Anda di halaman 1dari 13

H.

PENATALAKSANAAN
1. Edukasi
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan
membentuk

kelompok

penderita

yang

bertemu

secara

berkala

untuk

membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami


fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu
banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu
menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau
payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja dikantor juga harus dilindungi
terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita LES juga harus
menghindari rokok (PRI, 2011).
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,
penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa.
Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan
menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya (PRI,
2011).

Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama


penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang
merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau

siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES apakah


penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif
yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan
tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif.
Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis
tinggi dan imunosupresan lainnya (PRI, 2011).
2. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan
LES tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting
adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan
LES dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu.
Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam
kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan
kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan
untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot.
Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan
nyeri atau kekakuan otot (RPI, 2011).

3. Terapi Konservatif
a. Athritis, athralgia dan myalgia(Isbagio et al, 2009) .

Arthritis,Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai


pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik
sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada
penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya agar tidak memperberat
keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal,
hepar dan ginjal harus memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan
pemberian obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila
dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera
distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih
dari 6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai
efek toksik terhadap retina (RPI, 2011).
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan
analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria, dapat
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak
lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu),
juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita LES
(RPI, 2011).
b. Lupus Kutaneus
Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas. Eksaserbasi
akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet. Sebagian
besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang
mengandung PABA (RPI, 2011).
Glukokortikoid

lokal,

seperti

krem,

salep

atau

injeksi

dapat

dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hati-

hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat


menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, dapat digunakan steroid topikal
berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon asetonid.
Untuk lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar pedis, dapat
digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya betametason
dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan tinggi harus
dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan
lebih rendah (RPI, 2011).
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik
lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek
sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan. Pada penderita yang resisten
terhadap antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid
sistemik. Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus
diskoid, vaskulitis dan lesi LES berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem
hematopoetik adalah methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan anemia
hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam LES di kulit (RPI, 2011).
c. Kelelahan dan Keluhan Sistemik
Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita
LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga dapat
timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan
demam dapat juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus
bersikap simpati dalam mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak
memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat dan mengatur
jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan aktivitas

penyakit LES dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan


(RPI, 2011).
d. Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda
serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat,
obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah
(15 mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid
sistemik untuk mengontrol penyakitnya (RPI, 2011).
4. Terapi Agresif
a. Kortikosteroid
1.
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid
-Dosis rendah
: < 7.5 mg prednison atau setara perhari
-Dosis sedang
: >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau
-Dosis tinggi

setara perhari
: >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau

-Dosis sangat tinggi


-Dosis Terapi pulse

setara perhari
: >100 mg prednison atau setara perhari
: >250 mg prednison atau setara perhari

untuk 1 hari atau beberapa hari.


(Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang relatif
tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang aktif)
2.

Sparing Agen Kortikosteroid


a.

Siklofosfamid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan
untuk memudahkan menurunkan dosis kortikosteroid dan
berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering
digunakan sebagai sparing agent ini adalah siklofosfamid
azatioprin, siklosporin dan metrotrexate (RPI, 2011).

Indikasi siklofosfamid pada LES:

Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis


tinggi(steroid sparing agent).

Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap

steroid dosis tinggi.


Penderita LES kambuh yang telah diterapi

steroid jangka lama atau berulang.


Glomerulonefritis difus awal.
LES dengan trombositopenia yang

dengan

resisten

terhadap steroid.

b.

Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat
digunakan sebagai alternatif terhadap siklofosfamid
dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan secara per
oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada
penderita LES, setelah penyakitnya dapat dikontrol dan
dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis
azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan
setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.
Toksisitas

azatioprin

meliputi

penekanan

sistem

hemopoetik, peningkatan enzim hati dan mencetuskan


c.

keganasan (Isbagio et al, 2009).


Siklosporin
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk
pengobatan LES adalah Siklosporin dosis rendah (3-6

mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES baik


tanpa

manifestasi

renal

maupun

dengan

nefropati

membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan


tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila
kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin
darah sebelum pemberian siklosporin, maka dosisnya
harus diturunkan (RPI, 2011).

BAGAN 1 : (Ntali et al, 2009) .


TR
: tidak respon
RS
;respon sebagian
RP
: respon penuh
KS : kortikosteroid setara prednisone
MP
: metilprednisolon
AZA : azatioprin
OAINS: obat anti inflamasi steroid
CYC :siklofosfamid
NPSLE: neuropsikiatri SL

5.

Lupus Eritematosus Sistemik dalam keadaan khusus


a.

Lupus dalam Kehamilan


Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan
LES. Beberapa penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama
kehamilan namun umumya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat
nefritis masih aktif maka 50-60% eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus
dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang
mengalami kekambuhan. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia
dan eklampsia juga meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan
faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS).
Penanganan penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan pasca
persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah jika
penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah 6 bulan
aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada
lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini
dapat mengurangi kekambuhan lupus selama hamil( PRI, 2011) .

b. Kontrasepsi untuk LES


Kontrasepsi yang dapat dianjurkan kepada para penderita lupus sangatlah
terbatas, dan masing-masing harus diberikan secara individual, tergantung
kondisi penderita. Kontrasepsi oral merupakan pilihan bagi penderita dengan
keadaan yang stabil, tanpa sindrom antifospolipid (APS). Kekhawatiran
penggunaan kontrasepsi oral ini sebelumnya

adalah kekambuhan penyakit

akibat hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi, namun penelitian
mendapatkan bukti ini sangat lemah.
Kontrasepsi oral merupakan kontraindikasi pada penderita LES dengan
APS karena dapat mengakibatkan trombosis.

Sementara penggunaan intra

uterine device (IUD) pada penderita yang mendapat

kortikosteroid

atau

obat imunosupresan tidak direkomendasikan, karena risiko terhadap infeksi,


sehingga pilihan hanya terbatas pada kondom. Depomedroxy progesteron
acetate

(DMPA) dapat merupakan suatu pilihan, namun akhir-akhir ini

dikhawatirkan adanya

kemungkinan efek negatifnya pada masa tulang

(menimbulkan osteoporosis), sehingga hanya diberikan berdasarkan indikasi


tiap-tiap individu, contohnya mereka dengan

kelainan

perdarahan

dan

keterbelakangan mental, DPMA merupakan pilihan yang terbaik (RPI, 2011).


c.

Sistemik dengan Antifosfolipid (APS)

d. Neuropsikiatri Lupus Eritematosus (NPSLE)


Prevalensi NPSLE bervariasi antara 15%-91% tergantung pada
kriteria diagnosis dan seleksi penderita.14,59,60 Manifestasi klinis
NPSLE sangat beragam mulai dari disfungsi saraf pusat sampai saraf tepi
dan dari gejala kognitif ringan sampai kepada manifestasi neurologik dan
psikiatrik yang berat seperti stroke dan psikosis. Sulitnya mempelajari
kasus NPSLE akibat tidak adanya kesepakatan dalam definisi penyakit,
karena itu American College of Rheumatology (ACR) mengeluarkan
suatu klasifikasi untuk membuat keseragaman tersebut (RPI, 2011) .

Tabel 3. Sindroma neuropsikiatrik pada SLE menurut ACR (RPI,


2011).

Sistem saraf pusat


Acute confusional state
Disfungsi kognitif
psikosis

Sistem saraf perifer


Polineuropati
pleksopati
Mononeuropati (tunggal/

multi pleks)
Gangguan mood
Sindrom guillain-Barre
Gangguan cemas
Gangguan otonom
Nyeri kepala (termasuk migrain Mistenia gravis
dan

hipertensi

intrakranial

ringan)
Penyakit serebrovaskular
Mielopati
Gangguan gerak
Sindrom demielinisasi
Kejang
Meningitis aseptik
Neuropati kranial

e. Lupus Nefritis
Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan
LES. Lebih dari 70% pasien LES mengalami keterlibatan ginjal sepanjang
perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar
tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan
transplantasi atau cuci darah(Sukundaputra ,2013).
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi,
maka seyogyanya biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi
diagnosis, evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik

ginjal, dan menentukan prognosis dan terapi yang tepat. Klasifikasi kriteria
World Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah diperbaharui
oleh International Society of Nephrolog dan Renal Pathology Society
(ISN/RPS) tahun 2003 Klasfikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi
dan lokasi dari imun kompleks, sementara klasi ikasi ISN/RPS juga
membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis.
(Sukundaputra, 2013)

-Klasifikasi lupus nefritis oleh International Society of


Nephrology/Renal Pathology Society 2003 (ISN/RPS)

kelas I:Minimal mesangial lupus nefritis


kelas II : mesangial proliferative lupus nefritis
kelas III : Fokal lupus nefritis
Kelas IV Difuse lupus nefritis
Kelas V Membranous lupus nefritis
Kelas VI Advanced sklerotik lupus nefritis
Pemeriksaan penepis lupus nefritis penting dilakukan karena gejala

sering tidak diketahui oleh pasien, misalnya terdapat hematuria,


proteinuria atau hipertensi. Pemeriksaan penepis dan pemantauan lupus
nephritis tersebut adalah pemeriksaan urin analisis, proteinuria, serum
kreatinin, serologi anti dsDNA dan C3 (Sukundaputra, 2013).
Terdapat beberapa variabel klinis yang dapat mempengaruhi
prognosis. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir buruk
tersebut adalah ras hitam, azotemia, anemia, sindroma antiphospholipid,

gagal terhadap terapi imunosupresi awal, kambuh dengan fungsi ginjal


yang memburuk.(Sukundaputra, 2013)

Anda mungkin juga menyukai