Anda di halaman 1dari 4

Ujian Nasional dan Hilangnya Makna 2 Mei

Oleh : Dewi Komalasari, S.Pd


Dua mei adalah hari yang sangat penting dalam sejarah pendidikan nasional. Tanggal
keramat yang merupakan hari kelahiran bapak pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. Ki
Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, ajarannya dipakai sebagai jargon (semboyan) oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yaitu : Ing Ngarsa Sung Tulada,
Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani artinya di depan memberi teladan, di tengah
menciptakan peluang untuk berkarsa, di belakang memberi dorongan. Cita-cita Ki Hajar
Dewantara sebagai pendiri taman siswa adalah mencerdaskan kehidupan bangsa serta mampu
menciptakan generasi bangsa yang berdaya saing dan mampu sukses di segala bidang ilmu.
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk terus mewujudkan cita-cita mulia dari bapak
pendidikan

nasional

ini.

Salah

satunya

dengan

menyelenggarakan

Ujian

Nasional.

Penyelenggaraan Ujian Nasional bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kualitas pendidikan di
Indonesia. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, sistem ujian nasional telah mengalami
beberapa kali perubahan dan penyempurnaan, perkembangan ujian nasional tersebut yaitu, pada
periode tahun 1969, ujian akhir yang pada saat itu disebut dengan ujian negara berlaku untuk
semua mata pelajaran, bahkan ujian dan pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan
seragam untuk seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 1972 diterapkan sistem ujian sekolah
dimana setiap atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian akhir di masing-masing
sekolah. Pemerintah pusat hanya menyusun dan mengeluarkan pedoman yang bersifat umum.
Pada tahun 1982 dilaksanakan uiian akhir nasional yang dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar
Tahap Akhir Nasional ( EBTANAS ), dalam EBTANAS dikembangkan sejumlah perangkat soal
yang paralel untuk setiap mata pelajaran dan penggandaan soal dilakukan di daerah. Pada
EBTANAS kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi nilai semester dan nilai EBTANAS
murni. Pada tahun 2002, EBTANAS diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan
kemudian berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional ( UAN ), perbedaan yang menonjol
antara UAN dengan EBTANAS adalah dalam cara menentukan kelulusan siswa, terutama sejak
tahun 2003 untuk menentukan kelulusan pada UAN berdasarkan nilai mata pelajaran secara
individual. Periode 2005 hingga saat ini pemerintah menyelenggarakan UJian Nasional (UN)
untuk SMP/MTs/SMPLB dan SMA/SMK/MA/SMALB/SMKLB. Periode 2005 hingga saat ini
pemerintah

menyelenggarakan

UJian

Nasional

(UN)

untuk

SMP/MTs/SMPLB

dan

SMA/SMK/MA/SMALB/SMKLB. Sedangkan untuk mendorong tercapainya target wajib belajar


pendidikan yang bermutu, mulai tahun ajaran 2008/2009 pemerintah menyelenggarakan Ujian
Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD/MI/SDLB.
Alih-alih pemerintah sejak penetapan Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional maka atas perintah UU itu pula, pemerintah mengatur melalui
peraturan pemerintah nomor 19 /32/2013 tentang standar nasional pendidikan yang berisi
pertama, mengembangkan kemampuan . Kedua, membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Sejak penetapan dan pelaksanaan UN itu pula
pemerintah yang pro UN memberikan pandangan-pandangan dan pendapat yang memperkuat
UN tetap dipertahankan atau UN harus dihapuskan. Menurut menteri pendidikan dan
kebudayaan Moh. Nuh mengatakan bahwa UN adalah upaya pengendalian mutu pendidikan.
Tujuan dari pengendalian mutu adalah memastikan peningkatan mutu secara berkesinambungan
( continuous quality improvement ). Untuk itu UN inilah dipergunakan untuk pemetaan sekaligus
pembinaan dan perbaikan mutu.
Selain sejumlah praktisi dan pemerhati pendidikan pun menyatakan bahwa UN menjadi
alat tes yang memetakan kemampuan daya serap peserta didik secara nasional. Selain alat tes
nasional, UN secara tidak langsung telah menjadi media pendidikan mentalitas peserta didik.
Jika kita lihat di negara lain yang sudah maju dengan pendidikan yang berkualitas seperti
Amerika, Malaysia dan 42 negara lainnya di dunia, mereka sudah lebih jauh meningkatkan
kualitas pendidikannya dengan UN. Artinya UN tidak perlu dipermasalahkan, secara perlahan
tapi pasti UN dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan membentuk karakter para siswanya
seperti yang tertera di standar nasional pendidikan.
Selain hal di atas. Untuk memperkuat agar UN dapat dipertahankan yaitu sesuai dengan
tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia dilakukan dengan pembentukan karakter.
Artinya dengan adanya UN sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pendidikan dapat
membentuk karakter siswa. Adapun manfaat UN yang pertama adalah meningkatkan
pembelajaran dengan adanya UN inilah maka siswa akan semakin giat dan rapi untuk belajar.
Yang kedua, meningkatkan mental bagaimana dengan UN sebagai alat untuk mengukur kualitas
pendidikan ini dapat memperkuat dan meningkatkan mental para siswa. Yang terakhir, sangat
menguntungkan bagi lembaga bimbingan belajar dengan adanya UN siswa akan memilih

menambah pembelajarannya di bimbingan belajar dan lembaga bimbingan belajar mendapatkan


keuntungan yang cukup besar.
Faktanya Ujian Nasional mendidik masyarakat sekolah untuk bersikap tidak jujur. Jauhjauh hari sebelum UN diselenggarakan berbagai rapat koordinasi dilakukan oleh sekolah-sekolah
serayon. Tujuannya adalah memuluskan sekolah-sekolah tersebut untuk memenangkan UN dan
meluluskan semua siswa. Rapat koordinasi tersebut menghasilkan kesepakatan untuk
melonggarkan pengawasan UN dan memberikan jawaban kepada siswa. Regulasi baru ujian
nasional yang menggabungkan antara nilai ujian sekolah dan ujian nasional untuk mementukan
kelulusan membuat sekolah semakin mudah membuat kecurangan dengan menaikkan nilai ujian
sekolah setinggi-tingginya untuk mengantisipasi nilau ujian nasional yang jeblok. Sekolah
tentunya tidak ingin menangggung malu jika banyak siswa yang tidak lulus. Dampaknya sekolah
tidak dapat berpromosi kepada calon murid baru disekolahnya dengan spanduk-spanduk yang di
pajang di depan sekolahnya dengan huruf-huruf besar Lulus 100 % . lalu kualitas seperti apa
yang kita harapkan dari pelaksanaan UN yang semakin bobrok. Kita masih saja mengambil
langkah yang konvensional untuk menentukan kelulusan padahal pemerintah sendiri terus
menerus menggaungkan pembelajaran untuk menghasilkan output yang menghasilkan sumber
daya manusia yang memilki softskill.
Apakah pendidikan seperti ini yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara? Tentu tidak.
Pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan harus mampu
menciptakan sumber daya manusia yang mampu membangun Indonesia. Sudah waktunya Ujian
Nasional dihapuskan karena tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan ujian nasional. Solusi
pengganti bisa berupa tugas akhir yang dirancang semacam proyek untuk mengembangkan
kreatifitas siswa. Bukan tidak mungkin dengan pemberian tugas akhir seperti itu dapat
merangsang siswa untuk menciptakan penemuan baru. Penemuan-penemuan yang nantinya dapat
menjadi cikal bakal terciptanya individu-individu yang produktif dan berdaya saing yang sesuai
dengan cita-cita Ki Hajar Dewantara. Saatnya membuka mata dan tidak menutup diri bahwa
ujian nasional sudah tidak dapat lagi digunakan sebagai tolak ukur kualitas pendidikan di
Indonesia. Saatnya mengajarkan siswa untuk mengembangkan kreasinya bukan hanya
berpatokan pada ranah kognitifnya saja tetapi juga mengembangkan ranah psikomotor dan
afektif yang jauh lebih berpengaruh dalam menentukan kualitas kita. Percuma data statistik ujian

nasional menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun tapi bukti nyatanya justru pendidikan kita
semakin terpuruk. Buka mata dan pikiran dan lihat apa yang sebenarnya terjadi. Mari wujudkan
cita-cita pendidikan kita yang sebenarnya agar makna peringatan hari pendidikan nasional yang
selalu kita rayakan setiap 2 mei itu tidak benar-benar luntur.

Penulis adalah guru di SM-3T ( Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal
) dari NTB penempatan kabupaten Ngada, Provinsi NTT )

Anda mungkin juga menyukai