Anda di halaman 1dari 7

Debat Legalisasi Ganja

28 Juni 2007 - 11:5 WIB

Hery Murwono

Rokok Saja Rontok, Ganja Apalagi!


Akhir-akhir ini ganja "beredar" sangat terbuka di masyarakat, khususnya
media massa. Tentu saja bukan peredarannya yang terbuka, melainkan
diskursus mengenai kajian legalisasi ganja yang sedang dilakukan Badan
Narkotika Nasional (BNN) dan Indonesian National Institute of Drug
Abuse (INIDA). Diskursus ini bergulir bersamaan dengan usulan
pemerintah untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Antinarkoba
sebagai penggabungan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Rencana penggabungan
kedua undang-undang itu menjadi UU Antinarkoba, secara proses masih terus dibahas
lewat Panitia Khusus Narkotika Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam UU 22/1997 ganja dikategorikan sebagai narkotika golongan I yang dikenal


dengan istilah hard drugs seperti kokain, heroin, dan putaw. Pasal 78 ayat b menyatakan
memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika
golongan I bukan tanaman, dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling
banyak Rp 500 juta. Selain itu pemerintah juga pernah mengatur secara khusus pertanian
ganja lewat PP 1/1980 tentang Ketentuan Penanaman Papaver, Koka, dan Ganja.
Berdasarkan PP ini lembaga pendidikan atau lembaga pengetahuan bisa menanam ganja
setelah memperoleh izin. Lembaga ini harus membuat laporan setiap enam bulan sekali
mengenai lokasi, luas tanaman, dan hasil.

Di Eropa, isu legalisasi


ganja juga menjadi
perkara serius sampai
ke tingkat parlemen
untuk merespon
kebijakan Belanda
tentang legalisasi
ganja tersebut .

Pembahasan RUU Antinarkoba bermula ketika


pemerintah menyampaikan draf RUU Antinarkoba ke
DPR pada 22 September 2005. Lewat draf RUU tersebut,
pemerintah mengharapkan revisi UU 22/1997 sebagai
upaya penanggulangan kejahatan narkotika yang terus
meningkat. Terkait dengan statemen apakah status ganja
akan diturunkan, atau sampai pada pemikiran melegalkan
ganja di Indonesia, tentunya pandangan tersebut bukan
semudah membalik telapak tangan. Selain aspek
pemanfaatan dan yuridis, perlu juga dikaji secara
sosiologis dan kultur masyarakat kita.

Kalau ditelisik di negara-negara maju seperti Eropa, isu legalisasi ganja juga menjadi
perkara serius sampai ke tingkat parlemen untuk merespons kebijakan Belanda tentang
legalisasi ganja tersebut. Berdasarkan pandangan Hukumonline tentang peredaraan ganja
di Belanda, sejauh ini tidak ada aturan yang menyatakan ganja legal. Bahkan, revisi tahun
1976 terhadap UU Opium Belanda menempatkan ganja ke dalam status ilegal dan ada
ancaman hukuman bagi produsen, penjual, serta penggunanya. Alasan pemrintah Belanda
lebih pada langkah pragmatis untuk mengontrol ganja dan hashish yang tertuang dalam
buku Introduction to Dutch Law terbitan Kluwer International (1999). Meski begitu,
bukan berarti pemerintah Belanda benar-benar membebaskan penggunaan ganja,
pengedaran yang sistematis, serta ekspor-impor, pelakunya akan tetap dapat dipenjara.

Persoalan ganja adalah persoalan yang berkaitan dengan soal kemanusiaan di mana masa
depan generasi muda suatu masyarakat akan melanjutkan peradaban leluhurnya.
Persoalan ganja juga berkaitan erat dengan perputaran roda ekonomi dalam kuantitas
yang besar, bahkan ditaksir sama dengan nominal uang yang dihasilkan dari industri
tekstil dunia. Negara-negara di belahan Timur memang lebih keras merespons hal
tersebut, seperti tetangga kita Malaysia dan Singapura menerapkan hukum penggal
kepala untuk para pengedar ganja.

Data Tindak Pidana Nartotika Indonesia


2001 2002

2003

2004

2005

2006

Total

Narkotika

1.907 2.040

9.929 3 .874

8 .171 9 .422

29.343

Psikotropika

1.648 1.632 2 .590 3 .887

6 .733 5 .658

22.148

1 .348 2 .275

5.033

7.140 8.409 16.252 17.355

56.524

Bahan Adiktif

62

79

Jumlah Total

3.617 3.751

Kenaikan (%)

3,7

6 21

90,3

6 48

17,8

93,3

6,8

205

Sumber: Dit IV/Narkoba, Desember 2006

Tabel data tersebut menunjukkan persoalan narkotika memperlihatkan tren yang terus
meningkat setiap tahunnya. Peningkatan ini tentu saja tidak berkorelasi positif terhadap

kinerja aparat penegak hukum dalam kasus ini Polri. Namun banyak faktor yang
menyebabkan tingkat pengguna drugs bertambah secara signifikan. Alasannya antara lain
liberalisasi ekonomi yang terjadi di Indonesia, dunia pendidikan yang masih minim
memperkenalkan ancaman drugs terhadap generasi muda bangsa, dan masyarakat
(lingkungan keluarga dan tempat tinggal) yang masih awam.
Alasan utama yang
harus dipertimbangkan
dari rencana
"legalisasi ganja"
adalah dampak sosial
yang akan timbul

Alasan utama yang harus dipertimbangkan dari rencana


"legalisasi ganja" adalah dampak sosial yang akan timbul
terhadap masyarakat, khususnya generasi muda. Karena
ganja mengandung unsur Tetrahydrocannabinol (THC)
yang memiliki efek analgesic, karena sifatnya sebagai
halusinogen dan dapat menimbulkan euforia, efek negatif
ganja adalah membuat orang menjadi malas. Efek paling
buruk dari ganja karena menjadikan reaksi pemakai lebih
lambat dan pengguna cenderung kurang waspada. Ini akan
menimbulkan kerawanan sosial yang tinggi dalam
masyarakat.

terhadap masyarakat,
Jika kita tarik perbandingan dengan negara-negara maju
seperti Belanda, pemerintah Belanda membuat
pengawasan yang sangat ketat terhadap peredaran drugs.
muda.
Remaja di bawah umur 18 tahun belum, bahkan tidak bisa
menikmati rokok dan alkohol. Secara terbuka pula di negara-negara Eropa penjual rokok
dan alkohol dapat diakses bebas, tidak hanya itu tetapi juga majalah, VCD, dan DVD
untuk dewasa pun dijual secara terbuka dengan alasan yang ketat bahwa hanya kalangan
yang berumur 18 tahun ke atas yang dapat membeli. Kalau terjadi pelanggaran terhadap
aturan yang berlaku, penjual akan dikenai sanksi hukum yang berat.
khususnya generasi

Sementara dalam relasi sosial dan kultural dalam masyarakat kita tidaklah seperti yang
terjadi di negara-negara maju yang masyarakatnya sudah rasional dan tertib hukum.
Kesadaran sosial masyarakat kita masih rendah. Pelajar yang berseragam sekolah dengan
mudah membeli rokok dan mengisapnya di depan umum. Bebas pula membeli terbitan
untuk kalangan dewasa. Di sinilah poin yang akan saya garis bawahi. Apabila ganja
diturunkan golongannya dan jenis soft-drugs lainnya dapat dijual bebas, lalu bagaimana
dengan pengunaan hard-drugs lainnya? Berkaca pada pengalaman untuk jenis rokok saja,
sekalipun produsen sudah mencantumkan peringatan "Berbahaya bagi Kesehatan" tetap
saja tidak mendapat gubrisan.

Perbedaan sistem sosial dan kultural antara negara-negara maju dan berkembanglah yang
menjadi alasan utama. Sekali lagi bukan persoalan penegak atau aparat hukum yang

berwenang dalam menjalankan tugasnya, melainkan kesadaran sosial dan kontrol sesama
masyarakat yang masih rendah menjadi pertimbangan.

- AKBP Hery Murwono SSTMK, Kasat Binluh Ditnarkoba Polda Daerah Istimewa
Yogyakarta

Wiranta Yudha

Legalisasi Ganja, Langkah Positif


Beberapa waktu lalu Badan Narkotika Nasional (BNN) meminta
pemerintah menyusun RUU Antinarkoba sebagai penggabungan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Penggabungan dua undangundang tersebut bertujuan memberantas sindikat peredaran narkotika dan
obat terlarang yang menggunakan celah UU Psikotropika yang mengatur
penggunaan obat terlarang untuk tindakan medis.
Gagasan tersebut tentu berkaitan dengan upaya pencegahan dari penyalahgunaan
narkotika dan obat terlarang yang semakin meningkat di Indonesia. Termasuk di
dalamnya peningkatan ancaman hukuman pidana, baik dalam bentuk pidana minimal
khusus dan maksimal.

Berkaitan dengan hal tersebut, wacana tentang legalisasi ganja yang dilontarkan BNN
menarik untuk diperhatikan. Sejauh ini opini tentang ganja selalu ditabukan dalam sistem
hukum kita. Banyak kalangan menutup mata terhadap banyaknya manfaat ganja untuk
berbagai bidang. Daun ganja bisa dibuat sayur, batangnya bisa dijadikan serat tali, dan
faedah lainnya adalah beberapa hal untuk menyebut ganja sesungguhnya memiliki sisi
positif. Dalam undang-undang selama ini ganja masuk ke dalam psikotropika golongan
satu dengan ancaman hukuman bisa berupa pidana mati. Padahal kalau dikaji lebih
saksama lagi niscaya akan lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya.
Padahal kalau dikaji
lebih saksama lagi
niscaya akan lebih
banyak manfaatnya
daripada mudaratnya.

Sebagai ilustrasi kita bisa melihat Kanada. Berkaca pada


pengalaman negara tersebut dalam melegalisasi penjualan
ganja di apotek, maka kita tidak akan segera apriori
terhadap usulan BNN tersebut. Apa yang mereka lakukan
berkaitan dengan ganja? Para pejabat setempat
mengorganisasi sebuah proyek percobaan di Provinsi

British Columbia, dengan mencontoh program satu tahun di Belanda. Di Kanada, ada 78
paramedis yang diizinkan membeli ganja resmi dari pemerintah, yang tumbuh Flin Flon,
Manitoba. Satu ons dijual sekitar US$ 113 dan kemudian ganja dikirim melalui kurir ke
pasien atau para dokter mereka. Departemen kesehatan Kanada juga sedang mengubah
peraturan untuk mengizinkan apotek mempuyai stok ganja untuk dijual bebas tanpa resep
dokter, serupa dengan peraturan atas sejenis obat yang disebut morning after pil. Dalam
keadaan darurat, obat-obatan tersebut dapat diperoleh secara langsung dari apoteker tanpa
resep dokter (www.isekolah.org).

Mengapa mereka bisa melakukan hal tersebut? Karena ternyata ganja mempunyai banyak
manfaat. Manfaatnya sangat bervariasi, seperti mengurangi rasa sakit dan mual efek
penyakit AIDS dan penyakit lainnya. Di Kanada, proyek percobaan legalisasi ganja dikaji
di British Columbia secara ilmiah oleh perguruan tinggi farmasi di provinsi tersebut.
Kemudian mereka mengeluarkan rekomendasi yang menguncangkan, yaitu mendukung
distribusi ganja medis di apotek.

Jika sebagian pihak sementara ini menentang ide dan usulan BNN, itu tentu bisa
dimengerti. Bayangan tentang barang yang bisa memabukkan dan "merusak" generasi
muda ini memang tidak bisa dinafikan begitu saja. Namun menurut hemat penulis, tidak
adanya payung hukum bagi usaha penelitian ganja, selama ini, mengakibatkan minimnya
akses informasi masyarakat terhadap tanaman yang tumbuh subur di dataran Aceh itu.
Sehingga tidak heran jika kemudian yang muncul adalah sikap antipati dan apriori dari
sebagian masyarakat.

Di luar negeri penggunaan ganja ternyata dibedakan, yaitu penggunaan untuk industri dan
untuk penggunaan terlarang. Ganja untuk pengunaan terlarang dikenal sebagai cannabis,
sedangkan untuk penggunaan industri dikenal dengan istilah hemp. Sementara di
Indonesia tidak mengenal perbedaan ini. Hal ini seperti tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997. Di situ disebutkan bahwa ganja termasuk sebagai narkotika.
Salah satu sebab mengapa ganja menjadi tumbuhan terlarang adalah karena zat THC. Zat
ini bisa mengakibatkan pengguna menjadi "mabuk" sesaat jika salah digunakan.
Sebenarnya zat THC dalam tumbuhan ganja dapat dikontrol kualitas dan kadarnya jika
ganja dikelola dan dipantau dengan proses yang benar.

Legalisasi ganja bila dikaitkan terhadap tingginya jumlah peredaraan narkotika dan obat
terlarang di Indonesia dengan jenis yang semakin beragam merupakan salah satu cara
untuk menekan angka penggunaan narkotika pada kalangan anak-anak dan remaja.

Sejauh ini lebih dari 78% pecandu dan pengguna obat bius di Indonesia mulai kecanduan
pada usia remaja antara 15 tahun dan 18 tahun.
Bila masyarakat tidak
mau anak-anaknya
mengisap ganja, justru
ganja harus
dilegalkan. Persoalan

Ganja acap kali disalahartikan dengan mengategorikannya


sebagai hard-drugs, seperti kokain, heroin, putaw, juga
alkohol dan sejenisnya. Kita juga tidak bisa memungkiri
sekarang ini akses untuk mendapatkan berbagai drugs dari
yang soft ataupun yang hard sudah sangat mudah. Tetapi
pendidikan secara transparan mengenai fakta nyata
persoalan drugs tidak pernah ada yang sampai ke
masyarakat. Masyarakat hanya dipropaganda bahwa
semua drugs itu jelek. Efek dari hal ini adalah
penyalahgunaan.

ini akan mampu


memangkas para

Legalisasi ganja secara sistematis akan mampu


memecahkan persoalan hukum yang selama ini tumpang
pengedar gelap ganja
tindih, karena sebenarnya dampak dari tumpang tindihnya
payung hukum ini adalah mengarahkan secara tidak
di sekolah-sekolah dan
langsung masyarakat pada penggunaan hard-drugs. Jika
ganja dilegalkan, maka pasaran hard-drugs akan
di sudut-sudut jalan.
terpisahkan dari ganja, dan semakin sedikit orang yang
akan menggunakan hard-drugs. Asumsi paling sederhana adalah bila masyarakat tidak
mau anak-anaknya mengisap ganja, justru ganja harus dilegalkan. Persoalan ini akan
mampu memangkas para pengedar gelap ganja di sekolah-sekolah dan di sudut-sudut
jalan.

Jika orang tua memiliki peran dalam kasus ini, pilihannya adalah: apakah ingin anakanaknya sembunyi-sembunyi mengisap ganja yang dibeli secara gelap di jalanan, atau
ingin berbicara dengan anak-anak dengan tenang dan menerangkan secara terbuka
mengenai ganja dan mengapa mereka sebaiknya menunggu hingga telah cukup umur
untuk mengisap ganja!

Berkaca pada kenyataan bahwa usia remaja memiliki rasa ingin tahu yang besar, maka
dengan memberikan pendidikan secara terbuka mengenai ganja, masyarakat akan dapat
mengurangi penggunaan hard-drugs. Sikap hipokrit masyarakat selama ini justru
melahirkan dampak yang tidak terkontrol dan menjadikannya sebagai fenomena gunung
es. Kecil di permukaan, namun betapa besarnya jika kita tahu yang ada di bawahnya.
Legalisasi ganja sesungguhnya upaya untuk menekan angka penyalahgunaan narkoba dan
sejenisnya, sekaligus mendidik sikap dewasa kita semua melihat suatu persoalan.

- Wiranta Yudha, aktivis sosial dan pemerhati masalah drugs. Pernah melakukan
penelitian mengenai penggunaan narkoba dan HIV/AIDS.

Anda mungkin juga menyukai