PENATALAKSANAAN
1. Edukasi
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan
membentuk
kelompok
penderita
yang
bertemu
secara
berkala
untuk
3. Terapi Konservatif
a. Athritis, athralgia dan myalgia(Isbagio et al, 2009) .
lokal,
seperti
krem,
salep
atau
injeksi
dapat
setara perhari
: >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau
setara perhari
: >100 mg prednison atau setara perhari
: >250 mg prednison atau setara perhari
Siklofosfamid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan
untuk memudahkan menurunkan dosis kortikosteroid dan
berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering
digunakan sebagai sparing agent ini adalah siklofosfamid
azatioprin, siklosporin dan metrotrexate (RPI, 2011).
dengan
resisten
terhadap steroid.
b.
Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat
digunakan sebagai alternatif terhadap siklofosfamid
dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan secara per
oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada
penderita LES, setelah penyakitnya dapat dikontrol dan
dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis
azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan
setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.
Toksisitas
azatioprin
meliputi
penekanan
sistem
manifestasi
renal
maupun
dengan
nefropati
5.
akibat hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi, namun penelitian
mendapatkan bukti ini sangat lemah.
Kontrasepsi oral merupakan kontraindikasi pada penderita LES dengan
APS karena dapat mengakibatkan trombosis.
kortikosteroid
atau
dikhawatirkan adanya
kelainan
perdarahan
dan
multi pleks)
Gangguan mood
Sindrom guillain-Barre
Gangguan cemas
Gangguan otonom
Nyeri kepala (termasuk migrain Mistenia gravis
dan
hipertensi
intrakranial
ringan)
Penyakit serebrovaskular
Mielopati
Gangguan gerak
Sindrom demielinisasi
Kejang
Meningitis aseptik
Neuropati kranial
e. Lupus Nefritis
Ginjal merupakan organ yang sering terlibat pada pasien dengan
LES. Lebih dari 70% pasien LES mengalami keterlibatan ginjal sepanjang
perjalanan penyakitnya. Lupus nefritis memerlukan perhatian khusus agar
tidak terjadi perburukan dari fungsi ginjal yang akan berakhir dengan
transplantasi atau cuci darah(Sukundaputra ,2013).
Bila tersedia fasilitas biopsi dan tidak terdapat kontra indikasi,
maka seyogyanya biopsi ginjal perlu dilakukan untuk konfirmasi
diagnosis, evaluasi aktivitas penyakit, klasifikasi kelainan histopatologik
ginjal, dan menentukan prognosis dan terapi yang tepat. Klasifikasi kriteria
World Health Organization (WHO) untuk lupus nefritis sudah diperbaharui
oleh International Society of Nephrolog dan Renal Pathology Society
(ISN/RPS) tahun 2003 Klasfikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi
dan lokasi dari imun kompleks, sementara klasi ikasi ISN/RPS juga
membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis.
(Sukundaputra, 2013)