Skenario 3-Emergency
a
Skenario 3-Emergency
a
Skenario 3-Emergency
a
Penyakit ini sering disebabkan oleh virus. Biasanya merupakan perluasan radang saluran
nafas bagian atas oleh karena bakteri Haemophilus Influenzae, Staphylococcus,
streptococcus, atau pneumococcus. Timbulnya penyakit ini sering dihubungkan dengan
perubahan cuaca atau suhu, giza yang kurang/malnutrisi, imunisasi yang tidak lengkap dan
pemakaian suara yang berlebihan
2.3. patofisiologi
Laringitis akut merupakan inflamasi dari mukosa laring dan pita suara yang
berlangsung kurang dari 3 minggu. Parainfluenza virus, yang merupakan penyebab terbanyak
dari laringitis, masuk melalui inhalasi dan menginfeksi sel dari epitelium saluran nafas lokal
yang bersilia, ditandai dengan edema dari lamina propria, submukosa, dan adventitia, diikuti
dengan infitrasi selular dengan histosit, limfosit, sel plasma dan lekosit polimorfonuklear
(PMN). Terjadi pembengkakan dan kemerahan dari saluran nafas yang terlibat, kebanyakan
ditemukan pada dinding lateral dari trakea dibawah pita suara. Karena trakea subglotis
dikelilingi oleh kartilago krikoid, maka pembengkakan terjadi pada lumen saluran nafas
dalam, menjadikannya sempit, bahkan sampai hanya sebuah celah. Membran pelindung plika
vokalis biasanya merah dan membengkak. Puncak terendah pada pasien dengan laringitis
berasal dari penebalan yang tidak beraturan sepanjang seluruh plika vokalis. Beberapa
penulis percaya bahwa plika vokalis mengeras daripada menebal. Pengobatan konservatif
seperti yang disebutkan sebelumnya biasanya cukup mengatasi inflamsi laring dan
mengembalikan aktivitas vibrasi plika vokalis.1
2.4. manifestasi klinis
ada laringitis akut ini terdapat gejala radang umum, seperti demam, malaise, gejala
rinofaringitis. Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara
yang kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara
Skenario 3-Emergency
a
yang biasa / normal dimana terjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam pendekatan
kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjada parau bahkan
sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).8
Sesak nafas dan stridor
Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menelan atau berbicara.
Gejala radang umum seperti demam, malaise
Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam dengan temperatur
yang tidak mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.
Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan, sumbatan
hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang sangat berarti
yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas yang disertai dengan
nyeri diseluruh tubuh.1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Umumnya penderita penyakit ini tidak perlu masuk rumah sakit, namun ada
indikasi masuk rumah sakit apabila :
Usia penderita dibawah 3 tahun
Tampak toksik, sianosis, dehidrasi atau axhausted
Diagnosis penderita masih belum jelas
Perawatan dirumah kurang memadai
1.
2.
Perawatan Umum
Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari
Jika pasien sesak dapat diberikan O2 2 l/ menit
Skenario 3-Emergency
a
3.
Menghirup uap hangat dan dapat ditetesi minyak atsiri / minyak mint bila ada
muncul sumbatan dihidung atau penggunaan larutan garam fisiologis (saline 0,9 %)
yang dikemas dalam bentuk semprotan hidung atau nasal spray
Perawatan Khusus
Terapi Medikamentosa
1. Antibiotika golongan penisilin
Anak 50 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis
Dewasa 3 x 500 mg perhari.3
Menurut Reveiz L, Cardona AF, Ospina EG dari hasil penelitiannya menjelaskan dari
penggunaan penisilin V dan eritromisin pada 100 psien didapatkan antibiotic yang
lebih baik yaitu eritromisin karena dapat mengurangi suara serak dalamsatu minggu
dan batuk yang sudah dua minggu.10
2.
Kortikosteroid diberikan untuk mengatasi edema laring.1
2.7. komplikasi
- laringitis kronik
- pada usia tua dapat menyebabkan pneumonia
2.8. prognosis
Prognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik dan pemulihannya selama satu
minggu. Namun pada anak khususnya pada usia 1-3 tahun penyakit ini dapat menyebabkan
udem laring dan udem subglotis sehingga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan bila
hal ini terjadi dapat dilakukan pemasangan endotrakeal atau trakeostomiaik.8
3. M & m Steven Johnson Syndrome
3.1. definisi
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit,
kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
3.2. etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai
penyebab adalah:
1. Alergi obat secara sistemik
a. penisilin, analgetik, arti piuretik
b. Penisilline dan semisentetiknya
c. Sthreptomicine
d. Sulfonamida
Skenario 3-Emergency
a
e. Tetrasiklin
f. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan
paracetamol)
g. Kloepromazin
h. Karbamazepin
i. Kirin Antipirin
j. Tegretol
2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3. Neoplasma dan faktor endokrin
4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
3.3. patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.
Reaksitipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil
yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran
(target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
1. Reaksi Hipersensitif tipe III.
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan
tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing
dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut
(Corwin, 2000: 72).
2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau
sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan.
Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya radang
Skenario 3-Emergency
a
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang
berat kelainannya generalisata. Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah
sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk
pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang
tebal.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul
oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%). Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus
respiratorius bagian atas dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar
tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar
bernafas.
3. Kelainan mata
konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata),
konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan
sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan
kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya
ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang
menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular
cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan
onikolisis. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal,
sakit nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat
dan kombinasi gejala tersebut.
3.5. pemeriksaan dan diagnosis
1. Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya
infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2. Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel
darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema
intrasel di epidermis.
3. Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta
terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
Histopathologic examination of the skin can also reveal the following:
Apoptosis of keratinocytes
Skenario 3-Emergency
a
3.6. tatalaksana
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone
30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus
diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan
digunakan deksametason intravenadengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg
sehari.Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat
harus segera dirawat dan diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa
krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami
involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis
mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid,
misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari,
sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan.
Lama pengobatan kira-kira 10 hari.Seminggu setelah pemberian kortikosteroid
dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi,
misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah
garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid
diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon.
Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat
badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80
mg.Infus dan tranfusi darah.
3. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasiensukar atau
tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow.
Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi
darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai
purpura yang luas.
4. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau
1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
5. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit
yang erosif dapat diberikan sufratulle
3.7. komplikasi
Secondary skin infection (cellulitis). This acute infection of your skin can lead to
life-threatening complications, including meningitis an infection of the membranes
and fluid surrounding your brain and spinal cord and sepsis.
Skenario 3-Emergency
a
Sepsis. Sepsis occurs when bacteria from a massive infection enter your bloodstream
and spread throughout your body. Sepsis is a rapidly progressing, life-threatening
condition that can cause shock and organ failure.
Permanent skin damage. When your skin grows back following Stevens-Johnson
syndrome, it may have abnormal bumps and coloring (pigmentation). Scars may
remain on your skin, as well. Lasting skin problems may cause your hair to fall out,
and your fingernails and toenails may not grow normally.
3.8. prognosis
Lesi individu biasanya akan sembuh dalam waktu 1-2 minggu, kecuali terjadi infeksi
sekunder. Kebanyakan pasien sembuh tanpa gejala sisa.
Kematian ditentukan terutama oleh tingkat peluruhan kulit. Ketika tubuh luas permukaan
(BSA) peluruhan kurang dari 10%, tingkat kematian adalah sekitar 1-5%. Namun, ketika
lebih dari 30% BSA peluruhan hadir, angka kematian adalah antara 25% dan 35%, dan
mungkin setinggi 50%. [33, 28] Bakteremia dan sepsis tampaknya memainkan peran utama
dalam peningkatan mortalitas.
http://www.mayoclinic.com/health/stevens-johnsonsyndrome/DS00940/DSECTION=complications
http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview#aw2aab6b2b6
http://kampus-kedokteran.blogspot.com/2011/10/laringitis-akut.html