Toksikologi
ditekankan pada kandungan kimia atau fisik dari substansi racun dan efek fisiologis
pada makhluk hidup, metode kuaitatif dan kuantitatif untuk analisis materi biologis
dan nonbiologis, dan perkembangan prosedur untuk mengobati keracunan. Racun
dianggap sebagai substansi yang ketika digunakan dalam jumlah yang cukup akan
menyebabkan penyakit atau kematian. (Forensik FKUI, 1997)
Saat ini, pengetahuan tentang toksikologi diperluas, meliputi evaluasi risiko
penggunaan di bidang farmasi, pestisida, dan bahan adiktif makanan, selain itu
pengetahuan tentang penggunaan racun, paparan polusi lingkungan, efek radiasi, dan
peran kimia dan biologis. Toksikologi forensik lebih ditekankan pada deteksi dan
estimasi racun pada jaringan dan cairan tubuh yang didapatkan pada otopsi atau pada
darah, urin, atau cairan lambung pada korban hidup. Jika hasil analisis toksikologi
telah lengkap, ahli toksikologi dapat menginterpretasikan hasil sebagai efek dan atau
psikologis dari racun pada seseorang yang diambil sampel tubuhnya untuk diperiksa.
(Forensik FKUI, 1997)
Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu atas dasar tujuan pemeriksaan itu sendiri bertujuan untuk mencari
penyebab kematian,
misalnya
insektisida, dsb. Kedua untuk mengetahui mengapa suatu peristiwa dapat terjadi,
beberapa
zat
tergantung
konsentrasi
seperti
halnya
gas
Secara umum, motif keracunan dapat dibedakan menjadi dua bentuk (tipe)
berdasarkan korban keracunan, yaitu: (Baradero, 2008)
1. Tipe S (spesific target)
5
Menunjukkan bahwa korban keracunan hanya orang tertentu dan biasanya antara
pelaku dan korban sudah saling kenal. Motivasi yang biasanya melatarbelakangi,
antara lain: uang, membunuh, pembunuhan lawan politik dan balas dendam.
Keracunan tipe S berdasarkan terjadinya dibagi ke dalam dua sub grup yaitu:
a. Sub grup S tipe S/S (spesific/slow) dimana keracunan terjadi secara perlahan
dan direncanakan oleh pelaku.
b. Sub grup Q tipe S/Q (spesific/quick) dimana keracunan terjadi secara
mendadak dan tanpa perencanaan sebelumnya.
Pemeriksaan terhadap korban keracunan tipe S/S perlu mendapat perhatian
lebih sebab kegagalan pembuktian tanda-tanda keracunan oleh dokter sangat
sering membuat kasus tersebut menjadi kasus tersebut menjadi kasus
pembunuhan yang sempurna (the perfect murder). Pembunuhan yang sempurna
adalah kematian korban yang sesungguhnya akibat tindaan pidana tetapi dokter
menyatakan sebagai kematian wajar karena faktor penyakit. Kasus pembunuhan
yang sempurna terjadi bukan karena keahlian si pembunuh, tetapi akibat
kegagalan dokter mengenali tanda-tanda keracunan pada korban.
2. Tipe R (random target)
Terjadi pada korban yang acak. Motivasi bentuk keracunan ini biasanya ego,
sadistik, dan teror. Berdasarkan kejadiannya keracunan tipe R dibagi:
a. Sub grup S tipe R/S (random/slow), terorisme merupakan salah satu benuk
keracunan tipe ini bila racun yang dipakai sebagai alat untuk menjalankan
teror.
6
Jenis racun
Faktor yang menigkatkan efek letal zat yang digunakan seperti penyakit, riwayat
alergi atau idiosinkrasi atau penggunaan zat-zat lain (ko-medikasi)
Dalam pemeriksaan fisik, harus dicatat semua bukti-bukti medis meliputi tandatanda mencurigakan pada tubuh korban seperti bau tertentu yang keluar dari mulut
atau saluran napas, warna muntahan dan cairan atau sekret yang keluar dari mulut
atau saluran napas, adanya tanda suntikan, dan tanda fenomena drainage. Gejalagejala dan perlukaan tertentu harus dicatat seperti kejang, pin point pupil atau tanda
gagal napas. Demikian juga terhadap luka-luka lecet sekitar mulut, luka suntikan atau
kekerasan lainnya. Bau-bau tertentu harus dikenali dalam pemeriksaan seperti bau
amandel pada keracunan sianida, bau pestisida atau bau minyak tanah yang dipakai
sebagai pelarut. (Baradero, 2008)
Pengambilan dan analisis sampel dilakukan dengan mengambil sisa
muntahan, sekret mulut dan hidung, darah serta urin. Bila racun per oral, analisis isi
lambung harus dilakukan secara visual, bau dan secara kimia. Skrening racun diambil
dari sampel urin dan darah. (Baradero, 2008)
Hasil akhir pemeriksaan forensik klinik adalah diterbitkannya Visum et
Repertum Peracunan yang merupakan salah satu alat bukti sah di pengadilan.
Prosedur penerbitan Visum et Repertum Peracunan sesuai dengan prosedur
medikolegal penerbitan visum dimana harus dibuat berdasarkan Surat Permintaan
Visum resmi penyidik (Pasal 133 KUHAP). Dalam Visum et Repertum peracunan
ditentukan kualifikasi luka akibat peracunan, dimana penentuannya berdasarkan
penilaian efek racun terhadap metabolisme dan gangguan fungsi organ yang
diakibatkan oleh racun. (Baradero, 2008)
Racun jenis tertentu mengeluarkan bau aroma yang khas, misalnya asam
hidrosianida, asam karbonat, kloroform, alkohol, dll. Untuk menjaga
keutuhan jenazah tidak boleh menggunakan cairan desinfektan yang
mempunyai bau (aroma). (WHO,2001)
Keadaan pupil mata dan jari tangan yang lemas atau mengepal.
(WHO,2001)
Pemeriksaan lubang pada tubuh jenazah untuk melihat adanya tandatanda bekas zat korosif atau benda asing. (WHO, 2001)
Livor mortis yang khas, merah terang, cherry red atau merah coklat (bila
racunnya menyebabkan perubahan warna darah sehingga warna lebam
jenazah mengalami perubahan. (Idries AM, 1997)
b. Pemeriksaan dalam
10
Hiperemia
Warna kemerahan pada membran mukosa paling jelas terlihat pada bagian
cardiac lambung dan pada bagian curvatura major. Warnanya adalah
merah gelap dan hiperemia ini bentuknya bisa merata atau bercak,
misalnya pada keracunan arsen hiperemia adalah merah merata.
Perubahan warna juga bisa muncul karena berbagai unsur lainnya seperti
sari buah. Asam nitrat menyebabkan warna kuning pada usus. Hiperemia
harus dibedakan dengan kongesti vena secara menyeluruh yang terjadi
pda kematian akibat asfiksia. Gambaran yang membedakan dengan
hiperemia yang disebabkan oleh penyakit adalah pada hiperemia karena
penyakit sifatnya merata dan terdapat pada seluruh permukaan serta tidak
berupa bercak, selain itu gambaran membran mukosa lebih banyak
terkena pada kasus keracunan.
Perlunakan
Keadaan ini terjadi pada keracunan korosif, lebih sering terlihat pada
kardiak lambung, kurvatura mayor, mulut, tenggorokan dan esofagus. Jika
disebabkan karena penyakit, gambaran ini hanya tampak pada lambung.
Juga harus dibedakan dengan perlunakan post mortem yang terdapat pada
11
bagian yang lebih rendah dan mengenai seluruh lapisan dinding lambung.
Pada bagian yang mengalami perlunakan tidak ada tanda-tanda inflamasi.
Ulserasi
Paling sering ditemukan ditemukan pada curvatura major lambung dan
harus dibedakan dengan tukak peptik yang paling sering terdapat di
curvatura minor lambung dan ditandai dengan adanya hiperemia di
sekitar tukak tersebut.
Perforasi
Sangat jarang terjadi, kecuali pada kasus keracunan asam sulfat. Perforasi
juga bisa terjadi akibat tukak kronis, tetapi bentuk perforasi pada kasus ini
biasannya lonjong atau bulat, pinggirnya melekuk ke arah luar dan
lambung menunjukkan tanda-tanda perlekatan dengan jaringan sekitar.
2.
merupakan bukti yang memastikan bahwa telah terjadi keracunan. Racun bisa
ditemukan dalam lambung, usus halus, dan kadang-kadang pada hati, limpa dan
ginjal. Organ tubuh dan bahan yang diperiksa antara lain: (Idries AM, 1997)
Darah, yang berasal dari sentral (jantung), dan yang berasal dari perifer
(v.jugularis; a.femoralis dan sebagainya) masing-masing 50 ml, dan dibagi
12
dua, yang satu diberi bahan pengawet (NaF 1%), yang lain tidak diberi bahan
pengawet.
Bagian dari usus halus (duodenum dan jejunum) dengan isinya dengan
membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada usus setiap jarak 60 cm.
Otak diambil 500 gram, dan medulla spinalis, terutama pada keracunan
striknin, kloroform dan sianida
Uterus dan organ-organ yang berkaitan dengan uterus, jika ada kecurigaan
abortus kriminalis
3.
13
1. Bukti hukum (legally proving): bukti hukum yang dapat diterima di pengadilan
(adminissible) sangat tergantung dari keaslian bukti tersebut sehingga
penatalaksanaan terhadap bukti-bukti pada korban sangat diperlukan. Terlebih
lagi pada kasus tindak pidana yang memerlukan standar pembuktian dengan
tingkat kepercayaan yang lebih tinggi yaitu sampai tidak ada keraguan yang
beralasan.
2. Pembuktian motif keracunan
3. Kondisi yang memungkinkan dapat diperolehnya racun seperti adanya resep, toko
obat atau toko yang menyediakan substansi yang digunakan.
4. Bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan korban, gangguan kepribadian, kondisi
kesehatan, dan penyakit serta kesempatan dilibatkannya racun.
5. Bukti kesengajaan (intentional)
6. Bila korban meninggal harus ditentukan sebab kematian korban adalah racun
dengan menyingkirkan sebab kematian yang lainnya.
7. Bukti peracunan adalah homicide.
Dari 7 bukti pembuktian kasus keracunan tersebut, tampak bantuan dokter sangat
diperlukan dalam beberapa langkah terutama : (Baradero, 2008)
Menemukan bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan, kondisi fisik dan keadaan
psikiatri korban
14
Keracunan Narkotika
Kematian akibat narkotika lebih sering karena kecelakaan. Pada pemeriksaan
kasus kematian akibat narkotika, perlu diperhatikan akan adanya bekas suntikan yang
baru dan lama. Pada para pemakai narkotika dengan suntikan dapat ditemukan
pembesaran kelenjar limfe regional. Kadangkala ditemukan tatto pada tempat yang
tidak lazim, misalnya pada lipat siku, yang dimaksudkan menutupi bekas suntikan.
(Darmono,2009)
Kematian akibat narkotika paling sering melalui terjadinya depresi napas.
Pada pemeriksaan jenazah akan ditemukan kelainan pada paru berupa pembendungan
hebat dan edema paru hebat, narcoticlung atau gambaran pneumonia lobaris.
Pembendungan ditemukan pula pada organ-organ tubuh lainnya. (Darmono,2009)
Pemeriksaan toksikologi dilakukan terhadap darah dan urin. Selain itu,
pemeriksaan toksikologi juga dilakukan pada cairan empedu, cairan perikardial serta
tempat masuknya narkotika tersebut (jaringan sekitar suntikan pada pemakai
narkotika suntikan, nasalswab pada mereka yang melakukan sniffing, isi lambung
pada mereka yang menelan narkotika). (Darmono,2009)
Pemeriksaan Toksikologi pada Kematian Akibat Keracunan
Investigasi kematian akibat keracunan dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
15
1.
2.
Analisis toksikologi
Sebelum memulai analisis, ahli toksikologi harus mempertimbangkan
beberapa faktor yaitu: jumlah spesimen yang tersedia, sifat dasar temuan racun
dan biotransformasi racun. Pada kasus keracunan dengan racun yang masuk per
oral, isi saluran cerna harus dianalisi pertama kali, ketika sejumlah residu racun
yang tak terabsorbsi masih ditemukan. Selanjutnya urin dapat dianalisis, karena
ginjal merupakan organ ekskresi utama untuk kebanyakan racun dan racun dalam
16
konsentrasi tinggi sering ditemukan pada urin. Setelah absorbsi pada saluran
cerna, obat atau racun pertama-tama dibawa ke hepar sebelum memasuki
sirkulasi sistemik, oleh karena itu, analisis pertama dari organ dalam dilakukan
pada hepar. Jika racun tertentu diduga atau diketahui terlibat pada kasus
kematian, ahli toksikologi memilih menganalisis pertama-tama jaringan dan
cairan dimana racun terkonsentrasi. (Forensik FKUI, 1997)
3.
mendadak yang terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang, kematian yang
dikaitkan dengan tindakan abortus, kasus perkosaan atau kejahatan seksual lainnya,
kecelakaan transportasi, khususnya pada pengemudi dan pilot, kasus penganiayaan
dan pembunuhan (selektif), kasus yang memang diketahui atau pasti diduga menelan
racun, kematian setelah tindakan medis, penyuntikan, operasi dan lain sebagainya.
(Idries AM, 1997)
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997.
3.
World Health Organization. Sudden death. WHO Fact Sheet No.165; 2001.
18
4.
5.
6.
7.
Tugas
TOKSIKOLOGI FORENSIK
19
Oleh:
Lina Rahmiati
I1A008007
Purnama
I1A008053
Pembimbing
dr. Dwi Setyohadi
20