PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air Susu Ibu (ASI) adalah susu yang diproduksi oleh ibu untuk
dikonsumsi bayi dan merupakan sumber gizi utama bagi bayi yang belum dapat
mencerna makanan padat (Lusa, 2009). Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan
alamiah terbaik yang diberikan oleh seorang ibu kepada bayi yang baru dilahirkan
(Deswani, 2010).
ASI mengandung semua nutrisi penting yang diperlukan bayi untuk proses
tumbuh kembang. ASI mengandung protein, lemak, gula, dan kalsium dengan
kadar yang tepat. Dalam ASI terdapat juga zat-zat yang disebut antibodi, antibodi
tersebut dapat membantu bayi membangun sistem kekebalan tubuh dalam masa
pertumbuhannya, sehingga bayi dapat terlindungi dari serangan penyakit. Lebih
dari seratus jenis zat gizi yang terkandung dalam ASI namun tidak terdapat dalam
susu
formula,
diantaranya
ialah
AA
(Arachnoid
Acid),
dan
DHA
susu lainnya atau bersama makanan padat. Pada umur 6-9 bulan, sebesar 14%
bayi tidak lagi diberi ASI dan 75% mendapat makanan tambahan. Hal ini
menunjukkan bahwa minuman selain ASI dan makanan pengganti ASI sudah
mulai diberikan pada usia dini. Melihat hal tersebut sepertinya agak sulit untuk
mencapai target nasional ASI eksklusif sebesar 90% (Depkes RI, 2008). Selain itu
berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Surabaya (2011) menyebutkan bahwa
persentase jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif di 58 Puskesmas seluruh Jawa
Surabaya hanya sekitar 54,11% sedangkan target pencapaian nasional sebesar
80%. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan, di Puskesmas Lidah
Kulon Surabaya pemberian ASI pada bayi hanya mencapai 54,54% persen, dari
jumlah 66 bayi hanya sekitar 36 bayi saja yang diberikan ASI (Dinkes, 2011).
Aktivitas menyusui bayi tidak semudah yang dibayangkan. Saat menyusui,
ibu sering kali menemukan berbagai kendala. Terdapat beberapa faktor-faktor
yang mempengaruhi penggunaan ASI salah satunya ialah pengaruh sosial budaya,
seperti adanya mitos-mitos dan kepercayaan tentang menyusui, ibu yang bekerja
atau kesibukan sosial lainnya, meniru teman, tetangga atau orang yang terkemuka
yang memberikan susu botol, merasa ketinggalan jaman bila menyusui bayinya
(Soetjiningsih, 1997).
Faktor sosial budaya memang merupakan salah satu faktor yang
melatarbelakangi perilaku pemberian ASI. Perilaku, sikap dan tingkah laku
manusia dalam hal pemberian ASI dapat di pengaruhi oleh pendidikan.
Pendidikan adalah proses menuju ke perubahan perilaku masyarakat, dan akan
memberi kesempatan pada individu untuk menemukan ide atau nilai baru
(Notoadmojo, 1989).
Dalam halnya perilaku pemberian ASI, pengetahuan ibu yang relatif kurang
terhadap pemberian ASI dapat menurunkan pemberian ASI (Purnawati, 2003), ibu
lebih percaya pada pola perilaku atau kebiasaan yang telah ada secara turun
menurun. Sebagai salah satu contoh terungkap dari hasil penelitian Rini A.
Anggorodi di daerah Jawa Barat, bahwa terdapat beberapa makanan yang pantang
menurut sebagian ibu di daerah Jawa Barat yang dapat mempengaruhi kesehatan
bayi. Jika ibu makan telur dan ikan, menurut pandangan mereka akan
menyebabkan anak tidak mau menyusui karena ASI nya berbau amis, anak
menjadi gatal-gatal dan bisul dan jika makan makanan yang pedas dapat
menyebabkan anak menjadi mencret (Swasono, 1998).
Sama halnya dalam masyarakat di wilayah Karawang, Jawa Barat terdapat
kepercayaan terhadap pola makan ibu menyusui, seperti minum minuman dingin
atau panas. Minum es dipantang karena dapat menyebabkan ibu yang sedangkan
menyusui bayi mudah sakit. Menurut sebagian orang pantangan-pantangan
tersebut dianggap sebagai hal yang harus ditaati, karena merupakan anjuran orang
tua dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat (Media, 2005)
Dari gambaran diatas, terlihat bahwa berbagai alasan yang dikemukakan oleh
ibu-ibu untuk tidak mengkonsumsi makanan tertentu bagi wanita yang sedang
menyusui dilandasi oleh pandangan budaya, yang kadangkala pantanganpantangan tersebut dianggap tidak rasional dan kurang tepat. Sebenarnya makanan
yang ibu makan, tidak begitu saja keluar menjadi ASI dengan rasa yang sama.
Namun, tubuh akan mengolahnya sedemikian rupa sehingga siap untuk diminum
sesuai kondisi bayi. Justru menghindari makanan pedas dan amis bias mengurangi
nafsu makan sang ibu. Bila sama sekali tidak pernah makan daging/ telur juga
dapat membuat ibu kekurangan protein hewani, yang berarti juga asupan gizi
untuk bayi menjadi berkurang. Sebagaimana makanan pedas dan amis, minum
panas atau dingin tidak serta merta membuat ASI menjadi panas atau dingin.
Minuman yang dikonsumsi ibu melalui serangkaian proses sebelum menjadi ASI
dan dikeluarkan dengan suhu yang tepat dengan kondisi bayi. Hanya saja
minuman yang hangat memang lebih baik bagi ibu menyusui, karena air hangat
bias memicu kelenjar bekerja aktif. ASI tidak dapat dingin atau panas, sekalipun
suhu di luar sangat dingin atau sangat panas, suhu ASI akan tetap sama (Rosita,
2008).
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tentang pemberian ASI pada
masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, maka perlu dilakukan
studi lebih mendalam tentang Perilaku Pemberian ASI pada Bayi Terkait dengan
Kebudayaan di Posyandu Seruni Kelurahan Lidah Kulon Wilayah Kerja
Puskesmas Lidah Kulon Surabaya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut yaitu bagaimana perilaku pemberian ASI pada bayi
terkait dengan kebudayaan di Posyandu Seruni RW 2 Kelurahan Lidah Kulon
Wilayah Kerja Puskesmas Lidah Kulon Surabaya.