Anda di halaman 1dari 20

Toksikologi merupakan ilmu yang berkaitan dengan racun.

Toksikologi
ditekankan pada kandungan kimia atau fisik dari substansi racun dan efek fisiologis
pada makhluk hidup, metode kuaitatif dan kuantitatif untuk analisis materi biologis
dan nonbiologis, dan perkembangan prosedur untuk mengobati keracunan. Racun
dianggap sebagai substansi yang ketika digunakan dalam jumlah yang cukup akan
menyebabkan penyakit atau kematian. (Forensik FKUI, 1997)
Saat ini, pengetahuan tentang toksikologi diperluas, meliputi evaluasi risiko
penggunaan di bidang farmasi, pestisida, dan bahan adiktif makanan, selain itu
pengetahuan tentang penggunaan racun, paparan polusi lingkungan, efek radiasi, dan
peran kimia dan biologis. Toksikologi forensik lebih ditekankan pada deteksi dan
estimasi racun pada jaringan dan cairan tubuh yang didapatkan pada otopsi atau pada
darah, urin, atau cairan lambung pada korban hidup. Jika hasil analisis toksikologi
telah lengkap, ahli toksikologi dapat menginterpretasikan hasil sebagai efek dan atau
psikologis dari racun pada seseorang yang diambil sampel tubuhnya untuk diperiksa.
(Forensik FKUI, 1997)
Pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu atas dasar tujuan pemeriksaan itu sendiri bertujuan untuk mencari
penyebab kematian,

misalnya

karena keracunan sianida, karbonmonoksisa,

insektisida, dsb. Kedua untuk mengetahui mengapa suatu peristiwa dapat terjadi,

misalanya kasus pembunuhan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pesawat udara,


pemerkosaan, dsb. (Idries AM, 1997)
Definisi
Toksikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan sumber,
karakteristik dan kandungan racun, gejala dan tanda yang disebabkan racun, dosis
fatal, periode fatal,dan penatalaksanaan kasus keracunan. Periode fatal merupakan
selang waktu antara masuknya racun dalam dosis fatal rata-rata sampai menyebabkan
kematian pada rata-rata orang sehat. (WHO,2001)
Dalam berbagai kepustakaan, terdapat berbagai pengertian tentang keracunan
(poisoning) dan intoksikasi. Beberapa kepustakaan menyatakan pengertian keracunan
dan intoksikasi berbeda, dimana keracunan dinyatakan sebagai overdosis yang
mempunyai efek sentral sedangkan intoksikasi merupakan overdosis yang bersifat
umum baik sentral maupun perifer. Namun kepustakaan lain menyatakan keracunan
dan intoksikasi memiliki pengertian yang sama. (Baradero, 2008)
Berbagai definisi racun telah dipublikasikan berdasarkan sudut pandang yang
berbeda dari berbagai ahli. Semua definisi memiliki kelemahan dan kelebihan
tersendiri dalam interpretasi dan banyak definisi yang tumpang tindih satu dengan
lainnya. Paracelcus (1493-1541) yang lebih dikenal sebagai Theopraxis Bombastus
von Honhenheim, orang yang pertama mendefinisikan racun, menyatakan semua
substansi di alam adalah racun hanya dosis yang membedakan substansi tersebut
racun atau bukan (sola dosis facit venenum). Toksikologis Scinen (1989) menyatakan

racun adalah substansi yang diberikan secara berlebihan sehingga toksikologi


dianggap sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang berlebihan (toxicology is the
knowledge of too much). (Baradero, 2008)
Sangster secara lebih rinci menyatakan tentang sumber substansi yang
dianggap racun. Keracunan dianggap sebagai cidera yang diakibatkan konsentrasi
berlebihan dari substansi eksogenous (dari luar tubuh manusia). (Baradero, 2008)
Toksisitas Racun
Dalam pemeriksaan keracunan harus diperhatikan kondisi-kondisi yang
mempengaruhi fatalitas racun pada korban, baik pada anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan tambahan. Banyak substansi yang hanya bersifat toksik dalam
jumlah yang besar tetapi ada yang bersifat toksik meskipun jumlahnya kecil.
Demikian juga adanya substansi tertentu secara tersendiri tidak bersifat toksik atau
toksisitasnya rendah tetapi dengan adanya substansi lain, menyebabkan substansi
tersebut menjadi toksik. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan korban
hidup, antara lain : (Baradero, 2008)
1. Toksisitas intrinsik
Ikatan kimia (struktur kimia) suatu zat secara intrinsik membentuk sifat racun zat
tersebut,misalnya unsur sodium. Ikatan sodium dengan unsur klorida menjadi
NaCl tidak bersifat toksik dan hanya bersifat toksik dalam jumlah yang sangat
besar. Sedangkan ikatan sodium dengan sianida menjadi NaCN bersifat toksik
meskipun dalam jumlah yang kecil.

2. Dosis dan bioavailabilitas


Farmakokinetik untuk substansi yang bersifat sistemik sangat tergantung dosis
zat yang masuk ke dalam tubuh dan kecepatan metabolisme zat terutama di organ
detoksifikasi (hati). Metabolisme zat di dalam hati sebelum beredar ke dalam
sirkulasi sistemik (first pass effect) sangat menentukan toksisitas zat yang masuk
ke dalam tubuh secara oral.
3. Konsentrasi
Fatalitas

beberapa

zat

tergantung

konsentrasi

seperti

halnya

gas

karbonmonoksida (CO), asam kuat dan basa kuat.


4. Frekuensi dan waktu paruh
Seringnya kontak, lama kontak (durasi) dan waktu paruh zat yang kontak juga
mempengaruhi toksisitas racun seperti akumulasi lugam berat (keracunan arsen,
timah hitam)
5. Cara masuk zat ke dalam tubuh
Cara masuk zat ke dalam tubuh sangat menentukan kecepatan kecepatan absorbsi
dan beredarnya zat secara sistemik. Pemakaian zat per oral relatif lebih lambat
dibandingkan secara injeksi dan inhalasi sebab dipengaruhi oleh berbagai enzim
pencernaan dan mengalami metabolisme awal di hati, sebelum beredar ke dalam
sirkulasi sistemik.
6. Ko-medikasi
Adanya zat lain (ko-medikasi) dapat meningkatkan toksisitas zat dengan
toksisitas rendah atau mengubah zat yang tidak toksik menjadi toksik. Alkohol
4

merupakan ko-medikasi yang paling sering digunakan, yang dapat meningkatkan


efek depresan dari obat-obat yang menekan sistem saraf pusat. Penggunaan
kombinasu dari obat-obat terlarang merupakan ko-medikasi yang sering
menimbulkan bahaya.
7. Kondisi pemakai
Kondisi korban harus diperiksa dengan teliti terhadap adanya penyakit-penyakit
yang melibatkan sistem metabolisme dan detoksifikasi, dimana penyakit tersebut
dapat meningkatkan toksisitas suatu zat. Demikian juga halnya faktor umur, jenis
kelamin, status gizi, reaksi alergi, dan idiosinkrasi.

Bentuk Keracunan Berdasarkan Motif


Salah satu tujuan pelayanan forensik klinik adalah memberikan informasi atau faktafakta yang membuat terang kasus keracunan yang mencurigakan termasuk motif yang
melatarbelakangi kasus tersebut. Dalam kasus tindak pidana harus dibuktikan adanya
perbuatan yang salah (actua rheus) dan situasi batin yang melatarbelakangi tindakan
tersebut (men rhea). Motif keracunan harus ditentukan sebagai unsur men rhea,
apakah timbul akibat kecerobohan (recklessness), kealpaan (negligence) atau
kesengajaan (intentional). (Baradero, 2008)

Secara umum, motif keracunan dapat dibedakan menjadi dua bentuk (tipe)
berdasarkan korban keracunan, yaitu: (Baradero, 2008)
1. Tipe S (spesific target)
5

Menunjukkan bahwa korban keracunan hanya orang tertentu dan biasanya antara
pelaku dan korban sudah saling kenal. Motivasi yang biasanya melatarbelakangi,
antara lain: uang, membunuh, pembunuhan lawan politik dan balas dendam.
Keracunan tipe S berdasarkan terjadinya dibagi ke dalam dua sub grup yaitu:
a. Sub grup S tipe S/S (spesific/slow) dimana keracunan terjadi secara perlahan
dan direncanakan oleh pelaku.
b. Sub grup Q tipe S/Q (spesific/quick) dimana keracunan terjadi secara
mendadak dan tanpa perencanaan sebelumnya.
Pemeriksaan terhadap korban keracunan tipe S/S perlu mendapat perhatian
lebih sebab kegagalan pembuktian tanda-tanda keracunan oleh dokter sangat
sering membuat kasus tersebut menjadi kasus tersebut menjadi kasus
pembunuhan yang sempurna (the perfect murder). Pembunuhan yang sempurna
adalah kematian korban yang sesungguhnya akibat tindaan pidana tetapi dokter
menyatakan sebagai kematian wajar karena faktor penyakit. Kasus pembunuhan
yang sempurna terjadi bukan karena keahlian si pembunuh, tetapi akibat
kegagalan dokter mengenali tanda-tanda keracunan pada korban.
2. Tipe R (random target)
Terjadi pada korban yang acak. Motivasi bentuk keracunan ini biasanya ego,
sadistik, dan teror. Berdasarkan kejadiannya keracunan tipe R dibagi:
a. Sub grup S tipe R/S (random/slow), terorisme merupakan salah satu benuk
keracunan tipe ini bila racun yang dipakai sebagai alat untuk menjalankan
teror.
6

b. Sub tipe Q tipe R/Q (random/quick).

Pemeriksaan Forensik Klinik terhadap Korban Keracunan


Pemeriksaan korban keracunan pada prinsipnya sama secara medis maupun
secara forensik klinis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
tambahan. Perbedaan yang ada adalah pada hasil akhir pemeriksaan, berupa
sertifikasi yang memberi batuan pembuktian hukum terhadap korban. Sertifkasi yang
dimaksud adalah diterbitkannya visum et repertum peracunan. (Baradero, 2008)
Dalam pemeriksaan forensik klinis, anamnesis dapat bersifat autoanamnesis bila
korban kooperatif atau alloanamnesis baik terhadap keluarga koban atau penyidik.
Beberapa hal yang perlu ditekankan dalam anamnesis meliputi: (Baradero, 2008)

Jenis racun

Cara masuk racun (route of administration) : melalui ditelan, terhisap bersama


udara pernafasan, melalui penyuntikan, penyerapan melalui kulit yang sehat atau
kulit yang sakit, melalui anus atau vagina.

Data tentang kebiasaan dan kepribadian korban

Keadaan sikiatri korban

Keadaan kesehatan fisik korban

Faktor yang menigkatkan efek letal zat yang digunakan seperti penyakit, riwayat
alergi atau idiosinkrasi atau penggunaan zat-zat lain (ko-medikasi)

Dalam pemeriksaan fisik, harus dicatat semua bukti-bukti medis meliputi tandatanda mencurigakan pada tubuh korban seperti bau tertentu yang keluar dari mulut
atau saluran napas, warna muntahan dan cairan atau sekret yang keluar dari mulut
atau saluran napas, adanya tanda suntikan, dan tanda fenomena drainage. Gejalagejala dan perlukaan tertentu harus dicatat seperti kejang, pin point pupil atau tanda
gagal napas. Demikian juga terhadap luka-luka lecet sekitar mulut, luka suntikan atau
kekerasan lainnya. Bau-bau tertentu harus dikenali dalam pemeriksaan seperti bau
amandel pada keracunan sianida, bau pestisida atau bau minyak tanah yang dipakai
sebagai pelarut. (Baradero, 2008)
Pengambilan dan analisis sampel dilakukan dengan mengambil sisa
muntahan, sekret mulut dan hidung, darah serta urin. Bila racun per oral, analisis isi
lambung harus dilakukan secara visual, bau dan secara kimia. Skrening racun diambil
dari sampel urin dan darah. (Baradero, 2008)
Hasil akhir pemeriksaan forensik klinik adalah diterbitkannya Visum et
Repertum Peracunan yang merupakan salah satu alat bukti sah di pengadilan.
Prosedur penerbitan Visum et Repertum Peracunan sesuai dengan prosedur
medikolegal penerbitan visum dimana harus dibuat berdasarkan Surat Permintaan
Visum resmi penyidik (Pasal 133 KUHAP). Dalam Visum et Repertum peracunan
ditentukan kualifikasi luka akibat peracunan, dimana penentuannya berdasarkan
penilaian efek racun terhadap metabolisme dan gangguan fungsi organ yang
diakibatkan oleh racun. (Baradero, 2008)

Kasus-kasus yang umumnya di negara maju memerlukan pemeriksaan


toksikologi forensik dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar yaitu: (Idries AM,
1997)
a) kematian akibat keracunan, yang meliputi: kematian mendadak, kematian di
penjara, kematian pada kebakaran, dan kematian medis yang disebabkan oleh efek
samping obat atau kesalahan penanganan medis,
b) kecelakaan fatal maupun tidak fatal, yang dapat mengancam keselamatan nyawa
sendiri ataupun orang lain, yang umumnya diakibatkan oleh pengaruh obatobatan, alkohol, atau pun narkoba,
c) penyalahgunaan narkoba dan kasus-kasus keracunan yang terkait dengan akibat
pemakaian obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan bahan berbahaya
lainnya, yang tidak memenuhi standar kesehatan (kasus-kasus forensik farmasi).

Pemeriksaan Forensik Kasus Keracunan terhadap Postmortem


Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan
keracunan pada korban yang sudah meninggal antara lain:
1.

Pemeriksaan post mortem


a. Pemeriksaan luar
Pada pemeriksaan luar untuk kasus keracunan, kemungkinan didapatkan:

Racun jenis tertentu mengeluarkan bau aroma yang khas, misalnya asam
hidrosianida, asam karbonat, kloroform, alkohol, dll. Untuk menjaga
keutuhan jenazah tidak boleh menggunakan cairan desinfektan yang
mempunyai bau (aroma). (WHO,2001)

Pada permukaan tubuh jenazah mungkin ditemukan bercak-bercak yang


berasal dari muntahan, feses dan kadang-kadang jenis racun itu sendiri.
(WHO,2001)

Perubahan warna kulit, misalnya menjadi kuning pada keracunan fosfor


dan keracunan akut akibat unsur tembaga sulfat. (WHO,2001)

Keadaan pupil mata dan jari tangan yang lemas atau mengepal.
(WHO,2001)

Pemeriksaan lubang pada tubuh jenazah untuk melihat adanya tandatanda bekas zat korosif atau benda asing. (WHO, 2001)

Livor mortis yang khas, merah terang, cherry red atau merah coklat (bila
racunnya menyebabkan perubahan warna darah sehingga warna lebam
jenazah mengalami perubahan. (Idries AM, 1997)

b. Pemeriksaan dalam

10

Pada umumnya tanda-tanda keracunan tampak pada traktus gastrointestinal,


terutama jika keracunan akibat zat korosif atau iritan. Perubahan yang terjadi
adalah: (WHO, 2001)

Hiperemia
Warna kemerahan pada membran mukosa paling jelas terlihat pada bagian
cardiac lambung dan pada bagian curvatura major. Warnanya adalah
merah gelap dan hiperemia ini bentuknya bisa merata atau bercak,
misalnya pada keracunan arsen hiperemia adalah merah merata.
Perubahan warna juga bisa muncul karena berbagai unsur lainnya seperti
sari buah. Asam nitrat menyebabkan warna kuning pada usus. Hiperemia
harus dibedakan dengan kongesti vena secara menyeluruh yang terjadi
pda kematian akibat asfiksia. Gambaran yang membedakan dengan
hiperemia yang disebabkan oleh penyakit adalah pada hiperemia karena
penyakit sifatnya merata dan terdapat pada seluruh permukaan serta tidak
berupa bercak, selain itu gambaran membran mukosa lebih banyak
terkena pada kasus keracunan.

Perlunakan
Keadaan ini terjadi pada keracunan korosif, lebih sering terlihat pada
kardiak lambung, kurvatura mayor, mulut, tenggorokan dan esofagus. Jika
disebabkan karena penyakit, gambaran ini hanya tampak pada lambung.
Juga harus dibedakan dengan perlunakan post mortem yang terdapat pada

11

bagian yang lebih rendah dan mengenai seluruh lapisan dinding lambung.
Pada bagian yang mengalami perlunakan tidak ada tanda-tanda inflamasi.

Ulserasi
Paling sering ditemukan ditemukan pada curvatura major lambung dan
harus dibedakan dengan tukak peptik yang paling sering terdapat di
curvatura minor lambung dan ditandai dengan adanya hiperemia di
sekitar tukak tersebut.

Perforasi
Sangat jarang terjadi, kecuali pada kasus keracunan asam sulfat. Perforasi
juga bisa terjadi akibat tukak kronis, tetapi bentuk perforasi pada kasus ini
biasannya lonjong atau bulat, pinggirnya melekuk ke arah luar dan
lambung menunjukkan tanda-tanda perlekatan dengan jaringan sekitar.

2.

Pemeriksaan kimia/toksikologi pada organ tubuh bagian dalam


Ditemukannya jenis racun pada darah, feses, urin atau dalam organ tubuh

merupakan bukti yang memastikan bahwa telah terjadi keracunan. Racun bisa
ditemukan dalam lambung, usus halus, dan kadang-kadang pada hati, limpa dan
ginjal. Organ tubuh dan bahan yang diperiksa antara lain: (Idries AM, 1997)

Urin, empedu dan feses, urin diambil seluruhnya

Darah, yang berasal dari sentral (jantung), dan yang berasal dari perifer
(v.jugularis; a.femoralis dan sebagainya) masing-masing 50 ml, dan dibagi

12

dua, yang satu diberi bahan pengawet (NaF 1%), yang lain tidak diberi bahan
pengawet.

Lambung dan isinya

Bagian dari usus halus (duodenum dan jejunum) dengan isinya dengan
membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada usus setiap jarak 60 cm.

Hati sebagai tempat detoksifikasi diambil sebanyak 500 gram

Setengah bagian dari masing-masing ginjal

Otak diambil 500 gram, dan medulla spinalis, terutama pada keracunan
striknin, kloroform dan sianida

Uterus dan organ-organ yang berkaitan dengan uterus, jika ada kecurigaan
abortus kriminalis

3.

Paru-paru terutama pada keracunan kloroform

Tulang, rambut, gigi dan kuku

Organ tubuh lainnya yang dicurigai mengandung racun.

Pengumpulan bukti-bukti dari sekitar tempat kejadian

Pembuktian Kasus Keracunan


Dalam pembuktian kasus keracunan sebagai tindak pidana, banyak hal yang harus
dibuktikan dan dalam pembuktiannya banyak melibatkan dokter forensik klinis. Hal
yang dibuktikan antara lain : (Baradero, 2008)

13

1. Bukti hukum (legally proving): bukti hukum yang dapat diterima di pengadilan
(adminissible) sangat tergantung dari keaslian bukti tersebut sehingga
penatalaksanaan terhadap bukti-bukti pada korban sangat diperlukan. Terlebih
lagi pada kasus tindak pidana yang memerlukan standar pembuktian dengan
tingkat kepercayaan yang lebih tinggi yaitu sampai tidak ada keraguan yang
beralasan.
2. Pembuktian motif keracunan
3. Kondisi yang memungkinkan dapat diperolehnya racun seperti adanya resep, toko
obat atau toko yang menyediakan substansi yang digunakan.
4. Bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan korban, gangguan kepribadian, kondisi
kesehatan, dan penyakit serta kesempatan dilibatkannya racun.
5. Bukti kesengajaan (intentional)
6. Bila korban meninggal harus ditentukan sebab kematian korban adalah racun
dengan menyingkirkan sebab kematian yang lainnya.
7. Bukti peracunan adalah homicide.
Dari 7 bukti pembuktian kasus keracunan tersebut, tampak bantuan dokter sangat
diperlukan dalam beberapa langkah terutama : (Baradero, 2008)

Pengumpulan, pencatatan dan interpretasi bukti keracunan medis dalam upaya


memberikan pembuktian hukum

Menemukan bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan, kondisi fisik dan keadaan
psikiatri korban

14

Penentuan sebab kematian bila korban dengan mengeklusi penyebab kematian


lainnya

Keracunan Narkotika
Kematian akibat narkotika lebih sering karena kecelakaan. Pada pemeriksaan
kasus kematian akibat narkotika, perlu diperhatikan akan adanya bekas suntikan yang
baru dan lama. Pada para pemakai narkotika dengan suntikan dapat ditemukan
pembesaran kelenjar limfe regional. Kadangkala ditemukan tatto pada tempat yang
tidak lazim, misalnya pada lipat siku, yang dimaksudkan menutupi bekas suntikan.
(Darmono,2009)
Kematian akibat narkotika paling sering melalui terjadinya depresi napas.
Pada pemeriksaan jenazah akan ditemukan kelainan pada paru berupa pembendungan
hebat dan edema paru hebat, narcoticlung atau gambaran pneumonia lobaris.
Pembendungan ditemukan pula pada organ-organ tubuh lainnya. (Darmono,2009)
Pemeriksaan toksikologi dilakukan terhadap darah dan urin. Selain itu,
pemeriksaan toksikologi juga dilakukan pada cairan empedu, cairan perikardial serta
tempat masuknya narkotika tersebut (jaringan sekitar suntikan pada pemakai
narkotika suntikan, nasalswab pada mereka yang melakukan sniffing, isi lambung
pada mereka yang menelan narkotika). (Darmono,2009)
Pemeriksaan Toksikologi pada Kematian Akibat Keracunan
Investigasi kematian akibat keracunan dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:

15

1.

Mengumpulkan keterangan riwayat keracunan dan spesimen yang sesuai


Saat ini, terdapat banyak bahan yang beredar di masyarakat yang dapat
menyebabkan kematian jika dicerna, diinjeksi, atau terinhalasi. Ahli toksikologi
harus membatasi sejumlah material yang dianalisis. Sebelum memulai analisis,
penting sekali dilakukan pengumpulan informasi yang mungkin berkaitan dengan
fakta keracunan. Ahli toksikologi harus memperhatikan usia, jenis kelamin, berat
badan, riwayat kesehatan, dan pekerjaan korban, pemberian terapi sebelum
meninggal, temuan pada autopsi, obat yang terdapat pada korban, dan interval
waktu antara onset gejala dan kematian. (Forensik FKUI, 1997)
Pengumpulan spesimen untuk analisis toksikologi biasanya dilakukan
saat dilakukan autopsi. Spesimen dari sejumlah cairan tubuh dan organ penting
untuk mengambarkan afinitas obat dan racun terhadap jaringan tubuh. Spesimen
harus dikumpulkan sebelum jenazah diawetkan, dimana proses ini dapat merusak
atau melarutkan racun dan membuat deteksi menjadi tidak memungkinkan.
Contohnya CN dirusak oleh proses pembalseman. (Forensik FKUI, 1997)

2.

Analisis toksikologi
Sebelum memulai analisis, ahli toksikologi harus mempertimbangkan
beberapa faktor yaitu: jumlah spesimen yang tersedia, sifat dasar temuan racun
dan biotransformasi racun. Pada kasus keracunan dengan racun yang masuk per
oral, isi saluran cerna harus dianalisi pertama kali, ketika sejumlah residu racun
yang tak terabsorbsi masih ditemukan. Selanjutnya urin dapat dianalisis, karena
ginjal merupakan organ ekskresi utama untuk kebanyakan racun dan racun dalam
16

konsentrasi tinggi sering ditemukan pada urin. Setelah absorbsi pada saluran
cerna, obat atau racun pertama-tama dibawa ke hepar sebelum memasuki
sirkulasi sistemik, oleh karena itu, analisis pertama dari organ dalam dilakukan
pada hepar. Jika racun tertentu diduga atau diketahui terlibat pada kasus
kematian, ahli toksikologi memilih menganalisis pertama-tama jaringan dan
cairan dimana racun terkonsentrasi. (Forensik FKUI, 1997)
3.

Interpretasi terhadap hasil analisis


Setelah mengumpulkan keterangan-keterangan tentang riwayat kasus
keracunan, mengumpulkan laporan hasil analisis berdasarkan toksisitas,
distribusi, dan biotransformasi dan membandingkan hasil analisis dengan kasus
serupa yang pernah dilaporkan pada literatur yang berkualitas atau kasus serupa
dari pengalamannya sendiri. (Forensik FKUI, 1997)
Pemeriksaan toksikologi diperlukan pada kondisi seperti kasus kematian

mendadak yang terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang, kematian yang
dikaitkan dengan tindakan abortus, kasus perkosaan atau kejahatan seksual lainnya,
kecelakaan transportasi, khususnya pada pengemudi dan pilot, kasus penganiayaan
dan pembunuhan (selektif), kasus yang memang diketahui atau pasti diduga menelan
racun, kematian setelah tindakan medis, penyuntikan, operasi dan lain sebagainya.
(Idries AM, 1997)

Gejala yang Menyerupai Keracunan (Apperent Intoxication): (Baradero, 2008)


a. Koma hipoglikemik
17

b. Cerebrovasculer accident (CVA)


c. Exhaustion setelah kejang atau setelah pemakaian MDMA
d. Trauma otak dan kematian otak
e. Meningitis
f. Flash black setelah penyalahgunaan obat
g. Gejala withdrawal
h. Idiosinkrasi dan reaksi hipersensitivitas
i. Syok neurogenik
j. Gejala tak terduga dari penyakit tertentu seperti penyakit Lyme atau tumor otak.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Bagian


Kedokteran Forensik FKUI,1997.

2.

Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997.

3.

World Health Organization. Sudden death. WHO Fact Sheet No.165; 2001.

18

4.

Baradero, M., Wilfrid Dayrit, Yakobus Siswandi. Klien gangguan kardiovaskuler.


Jakarta: EGC, 2008.

5.

Motozawa Y, Yokoyama T, Hitosugi M, et al. Analysis of sudden natural deaths


whiledriving with forensic autopsy findings. Availabe from: http: wwwnrd.nhtsa.dot.gov/pdf/nrd-01/esv/esv19/05-0112-W.pdf.4.

6.

Darmono. Farmasi forensik dan toksikologi, penerapannya dalam penyidik kasus


tindak pidana kejahatan. Jakarta: Universitas Indonesia press. 2009: hal 5.

7.

Ganzales TA, Vance M, Helpern M, Umberger CJ. Legal medicine. Pathology


and toxicology. 2nd edition. New York: Appleton century croft.11954: 102-51.

Tugas

TOKSIKOLOGI FORENSIK

19

Oleh:
Lina Rahmiati

I1A008007

Purnama

I1A008053

Pembimbing
dr. Dwi Setyohadi

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
April, 2013

20

Anda mungkin juga menyukai