, gunung iku ykti durung ana, benjang bakal sirna
maneh, lamun Ingsun wus mantun, ngising tai mtu tka silit, titenana kewala, iki tuturIngsun, Guru tiga duk miyarsa, gya micara astane sarwi nudingi, Layak kuru tan pakra.
Sebelum Aku membuang kotoran (batin), seluruh gunung belumlah tercipta (maksudnya,
dunia tidak akan stabil sebagai tempat yang sesuai bagi proses evolusi jiwa jika tidak ada
manusia-manusia berkesadaran tinggi yang mampu mendaur ulang unsur-unsur ekstrim
Alam seperti Gatholoco), kelak akan sirna kembali, jika Aku sudah tidak lagi, membuang
kotoran lewat dubur, nyatakanlah kelak, apa yang Aku katakan ini. (maksudnya jika
manusia-manusia yang berkesadaran tinggi hilang dari muka bumi, dapat dipastikan
kiamat dunia akan tercipta!). Ketiga Guru begitu mendengar, segera berkata sembari
menuding, Makanya kurus kering tidak lumrah manusia (tubuhmu).

32. Gatholoco sigra anauri, Mila ingsun kurune kalintang, krana nurut mring karsane,
Gusti Jng Nabi Rasul, sabn ari ingsun turuti, tindak mnyang ngpaken, awan sore
esuk, mundhut candhu lawan madat, dipun dhahar kalawan dipun obongi, Allah kang
paring wikan.
Gatholoco segera menjawab, Tubuhku kurus disebabkan, karena menuruti perintah, Gusti
(Kang)jng Nabi Rasul(lullah), setiap hari aku turuti, bertandang ke tempat madat, siang
sore pagi, mengambil candu dan madat, dimakan langsung maupun dibakar lalu dihisap,
Allah yang memberikan ijin. (Maksudnya Kangjng Nabi Rasul dalam kesadaran
Gatholoco, bukanlah Nabi Muhammad, melainkan Ruh-nya sendiri, Atma-nya sendiri.
Suara Atma, suara Ruh, yang sering diistilahkan dengan SUARA NURANI,
memerintahkan manusia-manusia seperti Gatholoco untuk terus mabuk spiritual, agar
terus ke-Candu-an dengan Ke-Illahi-an. Dan Allah-pun me-ridloi!)

33. Kangjng Rasul yen tan den turuti, muring-muring bangt nggone duka, sarta bangt
paniksane, ingsun tan bisa turu, Guru tiga samya nauri, Mung lagi tatanira, Kangjng
Nabi Rasul, karsa tindak mring ngpaken, Kangjng Rasul ppundhene wong sabumi,
aneng nagara Mekah.
Kangjng Rasul(lullah) manakala tidak ditaati perintahnya, marah-marah sangat berang,
dan kejam menyiksa, membuat aku tak bisa tidur. (Maksud Gatholoco, jika SUARA
NURANI-nya yang berasal dari Ruh-nya sendiri, dari Atma-nya sendiri tidak dia
dengarkan, dampaknya akan terjadi konflik batin yang berujung pada ketidaknyamanan
diri, keresahan diri, sehingga membuat dia tidak bisa tidur!) Ketiga Guru segera
menjawab, Ucapan tidak pantas, mengatakan Kangjng Nabi Rasul(lullah), mengutus
agar bertandang ketempat madat! Kangjng Rasul(lullah) adalah sosok yang diagungkan
oleh seluruh manusia, berada di negara Makkah!

34. Gatholoco anauri aris, Rasul Mkah ingkang sira smbah, ora nana ing wujude, wus
seda sewu taun, panggonane ing tanah Arbi, llakon pitung wulan, tur kadhangan laut,
mung kari kubur kewala, sira smbah jungkar-jungkir sabn ari, apa bisa tumka.
Gatholoco menjawab pelan, Rasul yang ada di Mekkah yang kamu agungkan, sudah tidak
ada lagi wujudnya (Telah mencapai Kesempurnaan), sudah meninggal seribu tahun yang
lalu, makamnya di tanah Arab, perjalanan selama tujuh bulan untuk kesana, harus
menyeberangi lautan, sekarang hanya tinggal kuburannya saja, kamu agungkan setiap
hari sembari berjungkir balik, tidak mungkin beliau menemuimu? (Nabi Muhammad
telah mencapai Kesempurnaan. Sebelum mencapai tingkat ini, beliau telah meninggalkan
PETUNJUK bagi para pengikutnya, yaitu Al-Quran dan Hadist demi pegangan sebagai
acuan peningkatan Kesadaran mereka. Dari kedua petunjuk ini, para pengikut beliau
harus mampu meneladani, mengamalkan dan HARUS MANDIRI! SEKALI LAGI,

HARUS MANDIRI! KESADARAN TIDAK BISA DIBUAT OLEH ORANG LAIN!


MAKA NABI MUHAMMAD TIDAK AKAN MUNGKIN TERUS HADIR
MEMBERIKAN PETUNJUK, KARENA APA YANG TELAH BELIAU
TINGGALKAN SUDAH CUKUP! BERSIKAPLAH DEWASA! JANGAN KAYAK
ANAK KECIL YANG TERUS MEREPOTKAN ORANG TUA! MANDIRILAH! ITU
MAKSUD GATHOLOCO! )

35. Smbahira dadi tanpa kardi, luwih siya marang raganira, tan nmbah Rasule dhewe,
siya marang uripmu, nmbah Rasul jabaning dhiri, kabeh sabangsanira, iku nora urus,
nbut Allah siya-siya, pating brngok Allah ora kober guling, kabrbgn suwara.
Pujianmu tiada guna, menyusahkan diri sendiri, tak mengagungkan Rasul (Utusan)
sendiri ( Rasul sendiri, maksudnya adalah Atma, Ruh, Percikan Tuhan yang merupakan
inti sari setiap makhluk! Ruh kita, Atma kita inilah UTUSAN YANG
SESUNGGUHNYA), menyia-nyiakan hidupmu, mengagungkan Rasul diluar diri, semua
orang yang sepertimu, tidak memahami yang sebenarnya (Disini sebenarnya sebuah
rahasia Sahadat Sejati telah diuraikan oleh Gatholoco,
YAITU.-maaf saya belum berani menguraikan disini), menyebut nama Allah dengan sia-sia, teriak-teriak
membuat Allah tidak sempat tidur, terganggu suara kalian yang sangat berisik (Ungkapan
keprihatinan untuk mengkritik kebiasaan mukmin awam yang suka beribadah disertai
rasa pamer, riya. Ibadah tidak perlu ditunjuk-tunjukkan. Lakukan diam-diam. Tidak usah
berteriak-teriak! Itu maksud Gatholoco!)

36. Rasulullah seda sewu warsi, sira bngok saking wisma-nira, bok kongsi modot
gulune, masa bisa karungu, tiwas ksl tur tanpa kasil, Guru tiga angucap, Ujare
cocotmu, layak msum ora lumrah, anyampahi ppundhene wong sabumi, Gatholoco
manabda.
Rasulullah telah meninggal seribu tahun yang lalu, kamu teriaki dari rumahmu (dengan
harapan ditemui oleh beliau), walaupun sampai melar lehermu, tidak akan berkenan hadir
menemuimu? Hanya melelahkan diri sendiri tiada guna ( maksud Gatholoco hanya
melelahkan diri sendiri dan tiada guna jika memuji nama beliau dengan harapan agar
ditemui dan mendapat tuntunan. Al-Quran dan Hadist, itu sudah cukup beliau berikan
bagi acuan peningkatan Kesadaran para pengikut beliau!), Ketiga Guru berkata, Ucapan
yang keluar dari cocot (bacot)-mu, adalah ucapan orang bingung dan tidak sopan,
menghina sesembahan manusia se-dunia! Gatholoco berkata.

37. Bnr msum saking susah mami, kadunungan barang ingkang glap, awit cilik
tkeng mangke, kewuhan jawab-ingsun, yen konangan ingkang darbeni, supaya bisa
luwar, ingsun njaluk rmbug, kapriye bisane jawab, aywa nganti kna ukum awak mami,
Guru tiga miyarsa.

Memang benar aku bingung disebabkan karena keprihatinanku, karena ketempatan


barang yang bukan punyaku, semenjak aku kecil hingga sekarang ini, sulit aku
memberikan jawaban, manakala nanti ditanya oleh yang punya, agar aku mampu terlepas
dari masalah ini, bisakah aku meminta pendapat kalian, bagaimanakah jawabanku, jangan
sampai aku terkena hukuman, Ketiga Guru begitu mendengar ucapan itu.

38. Asru ngucap Nyata sira maling, ora pants rembugan lan ingwang, sira iku wong
munapek, duraka ing Hyang Agung, lamun ingsun glm mulangi, pakartine dursila,
mring panjawabipun, ora wurung katularan, najan ingsun datan anglakoni maling, yen
glm mulangana.
Keras berkata Ternyata kamu maling! Tidak pantas meminta pendapat kami! Kamu orang
munafik! Berdosa kepada Hyang Agung! Jika kami sampai bersedia memberikan
pendapat, tidak urung bakal ketularan (dosanya)! Walaupun kami tidak ikut mencuri,
manakala bersedia memberikan pendapat.

39. Nalar bangsat paturane maling, ykti dadi melu kna siksa, Gatholoco pamuwuse,
Yen sireku tan purun, amulangi mring jawab maling, payo padha cangkriman, nanging
pamintengsun, badhenn ingkang sanyata, lamun sira tlu pisan tan mangrti, guru tanpa
paedah.
Sama saja menyetujui perbuatan bangsat seorang maling! Pasti akan ikut terkena siksa!
Gatholoco berkata, Apabila kalian tidak bersedia, memberikan pemecahan masalah yang
dihadapi seorang maling, baiklah mari kita bermain teka-teki, akan tetapi permintaanku,
jawablah sungguh-sungguh, jika kalian bertiga tidak mampu menjawab, nyata kalian
adalah Guru yang tiada guna!

40. Kyai Guru samya anauri, Mara age saiki pasalna, cangkrimane kaya priye, manira
arsa ngrungu, yen wus ngrungu saykti bangkit, masa bakal luputa, ucapna den gupuh,
angajak cangkriman apa, sun batange dimen padha den skseni, santri murid nom noman.
Para Kyai Guru menyetujui, Baiklah sekarang berikan, teka-teki yang seperti apa, kami
akan mendengarkan, manakala sudah mendengar pasti akan paham, dan tidak mungkin
salah menjawab, cepat ucapkan, mengajak bermain teka-teki yang seperti apa? Akan
kami jawab dengan disaksikan, para murid santri yang masih muda-muda (kata muda dlm
bahasa Jawa adalah Anom, menandakan syair berikutnya harus dilagukan dengan irama
Sinom).

_________________
Last edited by Koma on Mey 03, 2012 - www.koma.web.id

SERAT GATHOLOCO (4)


Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

Ada beberapa Pada (Syair) yang terdapat pada Pupuh II, Dandanggula, yang harus diulas.
Seperti dibawah ini :

1. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 19 :

Ingsun ngaku wong Lanang Sujati, basa Lanang Sujati tmnan, wadiku apa dhapure,
Sujati tgsipun, ingSUn urip tan nJA maTI, Guru tiga angucap, Dhapurmu lir antu,
sajge tan kambon toya, Gatholoco macucu nulya mangsuli, Ewuh kinarya siram.
Aku mengaku sebagai Lanang Sujati (Lelaki Sejati), arti dari Lanang Sujati (Lelaki
Sejati) sesungguhnya adalah, aku disebut LANANG karena memahami Rahasia Mulia
barang (penis)-ku, sedangkan SUJATI (Sejati) artinya ingSUn urip tan nJA ma TI
(Aku Yang Hidup Tak Dapat Mati Selamanya). Ketiga Guru berkata, Rupamu seperti
hantu, tak pernah tersentuh air, Gatholoco cemberut lantas menjawab, Aku bingung
hendak mandi dengan apa.

Gatholoco menyadari bahwa siapapun yang meningkat Kesadarannya, berhak

menyandang predikat sebagai Lanang Sujati (Lelaki Sejati) atau Wadon Sujati (Wanita
Sejati). Pada Pada (Syair) diatas, arti kata Lanang Sujati diuraikan oleh Gatholoco.
Siapapun Lelaki yang memahami Kemuliaan Proses Penciptaan melalui Penis (Gathel)nya, sebuah proses vital yang menjadi mata rantai sebuah perjalanan panjang evolusi
jiwa, proses yang mampu menarik kembali Atma atau Ruh dari ranah kematian
menuju kehidupan kembali atau Reinkarnasi (dalam istilah Sanskerta disebut
PUNARBHAWA : Kelahiran Kembali, atau PUNARJANMA : Manusia Yang Kembali
hidup dari ranah kematian), proses berkesinambungan untuk menjadi penyebab
bangkitnya Atma atau Ruh agar kembali berjuang ditengah samudera kehidupan demi
untuk melanjutkan peningkatan kembali KESADARAN mereka melalui tempaan badai
dualitas duniawi (suka-duka, kaya-miskin, sakit-sehat, dll), maka siapapun mereka, kalau
Lelaki berhak menyandang predikat LANANG. Kalau Wanita berhak menyandang
predikat WADON! Selama anda belum memahami kemuliaan dan pentingnya proses ini,
maka sesungguhnya anda belumlah pantas disebut LANANG atau WADON. Anda
hanyalah sekedar spesies makhluk hidup yang melakukan sebuah aktifitas sexual tanpa
kesadaran. Anda belumlah MANUSIA.
Kata SUJATI, Gatholoco mengartikan ingSUn urip tan neJA maTI yang artinya Aku
Yang Hidup Tak Dapat Mati. Siapakah itu? INGSUN (AHAM/AKU). Siapakah
INGSUN (AHAM/AKU) tersebut? Tak lain adalah Atma atau Ruh kita!
Atma atau Ruh tidak diciptakan oleh siapapun! Atma atau Ruh adalah Percikan Brahman
dalam definisi Weda atau Tiupan/Hembusan Nafas Allah dalam definisi Al-Quran atau
Pencitraan/Duplicate Allah dalam definisi Injil dan Taurat!
Atma dan Ruh adalah bagian langsung dari BRAHMAN, dari ALLAH, dari BAPA itu
sendiri! Tidak ada yang menciptakan Ruh atau Atma. Yang diciptakan adalah Badan
Halus (Suksma Sariira/Nafs) dan Badan Kasar (Sthula Sariira/Jasad)! Sadarkah anda
sekarang? Telitilah dengan seksama kitab suci anda, adakah firman yang menyatakan
Ruh itu diciptakan?
LANANG SUJATI artinya, Manusia yang memahami kemuliaan proses penciptaan
melalui penis/vagina-nya, yang merupakan lantaran untuk kelahiran kembali para Atma
atau Ruh!

2. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 20 :

Upamane ingsun adus warih, badaningsun wus kaisen toya, kalamun adus gnine, jro
badan isi latu, yen rsika sun gosok siti, asline saking lmah, sun dus-ana lesus, badanku
sumbr maruta, tuduhna kinarya adus punapi, ujarnya Guru tiga.
Jikalau aku harus mandi menggunakan air, tubuhku sudah penuh dengan unsur air,
jikalau harus mandi menggunakan api, didalam badan penuh unsur api, jikalau harus

membersihkan diri dengan menggunakan tanah, sudah jelas daging ini berasal dari tanah,
aku mandi menggunakan angin leysus, badanku sumber dari angin, beritahu kepadaku
apa yang harus aku pakai untuk mandi? Ketiga Guru menjawab.

Ini adalah jawaban yang merupakan kritik kepada para agamawan yang terlampau
mementingkan syariat. Mereka-mereka yang terpaku pada tata lahir dan procedural
belaka. Begitu sudah tunai, mereka merasa sudah cukup dan sempurna! Gatholoco
menyengaja memberikan gambaran, bahwa AIR tidaklah cukup untuk mensucikan diri
secara menyeluruh. AIR hanya mampu menggelontor kotoran LAHIR semata! Maka
Gatholoco menyatakan, apa yang hendak aku gunakan untuk men-sucikan diri ini?
Jikalau memakai AIR, bukankah JASAD FISIK atau STHULA SARIIRA ini berasal dari
unsur AIR. Jikalau memakai API, bukankah JASAD FISIK atau STHULA SARIIRA ini
juga berasal dari unsur API. Pun jikalau memakai ANGIN, bukankah JASAD FISIK atau
STHULA SARIIRA inipun berasal dari unsur ANGIN? Begitu juga jika hendak
disucikan dengan TANAH, bukankah JASAD FISIK atau STHULA SARIIRA inipun
berasal dari unsur TANAH?
Keempat Unsur yang disebutkan Gatholoco, umum dipahami sebagai empat pembentuk
JASAD FISIK manusia. Empat unsur Alam yang sangat vital, yaitu TANAH/LOGAM
(PRTIWI), AIR (APAH), API/CAHAYA (TEJA) dan ANGIN (WAYU) .
Namun sesungguhnya ada satu unsur lagi yang juga sangat vital membentuk JASAD
FISIK manusia, yaitu RUANG (AKASHA). Tanpa ada RUANG, maka tidak akan ada
celah dan rongga dalam susunan anatomi JASAD FISIK. Sesungguhnya unsur RUANG
menempati bagian yang penting. Dan RUANG menurut Weda, masih juga dikategorikan
sebuah MATERI! Masih merupakan BENDA FISIK! Para saintis modern telah pula
mulai melakukan pengujian untuk membuktikan hipotesa bahwa RUANG masih juga
merupakan MATERI.
Semesta ini terus mengembang. Terus membentuk ciptaan-ciptaan baru. Kemanakah
segala benda ciptaan itu mengembang kalau tidak menuju RUANG. Berarti, begitu
Semesta ini mengembang, maka akan terus tercipta RUANG baru!
Jauh-jauh hari, sebelum manusia modern bisa membuktikan bahwa semesta ini terus
mengembang, dalam Weda telah disebutkan secara jelas tanpa harus ditafsir-tafsirkan
lagi :
Semoga Brahman, yang bagaikan laba-laba dengan jejaringnya yang terus keluar dari
dalam diri-Nya, yang dihasilkan oleh PRADHANA/PRAKRTI-Nya, sehingga terus
tercipta Alam Semesta ini, berkenan memberikan berkah kepada kami, sehingga kami
dapat kembali menyatu dengan-Nya.
(Swetaswatara Upanishad:6:10)

Namun teori yang menyatakan bahwa RUANG termasuk dalam unsur vital pembentuk
JASAD FISIK, tidak begitu bisa dipahami oleh masyarakat Jawa setelah ajaran Shiwa
Buddha meninggalkan Pulau Jawa. Sampai detik ini, masyarakat Jawa sudah terbiasa
meyakini hanya ada empat unsur vital pembentuk JASAD FISIK manusia yaitu,
TANAH/LOGAM (Sanskerta : PRTIWI, Jawa : BUMI), AIR (Sanskerta : APAH, Jawa :
BANYU), API/CAHAYA (Sanskerta : TEJA, Jawa : GENI), UDARA (Sanskerta
WAYU, Jawa : ANGIN). Sedangkan RUANG (AKASHA), terlupakan.
Masyarakat Bali masih bisa memahami. Mereka mengenalnya dengan istilah PANCA
MAHA BHUTA (LIMA MAHA UNSUR MAKHLUK)!
Dan Gatholoco, tidak menyinggung tentang unsur RUANG karena dia tengah berdialog
dengan masyarakat Jawa pasca Majapahit runtuh! Bahkan mereka yang tengah berdialog
dengan Gatholoco ini, hanya mengenal keyakinan bahwa manusia tercipta dari AIR dan
TANAH saja!

3. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 21 :

Asal banyu ykti adus warih, dimen suci iku badanira, Gatholoco sru saure, Sira santri
tan urus, yen suciya sarana warih, sun kungkum sangang wulan, ora kulak kawruh,
satmne bae iya, ingsun adus Tirta Tekad Suci ning, ing tyas datan kaworan.
Tubuhmu berasal dari cairan (sperma) sudah layak jika mandi menggunakan air, agar
suci dirimu itu, Gatholoco lantang menjawab, Kalian santri bodoh! Jikalau bisa suci
karena mandi dengan air, aku akan berendam selama sembilan bulan saja, tidak perlu
mencari ilmu (Ke-Tuhan-an), ketahuilah bahwa sesungguhnya, aku telah mandi Air
Tekad Suci yang Jernih, yaitu jernihnya hati tanpa dikotori oleh.

AIR masih juga dianggap sebagai sarana mutlak sebagai alat pensuci. Gatholoco tertawa
dan menjawab dengan cerdas. Jikalau memang hanya dengan memakai AIR aku bisa
menjadi suci, bukankah lebih baik aku berendam selama sembilan bulan saja, tidak perlu
mencari ilmu Ke-Tuhan-an? Pensuci yang sesungguhnya, tak lain adalah TIRTA TEKAD
SUCI NING (AIR TEKAD SUCI JERNIH) . Sebuah AIR ABSTRAK YANG
KELUAR DARI TEKAD UNTUK MENSUCIKAN DAN MENJERNIHKAN SEGALA
KEKOTORAN BATIN MANUSIA! ITULAH AIR YANG BISA MENGGELONTOR
SELURUH KEKOTORAN BATIN!

4. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 28 :

Gatholoco anauri malih, Yen mangkono isih lumrah janma, ora kinaot arane, beda
kalawan Ingsun, kabeh iki isining bumi, sakurbing akasa, dadi darbek-Ingsun, kang
anyar sarwa gumbyar, Sun kon nganggo marang sanak-sanak mami, Ngong trima
nganggo ala.
Gatholoco menyahuti lagi, Jikalau begitu jelas kalian hanya manusia lumrah, bukan
manusia pilihan namanya, berbeda dengan-Ku, sesungguhnya semua yang ada dibumi,
dan yang ada dibawah langit, adalah milik-Ku, yang baru dan gemerlap, sengaja Aku
berikan kepada saudara-saudaraku (semua makhluk hidup), Aku rela memakai yang
jelek-jelek saja.

Atma adalah Percikan Brahman. Semesta ini adalah materi baru yang tercipta dari proses
Persempitan ke-Mutlak-an Brahman.
Atma adalah percikan. Semesta adalah ciptaan. Atma tak berawal dan berakhir. Langgeng
abadi. Semesta ini mempunyai awal dan akhir. Tiada abadi. Makanya Semesta ini disebut
pula sebagai ALAM MAYA!
Jika Atma dan Brahman itu sesungguhnya adalah SATU KESATUAN TUNGGAL,
maka seluruh benda ciptaan ini sesungguhnya adalah milik Sang Atma juga.
Manakala dalam kenyataannya, kini Sang Atma kadangkala tidak mampu menikmati apa
yang sesungguhnya merupakan milik-nya sendiri diseluruh Semesta raya ini, hal itu
dikarenakan Sang Atma tengah terikat oleh Buah Karma-nya! Buah Karma yang dibuatnya dan harus dinikmati-nya sendiri! Jika Sang Atma telah lepas dari jeratan Buah
Karma, maka Sang Atma akan kembali memperoleh KESADARAN PURNA-NYA,
KESADARAN MUTLAK-NYA. Sang Atma akan mampu merengkuh kembali segala
milik-nya tanpa harus dibatasi lagi oleh takdir. Takdir yang sesungguhnya dia buat
sendiri tanpa disadari!
Seluruh PEMIKIRAN (MANASIKA) Sang Atma, seluruh UCAPAN (WACIKA) Sang
Atma, seluruh TINDAKAN (KAYIKA) Sang Atma, sesungguhnya adalah aktifitas
pembuatan sebuah takdir bagi diri Sang Atma sendiri. Jika seluruh PEMIKIRAN,
UCAPAN dan PERBUATAN Sang Atma cenderung positif, Sang Atma sesungguhnya
telah menguntai takdir positif bagi diri-nya. Jika seluruh PEMIKIRAN, UCAPAN dan
PERBUATAN Sang Atma cenderung negatif, sesungguhnya Sang Atma telah menguntai
takdir negatif pula bagi diri-nya sendiri. Takdir bukan dibuat oleh Tuhan dari atas langit
sana! Tidak ada Malaikat yang bertugas mencatat takdir anda! Yang ada, seluruh aktifitas
anda yang keluar dari PEMIKIRAN, UCAPAN dan PERBUATAN, secara otomatis
terekam oleh PRAKRTI! Terekam oleh ALAM! Dan Alam yang akan menumbuhkan
buahnya, BAIK maupun BURUK, tergantung apa yang anda tanam! MALAIKAT ITU

TAK LAIN ADALAH ALAM ITU SENDIRI! Sadari itu!


Dan buah perbuatan anda (Karmaphala ; Karma : Perbuatan, Phala : Buah) tidak bisa
tidak, harus kembali kepada anda! Siapa yang menanam akan memetik! Siapa yang
menabur angin akan menui badai! Tidak ada orang yang akan menggantikan! Dalam
ungkapan Al-Quran sangat indah dinyatakan : SETIAP ORANG AKAN MEMIKUL
DOSANYA SENDIRI! WALAUPUN ITU SEKECIL DZARROH (DEBU)!
Dan jika Sang Atma telah mampu terlepas dari ikatan samsara, terlepas dari lingkaran
penanaman dan penuaian hasil aktifitas yang terus menerus tiada henti tersebut,
sesungguhnya Sang Atma akan kembali memiliki segala apa yang ada di seluruh semesta
raya ini!
Inilah maksud Gatholoco! Dan manusia-manusia semacam Gatholoco, sesungguhnya
telah mampu memenuhi segala apa yang dikehendakinya. Namun apalah arti dunia bagi
manusia-manusia semacam dia! Karena KESADARAN PURNA yang telah dicapainya,
tidak bisa dibandingkan dengan seluruh kenikmatan dan gemerlapnya duniawi!
KESADARAN PURNA lebih GEMERLAP DAN NIKMAT daripada segala macam
gemerlap dan kenikmatan duniawi yang gampang menguap bagai embun di pagi hari!

5. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 29 :

Apan Ingsun trima nganggo iki, ppanganan ingkang enak-enak, kang lgi gurih rasane,
pdhs asin sadarum, Sun kon mangan mring sagung janmi, ingkang sinipat gsang, dene
Ingsun amung, ngawruhi sadina-dina, Sun tulisi sastrane salikur iji, Sun simpn jroning
manah.
Cukuplah Aku memakan yang ini saja, segala makanan yang enak-enak, yang manis
gurih rasanya, pedas dan asin semuanya, Aku berikan untuk dimakan oleh seluruh
manusia, dan semua makhluk yang bersifat hidup, sedangkan Aku hanyalah, meneliti
setiap hari, Ku catat dalam sebuah sastra sebanyak Duapuluh Satu buah (angka Dua
melambangkan mereka yang masih terikat Dualitas duniawi, angka Satu melambangkan
mereka yang telah lepas dari Dualitas duniawi. Manusia yang Kesadarannya tinggi,
mampu meneliti dan mengamati kedua jenis tingkatan kesadaran para manusia tersebut.
Inilah makna Sastra Salikur Iji atau Sastra Duapuluh Satu yang dimaksud Gatholoco),
dan Aku simpan didalam hati.

Manusia yang telah mencapai KESADARAN PURNA, maka KASIH yang ada didalam
dirinya meluap-luap bagai gelombang samudera! Dia akan terus mendaur ulang segala

unsur-unsur ekstrim Alam yang hendak mengacaukan ke-stabil-an semesta sebagai


tempat yang masih harus ada.
Tempat yang masih harus ada sebagai media ber-evolusi bagi Atma-Atma yang masih
belum mencapai KESADARAN PURNA!
Manusia-manusia yang telah mencapai KESADARAN PURNA, selain terus membantu
proses ke-stabil-an semesta, kadang pula mereka akan membimbing Atma-Atma lain,
memandu secukupnya, dengan tidak meninggalkan kemandirian dari mereka yang tengah
di bimbing! Nabi Khidir, Babaji Maha Avatar, Semar, dll adalah contoh-contoh dari
sosok manusia-manusia suci pembimbing ini!
Mereka akan mengamati, mana saja para Atma yang mulai mampu lepas dari Dualitas
Duniawi, dilambangkan dengan angka SATU, dan mana saja para Atma yang masih saja
terus terikat dalam Dualitas Duniawi, dan dilambangkan dengan angka DUA.
Inilah makna ucapan Gathoooco yang selalu mengamati seluruh Atma, dicatat dalam
Sastra yang disebut SASTRA SALIKUR IJI atau SASTRA DUA PULUH SATU. DUA
melambangkan mereka-mereka yang masih terikat Dualitas Duniawi dan belum saatnya
mendapat bimbingan dari Manusia-Manusia Berkesadaran Purna. SATU melambangkan
mereka-mereka yang mulai bisa lepas dari Dualitas Duniawi dan sudah saatnya
dibimbing oleh Manusia-Manusia Berkesadaran Purna seperti Gatholoco!

6. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 30 :

Ingsun dhewe mangan sabn ari, Ingsun milih ingkang luwih panas, sarta ingkang pait
dhewe, najise dadi gunung, kabeh gunung ingkang ka-eksi, mulane kang bawana, padha
mtu kukus, tumuse gni Sun pangan, ingkang dadi padhas watu lawan curi, klelet
ingkang sun pangan.
Yang Ku-makan setiap hari, Ku-pilih yang sangat panas, dan yang terlampau pahit
(maksudnya semua unsur-unsur negatif Alam yang terlalu ekstrim), kotoran (batin)-Ku
menjadi gunung, seluruh gunung yang terlihat, (maksudnya, semua unsur negatif yang
terlalu ekstrim dari Alam, mampu didaur ulang menjadi unsur yang lebih positif melalui
olah batin dari manusia-manusia yang berkesadaran tinggi. Dilambangkan dengan
keberadaan sebuah gunung yang menyimpan api menakutkan, namun lava dari gunung
berapi, sangat bermanfaat menyuburkan tanah, sehingga tanaman apapun akan gampang
tumbuh disekeliling gunung berapi. Jelasnya, dari sesuatu yang menakutkan semacam
gunung berapi, mampu didaur ulang menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi
manusia. Begitu pula proses daur ulang yang secara tidak disadari telah dilakukan oleh
manusia-manusia berkesadaran tinggi semacam Gatholoco kepada semua unsur negatif
alam yang terlalu ekstrim), apa sebabnya dunia diliputi asap saja (maksudnya, banyak

unsur api terlampau ekstrim yang sesungguhnya melingkupi dunia ini, namun berkat
manusia-manusia yang penuh kesadaran semacam Gatholoco, secara tidak sengaja,
mereka-mereka ini menyerap unsur api yang terlalu ekstrim tersebut dan didaur ulang
menjadi unsur api positif yang lebih bermanfaat. Jika tidak ada manusia-manusia
berkesadaran tinggi semacam Gatholoco, dapat dipastikan, meteor-meteor raksasa dan
hal-hal ekstrim lainnya, akan menghantam dan mengacaukan bumi tanpa ada penghalang
lagi! Sadarilah ini!), sebab api telah Aku makan, kotoran (batin)-Ku menjadi batu cadas
(seperti halnya dipilihnya Gunung sebagai sebuah perumpamaan proses pendaur ulangan unsur ektrim Alam agar menjadi lebih bermanfaat, Batu Cadas dipilih pula karena
identik dengan kekokohan, sesuatu yang kokoh kuat. Maksudnya jelas, unsur ekstrim
alam, bisa diubah menjadi sesuatu yang stabil demi keberlangsungan semesta sebagai
tempat berevolusi. Berterima kasihlah kepada manusia-manusia berkesadaran tinggi
seperti Gatholoco!) Aku cukup memakan candu ini. (maksudnya candu spiritualitas)

Uraian diatas saya kira sudah cukup jelas. Dengan penambahan sedikit. Sosok-sosok
Manusia Berkesadaran Tinggi seperti Gatholoco, hingga detik ini, dan sampai nanti jika
Para Atma masih banyak yang belum terseberangkan dari lautan Dualitas Duniawi, akan
selalu ada dan hadir! Walau jumlah mereka akan berkurang dan bertambah, sesuai
dengan siklus perputaran Jaman (Yuga). Dalam Jaman Kali Yuga ini, mereka akan
semakin berkurang. Banyak dari mereka-mereka yang akan MELEBUR DENGAN
SUMBER ABADI SEMESTA! Pada Jaman Satya Yuga kelak, jumlah mereka akan
bertambah. Jumlah mereka bertambah karena banyak para Atma-Atma baru dari Jaman
Kali Yuga yang meningkat KESADARANNYA!
Manusia-Manusia Suci seperti mereka bukanlah monopoli agama tertentu! Karena
mereka telah lepas dari Dualitas Duniawi.
Status agama Aatau B, adalah status DUNIAWI! Bagaimana bisa mereka
membimbing kita melepaskan diri dari ikatan Dualitas Duniawi jikalau mereka sendiri
masih terikat dengan status keduniawian?
SESUNGGUHNYA MEREKA-MEREKA TELAH TERLEPAS DARI SEGALA
MACAM STATUS, ATRIBUT DAN TETEK BENGEK BENDERA DUNIAWI!
JANGAN MENJADI BODOH DENGAN MEMPERCAYAI SEBUAH KEYAKINAN
BAHWA MANUSIA YANG TELAH MENCAPAI KESEMPURNAAN SEPERTI
GATHOLOCO MASIH JUGA MENJADI MILIK AGAMA A ATAU B!
PARA MANUSIA ILLAHI SEMACAM GATHOLOCO AKAN TERTAWA MELIHAT
KEKONYOLAN KEYAKINAN SEMACAM ITU!

7. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 31 :

Sadurunge Ingsun ngising najis, gunung iku ykti durung ana, benjang bakal sirna
maneh, lamun Ingsun wus mantun, ngising tai mtu tka silit, titenana kewala, iki tuturIngsun, Guru tiga duk miyarsa, gya micara astane sarwi nudingi, Layak kuru tan pakra.
Sebelum Aku membuang kotoran (batin), seluruh gunung belumlah tercipta (maksudnya,
dunia tidak akan stabil sebagai tempat yang sesuai bagi proses evolusi jiwa jika tidak ada
manusia-manusia berkesadaran tinggi yang mampu mendaur ulang unsur-unsur ekstrim
Alam seperti Gatholoco), kelak akan sirna kembali, jika Aku sudah tidak lagi, membuang
kotoran lewat dubur, nyatakanlah kelak, apa yang Aku katakan ini. (maksudnya jika
manusia-manusia yang berkesadaran tinggi hilang dari muka bumi, dapat dipastikan
kiamat dunia akan tercipta!). Ketiga Guru begitu mendengar, segera berkata sembari
menuding, Makanya kurus kering tidak lumrah manusia (tubuhmu).

Gatholoco hanya sekedar menegaskan, bahwa tanpa adanya Manusia-Manusia


Berkesadaran Tinggi, Manusia-Manusia Illahi, yaitu Manusia-Manusia yang Merupakan
Perwujudan Illahi, kestabilan semesta tidak akan tercipta. Jika Para Sadhu (Manusia
Sempurna) seperti mereka mulai berkurang, maka dapat dipastikan, kekacauan semesta
akan tercipta. Dan pada puncak chaos yang sedemikian, maka akan lahirlah seorang
Buddha (Yang Tersadarkan) , seorang Awatara (Perwujudan Illahi) , seorang Mesias
(Juru Selamat) , seorang Nabi (Manusia pilihan Tuhan) , yang akan kembali menstabilkan
semesta diakhir Jaman Kali Yuga kelak!
Dalam Hindhuisme, Kalki Awatara kelak akan turun untuk menghancurkan Asura Kali
dan mengakhiri Jaman Kali Yuga menuju ke Jaman Satya Yuga kembali. Dalam
Buddhisme, Buddha Maitreya kelak akan turun manakala Dhamma sudah terlupakan!
Dalam Kristianisme, Jesus akan turun untuk menghancurkan Lucifer dan mengakhiri
dunia lama menuju dunia baru. Saat itulah Armagedon tengah tercipta! Dalam keyakinan
Islam, Nabi Isa a.s. kelak akan turun untuk menghancurkan Dajjal!
Kalki, Maitreya, Jesus, Isa, apakah mereka pribadi yang beda? Mengapa masih ngotot
menunjukkan keyakinannya sendiri yang paling benar? Sampai dibela-belain
menumpahkan darah segala?
Sadarlah saudaraku!

8. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 32 :

Gatholoco sigra anauri, Mila ingsun kurune kalintang, krana nurut mring karsane, Gusti

Jng Nabi Rasul, sabn ari ingsun turuti, tindak mnyang ngpaken, awan sore esuk,
mundhut candhu lawan madat, dipun dhahar kalawan dipun obongi, Allah kang paring
wikan.
Gatholoco segera menjawab, Tubuhku kurus disebabkan, karena menuruti perintah, Gusti
(Kang)jng Nabi Rasul(lullah), setiap hari aku turuti, bertandang ke tempat madat, siang
sore pagi, mengambil candu dan madat, dimakan langsung maupun dibakar lalu dihisap,
Allah yang memberikan ijin. (Maksudnya Kangjng Nabi Rasul dalam kesadaran
Gatholoco, bukanlah Nabi Muhammad, melainkan Ruh-nya sendiri, Atma-nya sendiri.
Suara Atma, suara Ruh, yang sering diistilahkan dengan SUARA NURANI,
memerintahkan manusia-manusia seperti Gatholoco untuk terus mabuk spiritual, agar
terus ke-Candu-an dengan Ke-Illahi-an. Dan Allah-pun me-ridloi!)

Ruh ini, Atma ini, adalah Utusan, adalah Rasul yang sesungguhnya! Sebejat apapun
manusia, searogan apapun manusia, sekejam dan sejahat apapun manusia, se-psikopat
apapun manusia, pasti masih memiliki rasa bersalah! Dan rasa bersalah itu berasal dari
SUARA RUH KITA! INILAH YANG SERING DIISTILAHKAN DENGAN SUARA
HATI NURANI!
Masih terngiangkah anda semua dengan teriakan Jesus bahwa Dia datang bukan dengan
hukum Taurat Musa, tapi Dia datang dengan Hukum Roh? Apakah itu? Tak lain adalah
HUKUM YANG BERASAL DARI SUARA ROH. SUARA HATI NURANI!
Masih ingatkah anda sabda Bhagawan Manu melalui Bhagawan Bregu yang menyatakan
bahwa ATMANASTUTI (SUARA ATMA) adalah Hukum tertinggi, bahkan melebihi
Weda sekalipun?
Lantas mengapakah anda memaksakan memberlakukan sebuah Hukum jika NURANI
anda sendiri memberontak karenanya? Nurani anda adalah KEJUJURAN MURNI. Anda
bisa menipu orang lain. Anda bisa menang berpekara dengan orang lain walau
sebenarnya anda dipihak yang salah. Namun dalam kesendirian, pasti akan terdengar
suara Ruh anda yang mengatakan bahwasanya sesungguhnya akulah yang salah. Ada
sesal, ada kasihan dan ada rasa bersalah! Walaupun rasa itu kadang dengan mahirnya kita
tepiskan melalui pembenaran-pembenaran dari Pikiran liar kita! Jika kita terbiasa
menepis SUARA RUH, SUARA NURANI, anda akan menjadi orang MUNAFIK
SEJATI! Manusia bisa membohongi manusia lain, tapi sesungguhnya tidak ada manusia
yang bisa membohongi DIRINYA SENDIRI!
Dengan meditasi, volume SUARA NURANI ini akan semakin keras terdengar! Dengan
membiasakan sikap KASIH kepada sesama, volume SUARA RUH ini-pun akan semakin
nyaring! Dan dengan membiasakan mengikuti SUARA ini, dapat dipastikan anda telah
berada dijalan yang benar!
Suara tersebut sebenarnya adalah SUARA ANDA YANG SEJATI. YAITU ANDA

YANG LEPAS DARI KUNGKUNGAN KESADARAN RELATIF, PIKIRAN


RELATIF, PERASAAN RELATIF DAN MEMORY RELATIF ANDA!
Sadarilah, selama ini anda hidup dengan Kesadaran, Pikiran, Perasaan dan Memory
Relatif anda. Anda belum hidup dalam ROH!
Jesus Kristus, focus membahas tentang hal ini! Anda selama ini tengah hidup dalam
DAGING!! Dan anda sesungguhnya bukanlah DAGING! Anda adalah ROH! Siapa yang
mengikuti kemauan DAGING, dia akan hidup ditengah orang-orang mati! Yaitu
kegelapan kesengsaraan duniawi. Terikat proses kelahiran dan kematian yang tiada henti.
Dunia yang penuh gemeretak-nya gigi karena kesedihan! Dunia dibawah KUASA
GELAP IBLIS yang tak lain sesungguhnya adalah KUASA DUALITAS DARI
PRAKRTI! Siapa yang HIDUP DALAM ROH, dia patut bersuka cita. Karena
pembebasan akhir menuju KEDIAMAN BAPA, yaitu KERAJAAN ALLAH, telah nyata!
Inilah maksud Sang Mesias!
Weda jauh-jauh hari telah menegaskan bahwa ANDA SESUNGGUHNYA BUKANLAH
KESADARAN RELATIF ITU, ANDA BUKANLAH PIKIRAN, ANDA BUKANLAH
PERASAAN, ANDA BUKANLAH MEMORY, ANDA BUKANLAH TUBUH FISIK
ITU. ANDA ADALAH ATMA!
Dan Gatholoco membahasakan bahwa Ruh-kita ini-lah, Atma-kita inilah Sang Utusan!
Dan Sang Utusan memerintahkan dia untuk terus menikmati candu spiritualitas!

_________________
Last edited by Koma on Mey 03, 2012 - www.koma.web.id

SERAT GATHOLOCO (5)


Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

PUPUH III

Sinom
(Kumpulan Syair III, Lagu ber-irama Sinom)
1. Gatholoco nulya ngucap, Dhalang Wayang lawan Klir, Balencong ndi kang tuwa,
badhenn cangkriman iki, yen sira nyata wasis, msthi wruh ingkang spuh, Ahmad
Ngarip ambatang, Klir kang tuwa pribadi, sadurunge ana Dhalang miwah Wayang.

Gatholoco lantas berkata, Dalang Wayang dan Klir (Layar), serta Balencong (pelita
yang dinyalakan pada jaman dulu selama pertunjukan wayang kulit digelar) mana yang
lebih tua, jawablah teka-teki ini, apabila kalian nyata pandai, pasti akan tahu mana yang
lebih tua, Ahmad Ngarip (Ahmad Arif) menjawab, Klir (Layar) yang lebih tua sendiri,
sebelum adanya Dalang dan Wayang.
2. Balencong durung pinasang, Klir ingkang wujud dhingin, wus jumnng keblat-papat,
ngisor tngah lawan nginggil, mila tuwa pribadi, Abdul Jabar asru muwus, Heh Ahmad
Ngarip salah, pambatangmu iku sisip, panmuku tuwa dhewe Kaki Dhalang.

Sebab sebelum Balencong dipasang, Klir (Layar)-lah yang ada dahulu, sebagai
perlambang empat penjuru mata angin, arah bawah tengah dan atas, makanya lebih tua
sendiri, Abdul Jabar berkata lantang, Hai Ahmad Ngarip (Ahmad Arif) kamu salah,
jawabanmu itu keliru, menurutku yang lebih tua adalah Ki Dalang.
3. Anane Klir lan Wayang, kang masang Balencong sami, Wayang gaweyane Dhalang,
mulane tuwa pribadi, tan ana kang madhani, anane Dhalang puniku, ingkang karya
lampahan, nyritakake ala bcik, asor unggul tan liya saking Ki Dhalang.
Adanya Klir (Layar) dan Wayang, serta yang memasang Balencong, Wayang buatan
Dalang, makanya lebih tua sendiri, tiada yang menyamai, keberadaan Dalang tersebut,
bahkan yang menjalankan wayang, menceritakan hal yang buruk dan baik, kalah dan
menang tak lain adalah Ki Dalang.
4. Nulya Kyai Abdul Manap, nambungi wacana aris, Karo pisan iki salah, padha uga
durung ngrti, datan bisa mrantasi, tur remeh kewala iku, mung nalar luwih gampang, ora
susah nganggo mikir, sun ngarani tuwa dhewe Wayang-ira.
Lantas Kyai Abdul Manap (Abdul Manaf), menyahut dengan pelan, Jawaban kalian
berdua itu salah, sama-sama tidak memahami, tidak bisa menjelaskan, padahal itu tekateki yang remeh, gampang dijawab oleh akal, tidak perlu susah berfikir, aku menjawab
yang paling tua sendiri adalah Wayang-nya.
5. Upama wong nanggap Wayang, isih kurang tlung sasi, Dhalange pan durung ana,
panggonanane durung dadi, wus ngucap nanggap Ringgit, tutur mitra karuhipun, sun arsa
nanggap Wayang, ora ngucap nanggap Klir, ora ngucap nanggap Balencong lan

Dhalang.
Seumpama ada orang yang hendak mengundang hiburan Wayang kulit, masih dalam
jangka waktu tiga bulan sebelumnya, Dalang belum ada, tempat pertunjukan belum
dibuat, sudah diucapkan kemana-mana hendak mengundang hiburan Wayang kulit,
diberitahukan ke teman dan keluarga, bahwa aku hendak mengundang hiburan Wayang
kulit, tidak mengatakan hendak mengundang hiburan Klir (Layar), tidak mengucapkan
hendak mengundang hiburan Balencong maupun mengundang hiburan Dalang.
6. Wus mupakat janma kathah, kang tinanggap apan Ringgit, durung paja-paja gatra, wus
muni ananggap Ringgit, mila tuwa pribadi, Gatholoco alon muwus, Abdul Jabar Dul
Manap, tanapi si Ahmad Ngarip, tlu pisan pambatange padha salah.
Sudah sepakat semua orang, yang hendak diundang adalah hiburan Wayang kulit, belum
juga ada terlihat hadir, sudah dikabarkan hendak mengundang hiburan Wayang kulit,
makanya Wayang itu tua sendiri, Gatholoco pelan berkata, Abdul Jabar (Ab)dul Manap
(Abdul Manaf), apalagi si Ahmad Ngarip (Ahmad Arif), jawaban kalian semua salah.
7. Yen mungguh pamtkingwang, Balencong tuwa pribadi, sanajan Klir pinasang,
gamlan wus miranti, Dhalang niyaga linggih, yen maksih ptng nggenipun, saykti
durung bisa, Dhalange anampik milih, nyritakake sawiji-wijining Wayang.
Menurut aku, Balencong itu lebih tua, walaupun Klir (Layar) telah dipasang, gamelan
sudah ditata, Dalang dan para niyaga (penabuh gamlan beserta sindhen-nya) sudah
duduk, akan tetapi jika masih gelap tempatnya, pasti tidak bisa, Dalang memilah dan
memilih, untuk menceritakan cerita satu-persatu dari tiap jenis wayang.
8. Kang nonton tan ana wikan, marang warnanira Ringgit, margane isih ptngan, ora
kna den tingali, yen Balencong wus urip, kanthar-kanthar katon murub, Klire
kawistara, ing ngandhap miwah ing nginggil, kanan kering Pandhawa miwah Kurawa.
Yang menonton tak akan bisa melihat, kepada wujud setiap jenis Wayang, karena masih
gelap gulita, tidak bisa dilihat mata, manakala Balencong sudah dinyalakan, menyalanyala terlihat terang, Klir (Layar) akan tampak, dimana arah bawah dan arah atas,
dimana kanan dan dimana kiri serta mana Pandhawa mana Kurawa.
9. Ki Dhalang neng ngisor damar, bisa nampik lawan milih, nimbang gdhe cilikira,
tumrap marang siji-siji, watake kabeh Ringgit, pinats pangucap-ipun, awit pituduhira,
Balencong ingkang madhangi, pramilane Balencong kang luwih tuwa.
Ki Dalang duduk dibawah pelita, mampu memilah dan memilih, menimbang besar
kecilnya, terhadap setiap jenis, dari perwatakan tiap Wayang, sehingga mampu
menyesuaikan ucapannya (dengan tiap karakter wayang kulit), sebab mendapat petunjuk,
dari Balencong yang menerangi, oleh karenanya Balencong yang lebih tua.
10. Dene unining gamlan, Wayange kang den gamli, Dhalange mung darma ngucap, si

Wayang kang darbe uni, prayoga gdhe cilik, manut marang Dhalangipun, sinigg gangsa
ika, Kaki Dhalang masesani, nanging darma ngucap molahake Wayang.
Sedangkan bunyi gamlan, mengiringi gerakan Wayang, Dalang hanya sekedar
mengucapkan, dari suara tiap jenis Wayang, sedang tinggi atau rendah, menurut
kehendak Dalang, berhentinya gamlan, Ki Dalang yang berkuasa, akan tetapi
sesungguhnya Dalang hanya sekedar mengucapkan dan menggerakkan Wayang sesuai
dengan kisah yang telah ditentukan.
11. Parentahe ingkang nanggap, ingkang aran Kyai Spi, basa Spi Tanpa Ana, anane
ginlar ykti, langgng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpa reh tanpa
guna, ingkang luwih masesani, ing solahe Wayang ucape Ki Dhalang.
Kisah yang dikehendaki oleh orang yang mengundang, yang dinamakan Kyai Spi, kata
Spi berarti Tidak Ada, akan tetapi Keberadaan-Nya sesungguhnya tergelar, langgeng tak
berubah, tak bisa berkurang dan tak bisa ditambah, tanpa kehendak tanpa sifat, akan
tetapi ada yang lebih berkuasa, diatas gerakan Wayang dan ucapan Ki Dalang.
12. Ingkang msthi nglakonana, ingkang ala ingkang bcik, kang nonton mung ingkang
nanggap, yeku aran Kyai Urip, yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana
apa-apa, lir Ingsun duk durung lair, ttp suwung ora ana siji apa.
Yang membuat semua bisa bergerak, bergerak melakukan perbuatan jelek maupun baik,
dari yang melihat hingga yang mengundang, yaitu Kyai Urip (Kyai Hidup), manakala
pelita telah padam, semua jadi kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan Ingsun (Aku) ketika
belum terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun juga.
13. Basa Klir iku Raga, Wayange Suksma Sujati, Dhalange Rasul Muhammad,
Balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi, Cahyane Urip puniku, nyrambahi
badanira, jaba jro ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba.
Layar itu sesungguhnya adalah Raga ini, Wayang sesungguhnya Suksma Sejati, Dalang
sesungguhnya Rasul Muhammad, Balencong adalah Percikan Hidup, bagaikan Hyang
Widdhi sendiri, Cahaya Hidup tersebut, merata didalam tubuhmu, diluar didalam diatas
dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud Allah Yang Kuasa.
14. Yen Wayang mari tinanggap, Wayange kalawan Klir, sinimpn sajroning kothak,
Balencong pisah lan Klir, Dhalang pisah lan Ringgit, marang ngndi paranipun, sirnane
Blencong Wayang, upayann den kpanggih, yen tan wruh sira urip kaya rca.
Jikalau pertunjukan Wayang telah selesai, Wayang beserta Klir (Layar), disimpan
didalam kotak, Balencong berpisah dengan Klir (Layar), Dalang berpisah dengan
Wayang, kemanakan perginya, sirnanya Balencong dan Wayang? Carilah hingga ketemu,
apabila tidak mengetahui hal itu hidupmu bagaikan arca batu semata.
15. Benjang yen sira palastra, urip-mu ana ing ngndi, saikine sira gsang, pati-mu ana

ing ngndi, uripmu bakal mati, pati nggawa urip iku, ing ngndi kuburira, sira-gawa wirawiri, tuduhna dununge panggonanira.
Kelak jika kalian meninggal dunia, hidup-mu berada dimana? Saat ini kalian hidup, matimu berada dimana? Hidup-mu bakal menemui mati, mati akan membawa pergi hidupmu, dimanakah kematian itu berada? Sesungguhnya telah kalian bawa kesana-kemari,
tunjukanlah tempat kediamannya.
16. Guru tiga duk miyarsa, anyntak sarwi macicil, Rmbug gunm ujarira, iku ora
lumrah janmi, Gatholoco nauri, Dhasar sun-karpkn iku, aja lumrah wong kathah,
ngungkulana mring sasami, ora trima duwe kawruh kaya sira.
Begitu mendengarnya ketiga Guru, membentak sembari melotot, Apa yang telah kamu
katakan, tidak lumrah diucapkan manusia! Gatholoco menjawab, Memang aku sengaja
demikian, jangan sampai lumrah seperti manusia kebanyakan, sebaiknya mengungguli
pengetahuan sesama, aku tidak akan terima jika hanya memiliki pengetahuan seperti
pengetahuan kalian!
17. Santri padha ambk lintah, ora duwe mata kuping, anggre amis kewala, cinucup
nganti malnthing, ora ngrti yen gtih, gandane amis tur arus, kinira madumangsa, yen
wus warg mangan gtih, amalngkr tan mtu nganti sawarsa.
Santri yang berperilaku seperti lintah, tidak memiliki mata dan telinga, asalkan mencium
bau amis, dihisap hingga perutnya menggelembung, tidak tahu kalau itu darah, baunya
amis dan arus (padanan kata amis), dikira madu, jika sudah kenyang meminum darah,
meringkuk tak keluar-keluar lagi hingga setahun.
18. Wkasan kaliru tampa, tan wruh tmah ndurakani, manut kitab mngkap-mngkap,
manut dalil tanpa misil, amung ginawe kasil, sinisil ing rasanipun, rasa nikmating ilat, lan
rasane langn rsmi, rasanira ing kawruh ora rinasa.
Pada akhirnya salah terima, tidak memahami inti sari malah berbuat dosa tanpa disadari,
menuruti kata-kata kitab begitu saja, menuruti dalil tanpa tahu makna sesungguhnya,
hanya dibuat untuk memperoleh keuntungan duniawi, tersilap dengan keduniawian,
dibuat untuk memenuhi nikmatnya rasa lidah, dibuat untuk memenuhi nikmatnya rasa
bersenggama, makna sejati ilmu tidak dirasakan.
19. Ttp urip tanpa mata, matamu mata soca pring, matamu tanpa paedah, matamu tan
migunani, Kyai Guru mangsuli, muring-muring asru muwus, Apa sira tan wikan, mring
mataku loro iki, Gatholoco sinaur Sireku bja.
Kalian hidup tak memiliki mata! Matamu mata batang bambu! Matamu tak bermanfaat!
Matamu tak berguna! Kyai Guru menjawab, marah-marah membentak keras, Apa kamu
buta! Tidak melihat jikalau kami punya mata! Gatholoco menjawab, kalian sangat
beruntung!

20. Dene padha duwe mata, loro-loro guru siji, apa sira wani sumpah, yen duwe mata
kkalih, Guru tiga nauri, Dhasar sayktine ingsun, ttela duwe mata, ttp loro matamami, Gatholoco gumujng sarwi anyntak.
Mempunyai biji mata, setiap orang dari kalian memiliki dua buah, apakah kalian berani
bersumpah, benar-benar memiliki dua buah mata? Ketiga Guru menjawab, Benar-benar
kami, nyata-nyata memiliki mata, berjumlah dua buah, Gatholoco tertawa sambil
membentak.
21. Sireku wani gumampang, saykti balak bilahi, ngaku dudu matanira, sun-lapurkn
pulisi, msthine den taleni, angaku loro matamu, yen nyata matanira, konn gilir gntignti, prentahana siji mlek siji nendra.
Kalian sangat berani menggampangkan sumpah, sungguh akan menuai balak dan celaka,
mengaku memiliki mata yang jelas-jelas bukan mata kalian, sebenarnya bisa dilaporkan
ke polisi (maksud Gatholoco adalah hukum alam semesta), pasti akan diikat tangan
kalian, sebab mengaku memiliki dua buah mata, kalau memang benar demikian, coba
suruh bergantian, perintahkan yang satu jaga dan yang satu tidur.
22. Dadi salawasmu gsang, ora kna dimalingi, Guru tiga samya ngucap, ndi ana mata
gilir, Gatholoco nauri, Tandhane nyata matamu, sira wnang masesa, saprentahmu den
turuti, yen tan manut ykti dudu matanira.
Sehingga selama kamu hidup, tidak bisa kecolongan oleh maling, Ketiga Guru berkata,
Mana ada mata bergiliran? Gatholoco menjawab, Jika memang benar itu mata kalian,
pastilah kalian berwenang menguasai, bisa diperintahkan sesuai keinginanmu, apabila
tidak menurut nyata bukan mata kalian.
23. Guru tiga samya mojar, Aku wani sumpah ykti, awit cilik prapteng tuwa, tan pisah
lan rai-mami, Gatholoco mangsuli, Dene sira wani ngaku, matamu ora pisah, mata
olehmu ing ngndi, apa tuku apa gawe apa nylang.
Ketiga Guru berujar, Aku berani bersumpah, semenjak kecil hingga tua, tidak pernah
terpisah dengan wajah kami, Gatholoco menjawab, Berani sekali kalian mengaku, bahwa
mata kalian tidak pernah berpisah, mata dapat dari mana? Apakah beli apakah membuat
sendiri ataukah meminjam?
24. Apa sira winewehan, iya sapa kang menehi, kalawan saksine sapa, dina apa aneng
ngndi, Guru tiga miyarsi, dhlg-dhlg datan muwus, wasana samya ngucap,
Gaweyane bapa bibi, Gatholoco gumuyu alatah-latah.
Apakah kalian diberi? Lantas siapakah yang memberi? Dan lagi siapakah saksinya saat
kalian diberi? Hari apa dimanakah tempatnya dan kapan waktu saat kalian diberi? Ketiga
Guru mendengar akan hal itu, terbengong-bengong tanpa bisa menjawab, pada akhirnya
berkatalah mereka, Buatan Bapak dan Ibu, Gatholoco tertawa terbahak-bahak.

25. Kiraku wong tuwanira, loro pisan padha mukir, karone ora rumasa, gawe irung mata
kuping, lanang wadon mung sami, ngrasakake nikmatipun, iku daya jalaran, wujude
ragamu kuwi, ora nja gawe rambut kuping mata.
Aku yakin orang tua kalian, keduanya akan menolak (bila dikatakan telah membuat
mata), kedua-duanya tidak pernah merasa, telah membuat hidung mata dan telinga, lakilaki dan perempuan hanyalah, sekedar menikmati nikmatnya (bersenggama) semata,
(persetubuhan) mereka hanya sekedar lantaran, terwujudnya raga kalian, mereka tidak
sengaja membuat rambut telinga dan mata.
26. Guru tiga nulya mojar, Allah Ingkang Maha Suci, ingkang karya raganingwang.
Gatholoco anauri, Prnah apa sireki, kalawan Kang Maha Luhur, dene ta pinaringan,
mata loro kanan-kering, tlu pisan pinaringan grana lesan.
27. Ketiga Guru lantas berkata, Allah Yang Maha Suci, yang telah membuat raga kami,
Gatholoco menyahuti, Punya hubungan apa kalian, dengan Yang Maha Luhur? Sehingga
kalian diberikan, kedua bola mata kanan dan kiri, yang ketiga bahkan diberikan hidung
dan lesan.
28. Guru tiga saurira, Katrima pamuji-mami, Gatholoco asru nyntak, Pujimu pujining
Widdhi, sira ora nduweni, marang pangucap sadarum, iku ucaping Allah, yen mangkono
sira maling, wani-wani kadunungan barang glap.
Ketiga Guru menjawab, Karena diterima doa kami, Gatholoco keras membentak, Bahkan
doamu-pun adalah milik (Hyang) Widdhi! Kalian tidak punya hak untuk mengakui!
Karena pengucapan kalian itu semua, itu ucapan Allah! Jikalau demikian kalian adalah
maling! Telah berani ketempatan barang yang bukan milik kalian (namun kalian akui
sebagai milik sendiri)!
29. Yen tan bisa ndunungna, kajdhgan ingkang dhiri, msthine dadi sakitan, ora kna
sira mukir, mloke wus pinanggih, tka ngndi asalipun, yen asale tan wikan, matanira
loro kuwi, ora kna angukuhi matanira.
Jika tidak bisa menunjukkan asalnya dari mana, diri kalian patut dipersalahkan, pasti
akan menjadi pesakitan, kalian tidak bisa memungkiri lagi, jelas-jelas telah nyata (kalian
maling)! (Sekali lagi) darimanakah asalnya? Jika asalnya tidak tahu, asal mula pertama
mata kalian, maka tidaklah pantas jika mengakuinya sebagai mata sendiri!
30. Sakehing reh lakonana, yen tan manut Sun gitiki, jalaran sira wus salah, kajdhgan
sira maling, lah iku duwek Mami, sira anggo tanpa urus, saikine balekna, ilange duk
Jaman Gaib, Ingsun simpn ana satngahing jagad.
Segala perintah-Ku laksanakan, jika tak menurut pasti Ku dera, sebab kalian telah salah,
patut dipersalahkan karena maling, itu semua milik-Ku, kalian pakai dengan tidak benar,
sekarang kembalikan, dulu hilang dikala Jaman Gaib, Aku simpan di tengah-tengah
jagad.

31. Saksine si Wujud Makna, cirine rina lan wngi, Ingsun rbut tanpa ana, saiki lagya
pinanggih, sira ingkang nyimpni, santri padha tanpa urus, yen sira tan ngulungna, sun
lapurake pulisi, ora wurung munggah ing rad pngadilan.
Saksinya adalah si Wujud Makna (Wujud dari segala inti sari makna kitab suci), bukti
(dari keteledoran kalian memakai barang-Ku dengan tidak benar) telah dicatat oleh siang
dan malam, Aku cari-cari tak ketemu, sekarang tengah Aku jumpai, ternyata kalian yang
menyimpannya, para santri yang tidak benar! Jika tidak kalian kembalikan, Aku laporkan
polisi (hukum alam), tak urung akan di naik perkara dipengadilan (semesta)!
32. Msthi sira kokum pksa, yen wngi turu ning buwi, lamun rina nambut karya, sabn
bngi den kandhangi, beda kalawan mami, salawase ngong tumuwuh, sadurunge
tumindak, ingkang daya sja-mami, agal alus kasar lmbut ingsun nalar.
Pasti akan menerima hukuman, jika malam tidur didalam penjara (terkurung dalam
kegelapan batin sehingga gelisah), jika siang kerja paksa (sengsara ditengah panasnya
dualitas duniawi), tiap malam dikandangkan (terus terjerat dalam kegelapan batin),
berbeda dengan aku, selama aku hidup, sebelum bertindak, untuk memenuhi
keinginanku, kasar maupun halus pasti aku pikirkan terlebih dahulu.
33. Murih aja dadi salah, Ahmad Ngarip anauri, Gunman karo wong edan, Gatholoco
amangsuli, Edanku awit cilik, kongsi mangke prapteng umur, ingsun tan bisa waras,
sabn dina owah gingsir, nampik milih panganan kang enak-enak.
Agar jangan sampai salah langkah, Ahmad Ngarip (Ahmad Arif) menjawab, Berbicara
dengan orang gila! Gatholoco menyahut, Gilaku memang semenjak kecil, hingga saat
usiaku tua, aku tidak bisa sembuh, setiap hari pikiranku tidak waras, menolak makanan
yang enak-enak.
34. Panganggo kang sarwa endah, ingsun edan urut margi, nurut margane kamulyan,
Abdul Jabar muring-muring, astu sumaur bngis, Rmbugan lan asu buntung, Gatholoco
angucap, Bnr olehmu ngarani, sakrabatku bapa kaki buyut canggah.
(Menolak) busana yang indah-indah, aku gila disepanjang jalan, gila dijalan kemuliaan!
Abdul Jabar marah-marah, lantas berkata bengis, Berbicara dengan anjing buntung!
Gatholoco berkata, Memang benar apa yang kamu tuduhkan, seluruh keluargaku mulai
bapak-ku kakek-ku buyut (ayahnya kakek)-ku sampai canggah (kakeknya kakek)-ku.
35. Dhasare buntung sadaya, tan ana buntut sawiji, basa Asu makna Asal, Buntung iku
wus ngarani, ingsun jinising janmi, ora buntut lir awakmu, balik sira wong apa, sira
gundhul anjdhindhil, apa Landa apa Koja apa Cina.
Memang buntung semua, tidak ada ekornya, Asu artinya Asal, arti Buntung sudah kalian
ketahui (maksud Gatholoco dia memang berasal dari makhluk yang tanpa ekor), aku ini
manusia, tidak berekor seperti kalian, sebaliknya kalian itu orang apa? Kepala kalian

gundul licin, apakah orang Belanda apakah Koja ( komunitas orang Koja adalah
komunitas yang berasal dari Persia dan Gujarat, yang pada waktu dulu banyak terdapat di
Jawa. Beragama Islam madzhab Syi'ah) apakah Cina.
36. Apa sira wong Benggala, Guru tiga anauri, Ingsun iki bangsa Jawa, Muhammad
agama-mami, Gatholoco nauri, Sira wong kapir satuhu, Kristn agamanira, lamun sira
bangsa Jawi, dene sira tan nbut Dewa Bathara.
Apakah kalian orang Benggala (maksudnya India), Ketiga Guru menjawab, Kami ini
orang Jawa, (ajaran) Nabi Muhammad agama kami! Gatholoco menjawab, Kalian
manusia Penentang sesungguhnya, seperti halnya orang Kristen (dalam pandangan
kalian, begitu juga pandanganku terhadap kalian)! Jika memang kalian orang Jawa,
mengapa tidak menyebut (Nama Tuhan dengan sebutan) Dewa Bathara?
37. Agama Rasul Muhammad, agamane wong ing Arbi, sira nbut liya bangsa, tgse
sinipat kapir, tan sbutmu pribadi, anggawe rusak uripmu, mulane tanah Jawa, kabawah
mring liya jinis, krana rusak agamane kuna-kuna.
Agama Rasul(lullah) Muhammad, sesungguhnya adalah agama suci bagi orang Arab!
Kalian mengikuti bangsa lain (dan mengingkari agama suci yang diperuntukkan bagi
kalian ditanah Jawa)! Oleh karenanya pantas juga disebut Penentang! Tidak mengingat
kepada kepribadian sendiri, membuat rusaknya kehidupan (di Jawa), oleh karenanya
tanah Jawa, dijajah terus menerus oleh bangsa lain, karena telah rusak agama yang lama!
38. Wiwit biyen jaman purwa, Pajajaran Majapahit, wong Jawa agama Buda, jaman
Dmak iku salin, nbut Rasulullahi, sbute wong Arab iku, saiki sira tular, anilar agama
lami, tgsira iku Kristn bangsa Arab.
Semenjak awal (di tanah Jawa) dulu, (saat jaman) Pajajaran Majapahit, orang Jawa beragama Buda (Shiwa Buddha), semenjak jaman Dmak lantas berganti, mengikuti ajaran
Rasulullah, (yang sesungguhnya adalah) ajaran suci bagi orang Arab, sekarang kalian
terus mengikuti pula, meninggalkan agama lama, artinya kalian itu Kristen dari Arab
(maksudnya, jika mengikuti pola pikir manusia-manusia Jawa pasca keruntuhan
Majapahit semacam orang yang tengah berdialog dengan Gatholoco saat itu, yang
menganggap manusia-manusia Jawa lain yang beragama Kristen adalah manusia
penentang, maka dengan pola pikir yang sama, Gatholoco bisa juga menganggap
manusia-manusia Jawa pasca keruntuhan Majapahit semacam orang yang tengah
berdialog dengan Gatholoco, pantas juga dianggap Penentang oleh orang Jawa yang
beragama Shiwa Buda. Gatholoco hanya sekedar membalikkan logika berfikir mereka
saja. Pada gilirannya, jikalau mereka tersinggung dianggap sosok manusia-manusia
Penentang, maka begitu juga perasaan orang Kristen dan orang Shiwa Buddha
manakala dianggap Penentang oleh mereka. Sebuah bentuk keegoisan yang tidak
mereka sadari!)

_________________
Last edited by Koma on Mey 03, 2012 - www.koma.web.id

SERAT GATHOLOCO (6)


Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

1. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 7-13

Yen mungguh pamtkingwang, Balencong tuwa pribadi, sanajan Klir pinasang,


gamlan wus miranti, Dhalang niyaga linggih, yen maksih ptng nggenipun, saykti
durung bisa, Dhalange anampik milih, nyritakake sawiji-wijining Wayang.

Menurut aku, Balencong itu lebih tua, walaupun Klir (Layar) telah dipasang, gamelan
sudah ditata, Dalang dan para niyaga (penabuh gamlan beserta sindhen-nya) sudah
duduk, akan tetapi jika masih gelap tempatnya, pasti tidak bisa, Dalang memilah dan
memilih, untuk menceritakan cerita satu-persatu dari tiap jenis wayang.

Kang nonton tan ana wikan, marang warnanira Ringgit, margane isih ptngan, ora kna
den tingali, yen Balencong wus urip, kanthar-kanthar katon murub, Klire kawistara, ing
ngandhap miwah ing nginggil, kanan kering Pandhawa miwah Kurawa.

Yang menonton tak akan bisa melihat, kepada wujud setiap jenis Wayang, karena masih
gelap gulita, tidak bisa dilihat mata, manakala Balencong sudah dinyalakan, menyala-

nyala terlihat terang, Klir (Layar) akan tampak, dimana arah bawah dan arah atas,
dimana kanan dan dimana kiri serta mana Pandhawa mana Kurawa.

Ki Dhalang neng ngisor damar, bisa nampik lawan milih, nimbang gdhe cilikira, tumrap
marang siji-siji, watake kabeh Ringgit, pinats pangucap-ipun, awit pituduhira,
Balencong ingkang madhangi, pramilane Balencong kang luwih tuwa.

Ki Dalang duduk dibawah pelita, mampu memilah dan memilih, menimbang besar
kecilnya, terhadap setiap jenis, dari perwatakan tiap Wayang, sehingga mampu
menyesuaikan ucapannya (dengan tiap karakter wayang kulit), sebab mendapat petunjuk,
dari Balencong yang menerangi, oleh karenanya Balencong yang lebih tua.

Dene unining gamlan, Wayange kang den gamli, Dhalange mung darma ngucap, si
Wayang kang darbe uni, prayoga gdhe cilik, manut marang Dhalangipun, sinigg gangsa
ika, Kaki Dhalang masesani, nanging darma ngucap molahake Wayang.

Sedangkan bunyi gamlan, mengiringi gerakan Wayang, Dalang hanya sekedar


mengucapkan, dari suara tiap jenis Wayang, sedang tinggi atau rendah, menurut
kehendak Dalang, berhentinya gamlan, Ki Dalang yang berkuasa, akan tetapi
sesungguhnya Dalang hanya sekedar mengucapkan dan menggerakkan Wayang sesuai
dengan kisah yang telah ditentukan.

Parentahe ingkang nanggap, ingkang aran Kyai Spi, basa Spi Tanpa Ana, anane ginlar
ykti, langgng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpa reh tanpa guna,
ingkang luwih masesani, ing solahe Wayang ucape Ki Dhalang.

Kisah yang dikehendaki oleh orang yang mengundang, yang dinamakan Kyai Spi, kata
Spi berarti Tidak Ada, akan tetapi Keberadaan-Nya sesungguhnya tergelar, langgeng tak
berubah, tak bisa berkurang dan tak bisa ditambah, tanpa kehendak tanpa sifat, akan
tetapi ada yang lebih berkuasa, diatas gerakan Wayang dan ucapan Ki Dalang.

Ingkang msthi nglakonana, ingkang ala ingkang bcik, kang nonton mung ingkang
nanggap, yeku aran Kyai Urip, yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana
apa-apa, lir Ingsun duk durung lair, ttp suwung ora ana siji apa.

Yang membuat semua bisa bergerak, bergerak melakukan perbuatan jelek maupun baik,
dari yang melihat hingga yang mengundang, yaitu Kyai Urip (Kyai Hidup), manakala
pelita telah padam, semua jadi kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan Ingsun (Aku) ketika
belum terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun juga.

Basa Klir iku Raga, Wayange Suksma Sujati, Dhalange Rasul Muhammad, Balencong
Wahyune Urip, iku upama Widdhi, Cahyane Urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jro
ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba.

Layar itu sesungguhnya adalah Raga ini, Wayang sesungguhnya Suksma Sejati, Dalang
sesungguhnya Rasul Muhammad, Balencong adalah Percikan Hidup, bagaikan Hyang
Widdhi sendiri, Cahaya Hidup tersebut, merata didalam tubuhmu, diluar didalam diatas
dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud Allah Yang Kuasa.

Gatholoco melontarkan teka-teki kepada ketiga orang Kyai Guru. Diantara empat hal ini,
manakah yang lebih tua? WAYANG, DALANG, KLIR (Layar)atau BALENCONG?
(Pelita yang dinyalakan sepanjang malam hingga pagi, khusus untuk mengiringi sebuah
pertunjukan Wayang Kulit ). (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 1)

Ahmad Ngarip (Arif) menjawab, bahwa KLIR (Layar) jelas paling tua sendiri. Karena
sebelum sebuah pertunjukan Wayang kulit dimulai, KLIR (Layar) harus terpasang lebih
dahulu. KLIR (Layar) akan dibentangkan segera sebelum semuanya siap sedia. KLIR
(Layar) mutlak harus ada terlebih dulu sebelum seluruh WAYANG ditata berjajar bahkan
sebelum satu persatu karakter WAYANG dimainkan. Harus ada sebelum gamlan
dibunyikan. Harus ada sebelum DALANG duduk menuturkan kisah yang hendak

dibawakan. Bahkan KLIR (Layar) juga ada lebih dahulu sebelum BALENCONG
dinyalakan. Oleh karenanya, KLIR (Layar) pantas dinyatakan sebagai yang paling tua.
Begitu pendapat Ahmad Ngarip (Arif). (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 1-2)

Lain lagi pendapat dari Abdul Jabar. Menurut dia, DALANG-lah yang pantas dianggap
sebagai yang paling tua. Karena, baik KLIR (Layar), BALENCONG berikut pula
seluruh piranti perlengkapan untuk sebuah pertunjukkan Wayang Kulit, bahkan
WAYANG-nya itu sendiri-pun, yang berkuasa menata, mengatur juga menjalankan,
adalah SANG DALANG. Oleh karenanya, DALANG patut dianggap lebih tua dari yang
lain! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 2-3)

Abdul Manap (Manaf) memiliki jawaban sendiri. Dia menganggap WAYANG-lah yang
pantas dianggap tua. Karena bagaimanapun juga, dalam sebuah pagelaran Wayang Kulit,
dimanapun tempatnya dan kapan saja waktu pertunjukkan tersebut digelar, yang disebutsebut orang banyak pastilah Pagelaran WAYANG. Bukan Pagelaran DALANG, atau
Pagelaran KLIR (Layar) apalagi Pagelaran BALENCONG! (Pupuh III, Sinom, Pada
(Syair) : 4-6)

Gatholoco menyalahkan semua jawaban dari ketiga Kyai Guru. Dia menyatakan
BALENCONG-lah yang paling tua. Tanpa adanya BALENCONG, tak akan dapat terlihat
seluruh piranti pertunjukan yang sudah tersedia. Tanpa adanya BALENCONG,
keberadaan KLIR (Layar), WAYANG bahkan SANG DALANG sendiri, tidak akan
dapat diketahui karena semua dalam kondisi gelap gulita.

Gatholoco menyatakan lagi, bahwasanya yang dimaksudkannya dengan KLIR


(LAYAR) tak lain adalah RAGA atau STHULA SARIIRA atau JASAD MANUSIA
Sedangkan WAYANG tak lain adalah SUKSMA SEJATI atau SUKSMA SARIIRA atau
NAFS MANUSIA. SANG DALANG adalah perumpamaan dari ATMA SARIIRA atau
RUH. Dalam bahasa Gatholoco ATMA SARIIRA atau RUH disebut RASUL
MUHAMMAD ( UTUSAN YANG TERPUJI).

BALENCONG tak lain adalah simbol PURUSHA. Simbol dari MANIFESTASI ILLAHI
PERTAMA yang berkehendak meng-ada-kan seluruh ciptaan ini. Dari PURUSHA-lah
KEHENDAK PENCIPTAAN MULA PERTAMA TERGELAR. Dari PURUSHA-lah
seluruh MANIFESTASI ILLAHI KEDUA atau ATMA atau RUH terpancarkan kedalam
BAYANGAN ILLAHI (PRAKRTI, ALAM) . Dan dari KEHENDAK PURUSHA-lah

PRAKRTI terus mengembang menciptakan ciptaan-ciptaan baru

BALENCONG-lah yang memberikan TERANG kepada DALANG. Dan DALANG


memberikan KESADARAN kepada WAYANG. Sedangkan KLIR (LAYAR) hanya
sekedar menjadi wahana terjadinya seluruh cerita yang dikisahkan.

PURUSHA-lah yang memberikan KESADARAN kepada ATMA SARIIRA atau RUH.


ATMA SARIIRA atau RUH yang memberikan KESADARAN kepada SUKSMA
SARIIRA atau NAFS. Sedangkan STHULA SARIIRA atau JASAD, hanya sekedar
menjadi tempat ter-realisasi-nya seluruh aktifitas tersebut.

BALENCONG (PURUSHA) adalah PERCIKAN DARI SANG HIDUP atau


BRAHMAN. BALENCONG (PURUSHA) adalah juga DUPLICATE dari SANG
HYANG WIDDHI atau BRAHMAN (Balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi :
Balencong adalah Percikan Hidup, bagaikan Hyang Widdhi sendiri)!

Sedangkan GAMLAN dan PARA NIYAGA (PENABUH GAMLAN) berikut PARA


PENONTON ibarat OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI yang akan selalu
terus menghanyutkan tingkah polah WAYANG (SUKSMA SARIIRA). Tergantung
KESADARAN SANG DALANG (ATMA SARIIRA) untuk memutuskan, apakah
WAYANG (SUKSMA SARIIRA) yang ada dalam genggaman tangannya akan terus
terpengaruh dan terlarut oleh BUNYI GAMLAN (OBYEK-OBYEK KENIKMATAN
DUNIAWI) dan TEPUK SORAK PENONTON sehingga lupa memfokuskan diri kearah
USAINYA PERTUNJUKAN KEHIDUPAN. Ataukah KESADARAN SANG DALANG
(ATMA SARIIRA) akan mengolah pertunjukan secara apik dan tepat waktu sehingga
segera USAI PULA SELURUH PERTUNJUKAN KEHIDUPAN yang tengah
dikisahkannya.

Jika ATMA SARIIRA TELAH BANGKIT KESADARANNYA, segera Dia akan


berusaha merampungkan KISAH KEHIDUPANNYA SECARA APIK. Jika ATMA
SARIIRA TIADA KUNJUNG BANGKIT KESADARANNYA, maka KISAH
KEHIDUPANNYA AKAN MENJADI PANJANG DAN TAK KUNJUNG USAI!
ATMA SARIIRA YANG TIDAK SADAR-SADAR, akan terus asyik memainkan
SUKSMA SARIIRA dan terus terlarut dalam GELIMANG OBYEK-OBYEK
KENIKMATAN DUNIAWI! ATMA SARIIRA yang semacam ini akan terus
TERJERAT DALAM PROSES KELAHIRAN DAN KEMATIAN YANG BERULANG-

ULANG TANPA BERKESUDAHAN! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 10)

ATMA SARIIRA sendiri terpaksa akan masih terikat oleh HUKUM ALAM. Sebuah
HUKUM SEMESTA yang absolute. Sebuah HUKUM PENUH KENISCAYAAN yang
mengatur seluruh jalannya cerita kehidupan ini. Sebuah HUKUM SEBAB-AKIBATAKSI-REAKSI. HUKUM KARMAPHALA. Selama ATMA SARIIRA masih terjerat
OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI, TERJERAT DUALITAS DUNIAWI,
selama itu pula ATMA SARIIRA masih akan terkena HUKUM SEBAB AKIBAT!

Gatholo mengumpamakan, bahwa DALANG -pun harus tunduk kepada ORANG YANG
MENGUNDANG. YAITU ORANG YANG PUNYA HAJAT. APA KISAH YANG
DIMINTA, ITU JUGA YANG HARUS DIMAINKAN. Dalam bahasa Gatholoco,
ORANG YANG PUNYA HAJAT disebut KYAI SPI.

KYAI SPI tak lain adalah ALAM SEMESTA! Tak lain adalah PRAKRTI,
BAYANGAN BRAHMAN! ALAM SEMESTA -lah yang mengarahkan jalannya cerita
nasib manusia. ALAM SEMESTA -lah yang menumbuhkan BUAH KARMA.
WALAUPUN SESUNGGUHNYA, NASIB SETIAP MANUSIA ITU YANG
MERANGKAI DAN MENGUNTAINYA TAK LAIN ADALAH MANUSIANYA ITU
SENDIRI. ALAM SEMESTA HANYA SEKEDAR MEREKAM DAN
MENUMBUHKANNYA SEMATA!

ALAM SEMESTA sesungguhnya TANPA KESADARAN. ALAM SEMSETA ibarat


sebuah MESIN SUPER CANGGIH yang terus bekerja merekam seluruh aktifitas
manusia. Aktifitas yang BAIK maupun yang BURUK. Dan pada ujungnya,
menumbuhkan buah aktifitas tersebut dalam bentuk rangkaian TAKDIR bagi manusia itu
sendiri! Oleh karenanya Gatholoco menggambarkan bahwasanya KYAI SPI itu seolah
TIDAK ADA (Maksudnya SEOLAH TIDAK MELAKUKAN AKTIFITAS MEREKAM
DAN MENUMBUHKAN BUAH KARMA). AKAN TETAPI KEBERADAANYA
TERGELAR NYATA (Maksudnya ALAM SEMESTA INI NYATA BEKERJA
MEREKAM DAN MENUMBUHKAN BUAH KARMA)! SESUNGGUHNYA DIAPUN LANGGENG JUGA, DIA TAK BERUBAH, TAK BISA DITAMBAH DAN TAK
BISA DIKURANGI. DIA TANPA KEHENDAK SENDIRI DAN TAK MEMILIKI
KESADARAN SENDIRI. ALAM SEMESTA HANYALAH BAYANGAN
BRAHMAN!

Diatas itu semua, ada yang lebih berkuasa. Gatholoco menyebutnya KYAI URIP atau
HIDUP! KYAI URIP tak lain adalah BRAHMAN YANG MUTLAK! SUMBER ABADI
KEHIDUPAN SEMESTA RAYA! INTI SEJATI SELURUH MAKHLUK! ASAL DAN
TUJUAN SELURUH MAKHLUK! SUMBER MAHA ENERGI YANG TANPA
PRIBADI! YANG MELAMPAUI SEGALANYA! YANG BERADA DIMANAMANA! YANG ADALAH SEGALANYA! KEBERADAAN, KESADARAN,
KEBAHAGIAAN SEJATI! KESEIMBANGAN MURNI! YANG ADALAH
KEMUTLAKAN ABSOLUT!

DAN SEJATINYA, KLIR (STHULA SARIIRA), WAYANG (SUKSMA SARIIRA),


DALANG (ATMA SARIIRA), YANG MENONTON BERIKUT YANG MENABUH
GAMLAN (OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI), KYAI SPI (ALAM
SEMESTA/PRAKRTI BERIKUT HUKUM KARMAPHALA-NYA) DAN
BALENCONG (PURUSHA), SEMUANYA ADALAH MANIFESTASI KYAI URIP
(BRAHMAN) ITU SENDIRI! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 5-6)

Gatholoco sesungguhnya hendak mengajarkan RAHASIA ILMU SEJATI kepada


mereka-mereka yang masih juga terjerat konsep keber-agama-an kulit! Mereka-mereka
yang terbiasa membedakan mana SAKRAL dan mana PROFAN berlebihan! Merekamereka yang berputar-putar pada keyakinan bahwa TUHAN tercerabut dari MANUSIA.
Keyakinan bahwa TUHAN dan MANUSIA adalah dua sosok pribadi berbeda. Yang satu
dilangit nan jauh disana, yang satu berdiam dibumi dengan kenelangsaan sebagai budak
yang siap dimainkan dan diatur-atur sekehendak hati oleh Dia yang ada diatas langit itu!
Budak yang setiap saat bisa diangkat derajatnya ataupun diperhinakan tanpa ada alasan
yang jelas! Budak yang harus terus taat dan manut nurut. Budak yang akan diimingimingi Surga jika patuh dan akan diancam dengan siksaan Neraka jika tidak patuh!
Konsep ke-Tuhan-an yang sangat membelenggu dan tradisional (walau diklaim paling
modern) semacam ini, dikritik secara berani oleh seorang filsuf Eksistensialisme,
Friedrich W. Nietzsche dalam karyanya ZARATUSTRA, bahwa SOSOK TUHAN
YANG SEMACAM INILAH PENGHALANG MANUSIA MENCAPAI TINGKATAN
UEBERMENCH atau Manusia Agung. Sosok Tuhan semacam ini, menurut Nietzsche
SUDAH MATI ! Lantang dia meneriakkan GOTT IST TOT (TUHAN TELAH MATI) !

Nietzsche berteriak beberapa puluh tahun lalu tentang UEBERMENCH. Gatholoco


berteriak empat ratus tahun lalu tentang LANANG SUJATI. Syeh Siti Jenar berteriak
enam ratus tahun lalu tentang INGSUN PANGERAN SEJATI, JATINING PANGERAN
MULYA. Sidharta Gautama berteriak dua ribu lima ratus tahun yang lalu tentang
BUDDHA dan Rsi Wyaasa berteriak lima ribu tahun yang lalu dalam Brahmasutra
tentang AHAM BRAHMASMI. Teriakan mereka tiada beda walaupun masa kehidupan
mereka terpaut rentang waktu yang jauh! Tapi mengapa masih juga tidak ada yang

mendengar? Mengapa darah masih saja terus tumpah?

Gatholoco hendak mengajarkan kepada mereka-mereka yang terus menerus tercekam


ketakutaan tak beralasan (Phobia) akan KUASA TANDINGAN TUHAN YANG
BERNAMA IBLIS. Sehingga sering disibukkan dengan pemilahan INI DARI TUHAN,
INI DARI IBLIS. INI AJARAN TUHAN, INI AJARAN IBLIS. INI SURGA TUHAN,
INI SURGA IBLIS. INI UMAT TUHAN, INI UMAT IBLIS, bahkan membedakan INI
AGAMA TUHAN, INI AGAMA IBLIS. (Walau diperhalus dengan ungkapan INI
AGAMA LANGIT DAN INI AGAMA BUMI)!

KETAHUILAH! TIDAK ADA AJARAN DARI IBLIS, YANG ADA ADALAH


AJARAN YANG BERASAL DARI EGOISME DAN KESERAKAHAN MANUSIA!
ITULAH AJARAN SESAT DAN MENYESATKAN!

Gatholoco hendak mengajarkan bahwa seluruh semesta ini BERASAL DARI YANG
SATU. BAHKAN BUKAN HANYA ITU SAJA, GATHOLOCO HENDAK
MENGAJARKAN PULA BAHWA SESUNGGUHNYA SELURUH SEMESTA INI
BERIKUT MAKHLUK YANG BERKERIAPAN DIDALAMNYA ADALAH SATU
KESATUAN YANG TAK TERPISAHKAN! TAT TWAM ASI (ENGKAU ADALAH
AKU JUGA)! TUNGGAL ADANYA!

Hal ini ditegaskan dalam syair ke-13 diatas.

Cahyane Urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jro ngandhap nginggil, Wujudira
Wujude Allah Kang Murba. (Cahaya Hidup tersebut, merata didalam tubuhmu, diluar
didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud Allah Yang Kuasa.)!

TAK HARUS ADA SEKUMPULAN SPESIES MAKHLUK HIDUP YANG PATUT


DIMUSUHI! TUHAN TAK PERNAH MENGAJARKAN PERMUSUHAN DAN
KEBENCIAN KEPADA MAKHLUK LAIN! TUHAN HANYA MENGAJARKAN
KASIH! KASIH YANG TANPA PANDANG BULU! BUKAN KASIH YANG PILIHPILIH ALIAS PILIH KASIH!
Yang patut diwaspadai adalah SUKSMA SARIIRA ini. Karena didalam SUKSMA
SARIIRA ini, terdapat AHAMKARA (EMOSI NEGATIF), MANAH (PIKIRAN LIAR)

dan CITTA (MEMORI-MEMORI TRAUMATIK) . Namun ada pula yang dinamakan


BUDDHI (KESADARAN RELATIF). BUDDHI adalah KESADARAN ATMA yang
tinggal sedikit karena terbelenggu oleh AHAMKARA, MANAH DAN CITTA. Perkuat
BUDDHI ini, agar tidak terpengaruh oleh AHAMKARA, MANAH DAN CITTA.
Jadikan BUDDHI sebagai pengendali ketiga unsur SUKSMA SARIIRA yang lain
tersebut!

AHAMKARA, MANAH DAN CITTA, ITULAH SETAN YANG SESUNGGUHNYA!

Keempat unsur SUKSMA SARIIRA inilah sesungguhnya yang dimaksud oleh leluhur
Jawa jaman Shiwa Buddha dengan istilah SADULUR PAPAT KALIMA PANCR
(SAUDARA EMPAT KELIMA PUSAT), yaitu KAKANG KAWAH (BUDDHI), ADHI
ARI-ARI (MANAH), GTIH (AHAMKARA) dan PUSR (CITTA) . Sedangkan
PANCR (PUSAT) tak lain adalah ATMA SARIIRA kita!

Konsep ini dikembangkan dalam ajaran Islam Kejawen seiring keruntuhan Majapahit,
dengan mengambil kosa kata Arab, untuk menggantikan kosa kata yang berbau Weda
dan berbau Jawa asli, yaitu MUTMAINAH (untuk menggantikan kosa kata KAKANG
KAWAH/BUDDHI), SUFIYYAH (untuk menggantikan kosa kata ADHI ARIARI/MANAH), AMARAH (untuk menggantikan kosa kata GTIH/AHAMKARA) dan
LUWWAMAH (untuk menggantikan kosa kata PUSR/CITTA). Lantas dikenalah istilah
NAPSU PATANG PRAKARA (PRIBADI EMPAT MACAM).

Kosa kata Jawa masih tetap bertahan, tapi kosa kata Weda, sudah dikikis habis dan tidak
lagi dikenal oleh masyarakat Jawa pada umumnya hingga detik ini.

Pelampauan AHAMKARA, MANAH dan CITTA , mutlak diperlukan. Manakala sudah


mampu kita lampaui, BUDDHI akan bersinar terang! Begitu BUDDHI telah termurnikan,
maka KESADARAN akan meningkat pesat. Dan dalam proses lompatan peningkatan
KESADARAN ini, BUDDHI itu sendiri, KESADARAN RELATIF itu sendiri, akan
lenyap dalam ATMA SARIIRA . Dan ATMA SARIIRA akan memperoleh kembali
KESADARAN MURNI-NYA !

ATMA SARIIRA yang telah TERJAGA TOTAL ini, sebenarnya sudah bukan lagi bisa

disebut ATMA. ATMA SARIIRA yang sudah MELEK SEMPURNA ini, sesungguhnya
tak lain adalah BRAHMAN itu sendiri! SIDHARTA GAUTAMA, KRISHNA dan
JESUS sudah mengalaminya. Lantas mengapa anda mempermasalahkan jika ada yang
menyembah SIDHARTA, KRISHNA atau JESUS ?

Tinggal selangkah lagi. Manakala ATMA SARIIRA sudah lenyap dalam SAMUDERA
ENERGI PURNA , manunggal total dengan BRAHMAN , maka tiada lagi terbedakan
mana ATMA mana BRAHMAN. TUNGGAL ADANYA . Gatholoco menggambarkan :
..yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana apa-apa, lir Ingsun duk
durung lair, ttp suwung ora ana siji apa. (manakala pelita telah padam, semua jadi
kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan Ingsun (Aku) ketika belum terlahirkan, tetap kosong
tidak ada apapun juga.)

Dan yang ada hanyalah YANG ADA itu sendiri. Tiada lagi ada yang lain!

_________________
Last edited by Koma on Mey 03, 2012 - www.koma.web.id

SERAT GATHOLOCO (7)


Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

2. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) 17-18 :

Santri padha ambk lintah, ora duwe mata kuping, anggre amis kewala, cinucup nganti
malnthing, ora ngrti yen gtih, gandane amis tur arus, kinira madumangsa, yen wus
warg mangan gtih, amalngkr tan mtu nganti sawarsa.
Santri yang berperilaku seperti lintah, tidak memiliki mata dan telinga, asalkan mencium
bau amis, dihisap hingga perutnya menggelembung, tidak tahu kalau itu darah, baunya
amis dan arus (padanan kata amis), dikira madu, jika sudah kenyang meminum darah,
meringkuk tak keluar-keluar lagi hingga setahun.

Wkasan kaliru tampa, tan wruh tmah ndurakani, manut kitab mngkap-mngkap,
manut dalil tanpa misil, amung ginawe kasil, sinisil ing rasanipun, rasa nikmating ilat, lan
rasane langn rsmi, rasanira ing kawruh ora rinasa.
Pada akhirnya salah terima, tidak memahami inti sari malah berbuat dosa tanpa disadari,
menuruti kata-kata kitab begitu saja, menuruti dalil tanpa tahu makna sesungguhnya,
hanya dibuat untuk memperoleh keuntungan duniawi, tersilap dengan keduniawian,
dibuat untuk memenuhi nikmatnya rasa lidah, dibuat untuk memenuhi nikmatnya rasa
bersenggama, makna sejati ilmu tidak dirasakan.
Gatholoco tajam mengingatkan, bahwasanya manusia-manusia yang terjebak
keberagamaan kulit seperti yang tengah berdialog dengannya, tak ubahnya bagaikan
Lintah semata. Yang tak memiliki mata dan tak memiliki telinga. Pekerjaan mereka
hanya menghisap darah sesama. Pekerjaan mereka hanya membuat harmonisasi
kehidupan timpang.

Mereka mengira, dengan menghisap darah, mereka telah melakukan sebuah pekerjaan
besar dan benar dimata Tuhan! Mereka mengira telah menghisap madu yang manis.
Mengira telah melakukan sebuah pekerjaan agung yang sudah sepatutnya, walau harus
menumpahkan darah!

Begitu telah kenyang menumpahkan darah, mereka akan puas dan tiada lagi tergerak
untuk menelaah, apakah yang sudah dilakukan ini memang benar dimata Tuhan? (Pupuh
III, Sinom, Pada (Syair) : 17)

Mereka telah membuat dosa tanpa disadari. Menelan mentah-mentah kata-kata kitab suci
tanpa dikupas lagi. Menuruti segala dalil tanpa mendalami inti sarinya. Padahal SUARA
NURANI mereka terus berontak untuk mengabarkan arti dan makna yang sesungguhnya!

Kesadaran mereka tentang spiritualitas, tak lebih sebatas pencapaian Kenikmatan


Keduniawian semata. Kenikmatan yang konon juga ada di Surga sana. Kenikmatan yang
mirip dan serupa dengan Kenikmatan Dunia. Benarkah itu semua? Jika memang
demikian, mengapa harus berlama-lama menunggu nanti, toh sekarang Kenikmatan
serupa juga ada disini. Sudah nyata dan didepan mata malah. Lantas mengapa harus
menunggu sesuatu yang masih dijanjikan nanti jika memang esensinya serupa dan itu-itu
juga? (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 18)

Kesadaran Spiritual-kah yang semacam ini? Jesus Kristus, Rabiah Al Adawiyyah,


Jallaluddin Rumi, Al-Junaid, Ibnu Al-Araby, Ibnu Manshur Al-Hallaj, Abu Yazid AlBistami, Hamzah Fanshuri, Syeh Siti Jenar dan seluruh manusia illahi semacam mereka
malah dipangkas habis manakala meneriakkan kebenaran sebuah makna hakiki.

Berbeda dengan manusia illahi yang turun ditanah India, keberadaan mereka masih
mendapat sambutan hangat hingga kini. Adakah yang berbeda dari pesan-pesan mereka?
Tidak ada! Yang berbeda adalah medan dan tempat dimana mereka turun.

Terpujilah manusia-manusia illahi yang berani meneriakkan kebenaran dimedan yang


penuh dengan manusia-manusia berkesadaran rendah! Sembah sujud saya kepada
manusia-manusia illahi yang semacam ini!

3. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) 27 :

Guru tiga saurira, Katrima pamuji-mami, Gatholoco asru nyntak, Pujimu pujining
Widdhi, sira ora nduweni, marang pangucap sadarum, iku ucaping Allah, yen mangkono
sira maling, wani-wani kadunungan barang glap.
Ketiga Guru menjawab, Karena diterima doa kami, Gatholoco keras membentak, Bahkan
doamu-pun adalah milik (Hyang) Widdhi! Kalian tidak punya hak untuk mengakui!
Karena pengucapan kalian itu semua, itu ucapan Allah! Jikalau demikian kalian adalah
maling! Telah berani ketempatan barang yang bukan milik kalian (namun kalian akui

sebagai milik sendiri)!

Sekali lagi Gatholoco hendak menghancurkan dinding kesadaran sempit dari mereka
yang tengah diajaknya berdialog. Gatholoco tengah memberikan letupan bagi
peningkatan kesadaran mereka. Gatholoco hendak membangun kesadaran baru,
bahwasanya semua yang ada didalam semesta ini tak ada yang lain selain
MANIFESTASI HYANG WIDDHI atau BRAHMAN! atau ALLAH!

PURUSHA adalah MANIFESTASI PERTAMA dari BRAHMAN manakala


BRAHMAN tengah berkehendak untuk melakukan sebuah LILAA atau PERMAINAN
ILLAHI-NYA. BRAHMAN YANG MELAMPAUI SEGALANYA, YANG TANPA
PRIBADI. MEMPERSEMPIT DIRI-NYA DALAM KONDISI SUPER
PERSONALITY. INILAH PURUSHA!

Bersamaan dengan proses ini, muncullah BAYANGAN BRAHMAN yang lantas dikenal
dengan nama PRAKRTI. Inilah CIKAL BAKAL SELURUH UNSUR MATERIAL
YANG ADA DI SEMESTA RAYA.

Dari PURUSHA memerciklah ATMA-ATMA atau RUH-RUH yang tiada terhitung.

Lantas, manakah yang bukan BRAHMAN atau ALLAH?

Manusia-manusia yang merasa dirinya berbeda dengan BRAHMAN, dengan TUHAN.


Manusia-manusia yang merasa memiliki pribadi sendiri yang terpisah dengan
Kepribadian Tuhan, SESUNGGUHNYA MEREKA ADALAH PENCURI. Begitu
Gatholoco menyatakan!

PENCURI? Yap! Karena mereka mengklaim memiliki pribadi sendiri yang terpisah
dengan Kepribadian Tuhan. Mereka tengah bermain-main dengan illusi! Dalam
keyakinan mereka, pribadi mereka ini diciptakan oleh Tuhan. Mereka meyakini, Tuhan
menciptakan mereka. Dan mereka berbeda dengan Sang Pencipta. Mereka punya hak
pribadi. Memiliki asset sendiri. Walau menurut mereka, asset yang mereka miliki tersebut
adalah pinjaman dari Tuhan.

Gatholoco menegaskan, diri kita semua ini, mulai dari ATMA SARIIRA (RUH),
SUKSMA SARIIRA (NAFS), STHULA SARIIRA (JASAD) termasuk seluruh piranti
indrawi (mata, telinga, hidung,dsb), berikut fungsi-fungsi inderawi (penglihatan,

pendengaran, ucapan, dsb) adalah MANIFESTASI TUHAN! Bukan sesuatu yang


terpisah dari-Nya. Ini semua bukan milik otonom seorang makhluk ciptaan yang disebut
manusia. Jika manusia mengklaim ini mataku, ini telingaku, ini badanku, ini
penglihatanku, ini pendengaranku, ini ucapanku dsb, jelas mereka telah melakukan
KLAIM PALSU! DAN ORANG YANG MENGAKUI SESUATU YANG BUKAN
MILIKNYA, JELAS ADALAH SEORANG PENCURI!

Bagaimana dia bisa mengakui ini milik saya, jika sosok saya itu sendiri sesungguhnya
tidak ada? Jika sosok saya itu sendiri sebenarnya adalah bagian Tuhan juga?
Terngiangkah anda dengan kata-kata Sidharta Buddha Gautama tentang Annata (Tanpa
Aku/Tanpa Saya/Kosong) ?

Dalam Pupuh III, Sinom, Syair 27 diatas bagian akhir, Gatholoco berkata keras :
..Gatholoco asru nyntak, Pujimu pujining Widdhi, sira ora nduweni, marang
pangucap sadarum, iku ucaping Allah, yen mangkono sira maling, wani-wani
kadunungan barang glap. (,Gatholoco keras membentak, Bahkan
doamu-pun adalah milik (Hyang) Widdhi! Kalian tidak punya hak untuk mengakui!
Karena pengucapan kalian itu semua, itu ucapan Allah! Jikalau demikian kalian adalah
maling! Telah berani ketempatan barang yang bukan milik kalian (namun kalian akui
sebagai milik sendiri)!

Coba renungkan sekali lagi!

4. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair ) 29-31 ;

Sakehing reh lakonana, yen tan manut Sun gitiki, jalaran sira wus salah, kajdhgan sira
maling, lah iku duwek Mami, sira anggo tanpa urus, saikine balekna, ilange duk Jaman
Gaib, Ingsun simpn ana satngahing jagad.
Segala perintah-Ku laksanakan, jika tak menurut pasti Ku dera, sebab kalian telah salah,
patut dipersalahkan karena maling, itu semua milik-Ku, kalian pakai dengan tidak benar,
sekarang kembalikan, dulu hilang dikala Jaman Gaib, Aku simpan di tengah-tengah
jagad.

Saksine si Wujud Makna, cirine rina lan wngi, Ingsun rbut tanpa ana, saiki lagya
pinanggih, sira ingkang nyimpni, santri padha tanpa urus, yen sira tan ngulungna, sun
lapurake pulisi, ora wurung munggah ing rad pngadilan.
Saksinya adalah si Wujud Makna (Wujud dari segala inti sari makna kitab suci), bukti
(dari keteledoran kalian memakai barang-Ku dengan tidak benar) telah dicatat oleh siang
dan malam, Aku cari-cari tak ketemu, sekarang tengah Aku jumpai, ternyata kalian yang
menyimpannya, para santri yang tidak benar! Jika tidak kalian kembalikan, Aku laporkan
polisi (hukum alam), tak urung akan naik perkara dipengadilan (semesta)!

Msthi sira kokum pksa, yen wngi turu ning buwi, lamun rina nambut karya, sabn
bngi den kandhangi, beda kalawan mami, salawase ngong tumuwuh, sadurunge
tumindak, ingkang daya sja-mami, agal alus kasar lmbut ingsun nalar.
Pasti akan menerima hukuman, jika malam tidur didalam penjara (terkurung dalam
kegelapan batin sehingga gelisah), jika siang kerja paksa (sengsara ditengah panasnya
dualitas duniawi), tiap malam dikandangkan (terus terjerat dalam kegelapan batin),
berbeda dengan aku, selama aku hidup, sebelum bertindak, untuk memenuhi
keinginanku, kasar maupun halus pasti aku pikirkan terlebih dahulu.

Illusi manusia layak dihancurkan. Walaupun illusi itu juga Manifestasi Brahman, tapi
jelas, segala macam illusi, kebodohan (awidya), ketidak murnian, keangkuhan,
keserakahan dan semua yang menelikung KESADARAN SEJATI ATMA, adalah
Manifestari Brahman dalam level rendah.

Semua ketidak murnian muncul dari PRAKRTI. Dan PRAKRTI hanyalah BAYANGAN
BRAHMAN. DAN SEBUAH BAYANGAN, BUKANLAH YANG SEJATI. SEBUAH
BAYANGAN HANYALAH ILLUSI (MAYA)!.

Sekali lagi saya tegaskan, SEGALA MACAM KETIDAK MURNIAN ADALAH


BERASAL DARI PRAKRTI. DAN PRAKRTI ADALAH MANIFESTASI BRAHMAN
DALAM LEVEL BAWAH! JADI JANGAN HANTAM RATA DENGAN
MENYATAKAN BAIK DAN BURUK ITU SEIMBANG! HITAM DAN PUTIH ITU
SELEVEL! TIDAK!

BAIK DAN BURUK, HITAM DAN PUTIH MEMANG SAMA-SAMA


PERWUJUDAN BRAHMAN, MEMANG ADA DALAM SATU KESATUAN

TUNGGAL. TAPI DALAM JENJANG YANG BERBEDA!

Dalam Bhagawad Gita, jelas Shrii Krishna menyatakan :

Sifat-sifat Illahi (Daiva Sampad) adalah jalan KELEPASAN (MOKSHA), sedangkan


sifat-sifat Jahat (Asura Sampad) adalah jalan menuju KETERIKATAN (LAHIR
BERULANG-ULANG DIDALAM ALAM MATERIAL). Janganlah bersedih, oh
Pandhawa (Putra Pandhu/ Arjuna), dirimu (karena buah karma masa lalumu), terlahir
dalam sifat-sifat Illahi! (Bhagawad Gita : 16 : 5)

Jika BAIK dan BURUK, HITAM dan PUTIH, KESADARAN dan KETIDAK
SADARAN itu sama, lantas mengapa anda mempelajari KESUCIAN jika toh dalam
kondisi KOTOR -pun anda sama saja dalam kondisi BERSIH? Jika BAIK dan BURUK,
HITAM dan PUTIH, KESADARAN dan KETIDAK SADARAN itu sama, lantas
mengapa sosok semacam SHIWA, KRISHNA, RSI VYAASA, SIDHARTA BUDDHA
GAUTAMA, JESUS, SYEH SITI JENAR, GATHOLOCO dan Manusia-Manusia Illahi
lainnya harus berteriak-teriak untuk membebaskan KESADARAN KITA dari jerat
KETIDAK MURNIAN SEBUAH ILLUSI (MAYA)?

Jangan bermain-main dengan kata-kata. Anda akan terjebak sendiri. Pada ujungnya, anda
sendiri yang akan kebingungan untuk menentukan sikap dalam menyikapi realita
kehidupan ini!

ATMA telah terjebak dalam BAYANGAN BRAHMAN ! KETERJEBAKAN PADA


ILLUSI (MAYA) BRAHMAN inilah yang memunculkan adanya kehidupan material.
Selama keterjebakan ini terus terjadi, maka ATMA akan terus tergerus proses kehidupan
material! Dia akan lahir dan mati, lahir dan mati, lahir dan mati, tanpa ada kesudahan!
Jika ATMA bisa membebaskan diri dari BAYANGAN BRAHMAN, maka ATMA akan
MENYATU DENGAN INTI BRAHMAN ITU SENDIRI! ATMA tidak perlu terlahirkan
kedunia material kembali! Inilah MOKSHA. Inilah NIRWANA. Inilah KERAJAAN
ALLAH. Inilah JANNATUN FIRDAUS!

Dalam syair 29, Pupuh III diatas, Gatholoco sengaja berkata dengan
MEMPERGUNAKAN KESADARAN TERTINGGINYA! Jika mereka-mereka yang
tengah diajaknya berdialog tetap meyakini keterpisahan pribadinya dengan Kepribadian
Brahman, berarti mereka tidak mengikuti PERINTAH ATAU PETUNJUK SEJATI
BRAHMAN yang tertuang dalam intisari seluruh Kitab Suci! Jika illusi mereka tetap
sulit disingkap, maka terpaksa HUKUM ALAM yang akan bekerja! Ini yang dimaksud
ucapan Gatholoco dengan : ..yen tan manut Sun gitiki,.(.jika tidak menurut
pasti Ku dera). Karena selain telah berillusi memiliki asset badan sendiri, mereka juga

telah mempergunakan seluruh barang klaim palsu tersebut dijalan ketidak murnian!
Oleh karenanya, hilangkanlah illusi kalian. Hilangkanlah anggapan bahwa kalian itu
berbeda dengan DIA! Kembalikan seluruh barang pengakuan itu kepada yang punya!
Kembalikan KESADARAN kalian dari mengklaim memiliki asset sendiri menjadi
SEMUA INI ADALAH BRAHMAN SEMATA!

Dalam syair 31, Pupuh III bagian terakhir, Gatholoco menurunkan kembali
KESADARAN-NYA : ..beda kalawan mami, salawase ngong tumuwuh,
sadurunge tumindak, ingkang daya sja-mami, agal alus kasar lmbut ingsun nalar.
(berbeda dengan aku, selama aku hidup, sebelum bertindak, untuk memenuhi
keinginanku, kasar maupun halus pasti aku pikirkan terlebih dahulu.)

_________________
Last edited by Koma on Mey 03, 2012 - www.koma.web.id

SERAT GATHOLOCO (8)


Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
Yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

38. Guru tiga duk miyarsa, sru nyntak sarwi nudingi, Gatholoco sira gila, Gatholoco
anauri, Ingsun gila saykti, yen wruh kaya dhapurmu, wdi bok katularan, ora duwe
mata kuping, kawruhira amung jakat lawan pitrah.
Ketiga Guru begitu mendengarnya, keras membentak sembari menuding, Gatholoco

kamu gila! Gatholoco menjawab, Aku memang gila, jika bertemu orang sepertimu, aku
takut ketularan, tidak memiliki mata dan telinga, pengetahuan kalian hanya melulu
berkisar tentang jakat pitrah (zakat fitrah) saja.
39. Kyai Guru tiga pisan, tyasnya runtik anauri, Nyata sira anak Jalang, Gatholoco
amangsuli, Iku bnr tan sisip, bapa biyung kaki buyut, kabeh kna ing pjah, lamun wis
tumkeng jangji, ykti mulih mring asale padha Ilang.
Ketiga Guru semua, dengan hati panas menyahuti, Nyata kamu anak Jalang! Gatholoco
menjawab seenaknya, Ucapanmu benar tidak keliru, bapak ibu kakek dan buyut-ku,
semua terkena mati, jika sudah sampai pada saatnya mati, pasti pulang keasalnya semua
meng-Hilang! (Inilah sikap bijak seorang yang tercerahkan. Manakala dia dihina, maka
dia akan merespon dan memaknai hinaan itu dengan makna positif. Gatholoco di caci
sebagai anak Jalang, tapi Gatholoco seolah tak mendengar kata Jalang tapi malah
mendengar kata Hilang. Contohlah sikap seperti ini.)
40. Kiraku manawa sira, mtu saking rca wsi, dene wujud tanpa nyawa, sira ora duwe
budi, Kyai Guru nauri, samya misuh Truk biyangmu, Gatholoco angucap, Iku bangt
trima-mami, krana sira tlu pisan misuh mring wang.
Kukira mungkin kalian, lahir dari arca besi, berwujud tapi tanpa nyawa, karena terlihat
kalian tidak mempunyai budi (buddhi : kesadaran), Kyai Guru menjawab, dengan
mengumpat Turuk biyang-mu (Dasar terlahir dari Vagina)! Gatholoco berkata, Sangat
berterima kasih aku, karena kalian bertiga mengumpati aku (dan ibuku).
41. Sira nuduhake biyang, ingsun iki tan udani, duk lair saking wadonan, amung ingkang
sun-gugoni, wong tangga kanan kering, bapa biyang ingkang ngaku, nganakake maring
wang, iku ingkang sun-sungkmi, nanging batin ingsun ora wani sumpah.
Kalian telah berani menunjukkan darimana Aku telah terlahirkan, akan tetapi Aku sendiri
tidak yakin pasti, apakah benar aku terlahirkan dari vagina, hanya yang Aku jadikan
pegangan, kesaksian tetangga kiri kanan, berikut bapak dan ibu yang mengakui, telah
memperanakkan Aku, keduanya Aku junjung tinggi, akan tetapi didalam hati
sesungguhnya Aku tidak berani bersumpah (telah terlahir dari sebuah vagina!)
42. Iya iku bapa biyang, ingkang wruh lair-mami, saikine sira bisa, nuduhake biyangmami, wismane ana ngndi, lawan sapa aranipun, amba-ciyute pira, duweke wong tuwamami, yen tau wruh iku ujar amblasar.
(Mungkin) hanya bapak dan ibu-ku, yang mengetahui dengan pasti darimana Aku
terlahirkan, akan tetapi sekarang kalian (yang baru bertemu denganku saat ini saja), telah
berani menyatakan bahwa Aku terlahir dari vagina ibu, jika memang benar kalian tahu
pasti, dimanakah rumah ibu-Ku, lantas siapakah namanya, serta seberapa ukuran, milik
(vagina) ibu-Ku? Jika tidak bisa menjawab nyata kalian telah bersaksi palsu!
43. Krana ingsun nora wikan, wujude Ingsun saiki, mujud dhewe tanpa lawan, Allah ora

karya mami, anane raga-mami, gaweyanira Hyang Agung, duk aneng alam dunya, ana
satngahing bumi, lawan sira kala karya raganira.
(Ketahuilah) sesungguhnya Aku tidak ragu bahwa, wujud(Atma)-Ku ini, berwujud
dengan sendirinya (bukan dilahirkan oleh vagina) dan tiada tandingan, Allah tidak
menciptakan Aku (Maksudnya Allah saja tidak menciptakan Atma atau Ruh: Atma atau
Ruh tidak diciptakan, tidak ada yang menciptakan Atma atau Ruh. Atma dan Ruh adalah
percikan-Nya), (sedangkan) adanya Raga(Tubuh Fisik)-Ku, (memang) buatan Hyang
Agung (Maksudnya Hyang Agung/Allah hanya menciptakan Raga atau Tubuh Fisik
semata), (diciptakan) saat ada di alam dunia, ada ditengah-tengah bumi, manakala
membuat raga kalian (Maksudnya dicipta ditengah ruang dan waktu relatif semesta raya).
44. Sawindu lawan sawarsa, rolas wulan pitung ari, pndhak pasar ratri siyang, sajam
sawidak mnit, ora kurang tan luwih, wukune mung tlung puluh, raganingsun duk daya,
sarta wus wani nyampahi, wruhaningsun sanajan saiki uga.
Sawindu (siklus delapan tahunan) serta Setahun, Dua belas bulan Tujuh hari, Pndhak
Spasar (siklus hari dalam jumlah lima : Kliwon, Lgi, Pahing, Pon dan Wage) Malam
dan Siang, Satu jam Enam puluh menit, tak lebih dan tak kurang dari itu, Wuku-nya
hanya tiga puluh (Wuku adalah perhitungan siklus tujuh harian/seminggu. Ada tiga puluh
Wuku. Setiap Wuku berumur tujuh hari. Total tiga puluh Wuku memakan waktu 210
hari), (Didalam ukuran ruang dan waktu relatif duniawi seperti contoh diatas)
Raga(Tubuh Fisik)-Ku memiliki bentuk (maksudnya tercipta), serta sudah berani
menghina (maksudnya juga tercipta Tubuh Halus/Suksma Sariira yang menyelimuti
kesadaran Atma sehingga berubah menjadi sosok makhluk yang tidak murni), ketahuilah
hal ini sekarang juga.
45. Badanku kna ing rusak, urip-mami wangawuhi, saobah-osiking badan, Rasulullah
andandani, krana ingsun kkasih, kinarya Pangeraningsun, marang sagunging sipat,
nggsangakn saliring tunggil, iya Ingsun iya Allah ya Muhammad.
Badanku bisa rusak, (akan tetapi) Hidup (Atma)-ku abadi, seluruh keberadaan tubuh ini,
Rasulullah (Atma/Ruh)-lah yang menghiasi, karena Aku (Hidup/Atma/Ruh/Rasulullah)
adalah kekasih(-Nya), dianggap sebagai Tempat untuk Mengabdi (bagi Tubuh
Fisik/Sthula Sariira dan Tubuh Halus/Suksma Sariira), Tempat untuk Mengabdi bagi
seluruh sipat (maksudnya segala sifat yang baik maupun yang buruk dari Suksma
Sariira), menghidupi segalanya dalam satu kesatuan, (sesungguhnya) Aku (Ruh/Atma)
adalah juga Allah adalah juga Muhammad.
46. Guru tiga asru mojar, Sira wani angakoni, tunggal wujud lan Pangeran, apa
kuwasamu kuwi, Gatholoco nauri, Ngawruhi dadine lbur, kalawan pparngan, karsane
Kang Maha Suci, ingsun dhewe tan kuwasa apa-apa.
Ketiga Guru keras berkata, Kamu berani mengakui, satu kesatuan wujud dengan Tuhan,
apa kekuasaanmu? Gatholoco menjawab, Menyadari menjadi dan leburnya (maksudnya
menyadari sepenuhnya sepanjang kelahiran dan kematian saat terlahirkan sebagai

Gatholoco saja), dengan ijin, dan kehendak Yang Maha Suci, aku sendiri tak berkuasa
apa-apa. (Maksud Gatholoco, dalam kondisi Atma masih terikat oleh Suksma
Sariira/Tubuh Halus dan Sthula Sariira/Tubuh Fisik, Atma hanya mampu mengetahui
kelahiran dan kematiannya dalam satu siklus kehidupannya ini saja, sedangkan diluar itu,
Atma belum mampu menyadari).
47. Ragengsun wujuding Suksma, angawruhi ing Hyang Widdhi, tumindak karsanira
Hyang, aweh mosik liya mami, Muhammad kang nduweni, pangucap paningalingsun,
pangganda pamiyarsa, dene lesan lawan dhiri, kabeh iku kagungane Rasulullah.
Ragaku adalah wujud Suksma (kata Suksma disini yang dimaksud adalah Hyang Suksma,
yang artinya Tuhan. Bukan Suksma Sariira/Tubuh Halus), jelas-jelas adalah Hyang
Widdhi yang terlihat, mampu eksis atas kehendak Hyang (Widdhi) sendiri, mampu pula
beraktifitas (atas kehendak-Nya juga), Muhammad (Atma/Ruh juga adalah wujud Hyang
Widdhi) yang memiliki, pengucapan penglihatanku, penciuman dan pendengaranku,
lesan dan pribadi ini, semua itu milik Rasulullah (Atma/Ruh). (Maksudnya baik
Raga/Sthula Sariira hingga Atma dalam bahasa Gatholoco adalah Muhammad atau
Rasulullah- semua adalah perwujudan Hyang Suksma atau Hyang Widdhi atau Tuhan.
Atma ini tiada beda dengan Hyang Widdhi. Maka tepatlah jika dinyatakan, seluruh
pengucapan, penglihatan, penciuman, pendengaran dan sebagainya sesungguhnya adalah
milik Atma.)
48. Ingsun ora apa-apa, mung pangrasa duwek-mami, iku yen ana sihing Hyang, yen tan
ana sihing Widdhi, duwekingsun mung spi, basa spi iku suwung, tan ana apa-apa, lir
ingsun duk durung dadi, ttp suwung ora wruh siji apa.
Aku ini tidak memiliki apa-apa, hanya perasaan (merasa memiliki) saja yang menjadi
miliku, itu saja jika mendapatkan kasih dari Hyang (Widdhi), jika tak mendapatkan kasih
(Hyang) Widdhi, milikku hanyalah spi, arti kata spi adalah kosong, tidak ada apa-apa,
bagaikan aku saat belum menjadi, tetap kosong tak mengetahui apa-apa. (Maksudnya
wujud manusia ini sesungguhnya adalah perwujudan Tuhan juga. Manusia itu tidak ada.
Yang ada hanya perasaan merasa ada dan memiliki pribadi yang terpisah dengan
Tuhan. Jika illusi merasa ada dan merasa memiliki pribadi yang terpisah dengan Tuhan
ini tersingkap, maka yang ada hanyalah KOSONG. KOSONG itulah KEABADIAN
DAN KEBAHAGIAAN MILIK KITA DULU. KOSONG ITULAH TUHAN!)
49. Abdul Jabar nulya mojar, Sira iku angakoni, wujudmu wujuding Suksma, ing mangka
ragamu kuwi, kna rusak bilahi, ora langgng sira wutuh, Gatholoco angucap, Ingkang
rusak iku bumi, kalimputan wujud-mami lan Pangeran.
Abdul Jabar lantas berkata, Kamu mengakui, wujudmu adalah wujud (Hyang) Suksma,
padahal ragamu itu, bisa terkena rusak dan celaka, tidak utuh abadi selamanya, Gatholoco
berkata, Yang bisa rusak itu badan yang berasal dari bumi (kata bumi hanya mewakili
segala unsur alam semesta), yang terselimuti wujud-Ku (Atma) dan Tuhan (Brahman).
50. Ingsun Ingkang Maha Mulya, tan kna rusak bilahi, ingkang langgng swarga mulya,

Kyai Guru anauri, Yen mangkono sireki, wruh psthine Hyang Agung, kang durung
kalampahan, Gatholoco anauri, Wruh pisan psthine mring raganingwang.
Aku Yang Maha Mulia, tak bisa rusak dan celaka, yang langgeng dan sesungguhnya
surga mulia (Jannatun Firdaus, Moksha, Nirwana, Kerajaan Allah) itu sendiri, Kyai Guru
menyahut, Jikalau demikian kamu ini, mengetahui takdir Hyang Agung yang belum
terjadi? Gatholoco menjawab, Bahkan aku bisa membuat takdir yang bakal terjadi pada
diriku.
51. Ingsun psthi awakingwang, wayah iki dina iki, jjagongan lawan sira, mngko gawe
psthi maning, kang durung den lakoni, kanggone mngko lan besuk, supaya aja salah,
dadi ora kurang luwih, lamun salah ngrusak buku sastra angka.
Telah aku tetapkan sendiri, pada saat ini hari ini, duduk bertemu dengan kalian semua,
nanti aku akan membuat takdir lagi, yang belum terjadi, untuk hari esok dan kelak, harus
hati-hati dalam membuatnya, sehingga tidak kurang dan tidak lebih (tetap dalam
keseimbangan), jika salah bisa merusak kitab sastra angka. (Gatholoco sebenarnya
hendak menjelaskan tentang hukum sebab akibat, dimana takdir itu yang membuat adalah
kita sendiri)
52. Kalawan ngrusak gulungan, iku bangt wdi-mami, wdi manawa dinukan, marang
ingkang juru-tulis, mulane ngati-ati, gawe psthi aja kliru, Kyai Guru angucap, Kang
durung sira lakoni, bja sarta cilakamu besuk apa.
Jika sampai merusak gulungan kitab (maksudnya melakukan perbuatan buruk sehingga
merangkai takdir buruk pula bagi diri kita), itu sangat kutakutkan, takut jika sampai
dimarahi, oleh juru tulis (maksudnya alam semesta, yang merekam dan mencatat segala
perbuatan dan aktifitas kita), makanya aku hati-hati, membuat takdir jangan sampai
keliru, Kyai Guru berkata, Yang belum kamu jalani, untung dan celakamu besok
bagaimana?
53. Aneng ngndi kuburira, Gatholoco anauri, Kuburan wus ingsun-gawa, sabn dina
urip-mami, kalawan ngudanni, ning sawats umuringsun, kalamun park ajal, sajroning
rolas dina mami, lagya milih jam sarta wayahira.
Dimanakah kuburmu? Gatholoco menjawab, Kuburku telah aku bawa, setiap saat dalam
kehidupanku, serta aku tahu, pada batas usiaku, jika sudah dekat ajal, dalam dua belas
hari, baru memilih jam dan saatnya. (Gatholoco berkata benar. Manusia yang
kesadarannya tinggi, mampu memilih hari, jam dan saat kematiannya sendiri!)
54. Yen gawe psthi samangkya, papsthene awak-mami, bokmanawa luwih kurang,
susah anggoleki psthi, bcike sabn lawan ari, anggawe papsthen iku, manut snnging
driya, dadi ora kurang luwih, ora angel ora cidra ing smaya.
Membuat takdir itu, takdir untuk diriku sendiri, sangat sulit membuat yang seimbang
(maksudnya membuat takdir yang menghasilkan keseimbangan sehingga menunjang

lepas dari dualitas duniawi), sangat sulit mencari takdir (yang menunjang pelampauan
dualitas tersebut), lebih baik setiap hari, dalam membuat takdir, dibuat dalam keadaan
pikiran yang bahagia (pikiran positif), sehingga hasilnya kelak tidak akan lebih dan
kurang (seimbang), tidak membuat kesukaran (dalam proses evolusi Atma) dan tidak
membuat ingkar janji (mengingkari tujuan hidup yang sejati yaitu menyatu dengan
SUMBER ABADI SEMESTA).
55. Kyai Abdul Jabar ngucap, Psthine marang Hyang Widdhi, ingkang durung
kalampahan, Gatholoco anauri, Iku psthening Widdhi, dudu psthi saking ingsun,
Allahku sabn dina, anggawe papsthen mami, anuruti marang kabeh karsaningwang.
Kyai Abdul Jabar berkata, (Bagaimana dengan) ketetapan Hyang Widdhi, yang belum
terlaksana, Gatholoco menyahut, Itu ketetapan (Hyang) Widdhi, bukan ketetapan dari(Atma)ku, Allah-ku setiap hari, membuat ketetapan bagiku, menuruti kepada semua
kehendak-ku. (Disini jelas harus dibedakan, mana takdir yang dibuat oleh manusia untuk
dirinya sendiri melalui pikiran, perkataan dan perbuatannya, dengan takdir jalannya
siklus semesta raya. Jelas, takdir bagi diri sendiri kitalah yang membuat, tapi takdir
jalannya siklus semesta raya, manusia tidak bisa membuatnya.)
56. Guru tiga sarng ngucap, Gatholoco sira iki, nyata kasurupan setan, Gatholoco anauri,
Bnr pan ora sisip, kala ingsun dereng wujud, ana ing alam samar, tumka ing jaman
mangkin, setaningsun durung pisah saking raga.
Ketiga Guru sama-sama berkata, Gatholoco kamu ini, nyata-nyata kesurupan setan!
Gatholoco menjawab, Benar memang tidak salah, saat aku belum lahir, didalam alam
yang samar, hingga pada jaman aku lahir (kembali sekarang), setanku belum bisa aku
pisahkan dari diriku!
57. Basa setan iku seta, asaling bibit sakalir, wujudingsun duk ing kuna, punika asale
putih, lamun durung mangrti, iya iku asal ingsun, purwa saking sudarma, tumka
kalamullahi, sayktine ingsun asal Kama Pthak.
Setan itu berasal dari (air) putih (sperma), bibit semua manusia, wujudnya pertama kali,
berwarna putih, maka ketahuilah, itulah asal-ku, berasal dari orang tua laki-laki, hingga
aku harus lebur (moksa, maka setan akan tetap ada didalam diriku), sesungguhnya aku
(Tubuh fisik ini beserta setannya) berasal dari Kama Pthak (sperma berwarna putih)!
58. Mnk Guru tlu sira, Kama Irng ingkang dadi, dene buntt tanpa nalar, Abdul
Manap duk miyarsi, mojar mring Ahmad Ngarip, Abdul Jabar Yen sarujuk, wong iki
pinatenan, lamun maksih awet urip, ora wurung ngrusak sarak Rasulullah.
Akan tetapi kalian ketiga Guru, Kama Irng (sperma hitam) asal kalian (sperma yang
berisi roh-roh terikat) sehingga bodoh tanpa nalar! Abdul Manap (Abdul Manaf) begitu
mendengar, berkata kepada Ahmad Ngarip (Ahmad Arif), serta kepada Abdul Jabar Jika
kalian setuju, kita bunuh saja orang ini! Jika masih tetap hidup, tidak urung akan merusak
syariat Rasulullah!

59. Iku wong mbubrah agama, akarya spining masjid. Gatholoco asru ngucap, Den
enggal nyuduk mring mami, sapisan nyuduk jisim, pindho bathang sira suduk, ya ingsun
utang apa, arsa mateni mring mami, saurira Mung lga rasaning driya.
Orang ini merusak agama, bakal membuat sepinya masjid, Gatholoco keras berkata,
Segeralah tusuk Aku, pertama kamu hanya akan mampu menusuk tubuh fana ini saja,
kedua kamu hanya akan mampu menusuk bangkai (tidak bakalan kalian mampu menusuk
yang namanya Aku)! Berhutang apakah Aku pada kalian? Sehingga kalian hendak
membunuh Aku? (sesungguhnya kalianlah yang telah banyak berhutang pada-Ku)!
Terdengar jawaban, Agar puas rasa hati kami!
60. Krana sira ngrusak sarak, Gatholoco anauri, sarak tan kna rinusak, pinsthi dening
Hyang Widdhi, , , ..,
iku ttp aran janma ngrusak sarak.
Karena kamu telah merusak syariat! Gatholoco menyahuti, Syariat (hukum yang
sesungguhnya alias hukum alam) tidak bisa dirusak! Sudah ditetapkan demikian oleh
Hyang Widdhi, (belum saatnya saya terjemahkan.), Itulah sesungguhnya
yang dinamakan manusia perusak syariat!!
61. Dene bangsane agama, sasnngne wong ngaurip, sanajan agama Cina, lamun trus
lair batin, ykti katrima ugi, Guru tlu agamamu, iku agama kopar, agamaku ingkang
suci, iya iku kang aran Agama Rasa.
Semua agama, terserah kepada pribadi masing-masing, walaupun agama berasal dari
Cina, apabila mantap lahir batin, pasti diterima (oleh Tuhan), agama kalian, itu agama
sombong, agamaku yang suci, inilah yang disebut Agama Rasa.
62. Tgse Agama Rasa, nuruti rasaning ati, rasaning badan lan lesan, iku kabeh sunturuti, rasaning lgi gurih, pdhs asin spt kcut, pait gtir sadaya, sira agama punapi,
saurira Agamaku Rasulullah.
Maksud dari Agama Rasa, mengamati rasa hati, rasa badan dan rasa lidah, itu semua aku
amati, rasa manis gurih, pedas asin sepat kecut, pahit dan getir semuanya (Gatholoco
tengah menguraikan meditasi Vipassana, yaitu melatih Kesadaran agar senantiasa awas
dengan segala gejolak pikiran dan segala sensasi tubuh), sedangkan kalian agama apakah,
Mereka menjawab Agamaku agama Rasulullah!
63. Gatholoco asru ngucap, Patut sira tanpa budi, aran ra punika raras, sul usul raras kang
spi, sul asal tgsneki, mulane sireku kumprung, Guru tiga miyarsa, sigra kesah tanpa
pamit, sakancane garundlan urut marga.
Gatholoco keras menyahuti, Pantas kalian tanpa buddhi (kesadaran), tidak bisa
mengamati rasa diri, mengamati asal usul rasa yang sepi (dari segala rasa), makanya
kalian bingung, Mendengar kata-kata itu ketiga Guru, segera pergi tanpa pamit, seluruh

yang bersama mereka menggerutu sepanjang jalan.


64. Sangt dennya nguman-uman, Ahmad Ngarip muwus aris, Abdul Jabar Abdul
Manap, salawasku urip iki, aja pisan pisan panggih, kalawan wong ora urus, manusa tan
wruh tata, jroning ngimpi ingsun sngit, yen kapthuk sun mingkar tan sudi panggya.
Sangat-sangat sakit hati, Ahmad Ngarip (Ahad Arif) berkata pelan, Abdul Jabar Abdul
Manap (Abdul Manaf), selama hidupku ini, jangan sekali-kali lagi bertemu lagi, dengan
orang yang tidak benar, manusia yang tidak mengetahui etika (seperti Gatholoco), bahkan
didalam mimpi sekalipun, jika bertemu aku akan menghindar tidak sudi bertemu!
65. Gatholoco kang tinilar, aneng ngisoring waringin, rumasa yen mnang bantah,
mangkana osiking galih, bangt kpati-pati, angkul sameng tumuwuh, Sun-kira luwih
manah, pangawruhe Guru santri, dene iku isih bodho kurang nalar.
Gatholoco yang ditinggal, dibawah pohon beringin, merasa jika telah menang dalam
berdebat, begini kata hatinya, Sangat-sangat prihatin aku, betapa banyak manusia yang
tidak sadar seperti kul (keong), aku kira sangat luas, wawasan Guru para sanri (tadi),
ternyata masih bodoh kurang nalar.
66. Durung padha durung timbang, yen tinandhing kawruh-mami, durung nganti ingsunglar, kawruhku kang luwih edi, prandene anglangani, kalah tan bisa samaur, yen
mangkono sun-kira, ingkang muruk tanpa budi, iku nyata setan ingkang menda janma.
Sangat-sangat tidak seimbang, apabila diukur dengan wawasan-ku, belum juga aku
wedarkan, pengetahuanku yang lebih unggul, tapi pada kenyataannya, kalah tak bisa
menjawab, jika demikian kesimpulanku, siapa saja yang mengajarkan ilmu tanpa buddhi
(kesadaran), itu nyata-nyata setan yang menjelma sebagai manusia.
67. Lamun wulange manusa, msthine pada mangrti, mring duga lawan prayoga, aywa
karm karya srik, mulane kudu eling, eling marang Ingkang Asung, asung urip
kamulyan, upayann den kapanggih, yen pinanggih padhang trang sagung nalar.
Jika benar-benar manusia, pastilah akan memahami, akan baik dan buruk, tidak suka
gampang menghakimi sesama, oleh karenanya harus ingat, ingat kepada yang Maha
Pemberi, yang memberikan kemuliaan hidup, carilah (Dia) hingga ketemu, jika telah
ketemu akan terang benerang kesadaran ini.
68. Yen padhang tgse gsang, lamun ptng iku mati, janma ingkang duwe nalar, aran
manusa sujati yen luwih wus ngarani, agal myang alus cinakup, tan kaya Guru tiga,
bodhone kpati-pati, cupt kawruh ptng nalar maknanira.
Terang itu hidup, sedangkan gelap itu mati, manusia yang mempunyai kesadaran, itulah
manusia sejati, manusia yang unggul, melampaui yang kasar dan halus (dualitas
duniawi), tidak seperti ketiga Guru tadi, sangat-sangat bodoh, sempit wawasan gelap
kesadarannya.

69. Gatholoco gya lumampah, ttmbangan urut margi, kbo bang kagok (sapi) upama,
sapi-san maning pinanggih, bibis alit ing tasik (undur-undur), ora mun-dur bantah
kawruh, plm gung mawa ganda (kuweni), kawuk ingkang menda warni (slira), bcik
ingsun ngnte-ni lan ura-ura.
Gatholoco segera beranjak, melantunkan tembang sepanjang jalan, Kerbau berwarna
merah keputihan (SAPI maksudnya), SAPI-san (sekali lagi) bertemu, binatang bibis
yang hidup diatas pasir (binatang UNDUR-UNDUR), tidak akan mun-DUR jika harus
berdebat lagi, mangga besar dengan baunya yang harum (mangga KWENI), binatang
kawuk yang berganti rupa (binatang SLIRA), lebih baik aku ngente-NI (menanti)
sembari u-RA-u-RA (berdendang).
70. Gude rambat (kara) puspa krsna (tlasih), mani-ra pan i-sih wani, witing pari
(dami) enthong palwa (wlah), ora nja ka-lah ma-mi, araning wisma paksi (susuh),
mung-suh sira guru pngung, parikan ulr kambang (lintah), ingsun snng ban-tah
ilmi, wlut wisa (ula) tininggal atiku g-la.
Tumbuhan Gude yang merambat (tumbuhan KARA) daun hitam (daun TLASIH), maniRA (diriku) sungguh ma-SIH berani, batang padi (DAMI) centhong perahu (dayung
atau WLAH), tidak akan ka-LAH ma-MI (diriku), nama rumah burung (SUSUH),
bermu-SUH-an dengan kalian guru bodoh, ulat yang mengambang diair (LINTAH), aku
sangat suka berban-TAH-an ilmu, belut yang berbisa (ular atau ULA) ditinggal hatiku
g-LA (kecewa).
71. Mendhung pthak (mega) kunir pita (tmu), muga-muga tmu maning, tpi wastra
rinumpaka (kmadha), banjur pa-dha maring ngndi, kayu rineka janmi (golek), apa
golek guru jamhur, sarkara munggeng tala (madu), arsa den a-du lan mami, wadhung
rma (cukur) malah so-kur yen mangkana.
Mendung berwarna putih (MEGA) kunyit merah (TMU), semo-GA bert-MU lagi,
pinggir kemben yang dirias (KMADHA), lantas pa-DHA (sama) kemana semua?
Kayu yang dibuat seperti wujud manusia (GOLEKAN), apa mau GOLEK (mencari)
Guru terkenal? Cairan manis diatas pohon (MADU), hendak di-ADU dengan aku,
cangkulnya rambut (alat CUKUR) malah syu-KUR jika memang begitu.
72. Jangkrik gung wismeng kbonan (gangsir), manira ora guming-sir, bbasan putrane
menda (cmpe), sakar-pe sun-ladeni, jamang wakul (wngku) upami, angajak apa
sire-ku, duh lae putr wisma (dara), nganggo si-ra mjanani, knthang rambat (katela)
sanajan rupaku a-la.
Jangkrik bertubuh besar berumah dikebun (binatang GANGSIR), diriku tidak akan
guming-SIR (mundur), anak kambing (CMPE), sakare-PE (semaunya) aku layani,
mahkota tempat nasi (WNGKU), mau mengajak apa sire-KU (dirimu), burung Puter
yang suka dipelihara (burung merpati atau DARA), sehingga si-RA (kamu)
menghinaku, buah kentang yang merambat (KTELA) walaupun wajahku a-LA (jelek).

73. Mnyawak kang sabeng toya (slira), praka-ra mung bantah ilmi, wulu bauning
kukila (lar), kabeh na-lar sun tan wdi, saykti pintr mami, tinimbang lan sira guru,
kaca tumraping netra (tsmak), ora ja-mak mejanani, mulwa rngka (srikaya) yen sira
luru sara-ya.
Biawak yang suka di-air (binatang SLIRA), perka-RA tentang berdebat ilmu, bulu
punggungnya burung (LAR), segala na-LAR (pengetahuan) aku tidak takut, pasti
lebih pintar aku, daripada kalian para guru, kaca untuk mata (kaca mata atau TSMAK),
ora ja-MAK (tidak lumrah, sudah melampaui batas) penghinaan kalian, buah nangka
yang gampang terbelah (buah SRIKAYA), jika kalian mencari sara-YA (cara).
74. Kmadhuh rujit godhongnya (rawe), aywa suwe sun-anteni, guru ngndi srayanira,
najan jamhur luwih wasis, ingsun wani nandhingi, angayoni bantah kawruh, masa ingsun
mundura, yeku karsane Hyang Widdhi, raganingsun yktine darma kewala.
Daun kemadhuh bergerigi (RAWE), jangan su-WE (lama) aku nantikan, guru mana
yang kamu andalkan, walaupun tersohor dan pintar, aku berani menandingi, melayani
berbantah ilmu, tidak akan aku mundur, karena ini semua kehendak Hyang Widdhi,
diriku hanya sekedar menjalani.
75. Gatholoco sukeng driya, rrpen alon lumaris, miling-miling mung priyangga,
dumugi patopan mampir, manjing mring bambon linggih, ngambil klelet kang kinandhut,
saglindhing dipun untal, ngrasuk badan anygri, kraos gatl astane ngukur sarira.
Gatholoco suka dihati, berdendang sembari berjalan pelan, hanya sendirian saja, sampai
disebuah tempat lantas mampir, masuk kedalam tempat madat dan duduk, mengambil
candu yang di bawa, segelintir langsung dimakan, merasuk badan menyegarkan, terasa
gatal tangannya menggaruk tubuh.

_________________
Last edited by Koma on Mey 03, 2012 - www.koma.web.id

SERAT GATHOLOCO (9)


Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

PUPUH IV
Pangkur
(Kumpulan syair IV, Lagu ber-irama Pangkur)

1. Kacarita ing Cpkan, pondhok agng panggenan santri ngaji, punika sampun
misuwur, kawntar manca praja, wontn Kyai pinunjul jumnng Guru, alim jamhur
tanpa sama, kang nama Kasan Bsari.
Diceritakan di Cpkan, pondok (pesantren) besar tempat para santri belajar mengaji,
sudah terkenal, tersohor keluar daerah, terdapat seorang Kyai berkedudukan sebagai
Guru, sangat alim tersohor tiada tandingan, yang bernama Kasan Bsari (Hassan
Bashori).
2. Kajuwara yen ulama, mila unggul ginuron para santri, muridipun tigang atus, ing
wanci bakda isak, wus salat neng langgar ngaji sadarum, Kyai Guru arsa mulang, kitab
Pkih miwah Tapsir.

Unggul diantara para ulama, maka banyak didatangi para santri, muridnya berjumlah tiga
ratus orang, dikala bakda isya, selesai bersembahyang di-Langgar (Musholla), Kyai
Guru hendak mengajar, kitab Pkih (Fiqih) dan Tapsir (Tafsir Al-Quran).
3. Undha usuk warna-warna, wontn santri ingkang lagya niteni, makna lapal Kuranipun, ngasil-ingasil ika, samya taken-tinaken mring kancanipun, wontn ingkang sampun
paham, ngapalakn kitab Sitin.
Tingkah para santri bermacam-macam, ada yang tengah serius memperhatikan, makna
lapal Kuran (lafadz Al-Quran), apa yang dapat mereka pahami, beberapa orang tengah
saling tanya dengan temannya, ada yang sudah paham (ada yang belum), lantas
menghafalkan Kitab Sittin.
4. Tanapi sagunging kitab, sasnnge santri sawiji-wiji, santri ingkang sampun putus, ing
makna lapal Kuran, mncil mncul madoni mring Kyai Guru, maknanira lapal Kuran,
angambil sagunging misil.
Serta beberapa Kitab lagi, sesuai keinginan para santri sendiri-sendiri, santri yang sudah
berhasil, menghafal makna lapal Kuran (lafadz Al-Quran), segera mencoba mendebat
Kyai Guru, untuk semakin memahami maknanya, mencari arti yang sesungguhnya.
5. Ingkang sampun kinawuhan, kang sawneh ana santri pradondi, ing lapal makna
puniku, udrg paben grjgan, santri kalih mara mrak marang Guru, gya kasaru tamu
prapta, Abdul Jabar Ahmad Ngarip.
Makna yang bisa mereka tangkap, ada juga beberapa santri yang tengah bertengkar,
mengenai sedikit makna yang berhasil mereka mengerti, bertengkar rame saling ngotot,
dua orang santri mendekat kehadapan (Sang) Guru, berbarengan dengan kedatangan para
tamu, Abdul Jabar Ahmad Ngarip (Arif).
6. Miwah Kyai Abdul Manap, sabat nnm datan pisah tut wuri, sinauran salamipun,
kang ngaji tutub kitab, tamu wau nulya minggah nglanggar gupuh, apan samya
ssalaman, jawat tangan gnti-gnti.
Berikut Kyai Abdul Manap (Manaf), enam sahabat terlihat mengikut dibelakang, telah
dijawab salam yang mereka ucapkan, seluruh yang tengah mengaji segera menutup kitab
(masing-masing), para tamu naik keatas Langggar (Musholla) segera, sebentar kemudian
saling bersalaman, mempertemukan tangan dengan tangan berganti-gantian.
7. Sawustru ssalaman, sampun warata sadaya para santri, munggeng langgar tata
lungguh, Kasan Bsari mojar, Dene gati kados wontn karsanipun, pukul pintn
mangkatira, saking pondhok Rjasari.
Setelah bersalaman, merata kepada seluruh santri, masing-masing para tamu segera
bersila, (Kyai) Kasan Bsari (Hassan Bashori) berkata, Sepertinya ada hal yang sangat

penting, pukul berapa tadi berangkat, dari pondhok (pesantren) Rjasari?


8. Angling Kyai Abdul Jabar, Bakda subuh mangkat wanci byar enjing, milahipun
ngantos dalu, kdangon wontn marga, mandhg bantah kawon mngsah tiyang kupur,
Gatholoco namanira, dhapure mbotn mjaji.
Menjawab Kyai Abdul Jabar, Selepas Subuh tepat pagi menjelang (kami) berangkat, tiba
disini hingga malam, (sebab) terlalu lama, berhenti dijalan berbantahan ilmu dengan
manusia Kupur (Kufur) dan (kami) kalah, Gatholoco namanya, orangnya sangat jelek.
9. Punika setan katingal, anak Blis ambgta wadhung linggis, pan kinarya ngrusak
ngrmuk, ing sarak Rasulullah , ingkang lrs dipun wadhung lmah putung, yen pokah
rbah binubrah, agami den obrak-abrik.
Orang ini adalah Setan yang mewujud, anak Iblis yang tengah membawa pedang dan
linggis, yang hendak dipergunakan untuk merusak dan meremukkan, syariat Rasulullah,
yang sudah lurus hendak ditebas dengan pedang, yang sudah benar hendak dirusak,
agama diobrak-abrik!
10. Sadaya sarak tinrak, morak-marik sirik den orak-arik, amung nekad gasruh rusuh,
jinawab mung sakcap, gulagpan kula tan bangkit sumaur, sagung karam rinampasan,
ambubrah sarak lan sirik.

Seluruh syariat (peraturan) diterjang, kacau balau larangan dijungkir-balikkan, niatnya


memang hendak membikin rusuh, satu ucapan dari mulutnya, membikin hamba
gelagepan tak bisa menjawab, segala yang haram dipakainya, membuat bubrah syariat
(peraturan) dan larangannya!

11. Wungkul akal mokal nakal, sangt ngrengkel ngungkil nyrekal mthakil, sakeh
kawruh kabarubuh, sagung pasal kasingsal, dalil-dalil katail ing misilipun, kula mapan
mung kasoran, kula nyingkring botn mlangkring.

Sangat pintar dan cerdik, sangat alot tajam (kritis) seenaknya dan semaunya, seluruh ilmu
kami tertindih (oleh ilmu)nya, seluruh jawaban (kami) tiada berguna, dalil-dalil (kami)
mentah maknanya (dihadapan dia), kami semua menerima kalah, kami kejarpun tak
mampu kami memegang (ilmu)nya.

12. Panggah bantah mksa kalah, boten btah isin den iwi-iwi, sakeh padu dipun buru,
sakeh jawab tan mnang, salin pisuh botn pasah saya rusuh, malah munggah ngarah
sirah, lir maling nja anjiling.
Memaksakan terus berdebat tetap juga kami kalah, (kami) tak bisa menahan malu

manakala dicemooh, segala debat mampu dijawabnya, segala bantahan kami tiada
menang, hingga kami maki-pun tetap saja kami kalah, malahan semakin lancang
menginjak kepala, bagai maling yang kurang ajar (kepada pemilik barang yang
dimalinginya).
13. Kula tansah kaungkulan, pijr kojur botn sagd ngungkuli, kula suwun mring Hyang
Agung, salami-kula gsang, sampun ngantos kpranggul tiyang kayeku, yen kapthuk
kula nyimpang, jejera kula sumingkir.
Kami selalu diunggulinya, senantiasa kalah tak dapat mengungguli, kami meminta
kepada Hyang Agung (Tuhan), semoga selama hidup, jangan sampai bertemu lagi dengan
manusia seperti itu, apabila berpapasan kami akan menghindar, jika bersebelahan kami
akan menyingkir!
14. Manah kula sampun jinja, krana saking kapok den iwi-iwi, Kasan Bsari duk
ngrungu, mring nalar kang mangkana, sanalika dennya ngontor asru bndu, jaja bang
mawinga-winga, muring-muring waja gathik.
Hati kami sudah enggan, sebab kapok terus dicemooh, (Kyai) Kasan Bsari (Hassan
Bashori) manakala mendengarnya, akan kelakuan manusia semacam itu, seketika murka,
dada bergemuruh wajah memerah, marah-marah gigi bergemeletukan!
15. Netra andik angatirah, Kyai Kasan Bsari ngucap bngis, Patut kang kaya dhapurmu,
santri remeh kewala, bnr sira mantholos ndhasmu gundhul, buntu buntt tanpa nalar,
mung jakat kang sira-incih.
Mata melotot tajam, Kyai Kasan Bsari (Hassan Bashori) berkata kasar, Pantas jika
seperti kalian (kalah), para santri bodoh, memang benar kepala kalian pelontos gundhul,
tapi otak kalian buntu tanpa kepintaran, hanya Jakat (Zakat Fitrah) semata yang kalian
ketahui!
16. Durung patut ginuronan, guru bodho kawruhmu mung sanyari, ora liya kabisanmu,
marani anggr wisma, kang ginawa kasang wadhah karag skul, bisane Ndonga Kabula,
ngaji kulhu lamyakunil.
Belum pantas digurui (oleh para murid), guru bodoh ilmumu hanya sejengkal jari, tiada
lain yang kalian bisa, keluar masuk rumah, sembari membawa bakul nasi (maksudnya
untuk memimpin acara tahlilan atau selamatan saja dan pulang-pulang membawa
makanan dari acara tersebut), bisanya hanya membaca Doa Kabula (Doa Qabul : Doa
agar niat tuan rumah yang mengadakan acara tahlilan atau selamatan terlaksana), hanya
bisa membaca Kulhu lamyakunil (Kulhu Allahu Ahad, Allahu Shomaddst. Maksudnya,
doa yang umum diketahui semua orang!)
17. Ora padha kaya ingwang, marma gun-DHUL kasun-DHUL ing agami, mila pu-TIH
surbaningsun, ti-TIH te-TEH micara, kalah iki msti ngambil saking biku, mila kthu
taranca-NGAN, panja-LIN ingkang kinardi.

Tidak seperti aku, gun-DUL kepalaku karena sun-DHUL (menggapai langit) ilmu
agamaku! Pu-TIH sorbanku, karena mulutku ti-TIH te-THE (jelas dan lugas)
menyampaikan ilmu, memakai kethu (kopiah/songkok model kuno) berbentuk trancaNGAN (bersusun indah) terbuat dari jalinan pnja-LIN
.
18. Keri-NGAN santri ulama, ora kewran kawruhku saLIN-saLIN, nrawang putus ngisor
dhuwur, mila klambi kba-YAK, bisa mi-YAK marang kawruh agal alus, sabuk poleng
MANCA WARNA, kawruh ingsun WARNI-WARNI.
(Karena aku) Keri-NGAN (Terkenal) diantara para santri dan ulama, bahkan tidak
hanya itu ilmuku bisa sa-LIN sa-LIN (Berganti-ganti karena saking banyaknya ilmu),
jelas dan terang mulai hal yang rendah hingga yang tinggi, aku memakai busana kbaYAK (kebayak model untuk pakaian santri), karena aku bisa mi-YAK (membuka)
rahasia ilmu yang kasar dan ilmu yang halus (maksudnya dari ilmu yang tergampang
hingga ilmu yang tersulit), berikat pinggang model Poleng (berbelang-belang)
BERANEKA WARNA, karena ilmu-ku pun ber-WARNA-WARNI
19. Ilmu Jawa Landa Cina, Turki Koja Hindhu Bnggala Kling, kabeh iku wus kacakup,
sun-simpn aneng kasang, kawruh Arab awit timur nganti lamur, kawruh Jawa tan
kuciwa, dhasar ingsun bangsa Jawi.
Ilmu Jawa Belanda China, Turki Koja Hindhu Bnggala Kling, semua sudah aku kuasai,
aku simpan dalam penyimpanan yang rapi, ilmu Arab aku kuasai semenjak muda hingga
mataku mulai kabur, ilmu Jawa-pun tak mengecewakan, karena dasarnya aku memang
orang Jawa!
20. Mila bbd sarung amba, omber jmbar ngungkuli ingkang dakik, kabeh ilmu ingsun
wruh, nganggo ts-BEH sanyata, ka-BEH kawruh ingkang luwih saking alus, ora nana
bisa mada, amadani marang mami.
Makanya aku memakai sarung yang lebar, karena ilmuku lebar dan luas melebihi semua
orang yang ahli ilmu, segala ilmu aku ketahui, akupun memegang tas-BEH (tasbih),
karena ka-BEH (semua) ilmu yang terhalus sekalipun (aku kuasai), tak ada yang bisa
menghina, mencemooh kepada diriku.
21. Mulane nganggo gam-PARAN, sa-PARAN-ku angungkuli sasami, mulane CIS
tkningsun, kum-CIS nora cidra, anrawang jaba jero ngisor dhuwur, upamane ingsun
kalah, mungsuh janma tanpa budi.

Oleh karenanya pula aku memakai gam-PARAN (terompah), (karena) sa-PARAN-ku


(dimanapun diriku) akan melebihi sesama, oleh karenanya CIS (tongkat) tongkatku (Cis

itu padanan kata Tongkat), kum-CIS (berani) tak akan mundur, ku ketahui segala hal
mulai bagian luar dalam bawah hingga atas, seumpama aku sampai kalah, melawan
manusia tanpa Budi (Buddhi ; Kesadaran).

22. Sayktine ingsun wirang, golekana saiki ana ngndi, si Gatholoco wong kumprung,
ingsun arsa uninga, mring warnane janma ingkang kurang urus, Ahmad Ngarip ujarira,
Duk wau sapungkur mami.
Aku akan sangat-sangat malu, carilah sekarang dimana, si Gatholoco manusia tidak tahu
aturan itu, aku ingin melihat, (bagaimana) wujud manusia yang kurang ajar tersebut,
Ahmad Ngarip (Arif) menjawab, Sepeninggal kami tadi.
23. Tut wingking lampah kawula, kintn-kintn dalu punika ugi, nyipng wontn kitha
Pungkur, Kasan Bsari ngucap, Lamun mrene sun jewere kupingipun, mungsuh janma
ngrusak sarak, kalah lambene sun juwing.
Sepertinya berjalan mengikuti langkah kami, kira-kira malam ini juga, tengah bermalam
di kota Pungkur, (Kyai) Kasan Bsari (Hassan Bashori) berkata, Jika ada disini akan aku
jewer telinganya! Berdebat dengan manusia perusak syariat seperti dia, jika nanti sampai
dia kalah akan aku cincang mulutnya!
24. Sun karya pangewan-ewan, Duk samana dupi sampun byar enjing, wanci bakda salat
subuh, prentah mring santri tiga, Golekana Gatholoco den katmu, tkakna mring
ngarsaningwang, Santri tiga gya lumaris.

Benar-benar aku berjanji, Bersamaan dengan datangnya pagi, seusai shalat subuh, (Kyai
Hassan Bashori) memberikan perintah kepada ketiga santri, Carilah Gatholoco hingga
ketemu, bawa kehadapanku, Ketiga santri segera berangkat.

25. Datan winarna ing marga, santri tiga lampahnya sampun prapti, ing pacandhon kutha
Pungkur, nulya manjing ngpakan, santri tiga pramana samya andulu, ing pacandhon
wonten janma, ndhek cilik bokong canthik.
Tidak diceritakan dalam perjalanan, ketiga santri akhirnya sampai, ditempat madat kota
Pungkur, langsung masuk ke-tempat madat tersebut, ketiga santri awas melihat-lihat,
didalam tempat madat terdapat manusia, (berpostur) pendek pantat tepos.
26. Tinakenan namanira, gya sumaur Yen sira takon mami, Gatholoco araningsun, santri
tiga tuturnya, Katimbalan sireku mring ngarsanipun, Guruning santri Cpkan, Kiyai
Kasan Bsari.
Manakala ditanya siapa namanya, segera dijawab Jika kalian bertanya siapa namaku,
Gatholoco namaku, Ketiga santri berujar, Kamu dipanggil untuk menghadap, Guru para

santri di (pondok pesantren) Cpkan, Kyai Kasan Bsari (Hassan Bashori).


27. Kinen sareng lampah kula, Gatholoco maleleng ngiwi-iwi, gela-gelo manggutmanggut, nanging kendl kewala, cangkmipun macucu boten sumaur, nulya nmbang
ura-ura, larase mung anggr muni.
Menghadap bersama dengan kami sekarang, Gatholoco acuh sembari mencibir,
mempermainkan kepala manggut-manggut, akan tetapi tak bersuara, mulutnya
dimonyongkan tak ada jawaban, lantas menyanyikan tembang, iramanya asal bunyi.
28. Piyik anak manuk Dara, Pdhet iku jarene anak sapi, Cmpe cilik anak Wdhus,
Gudel anak Maesa, Kirik cilik iku jare anak Asu, Belo kpl anak jaran, Gnjik cilik anak
Babi.
Anak burung Dara (Merpati) namanya Piyik, anak Sapi namanya Pdhet, anak Wdhus
(Kambing) namanya Cmpe, anak Maesa (Kerbau) namanya Gudel, anak Asu (Anjing)
namanya Kirik, anak Jaran (Kuda) namanya Blo, anak Babi namanya Gnjik.
29. Skar Pucang jare Mayang, skar Mlathi jarene skar Mlathi, kmbang Gdhang jare
Jantung, yen kmbang Klapa Manggar, dhuh lae dhuh kmbang Mnur kmbang Mnur,
kmbang Pacar kmbang Pacar, kmbang Sruni kmbang Sruni.
Kmbang pohon Pucang namanya Mayang, kmbang pohon Melathi katanya kmbang
Melathi, kmbang Gdhang (Pisang) namanya Jantung, kalau kmbang Klapa (Kelapa)
namanya Manggar, aduh aduh kmbang Mnur kmbang Mnur, kmbang Pacar
kmbang Pacar, kmbang Sruni kmbang Sruni.
30. Santri murid kang dinuta, samya eram sadaya tyasnya gli, kapingkl-pingkl
gumuyu, wacana jroning driya, apa baya pancen duwe lara gmblung, dene pijr ura-ura,
bcik kudu diasori.
Para murid santri yang diutus, keheranan melihat tingkah Gatholoco dan geli, terpingkalpingkal ketawa, membatin dalam hati, apa memang memiliki sakit gila, ditanya kok
malah bernyanyi tidak karuan nadanya, lebih baik diambil hatinya agar menurut.
31. Murid tiga angrrpa, sanjang malih sarana ngarih-arih, ingarah mung murih purun,
Mangga tumuntn mangkat, mring Cpkan manggihana Kyai Guru, manawi den arsaarsa, kedangon kula ngntosi.
Ketiga murid memohon, kembali meminta dengan mengharap-harap, agar supaya
bersedia, Mohon bersedia menghadap, ke (pondok pesantren) Cpkan bertemu Kyai
Guru, siapa tahu sudah ditungggu-tunggu, kami kelamaan menanti jawaban (anda).
32. Gatholoco klewa-klewa, sarwi ngucap Apa sira tan uning, ingsun iki lagya ewuh, lan
bangt ktagihan, lamun sira paripaksa ngundang mring sun, kthumu bae sun-slang,
prlu kanggo gadhen dhingin.

Acuh tak acuh Gatholoco, sembari berkata Apa kalian tak melihat, aku ini sedang
kebingungan, dan sangat ketagihan, apabila kalian memaksa aku, kthu (kopiah) kalian
saja aku pinjam, perlunya untuk aku gadaikan.
33. Candu rong timbang kewala, nanging jangji sira tbus pribadi, mngko yen wus
mndm ingsun, tumuli mangkat mrana, lamun sira ora lila kthu iku, ingsun wgah
lunga-lunga, moh nmoni Kyai Kaji.
Aku tukarkan candu sebanyak dua timbangan saja, akan tetapi harus berjanji kalian yang
menebus sendiri nanti, jika aku sudah mabuk, baru berangkat kesana, apabila kalian tidak
rela meminjamkan kthu (kopiah) kalian, aku tidak sudi pergi, menemui Kyai Kaji (Kyai
Haji).
34. Santri tiga duk miyarsa, rrmbugan lawan rowange sami, lamun ora sinung kthu,
saykti tan lumampah, ora wurung Kyai Guru mngko bndu, upama ingsun wenehna,
luwih bcik den turuti.
Mendengar hal itu maka ketiga santri, saling berembug, apabila tidak diberikan kthu,
pasti tak mau beranjak pergi, ujung-ujungnya nanti Kyai Guru akan marah, lebih baik di
berikan dan lebih baik dituruti.
35. Santri duta kang satunggal, amangsuli mangkana dennya angling, wus ttela nalar
kojur, iku padha kewala, kthu mami uga anyar oleh tuku, lawase satngah wulan, rgane
srupiyah putih.
Salah seorang santri, menjawab beginilah katanya, Sudah terlanjur memang nasib kita,
semua sama saja, kthu-ku juga masih baru beli, setengah bulan yang lalu, harganya satu
rupiah perak.
36. Kang satunggal tumut ngucap, ora beda anyare kthu mami, lagi nganggo patang
taun, mangka utang pitung wang, bayar nicil setheng setheng sabn esuk, sun-lowongi
durung sah, isih kurang limang kthip.
Yang seorang berkata, Sama juga milikku juga masih baru, ku pakai empat tahun,
padahal aku berhutang 7 Wang, menyicil 1 Setheng tiap pagi, belum juga lunas. Masih
kurang 5 Kthip. (Nilai 12 Wang sama dengan 1 Rupiah. Nilai 1 Setheng sama dengan
1/2Sen. Nilai 1 Kthip sama dengan 5 Sen, sedangkan nilai 1 Sen sama dengan
Seperseratus rupiah.)
37. Najan camah awakingwang, waton oleh alme guru mami, santri tiga samya muwus,
niki kthu kawula, tampenana Gus Nganten sampeyan pundhut, gadhekna kula
sumangga, sakmana dipun tampeni.
Walau harus rugi, asal dapat pujian Guru, Ketiga santri lantas sepakat, Ini kthu kami,
terimalah manusia bagus, silakan digadaikan, Segeralah diterima.

38. Wusnya kthu tinampenan, santri duta malah den iwi-iwi, ngisin-isin sarwi muwus,
Sireku ngntenana, kthu tiga dipun gantosakn candu, rong timbang cinukit ngingkrang,
sinrt bantalan dingklik.
Setelah kthu diterima, para santri utusan malah diejek, diperpermalukan sembari
berkata, Kalian semua tunggulah. Tiga kethu ditukar candu, sebanyak dua timbangan
segera diungkit, lantas dihisap (oleh Gatholoco) sembari berbantalkan kursi kecil.
39. Wus tuwuk panyrtira, bdudane nulya dipun sangklit, Gatholoco gya lumaku, den
iring santri tiga, sadangune lumampah urut dalanggung, ngupaya snnging driya,
rrpen sinawung gndhing.
Setelah puas menghisap (candu), pipa pun lantas ditaruh dipinggang, Gatholoco segera
berjalan diiringi ketiga santri, sepanjang jalan, mencari senangnya hati, dengan bernyanyi
dan menembang.
40. Bismillah sun-ura-ura, sun-wangsalan Ptis apyun (CANDU) upami, ana kthu dadi
CANDU, candu dadi glngan, Patek tungkak (BUBUL) glngane dadi k-BUL, kbule
mrasuk mring badan, sumrambah dadi nygri.
Bismillah aku hendak bernyanyi, bersyair wangsalan (kata-kata yang vocal-nya berupa
sandi) Ptis apyun (CANDU) seumpama, ada kthu (kopiah) menjadi CANDU, candu
menjadi gelintiran, Patek (penyakit kulit) di telapak kaki (BUBUL) gelintiran menjadi
ke-BUL (Asap), asapnya merasuk badan, menyebar membuat segar.
41. Jnang sobrah (AGR-AGR) Ancur kaca (RASA), Balung tipis munggeng pucuk
dariji (KUKU), s-GR dadi ro-SA mla-KU, nanging ingkang kelangan, paribasan Sabt
kuda (CMTHI) ms-THI gtun, aranira Tirta maya (WISUHAN), mi-SUH-mi-SUH
jroning batin.
Bubur sobrah (AGER-AGER) Ancur (bubuk) dari pecahan kaca (RASA), Tulang
kecil berada diujung jemari (KUKU) se-GER (Segar) jadi ro-SA (Kuat) luma-KU
(berjalan), akan tetapi yang kehilangan, bagaikan Alat pemukul untuk kuda
(CEMETHI) mes-THI (Pasti) merasa sayang, disebut Air berwarna (WISUHAN/AIR
PEMBASUH), mi-SUH mi-SUH (Memaki-maki) didalam hati.
42. Dhuh bakul Sotya kncana (PARA), Sela ingkang kinarya ngasah lading
(WUNGKAL), mani-RA bakal katmu Guru santri Cpkan, Paksi alit kang dadya
sasmiteng tamu (PRNJAK), Pthel panjang tanpa sangkal (TATAH), nja nga-JAK
ban-TAH ilmi.
Wahai Penjual perhiasan (PARA), Batu yang dipakai untuk menajamkan besi
(UNGKAL). mani-RA (Aku) ba-KAL (Hendak) bertemu dengan Guru para santri di
Cpkan, Burung mungil yang sering dipakai pertanda jika hendak ada tamu datang
(burung PRNJAK), Palu panjang (TATAH), hendak menga-JAK ban-TAH ilmu.

43. Kadhal gung wismeng bangawan (BAJUL), Jambu ingkang isi lir mirah edi
(DLIMA), sanajan guru pinun-JUL, alim jamhur ula-MA, Wadhung pari (ANI-ANI)
ingsun uga wa-NI mungsuh, mrica kcut dedompolan (WUNI), sagndhinge sun lade-NI.
Kadal bertubuh besar yang tinggal disungai (BAJUL/Buaya), Buah jambu yang bijinya
bagai batu mirah (DLIMA/Delima), walaupun Guru pinun-JUL (Terkenal), alim
pandai dan berstatus ula-MA, Cangkul padi (ANI-ANI) aku tetap wa-NI(Berani),
Merica bergerombol yang rasanya kecut (WUNI), apa yang diminta akan aku lade-NI
(Layani).
44. Dumugi pondhok Cpkan, kacarita ing pondhok para santri, miwah sagung para
guru, mulat kang lagya prapta, maksih wontn plataran ngandhap wit jruk, Kyai Abdul
Jabar ngucap, mring Kyai Kasan Bsari.
Sesampainya di pondok (pesantren) Cpkan, tampaklah para santri, berikut para guru,
melihat siapa yang baru datang, masih berada di pelataran tepat dibawah pohon jeruk,
Kyai Abdul Jabar berkata, kepada Kyai Kasan Bsari (Hassan Bashori).
45. Tiyang makaten punika, najis mkruh tan pants minggah mriki, Kasan Bsari
sumaur, najan mkruh najisa, nanging iku tkane saking karpmu, bcik kinen munggah
langgar, dimene tumuli linggih.
Manusia seperti itu, najis tak pantas naik ke (atas musholla) ini, (Kyai) Kasan Bsari
(Hassan Bashori) menjawab, Walaupun najis, akan tetapi yang menyebabkan dia hadir
disini juga kamu, lebih baik suruh naik ke Langgar (Musholla), agar supaya bisa duduk.
46. Rgd ora dadi ngapa, yen wus lunga tilase disirami, Kasan Bsari gya dhawuh,
Uwong ala lungguha, kono bae ing jrambah lor wetan iku, Gatholoco sigra minggah,
marang langgar mapan linggih.
Kotor-pun tak menjadi masalah, manakala sudah pergi nanti bekas dimana dia duduk
disiram dengan air, (Kyai)Kasan Bsari (Hassan Bashori) berkata, Manusia jelek
duduklah, disitu saja diteras (mushola) sebelah timur laut, Gatholoco segera naik, ke atas
Langgar (Musholla) dan duduk.
47. Sendheyan prnah lor wetan, bdudane maksih dipun sangklit, nulya nitik karya latu,
ngakp rokok tgsan, tgsane sadriji kbule mabul, mratani sajroning langgar,
ambtipun sngak sangit.
Duduk disebelah timur laut dan bersandar, pipa masih di selipkan dipinggang, lantas
menyalakan api, rokok candu disulut, rokok candu sebesar jemari tangan asapnya
menyebar, merata memenuhi Langgar (Musholla), baunya sngak (tidak enak) sangit
(bau barang terbakar).

_________________
Last edited by Koma on Mey 03, 2012 - www.koma.web.id

SERAT GATHOLOCO (10)


Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

48. Para santri tutup grana, wontn ingkang ngalih denira linggih, Kasan Bsari amuwus,
Sira jnngmu sapa, wangsulane Gatholoco araningsun, Kasan Bsari ttanya, Apa kang
sira-sangklit.
Seluruh santri menutup hidung, bahkan ada yang pindah tempat duduk (menjauh), (Kyai)
Kasan Bsari (Hassan Bashori) bertanya, Siapa namamu? Menjawab yang ditanya
Gatholoco namaku, (Kyai) Kasan Bsari (Hassan Bashori) kembali bertanya, Apa yang
kamu selipkan dipinggang (itu)?
49. Sumaur iki watangan, watangane cipta pikir kang ning, ana dene pntholipun, iki
arane cupak, prlu kanggo mapak kawruh ingkang luput, obate candu lan bakal, ron
awar-awar kinardi.
Menjawab (Gatholoco) Ini lambang dari batang, batang kesadaran yang jernih, sedangkan
bulatannya, namanya CUPAK, lambang dari pucuk kesadaran yang berguna untuk
MAPAK (MEMOTONG) kesadaran yang salah (rendah), ramuan yang terdiri dari candu
dan, calon daun awar-awar (daun awar-awar sangat gatal).

50. Dadi arang ingkang tawar, yen kacampuh obat kalawan mimis, ora wurung kna
bndu, mimis glintiran madat, yen wus awas patitise damar murub, lesane pucuking ilat,
snthile napas kang lungid.
Jarang manusia yang tawar, menikmati candu yang sudah dibuat bagai mimis (mimis
adalah peluru kuno, berwujud bulatan. Candu yang sudah dibuat bagai mimis maksudnya
dibentuk bulatan siap untuk dinikmat), jika tidak kuat hidup bagai terkena kutuk
(disudutkan dan dihakimi oleh manusia-manusia yang rendah kesadarannya), jika sudah
dinikmati akan awas kesadaran ini kepada Damar Murub (Pelita Yang Menyala,
maksudnya Cahaya Kebenaran Sejati), lesannya puncak lidah (ini bahasa simbolik,
maksudnya suara yang sejati untuk mencari Tuhan adalah puncak Rasa. Lidah symbol
Rasa. Puncak Lidah berarti Puncak Rasa. Suara sejati dari puncak rasa untuk mencari
Tuhan berarti suara yang tak terbahasakan, melampaui segala suara, melampaui segala
bahasa. Itulah suara Ruh), yang menggetarkan (suara tersebut) adalah Nafas Yang
Misterius (Maksudnya Dia Yang Hidup Tanpa Nafas, Brahman, Sumber Semesta).
51. Cthute aran Dzatullah, rasa awor ngumpul dadi sawiji, manjing marang cthutipun,
rumasuk jroning badan, sumarambah kulit daging balung sungsum, tyasingsun padhang
nrawang, ora kewran kabeh pikir.
Tempat hisapnya lambang Dzatullah (Dzat Allah, Inti Allah), (Puncak) Rasa bercampur
dan menyatu menjadi satu, manunggal kedalam Tempat hisap (Dzatullah), menjadi satu
kesatuan dalam satu badan, menyatu pada kulit daging tulang dan sumsum, Kesadaranpun terang benerang, tak ada lagi illusi.
Pada (Syair) 49-51, maksudnya adalah sebagai berikut : Pipa hisap yang dibawa
Gatholoco adalah lambang Kesadaran (Buddhi), hiasan bulatan pada batang pipa adalah
lambng Awasnya Kesadaran untuk memilah mana yang patut dipakai demi peningkatan
Kesadaran itu sendiri atau tidak (Wiweka), Candu yang dicampur bakal daun AwarAwar, lambang begitu memabukkannya spiritualitas itu bila seorang manusia telah
menyelaminya. Tapi jarang yang sanggup bertahan, karena spiritualitas menuntut
keteguhan dan kekuatan yang luar biasa. Godaan dari dalam diri maupun penghakiman
dari manusia lain, sangat sukar untuk dilampaui. Namun jika telah merasakan mabuk
spiritual, maka kecenderungan Kesadaran akan terus lekat pada Damar Murub atau
Cahaya Kebenaran Sejati.
Kompas spiritualitas, bukan teks-teks kitab suci, tapi LESANE PUCUKING ILAT.
LESAN berguna untuk mengeluarkan suara, PUCUKING ILAT (PUNCAK LIDAH)
adalah symbol Puncak Rasa. Puncak Rasa adalah ATMA/RUH.
SUARA DARI PUNCAK RASA berarti SUARA RUH. Inilah Radar sejati penuntun kita
dijalan spiritualitas. Karena SENTHILE NAPAS KANG LUNGID (Yang menggetarkan
suara itu adalah NAPAS YANG MAHA GAIB). Jelas sudah, yang membuat SUARA
RUH itu tak lain adalah DIA YANG HIDUP TANPA NAFAS atau BRAHMAN itu
sendiri.

Pangkal pipa ditempat penghisapan adalah lambing Dzatullah (Dzat Allah, Inti
Brahman), Puncak Rasa (Ruh/Atma) apabila telah menyatu dengan Pangkal pipa
(Brahman), maka menyatulah dalam satu kesatuan Wujud.
Disaat itulah semua illusi akan lenyap dan KESADARAN TOTAL PARIPURNA telah
kita capai lagi.
52. Kasan Bsari ngandika, Sira wani mapaki kawruh mami, nganggo sira wani nglbur,
mring sarak Rasulullah, apa sira nampik urip dhmn lampus, ora wdi manjing nraka,
ora melik munggah swargi.
(Kyai) Kasan Besari (Hassan Bashori) berkata, Kamu bernai menantang ilmuku, dengan
mencoba melebur, segala syariat Rasulullah, apa kamu menolak hidup dan pilih mati?
Tidak takutkah kamu masuk neraka? Tidak inginkah kamu naik surga?
53. Gatholoco alon ngucap, Kaya apa bisane nampik milih, wus pinsthi mring Hyang
Agung, sakehing kasusahan, iku dadi duweke marang wong lampus, dene sakehing
kamulyan, dadi duweke wong urip.
Gatholoco pelan menjawab, Bagaimana bisa aku mau menolak (kehidupan)? Sudah
menjadi kehendak Hyang Agung, (ketahuilah sesungguhnya apa yang dimaksud hidup
dan mati itu), segala kesedihan dan kesusahan (lahir berulang-ulang didunia) itulah
yang disebut kematian, sedangkan segala kemuliaan (lepas dari rantai kelahiran dan
kematian), itulah yang disebut kehidupan.
54. Yen wong urip iku susah, mtu saking takdirira pribadi, ingkang gawe susah iku,
dene Kang Maha Mulya, sipat murah puniku kagunganipun, nanging kabeh sipat samar,
ora keno tinon lair.
Pun sesungguhnya jika manusia yang hidup didunia ini terus dilanda kesusahan,
sesungguhnya itu juga karena hasil perbuatan pribadinya sendiri (karmaphala), itulah
yang membuat kesedihan, sedangkan Yang Maha Mulia, sifat KASIH itulah sifat-Nya,
akan tetapi semua tersamarkan, tak bisa dilihat oleh mata lahir. (Maksudnya mata lahir
adalah tak bisa disadari oleh mereka yang mata kesadarannya belum melek, belum
terbuka!)
55. Sira ingkang tanpa nalar, endah-endah ingkang sira rasani, suwarga naraka iku,
mangka katon wus ctha, sapa-sapa ingkang mulya uripipun, iku ingkang manjing
swarga, sapa mlarat manjing gni.
Dirimu yang tak punya nalar, muluk-muluk yang kamu bicarakan, Surga dan Neraka itu,
sesungguhnya telah terlihat nyata, siapa saja yang mulia hidupnya didunia ini, dialah
yang masuk Surga, siapa yang melarat dialah yang masuk api.
56. Ya iku manjing naraka, Kyai Kasan Bsari amangsuli, Suwarga naraka iku, besuk
aneng akerat, Gatholoco sumaur sarwi gumuyu, Lamun besuk ora nana, anane namung

saiki.
Yaitu masuk (api) Neraka, Kyai Kasan Bsari (Hassan Bashori) menjawab, Surga dan
Neraka itu, (adanya) tergelar besok diakherat! Gatholoco menjawab sembari tertawa,
Kelak tidak ada, yang ada sekarang ini!
57. Kyai Guru saurira, Nyata nakal rmbuge janma iki, maido marang Hyang Agung, lan
sarak Rasulullah, pancen wajib pinatenan dimen lampus, lamun maksih awet gsang
akarya spining masjid.
Kyai Guru (Hassan Bashori) berkata, Benar-benar kurang ajar ucapan manusia ini,
menghujat Hyang Agung, dan syariat Rasulullah, wajib dibunuh agar mampus, jika
masih awet hidup, akan membuat semua masjid sepi.
58. Gatholoco alon ngucap, Ora susah sira mateni mami, nganggo gaman tumbak
dhuwung, saiki ingsun pjah, Kyai Kasan Bsari asru sumaur, Iku lagi tatanira, wong
mati cangkme criwis.
Gatholoco pelan menjawab, Tidak perlu repot membunuhku, dengan senjata tombak atau
keris, saat inipun aku sudah mati, Kyai Kasan Bsari (Hassan Bashori) keras membentak,
Dasar tak tahu diri, mati kok mulutnya ceriwis!
59. Awake wutuh lir rca, Gatholoco alon dennya nauri, Yen patine kewan iku, nganti
gograge badan, mati aking ya iku patining kayu, yen ilang patining setan, ingkang kaya
awak-mami.
Dan badanmu masih tegak bagai arca, Gatholoco pelan menjawab, Hewan disebut mati,
jika tubuhnya hancur lebur, tumbuhan disebut mati jika sudah kering, jika setan mati
hilang tak diketahui jejaknya, tapi kematian manusia sesungguhnya.
60. Ora mujud ora ilang, mangka iku ingsun uga wus mati, kang mati iku npsuku,
mulane kabeh salah, ingkang urip budi pikir nalar jujur, pisahe raga lan nyawa, kinarya
tundhaning lair.
Tidak bisa dilihat secara fisik juga tidak hilang (wujud) manusianya, ketahuilah
sesungguhnya aku ini sudah mati, yang mati nafsuku, makanya aku mampu melihat
kesalahan kalian, yang hidup adalah Budi (Buddhi:Kesadaran) dan menyisakan pikiran
dan nalar yang jujur, terpisahnya Raga dan Nyawa, (itu bukan kematian) itu hanya proses
menuju kelahiran kembali.
61. Iku ingkang aran Sadat, pisahira Kawula lawan Gusti, lunga pisah tgsipun, dadi
Roh Rasulullah, yen wis pisah Ragane lan Suksma iku, Rasa Pangrasa lan Cahya,
panggonane ana ngndi.
Itulah yang disebut Sahadat (Kesaksian) yang sesungguhnya (Dalam kondisi seperti ini,
dimana kita telah mampu terpisah dari Badan Fana dan murni menjadi Badan Sejati,

disaat seperti inilah kita akan mengetahui apa itu makna Sahadat yang Sejati), pisahnya
Kawula (Hamba : Badan Maya/Fana yang berasal dari alam) dengan Gusti (Tuhan:
Badan Sejati/Brahman yang berwujud Atma yang selama ini terjebak Maya), murni
menjadi Roh Rasulullah (Roh Utusan Allah/Atma yang suci kembali), manakala telah
berpisah Raga/Badan Fisik dan Suksma/Badan Halus, Rasa berikut Perasaan (maksudnya
juga Suksma/Badan Halus) dan Cahaya (maksudnya Atma atau Badan Sejati), lantas
kemanakah perginya semua itu?
62. Kyai Guru saurira, Bnr ingsun luluh awor lan siti, Rasa lan Pangrasa iku, kalawan
Cahya Gsang, pan kagawa iya marang Suksmanipun, kabeh munggah mring suwarga,
Sang Ijrail ingkang ngirid.
Kyai Guru (Hassan Bashori), Yang benar aku (Badan Fana) hancur menjadi tanah,
sedangkan Rasa berikut Perasaan (Badan Halus) beserta Cahaya Hidup (Badan Sejati),
dibawa oleh (Hyang) Suksma (Tuhan), semua naik ke Surga, Sang (Malaikat) Ijrail yang
mengiringi.
63. Lamun Suksmane wong Islam, kang ntpi salat limang prakawis, sarta akeh
pujinipun, rina wngi tan owah, antpi jakat salat pasanipun, pitrah ing dina riyaya, yen
katrima ing Hyang Widdhi.
Jika Badan Halus orang Islam, yang menjalani shalat lima waktu, serta banyak beribadah,
siang malam tiada goyah, memenuhi zakat shalat dan puasa, zakat fitrah menjelang hari
raya, jika diterima oleh Hyang Widdhi.
64. Kaunggahaken suwarga, krana manut parentahe Jng Nabi, kabeh oleh-olehingsun,
kang wus kasbut sarak, yen Suksmane wong kapir ingkang tan manut, dhawuhe Jng
Rasulullah, pinanjingakn yumani.
Akan naik ke Surga, karena menuruti perintah (Kang)jng Nabi, yaitu semua yang aku
jalani ini yang disebut syariat, tapi Badan Halus manusia kafir yang tidak menuruti,
perintah (Kang)jng Rasulullah, dimasukkan tempat siksaan (Neraka).
65. Awit mukir mring Panutan, yen wong kapir dadi satruning Widdhi, Gatholoco asru
muwus, dene Ingkang Kuwasa, nganggo nyatru marang wong kapir sadarum, lamun sira
tan pracaya, maring kudrating Hyang Widdhi.
Sebab telah melawan Panutan, manusia kafir itu menjadi musuh (Hyang) Widdhi,
Gatholoco keras berkata, Sangat konyol jika Yang Maha Kuasa, memusuhi manusia
kafir, kamu nyata tidak mempercayai, kepada Kekuasaan (Kasih) Hyang Widdhi.
66. Maido kuwasaning Hyang, dennya karya warnane umat Nabi, anane kapir punika,
sapa kang gawe kopar, lawan maneh ingkang karya uripipun, akarya bja cilaka, tan liya
Hyang Maha Suci.
Kamulah sesungguhnya yang menghujat Hyang (Widdhi)! Membagi-bagi manusia

menjadi umat Nabi (dan yang bukan umat Nabi), adanya sebutan kafir itu, siapa yang
membuat? Lantas pula siapa yang menciptakan mereka, yang memberikan kemuliaan dan
celaka, tiada lain juga Hyang Maha Suci.
67. Upama Allah duweya, satru kapir murtad marang Hyang Widdhi, bcik sadurunge
wujud, tinitah aneng dunya, dadi ora duwe satru ing Hyang Agung, yen mngkono
Allahira, iku ora duwe budi.
Jikalau Allah mempunyai, musuh yang disebut kafir yang katanya murtad kepada Hyang
Widdhi, sebaiknya Dia tidak usah menciptakan, dan mentitahkan (orang kafir) hidup
didunia, sehingga Hyang Agung (tidak repot-repot) mempunyai musuh (yang membuat
Dia marah-marah), jikalau memang demikian Allah-mu, tidak mempunyai Budi (Buddhi
:Kesadaran)!
68. Dhmn karya kasusahan, adu-adu wong Islam lawan kapir, beda kalawan Allahku,
mpki ing aguna, anuruti sakarepe umatipun, ora ana kapir Islam, beda-beda kang
agami.
Hanya membuat pekerjaan tak berguna, mengadu orang Islam dengan orang kafir,
berbeda dengan Allah-ku, penuh kebijaksanaan, memberikan kebebasan bagi manusia,
tiada yang disebut kafir dan Islam, manusia diberi kebebasan memeluk agama!
69. Tgse aran agama, panggonane ngabkti mring Hyang Widdhi, ing sasbutsbutipun, waton trus kewala, tanpa salin agamane langgng trus, sapa kang salin
agama, anampik agama lami.
Yang dinamakan agama itu, sekedar wadah yang mengatur tata cara untuk menyembah
Hyang Widdhi, apapun sebutan (nama agama maupun menyebut Tuhan)-nya, asal terus
memantapkan diri dalam satu jalan, tiada bersalin agama dan terus mantap (pasti akan
diterima), (ketahuilah) sesungguhnya siapa yang berpindah agama, menolak agama lama
(yang sudah ditetapkan Hyang Widdhi bagi dia).
70. Iku kapir aranira, krana nampik papsthene Hyang Widdhi, agamamu iku kupur,
nampik leluhurira, sasat nampik papsthenira Hyang Agung, panybutmu siya-siya,
anbut namaning Widdhi.
Itulah manusia kafir, karena menolak kepastian Hyang Widdhi, dirimu itu kufur, menolak
(agama) leluhur, jelas menolak kepastian Hyang Agung (yang telah menetapkan bahwa
agama leluhur Jawa adalah agama yang pas bagi orang Jawa), doamu seolah sia-sia, saat
kamu menyebut nama (Hyang) Widdhi (dengan bahasa asing)
71. Sira iku bisa kandha, lamun kapir Suksmane manjing gni, Suksmane wong Islam
iku, kabeh manjing suwarga, apa sira wis tau nglakoni lampus, wruh suwarga naraka,
panggonane aneng ngndi.
Dan lagi kamu bisa mengatakan, apabila manusia kafir Badan Halusnya masuk kedalam

api (Neraka), (sedangkan) Badan Halus manusia Islam, semua naik Surga, apakah kamu
sudah pernah mati, sehingga tahu Surga dan Neraka? Dimanakah tempatnya?
72. Kasan Bsari angucap, kang kasbut sajroning kitab mami, Gatholoco sru gumuyu,
sira santri kparat, ngandl marang daluwang mangsi bukumu, nurun bukune wong
sabrang, dudu tinggalan naluri.
(Kyai) Kasan Bsari (Hassan Bashori) menjawab, Itulah yang disebutkan dalam kitab!
Gatholoco tertawa keras. Kamu santri bodoh, mempercayai begitu saja kepada kertas dan
tulisan yang kamu sebut kitab, kitab yang kamu sadur begitu saja dari kitab milik orang
seberang, bukan (kitab suci) yang sudah melekat semenjak dulu (dalam dirimu).
73. Buku tmbung cara Arab, tan ngopeni buku saking naluri, sayktine kabisanmu,
mung kitab sembarangan, sira gawa oleh-oleh lamun lampus, katur marang Gusti Allah,
bali ingkang duwe maning.
Kitab yang berbahasa Arab (saja yang kamu agungkan), tidak mempelajari kitab (suci)
yang sesungguhnya (yaitu Suara Ruh/Nurani), sesungguhnya wawasanmu, kamu peroleh
dari kitab sembarangan, (segala kesadaran dangkalmu hasil mempelajari kitab Arab)
kamu bawa sebagai oleh-oleh saat kamu mati kelak, kamu haturkan (kesadaran semacam
itu) kepada Gisti Allah, kepada yang mempunyai.
74. Bakale apa katrima, krana iku kagungane pribadi, sakehe puji dikirmu, kabeh
pangucapira, iku uga kagunganira Hyang Agung, mangka sira aturna, bali marang kang
ndarbeni.
(Kesadaran) semacam itu mana mungkin diterima? Karena semua ini adalah milik-Nya,
seluruh puji dan dzikir-mu, seluruh ucapanmu, itu semua milik Hyang Agung, tapi kamu
malah bermaksud mengembalikan, kepada yang mempunyai (maksudnya pemahaman
merasa terpisah dengan Tuhan, terpisah dengan Sumber Semesta dan merasa bahwa
manusia ini eksis sendiri, bukan wujud Tuhan, adalah pemahaman konyol menurut
Gatholoco. Manusia itu nisbi, manusia itu tidak ada, semua ini adalah wujud Tuhan.
Lantas jika ada yang meyakini, tubuh fisik ini milik kita yang dipinjamkan oleh Tuhan,
dan nanti akan kita kembalikan kepada-Nya, pemahaman semacam itu masih kurang
tepat menurut Gatholoco. Tidak ada pihak yang meminjamkan atau yang dipinjami. Yang
ada hanyalah TUHAN. Yang meminjamkan dan yang dipinjami, hanyalah illusi. Illusi
dari hasil mempelajari kitab-kitab seberang tersebut)
75. Apa ora nmu dosa, iku kabeh kagungane Hyang Widdhi, kpriye olehmu matur,
Kyai Guru saurnya, Sira iku maido kitabing Rasul, Gatholoco alon ngucap, Tan pisan
maido mami.
Sangat berdosa dirimu, karena ini semua adalah wujud Hyang Widdhi, bagaimana kamu
hendak menghaturkan (kembali), Kyai Guru menjawab, Kamu menghina kitab Rasul,
Gatholoco pelan menjawab, Bukan sekali ini aku menghina.

76. Sawuse sira tumingal, mring unine buku daluwang mangsi, landhatn kanyatahanmu,
rasane saking sastra, sarta maneh sira iku mau ngaku, besuk lamun sira pjah, anggawa
sanguning brangti.
(Dengarkan) setelah dirimu membaca, segala yang tercantum dalam kertas bertuliskan
tinta yang kamu sebut kitab suci itu, nyatakan dalam dirimu sendiri (jangan hanya
meyakini secara buta), intisari dari sastra (ayat) yang sudah kamu pelajari. Dan lagi kamu
tadi mengaku, kelak jika kamu meninggal, kamu membawa oleh-oleh yang sangat kamu
cintai. (cinta dalam bahasa Jawa adalah BRANGTA/BRANGTI atau ASMARADANA.
Menyiratkan pupuh selanjutnya adalah pupuh ASMARADANA)

_________________
Last edited by Koma on Mey 03, 2012 - www.koma.web.id

SERAT GATHOLOCO (11)


Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

PUPUH V
Asmaradana

1.Rehning sira wis ngakoni, benjang lamun sira pjah, rasakna badanmu kuwe, kalawan

cahyamu gsang, obah-osiking manah, anggawa lapal Suksmamu, munggah mring


suwarga loka.
Karena kamu sudah mengakui, kelak manakala kamu meninggal, Rasa badanmu (Sthula
Sariira/Jasad), berikut Cahaya Hidup (Atma Sariira/Ruh), serta segala sensasi pikiranmu,
terbawa pula Suksma (Suksma Sariira/Nafs)mu, naik ke Surga.

2.Sang Ijaril ingkang ngirid, sowan ngarsane Hyang Suksma, yen mangkono sira kuwe,
ora ngamungna neng dunya, olehmu dadi bangsat, aneng akherat dadi pandung, anggawa
dudu duweknya.
Sang (Malaikat) Izrail yang mengiringi, menghadap kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha
Gaib), jika memang begitu dirimu, tidak hanya didunia saja, dirimu menjadi maling,
diakherat-pun kamu menjadi maling, karena mengakui menghadapkan sesuatu yang
bukan milikmu (tapi kamu akui sebagai hak milik). (Maksudnya makhluk ini semua
adalah nihil alias tidak ada. Karena semua ini adalah perwujudan Tuhan. Lantas jika
merasa memiliki personalitas terpisah dengan Tuhan, bukankah itu illusi? Seseorang
yang mengaku memiliki personalitas sendiri yang terpisah dengan Tuhan, mengklaim
punya asset pribadi, berarti sama saja dengan seorang maling, yang mengklaim sesuatu
yang bukan miliknya. Dan lagi bagaimana bisa meng-klaim jika diri-nya itu sendiri
tidak ada?)

3.Sira aneng dunya iki, kadunungan barang glap, ora tuku ora nyileh, sira anggo sabn
dina, ing mangka aneng akherat, anggawa dudu duwekmu, dunya-kherat dadi bangsat.
Didunia ini dirimu, ketempatan barang gelap, tidak beli tidak pinjam, kamu pakai tiap
hari, sedangkan diakherat nanti, tetep kamu merasa memiliki yang bukan milikmu, dunia
akherat kamu maling!

4.Tanpa gawe jungkar-jungkir, nmbah salat madhep keblat, clumak-clumik kumcape,


angapalake alip lam, tgse iku lapal, angawruhana asalmu, urip prapteng kailangan.
Tak ada guna jumpalitan (dalam sembahyang), mendirikan shalat menghadap kiblat,
komat-kamit bibirnya, menghafalkan alif lam (maksudnya doa-doa), sesungguhnya
makna dari ayat-ayat yang kamu baca (itulah yang harus kamu resapi, bukan hanya
sehedar dihafal dan dibaca), karena dari ayat-ayat tersebut kamu akan mengetahui asal,
dan tujuan hidup-mu.

5.Sireku kaliru tampi, ngawruhi asale wayah, subuh luhur myang asare, mahrib lawan
bakda isak, saykti tanpa guna, sipat urip duwe irung, padha wruh marang wayah.
Dirimu salah mengerti, sangat-sangat mematuhi waktu-waktu shalat, mulai subuh dzuhur

hingga ashar, maghrib dan isya, sungguh tanpa guna, selayaknya hidup memiliki hidung
(maksudnya kepekaan Kesadaran), untuk memahami makna shalat.

6.Yen mangkono sira kuwi, mung mangeran marang wayah, tan mangeran Ingkang
Gawe, lamun bngi sarta awan, pijr ktungkul wayah, ora mikir mring awakmu, urip
prapteng kailangan.
Jikalau demikian dirimu (yang hanya sekedar mematuhi waktu shalat dan tidak
memahami makna dari shalat itu sendiri), hanya ber-tuhan-kan saat-saat shalat semata,
tidak ber-Tuhan-kan yang membuat waktu, siang dan malam hanya, berfokus mematuhi
waktu-waktu shalat semata, tidak meniti ke dalam diri, untuk memahami asal kehidupan
dan tujuannya.

7.Rasane badanmu kuwi, kagungane Rasulullah, cahyane uripmu kuwe, kagunganira


Pangeran, obah-osiking manah, Muhammad kang nggawa iku, duwekmu amung
pangrasa.
Rasa badanmu itu (Sthula Sariira/Jasad), milik/perwujudan Rasulullah (maksudnya Ruh
atau Atma), Cahaya hidup (Atma Sariira/Ruh)-mu itu, milik/perwujudan Pangeran
(Tuhan/Brahman/Allah), segala gerak-gerik batinmu (maksudnya Suksma Sariira/Nafs),
Muhammad yang menggenggam (Muhammad maksudnya juga Ruh atau Atma), milikmu
hanya Perasaan memiliki/Illusi saja!
(Jika Jasad ini milik/perwujudan Rasulullah (Ruh), Ruh milik/perwujudan Allah, Nafs
milik/perwujudan Muhammad (maksudnya Ruh juga), sedangkan Allah, Muhammad dan
Rasul itu tak lain adalah Allah juga, lantas apa yang hendak kita anggap sebagai
personalitas makhluk jikalau semua ini adalah PERWUJUDAN ALLAH? Hanya Illusi
saja yang menjadi milik para makhluk. ILLUSI MERASA DIRINYA ADALAH
ENTITAS YANG TERPISAH DENGAN SEMESTA BAHKAN DENGAN TUHAN
ITU SENDIRI!)

8.Mangka sira gawa kuwi, ora sira ulihna, balekna marang Kang Duwe, yen sira maksih
anggawa, titipan tri prakara, apa sira ora lampus, Kyai Guru duk miyarsa.
Sedangkan apa yang kamu akui itu (bahwa memiliki personalitas tersendiri dengan
Tuhan), tetap juga tidak kamu kembalikan (maksudnya tetap ber-Kesadaran seperti itu),
kepada Dia Yang Memiliki, jika kamu masih juga memegang (maksudnya tetap tidak
mau membuka Kesadaran) dan masih juga mengaku memiliki Triprakara (Tiga Unsur ~
Ruh/Atma, Nafs/Suksma dan Jasad/Sthula) sendiri, akan abadikah dirimu kelak? Kyai
Guru begitu mendengar (semua yang diuraikan Gatholoco).

9.Kethune binanting siti, muring-muring ngucap sora, Mring ngndi nggonku ngulihke,

ingsun tan rumasa nylang, titipan tri prakara, Gatholoco gya gumuyu, Sira urip tanpa
mata.
(Kyai Guru) seketika membanting kethu (kopiah)-nya ke tanah! Marah-marah dan
berkata kasar, Kemana aku mau mengembalikan!! Aku tidak merasa telah meminjam,
titipan Triprakara tadi, Gatholoco tertawa geli (mendapati yang diajak dialog tidak
memahami maksudnya namun malah marah-marah), Kamu memang hidup tanpa mata
(maksudnya Kesadarannya buta)!

10.Upama Padhanging Rawi, asalira saking Surya, sirna kalawan Srngenge, kalamun
Padhange Wulan, asale saking Wulan, sirnane kalawan Santun, bali maneh asalira.
Seandainya Cahaya Matahari, yang berasal dari Surya, akan terserap musnah hilang
kedalam Matahari kembali, seandainya Cahaya Rembulan, yang berasal dari Rembulan,
akan terserap musna hilang kedalam Rembulan, kembali keasalnya lagi!

11.Kasan Bsari nauri, Krana ngapa Rasanira, lan Cahyamu Urip kuwe, myang obahosiking manah, tan sira ulihna, marang Kang Kagungan iku, Gatholoco asru nyntak.
Kasan Bsari (Hassan Bashori) berkata, Lantas sekarang mengapa Rasa Badanmu
(Jasad/Sthula Sariira), beserta Cahaya Hidup (Ruh/Atma Sariira)-mu, berikut Gerak batin
(Nafs/Suksma Sariira)-mu, tidak kamu kembalikan (maksudnya masih terlihat nyata dan
belum musnah) kepada Yang Mempunyai ? Gatholoco keras membentak.

12.Ingsun iki ora wani, ngulihake durung masa, yen tan ana pamundhute, ingsun wdi
bok kinira, anampik sihireng Hyang, manawa nmu ssiku, sireku kaliru tampa.
Aku tidak berani, memusnahkan ini semua karena belum saatnya, jika tanpa ada
permintaan (dari Yang Mempunyai Perwujudan), aku takut nanti dianggap, menolak
kasih Hyang (Tuhan), dan akan mendapatkan balak, sungguh kamu yang sebenarnya
tidak paham! (Tidak paham akan maksud Gatholoco akan makna Mengembalikan
seperti yang telah diuraikannya diatas).

13.Kang kasbut kitab mami, pan saking Nabi Muhammad, Kyai Guru pangucape, Salat
witri iku iya, salat sakobrira, Gatholoco alon muwus, sireku kaliru tampa.
Menurut Kitab-ku, yang berasal dari Nabi Muhammad, Kyai Guru berkata lagi, Shalat
witir adalah, shalat yang tidak terikat waktu (maksud Kyai Hassan Bashori ada juga
shalat yang tidak harus berfokus pada waktu, yaitu shalat witir. Jadi salah jika Gatholoco
menganggap dirinya terlau mengagung-agungkan waktu), Gatholoco menjawab, Sekali
lagi dirimu tidak paham!

14.Yen mangkono sira kuwi, dudu umat Rasulullah, dene sira ngestokake, sarengate Nabi
lima, ndi panmbahira, mring Nabi Muhammad iku, Kyai Guru saurira.
Bahkan lagi dirimu, bukanlah ummat Rasulullah, karena dirimu meyakini, dan mengikuti
tingkah laku lima Nabi, mana shalat yang kamu jadikan untuk mengingat-ingat akan
keagungan, dari Nabi Muhammad? (Ada keyakinan beberapa aliran agama Islam,
bahwasanya shalat Subuh itu meniru Nabi Adam, manakala diturunkan di dunia, belum
tahu mana arah mata angin, lantas ketika matahari terbit, Nabi Adam bersujud syukur
karena tahu mana arah Timur. Lantas shalat Dzuhur, meniru Nabi Nuh, shalat Ashar
meniru Nabi Ibrahim, shalat Maghrib, meniru Nabi Musa dan Shalat Isya, meniru Nabi
Isa, dan rupanya keyakinan inilah yang dianut oleh Kyai Hassan Bashori, lawan debat
Gatholoco), Kyai Guru menjawab.

15.Smbahingsun salat witri, iya ing samasa-masa, Gatholoco pamuwuse, Sira iku santri
blasar, mangka Nabi Muhammad, ttela Nabi Panutup, tunggule nabi sadaya.
Untuk mengingat Nabi Muhammad adalah shalat Witir, tidak terikat waktu! Gatholoco
berkata, Kamu santri tersesat, padahal Nabi Muhammad, jelas-jelas Nabi Penutup,
penutup seluruh Nabi.

16.Parentahe ora sisip, wus kapacak aneng kitab, ingkang salah sira dhewe, kinen sujud
kaping lima, rina wngi mangkana, esuk-esuk wayah Subuh, sujud tumrap maring Adam.
Setiap perintahnya tidak keliru, sudah jelas didalam semua kitab, yang salah memaknai
adalah dirimu sendiri, diperintahkan sujud lima kali sehari, siang dan malam, pada saat
pagi hari waktu Subuh, sujud kepada Adam.

17.Iku dudu Adam Nabi, adam suwung sujudana, kang suwung langgng anane,
marmanira sinujudan, dene luwih kuwasa, ngilangake ptng iku, kagnten padhanging
surya.
Sesungguhnya bukan Adam Nabi, Adam berarti Kosong dan sujudlah, kepada Yang
Maha Kosong dan Yang Abadi Ada-Nya (tersebut), oleh sebab mengapa wajib untuk
bersujud, karena Yang Maha Kosong sungguh berkuasa, menghilangkan kegelapan, dan
menggantikannya dengan terang. (Maksudnya Yang Maha Kosong mampu memberikan
terang kepada Kesadaran semua makhluk dan mampu mengusir semua kegelapan batin).

18.Panase saya ngluwihi, saking kuwasaning Allah, surya iku darma bae, sakehe manusa
dunya, samya susah sadaya, krana saking panasipun, Nabi Muhammad parentah.
Menjelang tengah hari (maksudnya dalam pengembaraan Ruh didunia fana) panasnya

sangat-sangat menyiksa (maksudnya dualitas dunawi sangat membelenggu Ruh), karena


kuasa Allah, Matahari hanya sarana semata (maksudnya dualitas hanya sarana
menggembleng Kesadaran Ruh saja), seluruh manusia/makhluk didunia, sangat
menderita (terombang-ambing dualitas dunia), karena sangat-sangat panasnya, Nabi
Muhammad memerintahkan.

19.Marang umatira sami, supaya padha sujuda, marang Kang Murbeng alame, tatkala
patang rakangat, kabeh padha nuwuna, mring sudane panas iku, lan sudane dosanira.
Kepada seluruh ummatnya, agar ditengah hari bersujud, kepada Yang Menguasai Alam
(Dualitas), sebanyak empat rakaat, seluruh ummat diperintahkan untuk memohon, agar
mengurangi panas (penderitaan) duniawi, berikut memohon agar dilebur segala dosa-dosa
(seluruh karma buruk)-nya.

20.Lan padha nuwuna maning, linanggngna kaluhuran, kaya luhure srngenge,


pramilane lama-lama, tumurun saya andhap, daya asrp panasipun, wong akeh ngarani
Ngasar.
Dan juga agar memohon, tetap mendapat keluhuran (Tingginya Kesadaran), bagaikan
luhur (tinggi)-nya matahari kala tengah hari, lantas sedikit demi sedikit, matahari turun
semakin rendah, panasnya mulai berkurang (lambang penderitaan berganti dengan
kesenangan), semua orang menamakan waktu Ashar.

21.Nabi Muhammad ningali, parentah mring umatira, supayane sujud maneh, sarta padha
nnuwuna, langgng ananing Suksma, lan padha nuwuna iku, linanggngna kaluhuran.
Nabi Muhammad melihat, lantas memerintahkan kepada ummatnya, agar kembali
bersujud, dan agar memohon, kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha Gaib), agar tetap
langgeng (Ketinggian Kesadarannya walau penderitaan tengah berganti dengan
kegembiraan).

22.Pangeran Kang Maha Luwih, angganjar ing asorira, linanggngna kamulyane, dadine
bisa kalakyan, tumurun saya andhap, mulane ngaranan surup, sira padha sumurupa.
Tuhan Yang Maha Kuasa, mampu menganugerahkan kemuliaan dan kehinaan
(Kesadaran), semoga senantiasa langgeng kemuliaan Kesadaran, agar bisa selamat
sampai tujuan (Moksha/Jannatun Firdaus), semakin turun matahari, dinamakan surup
(sore), karena maksudnya sumurupa (ketahuilah)!

23.Kuwasanira Hyang Widdhi, bisa gawe ptng padhang, gawe unggul lan asore, kang

padhang tgse gsang, kang ptng iku pjah, Nabi Muhammad andulu, parentah mring
umatira.
Akan kekuasaan Hyang Widdhi, yang mampu membuat gelap dan terang, mampu
membuat tinggi dan rendah, yang terang maksudnya Hidup, yang gelap maksudnya
Mati, (Manusia disebut Hidup manakala telah mencapai Terang Sejati, dan manusia
disebut Mati manakala masih terikat jerat duniawi dan lahir berulang-ulang di alam
fisik ini), Nabi Muhammad melihat, lantas kembali memerintahkan kepada ummatnya.

24.Den purih sujuda maning, marang Ingkang Murbeng alam, dene luwih kuwasane, bisa
gawe ptng padhang, lan gawe pjah gsang, bilahi asor lan unggul, lama-lama kang
baskara.
Agar kembali bersujud, kepada Yang Menguasai Alam (Dualitas), karena kuasa-Nya,
mampu membuat gelap dan terang, membuat mati dan hidup, hina dan mulia (Dualitas
duniawi), lama-lama matahari.

25.Jagade datan kaeksi, ptnge saya katara, amratani jagad kabeh, manusane alam
dunya, rumasa kasusahan, krana saking ptngipun, amarga suruping surya.
Dunia tak terlihat, kegelapan semakin merebak, merata diseluruh jagad, seluruh makhluk,
merasa sedih, disebabkan karena kegelapan tersebut, gelap karena hilangnya matahari.
(Lambang dari kegelapan Kesadaran karena pengaruh dualitas duniawi).

26.Sagunge umat nuruti, nnuwun marang Pangeran, kanthi nangis panuwune, mulane
ngaranan Ngisa, tegese Anangisa, marang Ingkang Murbeng Luhur, Nnuwun supaya
padhang.
Seluruh ummat menurut, memohon kepada Tuhan, dengan isak tangis, makanya (bagi
orang Jawa) menyebut waktu shalat sehabis mahgrib adalah Ngisa, karena saat kegelapan
Kesadaran adalah saat untuk Anangisa (Menangislah), kepada Yang Menguasai
Keluhuran (Ketinggian), memohon supaya agar tetap diberikan terang (Kesadaran).

27.Kagnten padhanging sasi, sakehe manusa suka, uninga wulan cahyane, padhang sarta
ora panas, cacade mung pisahan, mulane ingaran santun, santun warna sabn dina.
Terang yang digantikan oleh terangnya Rembulan (maksudnya dalam kegelapan
Kesadaran, terang yang reduppun sudah cukup daripada gelap gulita tanpa cahaya
Kesadaran), seluruh makhluk bisa sedikit bersuka cita, melihat Rembulan dan cahayanya,
walau terang tiada panas, walaupun tidak stabil, makanya disebut santun (Berubah),
karena cahaya Rembulan (cahaya Kesadaran yang redup ditengah kegelapan), berubahrubah setiap hari. (Tidak stabil).

(Rembulan disebut juga Santun yang artinya Berubah-rubah/Tidak stabil oleh orang
Jawa, maksudnya Rembulan dilambangkan sebagai Kesadaran yang redup. Dan
Kesadaran yang redup sangat tidak stabil).

28.Tgse sasi samya sih, Kyai Guru aris mojar, kitab apa pathokane, Gatholoco
angandika, Barulkalbi arannya, mangrtine Barul: Laut, dene Kalbi iku Manah.
Arti Sasi (padanan kata Rembulan/Santun) adalah SA-mya SI-h (Semua Kasih ~
maksudnya walaupun ditengah kegelapan sekalipun, tetaplah menebarkan Kasih.
Walaupun ditengah Kesadaran redup karena pengaruh penderitaan duniawi, tetaplah
mengedepankan Kasih), Kyai Guru pelan bertanya, Dari Kitab apa semua yang kamu
uraikan tadi? Gatholoco menjawab, (Kitab) Barulkalbi (Bahri Al-Qalbi), Bahri artinya
Samudera, sedangkan Qalbi artinya Hati/Kesadaran.

29.Ati kang kaya jaladri, tanpa wats jero jmbar, lan maneh akeh isine, Kasan Bsari
ttannya, sira ora smbahyang, Gatholoco aris muwus, smbahyang langgng tan pgat.
Hati/Kesadaran yang luas seluas Samudera, tiada batas tiada terukur dalam dan luasnya,
dan sangat-sangat banyak terkadung isi mutiara, Kasan Besari (Hassan Bashori) bertanya,
Kamu menjalankan shalat? Gatholoco pelan menjawab, Shalatku langgeng tiada terputus.

30.Sujud-mami sujud eling, keblatku tngahing jagad, barng napasku sujude, napasku
mtu mbun-mbunan, salatku mring Pangeran, mtu saking utkingsung, smbahyangku
mring Hyang Suksma.
Sujud-ku Sujud Ingat (Maksudnya Kesadaran yang terus stabil), Kiblat-ku Pusat Semesta
(Maksudnya focus penyembahan adalah Inti Dunia dan Inti Makhluk, tak lain adalah
Brahman/Tuhan), Sujud-ku diiringi dengan Nafas (Maksudnya Kesadaran ini saat Ruh
terikat badan materi, sangat terkait dengan nafas. Pengendalian nafas mampu
mengendalikan Kesadaran juga. Nafas dan Kesadaran, saat badan materi masih
membelenggu Ruh, tidak bisa dipisahkan), Nafas-ku keluar dari ubun-ubun (Nafas yang
dikendalikan seolah bukan keluar masuk dari hidung lagi, tapi seolah-olah keluar masuk
dari ubhun-ubun, menyatu dengan Kesadaran), shalatku menghadap kepada Tuhan,
keluar dari otakku (Shalat yang terus menerus dilaksanakan keluar dari Kesadaran),
shalatku menghadap kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha Gaib).

31.Ingkang mtu lesan-mami, smbahyang mring Rasulullah, kang mtu irungku kiye,
ingkang Dzat pratandhanira, iku taline gsang, kabeh saking napasingsun, sbutku Allahu
Allah.
Pujian yang keluar dari lidahku, pujian kepada Rasulullah (Ruh), sama dengan pujian

yang keluar dari hidungku (nafas) ini, sesungguhnya semua perwujudan Dzat
(Hidup/Tuhan), nafas adalah pengikat Hidup (selama ada nafas, selama itu pula
Hidup/Tuhan/Dzat masih ada didalam badan materi), bisa dilihat dari adanya nafas,
pujian nafasku berbunyi Allahu Allah.

32.Sira padha ora ngrti, Rasulullah sabatira, iku durung linairke, lintang wulan lawan
surya, alam dunya wus ana, ykti tuwa suryanipun, iku kang kitab Ambiya.
Kalian semua tidak mengetahui, Rasulullah (maksudnya Nabi Muhammad) panutan
kalian, saat belum dilahirkan, seandainya diibaratkan dengan bintang rembulan dan
matahari, beserta bumi ini, jelaslah lebih tua matahari, hal ini tercatat dalam Kitab
Anbiya.

33.Kang tinitahake dhingin, dening Hyang Cahya Muhammad, iku lawan sakabate,
nanging wujud Roh samya, neng jroning Lintang Johar, mangka Lintang Johar iku,
wawadhahe Roh sadaya.
(Sebelum Nabi Muhammad lahir) yang ada dahulu, adalah Hyang Cahya Muhammad
(Nur Muhammad ~ Cahaya Terpuji/Cahaya Perwujudan Tuhan pertama kali yang
merupakan cikal-bakal semesta raya ~ Purusha dalam istilah Weda), beserta seluruh para
sahabatnya (maksudnya seluruh Atma-Atma semua), akan tetapi masih berwujud Ruh,
berada didalam kandungan Lintang Johar (Lintang ~ Bintang, Johar/Jauhar ~ Mutiara,
maksudnya juga Nur Muhammad tersebut), ketahuilah Lintang Johar itu, sumber segala
Ruh makhluk.

34.Babonira saking Urip, dadi saking Nur Muhammad, lintang rmbulan srngenge, ora
liya asalira, pan saking Nur Muhammad, mangka Lintang Johar iku, dadi pusre
Muhammad.
(Nur Muhammad atau Lintang Johar) adalah perwujudan Hidup (Allah), semesta raya ini
berasal dari Nur Muhammad, bintang rembulan matahari, tiada lain sumbernya dari sana,
berasal dari Nur Muhammad, sedangkan Lintang Johar, ibarat pusar (tempat keluarnya)
seluruh semesta.

35.Yen sira maido mami, dadi nampikakn sira, mring Kuran ssbutane, Kasan Beari
miyarsa, rumaos kaungkulan, mangkana denira muwus, Wis Gatholoco minggata.
Jikalau kamu membantahku, sungguh sama saja kamu menolak, kepada ajaran AlQuran, Kasan Besari (Hassan Bashori) mendengarnya, merasa kalah, beginilah dia
akhirnya berkata, Sudah Gatholoco minggatlah kamu dari sini!

36.Gatoloco anauri, sun linggih langgare Allah, kabnran panggonane, iki aneng tngah
jagad, ingsun snng kapenak, linggih langgar karo udut, ngnteni prentahing Allah.
Gatholoco menjawab, Aku duduk di musholla Allah, sangat nyaman tempatnya, aku
merasa dipusat semesta, aku merasa nyaman, duduk didalam musholla sembari
menghisap candu (spiritualitas), sembari menunggu perintah Allah.

37.Sakala Kasan Bsari, sidhakep kendl kewala, puwara alon wuwuse, wus dadi
prastyaningwang, kalamun bantah kalah, kabeh iki darbekingsun, sira wajib
mengkonana.
Seketika Kasan Besari (Hassan Bashori), bersendekap sembari diam, lantas terdengar
suaranya, Sudah menjadi janjiku, jikalau aku kalah berdebat, maka semua ini akan
menjadi milikmu, dirimu wajib memilikinya.

38.Ingsun rila lair batin, langgar wisma barang-barang, pasrah sah duwekmu kabeh,
santri murid ing Cpkan, ingkang snng ngawula, mara sira anggguru, wulangn ilmu
utama.
Aku rela lahir batin, musholla rumah berikut seluruh perabotan, aku berikan kepadamu
semua, para santri murid Cepekan, jika memang hendak tetap berguru, silakah berguru
kepadamu, ajarilah ajaran utama.

39.Para Kyai mitra mami, ingsun sumarah kewala, apa kang dadi karsane, manira saiki
uga, nja lunga llana, kabeh keriya rahayu, Kasan Bsari gya mangkat.
Para Kyai sahabatku semua, aku sudah pasrah, apa yang menjadi kehendak-Nya, diriku
sekarang juga, hendak berkelana, semoga yang aku tinggalkan disini mendapat
keselamatan, Kasan Besari (Hassan Bashori) segera berangkat.

40.Nalangsa rumasa isin, saparan kalunta-lunta, katiwang-tiwang lampahe, ingkang


kantun ing Cpkan, Gatholoco sineba, para murid tigang atus, andr samya munggeng
ngarsa.
Sangat-sangat malu, terlunta-lunta dalam perjalanan, sedih dalam pengembaraan, yang
ditinggalkan di Cepekan, Gatholoco dihadap, seluruh murid sebanyak tiga ratus orang,
bersila rapi berada dihadapan.

NB :
URIP ~ KANG NGURIPI ~ KANG GAWE URIP
PARAMASHIWA ~ SADASHIWA ~ ATMA
BRAHMAN ~ PURUSHA ~ ATMAN
ALLAH ~ (NUR) MUHAMMAD ~ RASUL (MUHAMMAD)
ALLAH BAPA ~ ALLAH PUTRA ~ ROH KUDUS

Mohon direnungkan.....

_________________
Last edited by Koma on Mey 03, 2012 - www.koma.web.id

SERAT GATHOLOCO (12)


Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA

41. Gatholoco sukeng galih, angandika mring sakabat, Sanak-sanakingsun kabeh, yen sira

arsa raharja, poma-poma elinga, aywa tiru lir gurumu, anggpe sawnang-wnang.

Gatholoco gembira dalam hati, berkata kepada seluruh sahabat (murid), Wahai saudaraku
semua, apabila dirimu ingin mendapat ketentraman, ingat-ingatlah kata-kataku, jangan
meniru tingkah laku gurumu (Kyai Hassan Bashori), sewenang-wenang kepada sesama.

42. Kang mangkono ora bcik, ngina-ina mring sasama, umat iku padha bae, pintr
bodho bcik ala, bja lawan cilaka, wong kuli tani priyantun, lanang wadon ora beda.

Tingkah yang demikian tidaklah patut, menghina sesama manusia, seluruh umat itu sama,
pintar bodoh tampan buruk, yang beruntung dan yang sengsara, kuli petani priyayi
(bangsawan), lelaki maupun perempuan tiada beda.

43. Wus pinsthi mring Hyang Widdhi, tan kna ingowahana, papsthene dhewe-dhewe,
mulane bcik narima, aywa katungkul sira, urip iku bakal lampus, aneng dunya
ngelingana.

Sudah menjadi ketetapan Hyang Widdhi, tak bisa dirubah, takdir dari setiap makhluk,
oleh karenanya terimalah, jangan terus merasa tidak puas, hidup ini pasti bakal mati,
hidup didunia selalu ingat.

44. Aja jubriya lan kibir, sumngah nggunggung sarira, open dahwen panastene, karm
dora pitnahan, jail silib melikan, angapusi agal alus, anggluweh dhmn sikara.

Jangan Jubriya (Riya : Suka pamer) dan Kibir (Takabbur : Sombong), senantiasa
menganggap diri yang paling unggul, suka mencampuri urusan orang suka sirik dan
gampang tersinggung, suka berbohong dan memfitnah, jahil suka selintutan dan gampang
mengingini milik orang lain, suka menipu baik secara kasar maupun halus, seenaknya
dan suka bertengkar.

45. Aja pisan ladak dir, watak angkuh nguja hawa, aja warg mangan sare, nglakonana
sawatara, ingkang sabar tawakal, ingkang sumeh aja nepsu, ngajeni marang sasama.

Jangan sesekali berlebihan, angkuh dan suka menuruti keinginan badani, jangan suka
banyak makan dan banyak tidur, jalanilah secukupnya, sabarlah dan tawakallah, yang
ramah dan jangan jadi pemarah, hargailah sesama manusia.

46. Aja sira gawe srik, aja sira gawe gla, aja gawe wdi kaget, iku aran najis karam,
nyandhang mangan ingkang sah, iku lakune wong ilmu, tan kna kanthi smbrana.

Jangan membuat sakit hati sesame, jangan membuat kecewa sesame, jangan suka
menakut-nakuti dan mengagetkan sesame, semua itu najis dan haram yang
sesungguhnya! Itulah sesungguhnya yang disebut memakai pakaian dan memakan
makanan sah (halal), dan itu pula jalan yang harus ditempuh oleh pelaku spiritual, tidak
bisa dibuat sembarangan.

PUPUH VI

Kinanti

1. Kudu ingkang nrimeng pandum, sumarah karsaning Widdhi, manusa darma kewala,
saikine sun takoni, apa mantp trusing driya, ngaku bapa marang mami.

Harus menerima kepada ketentuan hidup (karma yang kita terima), pasrah kepada Hyang
Widdhi, manusia sekedar menjalani, sekarang aku hendak bertanya, apakah kalian benarbenar telah mantap lahir batin, mengakui aku sebagai bapa kalian?

2. Lamun sira wus tuwajuh, gugunn pitutur iki, nanging sira aja samar, tan kna maido
ilmi, yen maido kna cndhak, uripe kamulyanneki.

Jika memang telah mantap lahir batin, ikutilah nasehatku ini, akan tetapi janganlah
gampang meremehkan ilmu orang, jika gampang meremehkan ilmu orang maka akan
mendapat kesempitan, sempit kemuliaan diri.

3. Kabeh sira anakingsun, badhenn pasemon iki, Lamun bngi ana apa, Yen awan

ingkang ngbki, Apa ingkang ora nana, Satuhune iya ndi.

Semua anak-anakku, jawablah perlambang yang aku uraikan ini, Ada apakah ditengah
keheningan malam? Apakah yang meliputi terangnya siang hari? Apakah sesuatu yang
tidak ada itu ? Sesungguhnya dimanakah (yang ada ditengah keheningan malam,
yang meliputi terangnya siang dan yang tidak ada tersebut?)

4. Doh tanpa wangn iku, Cdhak tan senggolan iki, Yen adoh katon gumawang, Yen
cdhak datan kaeksi, Lamun isi ana apa, Yen suwung luwih mratani.

Sangatlah jauh tanpa batasan pasti, Sangatlah dekat namun tak bersentuhan, Jikalau jauh
terlihat berpendar, Jikalau dekat tiada terlihat, Jika diumpamakan sebuah isi sesuatu
apakah itu? Jika diumpamakan kosong lebih dari kekosongan dan meliputi semuanya.

5. Lmbut tan kna jinumput, Agal tan kna tinapsir, Ingkang amba langkung rupak,
Kang ciyut wiyar nglangkungi, Bumbung wungwang isi apa, Sapa neng ngarpmu kuwi.

Sangat halus hingga tak bisa dijumput (dijumput ~ diambil dengan dua jari dengan sangat
hati-hati karena sangat kecilnya), Sangat nyata tapi tak bisa dinyatakan, Sangat lebar
namun juga sempit, Sangat sempit tapi lebarnya melebihi semua yang lebar, Sitengah
bilah bambu apa isi-nya? Bahkan dihadapanmu sekarang (siapakah Dia?)

6. Yen lanang tan nduwe jalu, Yen wadon tan duwe blik, Iya kene iya kana, Iya ngarp
iya buri, Iya kering iya kanan, Iya ngandhap iya nginggil.

Jika lelaki tapi tak memililiki kelamin laki-laki, Jika perempuan tak memiliki kelamin
perempuan, Ada disini dan ada disana, Ada di depan juga ada dibelakang, Ada dikiri juga
ada dikanan, Ada di bawah juga ada diatas.

7. Baitane ngmot laut, Kuda ngrap pandhgan nnggih, Tapaking kuntul ngalayang,
Pambarp adhine ragil, si Wlut ngleng ing parang, Kodhok ngmuli lengneki.

Perahu memuat seluruh samudera, Kuda berlari kencang ditempat pemberhentiannya

(banyak yang salah tulis dalam setiap primbon ungkapan ini, yaitu KUDA NGRAP ING
PANDNGAN, padahal yang benar KUDA NGRAP ING PANDHGAN (Kuda berlari
kencang ditempat pemberhentiannya/kandangnya. PANDHGAN ~ TEMPAT
BERHENTI = GDHOGAN), Jejaknya burung bangau yang tengah terbang melayang,
Yang sulung juga yang bungsu, Belut mempunyai rumah didalam batu cadas, Katak
menyelimuti rumahnya sendiri.

8. Wong bisu asru calathu, Jago kluruk jro ndogneki, Wong picak amilang lintang, Wong
cebol anggayuh langit, Wong lumpuh ngidri jagad, Aneng ngndi susuh angin.

Orang bisu tapi keras suaranya, Ayam jago berkokok didalam telurnya, Manusia buta
menghitung bintang dilangit, Manusia cebol menggapai langit, Manusia lumpuh
berkeliling dunia, Dimanakah kediaman angin?

9. Aneng ngndi wohing banyu, Myang atine kangkung kuwi, Golek gni nggawa diyan,
wong ngangsu pikulan warih, Kampuh putih tumpal pthak, Kampuh irng tumpal
langking.

Dimanakah inti air, Dimanakah pusatnya tumbuhan kangkung, Mencari api membawa
pelita, Mencari air memikul air, Kemben putih tertutup warna putih, Kemben hitam
tertutup warna hitam.

10. Tumbar isi tompo iku, Randhu alas angrambati, mring uwit smbukan ika, Sagara
kang tanpa tpi, Rambut irng dadi pthak, ingkang pthak saking ngndi.

Biji ketumbar berisi wadhahnya, Pohon randhu hutan merambat, kepada tumbuhan
simbukan (simbukan adalah jenis tumbuhan rambat, tapi malah dirambati pohon randhu
hutan), Lautan yang tak bertepi, Rambut hitam berubah putih, warna putih darimana
datangnya?

11. Irnge mring ngndi iku, Kalawan kang diyan mati, urube mring ngndi ika, golekana
kang pinanggih, yen tan wruh siya-siya, durung sampurna kang ilmi.

Dan kemanakah hilangnya warna hitam tadi? Dan lagi jika pelita padam, kemanakah

perginya nyala api? Carilah hingga ketemu, manakala tidak bisa mengetahui akan sia-sia,
tidak sempurna ilmu kalian.

12. Ingkang sarah munggeng laut, gagak kuntul saba sami, duk mencok si kuntul ika, si
gagak ana ing ngndi, gagak iku nulya tka, si kuntul mibr mring ngndi.
Benda padat memenuhi samudera, burung gagak dan burung bangau ikut datang,
manakala bangau bertengger diatas benda padat, burung gagak tiada kelihatan, manakala
burung gagak yang datang, burung bangau terbang kemana? (Benda padat ~ Jasad materi.
Samudera ~ Dunia materi. Burung gagak ~ Suksma Sariira/Nafs. Burung Bangau ~ Atma
Sariira/Ruh)

13. Prayoga kudu sumurup, kabeh sira anak mami, pralambang iku rasakna, kang katmu
padha jati, sajatining rasa ika, rasa jroning jalanidi.
Oleh karenanya harus bisa memahami, wahai kalian semua anak-anakku, seluruh
perlambang ilmu sejati ini renungkanlah, jika bisa memahami akan menemukan
kesejatian, sejatinya rasa, rasa sejati didalam samudera (hidup).

14. Sasmitann ingkang wimbuh, kawruhana ucap iki, kalawan pangrungunira, sarta
paningalmu ugi, tan ana ucap dwi ika, dadi solah tingkahneki.
Segala rahasia akan cepat tersingkapkan, benar-benar perhatikan ucapanku ini, dengan
sepenuh pendengaran, serta sepenuh penglihatan kamu, tiada lagi kebenaran kedua yang
menjadi sifatnya (sifat kebenaran sejati itu tunggal, tak mendua).

15. Ora sak tan srik iku, tan tsbehmu Dzatullahi, kang krasa yen datan mangan, den
krasa yen minum nnggih, smbahyanga den karasa, den krasa Dzatullah kuwi.
Jangan ragu jangan bimbang, bahkan pujianmu itu Dzatullah, rasakan benar-benar saat
kamu tengah kelaparan (tak makan ~ ditengah penderitaan), juga rasakan benar-benar
saat kamu meminum air (saat gembira), ditengah bersembahyang-pun rasakanlah,
rasakanlah bahwa semua ini Perwujudan Dzatullah!

16. Kang wus sawural Allahu, iku aran Salat Daim, ana maneh ingaranan, Martabate
Kasdu kuwi, lawan Takrul Takyin ika, mangrtine Kasdu kuwi.

Yang sudah mampu melihat semua ini adalah Allah, itu yang dinamakan Sholat Daim
(Daiman ~ Abadi/Tak terputus/Tak terbatas oleh waktu), ada lagi yang disebut

martabat/uraian/tingkatan tentang Kasdu, dan Takrul serta Takyin, yang disebut Kasdu
adalah.

17. Pikarpe niyat iku, ciptane ingkang dumadi, dene Takrul tgsira, pamkasing niyat
nnggih, dumadine panggraita, mangrteni ingkang Takyin.
Maksud/fokus dari niyat, kesadaran yang menjadi pegangan, sedangkan Takrul artinya,
akhir dari niyat tersebut, tercapainya kesadaran sejati, sedangkan Takyin.

18. Iku nyata yen satuhu, wasesane niyat kuwi, dumadine ingkang cipta, cthane iku
saykti, ingkang Kasdu kuwi Iman, ingkang Takrul iku Tohid.

Sungguh-sungguh melihat bukti, kuasa dari niyat, tercapainya puncak kesadaran,


sesungguhnya, yang disebut Kasdu adalah Iman (Keyakinan), yang disebut Takrul adalah
Tokid (Tauhid ~ Kesatuan Tunggal).

19. Kang Takyin Makrifat iku, kang Iman yen ana kuwi, ing niyat ingkang gumlethak,
ykti iku ora serik, tansah ningali ing Allah, kang Tohid nnge myang osik.

Yang disebut Takyin adalah Marifat (Menyaksikan Kesejatian), iman yang ada, harus
dibuat niyat penuh kepasrahan, hilangkan segala kebimbangan, hanya melihat kepada
Allah semata, Tauhid adalah menyadari Kesatuan gerak dan diam (makhluk dengan gerak
dan diam Tuhan).

20. Gletheke paningal iku, pamyarsa pangucapneki, nyata angn-angnira, ingkang


ngglethakakn Widdhi, myarsa ngucapkn psthinya, Allah tangala ngimbuhi.
Menyadari dengan penuh kesadaran bahwa semua penglihatan ini, pendengaran ini
berikut pengucapan ini, serta seluruh gerak pikiran-pikiran ini, semua adalah perwujudan
Hyang Widdhi, mendengar hingga berkata, Allah yang menggerakkannya.

21. Dadi aja sak srik iku, tingalira mring Hyang Widdhi, ana dene kang Makrifat, iku
nnge lawan mosik, annggih paningalira, pangrungu pangucapneki.
Jangan ragu-ragu lagi, fokuskan kesadaran bahwa semua ini adalah Hyang Widdhi,
sedangkan Marifat, diam serta gerak kalian, penglihatan, pendengaran pengucapan.

22. Dadi lan ing dhewekipun, tgse iku saykti, Bila tsbeh lire ika, tan loro kahananneki, apan mung Allah kewala, ingkang mosik mnng kuwi.
Wujud dan kepribadian kalian, sesungguhnya nyata adalah, Bila tesbeh (billa tasbih : tak
ada yang dipuji lagi), sesunguhnya tak ada dua, hanya Allah saja, yang diam dan
bergerak ini.

23. Pamiyarsa lan pandulu, nyatane kahanan iki, poma aja srik lan sak, sasmita
sariraneki, kang den ucap ingkang ngucap, tan liya Kang Maha Suci.

(Berikut) pendengaran dan penglihatan kita semua, sangat nyata keadaann ini semua
(adalah perwujudan Allah semata)! Jangan ragu dan bimbang lagi, akan rahasia dirimu,
apa yang kamu ucapkan dan yang mengucapkan, tak lain adalah Yang Maha Suci itu
sendiri!

24. Kudu ingkang awas emut, ora nana liya maning, lamun sira tinakonan, apa pangajape
Widdhi, mangkene wangsulanira, Pangawruhingsun mring Widdhi.

Senantiasa waspada dan ingat dalam kesadaran, bahwasanya tiada lain lagi (semua ini
kecuali Allah). Apabila kamu ditanya Apa yang Hyang Widdhi kehendaki darimu?
Jawablah, Menyadari Hyang Widdhi itu sendiri.

25. Kawimbuhan ilmunipun, Pangeran Kang Maha Suci, ana maneh soalira, apa ingkang
den arani, sakcap sarta satindhak, mnng mung sagokan kuwi.

Sehingga tercurahkan ilmu, (Kesejatian akan hakikat) Tuhan Yang Maha Suci, ada lagi
pertanyaan, siapakah yang, Mengucap dan Melangkah, Berdiam dan Bergerak ini semua?

26. Nulya saurana gupuh, ujar sakcap puniki, kang ngucap nnggih Hyang Suksma,
kang mlaku satindhak Widdhi, kang mnng sagokan ika, ingkang wus angel nggoleki.

Jawablah, Yang Mengucap, adalah Hyang Suksma (Tuhan), yang Melangkah adalah
Hyang Widdhi (Tuhan), yang Berdiam dan Bergerak, adalah Dia Yang Sulit Dicari.

27. Hyang Suksma ya dhirinipun, sarta lamun den takoni, pira Martabating Tingal,
saurana tri prakawis, Tasnip ingkang kaping pisan, Insan Kamil kaping kalih.

Tak lain adalah Hyang Suksma sendiri, manakala ditanya, berapakah


Martabat/tingkatan/uraian Penglihatan (Ruh)? Jawablah tiga perkara, Tasnip (Tasnif :
Penilaian) yang pertama, Insan Kamil (Insanulkamil : Manusia Sempurna) yang kedua.

28. Kadil Kapri kaping tlu, Tasnip: Idhp tgsneki, Insan Kamil: Kang Sampurna, iku
kaya Roh Ilapi, utawa Tasnip smunya, tingal luluh sampurnaning.

Kadil Kapri (Khadil : Mengecewakan, Qafri : Gurun, gurun yang


mengecewakan~maksudnya penglihatan yang palsu) yang ketiga, Tasnip (Tasnif) artinya
Idhep (Penilaian Kesadaran untuk melihat), Insan Kamil adalah (penglihatan) Yang
Sempurna, sudah menjadi Ruh ilapi (Ruh Idhofi : Ruh penambah kesempurnaan), atau
Tasnip maksudnya, penglihatan telah luluh sempurna (kepada Yang Dilihat).

29. Wahyu iku tgsipun, ingkang paningale sidik, iku ttp wahyunira, pramilane samya
wajib, den wninga prabedanya, anggenira aningali.
(Mendapat) wahyu (penglihatan sejati) maksudnya, bagi mereka yang penglihatan Ruhnya jernih, maka disebut tetap mendapatkan wahyu, oleh karenanya wajib bagi kalian,
mengetahui perbedaan (penglihatan Ruh diatas), disaat kalian hendak melihat Kesejatian.

30. Mring Nabi Wali Mukminu, Nabi ttp tingalneki, dene para mundur ika, ing tingale
Wali Mukmin, pira Martabating Lampah, wangsulana dwi prakawis.

Perbedaan (penglihatan) Nabi Wali maupun Para Mukmin, bagi yang sudah mencapai
tingkat ke-Nabi-an akan stabil penglihatannya, sedangkan dibawah tingkatan itu masih
labil, yaitu penglihatan Wali dan Mukmin, berapakah martabat/tingkatan/uraian dari
Lelaku (Riyadloh/Sadhana/Pencarian spiritualitas) itu? Jawablah ada dua perkara.

31. Dhingin kaya gni iku, kaping kalih kaya angin, smune kang kaya brama, pnt
panase pribadi, tgse sira mrih enggal, panrima kasuwen dening.

Yang pertama bagaikan api, yang kedua bagaikan angin, yang dimaksud bagaikan api,
mencari inti panasnya diri pribadi (berjuang membasmi panasnya kegelapan batin),
dengan cara tersebut akan membuat diri kalian cepat, mencapai tingkat kepasrahan.

32. Ingkang angin tgsipun, pnt tan kna pinurih, tgse wus ora pisan, susah angulati
malih, pira Martabating Badan, saurana tri prakawis.

Bagaikan angin maksudnya mencari sesuatu yang Tak dapat dicari, dimana Yang tak
tak dapat dicari tersebut sesungguhnya sekali-sekali, tidak perlu dicari jauh-jauh,
berapakah martabat/tingkatan/uraian tentang Badan?

33. Wondene ingkang rumuhun, kaya tanggal ping Pat nnggih, ping dwi kaya tanggal
Sanga, tanggal ping Patbelas ping tri, tgse tanggal kaping Pat, tulis lair tulis batin.

Yang pertama-tama, bagaikan bulan muncul ditanggal Empat (memakai perhitungan


sonar system), yang kedua bagaikan bulan muncul ditanggal Sembilan, yang ketiga
bagaikan bulan yang muncul ditanggal Empat belas, maksud bagaikan bulan tanggal
empat ( tangal empat jawa atau perhitungan kalender menggunakan sonar system, bulan
tidak akan kelihatan) berarti lahir batin masih nampak tersirat (masih benar-benar
tenggelam pada material dunia, masih diliputi kegelapan illusi)

34. Kaya tanggal Sanga iku, luluh sirna tgsneki, kahananira Pangeran, tanggal ping
Patbelas kuwi, dene sasjane sama, kaya Kang Ndadekkn nnggih.

Yang dimaksud bagaikan tanggal Sembilan (tanggal Sembilan jawa atau menggunakan
perhitungan kalender sonar system, bulan mulai muncul walau berbentuk sabit), yang
material mulai luluh dan sirna oleh karena, keberadaan Tuhan (mulai nyata), bagaikan
tanggal Empat belas (tanggal Empat belas jawa atau menggunakan perhitungan kalender
sonar system), seluruh kehendak telah sama, manunggal sama dengan Yang Menciptakan
Alam! (Illusi telah tersingkap, bagaikan Bulan Purnama. Tuhan telah mewujud nyata!)

35. Wus tumka wangnipun, tkane kawula kuwi, ora nja yen dadiya, dadi Gusti kang
saykti, nanging ykti dadi uga, pira Martabat Pamanggih.

Sudah mencapai tingkatan tertinggi, keberadaan Kawula (hamba), tak disengaja telah
menjadi, keberadaan Gusti Yang Sejati, dan benar-benar terjadi, berapakah
martabat/tingkatan/uraian dari Etika Tingkah Laku.

36. Saurana lima iku, kang dhingin Klthking ati, ingkang kaping kalihira, Katpking
lampah nnggih, Panjriting tangis ping tiga, Kthuk nutu ping pat nnggih.

Jawablah terdiri dari lima perkara, yang pertama bagaikan Kegelapan hati, yang kedua
bagaikan Suara langkah kaki, yang ketiga bagaikan Jerit tangis, yang keempat bagaikan
Suara ketukan orang menumbuk padi (jaman dahulu untuk memisahkan padi dengan
kulitnya, harus ditumbuk disebuah tempat yang namanya Lesung. Menumbuk padi dalam
istilah orang Jawa disebut Nutu. Disaat aktifitas menumbuk padi ini, suara ketukannya
akan terdengar indah berirama. Apalagi jika yang melakukan aktifitas lebih dari satu
orang. Suara yang terdengar sangat khas. Suara ketukan menumbuk padi ini dikenal
dengan sebutan gamelan Lesung.)

37. Cleret Ngantih ping limeku, dene Panjriting wong nangis, lawan Klthking wardaya,
myang Tpking wong lumaris, tuhune iku pangucap, martanipun akir kadi.
Dan bagaikan Pelangi yang kelima, maksud dari Jerit tangis, dan juga Kekotoran hati,
serta Suara langkah kaki, sesungguhnya adalah lambang dari kegelisahan batin yang tak
terucapkan, jika mampu menyadari hal ini maka pada akhirnya.

38. Kaya Kapilaku iku, ing tekade kang wus tampi, Calereting Ngantih ika, lir Sipat
Jamalullahi, Kethuking nutu upama, wdale pangucapneki.
(Harus dijadikan) Kaya Kapilaku (Haya alkafiilah : Untuk memastikan rasa malu ~
maksudnya segala kekotoran hati, jerit tangis/ketidak terimaan dan suara langkah
kaki/degub gemuruh ketidak tenangan adalah hal-hal yang patut dijadikan obyek
perasaan malu bagi yang ingin meningkatkan kejernihan diri. Kekotoran hati, Jerit
Tangis/ketidak puasan dan Suara Langkah Kaki/degup ketidak tenangan adalah rintangan
mencapai tingkat kesucian, seharusnya kita malu jika tetap memelihara hal-hal semacam
itu), itulah ketetapan diri bagi yang hendak belajar berserah total, Pelangi maksudnya,
bagaikan sifat Jamalullah (Jamil : Cantik ~ Jamalullah : Kecantikan Allah), Suara
ketukan orang menumbuk padi, lambang dari Ucapan yang telah keluar.
(Maksudnya, tiga perlambang awal, 1. Kletheking Ati : Kekotoran Hati, 2. Katepeking
Lampah : Suara Langkah/degup ketidak tenangan, 3. Panjriting Tangis : Jerit
Tangis/ketidak puasan, adalah lambang ketidak murnian diri yang seharusnya sangat
memalukan bagi manusia yang sadar. Ketidak murnian ini ada didalam diri yang

berputar-putar bagai awan panas menggelora. Lambang ke empat yaitu Kethuking Nutu
adalah Ucapan yang keluar dari orang yang sadar yang bisa menetralisir segala hal-hal
negative yang bergelayut didalam diri, sehingga ucapan yang keluar terdengar positif dan
indah, bagai suara orang menumbuk padi yang merdu. Dan jika hal ini bisa dibiasakan,
maka diri kita nyata telah menjadi perwujudan Pelangi atau Jamalullah : Kecantikan
Allah bagi sesama).

39. Nyata ora mamang iku, ora susah angulati, Hyang Agung Kang Maha Mulya, kang
ngucap iku Allahi, poma aja pindho karya, puniku ingkang sajati.
Nyata tidak diragukan lagi, tidak usah susah-susah mencari, Hyang Agung Yang Maha
Mulia, karena ucapan positif yang keluar dari manusia yang sadar semacam itu adalah
ucapan Allah, jangan meragukan lagi, inilah yang sesungguhnya!

40. Martabate bumi iku, saurana tri prakawis, Dzating Roh Ilapi ika, kaping pindho Roh
Jasmani, kaping tlu Tanpa Prenah, Tanpa Tuduh Tanpa Yekti.

Martabat/tingkatan/uraian dari bumi (maksudnya bumi adalah manusia ini), jawablah tiga
perkara, yang pertama Dzat Roh Ilapi (Dzat dari Ruh Yang Menguatkan, maksudnya
perwujudan dari Ruh Yang Menguatkan, tak lain adalah Nafs/Suksma Sariira. Nafs atau
Suksma Sariira adalah perwujudan Atma juga sesungguhnya.) Yang kedua Roh Jasmani
(Maksudnya adalah Jasad/Sthula Sariira, disini diistilahkan sebagai Ruhul Jasmani) dan
yang ketiga Tanpa Tempat, Tanpa Arah dan Tanpa Ada (Maksudnya Ruh/Atma).

41. Kang aran Muhammad iku, kang Kakiki kang Majaji, iku nuli saurana, kang aran
Muhammad Nabi, dene kang Kakiki iku, iya Dzatullah Ilapi.

Yang disebut Muhammad itu, apakah Kakiki (Hakiki : Intisari Gaib) atau yang Majaji
(Maujudi : yang berwujud nyata), maka jawablah, yang dinamakan Muhammad itu
adalah nama seorang Nabi, tapi hakekatnya yang disebut Muhammad itu, tak lain adalah
Dzatullah Ilapi (Dzatullahi Al-idhofi : Dzat Allah Yang Menambah Kekuatan bagi
semesta atau Energi Illahi).

42. Nabi Muhammad puniku, annggih ingkang Majaji, Dzatullah Jasadi ika, kang
Kakiki kang Majaji, loro-loroning atunggal, nyatane yen sira kuwi.

Nabi Muhammad itu, adalah yang berwujud sebagai manusia (ditanah arab), perwujudan

Dzatullah, sedangkan Muhammad yang Hakiki dan Maujud, kedua-duanya adalah


tunggal juga, semuanya ada didiri kalian (seluruh makhluk).
(Maksudnya Muhammad itu sesungguhnya adalah nama dari cahaya Allah, yaitu Nur
Muhammad (Nur : Cahaya, Muhammad : Terpuji). Inilah inti sari setiap makhluk.
Hakikat setiap makhluk. Secara hakikat dia melampaui segalanya, secara wujud nyata,
berwujud seluruh material semesta termasuk jasad fisik manusia. Maka benarlah jika kita
ini disebut perwujudan Nur Muhammad. Karena Nur Muhammad itu tak lain adalah
Allah juga. Dan Ruh kita ini disebut Rasul Muhammad (Rasul : Utusan, Muhammad :
Terpuji), percikan dari Allah juga. Oleh karenanya Allah, (Nur) Muhammad dan Rasul
(Muhammad) adalah satu kesatuan tunggal, dalam Ajaran Syeh Siti Jenar maupun Sunan
Kalijaga, sering hanya disebut ALLAH, MUHAMMAD, RASUL saja. Ada lagi yang
disebut Muhammad, yaitu seorang Nabi yang pernah hidup ditanah Arab dan yang
mengajarkan agama Islam)

43. Ingkang Tanpa Prnah iku, lawan Tanpa Tuduh kuwi, ing Kakekate Dzatullah, tan
liya psthi sireki, krana sajatine sira, poma aja pindho kardi.

(Kalianlah) perwujudan Yang Tanpa Tempat, Yang Tanpa Arah, kalian adalah
perwujudan kesejatian Dzatullah, tiada lain kalian semua ini, itulah sesungguhnya kalian,
jangan ragu-ragu lagi.

44. Martabat Nugrahan iku, lamun sira den takoni, pira nugrahaning Sadat, saurana tri
prakawis, iku ingkang ping sapisan, Ngningake Iman-neki.

Martabat/tingkatan/uraian Anugerah itu, manakala kalian ditanya, ada berapa Anugerah


Sahadat, jawablah tiga macam, yang pertama Menjernihkan Iman.

45. Ping dwi Ngeningken Tyasipun, ana dene kang kaping tri, Nglampahake Panggaotan,
Nugrahaning Salat nnggih, saurana tri prakara, Mgat Karsa ingkang dhingin.

Yang kedua Menjernihkan Hati/Kesadaran, dan yang ketiga


Menjalankan/mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. (Sahadat adalah kesaksian
diri, dimana sahadat sejati adalah Tiada Yang Lain di Alam ini kecuali Allah, dan Ruh-ku
ini adalah Utusan Allah. Kesaksian ini harus diimplementasikan kedalam kehidupan
sehari-hari, dengan jalan, pertama Menjernihkan Keyakinan bahwasanya semua makhluk
ini adalah perwujudan Allah dan utusan Allah, maka semua tiada beda, kedua

menjernihkan Kesadaran, dimana kita harus benar-benar melihat aku adalah kamu kamu
adalah aku, tak ada beda dan yang ketiga harus benar-benar dipraktekkan didalam
kehidupan sehari-hari dengan jalan menebarkan Kasih tiada henti. Jika bisa
melaksanakan hal ini, jelas bisa disebut Mendapat Anugerah dari memahami Sahadat
Sejati), Anugerah Shalat sekarang jika ada yang bertanya, jawablah tiga macam,
Mengontrol keinginan duniawi yang pertama.

46. Tinggal Cipta kalihipun, Amadhp ingkang kaping tri, Nugrahaning Takbir pira,
saurana tri prakawis, dhingin Kawruh dwi Kawruhnya, Jatining Wruh kaping tri.

Meningalkan segala Kesadaran rendah yang kedua, dan yang ketiga Mantap lahir batin,
Anugerah Takbir (Mengagungkan Allah) ada berapakah, jawablah tiga macam, pertama
Pengetahuan yang kedua Yang Mengetahui, Yang ketiga Hakikat Yang Hendak
Diketahui. (Maksudnya, manusia bisa disebut menerima Anugerah dalam memahami
Cara Pengagungan Allah jika bisa menyadari Pengetahuan yang benar, memahami
hakikat dirinya sebagai Yang Mencari Tahu, dan yang ketiga memahami siapa hakikat
Yang Hendak Diketahui itu)

47. Pituturku durung rampung, nanging iku bae dhisik, krana ingsun arsa lunga, ora lawas
ingsun bali, mrene maneh mulang sira, dimene imbuh mangrti.

Wejanganku belum selesai, akan tetapi ini dulu, sebab aku hendak pergi, tidak akan lama
aku akan kembali, kembali ke sini untuk mengajar kalian lagi, agar semakin bertambah
kesadaran kalian.

_________________
Last edited by Koma on Mey 03, 2012 - www.koma.web.id

Anda mungkin juga menyukai