DIAGNOSIS BANDING
Gagal ginjal akut
IX. Penatalaksanaan
I.
Oksigen 2-4 liter
II.
Pasang IV line
III.
Diazepam 3 x 2 mg im
IV.
Allopurinol 1 x 300 mg
V. ISDN 1 x 5 mg
VI.
Antrain 3 x 1amp iv
VII.
Amlodipin 1 x 10 mg
VIII.
Kaptopril 2 x 25 mg
IX.
Cefadroxil 2 x 500 gr
X. Diet protein 40/hari
XI.
Transfusi PRC 7 labu
XII.
Furosemide 2 x 40 mg
XIII.
Spironolakton 1 x 100 mg
XIV.
Ksr 2 x 1 tab
XV. Tonar 3 x 2 kaplet
XVI.
Asam folat 3 x 1 tab
XVII.
Metoclopramid 3 x 1 gr iv
BAB II
PEMBAHASAN
Analisis Kasus
Saya mendiagnosis pasien tersebut dengan gagal ginjal terminal karena ditemukan
kelainan seperti:
140 17 58,5
LFG
72 24,8
1. Laju filtrasi ginjal menurun <5%
Ginjal pada pasien ini memiliki Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) 4,02% yang dapat
berarti kerusakan ginjal derajat V yaitu gagal ginjal terminal. Laju filtrasi yang berkurang
1
menyebabkan semua zat sisa yang tidak dibutuhkan tubuh dapat menumpuk di dalam tubuh
seperti ureum dan dapat menganggu keseimbangan elektrolit seperti adanya filtrasi dan
reabsorbsi ion-ion seperti natrium dan kalium. Karena adanya gangguan-gangguan tersebut maka
dapat menjelaskan adanya kelainan-kelainan yang terdapat pada pasien tersebut.
Hipertensi dalam kasus ini dapat disebabkan karena adanya gangguan dari
keseimbangan natrium yaitu resistensi natrium yang menyebabkan adanya pengikatan H2O di
dalam vaskular. Retensi natrium dan air dapat mengakibatkan beban sirkulasi berlebihan
sehingga dapat menyebabkan edema anasarka.
Pasien ini terdapat azotemia yaitu peningkatan ureum hingga 251,7 mg/dl dan
kreatinin 24, 8 mg/dl. Azotemia ini dapat terjadi karena dengan adanya gangguan ginjal dapat
menyebabkan gangguan ekskresi NH4+. Ureum dalam darah dapat bertindak sebagai racun jika
tidak dibuang. Ureum yang bertindak sebagai racun antara lain guanidin, fenol, amin, urat,
kreatinin dan asam hidroksi aromatik, beberapa senyawa ini dapat bertindak sebagai
penghambat enzim dan dapat menyebabkan asidosis metabolik karena NH4+ pada saat
diekskresikan membawa ion H+ tapi karena tertahan di dalam tubuh sehingga pH di dalam tubuh
menjadi turun. Asidosis metabolik ini dapat menyebabkan gejala-gejala seperti yang dialami
pasien ini yaitu mual muntah rasa sesak napas pada pasien.
Karena dasarnya adalah adanya gangguan perfusi ginjal hal ini dapat menyebabkan
juga hiperurisemia seperti yang terjadi pada pasien ini, hiperurisemia terjadi karena adanya
gangguan ekskresi dari asam urat, biasanya 75% dari total asam urat diekskresi oleh ginjal.
Os mengalami anemia, penyebab utama anemia adalah berkurangnya pembentukan
sel-sel darah merah disebabkan defisiensi eritropoietin dari ginjal, dan uremik toksik dapat
menginaktifkan eritropoietin atau menekan respons sumsum tulang terhadap eritropoietin. Pada
gagal ginjal umur hidup eritrosit berkurang menjadi setengahnya disebabkan karena lingkungan
kimia plasma. Pada hitung jenis ditemukan burr cell yaitu eritrosit yang menciut hal ini dapat
mengindikasikan dehidrasi berat sehingga timbul mekanisme perpindahan cairan intrasel ke
ekstrasel untuk mngkompensasi dehidrasi tersebut.
Penanganan gagal ginjal terminal, apapun etiologi penyakitnya, memerlukan
pengobatan atau terapi pengganti (TP), seperti dialysis ataupun transplantasi ginjal. Pada
umumnya indikasi dialysis pada GGK adalah bila LFG <5 ml/menit, keadaan pasien yang hanya
mempunyai ciri ini tidak selalu sama, sehingga dialysis dianggap baru perlu dimulai bila
dijumpai salah satu tanda, yaitu keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata, K serum > 6
mEq/L, ureum darah > 200 mg/dl, pH darah < 7,1, anuria berkepanjangan (> 5 hari) dan fluid
overloaded. Pasien ini memiliki indikasi hemodialisa karena laju filtrasi ginjalnya adalah 4,02%
dan ureum darah 283,2 mg/dl.
1. PENYAKIT GINJAL KRONIK
Epidemiologi
Angka prevalensi dari CKD -secara umum didefinisi sebagai kerusakan dari fungsi ginjal yang
ireversibel- pada pokoknya lebih besar dari jumlah pasien dengan pasien gagal ginjal terminal,
saat ini lebih dari 300.000 di amerika. Terdapat spektrum penyakit berkaitan dengan penurunan
fungsi ginjal: gambaran klinik dan pilihan terapi sangat berbeda tergantung apakah penurunan
LFG berderajat sedang(30-59 mL/min/1,73 m2), berat (15-29 mL/min/1,73 m2) atau mendekati
ginjal terminal (<15 mL/min/1,73 m2). Dialisis biasanya dibutuhkan untuk mengendalikan gejala
uremia dengan LFG <10 mL/min/1,73 m2.
Batasan
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik
dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit
ginjal kronik.
Kriteria penyakit ginjal kronik, seperti yang tertulis pada tabel 1.
Tabel 1 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau
kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60
ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas
dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
(
)
LFG (ml/mnt/1,73 m2)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
(
)
Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat
Penjelasan
LFG (ml/menit/1,73m)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG ringan
60-89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
30-59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
15-29
5
Gagal ginjal terminal
< 15 atau dialisis
Klasifikasi atas dasar diagnosis, tampak pada tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit
Tipe Mayor (contoh)
Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
3
Glomerulopathies
Primary glomerular diseases:
Focal and segmental glomerulosclerosis
Membranoproliferative glomerulonephritis
IgA nephropathy
Membranous nephropathy
Secondary glomerular diseases:
Diabetic nephropathy
Amyloidosis
Postinfectious glomerulonephritis
HIV-associated nephropathy
Collagen-vascular diseases
Sickle cell nephropathy
HIV-associated membranoproliferative glomerulonephritis
Tubulointerstitial nephritis
Drug hypersensitivity
Heavy metals
Analgesic nephropathy
Reflux/chronic pyelonephritis
Idiopathic
Hereditary diseases
Polycystic kidney disease
4
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin
dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak
aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron , sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas inter individual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal
(renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tetapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. sampai pada LFG sebesar 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG
dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah
dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran napas maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipovolemia atau hipervolemia. Gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium
dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
5
Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara
Gambaran klinis
Gambaran klinis pasien penyakit gagal ginjal kronik meliputi : a). Sesuai penyakit yang
mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, lupus
eritematous sistemik (LES) dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah,
letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara
lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).
Signs
General
Fatigue, weakness
Skin
ENT
Urinous breath
Eye
Pulmonary
Pale conjunctiva
Shortness of breath
Nocturia, impotence
Isosthenuria
Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratoris penyakit ginjal kronik meliputi : a). Sesuai penyakit yang
mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan berupa kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcrouft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan
biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper
atau hipokalemia, hiponatremia, hipo atau hiperkloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast isostenuria.
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi : a). Foto polos abdomen, dapat
tampak batu radio-opak. b). Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping ke khawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau retrograd
dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal
yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindahan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan biopsi dan patologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal dikontra indikasikan
pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefritik, gangguan pembekuan darah, gagal napas
dan obesitas.
DIAGNOSIS BANDING
Langkah pertama dalam mendiagnosis banding CKD adalah menetapkan kekronikan penyakit,
dilakukan dengan menyingkirkan adanya komponen akut mayor. Dua cara yang paling sering
digunakan dalam menentukan kekronisan penyakit adalah riwayat penyakit dan USG renal,
yang digunakan untuk mengukur ukuran ginjal. Secara umum ginjal yang telah mengecil (<1011,5cm, tergantung pada ukuran tubuh) kemungkinan dipengaruhi oleh penyakit kronik.
Walaupun kespesifikannya sangat beralasan, pengurangan massa/ukuran ginjal hanya dianggap
sebagai marker yang sensitif untuk CKD. Terdapat beberapa kondisi umum yang relatif dimana
penyakit ginjal mungkin menjadi kronik, tanpa pengurangan ukuran ginjal. Nefropati diabetik,
nefropati terkait HIV, dan penyakit infiltratif seperti multipel mieloma dapat diasosiasikan
dengan ginjal yang berukuran besar meskipun merupakan penyakit kronis. Biopsi renal
merupakan pemeriksaan yang lebih diandalkan dalam membuktikan kekronisan penyakit.;
predominan dari glomerulosclerosis atau fibrosis interstitial adalah bukti yang kuat dari penyakit
kronik. Hiperfosfatemia dan kelainan elektrolit lainnya bukan merupakan indikator yang dapat
diandalkan dalam membedakan penyakit akut dari penyakit kronik.
Ketika kekronisan penyakit telah ditetapkan, hasil dari pemeriksaan fisik, laboraturium
dan sedimen urin dapat digunakan untuk menentukan etiologi penyakit. Riwayat penyakit yang
detail akan dapat mengidentifikasikan kondisi komorbid seperti diabetes, HIV seropositif, atau
penyakit vaskular perifer. Riwayat penyakit keluarga sangat penting dalam pencarian adanya
penyakit ginjal polikistik dominan atau nefritis herediter (sindrome alports). riwayat pekerjaan
dapat mengungkap adanya paparan dengan toksin atau obat (termasuk analgetik atau obat
traditional cina).
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan massa abdominal (contoh: ginjal polikistik),
pulsus deficit (contoh: penyakit vaskular perifer atherosklerotik), atau memar abdomen (contoh:
penyakit renovaskular). Riwayat pasien dan pemeriksaan dapat juga menghasilkan data yang
penting mengenai keparahan penyakit. Adanya jari yang memendek, dan atau nodul subkutan
dapat terlihat pada CKD lanjut dan hiperparatiroidism sekunder. Ekskoriasi (pruritus uremia),
pucat (anemia), massa otot yang mengecil dan fetor nitrogen adalah tanda dari CKD yang lanjut,
sebagaimana pericarditis, pleuritis dan asteriksis, komplikasi yang biasanya menjadi tanda harus
dimulainya dialisis.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat
dilihat pada tabel 6.
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius,
obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.
Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi ginjal dapat dilihat pada gambar 1.
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:
Pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60
ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0,6-0,8 gr/KgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai
biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/KgBB/hari, dibutuhkan
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan
kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein
tidak dapat disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion
hydrogen, pospat, sulfat dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena
itu pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan
mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein
berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang
akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karen asupan protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian
tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein,
dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Disamping itu sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas
bahwa proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal dengan kata lain
derajat proteinuria berkaitan dengan perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertenis terutama penghambat enzim konverting angiotensin (ACE
inhibitors) melalui beberapa studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi
ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting karena 4045% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal
yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia,
pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Semua ini terlihat dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal
kronik secara keseluruhan.
11
Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna,
hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi
terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit 30%, meliputi
evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/TIBC, feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain
sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab
lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi
dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan
secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah
yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia
dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12
g/dl.
Osteodistrofi renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar 2. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan
12
13
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang
dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau
transplantasi ginjal.
2. HEMODIALISIS
Pada GGT, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung
ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa
dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial)
dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen,
berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa
metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan
konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang
rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis,
air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara
menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini
disebut ultrafiltrasi.
Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah.
Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan
berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1)
perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di
kompartemen darah dan (3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi.
14
Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi (gambar
2). Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai
konsentrasinya sama di kedua kompartemen.
Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selukosa yang diperkaya, selulo
sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi komplemen oleh gugus
hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantikan oleh
membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh
membran selulosa.
Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan
membran yang tersedia adalah dari 0,8 m2 sampai 2,1 m2. Semakin tinggi luas permukaan
membran semakin efisien proses dialisis yang terjadi.
Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter
setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat
dengan mudah berdifusi kedalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan
dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dialisat perlu
dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan tubuh. Dengan
teknik reverse osmosis air akan melewati membran semi permeabel yang memiliki pori-pori
kecil sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium dan
klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai
penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari 200 koloni/ml
dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar
135/145 mEq/L. bila kadar natrium lebih rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan
hemodinamik selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi
gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pasca
dialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minum lebih
banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama hemodialisis yang sulit ditanggulangi
maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan dialisat dibuat lebih tinggi.
Dialiser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis.
Dilaporkan 80% pasien hemodialisis di amerika serikat dilakukan daur ulang sedangkan
dieropa sekitar 10%. Segera setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicuci dengan cairan
dialisat yang banyak untuk menghilangkan bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser.
Dilakukan pengukuran volume dialiser untuk mengetahui apakah dialiser ini masih dapat dipakai
dan dilihat apakah terdapat cacat jasmaninya. Umumnya dipakai kembali bila volume dialiser
80%. Setelah itu dialiser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4%). Sebelum
digunakan kembali dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua formaldehid.
Formaldehid yang tersisa dalam dialiser dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan hal ini
dapat menimbulkan gangguan pada pasien.
15
Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering digunakan yaitu cairan asetat dan
bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana
asam didalam darah yang akan bermaifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat cairan
asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokontriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh
untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan
cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat kedalam darah yang akan menetralkan
asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan gagal ginjal terminal dan juga tidak
menimbulkan vasodilatasi.
Pada proses dialisis terjadi aliran darah diluar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi
aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis
diperlukan pemberian heparin selama dialisis berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin
yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik
yang paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan secara bolus diikuti dengan
continous infusion. Pada keadaan dimana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik
heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan risiko perdarahan berat
misalnya pada pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia, koagulopati dan pasca
operasi dengan perdarahan.
Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke dialiser, harus memadai sehingga perlu suatu
akses khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah dibuatkan fistula
dengan arteri radialis atau ulnaris. Terdapat shunt aliran darah arteri ke vena sehingga vena akan
membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat bertahan bertahuntahun dan komplikasinya hampir tidak ada.
16
Kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis.
Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan mortalitas
pada pasien dialisa. Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan
(KT/V). urea dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis dengan
kadar ureum pasca dialisis dibagi kadar ureum pasca dialisis. Pada hemodialisis 2 kali seminggu
dialisis dianggap cukup bila URR-nya lebih dari 80%. Cara lain menghitung adekuasi dengan
menghitung KT/N. terdapat rumus Dougirdas untuk menghitung KT/N dengan memasukkan
nilai ureum pra dan pasca dialisis, berat badan pra dan pasca dialisis. Pada hemodialisis 3 kali
seminggu KT/N dianggap cukup bila lebih besar atau sama dengan 1,8.
Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG
sudah kurang dari 5 mL/menit) yang didalam praktek dianggap demikian bila (TKK) <5
mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKII <5 mL/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap baru perlu bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah:
Hemodialisis di indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan dibanyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang
kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel (hollow fibre kidney).
Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14
tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
pasiennya. Bila pasien masih mengalami kelebihan volume cairan di dalam sirkulasi darahnya,
maka digunakan cairan dengan konsentrasi yang lebih tinggi agar kelebihan cairan berpindah
kedalam cairan dialisat.
Indikasi pemakaian dialisis peritoneal
Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien:
1.
2.
3.
4.
5.
18
Pasien diajar mandiri dalam melakukan dialisis sehingga lebih percaya diri
Waktu lebih bebas, dapat dilakukan di rumah/tempat kerja
Proses dialisis lebih 'lembut', tidak terjadi lonjakan-lonjakan penurunan tekanan darah yang
drastis seperti pada hemodialisis sehingga lebih cocok bagi pasien dengan gangguan fungsi
jantung
Tahan lama asalkan dilakukan dengan benar sesuai petunjuk dan dilakukan dengan higienis
Komplikasi mekanis
Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kencing, atau hati)
Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat kateter
19
b.
c.
Komplikasi radang
Prognosis
Angka kematian lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis dibandingkan pada
pasien kontrol dengan umur yang sama. Angka kematian setiap tahun adalah 21,2 setiap seratus
pasien per tahun. Angka kelangsungan hidup yang diharapkan pada pasien grup usia 55-64 tahun
adalah 22 tahun sementara pada pasien dengan gagal ginjal terminal angka kelangsungan hidup
adalah 5 tahun. Penyebab utama kematian adalah disfungsi jantung (45%). Penyebab lainnya
termasuk infeksi (14%), penyakit cerebrovaskular (6%), dan keganasan (4%). Diabetes, umur,
albumin serum rendah, status sosial ekonomik rendah dan dialisis inadekuat adalah prediktor
signifikan dalam angka kematian.
Bagi pasien yang membutuhkan dialisis untuk mempertahankan hidupnya namun
memilih untuk tidak melakukan dialisis, kematian bisa terjadi dalam hitungan hari sampai
minggu. Secara umum terjadi uremia dan pasien kehilangan kesadaran menjelang kematian.
Aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan elektrolit. Hipervolemia dan dispnea
dapat ditatalaksana dengan restriksi cairan dan opioid.
Sementara pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal, pasien bisa kembali hidup
normal seperti biasa meskipun harus menjalani medikasi dengan regimen imunosupresif.
20
Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap
akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti lebih baik
dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu
diantaranya adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik. Misalnya seorang
perempuan muda yang menerima ginjal transplant bisa hamil dan melahirkan bayi yang sehat.
Manfaat transplantasi ginjal paling jelas terlihat pada pasien usia muda dan pasien diabetes
melitus. Sebagai contoh, pasien dialisis nondiabetik yang berumur 20-39 tahun mempunyai
harapan hidup 20 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi
31 tahun lagi. Pasien dialisis yang diabetik pada kelompok yang sama mempunyai harapan hidup
8 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi 25 tahun lagi.
Keuntungan transplantasi ginjal dibandingkan dengan hemodialisis kronik.
Prosedur
Kualitas hidup
(jika berhasil)
Ketergantungan pada
fasilitas medik
Jika gagal
Angka kematian pertahun
Transplantasi Ginjal
Biasanya satu kali
Baik sekali
HD kronik
Seumur hidup
Cukup baik
minimal
besar
meninggal
20-25 %
Cangkok ginjal adalah mencangkokkan ginjal sehat yang berasal dari manusia lain
(donor) ke tubuh pasien gagal ginjal terminal melalui suatu tindakan bedah (operasi). Biasanya
ginjal cangkokan ditempelkan (dicangkokkan) di sebelah bawah pada pembuluh darah yang
sama dari ginjal lama yang sudah 'tidak' berfungsi sedangkan ginjal lama dibiarkan ditempatnya.
21
Kenyataan bahwa manusia dapat hidup dengan satu ginjal membuat cangkok ginjal
begitu populer sebagai upaya terakhir bagi penyembuhan gagal ginjal terminal, selain itu
membuat para calon pendonor ginjal bersedia 'menyumbangkan' satu ginjalnya bagi orang lain
yang memerlukan.
Transplantasi ginjal dapat memanfaatkan ginjal donor hidup yang sehat atau ginjal donor
jenazah, juga ginjal xenogenik. Sebagian besar negara di Asia sudah memanfaatkan donor
jenazah, sedangkan Indonesia belum memanfaatkan donor jenazah. Proses evaluasi calon donor
hidup :
(1)
(2)
Penjaringan Donor
Edukasi resipien tentang donasi donor hidup dan jenazah
Anamnesis riwayat keluarga dan penjaringan calon donor
Konfirmasi kesamaan golongan darah ABO donor-resipien
Pemeriksaan tissue typing dan cross match
Pilih donor yang paling sesuai
Edukasi calon donor tentang proses evaluasi dan donasi
Evaluasi Donor
Arter
iografi ginjal
Tes
cross
match
sebelum
transplantasi
Walaupun cangkok ginjal merupakan terapi terbaik bagi pasien Gagal Ginjal Kronik
Stadium Terminal, namun bukan perkara mudah bagi pasien untuk memasuki fase ini disebabkan
banyaknya kendala yang menghadang. Kendala yang sering dialami pasien yang ingin atau telah
melakukan cangkok ginjal antara lain:
Ketersediaan donor ginjal. Jumlah donor di Indonesia masih sangat kecil, hanya 15 donor
ginjal per tahunnya, dibandingkan dengan terjadinya 2.000 kasus baru penyakit ginjal
kronik stadium akhir per tahunnya.
Tingginya biaya operasi cangkok ginjal. Dana yang diperlukan untuk persiapan transplantasi
ginjal di RS dalam negeri berkisar dari 28,5 juta hingga 35 juta rupiah. Total biaya
transplantasi di dalam negeri sekitar 80 juta hingga 250 juta rupiah. Sedangkan bila
dilakukan di luar negeri akan menghabiskan biaya sekitar 100 juta hingga 570 juta rupiah.
Kecocokan donor dengan resipien. Bila donor sudah tersedia atau bersedia, belum tentu akan
cocok bila ginjalnya dicangkokkan ke tubuh resipien. Donor dan resipien perlu menjalani
serangkaian pemeriksaan untuk memperkirakan kecocokan dan tingkat keberhasilan operasi
cangkok ginjal yang akan dilaksanakan.
Terjadinya penolakan (rejection) setelah operasi cangkok ginjal. Rejection merupakan
masalah terbesar bagi pasien pasca operasi cangkok ginjal.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Tessy Sp.PD, Prof. DR. Dr. Agus, dkk. GINJAL HIPERTENSI: BUKU AJAR ILMU
PENYAKIT DALAM. Jakarta: pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal 570-590.
24