Anda di halaman 1dari 35

SERIAL CINTA

Penulis : Anis Matta


Gelora Thumuhat Majalah Tarbawi
Diambil dari :http://cintahikmah.wordpress.com/

Pesona Sang Nabi


Kaiau saja aku adalah Muhammad, kata Iqbal, aku takkan turun kembali ke bumi setelah sampai
di Sidratul Muntaha.
Iqbal barangkali mewakili perasaan kita semua: pesona keteduhan di haribaan Allah, di puncak
tangit ke tujuh, di SidratuI Muntaha, terlalu menggoda untuk ditinggalkan, apalagi untuk sebuah
kehidupan penuh darah dan air mata di muka bumi.
Dua kehidupan yang tidak dapat diperbandingkan. Sebab perjalanan ke SidratuI Muntaha itu
memang terjadi setelah sepuluh tahun masa kenabian yang penuh tekanan, disusul kematian orangorang terdnta yang menjadi penyangga, Khadijah dan Abu Thalib. Perjalanan itu perlu untuk
menghibur Sang Nabi dengan panorama kebesaran Allah SWT.
Tapi SidratuI Muntaha bukan penghentian. Maka Sang Nabi turun ke bumi juga akhirnya.
Menembus kegelapan hati kemanusiaan dan menyalakannya kembali dengan api cinta. Cintalah
yang menggerakkan langkah kakinya turun ke bumi. Cinta juga yang mengilhami batinnya dengan
kearifan saat ia berdoa setelah anak-anak Thaif melemparinya dengan batu sampai kakinya
berdarah: Ya Allah, beri petunjuk pada umatku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.
Seperti juga cinta menghaluskan jiwanya sebelas tahun kemudian, saat ia membebaskan penduduk
Makkah yang ia taklukkan setelah pertarungan berdarah-darah selama dua puluh tahun: Pergilah
kalian semua, kalian sudah kumaafkan, katanya ksatria.
Dengan kekuatan cintalah Sang Nabi menaklukkan jiwa-jiwa manusia dan meretas jalan cepat
kedalamnya. Maka wahyu mengalir bagai air membersihkan kerat-kerat hati yang kotor dan sakit,
kemudian menyatukannya kembali dalam jalinan persaudaraan abadi, lalu menggerakkannya untuk
menyalakan dunia dengan api cinta mereka.
Seketika kota Madinah menyala dengan cinta. Lalu Jazirah Arab. Lalu Persi. Lalu Romawi, Lalu
dunia. Dan Rumi pun bersenandung riang:
Jalan para nabi kita adalah jalan cinta
Kita adalah anak-anak cinta
Dan cinta adalah ibu kita
Jalan cinta selalu melahirkan perubahan besar dengan cara yang sangat sederhana. Karena ia
menjangkau pangkal hati secara langsung darimana segala perubahan dalam diri seseorang bermula.
Bahkan ketika ia menggunakan kekerasan, cinta selalu mengubah efeknya, dan seketika ia berujung
haru.
Begitulah sebuah pertanyaan sederhana mengantar Khalid menuju Islam. Sang Nabi bertanya
kepada saudara laki-laki Khalid yang sudah lebih dulu masuk Islam: Ke mana Khalid?
Sesungguhnya aku menyaksikan ada akal besar dalam dirinya. Khalid yang pernah membantai
pasukan panah Sang Nabi dalam perang Uhud seketika tergetar. Padahal saat itu ia sedang
merencanakan serangan kepada Sang Nabi menjelang perjanjian Hudaibiyah. la pun mencapai
kepasrahannya.
(Sumber: Majalah Tarwabi edisi 92 Th. 6/Ra]ab 1425 H/2 September 2004 M)

Rahasia Keajaiban
Lelaki tua itu akhirnya merenggut takdirnya. Roket-roket Yahudi mungkin telah meluluhlantakkan
tubuh lumpuhnya. Tapi mereka keliru. Sebab nafas cintanya telah memekarkan bunga-bunga jihad
di Palestina. Sebuah generasi baru tiba-tiba muncul ke permukaan sejarah dan hanya tahu satu kata:
jihad. Dan darahnya yang tumpah setelah fajar itu, adalah siraman Allah yang akan menyuburkan
taman jihad di bumi nabi-nabi itu. Dan tulang belulangnya hanya akan menjadi sumbu yang
menyalakan api perlawanan dalam jiwa anak-anak Palestina.
Syeikh Ahmad Yasin, lelaki tua dan lumpuh itu, adalah keajaiban cinta. la hanya seorang guru
mengaji. Tapi dialah sesungguhnya bapak spiritual yang menyalakan api jihad di Palestina. Ia tahu,
perjuangan Palestina telah dinodai para oportunis yang menjual bangsanya. Tapi ia tetap harus
melawan. Dan lumpuhnya bukan halangan. Maka ia pun meniupkan nafas cintanya pada bocahbocah Palestina yang ia ajar mengaji. Dari tadarus Quran yang hening dan khusyu itulah, lahir
generasi baru di bawah bendera Hamas. Palestina memang belum merdeka. Tapi ia telah
merampungkan tugasnya: perang telah dimulai. Ketika akhirnya ia syahid juga, itu hanya jawaban
Allah atas doa-doanya.
Letaki tua itu mengingatkan aku pada syair Iqbal:
Tak berwaktu cinta itu, kemarin dan esok teriepas daripadanya
Tak bertempat ia, atas dan bawah terlepas daripadanya
Bila ia mohon pada Tuhan akan keteguhan dirinya
Seluruh dunia pun menjadi gunung, dan ia sendiri penunggang kuda
Sejarah adalah catatan keajaiban. Tapi cinta adalah rahasianya. Cinta adalah saat kegilaan jiwa.
Begitu cinta merasuki jiwamu, kamu jadi gila. Begitu kamu gila, energimu berlipat-lipat, lalu
membulat, mendidih bagai kawah yang siap meledak dan membakar semua yang ada di
sekelilingnya. Begitu energimu meledak, keajaiban tercipta. Begitulah naturalnya: keajaibankeajaiban yang kita temukan dalam sejarah tercipta dalam saat-saat jiwa itu.
Legenda keadilan Umar bin Khattab adalah keajaiban. Tafsirnya adalah cintanya pada Allah dan
rakyatnya telah menjadi roh kepemimpinannya. Legenda perang Khalid bin Walid adalah keajaiban.
Tafsirnya juga begitu: karena ia lebih mencintai jihad ketimbang tidur bersama seorang gadis cantik
di malam pengantin. Hasan Al-Banna adalah legenda dakwah yang melahirkan kebangkitan Islam
modern. Tafsirnya juga begitu: ia lebih mencintai dakwahnya di atas segalanya.
Saat cinta adalah saat gila. Saat gila adalah saat keajaiban. Bumi bergetar saat sejarah mencatat
keajaiban itu. Iqbal menyebut saat cinta itu sebagai saat jiwa jadi sadar-jaga.
Apabila jiwa yang sadar-jaga terlahir dalam raga,
Maka persinggahan lama ini, ialah dunia, gemetar hingga ke dasar-dasarnya

(Sumber: Majalah Tarwabi edisi 82 Th. 5/Shafar 1425 H/15 April 2004 M)

Perang dan Cinta


John Lenon adalah sebuah trauma. Lahir di tengah puing perang dunia pertama, kedua, dan perang
Vietnam, Legenda pop tahun 60-an itu tiba-tiba ikan bumi ini seperti sepenggal neraka. Maka
lahirlah Flower Generation dengan semangat anti perang dan fenomena hyppies. Bahkan ketika
Tuhan disebut dalam perang, Bob Dylan justru mengatakan: If God in our side, He will stop the
next war.
Sejarah perang moderen adalah mimpi buruk terpanjang umat manusia. Api. Debu. Darah. Air mata.
Terlalu mengerikan. Perang moderen jadi tragedi kemanusiaan karena ia lahir dari dendam,
keserakahan, megalomania dan kesunyian. Imperialisme Eropa ke timur adalah riwayat dendam dan
keserakahan. Perang dunia pertama dan kedua adalah kisah keserakahan dan megalomania.
Napoleon, Hitler, dan Mussolini adalah legenda megalomania dan kesunyian: perang adaiah cara
mereka menyebar kemeranaan mereka. Sebab itu perang moderen adalah brutalisme, sadisme,
kanibalisme: saat-saat panjang tanpa kasih, dari orang-orang yang menemukan kepuasan pada tetestetes darah dan air mata.
Tapi perang tidak hanya punya satu wajah. Perang punya wajah lain yang lebih agung, etis dan
manusiawi. Perang adalah takdir manusia. Kamu suka atau tidak suka. Perang itu niscaya. Bedanya
hanya pada dua hal: siapa musuhmu, dan dengan cara apa kamu melawannya.
Siapa musuhmu menentukan atas nama apa kamu berperang. Caramu melawan menggambarkan
watak perang yang kamu lakoni. Di dasar batinmu yang terdalam sebenarnya kamu tahu atas nama
siapa kamu berperang: kebenaran atau kebatilan. Angkara murka yang lahir dari kebatilan niscaya
melahirkan dendam, keserakahan, megalomania, sadisme, brutalisme dan kanibalisme. Habis itu
kesunyian yang panjang dan darah yang terus mengalir tanpa kasih.
Maka begitu Hitler menyadari kekalahannya, ia bunuh diri. Darahnya dan darah korban-korbannya
sama saja: merah! Tapi Khalid bin Walid justru menangis karena mati di atas kasur, bukan di medan
laga!
Tapi mengapa revolusi Chili jadi nyanyian Pablo Nerudo? Mengapa Khalid Bin Walid mengatakan:
Berjaga pada sebuah malam dingin di tengah deru peperangan, lebih aku suka daripada berada di
sisi seorang gadis di malam pengantin? Mengapa Abu Bakar mengatakan: Carilah kematian agar
kamu menemukan kehidupan?
Jika kamu berperang di bawah bendera kebenaran, cinta mengendalikan motifmu dan caramu
berperang. Tetap ada kekerasan. Darah. Tapi cinta membuatnya jadi agung. Etis. Manusiawi.
Perangatau revolusi-adalah drama kemanusiaan. Di sana kita menyabung nyawa, karena ada yang
kita cintai di sini: Tuhan, hidup, tanah air, bangsa, keluarga, diri sendiri. Perang bukan kebencian.
Maka mereka yang tidak terlibat dalam perang tidak boleh dijadikan korban: anak-anak, orang tua,
wanita, tumbuhan, hewan dan lingkungan hidup.
Jika kebutuhan biologismu tersumbat selama perang, kamu bisa jadi sadis. Atau bahkan kanibalis.
Maka prajurit perangdalam Islamharus kembali ke keluarganya setiap empat bulan: biar jihad
jadi lebih dekat kepada cinta, tidak berubah jadi benci.
Perang semacam ini menciptakan kehidupan dari kematian. Hanya perang semacam ini yang dapat
menghentikan perang dengan perang.
(Sumber: Majalah Tarwabi edisi 84 Th. 5/Rabiul Awwal 1425 H/13 Mei 2004 M)

Doa Cinta Sang Imam


Ya Allah Engkau tahu
Hati-hati ini telah
Berkumpul daiam cintaMu
Bertemu dalam taatMu
Menyatu menolong dakwahMu
Berjanji perjuangkan syariatMu
Maka eratkan ikatannya
Dan abadikan cintanya
Tidak ada penjelasan historis tentang suasana yang melatari Imam Syahid Hasan Al Banna saat
menulis potongan doa itu. Ia menyebutnya Wirid Pengikat. Pengikat hati. Hati yang sedang
dibangunkan untuk memikul beban kebangkitan umat. Beban mereka berat. Jumlah mereka sedikit.
Musuh mereka banyak. Jadi mereka butuh landasan yang kokoh dan pengikat yang kuat.
Landasannya adalah iman. Pengikatnya adalah cinta.
Cinta menjalin jiwa-jiwa mereka dalam kelembutan yang menyamankan: maka setiap mereka
adalah permadani sutera yang empuk, setiap orang dengan segala tipenya bisa duduk santai di situ.
Cinta mereka selalu mampu menampung semua bentuk perbedaan: ada kebebasan berpendapat tapi
tidak ada sikap yang melukai, ada keterbukaan tapi objektivitas tetap di atas segalanya. Cinta
melahirkan pertanggungjawaban: setiap mereka selalu bertanya tentang sejauh mana mereka
mampu mempertanggungjawabkan sikap mereka di depan Allah?
Tapi cinta juga melahirkan kelembutan: maka perbedaan-perbedaan mereka terkelola dalam etika
yang menyamankan jiwa. Karena setiap pembicaraan mereka selalu berujung amal. Beban dan
perbedaan di antara mereka tidak akan mengubah situasi mereka. Seperti kata Iqbal, sebagai sapu
lidi yang dlikat cinta untuk membersihkan kehidupan.
Tapi cinta juga memberi mereka energi. Para pemikul beban kebangkitan itu pastilah akan
menempuh jalan perjuangan penuh liku dan pendakian. Pada setiap satu jarak waktu dan tempat
beban mereka bertambah. Mereka pasti mengalami penuaan dini, seperti kata Rasulullah saw:
Surat Hud dan saudara-saudaranya telah mengubankan rambutku.
Kalau bukan dengan energi yang dahsyat, siapakah yang sanggup mendaki gunung sembari
memikul beban? Dan cintalah sumbernya.
Energi cinta memicu mereka untuk bergerak dan bertumbuh dalam tempo yang cepat. Tapi ikatan
cinta mengatur irama mereka dalam keserasian yang indah. Itu sebabnya mereka kuat. Nyaman.
Dan abadi. Jadi, biarkan Sang Imam menggumamkan kembali doa cintanya:
Maka eratkan ikatannya
Dan abadikan cintanya.

(Sumber: Majalah Tarwabi edisi 68 Th. 5/Jumadil Awwal 1425 H/8 juli 2004 M)

Mata Air Keluhuran


Galau benar hati sang raja. Putera mahkotanya ternyata seorang pemuda pemalas. Apatis. Talenta
raja-raja tidak terlihat dalam pribadinya. Suatu saat sang raja menemukan cara mengubah pribadi
puteranya: the power of love.
Sang raja mendatangkan gadis-gadis cantik ke istananya. Istana pun seketika berubah jadi taman:
semua bunga mekar di sana. Dan terjadilah itu. Sesuatu yang memang ia harapkan: puteranya jatuh
cinta pada salah seorang di antara mereka. Tapi kepada gadis itu sang raja berpesan, Kalau
puteraku menyatakan cinta padamu, bilang padanya, Aku tidak cocok untukmu. Aku hanya cocok
untuk seorang raja atau seseorang yang berbakat jadi raja.
Benar saja. Putera mahkota itu seketika tertantang. Maka ia pun belajar. Ia mempelajari segala hal
yang harus diketahui seorang raja. Ia melatih dirinya untuk menjadi raja. Dan seketika talenta rajaraja meledak dalam dirinya. Ia bisa, ternyata! Tapi karena cinta!
Cinta telah bekerja dalam jiwa anak muda itu secara sempurna. Selalu begitu: menggali tanah jiwa
manusia, sampai dalam, dan terus ke dalam, sampai bertemu mata air keluhurannya. Maka
meledaklah potensi kebaikan dan keluhuran dalam dirinya. Dan mengalirlah dari mata air keluhuran
itu sungai-sungai kebaikan kepada semua yang ada di sekelilingnya. Deras. Sederas arus sungai
yang membanjir, desak mendesak menuju muara. Cinta menciptakan perbaikan watak dan
penghalusan jiwa. Cinta memanusiakan manusia dan mendorong kita memperlakukan manusia
dengan etika kemanusiaan yang tinggi.
Jatuh cinta adalah peristiwa paling penting dalam sejarah kepribadian kita. Cinta, kata Quddamah,
mengubah seorang pengecut menjadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin,
yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut. Kalau cinta kepada Allah membuat kita mampu
memenangkan Allah dalam segala hal, maka cinta kepada manusia atau hewan atau tumbuhan atau
apa saja, mendorong kita mempersembahkan semua kebaikan yang diperlukan orang atau binatang
atau tanaman yang kita cintai. Jatuh cinta membuat kita mau merendah, tapi sekatigus bertekad
penuh untuk menjadi lebih terhormat.
Cobalah simak cerita cinta Letnan Jenderai Purnawirawan Yunus Yosfiah, yang suatu saat ia
tuturkan pada saya dan beberapa kawan lain. Ketika calon istrinya menyatakan bersedia hijrah dari
Katolik menuju Islam, ia tergetar hebat. Kalau cinta telah mengantar hidayah pada calon istrinya,
katanya membatin, seharusnya atas nama cinta ia mempersembahkan sesuatu yang istimewa
padanya.
Ia sedang bertugas di Timor Timur saat itu. Maka ia berjanji, Besok aku akan berangkat untuk
sebuah operasi. Aku berharap bisa mempersembahkan kepala dedengkot Fretilin untukmu. Tiga
hari kemudian, janji itu ia bayar lunas!
Gampang saja memahaminya. Keluhuran selalu lahir dari mata air cinta. Sebab, cinta adalah gerak
jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya, kata Ibnul Qoyyim.
(Sumber: Majalah Tarbawi edisi 81 Th. 5/Shafar 1425 H/2 April 2004 M)

Puncak Iman
Kamu takkan pemah sanggup mendaki sampai ke puncak gunung iman, kecuali dengan satu kata:
cinta. Imanmu hanyalah kumpulan keyakinan semu dan beku, tanpa nyawa tanpa gerak, tanpa daya
hidup tanpa daya cipta. Kecuali ketika ruh cinta menyentuhnya. Seketika ia hidup, bergeliat,
bergerak tanpa henti, penuh vitalitas, penuh daya cipta, bertarung dan mengalahkan diri sendiri,
angkara murka atau syahwat.
Iman itu laut cintalah ombaknya.
Iman itu api cintalah panasnya.
Iman itu angin, cintalah badainya.
Iman itu salju, cintalah dinginnya.
Iman itu sungai, cintalah arusnya.
Seperti itulah cinta bekerja ketika kamu harus memenangkan Allah atas dirimu sendiri, atau
memenangkan iman atas syahwat. Seperti itu pula cinta bekerja dalam diri pemuda ahli ibadah itu.
Kejadiannya diriwayatkan Al Mubarrid dari Abu Kamil dan Ishak bin Ibrahim dari Raja bin Amr
Al Nakhai.
Seorang pemuda Kufa yang dikenal ahli ibadah suatu saat jatuh cinta dan tergila-gila pada seorang
gadis. Cintanya berbalas. Gadis itu sama gilanya. Bahkan ketika lamaran sang pemuda ditolak
karena sang gadis telah dijodohkan dengan saudara sepupunya, mereka tetap nekat, ternyata. Gadis
itu bahkan menggoda kekasihnya, Aku datang padamu atau kuatur cara supaya kamu blsa
menyelinap ke rumahku. Itu jelas jalan syahwat.
Tidak! Aku menolak kedua pilihan itu. Aku takut pada neraka yang nyalanya tak pernah padam!
Itu jawaban sang pemuda yang menghentak sang gadis. Pemuda itu memenangkan iman atas
syahwatnya dengan kekuatan cinta.
Jadi dia masih takut pada Allah? gumam sang gadis. Seketika ia tersadar dan dunia tiba-tiba jadi
kerdil di matanya. Ia pun bertaubat dan kemudian mewakafkan dirinya untuk ibadah. Tapi cintanya
pada sang pemuda tidak mati. Cintanya berubah jadi rindu yang mengelana dalam jiwa dan doadoanya. Tubuhnya luluh lantak didera rindu. la mati, akhirnya.
Sang pemuda terhenyak. Itu mimpi buruk. Gadisnya telah pergi membawa semua cintanya. Maka
kuburan sang gadislah tempat ia mencurahkan rindu dan doa-doanya. Sampai suatu saat ia tertidur
di atas kuburan gadisnya. Tiba-tiba sang gadis hadir dalam tidurnya. Cantik. Sangat cantik.
Apa kabar? Bagaimana keadaanmu setelah kepergianku, tanya sang gadis.
Baik-baik saja. Kamu sendiri di sana bagaimana? jawabnya sambil balik bertanya.
Aku di sini dalam surga abadi, dalam nikmat dan hidup tanpa akhir, jawab gadisnya.
Doakan aku. Jangan pernah lupa padaku. Aku selalu ingat padamu. Kapan aku bisa bertemu
denganmu? tanya sang pemuda lagi.
Aku juga tidak pernah lupa padamu. Aku selalu berdoa agar Allah menyatukan kita di surga.
Teruslah beribadah. Sebentar lagi kamu akan menyusulku, jawab sang gadis.
Hanya tujuh malam setelah mimpi itu, sang pemuda pun menemui ajalnya.
Atas nama cinta ia memenangkan Allah atas dirinya sendiri, memenangkan iman atas syahwatnya
sendiri. Atas nama cinta pula Allah mempertemukan mereka. Cinta selalu bekerja dengan cara itu.
(Sumber: Majalah Tarbawi edisi 80 Th. 5/Muharram 1425 H/18 Maret 2004 M)

Produktivitas Kolektif
Enteng benar Ummu Salamah menjawab pertanyaan Anas bin Malik. Khadam Rasulullah SAW ini
diam-diam mengamati sebuah kebiasaan Sang Rasul yang rada berbeda ketika beliau menemui
Ummu Salamah dan ketika beliau menemui Aisyah.
Rasulullah SAW selalu secara langsung dan refleks mencium Aisyah setiap kali menemuinya,
termasuk di bulan Ramadhan. Tapi, tidak begitu kebiasaan beliau saat bertemu Ummu Salamah.
Nah, kebiasaan itulah yang ditanyakan Anas bin Malik kepada Ummu Salamah, yang kemudian
dijawab begini: Rasulullah SAW tidak dapat menahan diri ketika melihat Aisyah.
Jawabannya Cuma begitu.
Penjelasannya sesederhana itu.
Datar. Yah, datar saja.
Seperti hendak menyatakan sebuah fakta tanpa pretensi. Sebuah fakta yang diterima sebagai suatu
kewajaran tanpa syarat. Tanpa penjelasan.
Sudah begitu keadaannya, kenapa tidak?
Atau apa yang salah dengan fakta itu?
Apa yang harus dicomplain dari kebiasaan itu?
Itu sama sekali tidak berhubungan dengan harga diri yang harus membuat ia marah. Atau menjadi
keberatan yang melahirkan cemburu. Mati rasakah ia? Hah? Tapi siapa berani bilang begitu?
Terlalu banyak masalah kecil yang menyedot energi kita. Termasuk banyak pertengkaran dalam
keluarga. Sebab kita tidak punya agenda-agenda besar dalam hidup. Atau punya tapi fokus kita
tidak ke situ. Jadi kaidahnya sederhana: kalau energi kita tidak digunakan untuk kerja-kerja besar,
maka perhatian kita segera tercurah kepada masalah-masalah kecil.
Karena mereka punya agenda besar dalam hidup, maka mereka tidak membiarkan energi mereka
terkuras oleh pertengkaran-pertengkaran kecil, kecuali untuk semacam pelepasan emosi yang
wajar dan berguna untuk kesehatan mental.
Kehidupan mereka berpusat pada penuntasan misi kenabian di mana mereka menjadi bagian dari
tim kehidupan Sang Nabi. Jadi masalah kecil begini lewat begitu saja. Tanpa punya bekas yang
mengganggu mereka. Fokus mereka pada misi besar itu telah memberi mereka toleransi yang
teramat luas untuk membiarkan masalah-masalah kecil berlalu dengan santai.
Fokus pada misi besar itu dimungkinkan oleh karena sejak awal akad kebersamaan mereka adalah
janji amal. Sebuah komitmen kerja. Bukan sebuah romansa kosong dan rapuh. Mereka selalu
mengukur keberhasilan mereka pada kinerja dan pertumbuhan kolektif mereka yang
berkesinambungan sebagai sebuah tim.
Persoalan-persoalan mereka tidak terletak di dalam, tapi di luar. Mereka bergerak bersama dari
dalam ke luar. Seperti sebuah sungai yang mengalir menuju muara besar: masyarakat. Mereka
adalah sekumpulan riak yang menyatu membentuk gelombang, lalu misi kenabian datang bagai
angin yang meniup gelombang itu: maka jadilah mereka badai kebajikan dalam sejarah
kemanusiaan.
Cinta memenuhi rongga dada mereka.
Dan semua kesederhanaan, bahkan kadang kepapaan, dalam hidup mereka tidak pernah sanggup
mengganggu laju aliran sungai mereka menuju muara masyarakat.
Mereka bergerak. Terus bergerak. Dan terus bergerak.
Dan romansa cinta mereka tumbuh kembang di sepanjang jalan perjuangan itu.

Seni Memperhatikan
Kalau intinya cinta adalah memberi, maka pemberian pertama seorang pecinta sejati adalah
perhatian. Kalau kamu mencintai seseorang, kamu harus memberi perhatian penuh kepada orang
itu. Perhatian yang lahir dari lubuk hati yang paling dalam, dari keinginan yang tulus untuk
memberikan apa saja yang diperlukan orang yang kamu cintai untuk menjadi lebih baik dan
berbahagia karenanya.
Perhatian adalah pemberian jiwa; semacam penampakan emosi yang kuat dari keinginan baik
kepada orang yang kita cintai. Tidak semua orang memiliki kesiapan mental untuk memperhatikan.
Tidak juga semua orang yang memiliki kesiapan mental memiliki kemampuan untuk terus
memperhatikan.
Memperhatikan adalah kondisi di mana kamu keluar dari dalam dirimu menuju orang lain yang ada
di luar dirimu. Hati dan pikiranmu sepenuhnya tertuju kepada orang yang kamu cintai. Itu tidak
sesederhana yang kita bayangkan. Mereka yang bisa keluar dari dalam dirinya adalah orang-orang
yang sudah terbebas secara psikologis. Yaitu bebas dari kebutuhan untuk diperhatikan. Mereka
independen secara secara emosional: kenyamanan psikologis tidak bersumber dari perhatian orang
lain terhadap dirinya. Dan itulah musykilnya. Sebab sebagian besar orang lebih banyak terkungkung
dalam dirinya sendiri. Mereka tidak bebas secara mental.
Mereka lebih suka diperhatikan daripada memperhatikan. Itu sebabnya mereka selalu gagal
mencintai.
Itulah kekuatan para pecinta sejati: bahwa mereka adalah pemerhati yang serius. Mereka
memperhatikan orang-orang yang mereka cintai secara intens dan menyeluruh. Mereka berusaha
secara terus menerus untuk memahami latar belakang kehidupan sang kekasih, menyelidiki selukbeluk persoalan hatinya, mencoba menemukan karakter jiwanya, mendefinisikan harapan-harapan
dan mimpi-mimpinya, dan mengetahui kebutuhan-kebutuhannya untuk sampai kepada harapanharapan itu.
Para pemerhati yang serius biasanya lebih suka mendengar daripada didengarkan. Mereka memiliki
kesabaran yang cukup untuk mendengar dalam waktu yang lama. Kesabaran itulah yang membuat
orang betah dan nyaman menumpahkan isi hatinya kepada mereka. Tapi kesabaran itupula yang
memberi mereka peluang untuk menyerap lebih banyak informasi tentang sang kekasih yang
mereka cintai.
Tapi di sini juga tersimpan sesuatu yang teramat agung dari rahasia cinta. Rahasia tentang pesona
jiwa para pecinta. Kalau kamu terbiasa memperhatikan kekasih hatimu, secara berlahan-lahan dan
tanpa ia sadari ia akan tergantung dengan perhatiannmu. Secara psikologis ia akan sangat
menikmati saat-saat diperhatikan itu. Bila suatu saat perhatian itu hilang, ia akan merasakan
kehilangan yang sangat. Perhatian itu niscaya akan menyiksa jiwanya dengan rindu saat kamu tidak
berada di sisinya. Mungkin ia tidak akan mengatakannya. Tapi ia pasti merasakannya.

Semangat Pertumbuhan
Serial Cinta
Semangat Pertumbuhan
Oleh Anis Matta
Pekerjaan kedua seorang pecinta sejati, setelah memperhatikan, adalah penumbuhan. Inilah
cintanya cinta. Inilah rahasia besar yang menjelaskan bagaimana cinta bekerja mengubah kehidupan
kita dan membuatnya menjadi lebih baik, lebih bermakna.
Cinta adalah gagasan dan komitmen jiwa tentang bagaimana membuat kehidupan orang yang kita
cintai menjadi lebih baik. Jika perhatian memberikan pemahaman mendalam tentang sang kekasih,
maka penumbuhan berarti melakukan tindakan-tindakan nyata untuk membantu sang kekasih
bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik.
Kita tidak boleh berhenti di ujung perhatian sembari mengatakan kepada sang kekasih: Aku
mencintaimu sebagaimana kita adanya. Atau: Aku menerima dirimu apa adanya. Memahami dan
mengerti sang kekasih tidaklah cukup. Seorang pecinta sejati harus mampu mengimajinasikan
sebuah plot akhir dari kehidupan yang akan dijalani sang kekasih. Itu tidak berarti bahwa kita
mengintervensi kehidupan pribadinya dan mengatur kehidupan secara rigrid atas nama cinta. Tidak!
Yang dilakukan pecinta sejati adalah menginspirasi sang kekasih untuk meraih kehidupan
paling bermutu yang mungkin ia raih berdasarkan keseluruhan potensi yang ia miliki.
Kalau bukan karena kerja-kerja penumbuhan, seorang pecinta sejati tidak akan sanggup bertahan
hidup di samping seorang kekasih yang ilmu, pengalaman, ketrampilan dan kepribadiannya tidak
bertumbuh dalam 10 tahun masa perkawinannya, misalnya. Kamu pasti bosan mengobrol dengan
seorang yang hidupnya stagnan, dingin dan tidak dinamis.
Para pecinta sejati menemukan gairah kehidupan dari perubahan-perubahan yang dinamis. Para
pecinta sejati menemukan gairah kehidupan dari perubahan-perubahan dinamis dalam kehidupan
kekasih mereka. Seperti gairah kehidupan yang dirasakan seorang ibu ketika menyaksikan bayinya
tumbuh dan berkembang menjadi anak remaja lalu dewasa. Atau gairah yang dirasakan seorang
guru menyaksikan muridnya tumbuh menjadi ilmuwan dan intelektual.
Penumbuhanlah yang membedakan cinta yang matang dan cinta seorang melankolik.
Penumbuhanlah adalah sisi paling rasional dan realistis dari cinta. Penumbuhan memberikan
sentuhan edukasi pada hubungan cinta. Sebab di sini cinta bukan sekedar gumpalan emosi di langit
jiwa: yang mungkin meledak bagai halilintar, atau membanjiri bumi dengan hujan air mata. Di sini
cinta adalah sebuah pekerjaan. Pekerjaan jiwa, pikiran, dan fisik sekaligus. Itu yang membuatnya
nyata. Dan efektif.
Di tangan Rasullullah SAW, Aisyah bukan seorang istri. Rasullullah SAW telah menumbuhkannya
menjadi bintang di langit sejarah. Suatu saat Ali Tantawi mengatakan: Istriku yang hanya tamatan
SD ternyata lebih intelek daripada mahasiswi-mahasiswiku yang sudah hampir sarjana. Beliau
mengatakan itu setelah melewati 10 tahun masa perkawinan. Ketika Iqbal menemukan dirinya telah
menjadi filosof dunia, ia menyadari itu kerja sang guru. Maka ia berkata tentang gurunya itu: Dan
nafas cintanya meniup kuncupku menjadi bunga.

Sayap Yang Tak Pernah Patah


Mari kita bicara tentang orang-orang patah hati. Atau kasihnya tak sampai. Atau cintanya tertolak.
Seperti sayap-sayap Gibran yang patah. Atau kisah Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal
Vanderwicjk tenggelam. Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka majnun, lalu mati. Atau,
jangan-jangan ini juga cerita tentang cintamu sendiri, yang kandas dihempas takdir, atau layu tak
berbalas.
Itu cerita cinta yang digali dari mata air air mata. Dunia tidak merah jambu di sana. Hanya ada Qais
yang telah majnun dan meratap di tengah gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung:
O burung, adakah yang mau meminjamkan sayap
Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati.
Mari kita ikut berbela sungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik yang perlu dikasihani.
Atau jika mereka adalah kamu sendiri, maka terimalah ucapan belasungkawaku, dan belajarlah
mengasihani dirimu sendiri.
Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih selalu sampai di sana. Apabila
ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain, kata Rumi, sebab tangan yang satu
takkan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain. Mungkin Rumi bercerita tentang apa yang
seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.
Kalau cinta berawal dan berakhir pada Allah, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukkan
cinta pada-Nya, pengejewantahan ibadah hati yang paling hakiki: selamanya memberi yang bisa
kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Dalam makna memberi itu
kita pada posisi kuat: kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan, atau lemah dan
melankolik saat kasih kandas karena takdir-Nya. Sebab di sini kita justru melakukan pekerjaan
besar dan agung: mencintai.
Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang terjadi sesungguhnya hanyalah
kesempatan memberi yang lewat. Hanya itu. Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang.
Selama kita memiliki sesuatu yang dapat kita berikan, maka persoalan penolakan atau
ketidaksampaian jadi tidak relevan. Ini hanya murni masalah waktu. Para pencinta sejati selamanya
hanya bertanya: apakah yang akan kuberikan? Tentang kepada siapa sesuatu itu diberikan, itu
menjadi sekunder.
Jadi, kita hanyalah patah atau hancur karena kita lemah. Kita lemah karena posisi jiwa kita salah.
Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan
hidup bersamanya! Maka ketika dia menolak hidup bersama, itu lantas menjadi sumber
kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena kita menggantungkan
sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang lain mencintai kita.

Pesona Kematangan
Chemistry yang biasanya mempengaruhi hubungan cinta antara laki-laki dan wanita sebenarnya
hanya menegaskan satu fakta: ketika cinta yang genuine bertemu dengan motif lain dalam diri
manusia, dalam hal ini hasrat atau syahwat biologis, hubungan cinta antara laki-laki dan wanita
memasuki wilayah yang sangat rumit dan kompleks. Banyak fakta yang tidak bisa dipahami dalam
perspektif norma cinta yang lazim. Lebih banyak lagi kejutan yang lahir di ruang ketidakterdugaan.
Namun itu tidak menghalangi kita menemukan fakta yang lebih besar: bahwa dengan memandang
itu sebagai pengecualian-pengecualian, seperti dalam kasus Muawiyah Bin Abi Sufyan dengan
gadis badui yang tidak dapat mencintainya, kekuatan cinta sesungguhnya dan selalu mengejewantah
pada kematangan kepribadian kita. Misalnya cinta antara Utsman Bin Affan dan istrinya, Naila.
Para pecinta sejati tidak memancarkan pesonanya dari ketampanan atau kecantikannya, atau
kekuasaan dan kekayaannya, atau popularitas dan pengaruhnya. Pesona mereka memancar dari
kematangan mereka. Mereka mencintai maka mereka memberi. Mereka kuat. Tapi kekuatan mereka
menjadi sumber keteduhan jiwa orang-orang yang dicintainya. Mereka berisi, dan sangat
independen. Tapi mereka tetap merasa membutuhkan orang lain, dan percaya bahwa hanya melalui
mereka ia bisa bertumbuh dan bahwa pada orang-orang itulah pemberian mereka menemukan
konteksnya. Kebutuhan mereka pada orang lain bukan sebentuk ketergantungan. Tapi lahir dari
kesadaran mendalam tentang keterbatasan manusia dan keniscayaan interdepensi manusia.
Pesona inilah yang dipancarkan Khadijah pada Muhammad. Maka selisih umur tidak sanggup
menghalangi pesona Khadijah menembus jiwa Muhammad. Pesona kematangan itu pula yang
membuat beliau enggan menikah lagi bahkan setelah Khadijah wafat. Siapa lagi yang bisa
menggantikan Khadijah? tanya Rasulullah saw. Tapi bisakah kita membayangkan pertemuan dua
pesona? Pesona kematangan dan pesona kecantikan serta kecerdasan?
Pesona itulah yang dimiliki Aisyah: muda, cantik, innocent, cerdas dan matang dini. Dahsyat, pasti!
Pesonanya pesona. Dalam chemistry ini tidak ada pengecualian Muawiyah. Di sini semua pesona
menyatu padu: seperti goresan pelangi di langit kehidupan pelangi Sang Nabi. Dua perempuan
terhormat dari suku Quraisy itu mengisi kehidupan pribadi Sang Nabi pada dua babak yang
berbeda. Khadijah hadir pada periode paling sulit di Mekkah. Aisyah hadir pada periode
pertumbuhan yang rumit di Madinah. Khadijah mengawali kehidupan kenabiannya. Tapi di
pangkuan Aisyahlah, ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah menyelesaikan misi
kenabiannya.
Dalam jiwa Sang Nabi, ada dua cinta yang berbeda pada kedua perempuan terhormat itu. Ketika
beliau ditanya orang yang paling ia cintai, ia menjawab: Aisyah! Tapi ketika beliau ditanya tentang
cintanya pada khadijah, ia menjawab: cinta itu dikaruniakan Allah padaku. Cintanya pada Aisyah
adalah bauran pesona kematangan dan kecantikan yang melahirkan syahwat. Maka Ummu Salamah
berkata, Rasulullah saw tidak bisa menahan diri kalau bertemu Aisyah. Tapi cintanya pada
Khadijah adalah jawaban jiwa atas pesona kematangan Khadijah: cinta itu dikirim Allah melalui
kematangan Khadijah.

Perseteruan Dua Cinta


Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya diantara istri-istri dan anak-anak kamu ada yang
menjadi musuh bagimu.
Bisakah Anda membayangkan bahwa suatu saat, istri dan anak-anak yang Anda cintai, justru
menjadi musuh Anda? Mungkin. Mungkin sekali itu terjadi. Pada siapa saja. Karena cintanya pada
istri dan anak-anaknya tidak turun dari cinta misi, dari cintanya pada Allah. Atau sebaliknya, jika
cinta pada istri dan anak-anak tidak berhasil membawa mereka ke dalam lingkaran cinta misi.
Itulah tragedi dua orang nabi dan seorang perempuan shalihah. Dengan segenap cinta dan harapan
jiwanya, Nabi Nuh masih terus berusaha mempertahankan istri dan anak-anaknya ketika tsunami itu
datang. Tapi tidak! Cinta misinya tidak tersambung dengan nasabnya. Begitu juga Nabi Luth.
Istrinya ada dalam daftar umatnya yang dibinasakan Allah. Dan perempuan shalihah itu bernama
Aisyah, istri seorang thagut terbesar sepanjang sejarah, Firaun. Ketika cinta harus memilih, ia
memilih Tuhannya. Ia memilih cinta misinya. Meskipun ia harus mengorbankan nyawanya sendiri.
Itu saat yang getir. Ketika kita harus memilih dua cinta yang bertarung dalam jiwa. Dan Allah
mengabadikan cerita pertarungan dua cinta itu dalam jiwa Nuh, Luth dan Aisyah. Agar kita
mengerti bahwa permisalan itu adalah takdir kehidupan bahwa siapapun mungkin mengalami itu:
saat-saat di mana kita harus memutuskan pilihan dari dua cinta yang tidak dapat dipertemukan.
Tidak harus selalu begitu, memang. Sebab ada cerita cinta lain. Cerita tentang dua cinta yang
bertemu. Seperti cinta Muhammad dan Khadijah, atau Yusuf dan Zulaikha, atau Adam dan Hawa.
Cerita tentang Adam yang memakan buah khuldi yang terlarang adalah manifesti cinta jiwa yang
tidak terangkai dalam cinta misi. Tapi mereka segera bertaubat dan meluruskan arah cinta. Tapi
ketegaran Yusuf menghadapi godaan istri sang raja adalah yang mengantarkan hidayah ke dalam
jiwa Zulaikha. Adapun Muhammad dan Khadijah: itu cinta yang sejak awal tumbuh dan
berkembang dalam bingkai cinta misi.
Secara manusiawi perseteruan dua cinta ini lahir dari kecenderungan jiwa yang tidak terbingkai
dengan nilai-nilai cinta misi. Itu cobaan hati yang paling banyak menimpa orang shalih. Ketika
bentuk mengalahkan makna, ketika rupa mendahului jiwa, itu pertanda awal datangnya
cobaan. Mereka yang memenangkan bentuk dan rupa, biasanya harus membayar harga kenikmatan
duniawi dengan ongkos makna dan jiwa yang seringkali terlalu mahal. Itu sebabnya Rasullullah saw
menganjurkan kita mendahulukan agama dalam memilih pasangan hidup.
Itu kalau harus memilih. Tapi masalah ini tentu selesai dengan sendirinya kalau bentuk berpadu
dengan makna, rupa bertemu jiwa. Dan itu, kata Ibnu Qoyyim, adalah puncak karunia dan
kenikmatan dunia akhirat: menikahi seorang perempuan shalilah, cerdas dan cantik sekaligus.
Seperti Muhammad kepada Aisyah. Tidak mudah memang. Tapi tetap saja mungkin.

Membangun Kemampuan Mencintai


Pada mulanya cinta adalah gagasan tentang bagaimana membahagiakan dan menumbuhkan orang
lain. Selanjutnya adalah kemauan baik yang menjembatani gagasan itu menuju alam kenyataan.
Sisanya adalah kemampuan. Cinta yang hanya berkembang di batas gagasan dan kemauan baik
akan tampak seperti pohon rindang yang tidak berbuah.
Bagian cinta yang pertama dan kedua, gagasan dan kemauan baik, biasanya terbentuk dari
serangkaian penghayatan akan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan keagamaan tentang kehidupan dan
hubungan antar manusia di dalamnya, hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia
dengan alam. Sedalam apa itu penghayatan dalam diri seorang pencinta, sedalam itu pula sumber
energi yang ada di dalam dirinya.
Tapi bagian ketiga dari cinta, kemampuan, memerlukan latihan dan proses pembelajaran. Kalau kita
mau memberi, kita harus belajar dan berlatih bagaimana memiliki. Kalau kita mau memperhatikan
orang yang kita cintai, kita harus belajar dan berlatih untuk tidak membutuhkan perhatian orang
lain. Kalau kita mau menumbuhkan sang kekasih, kita harus belajar dan berlatih bagaimana
bertumbuh sendiri terlebih dahulu. Begitu seterusnya: memberi, memperhatikan, menumbuhkan,
merawat dan melindungi mengharuskan kita memiliki kemampuan pribadi untuk melakukan
tindakan-tindakan produktif.
Membangun kemampuan mencintai berarti membangun kemampuan produktif dalam diri kita.
Menjadi seorang pecinta sejati berarti menjadi seorang produktif yang selalu berorientasi bukan saja
pada proses, tapi juga terutama hasil akhir. Produktivitas adalah indikator kematangan seorang
pecinta. Seorang pecinta yang tidak produktif adalah pohon rindang yang tidak berbuah.
Ini sisi cinta yang paling rasional dan paling berat: belajar dan berlatih untuk menjadi produktif. Ini
bukan pelajaran tentang bagaimana menguntai kata-kata cinta. Atau tentang teknik-teknik merawat
cinta kasih. Ini pelajaran tentang bagaimana kita mengembangkan diri, mengubah semua potensi
dalam diri kita menjadi kemampuan-kemampuan baru itu menjadi produktivitas.
Mencintai dengan semua siklusnya adalah kerja dari dalam ke luar. Seorang pencinta sejati adalah
seseorang yang mampu keluar dari dirinya sendiri menuju orang lain. Tapi sejauh seseorang
sebelum mampu keluar dari dirinya sendiri, ia harus masuk ke dalam dirinya sendiri. Sedalam
mungkin. Karena dari kedalaman itulah, ia bisa keluar sejauh mungkin.
Pelajaran cinta adalah pelajaran tentang bagaimana kita masuk kedalam diri sendiri untuk kemudian
keluar dengan cara yang lain. Ini latihan untuk menjadi lebih baik. Dan akhirnya, ini adalah
pelajaran tentang bagaimana mengubab kehidupan kita menjadi taman yang lebih indah dipandang
dan lebih nyaman dihuni. Karena di sana kita bertumbuh. Karena dalam pertumbuhan itu kita
berbahagia.

Melindungi Dengan Keberanian


Kamu haruslah seorang pemberani kalau kamu mau jadi pecinta sejati. Orang-orang yang kamu
cintai harus merasa aman saat berada di dekatmu. Rasa aman adalah aroma kepribadian para pecinta
pemberani.
Kalau kita sudah memberi perhatian mendalam, melakukan kerja-kerja penumbuhan, merawat cinta
kasih dengan siraman kebajikan harian, hal terakhir yang kita persembahkan kepada orang yang kita
cintai adalah melindunginya. Melindungi jiwanya, raganya, masa depannya serta proses
pertumbuhannya.
Tapi, perlindungan bukan penjara bagi sang kekasih. Orang yang kita cintai tidak boleh merasa
bahwa perlindungan adalah cara kita untuk mempertahankan kekuasaan dan kepemilikan atas
dirinya. Perlindungan adalah langkah-langkah proteksi yang bersifat antisipatif untuk memastikan
bahwa orang yang kita cintai menjalani proses kehidupannya secara aman, baik fisik maupun psikis,
dan proses pertumbuhannya berjalan baik tanpa gangguan berarti yang bisa menggagalkannya.
Yang terakhir ini, misalnya, gangguan lingkungan pergaulan dan kultur yang bisa merusak nilainilai yang kita tanamkan untuk menumbuhkan orang-orang yang kita cintai. Jadi perlindungannya
bersifat menyeluruh: fisik, psikis, dan moral bahkan finansial.
Semua bentuk perlindungan itu hanya mungkin dilakukan para pecinta pemberani. Keberanian
mereka juga menyeluruh: keberanian moral dan keberanian fisik. Orang-orang yang kita cintai
harus menikmati sebuah perasaan yang kuat saat berada di sekitar kita bahwa mereka bebas dari
rasa takut, sekaligus gembira karena kepercayaan yang kuat bahwa jauh dari luar dirinya ada
kekuatan cinta yang bekerja secara diam-diam dan penuh keberanian untuk melindungi proses
pertumbuhannya.
Dalam banyak situasi, proses perlindungan itu mengharuskan kita berkorban apa saja, termasuk
jiwa. Dalam makna, pengorbanan yang tulus itulah cinta menemukan kesejatiannya. Dan
keindahannya sekaligus.
Apakah ada riwayat percintaan dalam sejarah manusia yang menggugah nurani kita selain karena ia
dipenuhi keringat, airmata, dan darah, tanpa akhir? Pengorbanan dalam sejarah cinta seperti pelangi
yang menghiasi langit kehidupan. Atau tetesan darah yang akan menjadi saksi bagi para syuhada di
hadapan Allah: saksi atas cinta dan rindu yang tak pernah selesai.
Itu sebabnya cinta sejati selalu melahirkan sifat-sifat ksatria, keterhomatan, kedermawanan,
kesetiaan dan pengorbanan. Karena sifat-sifat itulah yang memberi kekuatan pada cinta dan
membuatnya penuh daya gugah. Sifat-sifat itu semua mengalir dari mata air: kecemburuan.
Kecemburuan adalah semangat pembelaan yang lahir dari cinta sejati. Ia hanya menjadi negatif
ketika dia lahir dari semangat menguasai dan memiliki.
Dalam makna pembelaan itulah Rasullullah saw bersabda, siapa yang mati karena membela harta
dan keluarganya maka ia mati syahid.

Layakkah Kita Dicintai?


Layak dicintai adalah lambang keberartian. Sebab cinta tidak dipersembahkan untuk padang jiwa
yang hampa. Tidak juga untuk karya-karya tidak bermakna. Hanya bila kita berguna, maka kita
layak dicintai.
Kelayakan dicintai adalah definisi sebuah kapasitas diri. Kapasitas yang diukur sejauh mana kita
memiliki harga. Dalam wujud amal nyata dan peran-peran yang berbukti. Bukan status, apalagi
sekedar hiasan performa dan gincu-gincu kepalsuan.
Kelayakan dicintai, berpulang pada banyak sebab. Ada dedikasi di sana. Sebab, kelayakan itu tak
datang percuma. Tanpa harga dan tanpa biaya. Tidak. Kelayakan itu adalah buah persembahan yang
berpeluh dan berjibaku.
Kita memang harus selalu bertanya tentang kelayakan untuk dicintai. Sebab cinta bukan menuntut
tapi mematut diri. Jika kita patut, maka orang-orang dengan sendirinya akan mencintai kita dengan
tulus. Tapi jika kita sudah mematut, tidak jua orang datang. Kita tak perlu gusar! Yang penting
adalah terus mencintai. Karena cinta, sejujurnya adalah ketulusan untuk selalu memberi!
Seperti sunnatullah pada segala hal, cinta punya tabiat keseimbangannya. Antara mencintai dan
kelayakan dicintai. Keduanya adalah capaian dan derajat hidup yang tak datang dengan cuma-cuma.
Ada kerja dan persembahan besar dibaliknya. Orang-orang besar mengerti benar, betapa mencintai
dan dicintai adalah karya-karya jiwa yang melelahkan!

Kata Terurai Jadi Laku


Kulitnya hitam. Wajahnya jelek. Usianya tua. Waktu pertama kali masuk ke rumah wanita itu,
hampir saja ia percaya kalau ia berada di rumah hantu. Lelaki kaya dan tampan itu sejenak ragu
kembali. Sanggupkah ia menjalani keputusannya? Tapi ia segera kembali pada tekadnya. Ia sudah
memutuskan untuk menikahi dan mencintai perempuan itu. Apapun resikonya.
Suatu saat, perempuan itu datang padanya, Ini emas-emasku yang sudah lama kutabung, pakailah
ini untuk mencari wanita idamanmu, aku hanya membutuhkan status bahwa aku pernah menikah
dan menjadi seorang istri. Tapi lelaki tua itu malah menjawab, Aku sudah memutuskan untuk
mencintaimu. Aku takkan menikah lagi.
Semua orang terheran-heran. Kelaurga itu tetap utuh sepanjang hidup mereka. Bahkan mereka
kemudian dikaruniai anak-anak dengan kecantikan dan ketampanan yang luar biasa. Bertahun-tahun
kemudian orang-orang ini menanyakan rahasia ini padanya. Lelaki tua itu menjawab enteng, Aku
memutuskan untuk mencintainya. Aku berusaha melakukan yang terbaik. Tapi perempuan itu
melakukan semua kebaikan yang bisa ia lakukan untukku. Sampai aku bahkan tidak pernah
merasakan kulit hitam dan wajah jeleknya dalam kesadaranku. Yang kurasakan adalah kenyamanan
jiwa yang melupakan aku pada fisik.
Begitulah cinta ketika ia terurai laku. Ukuran integritas cinta ia bersemi dalam hati terkembang
dalam kata, terurai dalam laku. Kalau hanya berhenti dalam hati, itu cinta yang lemah dan tidak
berdaya. Kalau hanya berhenti dalam kata, itu cinta yang disertai kepalsuan dan tidak nyata. Kalau
cinta sudah terurai laku, cinta itu sempurna seperti pohon; akarnya terhujam dalam hati, batangnya
tegak dalam kata, buahnya menjumbai dalam laku. Persis seperti iman, terpatri dalam hati, terucap
dalam lisan, dan dibuktikan oleh amal.
Semakin dalam kita merenungi makna cinta, semakin kita temukan fakta besar ini: bahwa cinta
hanya kuat ketika ia datang dari pribadi yang kuat; bahwa integritas cinta hanya mungkin lahir dari
pribadi yang juga punya integritas. Karena cinta adalah keinginan baik kepada orang yang kita
cintai yang harus menampak setiap saat sepanjang kebersamaan.
Rahasia sebuah hubungan yang sukses bertahan dalam waktu yang lama adalah pembuktian cinta
terus-menerus. Yang dilakukan oleh pecinta sejati di sini adalah memberi tanpa henti. Hubungan
bertahan lama bukan karena perasaan cinta yang bersemi dalam hati, melainkan karena kebaikan
tiada henti yang dilahirkan oleh perasaan itu.
Seperti lelaki itu, yang terus membahagiakan istrinya, begitu ia memutuskan untuk mencintainya.
Dan istrinya, yang terus menerus melahirkan kebajikan dari cinta tanpa henti. Cinta tidak terurai
dalam laku adalah jawaban atas angka-angka perceraian yang semakin menganga lebar dalam
masyarakat kita.
Tidak mudah memang menemukan cinta yang ini. Tapi, harus begitulah cinta, seperti kata Imam
Syafii:
Kalau sudah pasti ada cinta di sisimu
Semua kan jadi enteng
Dan semua yang ada di atas tanah
Hanyalah tanah jua

Di rumahku Ada Surga


Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kehilangan lain didalamnya
Bagi kau dan aku cukuplah
Itu penggalan puisi Chairil Anwar, 1943, tentang rumahnya yang disebut taman. Taman hati. Taman
hidup. Sempit ruangnya. Tapi cinta membuatnya jadi terasa cukup lapang dalam dada. Cinta
membuatnya nyaman dihuni:
Kecil, penuh surya taman kita
Tempat merenggut dari dunia dan manusia
Kenyamanan. Itu rahasia jiwa yang diciptakan cinta: maka kita mampu bertahan memikul beban
hidup, melintasi aral kehidupan, melampaui gelombang peristiwa, sambil tetap merasa aman dan
teduh. Cinta menciptakan kenyamanan yang bekerja menyerap semua emosi negatif masuk kedalam
serat-serat jiwa melalui himpitan peristiwa kehidupan. Luka-luka emosi yang kita alami di
sepanjang jalan kehidupan ini hanya mungkin di rawat di sana: dalam rumah cinta.
Dalam rumah cinta itu kita menemukan system perlindungan emosi yang ampuh. Mary Carolyn
Davies mengungkapkannya dengan manis:
Ada sebuah tembok yang kuat
Di sekelilingku yang melindungiku
Dibangun dari kata-kata yang kau ucapkan padaku
Jiwa yang terlindungi akan cepat bertumbuh dan berbuah. Sederhana saja. Karena hakikat cinta
selamanya hanya satu: memberi. Memberi semua kebaikan yang tersimpan dalam jiwa. Melalui
tatapan mata, kata atau tindakan. Jika kita terus menerus memberi, maka kita akan terus menerus
menerima. Pemberian jiwa itu memberikan kekuatan kebajikan yang sering tertidur dalam jiwa
manusia. Seperti pohon: pada mulanya ia menyerap matahari dan air, untuk kemudian
mengeluarkan semua kebajikan yang ada didalam dirinya: buahnya, keindahannya.
Dalam rumah yang penuh cinta itu kita menemukan rasa aman, kenyamanan dan kekuatan untuk
terus bertumbuh. Itu sebabnya rumah yang begitu menghadirkan surga dalam kehidupan kita.
Rumah itu pasti utuh. Dan abadi. Adakah doa cinta yang lebih agung daripada apa yang diajarkan
sang Rasul kepada kita di malam pertama saat kita meletakkan dasar dari hubungan jiwa yang
abadi? Letakkan tangan kananmu diatas ubun-ubun istrimu, lalu ucapkan doa ini dengan lembut:
Ya Allah, aku mohon pada-Mu kebaikan perempuan ini
Dan semua kebaikan yang tercipta bersama penciptaannya.

Pelajaran Cinta
Memang tidak mudah. Sebab tidak karena kamu mencintai lalu hendak memberi, atau kamu
menebar pesona kematanganmu melalui itu, maka cintamu berbalas. Fakta ini mungkin pahit. Tapi
begitulah adanya: kadang-kadang kamu harus belajar menepuk angin, bukan tangan lain yang
melahirkan suara cinta.
Sebabnya sederhana saja. Cinta itu banyak macamnya. Ada cinta misi: cinta yang memang kita
rencanakan sejak awal. Cinta ini lahir dari misi suci, didorong oleh emosi kebajikan dan didukung
dengan kemampuan memberi. Misalnya cinta para nabi kepada umatnya, atau guru kepada
muridnya, atau pemimpin kepada rakyatnya, atau ibu kepada anaknya. Jiwamu dan jiwa orang yang
kamu cintai tidak mesti bersatu. Cinta ini sering tidak berbalas. Bahkan sering berkembang menjadi
permusuhan. Lihatlah bagaimana nabi-nabi itu dimusuhi umatnya, atau para ibu ditelantarkan anakanaknya di usia tua, atau pemimpin yang baik dibunuh rakyatnya, atau guru yang dilupakan muridmuridnya.
Inilah cinta yang paling luhur. Paling suci. Sebagian besar kebaikan yang kita saksikan dalam
kehidupan kita, bahkan dalam sejarah umat manusia, sebenarnya merupakan buah dari cinta yang
ini. Ambillah contoh 1,3 milyar umat Islam saat ini adalah hasil perjuangan berdarah-darah sang
nabi beserta sahabat-sahabatnya. Itu cinta misi.
Tapi ada jenis cinta yang lain. Cinta jiwa. Cinta ini lahir dari kesamaan atau kegenapan watak jiwa.
Jiwa yang sama atau berbeda tapi saling menggenapi biasanya akan saling mencintai. Cinta ini yang
lazim ada dalam hubungan persahabatan dan perkawinan atau keluarga. Cinta ini mengharuskan
adanya respon yang sama: cinta tidak boleh bertepuk sebelah tangan di sini.
Inilah cinta yang paling rumit. Serumit kimia jiwa manusia. Suatu saat misalnya Umar bin Khattab
hendak melamar Ummu Kaltsum binti Abu Bakar, adik Aisyah ra. Gadis itu sangat belia dan
tumbuh di antara jiwa-jiwa yang lembut nan penyayang. Aisyah ra jadi gusar. Wataknya tidak
bertemu dengan watak Umar. Tapi siapa berani menolak lamaran manusia paling sholeh di muka
bumi ketika itu? Namun dengan diplomasi yang sangat halus, melalui kepiawaian Amr bin Ash,
Aisyah ra menolak lamaran itu sembari menyarankan sang Khalifah menikahi Ummu Kaltsum binti
Ali bin Abi Thalib, adik Hasan dan Husein. Kali ini lamarannya diterima: Ali dan Umar memiliki
watak yang sama. Tidak ada alasan menolak lamaran manusia terbaik di muka bumi, kata Ali ra.
Ada cinta ketiga. Cinta maslahat. Cinta ini dipertemukan oleh kesamaan kepentingan. Mereka bisa
berbeda watak atau misi. Tapi kepentingan mereka sama maka mereka saling mencintai. Misalnya
hubungan baik yang lazim berkembang di dunia bisnis. Suara ramah dari penjawab telepon, atau
senyum manis seorang pramugari, atau layanan sempurna seorang resepsionis hotel: semua
berkembang dari kepentingan tapi efektif menciptakan kenyamanan jiwa (comfortability). Anda
adalah bagian dari pekerjaannya. Bukan jiwanya. Anda adalah kepentingannya. Bukan misinya.

Kelezatan Ruhani
Cinta misi hanya bersemi dari nurani yang hidup. Tapi dari manakah nurani kita menemukan
kehidupan? Dari cinta Allah dan cinta kebenaran. Inilah cintanya cinta. Denyut kehidupan nurani
adalah tanda-tandanya. Cinta misi adalah buahnya.
Cerita-cerita keagungan yang kita warisi dari sejarah sesungguhnya merupakan penampakan cinta
misi dari waktu ke waktu. Ia mengejawantah pada karya-karya ilmiah para ulama, pada darah dan
air mata syuhada, pada keadilan para pemimpin, pada kasih sayang para duat (dai), pada
kelembutan para guru.
Tidak ada karya besar tanpa cinta misi. Itu yang membuat cinta ini jadi teramat agung. Sekaligus
rumit. Karena seluruh isinya adalah karya. Adalah kerja. Adalah memberi. Tanpa pernah
terpengaruh oleh penerimaan dan penolakan. Penerimaan mungkin menguatkannya. Tapi penolakan
tidak mengendurkannya.
Pertanyaan kemudian muncul di sini. Dari mana mereka menemukan energi itu? Apa yang membuat
mereka sanggup berkarya dan memberi terus menerus, sementara kadang-atau bahkan sering sekalimereka tidak dipahami atau bahkan terabaikan oleh orang-orang yang justru mereka cintai? Pasti
ada rahasia hati yang mereka simpan dengan rapih. Tapi apakah rahasia hati itu?
Kelezatan ruhani. Itulah rahasianya. Yang mereka cintai sesungguhnya adalah Allah, adalah
kebenaran, adalah misi hidup mereka. Bukan orang, atau benda atau bentuk apapun.
Yang mereka rindukan adalah surga abadi, adalah bidadari-bidadari yang kelak akan mengitari
mereka, adalah pandangan mata pada cahaya wajah Allah. Bukan pujian dan penerimaan manusia.
Manusia hanya medan karya tempat cinta mengejawantah. Maka Allah memberi mereka kelezatan
demi kelezatan setiap kali cinta itu mengejawantah. Kelelahan-kelelahan melahirkan kegembiraan
ruhani, kelezatan yang melahirkan energi baru untuk terus mengejawantahkan cinta.
Seperti orgasme yang kita rasakan pada setiap keintiman fisik, dan mengajak kita untuk mengulangi
dan mengulangi, seperti itulah Allah memberi kelezatan ruhani. Setiap kali cinta pada Nya
mengejawantah pada cinta misi, setiap kali cinta vertikal itu mengejawantah pada horizon
kehidupan manusia.
Kelezatan ruhani itulah sumber energinya. Disana makna-makna penerimaan, keberartian,
keterhormatan, keberanian hati, merasuk ke serat-serat jiwa dan melapangkan serta meluaskannya
sampai ia tampak bagai karpet merah nan empuk di tengah gurun luas yang tersambung dengan
kaki langit.
Itulah kelezatan ruhani yang dirasakan Khalid bin Walid dari kecamuk perang, atau Utsman saat
berinfak, atau Umar saat mengantar gandum di tengah malam pada rakyat miskin, atau Sayyid
Quthub menjelang digantung.
Kelezatan ruhani itu adalah ledakan kegembiraan yang mendengung di cakrawala kesadaran batin
kita. Orang-orang tidak menyaksikannya. Tapi mereka merasakan penampakannya. Maka seorang
ahli ibadah mengatakan: Seandainya para raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam
ibadah ini mereka pasti akan menyiksa kita untuk merampas kelezatan itu.

Kelezatan Akal Batin


Bukan hanya kelezatan ruhani. Cinta misi juga memberikan kita kelezatan lain. Kelezatan akal
batin. Akal adalah kekuatan yang memberi kita kemampuan memahami. Akal memproses semua
informasi yang masuk ke dalam otak kita melalui panca indera atau penalaran. Hasil pemrosesan
itulah yang kemudian melahirkan sikap dan tindakan. Buah dari akal itulah yang selanjutnya kita
sebut pikiran. Tapi dalam diri manusia ada kemampuan yang lebih tinggi. Yaitu kemampuan untuk
memikirkan pikiran-pikiran yang merupakan buah proses akal. Ini adalah pikiran di atas pikiran.
Atau akal kedua. Atau akal batin.
Seperti ketika kita memandang awan dari bumi, ia akan tampak satu lapis gugus awan. Tapi ketika
kita naik pesawat, kita akan menemukan bahwa awan itu ternyata adalah gugus berlapis.
Kemampuan untuk memikirkan pikiran, baik pikiran kita sendiri atau pikiran orang lain, akan
memberikan kita kelezatan yang luar biasa. Bayangkanlah anda memandang sesosok tubuh dengan
pakaian lengkap. Tapi sorot mata anda mampu menembus ke dalam tubuhnya dan menyaksikan
semua yang ada di sana. Seperti isi bagasi yang terlihat jelas dalam X-Ray. Itu kelezatan: karena
pengetahuan ini memberi kita kesadaran yang berbeda.
Dan kelezatan itulah yang kita rasakan dalam cinta misi. Ini sedikit berbeda dengan kelezatan
ruhani. Kelezatan ruhani bersifat vertikal dan terkait dengan perasaan diterima di sisi Allah serta
janji surga di akhirat. Sedang kelezatan akal batin bersifat horizontal dan terkait dengan kesadaran
serta pemahaman yang mendalam tentang dunia batin anak manusia, tentang pergolakan jiwanya
dalam mewadahi pertarungan antara sisi baik dan sisi buruknya, tentang peristiwa menang kalah
dalam pertarungan itu. Memahami itu semua ibarat menyerap air kehidupan melalui pori-pori akal
kita. Kelezatan akal batin terkait dengan perasaan kebermaknaanPerasaan bahwa kita
menyelamatkan orang lainPerasaan bahwa sebagai peserta kehidupan alam raya, kita telah ikut
berpartisipasi menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik perasaan bahwa kita bermanfaat
bagi orang banyakPerasaan bahwa di laut kehidupan yang luas ini kita telah ikut
menyumbangkan beberapa tetes air
Kesadaran itu menyatukan diri kita dengan orang lain di sekeliling kita dan dengan alam yang
mengitari kita. Sebab cinta misi lahir untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi manusia.
Sebab cinta misi tumbuh untuk membuat bumi jadi sepotong surga yang nyaman dihuni. Kita
menyatu sebagai manusia: pada asal-usul, pada jalan hidup, pada tujuan akhir. Ini kesatuan
kemanusiaan yang membuat space of human entity kita terbentang begitu luas di jagat raya dan di
alam batin.
Perasaan itu mengalirkan kelezatan akal batin kita. Seperti kelezatan raga yang kita rasakan saat
kita menghirup udara bersih musim semi. Atau angin sepoi di penghujung senja. Kelezatan akal
batin itulah yang terangkum dalam sabda Sang Rasul: Bahwa Allah memberi hidayah kepada
seorang manusia melalui usahamu adalah lebih baik bagimu dari seluruh dunia dan isinya.

Kasihanilah Para Pencinta


Sepasang aktivis itu datang menemui saya dengan mata berbinar. Binar cinta yang bersemi di
mushalla kampus dan bangku kuliah dan di arak-arakan jalanan demonstrasi untuk reformasi. Di
tengah badai politik itu cinta bersemi.
Tapi cinta gadis keturunan Arab dengan pemuda jawa itu kandas. Kasih mereka tak sampai ke
pelaminan. Restu orang tua sang gadis tak berkenan meneruskan riwayat asmara putih mereka.
Tragis. Tragis sekali. Karena di hati siapa pun cinta yang suci dan tulus seperti itu singgah, kita
seharusnya mengasihi pemilik hati itu. Sebab itu perasaan yang luhur. Sebab perasaan yang luhur
begitu adalah gejolak kemanusiaan yang direstui di sisi Allah. Sebab karena direstui itulah
Rasulullah SAW lantas bersabda, tidak ada yang lebih baik bagi mereka yang sudah saling jatuh
cinta kecuali pernikahan.
Islam memang begitu. Sebab ia agama kemanusiaan. Sebab itu pula nilai-nilainya selalu ramah dan
apresiatif terhadap gejolak jiwa manusia. Dan sebab cinta adalah perasaan kemanusiaan yang luhur,
mengertilah kita mengapa ia mendapat ruang sangat luas dalam tata nilai Islam.
Itu karena Islam memahami dahsyatnya goncangan jiwa yang dirasakan orang-orang yang sedang
jatuh cinta. Tak ada tidur. Tak ada lelah. Tak ada takut. Tak ada jarak. Tak ada aral. Yang ada hanya
hasrat, hanya tekad, hanya rindu, hanya puisi keindahan. Puisi adalah busur yang mengirimkan
panah-panah asrmara ke jantung hati sang kekasih. Rembulan adalah utusan hati yang membawa
pesan kerinduan yang pernah lelah melawan waktu.
Dua jiwa yang sudah terpaut cinta akan tampak akan menyatu bagaikan api dengan panasnya, salju
dengan dinginnya, laut dengan pantainya, rembulan dengan cahaya. Mungkin berlebihan atau
mungkin memang begitu, tapi siapapun yang melantunkan bait ini agaknya ia memang mewakili
perasaan banyak arjuna yang sedang jatuh cinta: separuh nafasku terbang / bersama dirimu.
Bisakah kita membayangkan betapa sakitnya sepasang jiwa yang dipautkan cinta lantas dipisah
tradisi atau apa saja? Tragedi Zaenuddin dan hayati dalam Tenggelamnya Kapal Vanderwick, atau
Qais dan Laila dalam Majnun Laila, terlalu miris. Sakit. Terlalu sakit.
Karena di alam jiwa seharusnya itu mustahil. Tragedi cinta selamanya merupakan tragedi
kemanusiaan. Sebab itu memisahkan pasangan suami-istri yang saling mencintai adalah misi
terbesar syetan. Sebab itu menjodohkan sepasang kekasih yang saling mencintai adalah tradisi
kenabian.
Suatu saat, Khalifah Al Mahdi singgah beristirahat dalam perjalanan haji ke Mekkah. Tiba-tiba
seorang pemuda berteriak, Aku sedang jatuh cinta.
Maka Al Mahdi pun memanggilnya, Apa masalahmu?
Aku mencintai puteri pamanku dan ingin menikahinya. Tapi ia menolak karena ibuku bukan Arab.
Sebab itu aib dalam tradisi kami.
Al Mahdi pun memanggil pamannya dan berkata padanya, Kamu lihat putera-puteri Bani
Abbasiyah? Ibu-ibu mereka juga banyak yang bukan Arab. Lantas apa salah mereka? Sekarang
nikahkanlah lelaki ini dengan puterimu dan terimalah 20 ribu dirham ini; 10 ribu untuk aib dan 10
ribu untuk mahar.

Karena Jiwa Punya Hajat


Keagungan. Keluhuran. Ketinggian. Hanya itu yang ada pada cinta misi. Romantikanya juga ada.
Tapi tetap dalam bingkai itu. Kita sebut itu romantika perjuangan. Seperti kita memandang
indahnya pelangi yang menggores langit. Mengagumkan. Mempesona. Tapi ada jarak. Itu
keindahan yang dilukis oleh nilai: kekuatan yang memvisualisasi sisi malaikat dari dalam diri kita
ke kanvas kenyataan, lalu melegenda dalam riwayat sejarah.
Tapi manusia tercipta dari tanah. Dan tanah punya tabiatnya sendiri. Juga punya rasa, punya mau,
punya hajatnya sendiri. Juga punya permintaannya sendiri dari asal usul ini kehidupan manusia
tersublimasi menjadi riwayat yang rumit dan kompleks. Begitu juga cinta jiwa yang lahir dari sini.
Kalau dalam cinta misi perasaan bergerak mengikuti pikiran dan nilai, dalam cinta jiwa perasaan
bergerak memenuhi kebutuhannya sendiri. Kebutuhan akan kegenapan. Kebutuhan akan kesatuan.
Sendiri. Sepi. Itu musuh jiwa manusia. Sebab alam ini termasuk kita-tercipta berpasangan. Begitu
juga kita: kita semua punya pasangan hidup dalam perkawinan dan pasangan social dalam
bermasyarakat. Perjalanan menemukan pasangan jiwa adalah kebutuhan eksistensial. Sampai kita
menembus ruang dan waktu yang panjang: sebab keterpisahan ini, kata Rumi, hanya tipu daya
waktu.
Sebab ia lahir dari kebutuhan akan kegenapan dan kesatuan, maka cinta jiwa mensyaratkan adanya
penerimaan. Tidak ada pertemuan tanpa penerimaan. Syarat ini tidak selalu ada dalam cinta misi.
Tapi syarat ini pula yang membuat cinta jiwa menjadi rumit. Sebab asas penerimaan jiwa ini juga
beragam. Ada factor kesamaan. Ada factor kegenapan. Ada factor keseimbangan. Seperti dua sungai
besar yang bertemu dalam samudera yang sama lalu menciptakan gelombang cinta yang dahsyat.
Itu yang lahir dari kesamaan.
Atau lidah api yang menyala-nyala namun dipadamkan oleh air yang sejuk. Cinta yang ini lahir dari
kebutuhan akan keseimbangan. Atau seperti air yang bening yang mengaliri lahan tanah yang subur
lalu melahirkan taman kehidupan yang indah. Ini kegenapan jiwa yang melahirkan cinta.
Kerumitan terletak pada pencarian meeting point dari dua jiwa. Itu pada kesamaan atau
kegenapan atau keseimbangan antara dua karakter. Hampir tidak ada pertemuan jiwa di luar ketiga
meeting point itu. Bayangkanlah jika yang terjadi sebaliknya. Api bertemu angin akan menciptakan
kebakaran yang ganas. Air bertemu angin yang melahirkan gelombang tsunami.
Baik dalam perkawinan atau perkawanan kita menemukan kerumitan itu. Itu masalah kecocokan.
Sebab harus ada dua tangan untuk bisa bertepuk. Dua jiwa hanya mungkin bisa bertemu dan
menyatu jika hajat mereka sama. Hikmah itulah yang disampaikan Rasullullah saw, Jiwa-jiwa itu
ibarat prajurit-prajurit yang dibaris-bariskan. Yang saling mengenal di antara mereka pasti akan
saling melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal di antara mereka pasti akan saling
berbeda dan berpisah.

Akhir Sejarah Cinta kita


Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Kita tidur saling memunggungi
Tapi jiwa berpeluk-peluk
Senyum mendekap senyum
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Raga tak lagi saling membutuhkan
Hanya jiwa kita sudah lekat menyatu
Rindu mengelus rindu
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Kita hanya mengisi waktu dengan cerita
Mengenang dan hanya itu
Yang kita punya
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Kita mengenang masa depan kebersamaan
Ke mana cinta kan berakhir
Di saat tak ada akhir.

Indahnya Cinta Jiwa


Tidak ada yang lebih indah dalam sejarah perasaan manusia seperti saat-saat ketika ia sedang jatuh
cinta. Bukan karena dunia disekeliling kita berubah pada kenyataannya. Tapi saat-saat jatuh cintalah
yang seketika mengubah persepsi kita tentang dunia disekeliling kita. Tidak selalu karena wanita
yang kita cintai itu memang cantik pada kenyataannya. Tapi cinta kita padanya yang membuat
cantik di mata kita.
Saat jatuh cinta adalah saat di mana persepsi kita mengalamai shifting pada semua realitas yang ada
di sekeliling kita. Kadang kita mungkin mengelabuhi diri sendiri. Tapi itu puncak subjektifitas yang
justru mengubah kita menjadi lebih positif dalam kita memandang segala sesuatu.
Seperti indahnya subjektifitas pada dunia anak-anak. Bagi mereka realitas yang sesungguhnya
adalah realitas yang mereka persepsikan. Bukan realitas yang ada di luar sana seperti yang dilihat
oleh orang dewasa. Bangku bisa dipersepsi sebagai rumah. Tongkat bia dipersepsi sebagai senjata.
Dunia menjadi sangat ringan dan fleksibel di mata mereka. Karena itu dunia anak selalu indah,
selalu penuh kenangan.
Begitu juga saat kita jatuh cinta. Shifting pada persepsi kita membuat dunia kita serasa jadi realitas
lain yang begitu indah. Dan itu membawa kenyamanan pada rongga dada kita. Karena perasaan kita
seketika berbunga-bunga. Karena, kata Ibnu Hazem, ruh kita seketika jadi ringan dan lembut, badan
kita seketika wangi, senyum kita seketika mengembang lebar, benci dan dendam dan angkara murka
seketika lenyap dari ruang hati kita, dan tiba-tiba saja yang bukan penyair jadi penyair, yang tidak
bisa bernyanyi menjadi penyayi.
Suatu saat, seorang raja bingung menyaksikan putera mahkotanya begitu pemalas, apatis, tidak
bergairah, tidak berminat pada ilmu pengetahuan, tidak bisa pidato. Ia gundah, karena putera
mahkotanya sama sekali tidak layak jadi raja. Maka sang raja memerintahkan seorang dayang
cantik istana untuk menggoda sang putera mahkota.
Bilang padanya, pesan sang raja pada dayang cantik itu, aku sangat mencintaimu dan bersedia jadi
permaisurinya. Nanti kalau hatinya sudah berbunga-bunga, bilang lagi padanya-lanjut sang raja-tapi
ada syaratnya, kamu harus bersemangat, lebih rajin dan mau menyiapkan diri jadi raja, dan aku
percaya kamu bisa.
Firasat sang raja ternyata benar. Putera mahkota seketika berubah: ia mengubah penampilannya jadi
keren dan wangi, ia mempelajari berbagai macam ilmu, ia juga tampil berpidato, ia juga menulis.
Saat jatuh cinta telah mengubah persepsinya tentang dirinya dan dunianya, seketika membangkitkan
semangat hidupnya, dan meledakkan semua potensinya.
Shifting pada persepsi mengembalikan sisi kekanakan kita saat kita jatuh cinta. Itu keindahan yang
mempertemukan kita dengan sisi kemanusiaan kita; subjektif, melankolis, kekanakan, tapi positif.
Dan indah.

Cinta Terkembang Jadi Kata


Selalu begitu. Cinta selalu membutuhkan kata. Tidak seperti perasaan-perasaan lain, cinta lebih
membutuhkan kata lebih dari apapun. Maka ketika cinta terkembang dalam jiwa tiba-tiba kita
merasakan sebuah dorongan yang tak terbendung untuk menyatakannya. Sorot mata takkan sanggup
menyatakan semuanya.
Tidak mungkin memang. Dua bola mata kita terlalu kecil untuk mewakili semua makna yang
membuncah di laut jiwa saat badai cinta datang. Mata hanya sanggup menyampaikan sinyal pesan
bahwa ada badai di laut jiwa. Hanya itu. Sebab cinta adalah gelombang makna-makna yang
menggores langit hati, maka jadilah pelangi; goresannya kuat, warnanya terang, paduannya rumit,
tapi semuanya nyata. Indah.
Itu sebabnya ada surat cinta. Ada cerita cinta. Ada puisi cinta. Ada lagu cinta semuanya adalah kata.
Walaupun tidak semua kata mampu mewakili gelombang makna-makna cinta, tapi badai itu harus
diberi kanal; biar dia mengalir sampai jauh. Cinta itu membuat makna-makna itu jadi jauh lebih
nyata dalam rekaman jiwa kita. Bukan hanya itu.
Cinta bahkan menyadarkan kita; langit, laut, gunung, padang rumput, tepi pantai, gelombang,
purnama, matahari, senja, gelap malam, cerah pagi, taman bunga, burung-burung. Tiba-tiba semua
itu punya arti. Tiba-tiba semua wujud itu masuk ke dalam kesadaran kita. Tiba-tiba semua wujud itu
menjadi bagian dari kehidupan kita. Tiba-tiba semua wujud menjadi kata yang setia menjelaskan
perasaan-perasaan kita. Tiba-tiba semua wujud itu berubah menjadi metafora-metafora yang
memvisualkan makna-makna cinta.
Itu sebabnya para pecinta selalu berubah menjadi sastrawan atau penyair atau penyanyi. Atau
setidak-tidaknya menyukai karya-karya para sastrawan, menyukai puisi, atau mau belajar
melantunkan lagu. Bukan karena ia percaya bahwa ia akan benar-benar menjadi sastrawan atau
penyair atau penyanyi yang berbakat. Tapi semata-mata ia tidak kuat menahan menahan gelombang
makna-makna cinta.
Cinta membuat jiwa kita jadi halus dan lembut. Maka semua yang lahir dari kehalusan dan
kelembutan itu adalah juga makna-makna yang halus dan lembut. Hanya katalah yang dapat
mengurainya, menjamahnya perlahan-lahan sampai ia tampak terang dalam imaji kita.
Puisi Aku Inginnya Sapardi Djoko Damono mungkin bisa jadi sebuah contoh bagaimana kata
mengurai dan menjamah makna-makna itu. Apakah Sapardi sedang jatuh cinta itu atau sedang
memaknai kembali cintanya? Saya tidak tahu! Tapi begini katanya:
Aku ingin mencintaimu
dengan cara yang sederhana
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu
dengan cara yang sederhana
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Cinta Dari Darah Dan Ruh


Lelaki itu sudah mengabdi pada ibunya sampai tuntas. Ia menggendong ibunya yang lumpuh.
Memandikan dan mensucikannya dari semua hadats-nya. Ikhlas penuh ia melakukannya. Itu balas
budi dari seorang anak yang menyadari bahwa perintah berbuat baik pada orang tua diturunkan
Allah persis setelah perintah tauhid.
Tapi entah karena dorongan apa ia kemudian bertanya pada Umar Bin Khattab: Apakah
pengabdianku sudah cukup untuk membalas budi ibuku?. Lalu Umar pun menjawab: Tidak!
Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibumu
merawatimu sembari mengharap kehidupanmu.
Tidak! Tidak! Tidak!
Tidak ada budi yang membalas budi seorang ibu. Apalagi mengimbanginya. Sebab cinta ibu
mengalir dari darah dan ruh. Anak adalah buah cinta dua hati. Tapi ia tidak dititip dalam dua rahim.
Ia dititip dalam rahim sang ibu selama sembilan bulan: di sana sang hidup bergeliat dalam sunyi
sembari menyedot saripati kehidupa sang ibu. Lalu ia keluar diantar darah: inilah ruh baru yang
dititip dari ruh yang lain.
Itu sebabnya cinta ibu merupakan cinta misi. Tapi dengan ciri lain yang membedakan dari jenis
cinta misi yang lainnya, darah! Ya, darah! Anak adalah metamorfosis dari darah dan daging sang
ibu, yang lahir dari sebuah kesepakatan. Cinta ini adalah campuran darah dan ruh. Ketika seorang
ibu menatap anaknya yang sedang tertidur lelap, ia akan berkata di akar hatinya: itu darahnya, itu
ruhnya! Tapi ketika ia memandang anaknya sedang merangkak dan belajar berjalan, ia akan berkata
di dasar jiwanya: itu hidupnya, itu harapannya, itu masa depannya! Itu silsilah yang menyambung
kehadirannya sebagai peserta alam raya.
Itu kelezatan jiwa yang tercipta dari hubungan darah. Tapi di atas kelezatan jiwa itu ada kelezatan
ruhani. Itu karena kesadarannya bahwa anak adalah amanat langit yang harus
dipertanggungjwabkan di akhirat. Kalau anak merupakan isyarat kehadirannya dimuka bumi, maka
ia juga penentu masa depannya di akhirat. Dari itu ia menemukan semangat penumbuhan tanpa
batas: anak memberinya kebanggaan eksistensial, ia juga sebuah pertanggungjawaban dan sepucuk
harapan tentang tempat yang lebih terhormat di surga berkat doa-doa sang anak.
Dalam semua perasaan itu sang ibu tidak sendiri. Sang ayah juga berserikat bersamanya. Sebab
anak itu kesepakatan jiwa mereka. Mungkin karena kesadaran tentang sisi dalam orang tua itu, DR.
Mustafa Sibai menulis persembahan kecil di halaman depan buku monementalnya Kedudukan
Sunnah Dalam Syariat Islam. Buku ini, kata Sibai, kupersembahkan kepada ruh ayahandaku yang
senantiasa melantunkan doa-doanya: Ya Allah, jadikan anakku ini sebagai sumber kebaikanku di
akhirat kelak.
Doa sang ibu dan sang ayah selamanya merupakan potongan-potongan jiwanya. Karena itu ia
selamanya terkabul.

Cinta dan Kimia Jiwa


Lelaki parlente itu tidak hanya dikenal sangat tampan yang ketampanannya bahkan mengalahkan
kecantikan wanita paling cantik. Ia juga lelaki paling berkuasa dan paling disegani di muka bumi
ketika itu. Lelaki itu adalah khalifah pertama sekaligus pendiri khilafah Bani Umayyah.
Di ibu kota khilafahnya, Damaskus, ia membangun sebuah istana megah. Ia punya selera. Semua
yang dimiliki adalah mimpi-mimpi wanita. Namun itu lantas menjadi ironi: kali ini cinta tersedak.
Ia tergila-gila pada seorang gadis badui yang cantik dan innocent. Ia menikahinya. Lalu
memboyongnya tinggal di istananya. Tapi ia gagal menerbitkan bahwa sebersitpun cinta dalam hati
sang istri.
Ketampanan, kemewahan dan kekuasaan Muawiyah tidak cukup memadai membangkitkan cinta
dalam jiwanya. Setiap langkah kakinya menderap di sudut-sudut istana ingatannya malah kembali
ke dusunnya. Sebab di sana ada seorang pemuda badui yang terus merindukannya.
Pada suatu malam yang sunyi, ketika purnama menghias langit malam, kesabarannya berakhir.
Rindunya meledak dalam bait-bait syair yang ia senandungkan. Sayup-sayup sang Muawiyah
mendengarnya. Ia terhenyak. Ia tahu bait-bait itu adalah deklarasi: aku tidak mencintaimu, aku tidak
bisa mencintaimu, aku ingin pulang, aku ingin menikah dengan kekasihku!
Muawiyah tersadar. Kekuasaan memungkinkan dia menikahi gadis badui itu dengan mudah. Tapi
kekuasaan tidak membantunya merebut cintanya. Gadis innocent itu adalah perempuan merdeka. Ia
memilih untuk meninggalkan istana Muawiyah yang megah hanya untuk hidup bersama seorang
pemuda dusun yang teramat sederhana. Dengan berat hati akhirnya Muawiyah menceraikan sang
istri, seorang gadis lugu yang telah membuatnya tergila-gila.
Cinta secara umum adalah emosi kebajikan yang meledakkan semangat memberi dalam jiwa kita.
Itu sebabnya kita selalu menjadi lebih baik ketika kita sedang jatuh cinta. Tapi ketika cinta
dihadapkan pada objeknya, khususnya cinta antara laki-laki dan wanita, emosi kebajikan itu
tetaplah emosi kebajikan, tapi dengan chemistry yang sangat unik.
Dua emosi kebajikan belum tentu bisa bertaut secara kimiawi dengan mudah. Jauh sebelum cinta
menjelma menjadi pertemuan dua fisik, ia terlebih dahulu bertaut di alam jiwa. Jika ada pertemuan
fisik yang tidak didahului oleh pertemuan jiwa itu bukanlah cinta. Maka sepasang laki-laki dan
wanita bisa melakukan hubungan seks tanpa cinta.
Sebagai manusia jiwa kita memiliki tabiat kimiawi yang sangat unik. Dan bisa ditebak. Seorang
perempuan lembut bisa jadi mencintai seorang laki-laki kasar, karena kelembutan dan kekasaran
adalah dua kutub jiwa yang bisa bertemu seperti air dan api: saling tergantung dan saling
menggenapkan.
Tapi keunikan jiwa itu sama sekali tidak mengurangi kadar kebenaran dan fakta bahwa cinta
sebagai emosi kebajikan tetaplah harus mengejawantah pada semangat memberi, dan bahwa nilai
kita di mata orang yang kita cintai tetaplah terletak pada kadar manfaat yang kita berikan padanya.
Dan jika pada suatu hubungan cinta tidak memberi sesuatu pada orang yang kita cintai, sementara
hubungan itu tetap berlanjut, bahkan langgeng, percayalah, itu semata-mata karena kesabaran sang
kekasih menyaksikan pencintanya mengkonsumsi kebajikannya setiap saat, atas nama cinta.
Yang satu memberi atas nama cinta, yang lainnya menerima atas nama cinta. Ironis memang. Tapi
faktanya ada. Bahkan mungkin banyak beredar di sekitar kita.

Cinta dan Keterasingan


Cinta! Kata ini kedengaran begitu melankolis, sentimentil, puitis sekaligus dramatis. Ketiganya
sering menjadi adonan runyam serta renyah sehingga kehadirannya tidak bisa dijelaskan oleh
bahasa apa pun. Maka, ungkapan bahwa cinta itu misteri, merupakan ungkapan klise dari
ketidakmampuan kita untuk menerangkan secara alamiah.
Apapun kita menamainya, yang jelas setiap orang pasti mengalami cinta. Bahkan, sejarah manusia
sesungguhnya cinta itu sendiri; mulai dari manusia masih dalam proses pembuaian, kelahiran
kemudian menjadi dewasa, semuanya karena cinta. Singkatnya cinta ada di mana-mana dan kapan
saja. Ia menembus ruang dan waktu serta menghancurkan segala bentuk penghalang.
Karenanya, cinta tidak bisa diciptakan atau dibunuh. Ia hadir mengalir terus tanpa harus
direncanakan kehadirannya. Jadi biarkan cinta ada, berkembang, tumbuh tanpa harus di schedule.
Biarkan cinta berjalan alami dengan apa adanya. Begitu alaminya, sebenarnya cinta itu amat
sederhana. Ia tidak serumit orang orang modern yang selalu tersekat oleh rencana-rencana,
keuntungan dan kerugian. Meski sederhana, sebenarnya cinta sangat dalam dan berpengaruh luar
biasa dalam setiap detik kehidupan.
Namun, seringkali kita merasakan bahwa cinta dan benci selalu mengalir selalu bersamaan. Begitu
melekatnya, kadang kita tidak bisa merasakan apakah ini benci atau cinta. Perbedaannya sangat
tipis. Setipis kulit bawang. Kita tidak dapat mengklasifikasikan di mana kebencian dan dalam ruang
mana cinta itu berada. Keduanya selalu bergumul sempurna. Di dalam diri kita!

Biar Dramatisasi Jadi Manis


Puisi yang terlalu seadanya memang tak memberi rasa apa-apa. Puisi perlu greget. Perlu hentakan.
Begitu juga ungkapan cinta. Cinta hanya bekerja jika ia membara. Dan baranya meletup-letup lewat
kata.
Quran tidak mengingkari itu. Virus penyakit yang disebut Quran sebenarnya terletak pada kadar
kebohongan yang menyertai dramatisasi itu. Begitu juga ungkapan rasa cinta yang terlalu
berlebihan sering mengandung kebohongan. Bisa karena tidak berakar di hati. Bisa juga karena
tidak mengandung kebenaran. Atau mengandung kebenaran, tapi tidak berakar pada hati. Yang
benar tapi tidak ada di hati adalah kebohongan. Yang tidak benar tapi ada di hati adalah kesalahan.
Yang terakhir ini misalnya lagu berikut ini :
Semua yang ada padamu
Oh membuat diriku tiada berdaya
Hanyalah untukmu
Hanyalah bagimu
Seluruh hidup dan cintaku
Ungkapan itu mungkin berakar di hati. Tapi mengandung makna pengabdian dan penyerahan diri
yang total kepada sang kekasih. Dan itu yidak boleh terjadi dalam cinta jiwa atau cinta sesame
manusia. Itu hanya untuk Allah SWT.
Di sinilah letak tantangan bagi para pecinta; bagaimana menemukan ungkapan yang benar dan tepat
bagi bara cinta yang meletup-letup dalam bara jiwa? Yang pertama tentu saja menemukan persoalan
dasarnya; apakah memang ada bara dalam jiwa? Ini jelas sangat mendasar untuk memastikan bahwa
tidak ada dusta kita.
Yang kedua adalah menemukan kata yang benar dan tepat. Benar pada maknanya, tapi tepat
melukiskan suasana jiwa. Ini membutuhkan penghayatan yang dalam, keakraban dengan diri sendiri
yang kental, cita rasa keindahan dan kekayaan bahasa.
Melukis bara cinta dalam jiwa memang membutuhkan kata yang kuat agar baranya nyata dalam
pandangan sang kekasih. Tapi tidak harus menakar dengan objektif, seberapa panas bara yang
hendak kita lukis. Ini untuk memastikan bahwa kata tidak melampaui panasnya bara, atau kata tidak
melukis semua panas bara secara utuh.
Akhirnya memang, kejujuran dan kebenaran adalah kata kunci di balik semua dramatisasi cinta
yang manis. Hanya itu. Jika tidak, pasti akan ada kesalahan dalam bahasa cinta kita. Tidak mudah
memang, tapi begitulah cinta, selalu punya syaratnya sendiri.

Aura Kehidupan
Jika cinta menyerupai air pada beberapa tabiat dasarnya, maka sifat utama air yang melekat
padanya adalah fakta bahwa air adalah sumber kehidupan. Jika cinta adalah gagasan tentang
bagaimana menciptakan kehidupan yang lebih baik, dan tindakan utamanya adalah memberi untuk
menumbuhkan, maka kekuatan pesona utama, seorang pencinta adalah aura kehidupan yang
memancar dari dalam dirinya.
Aura kehidupan. Ya, aura kehidupan. Ia membuat orangorang di sekelilingnya merasakan denyut
nadi kehidupan, merasakan hamparan keindahan hidup, merasakan alasan tentang mengapa mereka
hidup dan harus melanjutkan hidup, merasakan alasan untuk bertumbuh demi merakit pemaknaan
tiada henti terhadap kehidupan. Ia, intinya membuat orangorang di sekeliling merasa hidup. Sebab
ia menebar benih kehidupan di ladang hati mereka.
Aura kehidupan.Ya, aura kehidupan. Sebab ia hidup. Dan hidup itu nyata pada setiap jengkal
tubuhnya, pada setiap detak jantungnya, pada setiap hembusan nafasnya, pada setiap langkah
kakinya, pada setiap uluran tangannya, pada setiap kedipan matanya, pada setiap kata dan suaranya.
Gagasannya seluruhnya adalah tentang kehidupan yang lebih baik. Niatnya seluruhnya adalah
penumbuhan yang membuat hidup lebih baik.
Aura kehidupan. Ya, aura kehidupan. Sebab ia memiliki dan menggabung tiga pesona utama para
pencinta: pesona raga, pesona jiwa, pesona ruh. Ketiga pesona tersebut terbingkai rapi pada sebuah
akal besar yang menerangi kehidupannya dan kehidupan orangorang disekitarnya.
Maka mendekatdekatlah padanya, niscaya engkau kan merasakan betapa air kehidupan serasa
mengalir pada setiap sudut jiwa dan ragamu. Maka tataplah matanya, niscaya engkau kan
merasakan gairah kehidupan yang memberimu semangat baru untuk terus hidup, terus melanjutkan
hidup. Maka dengarkanlah katakatanya, maka engakau kan merasakan betapa engkau layak dan
pantas mendapat kehidupan yang berkualitas, kehidupan yang lebih baik.
Dan jika tuhan mengijinkan engkau merasakan sentuhannya, niscaya engkau kan merasakan betapa
air kehidupan mendidih dalam tubuhnya. Dan jika Tuhan memperkenankanmu hidup berlama-lama
dengannya, niscaya engkau kan merasakan betapa perlindungan dan penumbuhannya membuatmu
terengkuh dalam rasa aman dan nyaman.
Engkau bahkan tidak pernah begitu yakin tentang pesona apa yang pertama kali menawanmu.
Apakah kulit hitam yang tidak dapat menyembunyikan cahaya matanya? Atau ketegasan sikap yang
tidak dapat merahasiakan kebajikan hatinya? Atau kelembutan bawaan yang tidak sanggup
menutupnutupi keberaniannya? Atau diam panjang yang tidak mampu menghalangi ilmu dan
wawasannya? Atau badan kurus yang dijelaskan oleh puasa dan pengendalian dirinya? Atau?
Tidak! Semua tampak menyatu dalam dirinya: ruhnya yang halus, jiwanya yang lembut, terbungkus
dalam raganya yang kokoh, terangkai dalam perilaku yang terbimbing akal besarnya. Tapi itu semua
ada dalam dirinya. Dan ketika Ia keluar, ia hanya memancarkan satu hal: aura kehidupan.
Dan itulah yang engkau rasakan dan yang mungkin sekali tidak engkau ketahui asal muasal dak
akarnya dalam dirinya. Dia bukan nabi yang tak mungkin salah. Dia hanya sebuah tekad perbaikan
berkesinambungan yang tak hentihenti. Dan itulah aura kehidupan: gairah yang tidak pernah
selesai.

Cinta Misi
Sang Khalifah termenung gundah. Sedih. Tampaknya belum ada tanda-tanda kalau kelaparan yang
melanda kota Madinah akan segera berakhir. Puluhan orang meninggal sudah. Di tingkat teknis
operasional rasanya semuanya sudah ia lakukan. Tapi masih adakah upaya lain yang mungkin ia
lakukan?
Tidak jelas betul hubungannya. Tapi sang Khalifah kemudian merasa kalau ia membutuhkan tekad
lebih besar. Cinta pada rakyat harus diekspresikan lebih nyata. Perasaan itulah yang mengantarnya
kepada keputusan kecilnya: selama kelaparan ini masih berlangsung, Ummar bin Khattab tidak
akan membiarkan seorang pun dari anggota keluarganya untuk makan daging, dan tidak boleh
menggauli satu dari ketiga istrinya.
TIdak ada korelasi teknis. Tapi sebagai pemimpin, Umar telah menyatakan tanggung jawab dan
kepedulian kepada rakyatnya. Karena ia terlibat. Sangat terlibat.
Itu sebagian penampakan dari cinta misi. Ini buah keluhuran jiwa dan keyakinan yang kuat terhadap
sebuah misi. Cinta pada sebuah misi mendorong kita mencintai semua orang dan pekerjaan yang
ada di sepanjang jalan menuju misi itu. Semua orang. Semua pekerjaan. Di sini cinta bekerja seperti
mesin kendaraan. Tidak penting betul siapa penumpangnya, dan jalan mana yang harus dilalui.
Keluhuran misi menguasai jiwa sang pecinta dan membuat perasaan pada orang yang kita cintai jadi
beda. Kita tidak sedang mencintai sebuah bentuk di sini.
Yang kita cintai adalah gerak yang lahir dari bentuk itu: gerak dari manusia sebagai sebuah
entity di alam raya. Karena itu beda warna adalah variasi yang indah. Beda karakter juga
kekayaan hidup. Semua niscaya. Karena kita memerlukannya untuk melukis misi di atas kanvas
kehidupan kita.
Hubungan yang terbentuk dari cinta ini adalah penyatuan pada orbit pikiran. Perasaan kita bergerak
mengitari orbit itu. Perasaan adalah fungsi pikiran. Ia lahir, bergerak dan meliuk seperti seorang
penari mengikuti alur lagu.
Orang yang kita cintai tidak harus memiliki perasaan yang sama. Para pecinta hanya berpikir
bagaimana mencintai. Mereka tidak terganggu jika kemudian mereka tidak dicintai. Sebab mereka
tidak mencintai orangnya. Mereka mencintai entity-nya. Sebab entity merupakan fungsi
pencapaian misi.
Cinta inilah yang ada dan harus ada, misalnya di kalangan pada duat (dai), ulama, mujahidin, guru,
pekerja sosial, pemimpin politik, seniman, wartawan dan lainnya. Karena cinta ini tertuju pada
gerak, bukan bentuk, maka semua pekerjaan yang terkait dengan pencapaian misi juga jadi niscaya.
Misalnya, Khalid bin Walid. Ia mencintai jihad. Ia bukan menikmati saat-saat membunuh
orang. Ia mencintai pekerjaannya. Karena itu,niscaya untuk mencapai misi dakwah. Maka ia
menikmati kesulitan-kesulitan di jalan itu. Lebih dari apapun juga. Berada pada suatu malam yang
dingin membeku dalam sebuah pertempuran lebih aku sukai daripada tidur bersama seorang gadis
di malam pengantin, katanya.

Mencintai Itu Keputusan


Lelaki tua menjelang 80-an itu menatap istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih terlalu belia.
Baru saja mekar.
Ini bukan persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya. Sebentar.
kemudian ia pun berkata, Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang
kamu temui di sini.
Itulah kalimat pertama Utsman bin Affan ketika menyambut istri terakhirnya dari Syam, Naila.
Selanjutnya adalah bukti. Sebab cinta adalah kata lain dari memberi. Sebab memberi adalah
pekerjaanSebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan
melindungi itu berat. Sebab pekerjaan berat itu harus ditunaikan dalam waktu lama. Sebab
pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki
kepribadian kuat dan tangguh.
Maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia mengatakan, Aku mencintaimu. Kepada
siapapun! Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian di situ.
Aku mencintaimu, adalah ungkapan lain dari aku ingin memberimu sesuatu. Yang terakhir ini juga
adalah ungkapan lain dari, Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk
mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia Aku akan
bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin Aku akan
merawat dengan segenap kasih sayangku proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang
akan kulakukan padamu Aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat
merusak dirimu
Dan proses pertumbuhan itu taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap
integritas kepribadian kita.
Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, Aku mencintaimu, kamu harus membuktikan ucapan
itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan
dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan
pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.
Ini yang menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan lantas
jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan tiba-tiba saja
perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak
rakyatnya Jalan hidup kita biasanya tidak linear. Tidak juga seterusnya pendakian atau penurunan.
Karena itu, konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara
emosional.
Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang sulit. Di situ
konsistensi teruji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab mereka yang bisa mengejawantahkan cinta
di tengah situasi yang sulit, jauh lebih bisa membuktikannya dalam waktu yang longgar.
Mereka yang dicintai dengan cara begitu, biasanya mengatakan bahwa hati dan jiwanya penuh
seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada tempat bagi yang
lain. Bahkan setelah sang pencinta mati.
Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk
tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua
pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu.

Anda mungkin juga menyukai