Cristomi Thenager
(102011449) / B7
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat
Telp: (021) 569 42061
Email: cristomythenager@yahoo.com
Kasus
Seorang perempuan berusia 7 tahun dibawah ibunya ke UGD RS dengan keluhan
lemas sejak beberapa jam yang lalu. Keluhan disertai nyeri perut dan kadang-kadang muntah.
Menurut ibunya, pasien BAK sedikit sekali. Kesadaran: Somnolen. TTV: TD 80/50mmHg,
RR 40x/menit napas cepat dan dalam, suhu 37C, nadi 120x/menit. Capillary refill 3 detik
Mudah haus, sering kencing/ngompol, lapar, cepat lelah. BB pasien turun 3kg sejak 2 minggu
yang lalu. Turgor kulit menurun, bau napas keton, gula darah sewaktu 400, urinalisis: benda
keton.
I.
PENDAHULUAN
Kebanyakan orang tua sangat khawatir bila anaknya mengeluh sakit. Tidak hanya
pada saat anak mengeluh sakit, saat anak cenderung diam daripada biasanya orang tua bisa
sangat khawatir. Banyak hal yang dapat menyebabkan si anak cenderung diam, salah satunya
adalah penurunan kesadaran yang dialami. Ada beberapa sebab terjadinya penurunan
kesadaran, seperti pada kasus yang dialami anak perempuan 7 tahun pada skenario ini.
Ketoasidosis diabetik adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa bila
tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh penurunan kadar insulin
efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan sejumlah hormon seperti glukagon,
katekolamin, kortisol, dan growth hormone. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak dengan diabetes mellitus tipe 1
(IDDM). Mortalitas terutama berhubungan dengan edema serebri yang terjadi sekitar 57% 87% dari seluruh kematian akibat KAD1
II.
PEMBAHASAN
Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan lewat suatu
percakapan atau komunikasi dua arah antara dokter dan pasien. Anamnesis yang baik disertai
dengan empati dari dokter terhadap pasien. Perpaduan keahlian mewawancarai dan
pengetahuan yang mendalam tentang gejala (simtom) dan tanda (sign) dari suatu penyakit
akan memberikan hasil yang memuaskan dalam menentukan diagnosis kemungkinan
sehingga dapat membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu, autoanamnesis dan aloanamnesis. Autoanamnesis dilakukan langsung pada pasien,
sedangkan aloanamnesis dilakukan dengan keluarga atau wali dari pasien tersebut.
Aloanamnesis dilakukan jika pasien tidak dapat memberikan informasi kepada kita (koma,
cacat, dan bayi atau anak-anak).2
a. Identitas
Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin,
nama orang tua atau suami atau isteri atau yang bertanggung jawab, alamat,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama. Identitas perlu ditanyakan untuk
memastikan bahwa pasien yang dihadapi adalah memang pasien yang dimaksud.
Selain itu, identitas ini juga perlu untuk data penelitian, asuransi dan lain sebagainya.
KASUS: Seorang perempuan berusia 7 tahun
b. Keluhan Utama (Chief Complaint)
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi
ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama, harus disertai
dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut.
KASUS: Keluhan lemas sejak beberapa jam yang lalu.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pada pasien
datang berobat.
KASUS: Keluhan disertai nyeri perut dan kadang-kadang muntah. BAK
sedikit sekali, Mudah haus, sering kencing/ngompol, lapar, cepat lelah. BB
pasien turun 3kg sejak 2 minggu yang lalu
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh.2
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriakteriak, berhalusinasi, kadang berhayal.2
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap
nyeri.2
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga
tidak ada respon pupil terhadap cahaya). 2
KASUS: Pasien ini tingkat kesadaran Somnolen
Tekanan Darah
Sistolik
Diastolik
< 90
< 60
100-120
70-80
130 - 139
85 - 89
4
Hipertensi :
Derajat 1 : ringan (mild)
140 - 159
90 - 99
Derajat 2 : sedang (moderate)
160 - 179
100 - 109
Derajat 3 : berat (severe)
180 - 209
110- 119
Derajat 4 : sangat berat (very severe)
> 210
> 120
KASUS: tekanan darah pasien adalah 80/50 mmHg. (Pasien termasuk dalam
kategori tekanan darah hypotension).
o Suhu4
Oral
37oC
Suhu rata-rata
Aksila
36,4oC
Rektal
37,6oC
Nadi (denyut/menit)
Normal
60 - 100
Brakikardi
< 60
Takikardi
> 100
KASUS: denyut nadi pasien adalah 120x/menit. (Pasien termasuk dalam
kategori takikardi)
o Frekuensi nafas
Usia
Pernapasan (kali/menit)
Normal
16-20
Bradipneu
< 10
Takipneu
> 24
KASUS: frekuensi nafas pasien adalah 40x/menit. (Pasien termasuk dalam
kategori takipneu).
4. Capillary refill test
Capillary refill test adalah tes cepat yang dilakukan untuk menilai kecukupan sirkulasi
seseorang individu dengan curah jantung yang buruk. Kulit ditekan dengan kuat oleh ujung
jari sampai menjadi pucat, waktu yang dibutuhkan hingga kulit tersebut kembali normal
warna menunjukkan waktu pengisian kapiler. Pengisian kapiler normal memakan waktu
sekitar 2 detik.
Capillary refill adalah pengukuran pengisian darah pada kapiler yang kosong. Hal ini
dapat diukur dengan memegang tangan lebih tinggi dari jantung (mencegah refluks dari
vena), menekan lembut jari atau jari kaki sampai ternyata warna putih dan mencatat waktu
yang dibutuhkan hingga warna kulit kembali setelah tekanan dilepaskan.waktu isi ulang yang
5
normal adalah kurang dari dua detik. Pada bayi baru lahir, pengisian kapiler dapat diukur
dengan menekan sternum lima detik dengan jari atau inu jari, dan mencatat waktu yang
dibutuhkan hingga warna kulit kembali sekali tekanan dilepaskan. Batas normal atas untuk
pengisian kapiler bayi baru lahir adalah tiga detik. Capillary refill time adalah indikasi umum
dari dehidrasi dan penurunan perfusi perifer. Pada umumnya tes ini dapat sangat bervariasi
antara pasien beberapa pasien. Oleh karena itu tidak boleh diandalkan sebagai ukuran
diagnosis universal. Meskipun demikian pemeriksaan sangat berguna sebagai bukti
pendukung untuk tanda positif penurunan perfusi ke ekstermitas.1,2
KASUS: Capillary refill 3 detik
Pemeriksaan penunjang
a. Glukosa darah
Pemeriksaan glukosa darah yang tinggi mendasari diagnosis seseorang menderita
diabetes mellitus. Pada pasien ini diduga menderita ketoasidosis diabetik lakukan
pemeriksaan glukosa darah untuk meyakinkan benar atau tidaknya pasien tersebut menderita
diabetes mellitus.
Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan
cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. PERKENI membagi alur diagnosis DM.
gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsi, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab
yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM adalah lemas, kesemutan, luka yang sulit
sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila
ditemukan gejala khas DM, periksa glukosa darah, abnormal satu kali saja sudah cukup untuk
menegakan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua
kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga data ditegakkan melalui cara
pada Tabel 1.5
1.
2.
3.
Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti biasa dan tetap melakukan
< 140 mg/dL menandakan glukosa darah normal, 140 - < 200 mg/dL menandakan toleransi
glukosa terganggu, 200 mg/dL menandakan pasien menderita diabetes.5
Jika glukosa darah pasien termasuk dalam interpretasi toleransi glukosa terganggu,
lakukan
ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya tidak dianjurkan karena di samping biaya
yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Pemeriksaan
penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk
mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah
lima sampai sepuluh tahun kemudian sepertiga kelompok TGT akan berkembang sebagi DM,
sepertiga tetap TGT dan sepertiga lainnya kembali normal.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa
darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa.
Tabel 2. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring
dan Diagnosis DM (mg/dL)2
Bukan
Belum
DM
pasti DM
DM
Konsentrasi
Plasma
< 100
100
200
glukosa darah
vena
Darah
<9
199
90 199
200
Plasma
< 100
100
126
vena
Darah
< 90
125
90 99
100
sewaktu
(mg/dL)
Konsentrasi
glukosa darah
puasa (mg/dL)
kapiler
kapiler
b. Pemeriksaan pH
Analisis gas darah dilakukan untuk melihat pH darah pasien. Interpretasi dari
pemeriksaan analisis gas darah ini mengarah pada derajat asidosis ringan ( pH 7,2 7,3),
sedang (pH 7,1 7,2) atau berat (pH < 7,1). Pada pasien diabetes mellitus tipe 1 dengan
komplikasi ketoasidosis diabetic didapatkan pH vena < 7,3. Bikarbonat sendiri digunakan
untuk mengukur anion gap. Sehingga dapat menentukan derajat asidosis. Pada pasien
ketoasidosis bicarbonat < 15 meq/L.
c. Urinalisis
Pada pemeriksaan urin dilakukan pemeriksaan makroskopis urin dan yang penting
adalah benda keton urin. Pemeriksaan makroskopis yang sangat diperlukan adalah
pemeriksaan pH urin. Salah satu fungsi ginjal adalah mengatur keseimbangan asam basa
tubuh melalui ekskresi ino H+ dan reabsorpsi bikarbonat sehingga pemeriksaan pH urin dapat
menggambarkan gambaran keadaan pH tubuh. Urin normal mempunyai pH 4,5 8,0.6
pH urin asam dapat dijumpai pada diet tinggi protein, beberapa jenis obat (misalnya
NH4Cl, mandelic acid) serta penyakit tertentu salah satunya adalah diabetes mellitus dengan
ketoasidosis.6
Selain untuk memeriksa pH, urin juga digunakan untuk pemeriksaan benda keton
urin. Pemeriksaan terhadap benda keton urin dapat dilakukan dengan reagen Rothera dan
reagen Gerhardt. Di antara kedua test tersebut, tes Rothera lebih peka daripada tes Gerhardt.
Tes Gerhardt positif akan disertai tes Rothera positif pula. Bila tes Gerhardt positif tetapi tes
Rothera negatif, artinya adalah tes Gerhardt menunjukan hasil positif palsu.6
Pada pasien ketoasidosis akan menunjukan hasil positif pada pemeriksaan benda
keton urin.
(glucagon,
epinefrin,
kortisol,
hormone
pertumbuhan)
yang
seringkali
meningkatkan kadar glukosa dalam kisaran hiperglikemia (efek Somogyi). Kadar glukosa
yang naik turun menyababkan pengontrolan diabetic yang buruk. Mencegah hipoglikemia
adalah dengan menurunkan dosis insulin dan dengan emikian menurunkan hiperglikemia.1,3
Beberapa faktor pencetus terjadinya hipoglikemia pada pasien DM adalah, intake
makanan yang berkurang tetapi terapi untuk penurunan glukosa darah dilakukan secara rutin,
dosis obat yang dipakai terapi pada pasien DM berlebihan, untuk itu pada pasien DM
pemberian dosis obat ada baiknya untuk dititrasi. Atau mungkin dosis obat tidak menjadi
masalah melainkan kelainan dari organ ginjal yang menyebabkan ekskresi dari obat
terganggu, ataupun aktivitas jasmani yang meningkat dari biasanya dan tidak disertai dengan
intake glukosa yang sepadan.
MODY (Maturity Onset of Diabetes of the Young) merupakan DM Tipe 2 pada
anak-anak dan remaja. DM tipe 2 (DM tidak tergantung insulin) umumnya terjadi setelah
usia 40 tahun, tetapi dapat terjadi pada usia berapapun. Biasanya DM tipe 2 jarang terjadi
pada anak dan remaja, ketika diabetes tampak sebagai toleransi glukosa yang abnormal dan
biasanya terjadi pada anak yang gemuk. Pada MODY terdapat gangguan pada reseptor
insulin karena adanya defek genetik pada fungsi sel beta.Gangguan reseptor insulin yang
disebut resistensi insulin merupakan ciri utama baik DM tipe 2 maupun MODY. Biasanya
10
pada anak-anak terjadi DM tipe-1 dengan ciri tubuh yang kurus dan ketoasidosis akibat
kerusakan sel beta penghasil insulin. Gejala MODY pada anak-anak berupa obesitas dengan
penimbunan lemak di bagian perut karena MODY merupakan DM tipe-2. Pada MODY
terjadi toleransi karbohidrat yang abnormal, kadar insulin yang normal atau menurun sedang,
kadar trigliserida yang meningkat dan biasanya memliki riwayat keluarga DM tipe 2 yang
kuat dalam pola mengesankan pewarisan dominan. Anak-anak ini mungkin tidak memiliki
keluhan apa pun kecuali selera makannya yang luar biasa dan berat badannya yang terus
bertambah.1,3
Epidemiologi
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester menunjukan bahwa insidens KAD
sebesar 8 per 1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk
kelompok usia dibawah 30 tahun sebesar 13,4 per 1000 pasien DM per tahun. Walaupun data
komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di
negara barat, mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah.8
Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar antara 9 10%, sementara di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian
dapat mencapai 25 - 50%. Angka kematian KAD di RS Dr. Cipto Mangunkusumo dari tahun
ke tahun tampaknya belum ada perbaikan (tabel 3). Selama periode 5 bulan (Januari Mei
2002) terdapat 39 episode KAD dengan angka kematian 15%.8
Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang menyertai KAD
seperti sepsis, syok yang berat, infark miokard akut yang luas, pasien lanjut usia, konsentrasi
glukosa darah yang awalnya tinggi, uremia dan konsentrasi keasaman darah yang rendah.
Kematian pasien KAD usia muda, umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat,
pengobatan yang tepat dan rasional, sera memadai sesuai dengan dasar patofisiologinya. Pada
kelompok usia lanjut, penyabab kematian lebih sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya. 8
Tabel 3. Jumlah Kasus dan Angka Kematian Ketoasidosis Diabetik di RS Dr. Cipto
Mangunkusumo8
Tahun
1983 84 (9 bulan)
1984 88 (48 bulan)
1995 (12 bulan)
1997 (6 bulan)
1998-99 (12 bulan)
Jumlah kasus
14
55
17
23
37
Angka kematian %
31,4
40
18,7
51
11
Dari data yang tampak bahwa jumlah pasien KAD dari tahun ke tahun relative
tetap/tidak berkurang dan angka kematiannya belum juga menggembirakan. Mengingat 80%
pasien KAD telah diketahui menderita DM sebelumnya, upaya pencegahan sangat berperan
dalam mencegah KAD dan diagnosis dini KAD.8
Etiologi
Pasien yang menderita DM memungkinkan untuk terkena komplikasi. Komplikasi
DM dapat dibagi dalam dua kategori mayor, yakni komplikasi metabolic akut dan
komplikasi-komplikasi vascular jangka panjang.1,3
Komplikasi metablik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relative akut dari
konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolic yang paling serius pada DM tipe 1 adalah
ketoasidosis diabetic.1,3
Dengan kata lain ketoasidosis diabetic merupakan komplikasi dari seorang pasien
yang menderita DM tipe 1. Pada penyakit ini terjadi kekacauan metabolic dan akibat dieresis
osmotic pasien ketoasidosis diabetic akan mengalami dehidrasi.
KAD tercetus bila pasien DM tidak teratur meminum obat atau memakai insulin, atau
bahkan seorang penderita DM yang belum mengetahui bahwa dirinya menderita DM
sehingga tidak dapat mewaspadai komplikasi dari penyakitnya tersebut.
Faktor Pencetus
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali.
Pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor
pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan
ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi,
infark miokard akut, pancreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau
mengurangi dosis insulin. Sementara itu 20% pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus.8
Menghentikan atau mengurangi dosis insulin merupakan salah satu pencetus
terjadinya KAD. Adapun alasan pasien mengurangi atau menghentikan dosis insulin adalah
tidak mempunyai uang untuk membeli, nafsu makan menurun, masalah psikologis. Pada
kasus seperti ini 55% menyadari adanya gejala hiperglikemia, walaupun demikian hanya 5%
yang menghubungi klinik diabetes untuk mengatasi hal tersebut.8
Patogenesis
12
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolute atau relative
dan peningkatan hormone kontra regulator (glucagon, katekolamin, kortisol, hormone
pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi
glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia
sangat bervariasi dan tidak menentukan berat ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis
KAD dapat dikelempokan menjadi dua bagian, yaitu akibat hiperglikemia dan akibat ketosis.8
Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan
glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam
lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat dan aseton).
Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton
meningkatkan beban ion hydrogen dan asidosis metabolic. Glukosuria dan ketonuria yang
jelas juga dapat mengakibatkan dieresis osmotic dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan
elektrolit. Pasien dapat mengalami hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya akibat penurunan
penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal.1,3
Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolute atau relative terhadap hormone
kontraregulasi yang berlebihan. Defisiesnsi insulin dapat disebabkan oleh resistensi insulin
atau suplai insulin endogen atau eksogen yang berkurang. Defisiensi aktivitas insulin
tersebut, menybabkan tiga proses patofisiologi yang nyata, yaitu sel-sel lemak, hati dan otot.
Perubahan yang terjadi terutama melibatkanmetabolisme lemak dan karbohidrat.8
Di antara hormone-hormon kontraregulator, glucagon yang paling berperan dalam
patogenesis KAD. Glucagon menghambat proses glikolisis dan menghambat pembentukan
malonyl CaA. Malonyl CoA adalah suatu penghambat cartine acyl transferases (CPT 1 dan 2)
yang bekerja pada transfer asam lemak bebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian
peningkatan glucagon akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis.8
Pada pasien DM tipe 1 konsentrasi glucagon darah tidak teregulasi dengan baik. Bila
konsentrasi insulin rendah maka konsentrasi glukagon darah sangat meningkat serta
mengakibatkan reaksi kebalikan respons pada sel-sel lemak dan hati.8
Konsentrasi epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD. Hormone
pertumbuhan (GH) pada awal terapi KAD konsentrasinya kadang-kadang meningkat dan
lebih meningkat lagi dengan pemberian insulin. Keadaan stress sendiri meningkatkan
hormone kontraregulasi yang pada akhirnya akan menstimulasi pembentukan benda-benda
keton, glukoneogenesis serta potensial sebagai pencetus KAD. Sekali proses KAD terjadi
maka akan terjadi stress yang berkepanjangan.8
13
Manifestasi Klinik
Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini
tentunya sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih ceat sebagai komplikasi akut
DM dan segera mengatasinya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD
didapatkan pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit
berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai dengan hipervolemia sampai syok.
Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium.8
Keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat
berhenti menyuntik insulin, demam atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang
paling sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat juga dijumpai nyeri perut yang
menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung.8
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium atau depresi
sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol).8
Penatalaksanaan
Begitu masalah diagnosis KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai. Pengelolaan
KAD tentunya berdasarkan patofisiologi dan patogenesis penyakit, merupakan penyakit
titerasi, sehingga sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif. Prinsip-prinsip pengelolaan
KAD adalah penggantian cairan dan garam yang hilang, menekan lipolisis sel lemak dan
menekan glikoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin, mengatasi stress sebagai
pencetus KAD, mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.8
Yang pertama dilakukan adalah rehidrasi pada pasien KAD, dengan kata lain atasi
dehidrasi yang dialami pasien terlebih dahulu. Pengobatan KAD tidak terlalu rumit, 5 hal
penting yang harus diberikan adalah cairan, garam, insulin, kalium dan glukosa.8
Tindakan umum
Penderita dikelola dengan tirah baring. Bila kesadaran menurun penderita dipuasakan.
Untuk membantu pernapasan dipasang oksigen nasal (bila PO 2 < 80 mgHg). Pemasangan
sonde hidung-lambung diperlukan untuk mengosongkan lambung, supaya aspirasi isi
lambung dapat dicegah bila pasien muntah. Kateter urin diperlukan untuk mempermudah
balans cairan, tanpa mengabaikan resiko infeksi. Untuk keperluan rehidrasi, drip insulin, dan
koreksi kalium dipasang infus 3 jalur. Pada keadaan tertentu diperlukan pemasangan CVP
14
yaitu bila ada kecurigaan penyakit jantung atau pada pasien usia lanjut. EKG perlu direkam
secepatnya, antara lain untuk pemantauan kadar K plasma. Heparin diberikan bila ada DIC
atau bila hiperosmolar berat (>380 mOsm/L). Antibiotik diberikan sesuai hasil kultur dengan
hasil pembiakan kuman dari urin, usap tenggorok, atau dari bahan lain.9
Cairan
Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fisiologis. Berdasarkan perkiraan
hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml per kg berat badan, maka pada jam pertama
diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter dan selanjutnya sesuai protocol. Ada
dua keuntungan rehidrasi pada KAD: memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan
hormone kontraregulator insulin. Bila konsentrasi glukosa kurang dari 200mg% maka perlu
diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%).8
Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang
memadai. Pemberian insulin akan menurunkan konsentrasi hormon glukagon, sehingga dapat
menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak,
pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilasi glukosa oleh jaringan.8
180 mU/kgBB diberikan sebagai bolus intravena, disusul dengan drip insulin 90
mU/jam/kgBB dalam NaCl 0,9%. Bila kadar glukosa darah turun hingga kurang dari 200 mg
% kecepatan drip insulin dikurangi hingga 45 mU/jam/kgBB. Bila glukosa darah stabil
sekitar 200-300 mg% selama 12 jam dilakukan drip insulin 1-2 U per jam di samping
dilakukan sliding scale setiap 6 jam. Setelah sliding scale tiap 6 jam dapat diperhitungkan
kebutuhan insulin sehari bila penderita sudah makan, yaitu 3 kali sehari sebelum makan
secara subkutan. 10
Tabel 4. Jenis dan Preparat Insulin10
JENIS
PREPARAT
Insulin kerja
Actrapid Human
pendek
40/Humulin
Actrapid Human 100
Insulin kerja
menengah
Insulin kerja
AWITAN
PUNCAK
LAMA
KERJA (JAM)
KERJA (JAM)
0,5 1
24
KERJA
(JAM)
58
12
4 12
8 24
6 20
18 36
15
panjang
0,5 1
Mixtard
2 4 dan 6 -
8 - 24
12
Insulin
campuran
Cara pemakaian insulin :
Kalium
Pada awal KAD biasanya konsentrasi ion K serum meningkat. Hiperkalemia yang
fatal sangat jarang dan bila terjadi harus segera diatasi dengan pemberian bikarbonat. Bila
pada EKG ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat segera
mengatasi keadaan hiperkalemia tersebut.8
Yang perlu menjadi perhatian adalah terjadinya hipokalemia yang fatal selama
pengobatan KAD. Ion kalium terutama terdapat intraseluler. Pada keadaan KAD, ion K
bergeak keluar sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui urin. Total deficit K yang terjadi
selama KAD diperkirakan mencapai 3-5 mEq/kgBB. Selama terapi KAD ion K kembali ke
dalam sel. Untuk mengantisipasi masuknya ion K keluar sel dan mempertahankan konsentrasi
K serum dalam batas normal, perlu pemberian kalium. Pada pasien tanpa gagal ginjal serta
tidak ditemukan gelombang T yang lancip dan tinggi pada EKG, pemberian kalium segera
dimulai setelah jumlah urin cukup adekuat.8
Karena kalium serum menurun segera setelah insulin mulai bekerja, pemberian
kalium harus dimulai bila diketahui kalium serum dibawah 6 mEq/l. Ini tidak boleh terlambat
lebih dari 1-2 jam. Sebagai tahap awal diberikan kalium 50 mEq/l dalam 6 jam (dalam infus).
Selanjutnya setelah 6 jam kalium diberikan sesuai ketentuan berikut :9
kalium < 3 mEq/l, koreksi dengan 75 mEq/6 jam
kalium 3-4,5 mEq/l, koreksi dengan 50 mEq/6 jam
kalium 4,5-6 mEq/l, koreksi dengan 25 mEq/6 jam
kalium > 6 mEq/l, koreksi dihentikan
Kemudian bila sudah sadar beri kalium oral selama seminggu.9
Glukosa
Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya konsentrasi glukosa darah akan turun.
sekitar 60mg%/jam. Bila konsentrasi glukosa mencapai < 200mg% maka dapat dimulai
infuse dengan mengandung glukosa. Perlu ditekankan di sini bahwa tujuan terapi KAD bukan
untuk menormalkan konsentasi glukosa tetapi untuk menekan ketogenesis.8
Bikarbonat
Terapi bikarbonat pada KAD menjadi perdebatan selama beberapa tahun. Pemberian
bikarbonat hanyan dianjurkan pada KAD yang berat. Adapun alasan keberatan pemberian
bikarbonat adalah:8
Menurunkan pH intraseluler akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat
Efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan
Hipertonis dan kelebihan natrium
Meningkatkan insiden hipokalemia
Gangguan fungsi serebral
Terjadi alkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto
Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 walaupun demikian
komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemi yang mengancam tetap merupakan indikasi
pemberian bikarbonat.8
Bila pH meningkat maka kalium akan turun, oleh karena itu pemberian bikarbonat
disertai dengan pemberian kalium, dengan ketentuan sbb:9
Tabel 5. Dosis atau Kadar Pemberian Bikarbonat6
pH
Bikarbonat
<7
100 mEq
7 - 7,1
50 mEq
>7,1
0
Kalium
26 mEq
13 mEq
0
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD adalah sebagai
berikut edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut dan komplikasi iatrogenic.
Komplikasi iatrogenic tersebut adalah hipoglikemia, hipokalemia, hiperkloremia, edema otak
dan hipokalsemia.8
Pencegahan
Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan
kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada
sistem pelayanan kesehatan lebih baik dan komunikasi efektif terutama pada saat penyandang
DM mengalami sakit akut.8
Upaya pencegehan merupakan hal yang penting pada penatalaksanaan DM secara
komprehensif. Khusus mengenai pencegahan KAD dan hipoglikemia, program edukasi perlu
menekankan pada cara-cara mengatasi saat sakit akut. Yang paling penting ialah pasien tidak
menghentikan pemberian insulin dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau nasihat
tenaga kesehatan yang professional.8
Prognosis
Dengan terapi yang baik, tingkat kematian akibat KAD menjadi sangat rendah (<1%)
dan biasanya terjadi jika berhubungan dengan komplikasi yang lain, seperti infeksi atau
infeksi pada bagian kardiovaskular. Setelah perawatan, dokter dan pasien harus memantau
kembali dari awal kejadian kejadian yang menyebabkan terjadinya KAD untuk mencegah
terjadinya hal yang sama nantinya. Yang terpenting, pasien harus diberikan edukasi tentang
gejala gejala dari KAD, faktor faktor predisposisinya, dan bagaimana cara menangani
diabetes.11
III.
PENUTUP
Kesimpulan :
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan penunjang dapat diketahui
bahwa anak perempuan 7 tahun tersebut menderita ketoasidosis diabetic yang disebabkan
oleh diabetes mellitus tipe 1 yang dideritanya. Ketoasidosis diabetik adalah keadaan
dekompensasi-kekacauan metabolic yang ditandai oleh trias biokimia: hiperglikemia, asidosis
dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolute atau relative. Pada kasus
18
ketoasidosis metabolic penanganan yang harus dilakukan pertama kali adalah rehidrasi cairan
setelah itu menekan lipolisis dan glukoneogenesis. Komplikasi iatrogenic dapat dicegah
dengan pemantauan cermat. Program edukasi DM, khususnya bagaimana penyandang DM
menghadapi sakit akut, dapat mencegah KAD ataupun KAD berulang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Price S, Wilson L. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2003.h.1260-2. h. 885-893. H. 1267-8
2. Uliyah M. Keterampilan Dasar Praktik Klinik. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika;
2008.h.153.
3. NIH.
BMI
Calculator.
2011.
Diunduh
dari
19