Anda di halaman 1dari 3

BAB IV

KAITAN PANDANGAN ILMU KEDOKTERAN DAN ISLAM MENGENAI ANALISA


POST MORTEM PEMERIKSAAN CAIRAN PERIKARDIAL PADA KERACUNAN
KOKAIN

Setelah memperhatikan bab II dan bab III, maka didapatkan kaitan pandangan antara
kedokteran dan Islam adalah sebagai berikut:
Dari segi ilmu kedokteran menentukan keracunan kokain dengan menggunakan
cairan pericardial sangat dianjurkan. Hal ini dikarenakan terdapat bukti-bukti yang
mengatakan dengan pengambilan sampel dari cairan pericardial, kokain akan lebih terdeteksi
dibandingkan dengan pengambilan sampel melalui darah. Sebuah afinitas yang lebih tinggi
kokain dalam jantung dapat dihipotesiskan, dapat menentukan difusi pasif dari jantung ke
cairan perikardial selama interval postmortem. Selain itu, dapat dikatakan bahwa kokain
mungkin lebih baik diawetkan dari degradasi dalam cairan pericardial dibandingkan dari
darah. Cairan perikardial adalah ultrafiltrasi plasma dengan komposisi yang sangat mirip
protein, yang terkandung dalam kantung pericardi) sehingga bebas dari kontaminasi oleh
mikroorganisme. Sampel cairan pericardial yang dicurigai pengguna obat-obatan diambil dan
dianalisis dengan menggunakan radioimunassay untuk mengetahui adanya metabolite dari
kokain yaitu benzoylegonine (BZE) dan ecgonine methyl ester (EME) untuk mengetahui
sejarah penggunaan kokainnya. Biasanya volume cairan pericardial yang diambil pada saat
otopsi dari 5 sampai 20 mL, dan jumlah ini cukup besar untuk tujuan analisis.
Dalam ajara agama Islam, Allah SWT selalu memerintahkan umat islam untuk
menghindari semua yang berbahaya dalam tubuh. Begitu juga halnya dengan racun. Seperti
diketahui racun adalah seseuatu yang menyebabkan tubuh menjadi sakit bahkan meninggal.
Karena kandungan di dalam racun yang berahaya untuk tubuh. Oleh karena itu penggunaan
45

racun termasuk yang diharamkan karena membinasakan. Hal ini jelas bahwa racun sangatlah
dilarang olehh agama Islam, oleh karena itu umat muslim tidak diperkenankan
mengkonsumsi minuman yang mengakibatkan mati. Oleh karena seorang muslim bukan
hanya menjadi milik dirinya sendiri, tetapi dia juga milik agama dan umatnya. Sebagaimana
dalam firman Allah SWT dalam Q.s. an-Nisa [4]: 29 dan Q.s. al-Baqarah [2]: 168 .
Dari sudut pandang Islam asal hukum bedah mayat adalah haram, karena tindakan
tersebut berarti menistakan manusia yang sangat dimuliakan Allah SWT, karena dalam
masalah organ manusia yang diambil untuk kepentingan penelitian, bahkan pada mayat yang
sudah dikubur dilakukan penggalian kembali yang mana akan mengganggu ketentraman
mayat itu sendiri. Namun untuk tujuan kemaslahatan yang lebih luas, ulama cenderung
menghalalkan bedah mayat karena didasari atas darurat dan satu-satunya cara saat ini yang
mampu untuk menentukan dan menjawab kebutuhan, untuk keilmuan, untuk keadilan dalam
pengadilan dalam menentukan sebuah kebenaran. Berdasarkan pendapat ulama klasik tentang
bedah mayat, hal tersebut sesuai dengan larangan dalam hadits yang melarang memecahkan
tulang belulang mayat karena sama haramnya dengan mematahkan tulang manusia hidup
namun untuk tujuan kemaslahatan umat, ulama cenderung membolehkan bedah mayat,
seperti dijelaskan oleh sebagian pendapat ulama klasik yang lainnya dan ulama kontemporer.
Tindakan ini dilakukan untuk membuktikan suatu kebenaran pada peristiwa yang masih
diragukan kebenarannya. Telah dijelaskan pada surat An- Nisa(4): 58, bedah mayat untuk
membuktikan kebenaran suatu fakta juga dapat dibenarkan, sebab alat bukti merupakan salah
satu unsur perkara pengadilan yang dibenarkan menurut syarak. Ketidak bolehan
mematahkan tulang sebagai mana dimaksudkan dalam hadits (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan
Ibnu Majah) dimaksudkan jika tidak ada tujuan yang bermanfaat namun demikian, dalam
batasan darurat. Dikatakan dharurat jika satu-satunya metode ini yang terbaik saat ini untuk
dijadikan acuan kebenaran. Namun jika suatu saat nanti ditemukan metode lain yang lebih
46

baik dimana tidak perlu dilakukan pemotongan tulang postmortem untuk sampel penelitin,
maka metode ini dianggap gugur dalam hukum daruratnya, sehingga hukumnya menjadi
haram. Alasan darurat ini menolak mafsadah lebih didahulukan dari pada menarik maslahah,
dan lebih mendahulukan kepentingan orang hidup dari pada kemaslahatan mayat. Karena
kebolehannya semata-mata darurat, maka dalam praktik penelitian ini, pembedahan mayat
harus dilakukan hanya sebatas yang diperlukan, tidak berlebihan, dan tetap dalam koridor
menghormatinya. Setelah selesai, jika jenazahnya muslim, kewajiban bagi orang muslim
adalah merawat sesuai dengan ketetapan dan batasan syairat Islam, seperti memandikan,
mengafani, menyembahyangkan, menguburkannya. Jika jenazah non-muslim, maka dikafani
dan dikuburkan saja.
Dari bahasan ini, dapat dipahami bahwa Kedokteran dan Islam sependapat
mengenai pembedahan mayat yang ditujukan dalam memenuhi kebutuhan pemeriksaan
dengan toksikologi melalui cairan perikardial untuk mencari kebenaran yang belum
terungkap dengan melakukan percobaan dalam berbagai hal tentang ilmu kedokteran guna
penyidikan sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar dengan membedah dan
meneliti bagian tubuh mayat tersebut dimana kebolehannya semata-mata darurat, maka dalam
praktik penelitian ini, pembedahan mayat harus dilakukan hanya sebatas yang diperlukan,
dan tidak berlebihan.

47

Anda mungkin juga menyukai