BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Perilaku
2.1.1 Pengertian Perilaku
Perilaku dari aspek biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
atau makhluk hidup yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakikatnya
adalah suatu aktivitas dan pada manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku
manusia mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara,
bereaksi, berpakaian, dan lain sebagainya. Bahkan kegiatan internal seperti
berfikir, persepsi, dan emosi merupakan perilaku manusia. Dapat dikatakan bahwa
perilaku merupakan sesuatu yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik yang
dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung (Notoatmodjo, 2010).
2.1.2 Proses Pembentukan Perilaku
Seorang ahli psikologi Skiner (1983), merumuskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus. Terori tersebut disebut
dengan
S-O-R
(stimulus-organisme-respons).
Dari
pernyataan
tersebut,
mengartikan bahwa perilaku terbentuk di dalam diri seseorang dari dua faktor
utama:
a. Faktor eksternal yaitu stimulus, merupakan faktor yang paling besar
peranannya dalam membentuk perilaku manusia. Faktor tersebut ialah faktor
sosial dan budaya dimana seorang tersebut berada. Faktor sosial sebagai faktor
eksternal yang mempengaruhi perilaku antara lain, struktur sosial, pranatapranata sosial, dan permasalahan sosial yang lain. Sedangkan Faktor budaya
ORGANISME
RESPONS TERTUTUP:
Pengetahuan
Sikap
RESPONS TERBUKA:
Praktik/Tindakan
Gambar 2.1 Teori Perilaku S-O-R
Sumber : (Notoadmodjo, 2010)
2.1.4 Ranah (domain) Perilaku
objek
yang
dimaksud
dapat
menggunakan
atau
10
memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti
membahasnya dengan orang lain, bahkan mengajak atau mempengaruhi
atau menganjurkan orang lain merespons.
d. Bertanggung jawab (responsible), sikap yang paling tinggi tingkatnya
adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya. Seorang
11
sebelumnya
bahwa
sikap
adalah
12
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa domain atau ranah utama
perilaku manusia terdiri dari pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan
tindakan atau praktek (practice). Berikut metode pengukuran berdasarkan ranah
perilaku kesehatan dan jenis penelitian yang digunakan, antara lain :
2.1.5.1 Pengukuran Pengetahuan
Pengetahuan adalah hal apa yang diketahui oleh orang atau responden
terkait dengan sehat dan sakit atau kesehatan. Pengetahuan tentang kesehatan
dapat diukur berdasarkan jenis penelitiannya, yakni:
a. Penelitian Kuantitatif
Penelitian kuantitatif pada umumnya akan mencari jawaban atas fenomena,
yang menyangkut berapa banyak, berapa sering, berapa lama, dan
sebagainya. Dalam penelitian kuantitatif biasanya menggunakan metode
wawancara dan angket.
b. Penelitian Kualitatif
Pada umumnya penelitian kualitatif bertujuan untuk menjawab bagaimana
suatu fenomena itu terjadi, atau mengapa terjadi. Metode-metode
pengukuran pengetahuan dalam metode penelitian kualitatif antara lain
wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus. Pada wawancara,
peneliti mengajukan suatu pertanyaan sebagai pembuka, yang akhirnya
memancing jawaban yang sebanyak-banyaknya dari responden. Sedangakn
pada diskusi kelompok terfokus, peneliti mengajukan pertanyaanpertanyaan yang akan memperoleh jawaban yang berbeda-beda dari
beberapa responden yang dikumpulkan dalam bentuk kelompok.
2.1.5.2 Pengukuran Sikap
Sikap adalah bagaimana pendapat atau penilaian orang atau responden
terhadap hal yang terkait dengan kesehatan, sehat-sakit dan faktor yang terkait
13
14
15
16
Pada Program CDC EZ-Text, peneliti dapat memasukan data, dan membuat
kode secara online dengan mempergunakan kode-kode untuk bagian jawaban
khusus, melakukan penelusuran database untuk mengidentifikasi bagian-bagian
teks untuk menemukan situasi khusus, dan mengekspor data dalam susunan yang
luas dari bentuk-bentuk yang ada untuk dianalisis lebih lanjut dengan software
program analisi kualitatif atau statistik yang lain (Patilima, 2011).
2.2 Konsep ASI (Air Susu Ibu)
2.2.1 Pengertian ASI (Air Susu Ibu)
ASI (Air Susu Ibu) adalah air susu yang dihasilkan oleh kelenjar payudara ibu
dan diproduksi dalam alveoli yang merupakan bagian awal saluran kecil air susu
yang terdiri dari jaringan lemak dan jaringan pengikat, yang kemudian
dikeluarkan melalui proses laktasi (Prasetyono, 2009).
ASI (Air Susu Ibu) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa
dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua kelenjar mamae dari ibu,
yang berguna sebagai makanan bayi. Di dalam ASI terkandung zat-zat gizi yang
diperlukan bayi untuk pertumbuhan dan mengandung zat-zat kekebalan yang
sangat penting untuk mencegah timbulnya penyakit, serta mudah dicerna oleh
pencernaan bayi (Cadwell, 2011).
17
Dalam ASI
laktoferin, dan sel-sel darah putih, yang protein tersebut dapat membantu
meningkatkan daya tahan tubuh bayi, sehingga akan melindungi bayi terhadap
serangan penyakit, seperti penyakit diare, infeksi, batuk, pilek dan penyakit alergi
lainnya. (Prasetyono, 2009).
Pemberian ASI dapat meningkatkan kecerdasan karena dalam ASI
terkandung nutrien- nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan otak bayi yang
tidak ada atau sedikit sekali terdapat pada susu sapi antara lain, taurin yaitu suatu
bentuk zat putih telur yang hanya terdapat pada ASI, kemudian laktosa yang
merupakan hidrat arang utama dari ASI, dan asam lemak ikatan panjang (DHA,
AA, Omega 3, Omega 6) yang merupakan asam lemak utama dari ASI yang
dibutuhkan dalam pembentuksn sel-sel jaringan otak (Roesli, 2000).
Dalam ASI juga terkandung kolostrum yang bertindak sebagai laktasif yang
berfungsi membersihkan dan melapisi mekonium usus bayi yang baru lahir, serta
mempersiapkan saluran pencernaan bayi untuk menerima makanan selanjutnya,
sehingga bayi tidak sering menderita susah buang air besar (sembelit) atau bahkan
diare (Djitowiyono dan Kristiyanasari, 2010).
Menyusui bukanlah sekedar memberikan makan, tetapi juga mendidik anak.
Sambil menyususi, ibu perlu mengelus bayi dan mendekapnya dengan hangat.
Dengan adanya kontak mata dan badan, pemberian ASI semakin mendekatkan
hubungan antara ibu dan anak. Tindakan ini dapat membuat bayi merasa aman,
nyaman, dan terlindungi, sehingga kelak ia akan memiliki tingkat emosi dan
18
spiritual yang tinggi. Hal itu menjadi dasar bagi pembentukan sumber daya
manusia yang lebih baik, yang menyayangi orang lain (Prasetyono, 2009).
2.2.2.2 Manfaat bagi Ibu
Pemberian ASI membantu ibu untuk memulihkan diri dari proses
persalinannya. Pemberian ASI selama beberapa hari membuat rahim berkontraksi
dengan cepat dan memperlambat perdarahan, hal ini disebabkan karena proses
penghisapan yang dilakukan oleh bayi pada puting susu ibu, merangsang
pengeluaran hormon oksitosin alami yang akan membantu kontraksi rahim
(Roesli, 2000)
Pada ibu yang menyusui akan memiliki kemungkinan kecil untuk menjadi
hamil kembali, sebab hormon prolaktin yang tinggi akan menekan hormon FSH
(Follicle Stimulating Hormone) dan proses ovulasi. Bila ibu menyusui, secara
bersamaan ibu akan menggunakan suatu jenis kontrasepsi untuk menunda
kehamilan yang disebut dengan LAM (Lactation Amenorrhea Method)
(Sulistyawati, 2009).
Hal yang paling bermanfaat, yang sangat didambakan ibu ialah lemak yang
berada di sekitar panggul dan paha yang ditimbun pada masa kehamilan akan
berpindah ke dalam ASI, sehingga wanita yang menyusui bayinya akan lebih
cepat menurunkan berat badan dari berat badan yang bertambah selama hamil.
Selain itu, resiko terkena kanker rahim dan kanker payudara pada ibu yang
menyusui bayi lebih rendah ketimbang ibu yang tidak menyusui bayi (Prasetyono,
2009).
2.2.2.3 Manfaat bagi Keluarga
19
20
Dengan menyusui ibu juga dapat menciptakan generasi penerus bangsa yang
tangguh dan berkualitas untuk membangun Negara, karena anak yang mendapat
ASI dapat tumbuh kembang secara optimal (Sri Purwanti, 2006)
2.2.3 Komposisi ASI
Susu menjadi salah satu sumber nutrisi bagi manusia, komponen ASI sangat
rumit dan berisi lebih dari 100.000 biologi komponen unik, yang memainkan
peran utama dalam perlawanan penyakit pada bayi. Meskipun tidak semua
keuntungan dari semua komponen yang telah sepenuhnya diteliti atau belum
ditemukan, berikut beberapa elemen penting dari ASI antara lain :
2.2.3.1 Kolostrum
Kolostrum adalah cairan susu kental berwarna kekuning-kuningan yang
dihasilkan pada sel alveoli payudara pada hari pertama sampai hari ke empat
setelah melahirkan. Kandungan tertinggi dalam kolostrum adalah antibodi yang
siap melindungi bayi saat kondisi bayi masih sangat lemah. (Proverawati dan
Rahmawati, 2010)
2.2.3.2 Karbohidrat
Karbohidrat dalam ASI berbentuk laktosa (gula susu), fungsinya sebagai
sumber energi, meningkatkan absorsi kalsium. Karbohidrat dalam ASI merupakan
nutrisi penting yang berperan dalam pertumbuhan sel saraf otak, serta pemberian
energi untuk kerja sel-sel saraf (Prasetyono, 2009).
2.2.3.3 Protein
Protein dalam ASI terdiri dari kasein (protein yang sulit dicerna) dan whey
(protein yang mudah dicerna). Protein dalam ASI lebih rendah bila dibandingkan
21
dengan PASI. Meskipun begitu, whey dalam protein ASI lebih banyak daripada
kasein. Whey tersebut hampir seluruhnya terserap oleh sistem pencernaan bayi.
Hal ini dikarenakan whey ASI lebih lunak dan mudah dicerna daripada whey
PASI. Itulah yang menyebabkan bayi yang diberi PASI sering menderita susah
buang air (sembelit), bahkan diare dan defekasi dengan feses berbentuk biji cabe
yang menunujukan adanya makanan yang sukar diserap oleh bayi yang diberi
PASI (Prasetyono, 2009).
2.2.3.4 Lemak
Sekitar setengah dari energi yang terkandung dalam ASI berasal dari lemak
yang lebih mudah dicerna dan diserap oleh bayi dibanding PASI. Hal ini
dikarenakan ASI lebih banyak mengandung enzim pemecah lemak (lipase). Selain
itu jenis lemak dalam ASI mengandung banyak omega-3, omega-6, dan DHA
yang dibutuhkan dalam pembentukan sel-sel jaringan otak. Jumlah asam linoleat
dalam ASI sangat tinggi dan perbandingannya dengan PASI adalah 6:1. Asam
linoleat inilah yang berfungsi memacu perkembangan sel saraf otak bayi
(Prasetyono, 2009).
2.2.3.5 Mineral
ASI mengandung mineral yang lengkap. Misalnya zat besi dan kalsium dalam
ASI merupakan mineral yang sangat stabil, mudah diserap tubuh, dan berjumlah
sangat sedikit, sekitar 0,5-1,0 mg/liter. Sekitar 75% dari zat besi yang terdapat
dalam ASI dapat diserap oleh usus. Lain halnya dengan zat besi yang dapat
terserap dalam PASI, yang hanya berjumlah sekitas 5-10%. Selain itu ASI juga
22
mengandung natrium, kalium, fosfor dan klor yang lebih sedikit, yang tetap
mencukupi kebutuhan bayi (Prasetyono, 2009).
2.2.3.6 Vitamin
Dalam ASI terdapat vitamin A, tiamin, dan vitamin C, namun hal tersebut
bervariasi terkandung dalam ASI, sesuai makan yang dikonsumsi oleh ibu.
Apabila makan yang dikonsumsi oleh ibu memadai, berarti semua vitamin yang
diperlukan oleh bayi selama 6 bulan pertama kehidupannya dapat diperoleh dari
ASI (Prasetyono, 2009).
2.2.3.7 Taurin
Berupa asam amino dan berfungsi sebagai neurotransmitter, berperan penting
dalam maturasi otak bayi. DHA dan AA merupakan bagian dari kelompok
molekul yang dikenal sebagai omega fatty acids. DHA (docosahexaenoic acid)
adalah sebuah blok bangunan utama di otak sebagai pusat kecerdasan dan di jala
mata. Akumulasi DHA di otak lebih dari dua tahun pertama kehidupan. AA
(Arachidonic acid) yang ditemukan diseluruh tubuh dan bekerja bersama-sama
dengan DHA utnuk mendukung visual dan perkembangan mental bayi
(Proverawati dan Rahmawati, 2010).
2.2.3.8 Laktobacillus
Lactobacillus ini berfungsi menghambat pertumbuhan mikroorganisame
seperti bakteri E.coli yang sering menyebabkan diare pada bayi (Proverawati dan
Rahmawati, 2010).
23
2.2.3.9 Laktoferin
Sebuah besi-batas yang mengikat protein ketersedian besi untuk bakteri
dalam intestines, serta memungkinkan bakteri sehat tertentu untuk berkembang.
Memiliki efek langsung pada antibiotik berpotensi berbahaya seperti bakteri
Staphylococcus dan E.coli. Hal ini ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam
kolostrum, tetapi berlangsung sepanjang seluruh tahun pertama bermanfaat
menghambat bakteri staphylococcus dan jamur candida (Proverawati dan
Rahmawati, 2010).
2.2.3.10 Lisozim
Lisozim dapat memecah dinding bakteri sekaligus mengurangi insidens karies
dentis dan maloklusi (kebiasaan lidah yang mendorong ke depan akibat menyusui
dengan botol dan dot). Enzim pencernaan yang kuat yang ditemukan dalam air
susu ibu pada tingkat 50 kali lebih tinggi daripada dalam rumus. Lisozim
menghancurkan bakteri berbahaya dan akhirnya mempengaruhi keseimbangan
rumit bakteri yang menghuni usus (Proverawati dan Rahmawati, 2010).
Tabel 2.1 Komponen dam Komposisi ASI
Faktor nutrisi
Laktosa (g)
Lemak total (g)
Protein (g)
Energi (kkal)
Total kalori (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (g RE)
- Karoten (g)
Tiamin (g)
Riboflavin (g)
Niasin (g)
Asam Panthothenat (g)
Umur (bulan)
12-18
12-18
12-18
12-18
12-18
12-26
12-26
12-26
11,5-23,5
11,5-23,5
13-18, >18
13-18, >18
9-12
9-12
Komposisi
per dl
7,93
3,53
0,995
67,47
59,57
18,1
15,8
0,12
21,2
18,8
16
15,2
102
103
Komposisi
per 100mg
7,69
3,42
0,965
65,44
57,8
17,6
15,3
0,12
20,6
18,2
15,2
14,7
98,9
99,9
24
9-12
9-12
9-12
12-18, >18
1, 5-3
103
160
7,7
3,1
0,83
99,9
155,1
7,5
3
0,8
25
menurunkan berat badan lebih cepat daripada ibu yang tidak menyusui secara
eksklusif. Timbunan lemak yang terjadi sewaktu hamil akan dipergunakan untuk
proses menyusui, sedangkan wanita yang tidak menyusui akan lebih sukar untuk
menghilangkan timbunan lemak ini (Roesli, 2000).
Menyusui dianggap merupakan sesuatu hal yang sudah ketinggalan zaman
oleh ibu. Budaya modern dan perilaku masyarakat yang meniru negara barat
mendesak para ibu untuk menyapih anaknya dan memilih air susu buatan sebagai
jalan keluarnya. Persepsi masyarakat akan gaya hidup mewah membawa dampak
menurunnya kesediaan menyusui. Bahkan adanya pandangan bagi kalangan
terentu bahwa susu botol sangat cocok buat bayi dan terbaik. Hal ini dipengaruhi
oleh gaya hidup yang selalu mau meniru orang lain (Prasetyono, 2009)
Proses menyusui juga dipengaruhi oleh kegiatan sosial ibu terutama pada ibuibu yang bekerja atau dengan kesibukan sosial lainnya. Kenaikan tingkat
partisipasi wanita dalam angkatan kerja dan adanya emansipasi dalam segala
bidang kerja dan di kebutuhan masyarakat menyebabkan turunnya kesediaan
menyusui dan lamanya menyusui, sehingga timbul suatu kebiasaan baru dengan
memilih untuk menggunakan susu formula, sebab para ibu beranggapan bahwa
susu formula lebih menguntungkan dan membantu ibu dalam memberikan nutrisi
bagi bayi. hal tersebut diyakini oleh para ibu yang kurang memiliki pemahaman
yang baik tentang ASI. Rendahnya tingkat pemahaman tentang pentingnya ASI
dikarenakan kurangnya informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh para ibu
mengenai segala kelebihan nutrisi dan manfaat yang terkandung dalam ASI
(Prasetyono, 2009).
26
Tidak hanya mitos yang menghambat dalam pemberian ASI saja yang beredar
dimasyarakat, namun terdapat pula suatu mitos yang dapat meningkatkan
produksi ASI, salah satu contohnya, terdapat makanan yang dianggap baik untuk
ibu yang menyusui dengan mengkonsumsi sayuran seperti daun katuk, daun
bayam, kacang panjang dan daun pepaya, yang daun-daunan ini dianggap dapat
menambah produksi ASI (Swasono, 1998).
2.2.4.2 Faktor psikologis ibu
Dalam proses pemberian ASI dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis, salah
satunya yaitu motivasi bagi ibu menyusui. Hal-hal yang mendorong sebagian ibu
untuk memberikan ASI adalah naluri seorang ibu sebagai wanita yang baru
melahirkan, selain itu ibu memiliki rasa tanggung jawab dan kewajiban, serta
dorongan kasih saying terhadap anaknya. Namun selain motivasi dari diri sendiri
untuk menyusui bayinya, ibu juga memerlukan motivasi dari keluarga terutama
dukungan motivasi dari suami untuk menyusui.
Terdapat pula anggapan para ibu yang dapat mempengaruhi psikologi ibu
bahwa menyusui akan merusak penampilan, sehingga ibu merasa takut kehilangan
daya tarik sebagai seorang wanita. Padahal setiap ibu yang mempunyai bayi selalu
mengubah payudara, walaupun menyusui atau tidak menyusui.
Selain itu tingkat stress yang dialami ibu mempengaruhi pola menyusi. Ada
sebagian kecil ibu mengalami tekanan batin di saat menyusui bayi sehingga dapat
mendesak si ibu untuk mengurangi frekuensi dan lama menyusui bayinya, bahkan
mengurangi menyusui.
2.2.4.3 Faktor fisik ibu
27
Alasan yang cukup sering bagi ibu untuk menyusui adalah karena ibu sakit,
baik sebentar maupun lama. Tetapi. sebenarnya jarang sekali ada penyakit yang
mengharuskan berhenti menyusui, justru jauh lebih berbahaya jika memberi bayi
makanan buatan daripada membiarkan bayi menyusu dari ibunya yang sakit.
Sebaiknya ibu harus selalu menjaga kesehatan, dengan sedikit berolahraga
kecil dan mengkonsumsi makanan yang bernutrsisi seperti sayur-sayuran dan
buah-buahan, sehingga ibu dapat tetap menyusui.
2.2.4.4 Faktor petugas kesehatan
Faktor kurangnya petugas kesehatan, mempengaruhi perilaku pemberian ASI.
Petugas kesehatan yang jumlahnya tidak terlalu banyak tidak dapat mencukupi
dalam pemberian informasi, sehingga masyarakat kurang mendapat penerangan
atau dorongan tentang manfaat pemberian ASI.
Namun penyuluhan para petugas kesehatan kepada masyarakat mengenai
manfaat dan keunggulan ASI, dapat menyadarkan para ibu akan pentingnya ASI
sehingga timbul dorongan untuk memberikan ASI pada bayinya.
2.2.4.5 Faktor penerangan dari petugas kesehatan
Penerangan yang salah justru datangnya dari petugas kesehatan sendiri yang
menganjurkan penggantian ASI dengan susu kaleng. Penyediaan susu bubuk di
Puskesmas dan penggantian susu formula di Rumah Sakit, yang dimaksudkan
untuk meningkatkan gizi bayi, seringkali menyebabkan salah arah dan
meningkatkan pemberian susu botol (Soetjiningsih, 1997).
2.2.5 Cara Menyusui yang Benar
28
2.
Menyusui bayi tidak perlu dijadwal. Bila bayi membutuhkan atau menangis
ibu harus segara memberikan ASI.
3.
Posisi Ibu dalam menyusui sebaiknya duduk atau berbaring dengan santai.
4.
Baringkan bayi diatas bantal dengan baik sehingga posisi bayi saling
berhadapan dengan ibu. Perut ibu berhadapan dan bersentuhan dengan perut
bayi.
5.
Mula-mula pijat payudara dan keluarkan sedikit ASI untuk membasahi puting
susu, tujuannya agar menjaga kelembapan puting. Kemudian oleskan puting
susu ibu ke bibir bayi untuk merangsang reflek isap bayi (rooting reflex).
6.
Topang payudara dengan tangan kiri atau kanan dan empat jari menahan
sampai bayi membuka mulutnya.
7.
Setelah bayi siap menyusui masukkan puting susu sampai daerah areola
mamae masuk ke mulut bayi. Pastikan bayi menghisap dengan benar dan
biarkan bayi bersandar ke arah ibu.
8.
Pertahankan posisi bayi yang tepat dan nyaman sehingga memungkinkan bayi
dapat menghisap dengan benar. ASI keluar dengan lancar dan puting susu ibu
tidak lecet.
29
9.
Ibu harus memegang payudara dengan posisi ibu jari di atas dan keempat jari
lainya di bagian bawah payudara.
10. Sebagian Besar Areola payudara harus berada di dalam mulut bayi. Saat
pertama kali menyusui, bantu si kecil untuk menemukan putting ibu.
11. Bayi menyusui pada dua payudara secara bergantian, sesudah payudara yang
pertama terasa kosong. Hal ini untuk mencegah membengkaknya payudara
dan mencegah sakitnya putting.
12. Bila akan melepaskan mulut bayi dari putting susu, masukan jari kelingking
antara mulut bayi dan payudara.
13. Setelah bayi selesai menyusu, oleskan kembali ASI pada putting susu dan
areola sekitarnya dan biarkan kering sendiri untuk menjaga kelembapan.
14. Setelah menyusui, bila bayi tidak tidur, sendawakan bayi dengan meletakkan
bayi telungkup kemudian punggungnya ditepuk-tepuk secara perlahan atau
bayi ditidurkan telungkup di pangkuan dan tepuk-tepuk punggung bayi.
2.3 Konsep Kebudayaan
2.3.1 Pengertian Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (1998) kebudayaan berarti keseluruhan gagasan
dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keselurahan dari
hasil budi pekertinya (Noorkasiani, dkk. 2009). Sama halnya dengan seorang
antropolog, yaitu E.B Tlyor (1871) yang mendefinisikan mengenai kebudayaan,
yakni kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
30
31
b.
c.
d.
perilaku menyusui yang benar menurut kebudayaan yang dianut oleh ibu.
Pengetahuan, merupakan produk dari manusia sebagai homo sapiens.
Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikirn sendiri, selain dari pemikiran
orang lain, kemudian menyampaikannya kepada orang lain melalui bahasa
menyebabkan pengetahuan ini menyebar luas. Sama halnya pada unsur
bahasa, pengetahuan ibu dalam perilaku pemberian ASI yang sejak dulu telah
di percaya, disampaikan pada keturunannya melalui bahasa dalam bentuk
e.
lisan.
Teknologi dan peralatan, merupakan produksi dari manusia sebagai homo
faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas serta dibantu dengan
tangannya yang dapat memegang sesuatu yang erat, manusia dapat
menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat.
32
f.
g.
33
katuk dan daun bayam. Hal tersebut dilakukan oleh para ibu yang memiliki
gagasan agar dapat tetap bias meberikan ASI bagi bayinya.
Wujud kedua kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kedua dari kebudayaan disebut
juga sebagai sitem sosial yang berkaitan dengan tindakan berpola dari manusia itu
sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi
dan berhubungan serta selalu menurut pada pola-pola tertentu yang berdasarkan
adat istiadat. Sama halnya pada perilaku ibu dalam menyusui yang sudah
dijalankan dari dahulu hingga sekarang yang kemudian diturunkan sesuai dengan
pola-pola serta sesuai berdasarkan adat istiadat yang berlaku dalam suatu
kebudayaan.
Dan yang ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia, sebagai contoh mengkonsumsi daun bayam dan daun katuk yang dapat
meningkatkan produksi ASI, merupakan salah satu contoh suatu hasil karya
pemikiran para ibu berdasarkan kebudayaan yang dipercaya (Noorkasiani, dkk.
2009).
2.3.4 Sifat Kebudayaan
Selain memiliki unsur dan wujud, kebudayaan juga memiliki sifat. Sifat-sifat
kebudayaan sangat banyak. Secara umum, terdapat tujuh sifat kebudayaan, yaitu
kebudayaan beraneka ragam, kebudayaan dapat diteruskan secara sosial dengan
belajar, kebudayaan dijabarkan dalam komponen biologi, psikologi, dan sosiologi,
kebudayaan mempunyai struktur, kebudayaan mempunyai nilai, kebudayaan
34
memiliki sifat statis dan dinamis, kebudayaan dapat dibagi dalam bermacammacam bidang atau aspek (Noorkasiani, dkk. 2009).
2.3.5 Perilaku Budaya Terkait dengan Pemberian ASI
Perilaku pemberian ASI sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial
budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada. Faktor-faktor
kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai
berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara menyusui dan kondisi bayi,
kebiasaan dan ketidaktahuan dalam hal menyusui, seringkali membawa dampak
baik positif maupun negatif terhadap proses pemberian ASI (Mubarak, 2009).
Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi
budaya yang terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan
pada bayi yang berbeda, dengan konsepsi kesehatan modern. Sebagai contoh,
pemberian ASI menurut konsep kesehatan moderen ataupun medis dianjurkan
selama 2 (dua) tahun dan pemberian makanan tambahan berupa makanan padat
sebaiknya dimulai sesudah bayi berumur 4 tahun (Mubarak, 2009).
Sosial budaya merupakan faktor yang melatarbelakangi perilaku pemberian
ASI, serta dapat pula menjadi penghambat para ibu dalam memberikan ASI
kepada bayinya. Faktor kebudayaan tersebut berkaitan dengan kebiasaan
masyarakat dalam memberikan makanan pada bayi yang baru lahir. Salah satunya
kebiasaan memberikan madu, madu yang ditambah sedikit air putih, atau air putih
yang ditambah dengan gula merah sebelum menyusui masih dilakukan oleh
sebagian masyarakat dalam memberikan makanan pada bayi, sementara pada
35
masyarakat lain, pada usia sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi
nasi, pisang dan lain-lain (Swasono, 1998).
Terdapat pula suatu anggapan bahwa pemberian makanan secara langsung
dapat mempengaruhi kondisi kesehatan bayi. Dalam setiap masyarakat ada aturanaturan yang menentukan kuantitas, kualitas dan jenis-jenis makanan yang
seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi. Sebagai contoh dalam hal
pembuangan kolostrum yaitu ASI yang pertama kali keluar. Di beberapa
masyarakat tradisional, kolostrum ini dianggap sebagai susu yang sudah rusak dan
tidak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan. Selain
itu, ada yang menganggap bahwa kolostrum dapat menyebabkan diare, muntah
dan masuk angin pada bayi. Sementara, kolostrum sangat berperan dalam
menambah daya kekebalan tubuh bayi (Mubarak, 2009).
Walaupun pada masyarakat tradisional pemberian ASI bukan merupakan
permasalahan yang besar, karena pada umumnya ibu tetap memberikan ASI bagi
bayinya, namun dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah pola pemberian
ASI yang tidak sesuai dengan konsep medis sehingga menimbulkan dampak
negatif pada kesehatan dan pertumbuhan bayi. Disamping pola pemberian yang
salah, kualitas ASI juga kurang. Hal ini disebabkan banyaknya pantangan
terhadap makanan yang dikonsumsi si ibu baik pada saat hamil maupun sesudah
melahirkan (Mubarak, 2009).
Berkaitan dengan kepercayaan terhadap makanan bagi ibu yang sedang
menyususi, dikemukakan oleh Meutia (1998) bahwa yang dimaksud dengan
makanan pantang adalah bahan makanan yang pantang untuk dimakan oleh para
36
ibu karena alasan-alasan yang bersifat budaya. Adanya makanan pantang dalam
suatu adat, diajarkan secara turun menurun dan cenderung ditaati walaupun
individu yang menjalankannya mungkin tidak terlalu paham atau yakin akan
rasional dari alasan melarang makanan yang bersangkutan, dan sekedar karena
patuh kepada orang tua dan sudah menjadi tradisi setempat (Swasono, 1998).
Dalam pola menyusui banyak masyarakat yang melarang ibu menyusui untuk
tidak makan makanan yang pedas dan amis, karena akan mencret dan muntah
karena mual bila diberikan makanan yang amis. Sebagaimana makanan pedas dan
amis, minum panas atau dingin dipercaya mengakibatkan ASI menjadi panas atau
dingin. Sebenarnya menghindari makanan pedas dan amis dapat mengurangi
nafsu makan ibu, selain itu minuman yang hangat justru lebih baik bagi ibu
menyusui, karena air hangat dapat memicu kelenjar bekerja secara aktif (Rosita,
2008).
Dalam kepercayaan sebagian suku di Indonesia, menyusui di kala petang
tepatnya di kala Maghrib dilarang oleh sebagian orang tua. Sebab, konon yang
meminum ASInya bukan saja bayi, melainkan mahkluk halus. Pandangan ini jelas
bertentangan dengan anjuran para tenaga kesehatan, yang sebaiknya menyusui
kapan pun bayi membutuhkannya (Rosita, 2008).
Masih terdapat pula suatu nasihat yang dipercaya dikalangan masyarakat ,
dan tidak sedikit yang mengikutinya, salah satunya setelah keluar rumah ASI
harus dibuang terlebih dahulu, padahal hal ini tidak benar. ASI selalu bersih dan
memperbarui dirinya sendiri, sekalipun ibu melakukan aktivitas di luar rumah,
atau berpergian cukup lama (Rosita, 2008).