Anda di halaman 1dari 176

(Logo Jurnal Lektur)

--diambil dari kulit depan, dengan nomor akreditasi--

Daftar Isi
Kajian Naskah Klasik

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Klasifikasinya


Abdul Hadi W.M.

179 206

Menguak Sufisme Tuang Rappang:


Telaah atas Naskah Daqiq al-Asrr
M. Adib Misbachul Islam

207 228

Runtuhnya Budaya Bangsa (Peta Dekadensi Moral dalam


Naskah Wasiat Nabi Kode BR. 26 Koleksi PNRI)
Nur Said
229 250
Hikayat Lukmn Al-akm
(Tinjauan Isi dan Relevansinya dengan Masa Kini)
Muhammad Shoheh

251 274

Naskah Nabi Haparas,


Naskah Sasak Bernuansa Islam di Nusa Tenggara Barat
Zakiyah
275 300
Tokoh

Ibrhm al-Krn: Sebuah Telaah Biografis


Oman Fathurahman

301 320

Telaah Buku

Pembumian Gerakan Islam Transnasional


(Tinjauan Buku Jejak Kafilah)
Yudi Latif

321 334

Indeks Vol. 6

335 340

(Logo Jurnal Lektur)

--diambil dari kulit depan, dengan nomor akreditasi--

PEMBINA

M Atho Mudzhar

PEMIMPIN UMUM

Maidir Harun

REDAKTUR AHLI
(MITRA BESTARI)

Uka Tjandrasasmita (Universitas Pakuan)


Badri Yatim (UIN Syahid Jakarta)
Titik Pudjiastuti (Universitas Indonesia)
Oman Fathurahman (UIN Syahid Jakarta)

PEMIMPIN REDAKSI
SEKRETARIS REDAKSI
DEWAN REDAKSI

TATA USAHA
ALAMAT REDAKSI

Asep Saefullah
Masmedia Pinem
E. Badri Yunardi, Harisun Arsyad, Ahmad
Rahman, Muchlis, Andi Bahruddin Malik,
Dasrizal, Mazmur Syaroni, Ali Akbar,
Muchlis M. Hanafi, Ridwan Bustamam,
Munawiroh
Ibnu Hasyir, Nurman Kholis, Muhammad
Salim, Ida Swidaningsih, Umi Kulsum
Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama RI
Gedung Bayt al-Quran & Museum Istiqlal,
Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta 13560
Telp./Faks. (021) 87794220
E-mail: jurnal.lektur@depag.web.id

*
Kulit depan: Cover dan halaman 1 Naskah Hikayat Isma Yatim dan
Hikayat Sultan Mogul Mengajarkan Anaknya (Cod. Or. 1693) dari edisi facsimile
(Leiden: ILDEP - Legatum Warnerianum in the Library of Leiden University, 1993)
*

Berdasarkan SK Kepala LIPI No. 1563/D/2006


tanggal 18 Desember 2006,
Jurnal Lektur Keagamaan telah terakreditasi A

ii

Pengantar Redaksi
Jurnal Lektur Keagamaan, volume 6, No. 2 tahun 2008 menghadirkan tujuh buah tulisan. Lima tulisan berkaitan dengan kajian
naskah klasik keagamaan, satu tulisan tentang tokoh, dan satu
tulisan berupa tinjauan buku.
Tulisan pertama membahas Karya Melayu Bercorak Tasawuf
dan Klasifikasinya. Karya-karya bercorak tasawuf menjadi bagian
utama dari khazanah naskah Nusantara, dan masih merupakan
wilayah yang luas bagi penelitian para sarjana. Ia tidak hanya
menyediakan wilayah kajian bagi disiplin seperti filologi, bahasa,
dan sastra, tetapi juga ilmu-ilmu agama, sejarah intelektual, dan
falsafah yang merangkum metafisika, etika, estetika, dan hermeneutika. Namun sayangnya, khazanah yang begitu kaya itu baru
menarik minat sekelompok kecil sarjana sastra dan filologi belaka.
Sarjana-sarjana ilmu agama lebih tertarik meneliti teks yang menguraikan doktrin sufi secara ilmiah. Untuk itu, salah satu tujuan
tulisan ini adalah sebagai upaya awal memberi gambaran yang
memadai tentang karya-karya Melayu bercorak tasawuf atau sastra
sufi, terutama yang dihasilkan pada abad ke-16-17 M, periode yang
tidak terbantahkan sangat penting baik dalam sejarah kesusastraan
Melayu maupun sejarah Islam di Nusantara.
Pada tulisan kedua diulas mengenai sufisme Tuang Rappang
dengan menelaah naskah Daqiq al-Asrr. Nama lengkap Tuan
Rappang adalah Abd al-Bar a-arr Tuang Rappang. Beliau
adalah salah satu aktor penting di balik kesuksesan penyebaran dan
perkembangan tarekat Khalwatiah Yusuf di Sulawesi Selatan. Di
samping aktif memimpin tarekat Khalwatiah, ia juga menaruh
perhatian terhadap kegiatan menulis. Ini dibuktikan dengan tiga
risalah yang berhasil ia tulis sepanjang karirnya sebagai pemimpin
spiritual tarekat Khalwatiah Ysuf. Daqiq al-Asrr (DA) merupakan salah satu karyanya yang membahas tasawuf, baik dalam
dimensinya sebagai jalan maupun tujuan spiritual. Dalam konteks
ini, Tuang Rappang mengajarkan metode tawajjuh dan murqabah
iii

sebagai jalan yang harus ditempuh oleh para pelaku kehidupan


tasawuf. Meskipun terlihat sederhana, kedua metode tersebut dapat
mengantarkan seorang slik pada puncak perjalanan sufistiknya,
yakni penyaksian kepada Tuhan tanpa ada hijab lagi. Lebih dari itu,
dalam teks Daqiq al-Asrr Tuang Rappang juga membahas
problem tentang wujud, baik wujud Tuhan maupun wujud alam;
dan dalam hal ini Tuang Rappang menegaskan bahwa wujud hakiki
hanyalah wujud Tuhan, bukan wujud alam.
Tulisan ketiga merupakan kajian atas naskah Wasiat Nabi kode
BR 26 koleksi PNRI dengan tema runtuhnya budaya bangsa yang
menyoroti peta dekadensi moral. Tulisan ini mengkaji tiga masalah,
(1) bagaimana deskripsi naskah Wasiat Nabi secara fisik, (2) secara
substansi, apa isi naskah Wasiat Nabi tersebut?, dan (3) apa relevansinya bagi proses pembentukan karakter bangsa. Dengan menggunakan beberapa langkah filologi, tulisan ini meyimpulkan tiga
hal; (a) fenomena degradasi moral seperti isu-isu narkoba, seks
bebas, judi, hubungan anak dengan orang tua, dan krisis sosial
lainnya, (b) berbagai visualisasi dan akibat fenomena tersebut baik
di dunia maupun di akhirat, (c) ilustrasi tentang hari kiamat yang
menakutkan dan fenomena eskatologi dalam teologi Islam. Naskah
Wasiat Nabi memberikan peringatan serius bagi umat manusia agar
melakukan reformasi diri secara total (taubat nasuh) sesegera
mungkin agar dapat membangun kebudayaan tinggi dan peradaban
yang terhormat bagi semua.
Tulisan keempat merupakan hasil penelitian atas naskah koleksi
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang berkode W
125 dengan judul Hikayat Lukmn al-Hakm. Isi naskah mengandung unsur lokal, tetapi sifatnya yang aktual menjadikan isinya
menarik untuk diangkat. Meskipun berbentuk hikayat, tetapi naskah
ini bersifat didaktis-instruktif. Di antara nilai yang terkandung di
dalamnya adalah tuntunan moral dan akhlak yang mulia. Misalnya
tentang empat macam kegelapan, yaitu: 1) Gelap mata, akan menyesatkan perjalanan; 2) Gelap hati, akan menyesatkan ingatan; 3)
Gelap iman, akan menyesatkan makrifat; dan 4) Gelap akal, akan
menyesatkan perkara yang ketika itu adanya. Selain itu juga
mengandung nilai-nilai yang berkaitan dengan politik, ekonomi,
sosial, dan budaya hidup sehat. Seperti empat perkara yang memberi mudarat raja, yaitu: 1) Raja aniaya atas seluruh rakyatnya; 2)
iv

Raja melupakan menterinya; 3) Khianat dari pada orang yang


disuruh; dan 4) Berkuasa atas sekalian tawanan.
Tulisan kelima juga kajian terhadap naskah, yaitu naskah Nabi
Haparas, sebuah naskah Sasak Bernuansa Islam dari Nusa Tenggara Barat, koleksi Museum Negeri NTB dengan kode inventaris
07.506. Studi ini memiliki fokus kajian sebagai berikut; bagaimana
diskripsi atau kondisi fisik naskah Nabi Haparas, pesan atau materi
ajaran Islam apa saja yang terkandung dalam teks Nabi Haparas,
dan bagaimana isi dari teks Nabi Haparas. Studi ini merupakan
penelitian kualitatif dengan pendekatan filologi. Teks Nabi Haparas
berisi tentang cerita Nabi Muhammad saat bercukur. Naskah Nabi
Haparas merupakan salah satu naskah Sasak yang bernuansa Islam.
Nuansa ini bisa terlihat dengan jelas dalam penggunaan beberapa
istilah atau kosa kata yang merujuk pada Islam, tokoh dan isi cerita.
Dalam teks Nabi Haparas terdapat pesan-pesan tentang Islam, serta
kisah kehidupan pribadi Rasulullah yang bisa dijadikan sebagai
teladan bagi umat Islam
Sedangkan dua tulisan lainnya adalah telaah biografis dan
telaah buku. Pada telaah biografis disajikan riwayat hidup Ibrhm
al-Krn. Nama lengkapnya adalah Ibrhm ibn asan al-Krn
al-Syahrazr al-Syahrn al-Kurd al-Madan al-Syfi. Tokoh ini
dapat dianggap sebagai salah seorang penafsir besar pemikiran
mistiko-filosofis Ibn Arab, yang pengaruhnya juga sangat kuat
tersebar di Nusantara. Di samping itu, al-Krn memiliki hubungan intelektual dan pengaruh yang sangat kuat dengan sejumlah
ulama asal Melayu-Indonesia, khususnya Abdurraf bin li al-Jwi
al-Fansr, terutama melalui jalur tarekat Syattariyah, di mana ia
menjadi khalifah utamanya. Namun, minimnya akses informasi
terhadap karya-karya al-Krn menyebabkan kajian terhadap pemikiran-pemikirannya tergolong masih jarang. Pemikiran-pemikiran
al-Krn, khususnya menyangkut penafsiran doktrin wadah alwujd, yang tercermin dalam karya-karyanya belum mendapat
perhatian selayaknya dari para peneliti Nusantara sendiri. Padahal,
Tulisan ini sebagai salah satu upaya memperkenalkan pemikiranpemikiran al-Krn tersebut.
Pada telaah buku disajikan hasil kajian atas buku Jejak Kafilah,
karya Greg Fealy dan Anthony Bubalo (Mizan, 2007). Buku ini
menyajikan hasil studi tentang pengaruh radikalisme Timur Tengah
v

di Indonesia. Dalam buku ini juga dapat terlihat keragaman dan


dimensi lokal dari gerakan-gerakan Islam transnasional. Dan,
gerakan keagamaan di Indonesia terus hadir sebagai suatu ekspresi
kolektif dalam arti suatu kesamaan identitas dalam perbedaan
(identity in difference) dan keberagaman dalam kebersamaan
identitas (difference in identity).
Terakhir, redaksi mengucapkan terima kasih secara khusus
kepada Lukman HakimStaf Ahli pada Jurnal Penamas, Balai
Litbang Agama, Jakartayang telah menerjemahkan semua abstrak
ke dalam bahasa Inggris, dan kepada James Bennettkurator seni
Asia di Art Gallery of South Australia, Adelaideatas kontribusinya mengedit semua abstrak berbahasa Inggris.
Demikian, selamat membaca, dan semoga bermanfaat.
Redaksi

vi

Para Penulis
Abdul Hadi W.M. lahir 24 Juni 1946 di Sumenep, Madura. Gelar M.A. dan
Ph.D. ia peroleh dari Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universitas Sains
Malaysia, dengan disertasi Estetika Sastra Sufistik: Kajian Hermeneutik terhadap
Karya-karya Syaykh Hamzah Fansuri, 1997. Di samping mempelajari
kesusastraan Indonesia dan filsafat Eropa, ia mempelajari kebudayaan dan
Kesastraan Timur. Beberapa penghargaan ia raih, di antaranya, Hadiah Buku
Puisi Terbaik Dewan Keseniaan Jakarta (1978), Anugerah Seni dari Pemerintah
Indonesia (1979), dan SEA Write Award di Bangkok (1985). Banyak pertemuan
penyair dan sastra yang dihadiri di Indonesia dan di berbagai kota di dunia, dan
puisi-puisinya telah diterjemahkan ke banyak bahasa asing. Ia telah menulis tidak
kurang dari tujuh buku tentang sastra sufi, sembilan buku kumpulan puisi, dan
sejumlah karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya Iqbal,
Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia, dan penyair modern Jepang. Kini
adalah dosen tetap dan Guru Besar pada Universitas Paramadina, Jakarta.
M. Adib Misbachul Islam adalah alumni S1 Jurusan Sastra dan Bahasa Arab
UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, dan alumni S2 pada Program Studi Filologi
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) dan Dosen Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun 2006 (April-Maret)
mengikuti International Course on the Handling and Cataloguing of Islamic
Manuscripts di Kuala Lumpur Malaysia, kerja sama Al-Furqan Islamic Heritage
Foundation, London, dengan International Islamic University Malaysia (IIUM).

M. Shoheh adalah Dosen IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Serang Banten.


Pada bulan November Desember 2007 mengikuti Diklat Penelitian Naskah
Klasik Keagamaan yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Tenaga Teknis
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, Jakarta.
Nur Said adalah Dosen Tetap STAIN Kudus; Pemimpin Redaksi Jurnal
PALASTREN Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus; Direktur Pusat Penelitian
dan Pengkajian Pendidikan, Agama dan Sosial-Budaya (LePPPAS) Kudus. Pada
bulan November Desember 2007 mengikuti Diklat Penelitian Naskah Klasik
Keagamaan yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan,
Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, Jakarta.

vii

Oman Fathurahman lahir di Kuningan, Jawa Barat, Indonesia. Pendidikan


dasar diselesaikan di MI dan MTs PUI Kuningan, 1975-1984, kemudian menjadi
santri pesantren di Cipasung 1984-1987, Haurkuning 1988, dan Manonjaya 1989.
Pendidikan sarjana diselesaikan di Fak. Adab dan Humaniora, UIN Jakarta
(1994). Sedangkan tingkat Magister (1996) dan Doktoral (2003) di UI Depok.
Pada Juni 2006-April 2008 mengecap pengalaman sebagai Research Felllow dari
The Alexander von Humboldt-Stiftung Jerman di Universitt zu Kln. Karya
tulisnya antara lain Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks
(Shattariyyah Order in Minangkabau: Text and Context) (Jakarta: Prenada,
EFEO, PPIM, KITLV, and Total Indonesie, 2008), Menyoal Wahdatul Wujud:
Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad ke-17 (Debating Wahdatul Wujud: A
Case Study of Abdurrauf Singkel in Aceh in the 17th Century) (Bandung: Mizan
& EFEO Jakarta, 1999), dan Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah
Indonesia se-Dunia (Manuscript Treasures: World Guide to the Indonesian
Manuscript Collection), bersama Henri Chambert-Loir (Jakarta: EFEO &
Yayasan Obor Indonesia, 1999).
Yudi Latif lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 26 Agustus 1964, kini bekerja di
Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan (PeKiK). Alumni Pondok Modern
Gontor Ponorogo Jawa Timur ini menyelesaikan sarjana dalam bidang
komunikasi di Universitas Padjadjaran, Bandung, 1990. Memperoleh gelar
Master of Arts (MA) dalam bidang Political Sociology pada tahun 1999 dan
Ph.D. dalam bidang yang sama tahun 2004, keduanya di The Australian National
University. Menjadi Deputi Rektor, Universitas Paramadina (2005-2007),
Direktur Center for the Studies of Islam and Democracy, Universitas Paramadina
(2003-2005), Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Peneliti
senior Center for Presidential and Parliamentary Studies (CPPS) (1993-2005).
Karya tulisnya antara lain: Menuju Revolusi Demokratik: Mandat untuk
Perubahan Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2004), Bahasa dan Kekuasaan: Politik
Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996), Masa Lalu yang
Membunuh Masa Depan (Bandung: Mizan, 1999) dan Hegemoni Budaya dan
Alternatif Media Tanding (Jakarta: MASIKA, 1993).
Zakiyah adalah calon peneliti Balai Litbang Agama Semarang. Pada bulan
November Desember 2007 mengikuti Diklat Penelitian Naskah Klasik
Keagamaan yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan,
Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, Jakarta.

viii

Ketentuan Pengiriman Tulisan

Jurnal Lektur Keagamaan terbit dua kali setahun. Redaksi


menerima tulisan mengenai kelekturan, antara lain tentang
naskah klasik, literatur kontemporer, dan khazanah budaya
keagamaan.
Tulisan dapat berupa ringkasan hasil penelitian, artikel setara
hasil penelitian, kajian tokoh (obituari) maupun telaah kitab
atau tinjauan buku.
Panjang tulisan antara 15-25 halaman kuarto 1,5 spasi, font
Times New Roman 12, dan diserahkan dalam bentuk print out
dan file dalam format Microsoft Word.
Tulisan wajib memperhatikan kaidah-kaidah penulisan Karya
Tulis Ilmiah (KTI) yang berlaku serta menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD).
Dalam hal penggunaan transliterasi Arab-Latin, penulis
hendaknya berpedoman pada Pedoman Transliterasi ArabLatin SKB Dua Menteri, Menteri Agama RI Nomor 158 tahun
1987 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0543
b/u/1987 tentang Pedoman Transliterasi ArabLatin.
Sumber rujukan menggunakan footnote (catatan kaki) yang
ditulis seperti contoh berikut: Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 109;
dan Daftar Pustaka ditulis: Noer, Deliar. 1980. Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Penulis harap menyertakan abstrak dalam bahasa Indonesia dan
Inggris, kata kunci, biodata singkat dalam bentuk esai, dan
alamat lengkap.

ix

Redaksi berhak menyunting naskah tanpa mengurangi maksud


tulisan. Dan, tulisan yang dimuat tidak selalu mencerminkan
pandangan Redaksi.
Tulisan dapat dikirimkan melalui e-mail:
jurnal.lektur@depag.web.id
Atau melalui pos ke alamat:
Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat,
Departemen Agama RI, Gedung Bayt al-Quran & Museum
Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta 13560
Telp./Faks. (021) 87794220
Bagi lembaga yang ingin mendapatkan jurnal ini dapat
menghubungi alamat di atas.

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

Karya Melayu Bercorak Tasawuf


dan Klasifikasinya
Abdul Hadi WM
Universitas Paramadina, Jakarta
Sufistic works which become the main part of the Malay manuscripts are
still the wide area for the scholars research. The works provide not only for
the disciplines such as philology, language and literature but also for
religious sciences, intellectual history as well as philosophy which covers
metaphysics, ethics, esthetics and hermeneutics. Unfortunately, there are only
few of the scholars of literature and philology interested in this very rich
treasury. Scholars of religion are more interested to do the research on the
texts explaining the doctrines of the Sufism. Therefore, one of the goals of
this writing is as the initial effort to give enough description on the sufistic
works of the Malays or the sufistic works, particularly the works being
produced in the 16th to 17th centuries, the periods which were noted as the
very important periods in the history of the Malay literature as well as
Islamic history in the Malay World.
Kata kunci: tasawuf, sastra, sastra kitab, sastra sufi, naskah, filologi,
sejarah

Pengantar
Tujuan karangan ini sederhana. Pertama, sebagai upaya awal
memberi gambaran yang memadai tentang karya-karya Melayu
bercorak tasawuf atau sastra sufi, terutama yang dihasilkan pada
abad ke-16-17 M, periode yang tidak terbantahkan sangat penting
baik dalam sejarah kesusastraan Melayu maupun sejarah Islam di
Nusantara. Pada periode ini agama Islam telah tersebar luas hampir
ke seluruh bagian penting Nusantara, didahului dengan derasnya
proses islamisasi di kepulauan Melayu yang menyebabkan terintegrasinya kebudayaan Melayu ke dalam Islam. Dalam proses itu,
179

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

bahasa dan kesusastraan Melayu yang telah mulai diislamkan pada


abad ke-14 M, memainkan peranan penting.
Selanjutnya pada akhir abad ke-16 M dan awal abad ke-17 M,
dengan munculnya kitab-kitab keilmuan dan sastra Islam dalam bahasa ini, kesusastraan memenuhi fungsinya sebagai pembentuk dan
pemberi fundasi bagi kebudayaan Melayu. Melalui kesusastraan,
baik yang disebut sastra kitab (karya-karya keilmuan dan keagamaan) dan adab (karya tentang undang-undang, ketatanegaraan,
etika dan politik), serta karya-karya imaginatif yang meliputi epos
(hikayat kepahlawanan), roman, dan karangan-karangan bercorak tasawuf, pandangan hidup (way of life), gambaran dunia (Weltanschauung),
norma dan sistem nilai Islam ditransformasikan ke dalam ungkapan
religius, keilmuan dan estetis yang sesuai dengan cita rasa Melayu.
Kedua, sebagai ikhtiar membuat klasifikasi yang merangkumi
segala bentuk dan corak karya-karya bercorak tasawuf atau membawa pesan kesufian. Adapun yang dijadikan landasan klasifikasi itu
ialah wawasan estetika yang mendasari penulisan karya tersebut
dan maksud penulisannya yang mempengaruhi fungsi pembacaannya.
Dewasa ini tidak banyak kaum terpelajar Indonesia yang tahu
kekayaan khazanah sastra Nusantara, khususnya sastra Melayu,
apalagi relevansinya. Karena itu tidak mengherankan apabila sedikit sekali yang mau menaruh perhatian untuk meneliti dan melakukan kajian. Diharapkan karangan ini dapat memberikan perspektif
baru sehingga dapat membangkitkan kembali minat meneliti khazanah intelektual yang sudah lama terabaikan oleh ahli warisnya itu.
Teori
Kajian ini menggunakan teori perenial Comaraswamy, yang membedakan seni/sastra ke dalam tiga kategori Yang pertama, seni
murni/tulen, yang dicipta sebagai simbol (misal) atas pengalaman
dan penglihatan batin. Yang kedua, seni dinamik, karya-karya yang
memaparkan pergulatan manusia menghadapi persoalan-persoalan
dunia. Yang ketiga, seni apatetik, yang isinya tidak mendalam dan
tidak memberi inspirasi (Livingston 1962:56). Seni murni dihasilkan melalui proses perenungan mendalam, tidak semata-mata dida180

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

sarkan atas pengamatan inderawi serta proses rasional dan imaginasi. Sarana ruhani yang digunakan si seniman ialah intuisi intelektual atau prasyati buddhi, kecerdasan melihat sesuatu dengan
mata kalbu. Untuk mencapai kecerdasan seperti itu diperlukan kontemplasi dan meditasi.
Menurut Comaraswamy, pokok pemaparan seni murni berkaitan dengan permasalahan Tuhan dan kemungkinan jiwa manusia
berhubungan langsung dengan-Nya melalui kontemplasi atau
musyahadah. Permasalahan yang dibahas itu masuk ke dalam
wilayah pengalaman trasendental. Karya-karya seperti itu tidak
jarang menggambarkan tatanan realitas yang mengatasi persepsi
indera dan akal. Sastra sufi termasuk ke dalam kategori ini. Dalam
wujudnya sebagai penuturan estetik, sastra sufi bertolak dari teori
bahwa sastra merupakan representasi simbolik dari pengalaman dan
gagasan kerohanian pengarang.
Metode
Metode yang sesuai untuk memahami karya sufi dan klasifikasinya ialah hermeneutika. Dari aneka bentuk hermeneutika yang
akan digunakan dalam karangan ini ialah gabungan antara metode
verstehen Gadamer dan metode tawil sufi. Keduanya saling
melengkapi dan relevan dalam meneliti karya-karya bercorak mistikal dan simbolik. Dalam metode hermeneutika karya sastra dipandang sebagai wacana simbolik karena unsur fiksionalitas dan perumpamaan (metaphor) yang ada di dalamnya sangat menonjol.
Dalam metode ini teks dikaji sebagai bentuk pelambangan atas
sesuatu yang lain (Corbin 1981:1319). Sesuatu yang lain itu memiliki cakrawala yang luas melampaui cakrawala harfiahnya.
Menurut Gadamer ada empat cakrawala yang terbentang dalam
teks simbolik. Yang pertama, bildung atau pandangan keruhanian
yang membentuk jalan pikiran seseorang, termasuk di dalamnya
pandangan hidup (way of life), system nilai Weltanschauung. Yang
kedua, sensus communis, yaitu pertimbangan praktis, yang dalam
sastra bisa terwujud dalam pemilihan tema atau permasalahan dengan mempertimbangkan perasaan komunitas di mana pengarang
hidup. Yang ketiga, judgment atau pertimbangan, berhubungan dengan
181

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

apa yang harus disampaikan dan diajarkan kepada masyarakat


dengan mempertimbangkan baik buruknya. Yang keempat, taste
atau selera, cara-cara menyajikan sesuatu yang sesuai dengan selera
masyarakat sezaman (Salleh Yaapar 2002:70-80).
Dalam hermeneutika sufi, bildung dihubungkan dengan ontologi
dan psikologi sufi. Dalam ontologi sufi, keberadaan di alam
semesta dibedakan menjadi empat sesuai tempatnya dalam tatanan
wujud, yang secara berturut-turut dari atas ke bawah ialah alam
ketuhanan (alam lahut), alam keruhanian (alam jabarut), alam
kejiwaan (alam malakut), dan alam jasmani (alam nasut). Untuk
menggambarkan perjalanan jiwa dan batin dari alam rendah ke
alam tinggi, penyair sufi menggunakan simbol-simbol seperti perjalanan mendaki bukit atau gunung, penerbangan burung ruh ke
puncak gunung, penyelaman ke dalam lautan (wujud), dan dalam
sastra Melayu juga digunakan pelayaran perahu tubuh/jiwa
manusia menuju Bandar Tauhid. (Salleh Yaapar 2002:81-94)
Tasawuf dan Sastra Melayu
Tasawuf adalah cabang ilmu-ilmu Islam yang penting, yang
menurut Imam al-Ghazali merupakan jiwa dari agama Islam karena memaparkan masalah keruhanian yang mendasari aturan
formalnya. Dalam tasawuf diuraikan kebajikan-kebajikan ruhani
yang melaluinya seseorang dapat melaksanakan hubungannya secara mendalam dengan Tuhan, Hakikat Tertinggi yang juga merupakan Wujud Mutlak (Nasr 1980:22). Jalan atau metodenya sering
disebut sebagai jalan Cinta (`isyq) dan makrifat (ma`rifa). Tujuannya ialah menerobos inti terdalam tauhid dan buahnya adalah
kasyf, tersingkapnya hijab yang membuat penglihatan batin terang
(al-Taftazani 1983:110-1).
Oleh karena tujuan para sufi ialah memperoleh pengalaman
mistik tentang Tuhan, sedangkan pengalaman mistik memiliki
kemiripan dengan pengalalaman puitik, maka tidak mengherankan
jika mereka sering memilih ungkapan puitik dalam menyatakan
pengalaman keruhanian mereka di jalan tasawuf. Kemiripannya
ialah keduanya merupakan bentuk pengalaman yang melahirkan
pengetahuan nuitik (noetics) yang di dalamnya terpadu aspek
182

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

pengetahuan dan perasaan (dzawq) atau aspek kognitif yang


merupakan ciri ilmu dan aspek kreatif yang merupakan ciri seni
(Gilani Kamran 1398 H:9-10).
Oleh karena itu bukanlah suatu kebetulan apabila sejak permulaan sejarahnya tasawuf memiliki hubungan erat dengan sastra. Ini
tampak pada tokoh-tokohnya yang awal seperti Rabi`ah al-Adawiyah (w. 185 H), Dhun Nun al-Misri (w. 859 M), Bayazid alBhistami (w. 879 M), Hasan al-Nuri (w. 907 M), Mansur al-Hallaj
(w. 922 M), dan lain-lain. Pengalaman cinta mereka yang bersifat
trasendental, yang diperoleh melalui jalan tasawuf, tidak jarang
diungkapkan dalam puisi yang memberi kesan mendalam kepada
jiwa pembacanya. Dari masa ke masa, sejak periode kemunculannya itu sastra sufi berkembang dengan pesat sebagai ragam
pengucapan estetik baru dalam sejarah kesusastraan Islam, terutama
di Arab dan Persia.
Pada abad ke-1317 M, sejalan dengan meningkatnya peranan
para sufi dalam penyebaran agama Islam dan pembentukan tradisi
intelektualnya, sastra sufi mencapai puncak perkembangannya.
Dimulai dengan munculnya penyair-penyair sufi besar Arab dan
Persia, seperti Ibn `Arabi, Ibn Farid, Fariduddin al-`Aththar, Jalaluddin Rumi, Fakhrudin `Iraqi, dan lain-lain, tasawuf lantas
cenderung mewarnai hampir keseluruhan aspek sastra Islam. Jika
bukan isi atau pesan keagamaan yang disajikan, maka wawasan
estetika yang menjadi landasan penciptaan karya-karya penulis
Muslim yang dipengaruhinya. Ini berlaku bukan saja dalam sastra
Persia, tetapi dalam sastra Turki Usmani, Urdu, Shindi, Swahili,
dan Melayu (Schimmel 1980:9; Nasr 1980:12; Braginsky 1994:1-7).
Di Nusantara, kemunculan dan perkembangan sastra Melayu
pada abad ke-16 dan 17 M merupakan dampak langsung dari
derasnya proses islamisasi yang di antara pemeran utamanya adalah
para wali, ulama, guru dan cendekiawan sufi (John 1961, al-Attas
1972). Peranan itu berlanjut terus, setidak-tidaknya hingga akhir
abad ke-19 M, bahkan karya-karya bercorak tidak sedikit memberi
pengaruh dalam kesusastraan Indonesia modern.
Bukti tentang hadirnya karya-karya bercorak tasawuf sejak
periode awal Islam di Nusantara, dapat dilihat pada naskah-naskah
183

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

Islam tertua Melayu dan Jawa yang telah dijumpai. Misalnya teks
Hikayat Kejadian Nur Muhammad berisi uraian kosmologi sufi
tentang penciptaan dunia. Teks sufi lain yang terbilang awal ialah
terjemahan Bahr al-Lahut, karangan Abdullah `Arif, seorang sufi
Arab abad ke-13 M (Mahayudin Haji Yahaya 1995). Sejarah
Melayu (1607) juga memberitakan bahwa Sultan Malaka pada
pertengahan abad ke-15 M telah meminta seorang ulama dari Pasai,
Abdullah Patakan untuk menerjemahkan sebuah kitab tasawuf Arab
Durr al-Manzun karangan Maulana Ishaq (Ibrahim Alfian 1999).
Teks sezaman ialah terjemahan Qasidah al-Burdah karangan alBusyairi (w. 1213 M), Ba`d al-Amali karangan Sirajuddin `Usman
al-Asyi (w. 1173 M), Hikayat Burung Pingai saduran alegori sufi
Persia Mantiq al-Thayr (Percakapan Burung) karya Fariduddin al`Aththar; Hikayat Yusuf, saduran dari Yusuf-i Zulaikha karangan
Abdul Rahman al-Jami. Dijumpai pula teks Bunga Rampai Puisi
Tasawuf terjemahan sajak-sajak sufi Arab dan Persia seperti Abu
Tammam, Jalaluddin al-Rumi, Umar al-Khayyami, dan Muslihuddin Sa`di.
Pada akhir abad ke-16 M perkembangan sastra sufi mulai menapak masa puncaknya dalam tradisi intelektual Melayu. Pada masa
inilah muncul tokoh terkemuka Hamzah Fansuri, disusul kemunculan banyak penyair sufi yang merupakan murid-muidnya. Sebagian besar karya-karya yang mereka hasilkan tidak membubuhkan
nama pengarang alias anonim, terkecuali karangan-karangan Abdul
Jamal dan Hasan Fansuri. Misalnya Syair Perahu (tiga versi), Syair
Dagang, Ikat-ikatan Bahr al-Nisa`, Syair Alif, dan lain-lain (Abdul
Hadi W. M. 2001:171-9). Melalui karya-karyanya tersebut para sufi
Melayu membentuk madzab tersendiri dalam penulisan puisi
keruhanian dan menggunakan media syair, sajak empat baris yang
mereka ciptakan sendiri dengan menggabungkan puitika pantun
Melayu dan rubai Persia (Ibid 2001:206-7).
Periode ini disebut oleh Braginsky (1994:1-2) sebagai periode
kesadaran diri. Sebagai dampak dari proses islamisasi terhadap
kebudayaan dan tradisi intelektual Melayu, kepengarangan invidual
(individual authorship) kian ditekankan dalam penulisan kitab keagamaan dan sastra, oleh karena Islam mengajarkan tanggungjawab
184

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

individu pemeluknya dalam segala bidang kegiatan kemanusiaan.


Pada masa ini kebudayaan Melayu sepenuhnya diintegrasikan
dengan Islam, sehingga sastra Melayu tumbuh pula menjadi
berkembang bagian yang terpisahkan dari kesusastraan Islam secara
keseluruhan. Pengintegrasian ini ditandai dengan penggunaan
sistem sastra yang dapat digambarkan sebagai sebuah lingkaran
konsentrik, artinya memusat kepada sumbu yang satu. Di situ
karya-karya penulis Melayu secara bersama-sama seolah membentuk sebuah lingkaran mengelilingi pusat yang satu, yaitu teks-teks
keagamaan Islam yang penting seperti al-Quran dan tafsirnya,
serta hadis, dan ilmu-ilmu yang diturunkan daripadanya.
Sastra Sufi dan Klasifikasinya
Banyak takrif diberikan karya penulis sufi yang ditulis berdasarkan pengalaman atau gagasan kesufian mereka. Nasr (1980:8)
misalnya mengatakannya sebagai karangan-karangan mengenai
peringkat-peringkat ruhani (maqamat) dan keadaan-keadaan ruhani
(ahwal) yang dicapai serta dialami ahli-ahli suluk dalam menjalankan kebajikan ruhani di jalan tasawuf. Maqamat dan ahwal yang
dicapai dan dialami itu disampaikan melalui penggambaran secara
naratif simbolik menggunakan bahasa figurative (majaz) sastra.
Tentu saja terdapat karya yang lebih menekankan pada uraian
yang bersifat intelektual dengan menggunakan bahasa diskursif
ilmu, tetapi itu terbatas pada karya-karya yang tergolong risalah dan
menguraikan persoalan adab. Dalam karya yang tergolong risalah
atau termasuk ke dalam kelompok sastra kitab itu, yang diuraikan
ialah konsep-konsep ketuhanan, hubungan manusia dengan Tuhan,
dan kebajikan-kebajikan ruhani yang harus dilakukan seorang ahli
suluk untuk merealisasikan hubungannya dengan Tuhan. Karyakarya seperti ini penting karena di dalamnya diperkenalkan pula
konsep-konsep sufi tentang estetika dan sastra, serta contoh-contoh
syair tasawuf yang relevan dengan apa yang diuraikan.
Braginsky (1994:3) menyebut sastra sufi sebagai karangan mengenai perjalanan seorang ahli suluk dalam mencapai kesempurnaan ruhani. Tujuannya ialah musyahadah, penyaksian bahwa
Allah itu esa tanpa sekutu dan bandingan. Ciri khas karya sufi itu
185

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

tidak menekankan pentingnya keindahan lahir dari sesuatu yang


diungkapkan. Yang ditekankan ialah keindahan batin atau dalaman.
Dalam puisi dan alegori, pengalaman kesufian penulisnya tidak
dinyatakan secara langsung, melainkan menggunakan bahasa
simbolik puisi (majaz) yang sarat dengan tamsil atau pralambang.
Melalui bahasa puisi itu mereka berusaha dapat membuka mata
kalbu pembaca untuk melakukan musyahadah.
Sebagai bagian dari suluk, sastra sufi menggambarkan pendakian ruhani menuju diri hakiki. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa sastra sufi adalah jenis penulisan puitik yang berusaha
mengungkap hakikat kebenaran dan keindahan dengan menggambarkan secara rinci sifats-ifat, tabiat dan hakikat alam jasmani yang
martabatnya rendah serta hubungannya dengan kenyataan tertinggi
yang dapat disaksikan dengan pengliihatan batin seseorang di
kedalaman hatinya. Ini sesuai dengan perkataan al-Hujwiri (Kasyf
al-Mahjub 452) bahwa Hakikat kebenaran dan keindahan itu
merupakan kediaman manusia dan tempat persahabatan dengan
Tuhan serta keteguhan hatinya di alam tanzih atau trasendental.
Setiap jenis penulisan memiliki ciri yang ditentukan oleh cara
penyajian, penggunaan tamsil, dan tujuan masing-masing dalam
hubungannya dengan aspek-aspek kehidupan ahli suluk. Berdasarkan hal itu karya-karya Melayu bercorak tasawuf dapat dikelompokkan setidak-tidaknya ke dalam delapan kelompok, seperti
berikut: (1) Syair Makrifat; (2) Syair Puji-pujian Kepada Nabi
Muhammad saw.; (3) Ratib atau Agiografi Sufi, yaitu syair-syair
atau hikayat yang tujuannya memuliakan orang suci seperti wali-ali
Islam terkemuka dan pendiri tariqat sufi; (4) Alegori Sufi; (5)
Risalah, yang dalam sastra Melayu dimasukkan ke dalam kategori
Sastra Kitab; (6) Karangan-karangan prosa berisi falsafah atau
pandangan sufi mengenai metafisika, penciptaan alam semesta,
adab, eskatologi, hermeneutika, psikologi, kemasyarakatan, dan
lain-lain.
1. Syair Makrifat. Biasanya campuran lirik dan sajak didaktis, dan
cenderung naratif. Yang terkenal ialah Ikat-ikatan syair Hamzah
Fansuri (abad ke-16 M), seperti Syair Burung Pingai, Syair
Sidang Faqir. Syair Laut `Ulya, Syair Barus Mekkah,
186

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

Syair Sidang Asyik, Syair Ikan Tongkol, Syair Thayr al`Uryan dan lain-lain. Murid dan pengikut ajaran tasawufnya
yang menulis syair, walaupun tidak sebanyak Hamzah Fansuri,
ialah Syamsudin Pasai, Abdul Jamal, Hasan Fansuri dan
beberapa penyair anonim.
Di antara syair-syair anonim yang terkenal dan ditulis di Aceh
pada abad ke-17 M ialah Syair Dagang, Syair Perahu (ada
tiga versi berbeda gaya bahasa dan penulis), Ikat-ikatan Bahr
al-Nisa, Syair Unggas Bersoal Jawab, Syair Takrif alHuruf, Syair Perihal Kiamat, Syair Alif Ba Ta, Syair
Perkataan Alif, Syair Makrifat, dan masih banyak lagi. Dari
daftar untaian syair yang disebutkan itu terdapat juga gubahannya dalam bahasa Bugis, Aceh, Sunda, Jawa dan Madura.
Beberapa ahli tasawuf lain yang pernah menulis syair tasawuf,
walaupun tidak produktif ialah Abdul Rauf al-Sinkili (Syair
Makrifat, pada akhir abad ke-17 M), Syekh Daud al-Sumatrani
(Syair Sunur dan Syair Mekah Madinah), Syekh Daud alFatani (Syair Makrifat) dan lain-lain. Gurindam Dua Belas
karya Raja Ali Haji, walaupun cenderung berbicara etika, namun
pada dasarnya dilandasi ajaran tasawuf Imam al-Ghazali.
2. Syair Pujian Kepada Nabi Muhammad saw. Walaupun tema
tentang Nur Muhammad dan pujian kepada beliau terdapat
dalam syair-syair makrifat, juga terdapat jenis khusus sastra
yang dimaksudkan sebagai puji-pujian kepada Rasululllah.
Dalam sastra Arab disebut al-mada`ih al-nabawiyah dan dalam
sastra Persia disebut na`tiya, dari perkataan na`at yang berarti
pujian. Syair jenis ini terutama diilhami oleh Qasida al-Burdah,
Syaraf al-Anam dan Qasida al-Barzanji. Di antaranya yang
terkenal dalam masyarakat Melayu tradisional ialah Syair
Rampai Maulid, Syair Maulid Jawi, Nazam Dua Puluh Lima
Rasul, yang didahului dengan puji-pujian kepada nabi-nabi
sebelum Nabi Muhammad s. a.w.
Syair-syair jenis ini biasanya dinyanyikan bersama dalam
perayaan Maulid Nabi. Menurut sejarawan Muslim abad ke-15
M dari Malabar, Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya Tuhfat
al-Mujahidin, dakwah Islam di India dan Nusantara mendapat
187

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

sambutan penduduk antara lain karena pengaruh pembacaan


syair pujian kepada Nabi Muhammad saw. yang disajikan
dengan cara yang menarik perhatian.
Dimasukkan ke dalam karya bercorak tasawuf, karena karya
seperti ini memang ditulis oleh para sufi dengan nafas dan
simbol-simbol sufistik yang kental. Misalnya perumpamaan
terhadap Nabi Muhammad saw. sebagai matahari yang menerangi dunia, bulan purnama, kekasih Tuhan, teladan bagi
sekalian ahli makrifat, dan lain sebagainya.
3. Ratib atau Agiografi Sufi. Ada yang ditulis dalam bentuk prosa
berirama dan ada yang ditulis dalam bentuk prosa. Dalam
bentuk prosa dinamai hikayat. Dalam bentuk prosa berirama,
yang terkenal di antaranya ialah Ratib Syekh Saman, Ratib
Syekh Abdul Qadir Jailani, Ratib Syekh Hamzah Fansuri, Ratib
Syekh Naqsabandi, dan lain-lain. Sedangkan yang dalam bentuk
prosa ialah Hikayat Luqman al-Hakim, Hikayat Rabi`ah alAdawiyah, Hikayat Abu Yazid al-Bhistami, Hikayat Shamsi
Tabriz, Hikayat Mansur al-Hallaj, Hikaya Syekh Abdul Kadir
al-Jailani, Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham, Hikayat
Jumjunah, Hikayat Abu Syamah, dan lain-lain. Meskipun ratibratib yang berkaitan dengan kemuliaan para pendiri tariqat sufi
terlalu mengeramatkan tokoh yang dikeramatkan seperti Syekh
Muhammad Saman dan Syekh Abdul Qadir Jailani, namun dalam aspeknya yang lain cukup memberikan manfaat. Terutama
bagian-bagian awal yang berisi al-mada`ih al-nabawiyah.
4. Alegori sufi atau kisah perumpamaan sufi. Para penulis sufi
sering menggubah cerita-cerita yang tergolong dalam roman
atau pelipur lara menjadi alegori sufi, terutama untuk melukiskan tahapan-tahapan naik perjalanan ruhani mereka secara
simbolik. Model serupa dilakukan oleh penulis-penulis Arab
dan Persia. Nizami al-Ganjawi, penulis Persia, menggubah
hikayat Iskandar Zulkarnain (dalam Iskandar-nama) dan Layla
Majenun menjadi alegori sufi. Demikian juga Jami, penulis
Persia abad ke-15 M, yang menggubah Salaman dan Absal,
Yusuf dan Zulaikha dan lain-lain. Dalam sastra Melayu hikayat
yang digubah menjadi alegori sufi antara lain ialah Hikayat
188

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

Inderaputra, Hikayat Syah Mardan, Hikayat Isma Yatim,


Hikayat Badr al-`Asyiq, Taj al-Muluk dan lain-lain.
5. Risalah Tasawuf yang lazim dimasukkan ke dalam kelompok
Sastra Kitab. Tidak sedikit sufi terkemuka menulis risalah
tasawuf untuk menerangkan pemikiran atau aliran tasawuf
mereka, begitu pula metode dan praktiknya. Tidak sedikit
karangan jenis ini menggunakan bahasa sastra dan disisipi
ulasan tentang puisi dan pepatah-pepatah sufi yang terkenal.
Beberapa sufi yang sangat masyhur sebagai penulis risalah ialah
Hamzah Fansuri (Syarab al-`Asyiqin, Asrar al`Arifin dan alMuntahi); Syamsudin Pasai (Mir`at al-Mu`minin, Mir`at alIman, Zikarat al-Dairati Qaba Qausaini au `Adna, Mir`at alMuhaqqiqin dan lain-lain); Nuruddin al-Raniri (Ma` al-Hayat,
Hill al-Zill, Tybian fi Ma`rifa al-Adyan, Sifat al-Qulub, Hujjat
al-Siddiq, Jawhar al-`Ulum dan lain-lain); Abdul Rauf alSingkili (Daqa`iq al-Huruf, Umdat al-Muhtajin ila al-Suluk
Maslak al-Mufridin dan lain-lain); Yusuf al-Makassari (alNaftahu al-Sailaniya, Zubdah al-Asrar, Qurat al-`Ayn, Syurut
al-`Arifin al-Muhaqqiq, dan lain-lain); Syihabuddin Abdullah
al-Falimbangi (Kitab `Aqidah al-Bayan), Kiemas Fakhrudin alFalimbangi (Khawas al-Qur`an al-`azim), Abdul Samad alFalimbangi (Zuhrah al-Murid, Hidayah al-Salikin, Rawatib);
Muhammad al-Muhyiddin (Hikayat Muhammad Saman), Kemas
Muhammad Ahmad (Nafahat al-Rahman fi Manaqib Ustadhina
al-A`zam al-Samman, Bahr al-`Ajaib), Daud al-Pontiani (Taj alArus), dan lain-lain
6. Karangan-karangan prosa berisi aneka corak pandangan sufi
mengenai berbagai persoalan seperti metafisika, penciptaan
alam semesta, sejarah, adab, eskatologi, hermeneutika, psikologi, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya ialah Hikayat Kejadian
Nur Muhammad, Kitab Seribu Masalah, Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri (Syamsuddin al-Sumatrani), Taj al-Salatin (Bukhari al-Jauhari), Bustan al-Salatin (Nuruddin al-Raniri), Risalah
Turunnya Imam Mahdi (Arsyad al-Banjari), dan lain-lain. Beberapa karya bercorak sejarah seperti Tuhfat al-Nafis karangan
Raja Ali Haji dari Riau juga dapat dimasukkan ke dalam
189

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

kategori ini. Di dalamnya dipaparkan sejarah Melayu RiauJohor pada abad ke-18-19 M dengan menggunakan sudut
pandang tasawuf, khususnya sudut pandang Imam al-Ghazali
dari kitab Ihya` `Ulum al-Din.
Dari ragam-ragam penulisan ini akan dijelaskan dua di antaranya yang khususnya sangat penting dalam kajian sastra, terutama
jika yang dimaksudkan ialah karya-karya yang bersifat puitik,
naratif dan imaginatif. Sebagai karya sastra, kedua jenis ini
memiliki struktur lahir dan struktur batin yang kompleks dan rumit,
serta paling mencerminkan wawasan sufi tentang estetika.
Syair Makrifat
Dalam beberapa teks Melayu syair seperti ini disebut Syair Ilmu
Suluk dan Tauhid. Dalam Ms Jak. Mal. 83 disebut Sya`ir Jawi
Faal fi Bayan `Ilm al-Suluk wa al-Tauhid. Hasan Fansuri, murid
Hamzah Fansuri menamakan ruba` al-muhaqqiqin, sajak empat
baris yang menyatakan jalan makrifat ahli suluk (Abdul Hadi W.
M. 2001:207). Sufi Arab terkemuka, Ali Safi Husayn menamakannya Syi`r al-Kasyf wa al-Ilham, puisi yang ditulis berdasarkan
ilham dan kasyf atau iluminasi (Schimmel 1982:36).
Menurut Ali Safi Husayn, syair makrifat pada umumnya membicarakan masalah cinta ilahi (`isyq) melalui tamsil-tamsil antromorfis seperti kekasih (mahbub) dan pencinta (`asyiq), anggur dan
kemabukan mistikal, rasa yang dalam (auq), ketelanjangan hati
(`uryan), kefanaan dalam Wujud Kekal (fana`), kefakiran (faqr),
dan tentu saja tentang makrifat yang antara lain ditamsilkan sebagai
air hayat (ma` al-hayat). Adapun isinya biasanya diilhami atau
merupakan penggambaran konsep Nur Muhammad secara simbolik
Misalnya seperti digambarkan Hamzah Fansuri dalam syairnya:
Thayr al-`uryan unggas sultani
Bangsanya nur al-rahmani
Tasybihnya Allah Subhani!
Gila dan mabuk akan rabbani
Unggas itu terlalu pingai
190

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

Warnanya terlalu bisai


Rumahnya tiada berbidai
Duduknya daim di balik tirai
Awalnya bernama ruhi
Millatnya terlalu sufi
Tubuhnya terlalu suci
Mushafnya besar suratnya kufi
Arasy Allah akan pangkalannya
Habib Allah akan taulannya
Bayt Allah akan sangkarannya
Menghadap Tuhan dengan sopannya
Sufinya bukannya kain
Fi `l-Makkah daim bermain
Ilmunya zahir dan batin
Menyembah Allah terlalu rajin
Kitab Allah dipersandangnya
Ghaib Allah akan tandangnya
Alam Lahut akan kandangnya
Pada da`irah Hu tempat pandangnya
Zikir Allah kiri kanannya
Fikir Allah rupa badannya
Surbat Tauhid akan minumannya
Daim bertemu dengan Tuhannya
Dalam sejarah sastra Melayu, teks Syair Makrifat yang awal
dinisbahkan kepada Hamzah Fansuri dan murid-muridnya yang
banyak di Barus dan Aceh sebagai pelopornya. Hamzah Fansuri,
yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 M hingga
awal abad ke-17 M adalah pencipta syair Melayu, sajak empat baris
dengan pola rima akhir AAAA. Jumlah suku kata dari setiap
barisnya tidak tetap, tetapi diusahakan seringkas mungkin. Dalam
191

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

syair-syairnya dia menggambarkan pengalaman kesufiannya dengan berpegang pada estetika sufi dan mengemasnya dengan
tamsil-tamsil yang makna keruhaniannya berhubungan dengan
konsep-konsep sufi tentang metafisika, kosmologi dan psikologi.
Atau dengan konsep-konsep sufi tentang tahap-tahap perjalanan
keruhanian (maqamat) dan keadaan-keadaan ruhani (ahwal).
Jika dikaitkan metafisika sufi, tampak bahwa yang ditekankan
dalam syair-syair itu ialah pandangan tentang adanya dua realitas
atau hakikat, yaitu realitas Tuhan dan selain Tuhan.Yang pertama
adalah wujud mutlak, transenden, keberadaan-Nya tidak tergantung
pada yang lain, maha tunggal, kekal, maha hidup, tanpa awal tanpa
akhir. Sifat transenden (tanzih)-Nya tidak menghalangi imanensi(tasybih)-Nya. Wujud yang lain bersifat nisbi dan sementara, dan
keberadaannya tergantung pada Yang Mutlak.
Dihubungkan tatanan alam wujud atau ontologi sufi, yang
diungkapkan ialah tatanan alam yang ditempati oleh masing-masing
keberadaan mengikuti hirarki dari yang tertinggi ke tingkatan alam
yang lebih rendah, yaitu Alam Lahut, Alam Jabarut, Alam Malakut,
dan Alam Nasut. Jiwa manusia yang melaksakan kebajikan ruhani
dilukiskan naik setahap demi setahap dari Alam Nasut, melalui
Alam Malakut dan Alam Jabarut, menuju Alam Lahut. Alam
Jabarut dapat disamakan dengan alam hakikat, yang dengan
mencapainya seseorang akan memperoleh makrifat, pemandangan
yang luas dan mendalam tentang lautan keesaan Tuhan.
Sering perjalanan dari alam rendah ke alam realitas tertinggi itu
diumpamakan sebagai perjalanan mendaki puncak gunung, penerbangan ke tempat yang tinggi, juga penyelaman ke lubuk terdalam
lautan, atau pelayaran jauh menuju Bandar Tauhid. Untuk itu
digunakan tamsil-tamsil kosmologis seperti gunung, ombak, lautan,
perahu, burung, dan lain sebagainya.
Dalam hubungannya dengan psikologi sufi, yang diungkap ialah
keadaan-keadaan ruhani (ahwal) yang dialami seorang ahli suluk
dalam perjalanan keruhaniannya. Yang terpenting di antaranya
ialah pengalaman ekstatis (wajd), luluhnya diri jasmani (fana),
rindu (syauq), rasa yang dalam (auq), cinta (`isyq), dan lain-lain.
Dalam syair Hamzah Fansuri dan beberapa muridnya, untuk
192

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

menunjukkan keindividualannya penyair sering membubuhkan nama


kecil dan takhallus dalam bait-bait penutup syairnya. Takhallus
biasanya menunjuk kepada tempat seorang penyair dilahirkan dan
dibesarkan, seperti yang dikenakan oleh Hamzah Fansuri yang
bermakna Hamzah dari Barus atau Fansur. Tidak jarang penyair
juga menggunakan penanda kesufian seperti faqir, anak dagang,
dagang, dan lain-lainnya.
Pemakaian takhallus punya tujuan sendiri, yaitu memaparkan
bentuk pengalaman sufi yang diperoleh penyair ketika menulis
syairnya. Contohnya seperti berikut:
Hamzah miskin orang `uryani
Seperti Ismail jadi qurbani
Bukan Arabi lagi Ajami
Senantiasa wasil dengan Yang Baqi
Hamzah Fansuri di negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu
Asalnya manikam tiada kan layu
Dengan ilmu dunia manakan payu
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Bait al-Ka`bah
Di Barus ke Quds terlalu payah
Akhirnya jumpa di dalam rumah
Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus
Seperti kayu sekalian hangus
Asalnya laut tiada berarus
Menjadi kapur di dalam barus
(Abdul Hadi W. M. 2001:401-2)
Dalam kutipan 1 penyair mengemukakan hasil pencapaiannya
di jalan cinta dan makrifat, yaitu kefakiran diri (faqr), dengan
menggunakan simbol-simbol sejarah. Faqir sejati seperti Nabi
193

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

Ismail a.s. siap mengurbankan diri (nafs, kepentingan diri) demi


tujuan hidup spiritual yang lebih tinggi. Seorang faqir tidak lagi
terpaut pada identitas lahir, tetapi pada identitas ruhani, yaitu
kedekatan dan persatuan dengan Yang Abadi (Baqi). Dalam
kutipan 2 dia menggunakan simbol kosmologis seperti kapur, kayu
dan manikam untuk menggambarkan bahwa dia telah memperoleh
pengetahuan hakikat. Kapur adalah hakikat kayu barus. Dia juga
mengemukakan bahwa secara ruhani diri manusia merupakan
mutiara ciptaan (manikam) yang berasal dari lautan wujud
ketuhanan. Pemakaian simbol kayu dan kapur atau barus, diulangi
dalam kutipan 4. Di sini dia menceritakan pengalaman fana yang
diperolehnya, yang diumpamakan sebagai kayu yang hangus dan
luluh seperti kapur di dalam barus.
Pada kutipan 4, dia menggunakan simbol Mekkah (pusat jagat
raya), Kabah (kalbu seorang yang imannya sudah teguh dan
mantap), Barus (tempat penyair memulai perjalanan ruhani, yaitu
dari dunia lahir), Quds (Yerusalem, tempat Nabi melakukan
perjalanan malam atau israk, sebelum mikraj, lambang pencapaian
ruhani yang tinggi) dan rumah (simbol kalbu manusia yang
mengenal hakikat dirinya).
Tuhan, sebagai Wujud Tertinggi, dalam Al-Quran disebut
Yang Zahir dan Yang Batin, dengan demikian Dia transenden,
tetapi sifat transenden-Nya tidak menghalangi kehadiran-Nya di
dalam dunia ciptaan. Kehadiran-Nya itu adalah penampakan-Nya
secara gaib melalui sifat-sifat dan tindakan-tindakan-Nya yang
kreatif. Para penganut tasawuf wujudiyah mengartikan Wujud
sebagai sesuatu yang keberadaannya nyata melalui hal-hal tertentu,
bukan semata-mata melalui rupa atau bentuk. Apabila perkataan
wujud dikenakan pada Tuhan, maka yang dimaksud ialah sifat-sifat
dan tindakan-tindakan-Nya yang kreatif itu.
Menurut paham wujudiyah, pengertian wujud Tuhan terkandung dalam kalimah Bism Allah al-rahman al-rahim. Dalam kalimah tersebut Allah disebut sebagai al-rahman dan al-rahim. Itulah
wujud-Nya, yaitu sifat-sifat-Nya yang dikenal melalui dunia
ciptaan-Nya yang tidak terhingga dan menakjubkan. Menurut Ibn
`Arabi, kedua kata tersebut berasal dari kata al-rahmah (rahmat),
194

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

yang salah satu artinya ialah Cinta. Rahman (pengasih) adalah


cinta yang bersifat esensial, yang dianugerahkan kepada apa saja
dan siapa saja. Tetapi rahim (penyayang) cinta yang wajib
diberikan kepada orang yang beriman, bertakwa dan beramal saleh
(Abdul Hadi W. M. 2002:57).
Inilah yang dinyatakan Hamzah Fansuri dalam bait-bait syairnya (Ikat-ikatan II Leiden Cod. Or. 2026) seperti berikut:
Tuhan kita yang bernama qadim
Pada sekalian makhluq terlalu karim
Tandanya qadir lagi hakim
Menjadikan alam dari al-rahman dan al-rahim
Rahman itulah yang bernama sifat
Tiada bercerai dengan kunhi Dzat
Di sana perhimpunan sekalian ibarat
Itulah hakikat bernama maklumat
Rahman itulah yang bernama Wujud
Keadaan Tuhan yang sedia mabud
Kenyataan Islam, Nasrani dan Yahud
Dari rahman itulah sekalian maujud
Dalam bait tersebut dikemukakan pengertian konsep wahdah
al-wujud (kesatuan transenden wujud) dari sufi wujudiyah. Wujud
diberi makna sebagai Sifat dan Pekerjaan Tuhan yang kreatif, yang
melaluinya semua keberadaan berasal dan bergantung.
Karena jalan tasawuf adalah jalan cinta, tamsil-tamsil antromorfis berkaitan dengan cinta sering pula digunakan, seperti dalam
bait-bait syair Hamzah Fansuri yang indah berikut ini:
Subhan Allah terlalu kamil
Menjadikan insan alim dan jahil
Dengan hamba-Nya daim Ia wasil
Itulah Mahbub yang bernama adil

195

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

Mahbubmu itu tiada berlawan


Lagi alim ia lagi bangsawan
Kasihnya banyak lagi gunawan
Olehnya itu beta tertawan
Bersunting bunga lagi bermalai
Kainnya warna berbagai-bagai
Tahu bersembunyi di dalam sakai (hamba)
Olehnya itu orang terlalai
(Ibid 2001:353)
Keindahan ciptaan Tuhan yang berbagai-bagai dan menakjubkan di alam semesta digambarkan sering menjadi hijab bagi penglihatan batin banyak orang, sehingga lupa kepada Sang Pencipta.
Alegori Sufi
Pengarang sufi telah lama menggemari bentuk penulisan yang
disebut alegori atau kisah perumpamaan. Kisah-kisah yang telah
ada sebelumnya, seperti kisah-kisah cinta bercampur petualangan
seperti Layla wa Majenun, Khusraw wa Shirin, Yusuf wa Zulaikha,
Salman wa Absal, dan lain-lain, digubah (terutama dalam kesusastraan Persia) menjadi alegori sufi. Melalui kisah-kisah itu pengalaman cinta mereka yang trasendental dan perjalanan keruhanian
mereka dalam tasawuf, dilukiskan melalui berbagai kisah cinta dan
petualangan ajaib yang menarik. Dalam kesusastraan Melayu, hal
serupa dilakukan oleh penulis sufi. Kisah petualangan ajaib bercampur percintaan seperti Hikayat Syah Mardan dan Hikayat
Inderaputra misalnya digubah menjadi alegori sufi yang digemari
pembaca.
Braginsky (1999:525) berpendapat bahwa apabila syair-syair
sufi yang merupakan uraian langsung tentang doktrin sufi, maka ia
dapat digolongkan sebagai akegori dengan plot statis seperti tampak
dalam syair-syaiar Hamzah Fansuri yang telah dikutip. Alegori sufi
mengandung plot yang dinamik sebagaimana kisah yang dijadikan
dasar penulisannya. Contohnya kisah petualangan dan percintaan
196

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

seperti telah dikemukakan. Setelah digubah menjadi alegori sufi,


hikayat-hikayat itu bukan saja menggambarkan kesempurnaan cinta
kasih profan antara tokoh-tokohnya, tetapi juga kesempurnaan
melaksanakan syariat dan tariqat, serta kesempurnaan merealisasikan diri di jalan hakikat dan makrifat.
Dalam Hikayat Syah Mardan misalnya, pembaca tidak boleh
berhenti hanya pada cerita ketika terjadi perpisahan antara raja
dengan Siti Dewi. Tokoh Syeh Mardan pula telah dilukiskan
mengunjungi dua kerajaan dan di sana masing-masing berhasil
menyunting seorang putri jelita. Dua kerajaan lagi menunggu kedatangannya, dan dua istri lagi sedang menanti untuk dipersunting.
Dua kerajaan pertama dan kedua adalah tamsil bagi syariat dan
tariqat, dan dua kerajaan berikutnya tamsil bagi hakikat dan makrifat. Simaklah kutipan berikut ini, di mana cerita mulai berubah
dari perjalanan duniawi menuju perjalanan ruhani:
Maka Indrajaya pun (Syah Mardan) bermohon... lalu
berjalan... Syahdan
Beberapa lama ia pun melihat kekayaan Allah swt. dan
beberapa lamanya ia
pun melalui padang yang luas-luas dan gunung yang tinggitinggi. Di mana
ia bertemu waktu di sanalah ia sembahyang tiada mau
(meninggalkan waktu)
dan qada. Syahdan tiadalah dipandang yang lain lagi
melainkan dirinya juga
yang dikenalinya dan lihatnya pada siang dan malam
(Braginsky 1994:42).
Hikayat Syah Mardan mengandung beberapa rujukan tasawuf,
khususnya paham Martabat Tujuh dari Syamsudin Pasai dan Syekh
Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri. Penulisnya menggunakan
tamsil-tamsil seperti burung untuk jiwa, jin sebagai makhluk gaib
yang menjadi lawan atau kawan seorang ahli tasawuf, pendakian ke

197

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

puncak gunung disertai penyucian diri di telaga, yang melambangkan pencapaian makrifat.
Dalam Hikayat Isma Yatim dan Ken Tambuhan, tidak sedikit
dijumpai bait-bait syair yang mengemukakan perlunya seseorang
mempelajari ilmu makrifat dan hakikat diri. Selain itu hikayathikayat ini diresapi oleh estetika sufi dan puitika yang disarankan
para sufi. Misalnya motif penceritaanm tokoh-tokohnya. Kelahiran
seorang tokoh dalam hikayat Melayu selalu disertai gambaran tentang peristiwa alam serba dahsyat sebagai tanda campur tangan
kekuatan supernatural dalam kehidupan manusia. Pemaparan keindahan mengikuti pola estetika sufi juga terlihat dalam Hikayat
Indraputra seperti dalam petikan berikut:
Syahdan di atas bunga itu ada seekor paksi terlalu indah-indah rupanya itu,
dan di bawah pohon kayu itu adalah seekor burung terlalu elok rupanya dan
terlalu indah bunyinya dan lagi ada seekor paksi itu berserdam di atas
hamparan terlalu ajaib sekali rupanya. Maka ia pun hinggap kepada bejana
dan terperciklah narwastu itu kepada tubuh Indraputra terlalu harum baunya.
Maka Indraputra pun heran melihat yang indah-indah itu. Suahdan muka
Indraputra memandang, kemudian tidurlah ia dengan berahinya mendengar
bunyi-bunyian itu (Braginsky 1993:29-30)

Lukisan seperti itu mengingatkan pada syair-syair Hamzah


Fansuri yang menggunakan tamsil burung. Juga dapat dibandingkan
dengan lukisan dalam Hikayat Kejadian Nur Muhammad. Dalam
HKM dilukiskan betapa setelah dicipta dalam bentuk mutiara
berkilau-kilauan, Nur Muhammad yang merupakan tamsil bagi ruh
manusia, mengalami transformasi menjadi seekor burung (lambang
jiwa manusia) yang hinggap pada pohon hayat (sajarah al-hayat).
Perkataan seperti indah-indah rupanya, elok, heran, takjub,
tidur dengan berahi dan lain-lainyang semuanya berkaitan dengan pengaruh dari sebuah penglihatan indah kepada jiwa manusia,
merujuk pada konsep estetika sufi tentang kemiripan pengalaman
mistis dan pengalaman estetik. Kecenderungan serupa juga ditemui
dalam puisi-puisi Amir Hamzah, raja penyair Pujangga Baru.
Alegori sufi lain yang terkenal dan memberi ilham bagi penulisan syair-syair sufi dan motif seni hias Islam yang simbolik ialah
198

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

Hikayat Burung Pingai. Hikayat ini baru belakangan saja diungkap.


Walaupun termasuk karya becorak tasawuf, namun karena corak
Parsinya sangat kental ia dibicarakan dalam hubungannya dengan
karya-karya Melayu bercorak Parsi. Braginsky (1993:40) menemukan versi hikayat ini dalam naskah Leiden Cod. Or. 3341 yang telah
disalin oleh van Ronkel pada tahun 1922, namun hampir tidak ada
peneliti memberi perhatian terhadap hikayat ini. Kentalnya corak
Parsi pada hikayat ini, karena ia diubahsuai langsung dari Mantiq
al-Tayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-`Attar.
Mantiq al-Tayr merupakan alegori sufi yang masyhur di Timur
maupun di Barat. Dikisahkan bahwa masyarakat burung dari seluruh dunia berkumpul untuk membicarakan kerajaan mereka yang
kacau sebab tidak memiliki pemimpin lagi. Burung Hudhud tampil
ke depan bahwa raja sekalian burung sekarang ini berada di puncak
gunung Kaf, namanya Simurgh. Simurgh adalah burung maharaja
yang berkilauan-kilauan bulunya dan sangat indah. Jika kerajaan
burung ingin kembali pulih, mereka harus bersama-sama pergi
mencari Simurgh. Penerbangan menuju puncak gunung Qaf sangat
sukar dan berbahaya. Tujuh lembah atau wadi harus dilalui, yaitu:
(1) Lembah Talab (pencarian); (2) Lembah `Isyq atau Cinta; (3)
Lembah Makrifat; (4) Lembah Istihna atau kepuasan; (5) Lembah
Tauhid; (6) Lembah Hayrat atau ketakjuban; (7) Lembah fana,
baqa dan faqir. Pada mulanya burung-burung enggan melakukan
perjalanan jauh yang sangat sukar dan berbahaya itu. Tiap-tiap
burung mengemukakan alasan yang berbeda-beda. Hudhud tidak
putus asa. Dia meyakinkan bahwa penerbangan itu perlu dilakukan.
Setelah penerbangan dilakukan hanya tiga puluh ekor burung
sampai di tujuan. Dalam bahasa Parsi tiga puluh artinya Si-murgh.
Demikianlah ketiga puluh ekor burung itu heran, sebab yang
dijumpai tidak adalah hakikat diri mereka sendiri (Jawad Shakur
1972).
Dalam tradisi sastra sufi, burung adalah tamsil atau lambang ruh
manusia yang senantiasa gelisah karena terpisah dari asal-usul
keruhaniannya dan sangat merindukannya. Si-murgh bukan saja
lambang hakikat diri manusia, tetapi juga hakikat ketuhanan yang
walaupun kelihatannya jauh, namun lebih dekat dari urat leher
199

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

manusia sendiri. Braginsky menemukan bahwa Hikayat Burung


Pingai dalam sastra Melayu ditransformasikan atau diubahsuai langsung dari Mantiq al-Thayr. Simurgh diganti dengan nama Burung
Sultani, namun gambaran tentangnya mirip dengan penggambaran
`Attar tentang Simurgh. Karya `Attar itu juga mengilhami Hamzah
Fansuri seperti Syair Thayr al-`Uryan Unggas Sulthani. Dalam
al-Muntahi Syekh Hamzah Fansuri mengutip bait puisi `Aththar :
Baz badi dar tamasha-tarab
Tan faru daland farigh as talab
(Braginsky 1993:136)
Terjemahannya lebih kurang: Ada yang hanya bertamasya dan
bersukaria; Begitu bersemangat mereka hingga berhenti (yakni,
tidak lagi mencari Simurgh, pen.).
Deskripsi dalam Hikayat Burung Pingai ialah sebagai berikut:
Nabi Sulaiman, raja binatang dan jin, memanggil semua burung.
Burung pertama yang muncul ialah Nuri, Khatib Agung di kalangan
burung-burung. Disusul Kasuari, Elang, Kelelawar, Pelatuk, Tekukur, Merak, Gagak dan lain-lain. Di depan mereka Nabi Sulaiman
bertanya kepada burung Nuri, jalan apa yang harus ditempuh untuk
mencapai rahasia dan hakikat kehidupan? Nuri menjwab, melalui
jalan tasawuf, yang tahapan-tahapannya berjumlah tujuh. Nuri lantas memperlihatkan kearifannya dengan menceritakan bahwa seorang kawannya mengeluh tidak dapat mengenal Tuhan disebabkan
buta dan tuli.
Tetapi jalan tasawuf bukan jalan inderawi, jadi tidak tergantung
apakah orang itu tuli dan buta secara jasmani. Kemudian Nuri
menjelaskan bahwa jalan tasawuf selain sukar juga berbahaya. Di
laut kehidupan tidak mudah mendapat petunjuk. Burung-burung
yang mendengar keberatan menempuh jalan tasawuf. Masingmasing mengemukakan alasan berbeda. Tetapi setelah duraikan
pentingnya perjalanan itu, pada akhirnya burung-burung bersedia
mengikuti petunjuk burung Nuri melakukan pengembaraan menuju
Negeri Kesempurnaan. Penulis menutup alegorinya dengan mengu200

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

tip Hadis qudsi, Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal


Tuhannya. Setelah tujuan dicapai burung-burung yang berhasil
menempuh perjalanan itu, semuanya takjub, heran dan memuji
kearifan burung Nuri (Braginsky 1993:141).
Demikian tokoh burung Hudhud diganti burung Nuri. Kata nur
dalam bahasa Arab berarti cahaya, jadi Burung Nuri yang dimaksud
identik dengan Burung Pingai, sebab arti pingai juga indah
berkilau-kilauan. Sebagai ganti ketidak hadiran Hudhud dalam versi
Melayu, ditampilkan Nabi Sulaiman. Dalam Al-Quran 27:20-28
(Surah al-Naml), disebutkan burung Hudhud merupakan burung
kesayangan Nabi Sulaiman a.s.
Kepopuleran hikayat ini mungkin masih membua peluang untuk
diperdebatkan, tetapi tidak dapat disangkal pengaruh buku ini,
khususnya penggunaan simbol Burung Pingai atau Simurgh, dalam
kesusastraan Melayu dan seni rupa Islam di Nusantara. Seni ukir
dan seni batik di Sumatra, Jawa, dan Madura tidak sedikit yang
menampilkan motif hias burung yang disebut Burung Pingai itu.
Penutup
Apa yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa sebagaimana
kesusastraan Melayu itu sendiri, karya-karya bercorak tasawuf yang
menjadi bagian utama dari khazanahnya yang kaya, masih merupakan wilayah yang luas bagi penelitian para sarjana. Ia tidak hanya
menyediakan wilayah kajian bagi disiplin seperti filologi, bahasa,
dan sastra, tetapi juga ilmu-ilmu agama, sejarah intelektual, dan
falsafah yang merangkumi metafisika, etika, estetika, dan hermeneutika.
Namun sayangnya, khazanah yang begitu kaya itu baru menarik
minat sekelompok kecil sarjana sastra dan filologi belaka. Sarjanasarjana ilmu agama lebih tertarik meneliti teks yang menguraikan
doktrin sufi secara ilmiah.*

201

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

Daftar Pustaka
Abdul Hadi W. M. 2002. Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik
Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri. Jakarta: Paramadina.
Ali Utsman al-Hujwiri. 1982. The Kashf al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise
on Sufism.. Translated by R. A. Nicholson. New Delhi: Taj Company.
al-Attas, Syed M. Naquib. 1970. The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala
Lumpur: Universiti Malaya Press.
Brginsky, V. I. 1993. Tasawuf dan Sastra Melayu: Kajian dan Tek-teks. Jakarta:
RUL (Rijkuniversiteit Leiden).
-------. 1994. Nada-nada Islam Dalam Sastera Melayu. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Doorenbos, J. 1933. De Geschriften van Hamzah Pantsoeri. Leiden: NV VH
Betteljes & Terstra.
Drewes G. W. J. 1969. The Admonitions of Seh Bari.. The Hague: BKI
Martinus Nijhoff.
Livingston Ray. 1962. The Traditional Theory of Literature.Minneapolis:
University of Minesotta Press.
Md. Salleh Yaapar. 2002. Ziarah ke Timur. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Mir Valiuddin. 1977. The Quranic Sufism. Delhi-Varanasi-Patna: Motilal
Banarsidass.
-------. 1980. Contemplative Disciplines in Sufism. LondonThe Haguie: EastWest Publications.
Mohd. Shaghir Abdullah. 1991. Khazanah Karya Pusaka Asia Tenggara. Kuala
Lumpur: Khazanah Fathaniyah.
Nasr, Seyyed Hossein. 1980. Living Sufism. London-Boston-Sidney: George
Allen & Unwin Ltd.
-------. 1981. Knowledge and the Sacred. New York: The Crossroad Publishing
Company.
Nicholson, R. A. 1979. The Mystics of Islam. Lahore: Islamic Book Services.
Schimmel, Annemarie 1980. The Triumphal Sun: A Study of the Works of
Jalaluddin Rumi. London and The Hague: East-West Publications.

202

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

-------. 1981. Mystical Dimensions of Islam. Chapel Hill: The University of North
Caroline Press.
Sumaryono, E. 1992. Hermeneutika. Yogyakarta: Kanisius.
Teeuw, A. 1994. Hamzah Fansuri Sang Pemula Puisi Indonesia. Dalam Antara
Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Zalila Sharif & Jamilah Haji Ahmad. 1993. Kesusastraan Melayu Tradisional.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

203

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

Lampiran:

Gambar 01
Naskan Hikayat Isma Yatim dan Hikayat Sultan Mogul Mengajarkan Anaknya
(Cod. Or. 1693) yang diterbitkan dalam edisi facsimile (Leiden: Indonesian Linguistics
Development Project [ILDEP] in co-operation with Legatum Warnerianum in the Library
of Leiden University, 1993)

204

Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Kalsifikasinya Abdul Hadi WM

Gambar 02
Halaman 1 dari Naskah Hikayat Isma Yatim dan Hikayat Sultan Mogul Mengajarkan
Anaknya (Cod. Or. 1693) dalam edisi facsimile (Leiden: ILDEP - Legatum Warnerianum
in the Library of Leiden University, 1993)

205

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 179 - 206

Gambar 03
Halaman 117 dari Naskan Hikayat Isma Yatim dan Hikayat Sultan Mogul Mengajarkan
Anaknya (Cod. Or. 1693) dalam edisi facsimile; Bagian atas merupakan kolofon yang
menerangkan teks ini selesai ditulis pada hari Sabtu, 26 Zulkaidah 1234; Bagian bawah
merupakan halaman awal dari teks Hikayat Sultan Magul Mengajarkan Anaknya (Leiden:
ILDEP - Legatum Warnerianum in the Library of Leiden University, 1993)

206

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

Menguak Sufisme Tuang Rappang:


Telaah atas Teks Daqiq al-Asrr

M. Adib Misbachul Islam


UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Abd al-Basir Tuang Rappang is one of the important factors behind the
success for the development of tarekat Khalwatiah Yusuf in South Sulawesi.
In addition to that, he had a vital role in guiding tarekat community. Rappang
was also interested in writing the works of Sufism. He has written three
treatises during his carier as a spiritual leader of tarekat Khalwatiah Yusuf.
Daqiq al-Asrr (DA) is one of his works that discusses sufism, both in the
aspect as the way or as the destination of spiritual life. In relation to this, the
method Tuang Rappang used to teach is called tawajjuh and murqabah
methods. Although both methods are simple, however, these methods are
considered to be able to take the aspirant sufi (slik) to reach the peak of the
destination in the sufistic way, better known as the musyhadah.
Furthermore, in this text, Tuang Rappang also discusses the problem of mode
of being. Both are the mode of being of God and the mode of being of the
universe. According to Tuang Rappang, the real mode of being is the only
mode of being of God, not the mode of being of the universe.
.
Kata kunci: Tuang Rappang, Daqiq al-Asrr, tarekat khalwatiyah, tawajjuh,
murqabah.

Pendahuluan
Perkembangan tasawuf di wilayah Sulawesi Selatan memang tidak
dapat dilepaskan dari sosok Syaikh Ysuf al-Makassari; hal ini karena
ketokohan dan otoritas Syaikh Ysuf, baik secara intelektual maupun spiritual, memang membawa pengaruh yang sangat mendalam
bagi masyarakat di sana. Bahkan, salah satu tarekat sufi yang diajarkan dan dikembangkan oleh Syaikh Ysuf, yakni Khalwatiyah,
merupakan salah satu aspek yang cukup dominan dari Islam di Sulawesi Selatan (van Bruinessen, 1995: 285).
207

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

Memang, pengaruh Syaikh Ysuf di masyarakat Sulawesi Selatan adalah suatu hal yang tidak terbantahkan, namun perkembangan tarekatnya, yakni Khalwatiyah Ysuf, mungkin tidak mudah mencapai keberhasilan jika tidak ada mata rantai yang menghubungkan
antara Syaikh Ysuf dengan masyarakat Sulawesi Selatan. Hal ini
karena Syaikh Ysuf sendiri tidak pernah terjun langsung ke wilayah tersebut untuk menyebarkan tarekatnya, namun mengirim khalifahnya, yakni Abd al-Bar Tuang Rappang (w.1733) (Rahman,
1997, 44; Hamid, 2005: 136, 210). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sosok Abd al-Bar Tuang Rappang merupakan salah
satu faktor penting di balik keberhasilan perkembangan Tarekat
Khalwatiyah Yusuf di Sulawesi Selatan.
Meski menjadi salah satu faktor penting atas suksesnya penyebaran dan pengembangan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan,
akan tetapi sosok Abd al-Bar Tuang Rappang dan pandangan sufistiknya nyaris tidak banyak mendapat perhatian, baik dari kalangan peminat studi sejarah sosial intelektual maupun kalangan peminat studi tasawuf Nusantara. Padahal, seperti halnya Syaikh Yusuf,
dan juga para tokoh tasawuf Nusantara sebelumnya, Abd al-Bar
Tuang Rappang juga mampu menghasilkan karya-karya intelektualnya dalam bentuk naskah-naskah tasawuf.1
Sejauh ini, belum ada penelitian yang secara khusus mengkaji
ajaran tasawuf Abd al-Bar Tuang Rappang. Meskipun telah ada
beberapa penelitian tentang tasawuf dan perkembangan tarekat Khalwatiyah di Nusantara, namun sosok Tuang Rappang hanya disinggung
sebatas dalam kedudukannya sebagai murid dan penerus Syaikh Yusuf
al-Makassari dalam mengembangkan tarekat Khalwatiyah di Sulewesi
Selatan, sementara pandangan tasawuf Tuang Rappang sendiri tidak
mendapat perhatian.2
1

Berdasarkan catatan Rahman (1997; 44), ada 3 naskah yang berhasil ditulis
oleh Tuang Rappang, yaitu Daqiq al-Asrr, ar-Rislah al-Mubrakah, dan
Bahjah at-Tanwr f Bayni Fawid al-Lugat al-lat Taharu min auq al-rif
billh.
2
Hal Ini dapat dilihat dari penelitian Abdullah (t.t.), van Bruinessen (1995),
Lubis (1996), Rahman (1997), Hamid (2005), dan Azra (2007). Semua penelitian
tersebut hanya mengulas secara ringkas sosok Tuang Rappang dalam kedudukannya sebagai murid dan khalifah Syaikh Yusuf al-Makassari.

208

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

Melihat langkanya kajian tentang tasawuf Abd al-Bar Tuang


Rappang, kajian terhadap naskah-naskahnya menjadi sesuatu yang
penting untuk dilakukan. Hal ini karena naskah-naskah itu merupakan sumber informasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan
pandangan tasawuf dan kecenderungan intelektual-spiritualnya. Oleh
karena itu, sebagai upaya penelitian awal, tulisan ini akan menelaah
salah satu naskah karya Tuang Rappang; dalam hal ini adalah teks
Daqiq al-Asrr. Lewat penelitian ini, diharapkan ada penelitianpenelitian lanjutan untuk mengkaji lebih jauh lagi tentang Abd alBar Tuang Rappang, baik dari segi tasawuf maupun kedudukannya dalam konteks sejarah sosial-intelektual di Nusantara.
Sekilas tentang Abd al-Bar Tuang Rappang
Abd al-Bar a-arr Tuang Rappang adalah khalifah utama
Syekh Yusuf al-Makassari yang berperan besar dalam pengembangan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan. Tidak banyak berbeda dengan gurunya, riwayat hidup Abd al-Bar Tuang Rappang,
terkait dengan tahun kelahiran dan asal-usulnya, masih diselimuti
misteri.3 Sekalipun demikian, yang dapat dipastikan adalah ia tinggal
di Rappang, sebuah kota kecil di pedalaman Bugis, dan karena itu ia
juga disebut dengan Tuang Rappang (Hamid, 2005: 210; Abdullah,
t.t.: 81). Sesuai dengan laqab-nya, yakni a-arr, kedua matanya
mengalami kebutaan. Dalam usia yang masih usia muda, ia sudah
menjadi murid Syaikh Yusuf al-Makassari ketika di Mekkah. Pada
saat Syaikh Yusuf kembali ke Banten, ia pun mengikutinya dan tinggal
di Banten untuk beberapa waktu bersama gurunya tersebut (van Bruinessen, 1995: 292; Hamid, 2005: 210).
Kedatangan Syaikh Yusuf di Banten yang diikuti oleh Abd alBar Tuang Rappang, membuat Raja Gowa, Sultan Abdul Jalil,
mengirim utusan untuk memanggil Syaikh Yusuf agar kembali ke
Gowa dengan tujuan mengislamkan kembali orang-orang Gowa.
Akan tetapi permintaan Raja Gowa itu tidak dipenuhi oleh Syaikh
Yusuf. Sebagai gantinya, Syaikh Yusuf mengutus Abd al-Bar Tuang

Menurut Hamid (2005: 210), ia berasal dari keluarga kaya dari Rappang,
sementara menurut Rahman (1997: 45), ia berasal dari Arab.

209

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

Rappang ke Gowa. Pada tanggal 7 Muharram 1089/2 Maret 1678 Abd


al-Bar a-arr Tuang Rappang tiba di Sulawesi (Rahman, 1997: 44).
Sebagaimana cerita kehidupan sufi pada umumnya, riwayat hidup Abd al-Bar Tuang Rappang juga dibumbui oleh legenda.
Konon, berdasarkan tradisi lisan masyarakat Makassar (Hamid,
2005: 211), keberangkatan Abd al-Bar Tuang Rappang ke Gowa
dari Banten bersama dengan istrinya hanya dengan menggunakan
sampan kecil. Berkat kekuatan zikir, sampan kecil itu didorong oleh
angin dan sampai di pelabuhan Jeneberang, Gowa.
Sebagai khalifah utama Syaikh Yusuf, kedatangan Abd al-Bar
Tuang Rappang di Gowa membawa misi penyebaran tarekat gurunya, yakni tarekat Khalwatiyah. Bahkan, ia adalah orang pertama
yang membawa tarekat Khalwatiyah di Gowa (Rahman, 1997: 44).
Pada tahap awal, Abd al-Bar a-arr Tuang Rappang mendakwahkan tarekat Khalwatiyah itu ke kalangan bangsawan, baik yang
berada di pusat kerajaaan maupun yang berada di daerah-daerah
distrik (Hamid, 2005: 212), dan karena itu tidak mengherankan jika
pada akhirnya banyak bangsawan Makassar yang menjadi pengikut
tarekat Khalwatiyah, termasuk Andi Ijo Sultan Muhammad Abdul
Kadir Aidid, penguasa kerajaan Gowa yang terakhir (van Bruinessen,
1995: 286).
Pada tahap berikutnya, seiring banyaknya pengikut tarekat
Khalwatiyah, Abd al-Bar a-arr Tuang Rappang mengangkat Abd. Kadir Karaeng Majannang, Mangkubumi Kerajaan
Gowa, sebagai pembantunya dalam melayani para jamaah tarekat.
Di samping itu, ia juga menyiapkan dua orang khalifah yang kelak
menggantikannya, yakni Abu Saad al-Fadhil al-Khalwati dan Abd.
Majid Nuruddin Ibnu Abdillah (Hamid, 2005: 2130).
Seiring dengan banyaknya kalangan bangsawan yang mengikuti
tarekat Khalwatiyah, proses penyebaran tarekat Khalwatiyah ke masyarakat luas menjadi lebih mudah; hal ini karena kerajaan senantiasa memberikan dukungan dan perlindungan bagi penyebaran ajaran tarekat tersebut. Bahkan Sultan Abdul Jalil, Raja Gowa ke-19
merupakan pengikut setia dan tokoh utama dalam penyebaran tarekat Khalwatiyah ke daerah-daerah Bugis melalui hubungan kekera-

210

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

batan antarkeluarga bangsawan, sampai-sampai Kerajaan Bone pun


menjadi basis penyebaran tarekat Khalwatiyah (Hamid, 2005: 213).
Yang menarik, di tengah kesibukannya mengurus tarekat Khalwatiyah, terlebih kondisi kedua matanya yang tidak dapat melihat,
Abd al-Bar a-arr Tuang Rappang mampu menghasilkan karya-karya sufistik dalam bentuk tulisan. Rahman (1997: 44) mencatat ada tiga naskah yang berhasil ditulis oleh Abd al-Bar a-arr Tuang Rappang sepanjang karirnya sebagai pemimpin spiritual
tarekat Khalwatiyah, yaitu Daqiq al-Asrr, ar-Rislah al-Mubrakah, dan Bahjat at-Tanwr f Bayni Fawid al-Lugat al-lat Taharu min auq al-rif billh.
Abd al-Bar Tuang Rappang meninggal pada tanggal 5 Mei
1723. Pada mulanya ia di makamkan di Rappang, kemudian pada
25 Juli pada tahun yang sama jenazahnya dipindahkan ke Gowa
untuk dimakamkam di komplek pemakaman Syekh Yusuf bersama
dengan Daeng ri Tasammeng, dan Raja Gowa, Sultan Abdul Jalil
(van Bruinessen, 1995: 293; Rahman, 1997: 45)
Tinjauan Naskah
Naskah Daqiq al-Asrr (selanjutnya disebut dengan DA) yang
menjadi sumber kajian dalam tulisan ini merupakan koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta. Naskah ini terdaftar dalam katalog van
den Berg (1873: 91). Judul dan pengarang teks, yakni Abd al-Bar
a-arr, disebut secara eksplisit di bagian awal teks. Bahkan di
bagian awal teks juga dijelaskan oleh pengarang alasan penulisan
risalah Daqiq al-Asrr, untuk memenuhi permintaan Raja Bone,
Sultan Idris. Sultan Idris memang seorang raja yang dikenal gemar
mempelajari tasawuf, antara lain kepada Tuang Rappang, sehingga
ia mendapat gelar Sultan Alimuddin (Hamid, 2005: 214).
Teks DA terletak di urutan ke-11 dari 30 teks yang terdapat dalam
bundel naskah 108;4 mulai halaman 142 sampai halaman 167. Naskah
4

Keseluruhan teks yang terdapat dalam bundel naskah 108 adalah sebagai
berikut: Fat ar-Ramn, Mala as-Sarir wa a-awhir, Malib as-Slikn,
Fat Kaifiyyt a-ikr, al-Barakah as-Sailniyyah, Fawih al-Ysufiyyah, Kaifiyyat an-Nafy wa al-Ibt, Tal al-Inyah wa al-Hidyah, Rislah Gyat alIkhtir wa Nihyah al-Intir, Daqiq al-Asrr, Bahjat at-Tanwr, Sirr al-As-

211

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

berukuran 17 x 10,8 cm, sementara teksnya berukuran 13,6 x 7,6


cm. Secara keseluruhan, naskah terdiri atas 706 halaman, sedangkan teks DA terdiri atas 25 halaman. Setiap halaman terdiri atas 17
baris, kecuali halaman pertama yang terdiri atas 15 baris dan halaman akhir yang terdiri atas 14 baris. Dalam naskah ini ada dua penomoran; yang pertama dengan menggunakan tinta warna biru, sedangkan yang kedua menggunakan pensil. Kemungkinan besar penomoran halaman semacam itu bukan dari penyalin naskah.
Alas naskah A 108 menggunakan kertas Eropa. Warna kertas
putih kekuning-kuningan. Naskah dijilid dengan menggunakan kertas tebal berwarna coklat. Pada halaman pelindung, terdapat informasi pemilik naskah, yaitu Sultan Bone, Amad li Syam alMillah wa ad-Dn (1775-1812). Sebenarnya, di halaman pelindung
juga terdapat informasi mengenai penyalin naskah, namun karena
bagian kertas yang memuat nama penyalin berlubang, maka penyalin naskah tidak dapat diidentifikasi.
Teks DA ditulis dengan menggunakan bahasa dan aksara Arab
dengan syakal yang lengkap, namun cara pemberian syakal banyak
yang tidak sesuai dengan kaidah gramatika bahasa Arab. Jenis khat
yang digunakan adalah khat naskhi. Tinta yang gunakan berwarna
hitam. Tulisan tebal dan jelas. Di beberapa bagian terdapat catatan
pias yang berfungsi sebagai penjelasan atas bagian tertentu dalam
teks.
Teks DA berisi ajaran-ajaran tasawuf yang mencakup pembahasan mengenai tawajjuh, murqabah, musyhadah, muarah,
dan muyanah serta pengalaman-pengalaman spiritual kaum gnostik, baik ketika dalam salat maupun di luar salat. Dalam teks DA
tidak terdapat informasi mengenai kapan teks DA ditulis oleh Tuang
Rappang. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan bahwa alasan
Tuang Rappang menulis teks DA adalah untuk memenuhi perminrr, Fa al-ikmah al-Ilhiyyah, al-Ayn a-bitah, at-Tufah al-Mursalah,
Rislah al-Wu, Marifah at-Taud, Muqaddimah al-Fawid, Asrr a-alh
f Bayn Muqranah an-Niyyah, Bar al-Laht,al-Gau al-Aam, Baynullh,
an-Nr al-Hd il arq ar-Rasyd, Bidyat al-Mubtad, Daful Bal, 3 teks
berbahasa Bugis,al-Futt al-Ilhiyyah, Teks berbahasa Bugis, dan Zubdat alAsrr.

212

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

taan Raja Bone, Sultan Idris, dapat dipastikan bahwa teks DA ditulis pada masa Sultan Idris memegang kekuasaan di Bone, yakni
antara 1696-1714 (Hamid, 2005: 213).
Kandungan Isi Daqiq al-Asrr
Sebagi seorang guru tarekat sufi yang berpengaruh di wilayah
Sulawesi Selatan, Tuang Rappang tentunya memiliki pandanganpandangan sufistik tertentu yang ia ajarkan kepada para pengikutnya. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran
sufistik Tuang Rappang dalam teks DA, diperlukan pula pemahaman terhadap hakikat tasawuf itu sendiri dalam berbagai dimensinya.
Sebagai bentuk laku kehidupan spiritual yang multidimensi, tidak
ada satu pun rumusan yang definitif tentang tasawuf yang dapat
digunakan untuk memahami fenomena kehidupan spiritual yang dialami oleh kalangan sufi; hal karena pengalaman rohani maupun
orientasi kehidupan spiritual para sufi itu berbeda-beda dan sifatnya
personal serta subyektif. Perbedaan pengalaman maupun orientasi
tersebut dengan sendirinya membawa implikasi pada perbedaan definisi yang diberikan oleh para sufi itu sendiri tentang tasawuf.
Meskipun demikian, dari beberapa definisi tasawuf yang ada, dan
yang dirumuskan oleh kalangan sufi sendiri, menurut Mahmud (2003:
43-47), definisi yang dirumuskan oleh Abu Bakr al-Kutani cukup
merepresentasikan tasawuf sebagai jalan (arq) dan tujuan dari kehidupan sufistik yang dijalani oleh sufi, yaitu bahwa tasawuf adalah
af dan musyhadah (kebeningan dan penyaksian). Dengan demikian, berangkat dari definisi seperti ini, tasawuf merupakan jalan
dan tujuan sekaligus; jalan yang harus ditempuh adalah kebeningan
rohani, sementara tujuannya adalah penyaksian kepada Allah secara
rohani pula.
Berkaitan dengan tasawuf, baik sebagai jalan menuju Tuhan
(arq) maupun tujuannya (gyah), dalam mukaddimah teks DA
Tuang Rappang menjelaskan muatan isi risalahnya sebagai berikut:
hihi rislatun lafah wa nubatun arfah f gyat al-al-ikhtir wa nihyat al-ikhtir f bayn at-tawajjuh wa al-murqabah wa al-musyhadah wa
al-muarah, wa al-muyanah wa sammaituh bidaqiq al-asrr f taqqi

213

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

qawid as-sirriyyah wa bayni awli ahlillh al-rifn fi a-alti wa gairih min ab al-kasyfi wa a-auq (DA, h. 142)
(Ini risalah halus dan secuil keindahan yang sangat ringkas, berisi penjelasan
mengenai tawajjuh, murqabah, musyhadah, muarah, dan muyanah. Risalah
ini saya namakan dengan Daqaiq al-Asrar (kelembuatan rahasia) untuk menyatakan ketentuan-ketentuan yang rahasia dan untuk menjelaskan kondisi spiritual
(l) orang-orang yang makrifat di waktu salat dan di luar salat )

Hal yang menarik dari kutipan mukadimah teks di atas, kelima konsep tersebut, yakni tawajjuh, murqabah, musyhadah, muarah, dan
muyanah, dikaitkan dengan l, atau kondisi spiritual tertentu
yang dialami oleh kaum rifn dalam salat dan di luar salat. Jika
dicermati, kelima konsep tersebut merupakan sesuatu yang khas
dalam wacana tasawuf, sedangkan salat merupakan kewajiban syariat yang sangat mendasar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejak awal Tuang Rappang ingin menegaskan hubungan antara
tasawuf sebagai dimensi esoterik Islam dan syariat yang merupakan dimensi eksoterik Islam sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, dalam ulasan selanjutnya mengenai makna kelima konsep-konsep yang khas dalam dunia tasawuf seperti
itu, Tuang Rappang senantiasa mengacu kepada teks-teks yang secara syari sangat otoritatif; dalam hal ini adalah Al-Quran dan hadis.
Secara umum, penjelasan Tuang Rappang terhadap berbagai konsep tasawuf memang sangat ringkas, namun, jika dicermati, berbagai konsep tasawuf yang disampaikan oleh Tuang Rappang itu
sudah menggambarkan dua dimensi dari tasawuf, yakni tasawuf sebagai jalan dan sebagai tujuan. Dimensi jalan sufi terletak pada
konsep tawajjuh dan murqabah, sedangkan dimensi tujuan terletak
pada konsep musyhadah, muarah, dan muyanah.
Tawajjuh dan Murqabah
Berkaitan dengan jalan yang harus ditempuh oleh pelaku kehidupan sufistik, Tuang Rappang menegaskan bahwa manusia harus
meyakini bahwa ke mana pun ia menghadapkan wajahnya, maka di
situlah Allah ada. Dan karena itu, baik posisi orang itu jauh atau
pun dekat dengan Allah, sebenarnya ia terus berhadapan dengan
Allah. Berkenaan dengan tawajjuh ini Tuang Rappang mengatakan:
214

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

qla azza wa jalla faainam tuwall faamma wajhullh wa tataqidu min qaulihi tal innahu maujdun hunka wa sawun almutawajjihu qarbatun ilahi au badatan anhu (DA, h. 143) (Allah
azza wa jalla berfirman: ke mana pun engkau menghadap, maka di
sana ada wajah Allah. Dari firman Allah tersebut yakinlah bahwa
Dia ada di mana pun, baik orang yang bertawajjuh itu dekat maupun jauh dengan-Nya).
Sebagai salah satu metode praktis menuju Allah, bagaimana
gambaran arah atau kiblat tawajjuh menurut Tuang Rappang? Dalam
konteks ini Tuang Rappang menjelaskan bahwa sepertinya halnya
salat, tawajjuh juga mempunyai kiblat. Sebagaimana dimaklumi,
secara syari salat disyaratkan untuk menghadap kiblat berupa arah
yang sifatnya fisikal. Tanpa menghadap kiblat, jelas status hukum
salat menjadi tidak sah. Terkait dengan kiblat tawajuh, Tuang Rappang
menjelaskan:
wa amm qiblat at-tawajjuh fahuwa as-sirr wa hiya al-muabbar anh bilqalbi a-anbar al-muqbili lil-qalbi al-aqq al-musyri ilahi f ad qalb
al-mumin arsyullah wa f ad al-quds minallhi tal qla inna lil-insni
qalban wa f al-qalbi sirran wa fi as-sirri an falih as-sirri qalllhu
tal f al-ad al-quds l yasaun ar wa l sam wa lkin yasaun f
qalbi abd al-mumin at-taq an-naq wa gairu lika min al-ad al-quds
wa hiya qiblatu kh al-akha (DA, h. 154)
(adapun kiblat tawajjuh itu adalah sirr; ia diungkapkan dengan hati sanubari
yang berhadapan dengan hati yang hakiki sebagamana disyaratkan dalam
Hadis: hati orang beriman adalah arsy Allah, dan dalam Hadiz Qudsi dari
Allah taala, Allah berfirman: sesungguhnya menusia memiliki hati; dalam hati
itu terdapat sirr; dan di dalam sirr itu ada Aku. Berkenaan dengan sirr ini
Allah berfirman dalam Hadis Qudsi: bumi dan langit-Ku tidak dapat memuat
diri-Ku; namun hati orang beriman yang bertaqwa dan suci-lah yang dapat
memuat diri-Ku, serta Hadis Qudsi yang lain. Sirr merupakan kiblatnya orang
yang sangat khusus).

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa kiblat tawajjuh adalah


sirr yang tempatnya berada di dalam hati manusia. Dalam wacana
tasawuf, hati manusia memiliki beberapa fakultas (lafah) yang masingmasing fakultas itu terkait dengan fungsi spiritualnya. Al-Gamisykhanawi (t.t.: 342) menjelaskan bahwa sirr merupakan fakultas yang
215

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

terletak dalam hati manusia seperti halnya ruh yang terletak di badan. Sirr merupakan tempat penyaksian (maallu al-musyhadah);
r merupakan tempat cinta (maallu al-maabbah); dan qalb (hati)
merupakan tempat pengetahuan (maallu al-marifah).
Bertolak dari fungsi spiritual sirr di atas, dapat dikatakakan bahwa
tawajjuh dalam konsepsi Tuang Rappang tidak semata-mata merupakan merode praktis dalam proses perjalanan sufistik menuju Tuhan,
namun terkait juga dengan ujung perjalanan sufistik itu sendiri; dan
hal ini tidak lain adalah musyhadah atau penyaksian terhadap
Allah. Selain itu, melihat fungsi spiritual yang dimiliki oleh sirr tersebut, dan dalam kaitannya dengan kedudukan sirr itu sebagai kiblat tawajjuh tempat di mana seorang menghadapkan arah perjalanan
sufistiknya, dapat dipahami jika Tuang Rappang menempatkan sirr
sebagai kiblatnya kalangan yang menempati strata spiritual yang
tinggi, yang dalam istilahnya Tuang Rappang disebut sebagai kelompok kh al-kha.
Dalam pada itu, kiblat tawajjuh yang berupa sirr di atas dengan
sendirinya juga memperlihatkan siginifikansinya tersendiri terkait
dengan esensi perjalanan sufistik menuju Allah. Hal ini terlihat dari
argumen Tuang Rappang ketika menjelaskan alasan kenapa kiblat
tawajjuh itu adalah sirr, bukan yang lain. Dari Hadis Qudsi yang
dikutip oleh Tuang Rappang, yakni wa f ad al-quds minallhi
tal qla inna lil-insni qalban wa f al-qalbi sirran wa fi as-sirri
an, tampak terlihat bahwa alasan Tuang Rappang menempatkan
sirr sebagai kiblat tawajjuh adalah karena di dalam sirr itu Allah
berada.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika sirr itu adalah
tempat Allah, dan sirr itu terdapat dalam hati, sementara hati itu
sendiri terdapat dalam diri manusia, maka perjalanan spiritual menuju Allah yang mesti ditempuh oleh pelakunya bukanlah perjalanan ke luar, dalam arti perjalanan dari satu tempat menuju ke tempat yang lain layaknya perjalanan fisik, akan tetapi ia merupakan
perjalanan ke dalam. Dalam konteks ini, ia merupakan proses
perjalanan menuju ke kedalaman diri manusia sendiri, ke dalam
hatinya, dan ke dalam sirr-nya; karena di sanalah manusia menemukan Tuhannya.
216

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

Di samping tawajjuh, metode praktis dalam perjalanan sufistik


yang disampaikan oleh Tuang Rappang dalam teks DA adalah murqabah. Berkenaaan dengan murqabah, dalam teks DA Tuang
Rappang mengatakan:
qla azza wa jalla fartaqib inn maakum raqb wa hiya murqabat alisn f qaulihi allallhu alaihi wa sallama ubudillha kaannaka tarhu
faillam takun tarhu fainnahu yarka ai faillam takun maujdan f nafsika
fanaiin tarhu(DA, h. 143).
(Allah azza wa jalla berfirman: bermuraqabahlah kamu, sesungguhnya Aku
bersama kamu adalah Yang Maha Mengawasi. Ini adalah murqabat al-isn,
sesuai hadis Nabi saw. sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika
engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu. Artinya, jika engkau tidak
ada dalam dirimu, maka pada saat itu engkau melihat-Nya)

Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana pandangan Tuang


Rappang mengenai murqabah dan landasan syarinya, baik yang
bersumber dari Al-Quran maupun dari hadis. Dalam kutipan tersebut, sepintas memang tidak ada elaborasi yang mendalam dari
Tuang Rappang terhadap konsep murqabah. Akan tetapi, dalam
kutipan teks di atas itu yang penting untuk diperhatikan adalah interpretasi Tuang Rappang terhadap hadis Nabi mengenai persoalan
isn, yakni pernyataan ai faillam takun maujdan f nafsika fanaiin tarhu (Artinya, jika engkau tidak ada dalam dirimu, maka
pada saat itu engkau melihat-Nya). Dari interpretasi Tuang Rappang yang sederhana ini dapat disimpulkan bahwa manusia dapat
melihat Allah jika dia sudah merasa tidak ada dalam dirinya sendiri. Atau, dalam ungkapan lain, selama manusia masih merasa ada,
maka ia tidak dapat melihat Allah. Dengan demikian interpretasi
Tuang Rappang yang sederhana ini sebenarnya telah memasuki wilayah yang sangat krusial dalam sejarah pemikiran Islam, yakni hubungan ontologis antara Tuhan dan alam.
Dalam wacana tasawuf praktis (tasawuf amali), pada hakikatnya makna murqabah adalah makna nafy (negasi) dan ibt (afirmasi) tanpa memperhatikan huruf-huruf kalimah ayyibah. Hal ini
karena murqabah adalah upaya penekanan keesaan wujud Ilahi
dalam batin (al-Gamisykhawani, t.t.: 293). Selain itu, murqabah
adalah upaya menjaga sirr guna melihat kehadiran Allah setiap saat
217

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

dan di setiap ucapan. Pada akhirnya, upaya murqabah yang terus


menerus disertai dengan perjuangan spiritual yang sempurna (mujhadah) akan membawa seorang slik (orang yang menempuh jalan
sufi) dari tingkatan murqabah ke tingkat musyhadah. Dengan demikian
buah murqabah itu tidak lain adalah musyhadah (al-Gamisykhawani,
t.t.: 294).
Jika murqabah merupakan pengejawentahan makna nafy dan
ibt, maka dapat dipahami jika Tuang Rappang menginterpretasikan hadis mengenai isn dengan interpretasi yang mengarah pada
makna kesatuan wujud hakiki. Hal ini karena kemampuan melihat
Allah hanya dapat diperoleh jika seseorang menafikan wujudnya
terlebih dulu sebelum mengisbatkan wujud Allah. Dan dengan melalui proses murqabah seperti ini, konsep isn dapat direalisasikan dalam kehidupan spiritual seorang slik.
Di samping itu, jika murqabah merupakan upaya penjagaan
terhadap sirr secara terus menerus, sementara sirr itu sendiri merupakan kiblat tawajjuh, maka dapat dipahami pula jika dalam teks
DA Tuang Rappang menempatkan pembahasan murqabah tepat
setelah pembahasan tawajjuh. Hal ini karena keduanya, yakni tawajjuh dan murqabah, menurut kaum sufi, merupakan satu paket
metode praktis yang lebih utama dibanding metode zikir nafy dan
ibt secara verbal dan merupakan metode tercepat dalam menuju
kondisi jab5 (al-Gamisykhawani, t.t. 297).
Musyhadah, Muarah, dan Muyanah
Sebagaimana yang sudah dikemukakan di atas, hasil dari proses
murqabah yang terus menerus adalah musyhadah. Oleh karena
itu, dalam paparan selanjutnya dalam teks DA, Tuang Rappang menjelaskan musyhadah sebagai berikut:
falun f al-musyhadah wa hiya an tasyhada annallha tal yusyhiduka
wa qarbun minka lkin syhid musyhadatahu laka wa l tusyhid musyhadataka lahu (DA, h.143-144).

Jab adalah kondisi dimana seorang seseorang ditarik secara spiritual untuk
didekatkan ke Allah tanpa melalui proses usaha yang keras dalam melintasi tahapan-tahapan spiritual (al-Gamisykhawani, t.t. 99).

218

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

(fasal menjelaskan musyhadah. Musyhadah adalah engkau menyaksikan


bahwa Allah menyaksikan dirimu. Akan tetapi, saksikan penyaksian-Nya kepadamu, dan janganlah engkau menyaksikan penyaksianmu kepada-Nya).

Tidak berbeda dengan pembahasan mengenai konsep tawajjuh


dan murqabah, pembahasan musyhadah dalam teks DA ini juga
sangat sederhana. Sebagaimana yang terlihat dalam kutipan teks di
atas, ulasan Tuang Rappang perihal musyhadah hanya sebatas prosedur musyhadah itu sendiri, tanpa ada elaborasi yang mendalam.
Dalam konteks ini,Tuang Rappang hanya menekankan bahwa penyaksian seorang hamba harus ditujukan terhadap penyaksian Allah
kepada dirinya, bukan ditujukan terhadap penyaksian hamba itu
sendiri kepada Allah. Dengan demikian, dalam konteks musyhadah, yang ditekankan oleh Tuang Rappang adalah penyaksian Allah,
bukan penyaksian manusia. Oleh karena itu, tidak banyak berbeda
dengan konsep murqabah al-isan, dalam tataran musyhadah keakuan manusia pun harus ditinggalkan.
Meskipun pembahasan Tuang Rappang mengenai Musyhadah
sangat sederhana, akan tetapi di bagian lain dalam teks DA, Tuang
Rappang mengaitkan Musyhadah dengan persoalan hubungan ontologis antara Tuhan dan alam. Oleh karena itu, untuk memahami
pandangan Tuang Rappang mengenai musyhadah diperlukan pula
pemahaman terhadap hubungan ontologis Tuhan dan alam dalam
teks DA. Berkaitan dengan ini, dengan cukup hati-hati Tuang Rappang
mengatakan:
qad ittafaqa al-muaqqiqn al-rifna billhi ibu al-warah ql inna
al-aqqa subnah wa tal maujdun f kulli syaiin fafham wa l tagli
fainna h al-maqm mazillat al-aqdm lkin hka hka murqabat
qalbi al-rifna billhi tal wa musyhadatuhu iyyhu. (DA, h.155)
(Ahli hakikat yang makrifat kepada Allah, pemilik warisan spiritual, sepakat
mengatakan bahwasanya al-aqq swt. ada di segala sesuatu. Pahamilah dan
jangan salah. Sebab, kondisi seperti ini dapat menggelincirkan kaki. Akan
tetapi, demikianlah murqabahnya hati orang-orang yang makrifat kepada Allah
tala dan musyhadahnya kepada-Nya.)

Dalam kutipan di atas terlihat bahwa di balik kesederhanaan


konsep musyhadah juga terkandung penafsiran tertentu dari Tuang
Rappang terhadap konsep wujud, baik wujud Allah maupun wujud
219

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

alam. Dalam konteks ini, Tuang Rappang menyatakan bahwa Allah


ada di sesuatu tanpa ada penjelasan lebih jauh. Yang menarik, pernyataan seperti itu dipertegas oleh satu kesimpulan bahwa Allah
ada di sesuatu itu merupakan hasil murqabah dan musyhadah
hati orang-orang yang makrifat. Oleh karena itu, di sini yang menjadi persoalan adalah hubungan wujud Tuhan dengan wujud alam
dan kaitannya dengan musyhadah. Dalam lanjutan uraian teks di
atas Tuang Rappang menjelaskan:
ummalam anna al-aqqa subnah wa tal binun fil-lam min wajhin min aiu al-ilmi wa al-marifah wa al-itiqd fayaknu hiran f ar-ri
wa yaknu al-aqqa jalla wa al binan fil-lam min aiu al-marifah wa
al-itiqd h musyhadat al-ilmi wa al-marifah lil-khaww fai qawiya
al-qalbu wa galaba syuhduhu fillhi ainan aqqan lisyiddat uhrihi tal
wa tajallhi fil-lami ra al-lam naiin binan fillhi wa huwa alaau wa al-aqw min hihi al-kaifiyyah wa huwa syuhd kh al-kh min
al-khaww. (DA, h. 155-156)
(Kemudian, ketahuilah, di satu sisi al-aqq swt. tersembunyi di dalam alam
dari sisi ilmu, makrifat, dan keyakinan, dan karenanya alam tampak bagi orang
yang melihat. Selain itu, al-aqq jalla wa al tersembunyi di dalam alam dari sisi
ilmu, makrifat, dan keyakinan. Inilah penyaksian ilmu dan makrifat bagi orangorang khas. Jika hati kuat, dan penyaksian kepada Allah menguasainya secara
nyata dan hakiki, karena kuatnya penampakan dan manifestasi (tajalli) Allah di
alam, maka pada saat itu alam tersembunyi dalam Allah. Ini adalah yang paling
sahih dan yang paling kuat dari cara (kaifiyat) tersebut. Dan ini merupakan penyaksiannya orang-orang yang sangat khusus).

Dalam kutipan di atas, terkait dengan hubungan antara wujud


Tuhan dan alam di satu pihak, dan kaitannya dengan musyhadah
di pihak lain, Tuang Rappang membagi jenis musyhadah ke dalam
dua bagian: musyhadah golongan kh, dan kedua musyhadah
golongan khul kh. Tampaknya pembagian Tuang Rappang ini
didasarkan atas kondisi spiritual orang yang bermusyahadah. Dalam
musyahadahnya golongan pertama, Tuhan tampak tersembunyi di
alam; dan dengan demikian yang tampak bagi orang yang melihat
adalah alam. Hal ini karena penyaksian yang dicapai oleh orang
yang melihat adalah penyaksian berdasarkan ilmu, makrifat, dan
keyakinan. Sebaliknya, bagi golongan kedua, karena hati sudah dikuasai oleh penyaksian kepada Allah akibat kuatnya penampakan
220

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

dan tajjal Allah, maka yang tampak nyata adalah Allah, bukan alam;
dan dalam kondisi seperti ini alam justru tersembunyi dalam Allah.
Penting untuk perhatikan, tersembunyinya alam dalam Allah, atau
penampakan Allah secara nyata, bukan atas dasar penglihatan inderawi, melainkan atas dasar penyaksian mata batin (ain al-barah).
Oleh karena itu, Tuang Rappang menjelaskan: fai syahidta lahu
maujdan fil-asyyi min ain al-barah rat al-asyyu binan fillhi
f ain al-barah kam taqaddama (DA, h. 156) (Jika engkau berdasarkan penglihatan mata hati menyaksikan-Nya ada di sesuatu,
maka, sebagaimana yang sudah dijelaskan, berdasarkan penglihatan
mata hati pula sesuatu itu tersembunyi di dalam Allah).
Meskipun Tuang Rappang menegaskan bahwa dalam keadaan
musyhadah Allah tampak ada di sesuatu, akan tetapi itu tidak berarti ada penyatuan dan pemisahan antara wujud Tuhan dan wujud
alam. Hal ini karena pada hakikatnya penyatuan dan perpisahan
hanya terjadi pada dua wujud; padahal yang wujud hanya satu, yakni wujud Allah, sementara wujud alam pada hakikatnya tidak ada,
meskipun tampak banyak dan berbilang. Berkenaan dengan hal ini,
Tuang Rappang menyatakan:
l yattailu bainallhi wa bain al-abdi wa l yanfailu liann al-ittil wa
al-infil l budda lahum min wujdaini wa al-wujd widun l taadduda
wa l takaura wa wujdu al-lam l tuaddu wujdan wa in takaara wa
taaddada (DA, h. 1556-157)
(Antara Allah dan hamba tidak bersatu dan tidak berpisah. Sebab, persatuan
dan perpisahan tidak bisa tidak harus dari dua wujud. Wujud itu satu, tidak
menjadi banyak dan tidak pula menjadi berbilang. Wujud alam tidak
diangggap sebagai wujud, meskipun banyak dan berbilang).

Penegasan Tuang Rappang mengenai esensi wujud, baik wujud


Tuhan maupun wujud alam, dan hubungan di antara keduanya dengan
sendirinya memperlihatkan kedekatannya secara doktrinal dengan
pandangan ontologis gurunya, yakni Syaikh Ysuf al-Makassari,6
terlebih pandangan serba Allah tersebut didasarkan atas pengalaman
musyhadah. Oleh karena itu, pandangan ontologis Tuang Rappang
6

Untuk pandangan ontologis Syaikh Yusuf al-Makassari, lihat M. Adib Misbachul Islam (2005: 50-67).

221

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

yang mengarah pada klaim penyatuan antara Tuhan dan alam seperti
itu dengan sendirinya tidak dapat dikatagorikan sebagai paham ull.7
Hal ini karena paham ull tetap mengakui adanya dua wujud yang
sama-sama otonom, yakni wujud Tuhan dan wujud alam.
Di samping itu, pandangan ontologis Tuang Rappang mengenai
hubungan Tuhan dan alam yang didasarkan atas pengalaman musyhadah di atas juga perkuat dengan pemaparan Tuang Rappang berikutnya
mengenai pengalaman spiritual yang terkait dengan musyhadah,
yaitu muarah dan muyanah. Dalam pandangan Tuang Rappang,
muarah adalah aar al-qalbi f aratillah azza wa jall f syuhdihi wa wujdnihi biraf i as-sutri wa laisa bainahu wa bainallhi
ijb (DA, h. 144) (kehadiran hati di haribaaan Allah azza wa jall
dalam penyaksian dan instuisinya dengan tersingkapnya tirai penghalang; dan di antara hati dan Allah tidak ada tabir lagi), sedangkan
muyanah adalah fanaul abdi tihi wa ifatihi wa filihi wa jami awlihi lisyiddati uhrihi tal wa galabat at-tajalliyah
lahu. (DA, h. 144) (sirnanya hamba; zat, sifat, perbuatan, dan semua keadaannya karena kuatnya penampakan dan tajjal Allah taala
kepadanya.
Jika muarah adalah kehadiran hati dalam kondisi syuhd
tanpa ada tabir penghalang lagi antara hati dan Allah, sementara mu
yanah adalah kondisi fan di mana diri, sifat dan seluruh keadaan seorang sufi sirna akibat tajjal Allah yang memenuhi hati
seorang sufi, sehingga yang ada hanyalah Allah, maka tidaklah
aneh jika dalam kondisi demikian muncul penyaksian bahwa yang
ada dan yang tampak hanyalah Allah, sementara selain Allah, yakni
alam, tersembunyi atau bahkan tidak ada.
Bertolak dari pengertian muarah dan muyanah di atas,
tampak bahwa kedua pengalaman spiritual tersebut merupakan sisi
lain dari pengalaman musyhadah yang dialami oleh penempuh jalan sufi yang mendapat pencerahan rohani. Dengan demikian, pandangan Tuang Rappang mengenai hubungan Tuhan dan alam yang
sekilas tampak identik itu dengan sendirinya harus ditempatkan dalam
7
ull berarti bersatunya sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga jika
menunjuk kepada salah satu dari keduanya berarti juga menunjuk kepada yang
lain (al-Jurjn, 1969: 98).

222

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

kerangka pengalaman spiritual sufistik yang jauh dari muatan filsafah panteistik.
Penutup
Daqiq al-Asrr (DA) merupakan salah satu karya sufistik
yang ditulis oleh Abd al-Bar Tuang Rappang, khalifah utama
Syaikh Ysuf al-Makassari yang memainkan peran penting dalam
penyebaran dan perkembangan tarekat Khalwatiyah di Sulawesi Selatan, namun pandangan tasawufnya sendiri tidak banyak mendapat
perhatian. Setidak-tidaknya, keberadaan naskah tersebut merupakan
salah satu bukti yang dapat menunjukkan kapasitas intelektual dan
spiritual yang dimiliki Tuang rappang, sekaligus kedalaman pandangan sufistiknya. Meskipun secara fisik tampak sederhana, teks
DA tersebut cukup menggambarkan ajaran tasawuf, baik dalam
dimensinya sebagai jalan maupun sebagai tujuan dari kehidupan
spiritual yang dijalani oleh para pelaku kehidupan tasawuf.
Dalam konteks tasawuf sebagai jalan spiritual, dalam teks DA
Tuang Rappang memberikan formula praktis yang mesti diterapkan
oleh para penempuh jalan sufi dalam proses perjalanan sufistiknya;
dalam hal ini adalah tawajjuh dan murqabah. Dalam pandangan
Tuang Rappang, kedua formula tersebut merupakan implementasi
dari doktrin Islam yang bersumber dari Al-Quran dan sunah. Selain itu, menurut Tuang Rappang, penerapan kedua metode tersebut
dapat mengantarkan sufi pada kondisi spiritual tertentu yang merupakan puncak perjalanan sufistik, yakni penyaksian kepada Allah
secara rohani (musyhadah), sehingga yang tampak dan yang ada
hanyalah Allah, sementara alam tidak ada.
Penting untuk perhatikan, dalam teks DA konsepsi tentang wujud tersebut didahului oleh pengalaman spiritual (tajribah riyyah); dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dalam sufisme Tuang Rappang, dasar dari pandangan yang menyatakan hanya ada satu wujud adalah
pengalaman spiritual, bukan pengalaman inderawi dan bukan pula
penalaran akal.*

223

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara


Abad XVII & XVIII, Jakarta: Kencana, Cet. III, 2007.
Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di
Nusantara, Surabaya: Al Ikhlas, t.t.
a-arr, Abd al-Bar, Daqiq al-Asrr, MS Jakarta 108
Al-Gamusykhnaw, iy ad-Dn Amad Muaf, Jmi al-Ul f al-Auliy,
Surabaya: al-aramain, t.t.
Hamid, Abu, Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang, Jakarta: Obor,
Edisi kedua, 2005.
Islam, M. Adib Misbachul, Relasi Tuhan dan Alam: Pandangan Sufistik Syaikh
Yusuf Makassar dalam Sirr al-Asrr, Lektur, Vol. 3, No.1, 2005.
Al-Jurjni, Al Muammad, at-Tarft, Beirut: Dr al-Kutb al-Ilmiyyah, Cet.
III. 188.
Lubis, Nabilah, Syekh Yusuf al-Taj al-Makassari: Menyingkap Intisari Segala
Rahasia, Bandung: Mizan bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas
Indonesia dan Ecole Francaise dExtreme-Orient, 1996.
Mamd, Abd al-alm, Qaiyyah at-Taawwuf: al-Munqi min a-all,
Kairo: Dr al-Marif, 2003.
Rahman, Ahmad, Tarekat Khalwatiyah Saman: Studi tentang Penyebaran dan
Ajarannya di Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan, tesis magister
Program Pascasasrjana IAIN Alauddin Ujungpandang, 1997.
Van den Berg, L.W.C., Codicum Arabicorum in Bibliotheca Societatis Artium et
Scientiarum Quae Bataviae Florest Asservatorium Catalogus, Batavia-Den
Haag: Wijt & Nijhoff, 1873.
Van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, Bandung:
Mizan, Cet. II, 1995.

224

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

Lampiran:

Gambar 01
Bagian awal dari teks Daqiq al-Asrr, h. 142-143

225

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

Gambar 02
Halaman 154-155 dari teks Daqiq al-Asrr

226

Menguak Sufisme Tuang Rappang M. Adib Misbachul Islam

Gambar 03
Halaman 156-157 dari teks Daqiq al-Asrr

227

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 207 - 228

Gambar 04
Bagian terakhir dari teks Daqiq al-Asrr, h. 166-167

228

Runtuhnya Budaya Bangsa, Kajian Naskah Wasiat Nabi Nur Said

Runtuhnya Budaya Bangsa

(Peta Dekadensi Moral dalam Naskah Waiat Nabi


Kode BR. 26 Koleksi PNRI) 1
Nur Said
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus
This research focuses on three problems; the questions this research poses are (1)
What is the description and the characteristic of Wasiat Nabi manuscript physically?,
(2) What is the content of Wasiat Nabi manuscript substantially?, (3) What is the
relevance of the content of Wasiat Nabi manuscript in the process of nations
character building? Through philological approach, this research concludes that;
Firstly, the writer of Wasiat Nabi manuscript cannot be identified. The manuscript is
collected by J.L.A. Brandes, (1884-1905) a Dutch scholar who had a great concern on
Javanese literature in Indonesia. Secondly, the content of Wasiat Nabi manuscript at
least covers three important points; (a) the phenomenon of moral degradation such as
the issues of drug, free sex, gambling games, the relation between son and parents,
and other social crisis, (b) the visualizations and impacts of those deeds here in this
world and hereafter, (c) the illustration of doomsday that horrified and the
phenomenon of eschatology in Islamic theology. Thirdly, Wasiat Nabi manuscript
gives us a serious warning that human beings must reform their self (taubat nasuh)
as soon as possible by way of creating high culture and noble civilization for all.
Kata kunci: wasiat Nabi, manuskrip, filologi, dekadensi moral, reformasi budaya

Pendahuluan
Studi Islam terkini di Indonesia mengalami perkembangan yang
cukup dinamis di tengah kebebasan akademik yang semakin nyata.
Dinamika studi Islam pada tingkat wacana sudah cukup menggembirakan mulai dari yang ekstrem kanan yang sering diklaim sebagai kelompok radikal-fundamentalis, hingga yang ekstrem kiri
1

Tulisan ini semula adalah makalah yang dipresentasikan pada Diklat Penelitian Naskah Keagamaan, Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan, Badan Litbang
dan Diklat, Departemen Agama RI, Jakarta, yang diselenggarakan pada tanggal 1
Nopember s.d. 6 Desember 2007.

229

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 229 - 250

yang populer sebagai kelompok liberal-transformatif. Bahkan kalau


diidentifikasi lebih detail akan melahirkan berbagai kelompok
Islam Indonesia yang memiliki trend teologi yang beragam. 2
Fenomena tersebut adalah gejala yang menggembirakan dalam
studi lintas budaya, karena karagaman adalah sebuah keniscayaan
dalam kehidupan di kampung global (global villages).
Dinamika tersebut menjadi problematis ketika keragaman tren
keilmuan dan teologi tersebut mengalami ahistoris, karena cenderung berpegang pada intelektualisme yang tercerabut dari akar tradisi yang sebenarnya setiap daerah di nusantara memilikinya. Studi
Islam yang ahistoris akan selalu menemukan ketidakseimbangan
paradigmatis dalam berpikir metodologis antara intelektualisme
Barat dengan intelektualisme Timur.3
Seyyed Hussein Nasr pernah mengalami kegelisahan ketika
modernitas menggerus tradisionalisme Islam yang sarat dengan
spiritualitas, sehingga perlu kembali kepada akar tradisi yang tak
lain adalah kembali kepda kebijaksanaan perenial (sophia
perennis), sebagai pengetahuan yang selalu ada dan akan ada dan
bersifat universal. 4 Sementara Hasan Hanafi mengajak umat Islam
untuk melakukan repositioning keilmuan dari yang semula hanya
menjadi objek riset orientalisme, maka jadilah subjek riset melalui
gerakan oksidentalisme,5 termasuk terhadap naskah Nusantara.
2

Azra misalnya setidaknya memetakan tren teologi di Indonesia meliputi: (1)


teologi modernisme, (2) teologi transformatif, (3) teologi inklusivisme, (4) teologi fundamentalisme, (5) teologi neotradisionalisme. Lihat, Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam (Bandung, Mizan, 1999) h. 52-54. Bahkan Abuddin Nata memetakan lebih rinci, antara lain: (1) Islam fundamentalis, (2) Islam teologistrasformatif, (3) Islam eksklusif, (4) Islam rasional, (5) Islam transformatif, (6) Islam
aktual, (7) Islam kontekstual, (8) Islam esoteris, (9) Islam tradisionalis, (10) Islam modernis, (11) Islam kultural, (12) Islam inklusif-pluralis. Lihat, Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001).
3
Dua istilah yang penulis munculkan sebagai wujud kegelisahan atas munculnya dialog keilmuan antara Barat dan Timur yang belum seimbang, karena
adanya hegemone budaya yang seringkali menguasai antara satu dengan yang
lainnya.
4
Seyyed Hossein Nasr, The Philosophia Perennis and The Study of Religion, dalam Frank Whling (ed), The worlds Religious Tradition, Current Perspective in Religious Studies, Essay in Honour of Wilfred Cantwell Smith (Edinburg: T&T Clark LTD, 1984), h. 181-199.
5
Hasan Hanafi, Oksidentalisme, (Jakarta: Paramadina,1999).

230

Runtuhnya Budaya Bangsa, Kajian Naskah Wasiat Nabi Nur Said

Sudah ratusan tahun naskah Nusantara menjadi harta karun


bagi orientalisme, bahkan tak sedikit yang kuasainya dengan berbagai cara. Bersumber dari naskah pula telah banyak terbukti ditemukan berbagai pengetahuan potensial dikembangkan menjadi teknologi. Teknologi jamu yang sekarang sudah berkembang menjadi
teknologi kesehatan tepat guna, cikal-bakalnya adalah dari naskah
yang berasal dari Solo.6 Dan sebenarnya masih banyak pengetahuan
lokal yang bisa ditemukan melalui naskah.
Kalau sekarang, bangsa ini dihadapkan pada gemuruh kebobrokan moral dan kekerasan dalam berbagai bentuknya, mulai dari keserakahan, seks bebas, ketidakadilan dalam berbagai polanya, maka
dicoba kembali ke akar tradisi dengan menyerap nilai-nilai kearifan
yang terdapat dalam muatan naskah akan menjadi pelipur lara bagi
yang sedang duka dan pengingat bagi yang sedang lupa sehingga
bisa kembali kepada jalan lurus. Bahkan bukan tidak mungkin ajaran dan muatan yang terdapat dalam naskah menjadi inspirasi bagi
pengembangan teknologi pembagunan karakter bangsa (character
building).
Maka dalam konteks inilah, naskah Waiat Nabi yang akan menjadi objek penelitian ini akan menemukan relefansinya yang signifikan. Teks Waiat Nabi menarik untuk dikaji karena sebagian besar isinya terkait dengan fenomena perilaku bodoh yang dilakukan
oleh manusia yang sering mengklaiam sebagai modern sehingga
yang terjadi adalah merebaknya dekadensi moral dalam berbagai
aspeknya. Maka dengan menelaah secara kritis teks Waiat Nabi ini
setidaknya akan mempu tergambat fenomena jahiliyah modern
yang sebenarnya harus dihindari oleh manusia yang bermartabat
dan berperadaban. Hasil kajian ini akan menjadi semacam penggugah diri bagi pribadi yang sedang tertidur panjang sehingga lalai
bahwa dunia ini telah begitu rusak akibat tangan-tangan manusia
yang harus mempertanggungjawabkannya. Maka manusia harus berani dan mau untuk berubah melakukan reformasi diri.
Oleh karena itu, peneliti mencoba mengkaji isi naskah Waiat
Nabi dan relevansinya dengan pembangunan karakter manusia
muslim. Dalam mengkaji naskah Waiat Nabi digunakan disiplin
ilmu filologi dan ilmu sosiologi modern. Pendekatan ilmu filologi
6

Siaran Metro File Nopember 2007.

231

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 229 - 250

khususnya digunakan dalam hal inventarisasi atau penelusuran


naskah dan deskripsi naskah. Sedangkan ilmu sosial modern
dipakai untuk membantu dalam membedah isi naskah Waiat Nabi
tersebut.
Tentang Naskah Waiat Nabi
Dari hasil pelacakan terhadap naskah Waiat Nabi di PNRI
hanya ditemukan satu saja dengan kode BR. 266. Jumlah halaman
naskah secara keseluruhan ada 30 halaman dengan perincian 2 halaman tak bernomor dan 28 halaman yang bernomor urut (ii+28),
dengan jumlah 12 baris per halaman. Ukuran naskah 18x14 cm,
sedangkan ukuran teksnya adalah 15x10 cm. Tulisan teks menggunakan bahasa Melayu dan sebagian kecil juga ada yang berbahasa Arab terutama yang menyangkut ayat Al-Quran atau hadis
tertentu. Sedangkan aksara yang digunakan adalah aksara Jawi
(Arab-Melayu), dan tidak ada garis panduan serta tanpa iluminasi.
Nomor halaman menggunakan angka Arab ditrulis dengan pensil.
Pada halaman 1-10 posisi teks terdapat di dalam kotak bergaris ganda dengan ukuran 15,5 x 10,5 cm, sementara pada halaman 11-28
teks tanpa kotak garis.
Naskah ini ditulis di atas kertas Eropa tanpa ada keterangan cap
kertas. Teks ditulis dengan menggunakan tinta warna hitam, namun
pada bagian-bagian tertentu, terutama yang menyangkut nama Muhammad dan beberapa teks yang menggunakan Bahasa Arab berupa
ayat Al-Quran ataupun hadis selalu ditulis dengan tinta merah.
Naskah dijilid dengan hard cover berbahan karton tebal warna
coklat dengan lapisan warna hitam pada bandingan naskah. Kondisi
naskah masih lumayan baik namun pada jilidan ada sebagian lembar yang mulai sobek hampir terlepas. Meskipun demikian masih
bisa diketahui bahwa naskah tersebut terdiri dari tiga kuras, dengan
masing-masing kuras sekitar 10 lembar.
Penulis atau penyalin naskah tidak dapat diketahui, karena di
samping memang tidak ada keterangan di cover, juga tidak terdapat
kolofon. Sejarah naskah juga tidak bisa diketahui secara pasti,
karena dalam katalog juga tidak ada keterangan sama sekali, yang
ada hanyalah judul dan kode naskah (BR. 266) pada Katalog PNRI

232

Runtuhnya Budaya Bangsa, Kajian Naskah Wasiat Nabi Nur Said

yang disunting oleh T.E. Behrend. 7 Yang jelas naskah tersebut


merupakan koleksi dari J. L. A. Brandes, seorang sarjana terkenal
Belanda, dalam bidang studi kesusastraan Jawa dan Melayu,
linguistik perbandingan dan arkeologi, pernah tugas di Indonesia
tahun 1884-1905.
Kutipan awal teks adalah sebagai berikut:
bismillhirrahmnirrahm, wabih nastanu billh al: ini hikayat berisi
cerita oleh wasiat Nabi Muhammad saw. tatkala peristiwa, maka ujarnya
Abdurrahman ibnu Said ibnu Muhammad ibnu Mahmud ibnu Qasim. Orang
itu turun-temurun menjadi imam di masjid Rasulullah saw. Adapun yang
pertama Abdurrahman mendapat pesanan ini yaitu sepuluh hari bulan Muharam, tatkala itu hijratu al-Nabi Muhammad saw. setelah wafat 747 tahun.

Sedangkan kutipan akhir teks sebagai berikut:


dan setengah tiada tertahani lagi olehnya dan lagi panas pun hampir datang
pada kepalanya. Bermula orang yang beranak, maka mati anaknya yang belum
lagi ia berdosa itu maka anaknya mereka itu yang membawa minuman akan
ibu bapaknya. Berdua diminumya oleh mereka itu hilangkan dahaganya dan
laparnya. Bermula segala perempuan yang menghalalkan mas kawinnya akan
suaminya itulah perempuan yang memegang dan bernaung di bawah panjipanji Siti Fatimah azzahra raiyallahu anhum ajman. Dan segala perempuan
yang tiada berbuat bekti akan suaminya itulah tiada hampir di bawah panjipanji Siti Fatimah. Maka Siti Fatimah seorang jua adanya.

Kandungan Naskah Waiat Nabi


Teks Waiat Nabi tidak bisa diketahui secara pasti latar belakang penyalinan/penulisannya, di samping memang tidak disebutkan dalam teks juga tak ada kolofon yang menjelaskannya. Yang
bisa diketahui tentang isi teks tersebut merupakan pengalaman spiritual seorang penjaga makam Nabi Muhammad saw. bernama Abdurrahman ibnu Said ibnu Muhammad ibnu Mahmud ibnu Qasim (selanjutnya disebut Abdurrahman), pada pada suatu hari tahun 747 H.
Hal ini dapat dicermati dalam bagian pertama teks tersebut sebagai
berikut:

7
Selengkapnya lihat, T.E. Behrend (ed.), Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1998), h. 95.

233

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 229 - 250

Bismillhirrahmnirrahm. Wabih nastanu bill al: Ini hikayat berisi


cerita oleh wasiat Nabi Muhammada saw. tatkala peristiwa, maka ujarnya
Abdurrahman ibnu Said ibnu Muhammad ibnu Mahmud ibnu Qasim. Orang
itu turun temurun menjadi imam pada masjid Rasulullah saw. Adapun yang
pertama Abdurrahman mendapat pesanan ini yaitu sepuluh hari bulan Muharram, tatkala itu hijratu al-Nabi Muhammad saw. setelah wafat tujuh ratus
empat puluh tujuh tahun.8

Bagian yang secara ekplisit menunjukkan bahwa substansi cerita yang terdapat dalam naskah ini adalah dalam mimpi misalnya
dapat dicermati dalam kutipan berikut:
Maka hamba pun mengantuk, lalu tidur. Maka hamba pun di dalam tidur
hamba itu, maka Rasulullah saw. duduk selama tengah masjid dengan.9

Ini artinya bahwa bukan sembarang orang bisa mengalami pengalaman spiritual istimewa seperti Abdurrahman. Tak sekadar mimpi,
tapi mimpi yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai petuah dalam
berinteraksi imaginer dengan empat sahabat Nabi hingga dengan
Nabi yang sebenarnya masing-masing sudah dalam ruang yang berbeda. Hanya orang-orang kh (khusus) yang mampu berdialog
dengan Nabi dan sahabat-sahabatnya. Salah satunya adalah apa
yang dialami oleh Abdurrahman.
Apa yang dialami oleh Abdurrahman bukanlah sebuah kebetulan
yang tanpa ikhtiar sama sekali. Tapi ketulusan jejak pengabdiannya
sudah tidak diragukan lagi sebagai sebagai pemangku masjid Nabi,
sebuah tempat suci wahana penegak syiar Islam kala itu. Bahkan
proses pengabdian ini sudah turun-termurun dilakukan juga oleh
generasi leluhur Abdurrahman. Abdurrahman tak pernah merasa
bosan melakukan semua itu, bahkan setiap malamnya dipenuhi
dengan proses perenungan diri (musabah) dan olah spiritual
mulai dengan memperbanyak membaca membaca tasbih, pujian
kepada Nabi dan malaikat, membaca salawat, dan salat malam
hingga akhirnya Subuh datang menjelang. Seusai salat Subuh,
Abdurrahman tak henti-hentinya melantunkan doa-doa kepada Allah
dan permohonannya kepada Nabi yang tiada henti agar beliau

Naskah Waiat Nabi, h. 1


Naskah Waiat Nabi, h. 1

234

Runtuhnya Budaya Bangsa, Kajian Naskah Wasiat Nabi Nur Said

berkenan memohonkan ampunan bagi umatnya yang tampak


semakin merosot moralitasnya.
Pagi harinya Abdurrahman keluar malakukan perjalanan dengan
tujuan yang tidak disebutkan. Dalam perjalanan itu, ketika hari
sudah mulai siang, udara semakin panas, lapar dan dahaga semakin
terasa, maka di depannya didapai sebuah pohon yang rindang,
Abdurrahman istirahat sejenak hingga tak terasa dia mengantuk dan
tertidur, hingga pada suatu ketika dia tertidur. Pada momentum
inilah Abdurrahman sebuah keajaiban seakan dia hidup dalam suatu
masa dengan Nabi bersama keempat sahabatnya.
Berawal ketika Abu Bakar menuliskan pesan-pesan Nabi dalam
selembar kertas yang sudah dipersiapkan oleh Ali bin Abi Thalib.
Ketika surat itu diserahkan kepada Ali, Ali pun akhirnya membacanya. Sungguh mengejutkan, ketika Ali tiba-tiba menangis saat
membaca surat itu. Maka surat itupun akhirnya diserahkan oleh Ali
kepada Umar, dan Umar menyerahkan kepada Usman, dan Usman
menyerahkannya kepada Abdurrahman. Abdurrahman pun terkaget
menerima surat itu hingga akhirnya ia terbangun dari tidurnya dan
surat itu memang benar-benar ada. Berat rasanya Abdurrahman
membawa surat itu.
Maka, Abdurrahman cepat-cepat pulang, begitu sampai di
rumah Abdurrahman langsung salat dua rekaat sebagai bentuk
penenangan diri. Begitu selesai salat Abdurrahman dengan pelan
dan hati-hati membukanya. Ternyata surat tersebut berisi sejumlah
wasiat (petuah) Nabi terkait berbagai kejadian yang telah menimpa
umatnya. Secara garis besar isi wasiat tersebut berisi berbagai
petuah dan peringatan kepada umatnya yang sudah terlalu jauh dari
jalan kebenaran. Secara detail isi wasiat itu adalah sebagai berikut:
1. Fenomena Dekadensi Moral Umat
Ternyata semakin berumurnya dunia, penghuni planet yang
namanya manusia ini tidak malah lebih bermartabat tetapi justru
semakin bejat. Ada gejala kemerosotan moral yang sangat
memprihatinkan sehingga Nabi pun harus turun tangan
memberikan wasiat-wasiat penggugah bagi manusia. Di antara
problem moralitas yang disorot dalam Waiat Nabi dan ternyata
justru semakin parah pada saat manusia memasuki dunia
modern seperti sekarang ini yaitu:
235

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 229 - 250

a. Perzinaan yang semakin mewabah dan hanya sedikit yang


halal nikah. 10 Gejala ini kalau ditarik dalam konteks sekarang tercermin pada semakin menonjolnya seks bebas mulai
dari tingkat bawah hingga elite bangsa. Orang sudah tidak
malu-malu lagi melakukan hubungan seks di luar nikah bahkan yang lebih memprihatinkan dengan kecanggihan teknologi informasi kegiatan yang sangat private, domestik dan
memalukan tak sedikit yang sengaja direkam untuk kemudian dipublikasikan. Maka kita sering melihat melihat dan
mencermati kegiatan seks bebas menjadi tontonan gratis di
berbagai media. Nilai-nilai moral sudah tidak diperhatikan
lagi. Selangkah lagi manusia jatuh pada tingkat peradaban
binatang yang sangat rendah. Sementara pernikahan yang semula merupakan momen sakral yang sangat dijunjung tinggi
bagi umat beragama, sekarang mengalami pergeseran hanya
sekadar sebuah ikatan yang melegalkan hubungan seks yang
sekadar bermodal cinta belaka. Padahal dalam Islam memiliki aturan yang jelas bagaimana relasi suami istri harus dibangun, serta bagaimana calon suami-istri yang etika agama. Etika pernikahan sudah tidak diperhatikan lagi, maka
setelah akad nikah diselenggarakan, yang ditemukan bukan
keluarga saknah, mawaddah, waramah, tetapi sebuah keluarga yang sarat dengan fenomena kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). KDRT yang semakin hari semakin berkembang kualitas dan kuantitasnya tak lepas dari tercerabutnya
manusia dari visi pernikahan yang dilandasi agama. Maka
dalam konteks inilah Waiat Nabi menyentuhnya secara
khusus, agar umat manusia tergugah dan siap untuk berubah.
b. Gairah minum arak dan towak semakin tinggi. 11 Arak dan
towak hanya sebagian saja jenis minuman yang ketika dikonsumsi oleh manusia akan menimbulkan kemabukan yang
berdampak pada hilangnya kesadaran, sehingga dia tidak
malu dan tidak takut berbuat apapun yang mereka senangi
meskipun hal ini melanggar agamanya dan merugikan pihak
10

Naskah Waiat Nabi, h. 7


Naskah Waiat Nabi, h. 7

11

236

Runtuhnya Budaya Bangsa, Kajian Naskah Wasiat Nabi Nur Said

lain. Yang dikedepankan adalah kepuasan lahir dan batin,


tanpa memperhitungkan pihak lain. Akal menjadi tumpul,
hati menjadi keras. Fenomena tersebut sekarang bukan semakin berkurang, tetapi justru berkembang seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka sekarang kita mengenal Narkoba, yaitu berbagai jenis narkotika dan obat-obat terlarang justru banyak dikonsumsi oleh
public figure yang semestinya menjadi panutan, mulai dari
politisi, para artis hingga pejabat-pejabat tertentu. Yang lebih
parah lagi tak jarang oknum aparat yang semestinya membasminya, justru malah menjadi backing dari para bandarnya. Maka jangan heran kalau anak-anak usia sekolah, terutama di kota-kota besar juga turut ingin mencoba-coba dan
terjerumus di dalamnya. Gejala ini juga yang menjadi perhatian Waiat Nabi.
c. Durhaka kepada ibu dan bapak semakin banyak. 12 Berbuat
baik kepada orang tua sampai sekarang juga memang menjadi barang mahal. Fenomena anak menyingkirkan orang
tua semakin menggejala hanya karena orang tua kurang memiliki nasib beruntung, sehingga seakan orang tua tidak memiliki peran dalam kehidupannya. Bahkan tak jarang sebagaimana banyak tersiar dalam berita; terjadi anak membunuh orang tuanya sendiri hanya persoalan sepele. Betapa
banyak anak sudah lalai terhadap jati dirinya atau dalam bahasa Jawa ora eling wetone. Maka Waiat Nabi tersebut menjadi sangat relefan hinggi kini.
d. Tiada mulyakan pada tempat belajar ilmu dan segala yang
membesarkan syiar Islam. 13 Gejala tersebut dalam konteks sekarang tercermin pada kurangnya perhatian banyak pihak terhadap berbagai institusi yang berpihak pada ilmu dan spiritualitas. Nasib guru yang memprihatinkan di tengah para politisi dan pejabat tinggi yang selalu mendapatkan kenaikan tunjangan, sekolah-sekolah (madrasah) yang nyaris roboh di tengah
gencarnya dibangun mal-mal, perpustakaan yang tak terurus
di tengah megahnya taman hiburan yang glamor, banyak
12

Naskah Waiat Nabi, h. 7


Naskah Waiat Nabi, h. 7, 12

13

237

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 229 - 250

anak putus sekolah karena kekurangan biaya dan pada saat


yang sama justru konglomerat menumpuk kekayaan. Demikianlah gambaran kehidupan paradoksal yang tak berpihak
pada ilmu dan spirit agama yang terjadi dalam konteks terkini, dan ternyata sudah terbaca dalam naskah Waiat Nabi.
e. Umat banyak yang suka bunyi-bunyian yang melalaikan, seperti rabab dan kecapi. 14 Dalam konteks sekarang tercermin
dalam perkembangan teknologi musik yang penggunaannya
tak terkendali, sehingga banyak di antara para musisi yang
ekspresinya tak lagi mengindahkan etika dan estetika yang
adiluhung, namun justru seringkali hanya sebagai ekspresi
kebebasan yang kebablasan. Maka banyak para musisi akhirakhir ini justru terjerumus pada gaya hidup modern yang
masuk pada kubang penyesalan. Mulai dari penggunaan obatobat terlarang dan pergaulan bebas.
f. Banyak yang mengambil harta anak yatim dan makan riba,
mengabaikan yang miskin dan berpihak pada yang kaya. 15
Gejala ini ternyata juga masih tampak jelas dalam kehidupan sekarang. Gejala materialisme semakin menonjol, sehingga harta menjadi tujuan hidup banyak orang bahkan
dengan jalan pintas pun dilakukan. Fenomena budaya korupsi yang mengakar dalam berbagai level adalah salah satu
tanda yang paling jelas. Bahkan harta anak yatim pun menjadi sasaran. Maka meski banyak bermunculan institusi sosial yang berdiri, namun tetap saja yang kaya makin kaya,
yang miskin makin miskin.
g. Ketidakharmonisan relasi suami-istri. 16 Kurang terbangunnya
saling pengertian, banyak terjadi istri menduakan suaminya, atau sebaliknya. Inilah yang kemudian sekarang populer dengan isu perselingkuhan yang semakin parah dalam
dunia pergaulan modern. Munculnya istilah pria idaman lain
(PIL) atau wanita idaman lain (WIL) akhir-akhir ini, semakin memperkuat fenomena ini. Sehingga banyak bangunan
keluarga yang roboh, karena landasan dasarnya yang tidak
14

Naskah Waiat Nabi, h. 8


Naskah Waiat Nabi, h. 8, dan 14
16
Naskah Waiat Nabi, h. 25.
15

238

Runtuhnya Budaya Bangsa, Kajian Naskah Wasiat Nabi Nur Said

kuat. Ikatan pernikahan tidak begitu diperhatikan, janji setia


dalam momentum sakral akad nikah dilupakan. Dampaknya
perceraian tak terhindarkan sehingga anak-anak generasi bangsa
semakin tak terurus dan terlantarkan. Sungguh memilukan.
h. Bermain-main ayam [sabung ayam],17 adalah sebuah gambaran umat yang meneguhkan sifatnya pada kecenderungan adu
domba dan tak pedulinya terhadap lingkungan. Mengapa perang selalu saja muncul di planet bumi ini. Hal ini adalah salah satu cerminan umat manusia yang cenderung lebih suka
konflik daripada berpihak pada budaya damai. Demikianlah
maka konflik selalu saja terjadi dalam berbagai nuansa dan
dimensinya di planet bumi ini.
2. Sebab-Sebab Dekadensi Moral
Teks Waiat Nabi isinya tak sekadar menggambarkan kegelisahan Nabi dan sahabatnya terhadap gejala dekadensi moral
umat Islam, tetapi juga mencoba menjelaskan akar masalahnya.
Berbagai gejala kemrosotan moral yang tampak menonjol sebagaimana terlihat di atas, berakar dari:
Pertama, adalah faktor kecenderungan manusia yang sudah
tidak lagi memenuhi janji-janinya kepada Allah dan Nabinya,
atau dalam bahasa teks aslinya: pada segala yang berkata
pada dusta dan pada segala yang berbenas[?] janji daripada
Allah swt. 18 Teks ini mengingatkan umat manusia sebagaimana tersurat dalam sebuah ayat di Al-Quran bahwa, manusia sebenarnya memiliki ikatan perjanjian primordial dengan Tuhannya. Alastu birabbikum, ql bal syahidn. Konsekuensi dan
konsistensi terhadap janji tersebut adalah semestinya berpihak pada
risalah Nabi sebagai pembawa risalah yang harus selalu ditaati.
Maka ketika yang terjadi justru mencidrai dan keluar dari risalah Nabi, hal ini sama saja berdusta dan sekaligus mengingkari
janji yang pernah diikrarkan.
Kedua, keberpihakan manusia kepada setan atau dalam bahasa teks naskah: segala yang membesarkan dirinya pada
semuanya Islam maka yaitulah pengertiannya seperti setan, dan
17

Naskah Waiat Nabi, h. 8.


Naskah Waiat Nabi, h. 8.

18

239

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 229 - 250

pada segala yang durhaka kepada Allah swt. 19 Tidak disebutkan secara jelas yang dimaksud setan di sini, tetapi dengan mencermati teks tersebut, setan tampak bukan sekadar wujud eksistensial sebagai bagian dari makhluk Allah, tetapi ia juga merupakan simbol dari kejahatan, kemungkaran dan segala hal yang
berlawanan pada risalah. Dengan perspektif kedua, berarti setan
datangnya bisa dari berbagai sumber, bisa dari jin maupun manuisa (alla yuwaswisu f udrinns, min al-jinnati wa al-ns).
Maka dengan pengertian ini sebab kedua dekadensi moral adalah tak lepas dari lingkungan baik dalam ruang fisik maupun
ruang sosial. Maka setiap manusia harus ekstra hati-hati dalam
memilih lingkungan (habitus) karena hal ini akan mengkonstruk
perilaku individu sebagai beradab atau justru tak beradab.
Ketiga, banyak manusia yang sudah tidak ingat bahwa nantinya semua yang di dunia ini akan sirna dan manusia akan mati
dan akan ada pertanggungjawaban. Maka mestinya, fenomena
kematian harus dijadikan sebagai nasehat bagai setiat manusia.
3. Kausalitas dan Visualisasi Fisik
Di dalam teks ini juga menyebutkan penegasan bahwa segala apa yang dilakukan oleh manusia akan membawa akibat yang
sangat beragaman baik akibat langsung yang diterima di dunia ini
maupun akibat yang akan diterimanya nanti di hari pembalasan setelah hari kiamat datang. Secara sederhana dapat peneliti gambarkan sebagai berikut:
No.

19

1.

Perzinaan yang semakin


mewabah dan hanya
sedikit yang halal nikah
(seks bebas).

2.

Minum arak dan towak;


dan sejenisnya termasuk
pecandu obat-obat
terlarang/ narkoba

Ibid.

240

Jenis Perilaku
(sebab)

Akibat di Dunia
Akan dibinasakan oleh
Allah dengan senjata tajam
(dengan cara yang
mengerikan; maka muncul
virus HIV/AIDS, bencana
alam, dan lainnya
Banyak huru-hara dan
diserahkan kepada
pimpinan yang zalim; Tak
menemukan pemimpin

Visualisasi di
Hari
Kebangkitan
Bermuka singa

Tidak dijelaskan

Runtuhnya Budaya Bangsa, Kajian Naskah Wasiat Nabi Nur Said


dalam konteks sekarang
3.

Tiada berbuat bakti


pada tempat belajar
ilmu; tak menghargai
institusi keilmuan

4.

Bermain-main ayam
dan merpati hitam
(sabung ayam,
perjudian)

5.

Menebar fitnah dan


dengki dengan segala
bentuknya
Gampang suka pada
hal-hal yang baru, dan
tak suka pada hal-hal
yang lama
Suka bunyi-bunyian,
seperti rabab dan
kecapi, serta
perkembangan musik
terkini yang melalaikan
jati diri
Tak mau mengeluarkan
zakat dan tiada mau
saling menolong, hanya
berkhidmat kepada
yang kaya, dan
mengabaikan yang
miskin
Perbuatan jahat dengan
berbagai bentuknya

6.

7.

8.

9.
10.
11.
12.
13.
14.

Mengabaikan Firman
Allah dan risalah Nabi
Kerjanya hanya makan,
tidur dan mau
zikir/mengingat Allah
Membunuh orang dan
menikan dari belakang
Tak menghargai tamu
dan mangabaikannya
Suka mengumpat,
mencela dan

yang bisa memimpin,


sehingga tatanan dunia
rusak
Ilmu tak akan bermanfaat,
dan Al- Quran sedikit
demi sedikt akan
dilenyapkan dari hatinya,
sehingga Al-Quran hanya
menjadi hiasan tidak
dibaca/direnungkan,
sekadar menjadi pajangan
Konflik sosial dalam
berbagai bentuk dan
nuansanya, termasuk
adanya perang antar umat
yang belum juga berakhir
Akan dibinasakan dan
pekerjaannya akan sia-sia,
tiada berguna
Nilai kearifan puncak (alhikmah al-khalidah) tidak
dipentingkan, tapi sekadar
mengejar tren.
Allah memberi kesukaran
dan kebajikan akan diambil
dari manusia.

Tidak dijelaskan

Tidak dijelaskan

Tidak dijelaskan
Tidak dijelaskan

Tidak dijelaskan

Jauh dari syafaat Sang Nabi

Tidak dijelaskan

Bencana alam; gempa


bumi, tsunami, angin
beliung dan sejenisnya
Tidak dijelaskan

Tidak dijelaskan
Tidak dijelaskan

Tidak dijelaskan

Tidak dijelaskan

Tidak dijelaskan

Tidak dijelaskan

Tidak dijelaskan

Bermuka hitam
bagai arang
Mulutnya penuh
darah dan nanah

Tidak dijelaskan

241

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 229 - 250

15.
16.
17.

menggosipkan
kejelekan orang lain
Tak mau mengambil
wudlu untuk salat
Tak mau jalan ke
masjid
Orang yang rajin
melaksanakan ibadah
salat dibarengi berbuat
baik kepada sesama,
dan meninggalkan
perbuatan jahat

dan berbau busuk


Tidak dijelaskan
Tidak dijelaskan
Tidak dijelaskan

Tangannya hilang
terpotong
Kakinya hilang
terpotong
Mukanya
bercahaya bagai
bulan purnama

4. Tuntutan Pertanggungjawaban Manusia


Sebuah penegasan pertanggungjawaban atas segala yang diperbuat oleh manusia sungguh ditekankan dalam teks Waiat
Nabi. Hal ini ditunjukkan dengan menegaskan kembali bahwa
apa yang diperbuat oleh manusia yang kecil sekalipun tak akan
terlepas dari catatan-catatan yang dilakukan oleh dua malaikat
Kiraman Katabin. Mereka sehari turun dari langit pada saat
Subuh dan Asar untuk mencatat dan melaporkan segala perbuatan manusia baik yang makruf maupun yang mungkar, sebagai
berikut:
bahwa malaikat yang bernama Kirman Ktibn yaitu turun dari
langit ke bumi dua kali pada sehari, dan sekali pada waktu Subuh dan sekali pada waktu Asar senantiasa hadir. Ia menyuratkan perbuatan sekalian
kamu baik dan jahat. Dan dua malaikat itu mengembalikan surat segala
segala perbuatan kamu baik dan jahat tatkala di dalam dunia dan telah
lengkaplah pada sehari semalam disuratkan oleh malaikat Kiraman Katibin
itu. Maka iapun dipersembahkan pada kekasihku kepada haratillh
tal.20

Penegasan ini sebenarnya bentuk dari penyadaran bagi manusia bahwa gerak-gerik manusia akan selelu termonitor oleh
bagian pengawas yang maha teliti, yaitu malaikat Kirman Ktibn sehingga segalanya tak akan sedikitpun yang terlewat dari
pengawasannya. Maka, manusia hendaklah waspada dan selalu
mengontrol segala perbuatan selama di dunia. Pesan terpenting
dari adanya segala catatan baik dan buruk bagi amal manusia
20

Naskah Waiat Nabi, h. 9.

242

Runtuhnya Budaya Bangsa, Kajian Naskah Wasiat Nabi Nur Said

adalah suatu pertanggungjawaban di hadapan Allah sebagai sebuah keniscayaan yang tidak bisa di tawar-tawar alias mutlak.
5. Gambaran Hari Kiamat dan Kebangkitan Umat
Salah satu bentuk penguatan atas peringatan yang sungguhsungguh atas umat manusia, teks Waiat Nabi ini juga menggambarkan betapa dahsyatnya hari kiamat di mana manusia begitu bingung menghadapinya. Hari kiamat dan hari kebangkitan
umat digambarkan sebagai momen berakhirnya alam semesta
dengan tahapan sebagai berikut: pertama, ketika saatnya tiba,
atas perintah Allah swt. Israfil meniup sangkakala sebanyak tiga
kali. Tiupan sangkala ini luar biasa dahsyatnya, apalagi dideskripsikan dalam teks tersebut karena saking kerasnya, perjalanan suara kedengaran hingga tiga ribu tahun lamanya. Tiupan
pertama dinamakan nafatu al-firr, yaitu mematikan semua
makhluk isi bumi dan langit seisinya. Kedua, segera setelah itu
terbitlah matahari dan api dari bumi yang di dalamnya terdapat
juga telaga dengan air yang melimpah. Namun air tersebut akhirnya kering terserap oleh panasnya matahari yang dahsyat.
Ketiga, Israfil meniup sangkakala kedua yang namanya nafatu
al-bai, yaitu sebagai tanda dibangunkannya umat manusia dari
alam kubur. Maka manusia pun bangkit dengan serempak bagai
biji-bijian yang sedang tumbuh. Keempat, Israfil meniup sangkakala ketiga, terbukalah sebuah bundaran besar, lalu manusia
keluar darinya dan berkumpul di suatu padang mahsyar yang
terbentang luas. Kelima, pada momentum inilah manusia sudah
mulai menampakkan dirinya sesuai amal ibadahnya dengan visualisasi yang sangat beragam. Keenam, pada momentum inilah semua manusia akan diadili dengan pengadilan yang Mahaadil.
6. Tobat: Reformasi Diri
Reformasi diri dalam konteks ini merupakan wujud dari aktualisasi diri untuk bertobat, yaitu sebuah kemauan untuk melakukan pembentukan karakter/moral yang baru yang lebih bermartabat, dengan meninggalkan pola-pola lama yang sudah dianggap bertolak belakang dengan tuntunan Islam atau dalam bahasa agama sering disebut dengan taubatan naua.

243

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 229 - 250

Penegasan Nabi saw. agar manusia segera mereformasi diri


bukanlah sebuah petuah biasa, tetapi merupakan suatu nasehat
yang luar biasa dan mendesak agar manusia sebelum jatuh pada
kolong fitnatu az-zamn dan lanatu az-zamn. Apalagi nasehat
yang dikedepankan Nabi saw. juga tak sekadar perintah kosong,
tetapi dengan disertai penjelasan dampak langsung maupun tidak
langsung bagi umat yang melanggar tersebut, termasuk visualisasinya ketika dibangkitkan dari kubur. Keseriusan Nabi saw.
yang menyarankan umatnya segera mereformasi diri tersebut
antara lain dapat dilihat pada kutipan berikut:
umatku sekalian dengan olehmu sekalian baik-baik, bahwa kumintakan
kepadamu sekalian, maka sekarang aku mengajari akan sekalian kamu
menyuratkan kamu bertobat karena pintu tobat akan tertutup. Tatkala pintu
tobat akan tertutup, fitnatu az-zamn namanya adapun pintu tobat telah
tertutuplah, lanatu az-zamn, niscaya segala yang berbuat dosa masuk ke
dalam api neraka

Tampaknya pesan terpenting dari teks Waiat Nabi adalah


berupa ajakan Nabi saw. kepada umat manusia agar segelah
bertobat kepada Allah yang dampaknya adalah wujud reformasi
diri yang hingga menemukan jati dirinya sebagai manusia yang
telah memiliki ikatan janji primordial dengan Tuhannya untuk
selalu berpegang pada tauhid. Orang yang sudah mampu kembali kepada kesadaran titik nolatau meminjam istilah Ary
Ginandjar sebagai zero minded process maka ia akan merubah diri dan selalu berpijak pada spirit jalan lurus dan berkaca
kepada hati nurani sehingga akan berpihak pada kabaikan dan
kebajikan.
Materi Waiat Nabi sekaligus memberikan suatu pemahaman kembali tentang visi hidup yang sarat dengan tuntutan pertanggungjawaban nantinya. Fenomena inilah yang oleh Pierre
Bourdue disebut sebagai habitus, yaitu struktur kognitif atas kebermaknaan hidup dan kehidupan. Hal ini dibarengi dengan
menampilkan berbagai visualisasi perilaku manusia pada saat
hari kebangkitan yang mewujud pada bentuk manusia yang bermacam-macam. Gejala demikian merupakan wujud pembatinan
kesadaran simbolik sehingga agar manusia berusaha menjauhi
model visual manusia yang tak lazim. Gejala inilah oleh Bourdie
244

Runtuhnya Budaya Bangsa, Kajian Naskah Wasiat Nabi Nur Said

disebut sebagai modal simbolik. Sementara ketika dalam teks


Waiat Nabi juga menggambarkan betapa perilaku manusia sudah jatuh pada jalan yang jauh dari nilai-nilai yang mengangkat
martabat manusia tapi justru sebaliiknya. Gejala ini merupakan
bentuk penonjolan modal budaya, di mana manusia diajak untuk
sadar akan ruang sosial yang terjadi pada saat itu.
Bagaimana materi isi Waiat Nabi mampu merupah perilaku
umat sehingga bergegas untuk reformasi diri. Hal ini dapat di
analisis teori praktik. Menurut Bourdieu, ruang sosial merupakan ruang kelompok-kelompok status yang dicirikan dengan
berbagai gaya hidup yang berbeda. Pertarungan simbolik atas
persepsi dunia sosial dapat mengambil dua bentuk yang berbeda
pada sisi objektif dan subjektif. Pada sisi objektif, orang dapat
bertindak melalui perepresentasian baik yang bersifat individual
maupun sosial agar dapat mengendalikan berbagai pandangan
tertentu tentang realitas. Pada sisi subjektif, orang dapat
bertindak dengan cara menggunakan strategi presentasi diri atau
dengan mengubah kategori persepsi dan apresiasi tentang dunia
sosial. 21 Kedua kecenderungan tersebut oleh Bourdieu kemudian disebut dengan tindakan yang bermakna yang selalu
terkait dengan simbol-simbol dan memiliki sumber penggerak.22
Dengan perspektif tersebut materi naskah Waiat Nabi ini
tampaknya pada tahap awal lebih kuat pada keingingan mengubah kategori persepsi dan apresiasi tentang dunia sosial yang sedang dialami manusia para ruang dan waktu tertentu. Sehingga
lebih pada sisi subjektifnya. Namun dalam kondisi tersebut akan
terjadi interaksi timbal balik antara struktur objektif dan subjektif dalam suatu dialektika aktif. Inti prosesnya adalah internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas. Praktik indi21

Richard Harker, Cheelen Mahar, Chris Wilkes (ed), Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), h. 8-7.
22
Bourdieu mengembangkan apa yang disebut dengan tindakan bermakna.
Menurutnya tindakan manusia terkait dengan perilaku orang lain dalam suatu
struktur tertentu. Maka untuk memahami tindakan manusia juga harus memperhatikan dimensi simbolis yang darinya bisa membantu dalam memahami mekanisme dominasi-dominasi antara yang dikuasiai dan yang menguasai. Lihat, Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, dalam Basis No.11-12 ke52, November-Desember 2003, h. 8-9.

245

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 229 - 250

vidu atau kelompok sosial harus dianalisis sebagai hasil interaksi habitus dan modal sosial, budaya dan simbolik dalam sebuah ranah sosial. 23 Maka dengan persepektif tersebut cukup beralasan akan mampu menggugah bagi pembaca yang menggunakan
hati dan pikiran jernih bagi terjadinya reformasi diri menuju tatanan sosial yang lebih beradab.
Penutup
Naskah Waiat Nabi secara tegas menggugah kepada umat manusia bahwa dalam menjalani hidupnya ternyata banyak manusia
yang lalai akan jati dirinya sebagai hamba dan khalifah Allah yang
seharusnya membawa misi penyempurnaan akhlak (liutammima
makrima al-akhlq) dan penebar rahmat bagi segenap alam semesta (ramatan li al-lamn). Namun yang terjadi adalah sendi-sendi
moral malah diruntuhkan hingga pada titik yang paling rendah mulai dari isu minuman keras, perselingkuhan, perzinaan, perjudian,
hingga kelalaian manusia tak peduli pada dunia pendidikan. Wasiat
ini juga menegaskan pentingnya segera mereformasi diri (tobat),
karena segala yang dilakukan umat manusia akan memiliki dampak
bagi dirinya sendiri kelak.
Kajian terhadap naskah Waiat Nabi dengan filologis ini telah
memberikan alternatif cara pandang dunia eskatologi dengan berbasis pada naskah (manuskrip). Ketika dunia Islam selama ini lebih
mengedepankan pada teks-teks suci yang bersifat normatif doktriner, maka naskah Waiat Nabi telah memperkaya khazanah ilmu
keislaman terutama dalam memaknai dan memahami misteri dunia setelah mati dan sekaligus memberikan gambaran betapa budaya bangsa ini begitu memprihatinkan sehingga perlu tawaran
strategi kebudayaan baru untuk mengatasinya.*

23

Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, (Cambridge: Cambridge


University Press, 1972), h. 72.

246

Runtuhnya Budaya Bangsa, Kajian Naskah Wasiat Nabi Nur Said

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam (Bandung, Mizan, 1999).
Behrend, T.E., Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4, Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998).
Hanafi, Hasan, Oksidentalisme, (Paramadina: Jakarta: LKiS. 1999).
Harker, Richard, Cheelen Mahar, Chris Wilkes (ed), Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004).
Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, dalam Basis No.11-12
ke-52, November-Desember 2003.
Ikram, Akhadiati, Prof., Dr., Filologi Nusantara, (Jakarta: Pusataka Jaya, 1997).
Nasr, Seyyed Hossein, The Philosophia Perennis and The Study of Religion,
dalam Frank Whalling (ed), The worlds Religious Tradition, Current
Perspective in Religious Studies, Essay in Honour of Wilfred Cantwell Smith
(Edinburg: T&T Clark LTD, 1984).
Nata, Abuddin, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta;
RajaGrafindo, 2001).
Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1972).
Pujiastuti, Titik, Naskah dan Studi Naskah, (Bogor: Akademia, 2006).
Sedyowati, Edi, dkk (ed.), Sastra Jawa; Suatu Tianjuan Umum, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001).

247

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 229 - 250

Lampiran:

Gambar 01
Bagian Awal naskah Wasiat Nabi (BR. 26 Koleksi PNRI)

248

Runtuhnya Budaya Bangsa, Kajian Naskah Wasiat Nabi Nur Said

Gambar 02
Bagian kedua naskah Wasiat Nabi (BR. 26 Koleksi PNRI)

249

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 229 - 250

250

Hikayat Lukman al-Hakim Muhammad Shoheh

Hikayat Lukmn Al-Hakim

(Tinjauan Isi dan Relevansinya dengan Masa Kini)1


Muhammad Shoheh
IAIN "Sultan Maulana Hasanuddin", Banten
This writing is a result of the research on the manuscript of the collection of
the National Library of the republic of Indonesia (PNRI) under the code of W.
125 with the title: Hikayat Lukmn al-Hakm (the Story of Lukmn Al-Hakim).
The main content of this manuscript can still be restudied as the content has much
relevance with the present condition. The content of the manuscript has also a
local element, but still has relevance with the actual issue. Therefore, this
manuscript is worth researching. Although, the manuscript has its form in story,
however, it has didactic-instructive style in its character. Some of the values this
manuscript has is the moral guidance which consists of the four kinds of
darkness: the first is eye dark which will lead people to the astray way. The
second is heart dark which will lead the mind to the astray. The third is faith dark,
which will lead the knowledge about God (Makrifat) to the astray. The fourth is
mind dark which will lead the problems astray. In addition to that, the manuscript
also contains the values relating to the politics, economics, social and healthy life
culture, such as the four things that give the advantages for the kings as the king
does the wrong doings to the people, the king forgets and neglects the ministers, the
king betrays the people he orders and the king has the power over all his hostages.
Kata kunci: Lukmn al-Hakm, akhlak, nasihat, qan'ah

Pendahuluan
Naskah klasik keagamaan Nusantara merupakan khazanah intelektual dan warisan budaya bangsa yang sangat berharga. Oleh karena
itu, upaya pelestarian, konservasi serta penggalian akan kandungan
materi dan nilai-nilai yang dimilikinya merupakan sesuatu yang
1

Tulisan ini merupakan revisi dari Makalah penulis yang disajikan dalam
Diklat Penelitian Naskah Keagamaan yang diselenggarakan oleh Pusdiklat
Tenaga Teknis Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI,
Jakarta, tanggal 1 Nopember 6 Desember 2007.

251

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 251 - 274

sangat penting bagi kita di tengah-tengah kondisi bangsa saat ini


yang seakan kehilangan pegangan dan jati dirinya. Pentingnya
kagiatan pelestarian dan penggalian kandungan naskah klasik tersebut setidaknya berdasarkan dua alasan mendasar, yaitu pertama,
kandungan data penting yang dimiliki naskah berkaitan erat dengan
fenomena sosial-budaya dan ajaran keagamaan suatu masyarakat;
kedua, seiring dengan perjalanan waktukarena sistem konservasi
yang belum memadai dan berjalan lambankondisi fisik naskahnaskah tersebut kian hari makin rapuh dan terus memprihatinkan.2
Menurut Braginsky, bentuk naskah-naskah keagamaan klasik
Nusantara itu bila ditinjau dari segi isinya dapat dibedakan menjadi
naskah-naskah Sastra Kitab, naskah-naskah Sastra Sejarah, Cerita
Berbingkai, Undang-Undang Melayu Lama, Pantun dan Syair, dan
lain lain. Yang termasuk jenis naskah pertama berkisar pada ajaran
tasawuf, fikih, tauhid, tafsir, dan hadis serta hikayat/hikmah. Sedangkan yang termasuk ke dalam naskah jenis kedua antara lain
berupa sejarah, silsilah, ceritera, syair, hikayat, dan sebagainya.
Dengan demikian, isi naskah maupun bentuknya banyak yang
2

Fadhal AR Bafaddal, dkk. (ed). Naskah Klasik Keagamaan Nusantara II


Cerminan Budaya Bangsa, (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan
Litbang & Diklat Depag. RI., 2006), h. xiii; Yang dimaksud naskah klasik
keagamaan nusantara adalah naskah tulisan tangan dari awal medio abad ke-16
sampai medio awal abad ke-19. Naskah-naskah ini umumnya ditulis dalam bahasa
Melayu dengan huruf Jawi (Arab-Melayu), dan di daerah tertentu dengan huruf
Pegon (Arab-Jawa/Sunda) serta huruf daerah setempat seperti Bugis, Rencong,
dan lain-lain. Lihat Uka Tjandrasasmita, Kajian Naskah-Naskah Klasik dan
Penerapannya bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang
Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Depag RI., 2006), h. 3-4. Naskah
masa lampau itu sebetulnya ada yang digolongkan sebagai "naskah kuno" dan
ada pula "naskah klasik". Istilah klasik biasanya dipakai dalam hubungan dengan
Yunani dan Romawi, misalnya sastra, musik, arsitektur, patung, dan lain-lain
yang pada prisnipnya adalah segala yang mempunyai keunggulan atau contoh
terbaik. Jadi naskah klasik merupakan sub-kategori hasil pemilahan dari kategorikategori pernaskahan berdasarkan penelitian secara sistematik dan ilmiah. Pembabakan ini sengaja dianalogikan dari pendapat Braginsky yang membagi sejarah
kesusastraan pertengahan Nusantara menjadi tiga masa, yaitu: 1). Masa Kesusastraan Melayu Kuno (masa Indianisasi kerajaan-kerajaan Sumatra dan Semenanjung Melayu) dari abad ke-7 M hingga medio abad ke-14; 2). Kesusastraan Awal
Islam, dari medio abad ke-14 hingga medio abad ke-16; dan 3). Kesusastraan
Klasik, dari medio abad ke-16 hingga medio abad ke-19. lihat Braginsky, The
System of Classical Malay Literature, (Leiden: KITLV Press, 1993), h. 9-10.

252

Hikayat Lukman al-Hakim Muhammad Shoheh

mengandung unsur sastra sehingga antara keduanya tak dapat


dipisahkan secara tegas.
Hal itu disebabkan antara lain karena, menurut Andries Teeuw,
sastra adalah jalan kebenaran keempat, di samping jalan filsafat,
agama dan ilmu pengetahuan. Menurutnya juga sastra merupakan
gejala universal yang terdapat dalam setiap masyarakat manusia.3
Secara konvensional, manusia tidak hanya menggunakan bahasa
untuk berkomunikasi mengenai hal-hal dan peristiwa-peristiwa seharihari, tetapi juga manusia selalu mencoba memberikan jawaban atas
masalah eksistensi yang paling mendasar yang dihadapinya termasuk dengan menggunakan wahana sastra.4
Karya sastra merupakan gambaran atau cerminan keadaan
masyarakat, bahkan cerminan jiwa dan pribadi sastrawan pencipta
karya tersebut. Dengan membaca karya sastra seseorang mengenal
siapa sastrawan tersebut, apakah ia mengajak kepada amal saleh
atau justru ia mengajak melangga perintah dan ajaran Allah.
Menurut A. Hasymi, sebagaimana yang dikutip Nabilah Lubis, apabila karya sastra itu mengajak ke jalan yang benar dan menegakkan
amal saleh melalui tokoh-tokohnya maka ia berarti menganut ajaran
bahwa segala sesuatu itu dari Allah, untuk Allah, dan karena Allah.
Sedangkan jika sastrawan itu mempunyai tujuan lain dan melepaskan diri dari ajaran agama, maka karya sastranya itu mengandung
ajaran seni untuk seni atau sastra untuk sastra.5
Menurut Roolvink, sebagaimana yang dikutip Liaw Yock Fang,
Sastra Kitab adalah karya sastra yang menyangkut bidang yang sangat luas, yaitu menyangkut kajian tentang Al-Qur'an, tafsir, tajwid,
arkan al-Islam (rukun Islam), ushuluddin, fikih, tasawuf, tarekat,
zikir, rawatib, doa, jimat, risalah, wasiat, dan kitab al-ib (obat-obatan,
jampi-jampi) yang umumnya berkembang sekitar abad ke-17M. 6
3
Andries Teeuw, Khasanah Sastra Indonesia Beberapa Masalah Penelitian
dan Penyebarannya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 7.
4
Ibid.
5
Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi, (Jakarta:
Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Depag, RI., 2007), h. 12
6
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 2, (Jakarta:
Erlangga, 1993), h. 41 .

253

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 251 - 274

Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, pernyataan-pernyataan prinsip teologi dan pengajaran sufi di masa awal pertumbuhan
dan perkembangan Islam di Nusantara menjadi faktor yang amat
dominan karena kesadaran yang begitu mendalam dari umat Islam
umumnya. Bahkan sampai berpengaruh terhadap proses perkembangan kesastraan sehingga menghasilkan karya-karya sastra yang
mempunyai nilai-nilai keagamaan didaktis, belletristic, dan sejarah.
Bahasa Melayu menjadi bahasa yang paling banyak digunakan
sehingga mempunyai fungsi sebagai Lingua Franca yang disebarkan melalui perdagangan dan kegiatan keagamaan Islam. Karena
itulah, di beberapa daerah di Nusantara banyak terdapat hikayat
yang ditulis dalam bahasa Melayu berhuruf Jawi.7
Dalam karya sastra berupa hikayat itu sastrawan beriman biasanya menampilkan watak seorang pemimpin Islam yang berjuang
membela rakyat miskin, melawan penindasan, menegakkan demokrasi, mewujudkan kemakmuran yang merata dan membangun
lembaga pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, dan sebaginya.
Contoh naskah-naskah yang termasuk sastra kitab antara lain;
Hikayat Lukmn al-Hakim, Hikayat Seribu Masalah, Taj as-Salatin,
Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Ali
Hanafiyah, Hikayat Dzulkarnaein, dan masih banyak lagi yang
lainnya. Muncul dan berkembangnya seni sastra Islami, menurut
Abdul Hadi WM, karena didorong oleh semangat puitik dan estetik
Al-Qur'an. Sastrawan dan para ulama umumnya berperan dalam
menyebarkan Islamyang antara lain dengan cara menulis dan
menyebarluaskan kisah-kisah Nabi, para sahabat, para wali, dan
pahlawan Islam terkemuka. Dalam hal ini sastrawan mengambil
posisi terdepan dalam metransformasikan simbol-simbol Al-Qur'an
dan sejarah Islam menjadi simbol budaya masyarakat muslim
sejagat.8
Khusus untuk naskah Hikayat Lukmn al-Hakm, berdasarkan
isinya, naskah ini memiliki banyak hal yang menarik sehingga
penulis merasa perlu untuk mengangkatnya menjadi obyek kajian
penelitian. Hal-hal menarik tersebut antara lain, karena naskah ini
sarat dengan kandungan hikmah, wasiat dan nasihat yang patut
7
8

254

Uka Tjandrasasmita, Kajian Naskah-Naskah Klasik h. 62-63


Ibid.

Hikayat Lukman al-Hakim Muhammad Shoheh

untuk direnungkan dan diamalkan di tengah-tengah era-global yang


seakan lepas kendali dan tak terkontrol oleh nilai-nilai agama dan
moral. Alasan lain adalah karena Lukmn al-Hakm adalah salah
seorang tokoh yang namanya dijadikan salah satu nama surah
dalam Al-Qur'an. Agaknya ini mengindikasikan bahwa ia mempunyai derajat yang sejajar dengan para Nabi lainnya. Alasan lainnya
adalah karena ternyata wasiat dan nasihat Lukmn al-Hakm itu
tidak hanya termaktub dalam Al-Qur'an surah Lukmn ayat 12-19,
tetapi banyak juga hadis yang mengupas tentang hikmah dan ilmu
serta nasihat Lukmn untuk anak-anaknya maupun semua manusia.
Dengan memilih naskah Hikayat Lukmn al-Hakim (selanjutnya
disingkat HLH) sebagai pokok kajian maka penulis merasa perlu
merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi naskah HLH itu ?
2. Apa saja kandungan isi naskah HLH itu ?
3. Adakah relevansi isi kandungan naskah HLH dengan kontek
sekarang ?
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas,
penelitian ini antara lain bertujuan:
1. Untuk mengetahui kondisi naskah HLH lebih rinci.
2. Untuk mengetahui dan lebih memahami isi kandungan naskah
HLH.
3. Untuk memastikan adanya relevansi isi kandungan naskah HLH
dengan kontek kekinian.
Dalam tulisan ini, beberapa langkah filologi akan digunakan,
khususnya pada inventarisasi naskah dan deskripsi naskah. Selanjutnya, penulis menyajikan pokok-pokok kandungan naskah dan
analisis isi berdasarkan tinjauan normatif dan sosiologis. Tinjauan
normatif yang dimaksud adalah untuk melihat pesan-pesan moralkeagamaan yang dalam hal ini berkaitan dengan akhlak mulia yang
seharusnya dimiliki manusia. Sedangkan tinjauan sosiologis digunakan untuk melihat relevansi isi naskah dengan kondisi sosial
keagamaan masyarakat saat ini.
Dengan dasar itu, meskipun beberapa langkah filologi digunakan, tulisan ini lebih ditekankan pada analisis isi dan pengungkapan
pesan-pesan yang dikandung dalam naskah HLH tersebut.

255

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 251 - 274

Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori


Berdasarkan penelusuran bahan pustaka, penelitian terhadap isi
naskah HLH ini belum dilakukan. Edwar Djamaris dkk. (1985)
pernah mengkaji naskah ini, tetapi baru sampai pada mengalihaksarakan saja. Isinya belum menjadi sasaran kajiannya, apalagi
melihat relevansinya dengan konteks kekinian. Liaw Yock Fang
menyebutkan bahwa cerita tentang Lukmn al-Hakim juga terdapat
dalam naskah Hikayat Syah Mardan. Demikian juga dalam naskah
Taj al-Salatin yang mengutip pribahasanya, dan Bustan al-Salatin
menyebutkan namanya bersama-sama dengan Aisyah dan Syafi'i.9
Dalam naskah Taj al-Salatin misalnya, pada pasal ke-8 disebutkan bahwa raja kafir yang adil, yaitu Nusyirwan, tatkala kuburnya
dibuka, kelihatan Nusyirwan Adil seperti orang tidur adanya dan
tubuhnya sedikit pun tidak binasa. Ada tiga cincin pada tangannya.
Pada cincin pertama tersurat, "Jangan kerja sesuatu yang tidak berbicara dengan orang yang berbudi". Pada cincin kedua tersurat,
"Jangan alpa daripada rakyat dalam sekalian halnya". Dan pada
cincin ketiga, "Jangan gusar atas kesalahan orang, baik orang yang
dikasihi maupun seteru".10
Menurut ragamnya, karya sastra dibedakan atas tiga ragam,
yaitu prosa, puisi dan drama. Dalam kesusastraan Melayu Klasik,11
ragam drama belum berkembang, karena yang berkembang justru
hanya ragam prosa dan puisi. Meski demikian, pengkategorian secara ketat atas masing-masing amat sulit dilakukan, karena cakupan
maknanya terus berubah. Misalnya, istilah "Hikayat", sekarang ini
mengacu pada bentuk karya sastra beragam prosa yang berisi kisah
fantastik dan penuh dengan petualangan. Kata tersebut merupakan
bentuk kata serapan dari bahasa Arab yang memiliki arti naratif,
tale, atau story. Dalam perkembangannya kata "Hikayat" menjadi
istilah yang mengacu pada jenis ragam prosa tertentu. Bahkan
istilah itu kemudian menjadi bagian dari judul karya sastra beragam
prosa dengan berbagai macam kandungannya.12 Seperti: Hikayat
Sang Kancil, Hikayat Abu Nawas, Hikayat Awang Sulung Merah
9

Liaw Yock Fang, op. cit., h. 76-77


Ibid.
11
Lihat Braginsky, The System of Classical Malay Literature, h. 9-10.
12
Panuti Sudjiman, Filologi Melayu, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), h. 17-18.
10

256

Hikayat Lukman al-Hakim Muhammad Shoheh

Muda, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Indra Jaya, Hikayat


Dzulkarnaen, dan lain-lain.
Bila ditinjau dari isinya, meskipun ragam (genre), jenis dan
topik yang dibawakan karya sastra Melayu klasik itu amat beragam,
namun karya sastra itu umumnya bersifat didaktis-instruktif, yaitu
mengandung pengajaran dan bimbingan moral terutama tentang
kearifan hidup, hidup bermasyarakat dan kehidupan beragama.13
Berkaitan dengan kajian naskah/filologi, salah satu tugas filolog
adalah untuk menjembatani kesenjangan komunikasi antara penulis
naskah dengan pembaca modern. Ringkasnya, bahwa tugas filolog
adalah membuat teks (isi naskah) dapat terbaca dan dimengerti.
Agar sebuah karya sastra dapat "terbaca/dimengerti", sebetulnya
ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu: menyajikan dan menafsirkannya. Artinya aktifitas menyajikan kembali sebuah naskah
harus juga diikuti dengan penjelasan yang ekstensif dengan tetap
berpedoman pada teks aslinya. Sebuah teks hanya akan mempunyai
signifikansi yang penuh jika kita bisa memandangnya dalam konteks yang tepat, atau sebagai bagian dari sebuah keseluruhan yang
muncul bersama dengan karya lain yang sejenis. Karenanya,
interpretasi harus tetap berpedoman pada "latar", baik konteks
historis, fungsi dalam masyarakat, latar belakang budaya, atau
sebagai bagian dari sejarah sastra.14 Untuk kepentingan tulisan ini,
penulis lebih menekankan pada aspek penafsiran isinya.
Karena itu dalam upaya mengungkap makna dan isi naskah
HLH ini, langkah yang dilakukan terlebih dahulu adalah inventarisasi naskah untuk melihat berapa jumlah naskah HLH tersebut,
kemudian membuat deskripsi naskah. Setelah itu diuraikan ide-ide
dasar yang terkandung dalam teks berdasarkan pendekatan moral,
karena naskah ini termasuk sastra kitab yang banyak berisi pesanpesan moral dan akhlak.
Menurut Baroroh Baried dkk., hasil pembahasan terhadap
kandungn suatu naskah keagamaantentu setelah melewati tahaptahap inventarisasi dan deskripsi naskah serta suntingan teksakan
sangat berguna sebagai bahan penulisan perkembangan agama.
13
14

Ibid., h. 15
S.O. Robson, Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, (Jakarta: RUL, 1994), h.

12-14.

257

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 251 - 274

Sebab, dari kajian teks-teks semacam itu akan didapatkan gambaran


wujud penghayatan agama, percampuran ajaran suatu agama
dengan lainnya, serta sejarah perkembagan ajaran agama secara
umum.15
Inventarisasi Naskah
Setelah dilakukan penelusuran dalam berbagai katalog, antara
lain dalam Malay Manuscripts: a Bibliographical Guide karya
Joseph Howard, Indonesian Manuscripts in Great Britain karya
MC. Ricklefs dan P. Voorhoeve, dan dalam Catalogue of Malay
and Minagkabau Manuscripts in the Libarary of Leiden University
and Another Colections in the Netherlands (volume 1-2) karya E.P.
Wieringa, tampaknya naskah HLH termasuk naskah yang langka
dan sulit ditemukan. Naskah HLH penulis dapatkan dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) berdasarkan Katalog
Induk Naskah-Naskah Nusantara jilid 4, hasil suntingan T.E.
Behrend, dengan nomor W. 125 (R#228), Rol 375.04 (dan
MF77.02). Dalam melacak varian naskah HLH, penulis tidak
berhasil menemukan naskah lain. Sejalan dengan hal itu, Liaw
Yock Fang juga menyatakan dalam bukunya Sejarah Kesusastraan
Melayu Klasik, bahwa naskah HLH adalah naskah yang sulit dicari
variannya.16
Berdasarkan informasi dari Catalog of Malay, Minangkabau
and South Sumatran Manuscripts in the Netherlands (volume 1)
yang disusun oleh Teuku Iskandar, bahwa varian dari naskah HLH
hanya ada di Belanda. Dalam katalog itu tercantum bahwa nomor
Cod.or 12.208 adalah naskah berjudul Pengajaran Luqmn alHakm dengan ukuran naskah 34 X 21cm. dengan 28 baris perhalamannya. Naskah ditulis pada kertas Eropa produksi Belanda
dengan watermark Eendracht, EDG & ZN; naskah ditulis dengan
tinta hitam; ditulis dengan bahasa Melayu aksara Jawi; tulisan jelas
terbaca. Dalam catatan Van Ronkel, 1909, halaman 216, teks
naskah ini berisi nasihat keagamaan dan ajaran moral (akhlak) yang
15

Siti Baroroh Baried, et el., Pengantar Teori Filologi, (Yogyakarta: Badan


Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra UGM,
1994), h. 29-30.
16
Liaw Yock Fang, op cit., h. 76-77.

258

Hikayat Lukman al-Hakim Muhammad Shoheh

diberikan oleh Lukmn al-Hakm kepada anak-anaknya, sebagaimana juga yang terkandung dalam teks naskah Hikayat (Wasiat)
Lukmn al-Hakm. Pada bagian akhir naskah ini juga dicantumkan
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan 'akal yang dinukil
dari Kitab Sultan al-'Arifin. Demikian deskripsi naskah Pengajaran
Lukman al-Hakim sebagaimana yang ditulis Van Ronkel, 1921,
halaman 31-32, no 74.17
Karena berbagai keterbatasan, dan terlebih karena fokus
kajiannya adalan telaah atas isinya, penulis tidak dapat melakukan
perbandingan naskah, dan memperlakukan naskah HLH nomor W
125 koleksi PNRI ini sebagai naskah tunggal.
Deskripsi Naskah
Naskah Hikayat Lukmn al-Hakim yang dikaji dalam tulisan ini
adalah naskah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia dengan nomor naskah W. 125. Infomasi mengenai
naskah ini terdapat dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional RI.
Naskah ini berukuran 34 x 21 cm dengan teks berukuran 27,5 x
15 cm. Teksnya ditulis dengan tinta berwarna hitam dalam aksara
Jawi. Tebal naskah 10 halaman, dan satu halaman judul, dengan
jumlah baris tiap halaman 21 baris. Teks disusun dalam bentuk
prosa dalam bahasa Melayu. Angka yang digunakan untuk menulis
nomor halaman (diterakan pada sudut kanan atas) dengan angka
Arab tulisan pensil.
Ciri lain dari naskah ini adalah setiap ganti paragraf atau pokok
bahasan selalu diawali kata fasal, bermula, al-hikmah, bahwa
sekarang, al-hikmah empat perkara, sebagai tanda awal pembahasan atau menunjukkan pentingnya isi paragraf tersebut. Sebagai
tanda pembedanya ditulis dengan tinta merah (rubrikasi). Selain itu
untuk menunjukkan kesinambungan teks, di akhir halaman (di
margin bawah) terkadang ditulis kata alihan (catch word) untuk
halaman berikutnya (khusus di halaman 3 dan 7).

17
Teuku Iskandar, Catalog of Malay, Minangkabau and South Sumatan
Manuscripts in the Netherlands Volume-1, (Leiden: Universiteit Leiden Faculteit
der Godgeleerdheid, Documentatie bureau Islam Christendom, 1999), h. 645.

259

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 251 - 274

Kertas yang digunakan untuk menulis naskah ini adalah kertas


Eropa dengan Watermark (cap kertas) kelompok Propatria, dengan
gambar singa berdiri menghadap ke kanan sambil memegang pedang dan di kepalanya memakai mahkota. Gambar tersebut berada
di tengan lingkaran yang bermahkota dan tertera tulisan: Propatria
Euisque Libertate Vryheit. Berdasarkan buku Watermarks, Maily of
the 17th and 18th Centuries karya Edward Heaword, bahwa pabrik
kerta ini berada di Inggris dengan tahun produksi 1745.18
Keadaan Naskah masih cukup baik meski ada tiga halaman
awal yang bagian pojok kiri bawahnya yang sudah sobek dan
rapuh. Tulisan jelas terbaca, ditulis dengan tinta hitam dan merah.
Naskah dijilid dengan karton tebal berlapis kertas lurik berwarna
coklat abstrak. Pada naskah tidak terdapat keterangan apapun (baik
intern maupun ekstern) yang dapat memberitakan akan asal usul,
nama penyalinnya dan kapan ditulisnya naskah ini. Yang ada hanya
pada halaman pelindung dalam terdapat tulisan Lukman al-Hakim
No. 125.
Kutipan awal teks naskah ini berbunyi:
Fasal pada menyatakan Lukman al-Hakim bermula kata
setengah pendeta bahwa Lukman al-Hakim itu nabi dan kata
setengah wali Allah maka kedua kata itu benar juga a(da)nya(?)
dapat disalakan dan dibenarkan juga akan kata kedua itu.
Sedangkan kutipan akhir terks berbunyi:
Empat perkara tanda isi neraka, pertama, segala raja yang
mengambil hak sekalian rakyatnya tiada dengan sebenarnya dan
menghukumkan dengan gagahnya atas segala rakyatnya, kedua,
raja yang alpa akan negerinya dan rakyatnya dan tiada memelihara akan rakyatnya, dan ketiga, orang yang berbuat fitnah
sana-sini pada samanya manusia, dan keempat, orang yang tiada
ingat akan dirinya dan alpa akan mautnya naif(?) matinya dan
daripada tobatnya. Demikianlah adanya tamat al-hikayat
washiyat Lukman al-Hakim.

Edward Heaword, MA, Watermarks, Maily of the 17th and 18th Centuries,
Hilversum, 1950, h. 134 dan 400.
18

260

Hikayat Lukman al-Hakim Muhammad Shoheh

Tentang judul naskah, pada Katalog Induk Naskah-naskah


Nusantara Jilid 4 PNRI tertulis bahwa naskah W. 125 berjudul
Hikayat Lukmn al-Hakm, sedangkan pada halaman judul naskah
tertulis Lukmn al-Hakm, tanpa kata Hikayat.
Pokok-pokok Isi Naskah
Secara ringkas, isi naskah HLH adalah sebagai berikut :
Lukman Hakim adalah seorang Nabi dan wali Allah yang
keramat, penghulu atas sekalian hakim. Seperti disebutkan dalam
kitab Hikmat al-Hukam; ia mengerti akan segala bahasa sekalian
binatang, pohon-pohonan dan lain-lain di dunia. Segala pelajaran
yang diajarkan kepada putranya dan kepada orang-orang yang datang bertanya kepadanya dikumpulkan dalam sebuah kitab yang
disebut Nasihat Luqman al-Hakim. Adapun segala ilmu dan hikmat
yang ia miliki dapat disimpulkan ke dalam tiga hal, yaitu:
1. Kebenaran dalam perkataan dan perbuatan.
2. Diam dan berpikir.
3. Menjauhkan diri dari tingkah laku yang tidak baik dan orangorang jahat.
Selain itu masing-masing ada empat hal yang menjadi patokan,
yaitu: Empat tanda-tanda manusia, Empat masalah kematian yang
tidak hidup kembali, dan ada empat macam api.
Di awal naskah dijelaskan tentang siapa sebenarnya tokoh Lukmn al-Hakm yang disebutkan dalam al-Qur'n itu. Tokoh ini disebut oleh sebagian ulama sebagai Nabi dan sebagian ulama lainnya
menyebutnya sebagai wali. Kedua pendapat itu dikatakan benar
adanya (hlm.1) karena di dalam kitab suci Al-Qur'n, nama Lukmn
al-Hakm bahkan menjadi salah satu nama surah di antara 114 surah
dalam Al-Qur'n yaitu surah yang ke-31. Jika kita lihat nama-nama
surah dalam Al-Qur'n, namanya tampak telah disejajarkan Allah
dengan nama Muhammad, Imrn, Nuh, Ibrahim, Maryam, Yusuf,
dan Yunus yang juga menjadi nama-nama surah.
Dalam naskah ini juga dijelaskan bahwa Lukmn al-Hakm
dulunya berprofesi sebagai pengembala lembu dan kambing, dan ia
mengambil upah dari pekerjaannya itu. Artinya ia bukanlah orang
kaya, namun ia pandai mengambil hikmah dan ilmu berdasarkan
pengalaman kehidupan yang ia jalani sepanjang hidupnya (hlm.2).
261

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 251 - 274

Dijelaskan, bahwa Lukmn telah diberikan oleh Allah berupa


nikmat dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud
adalah ilmu hikmah. Oleh karena itu dia merasa bersyukur kepada
Allah atas nikmat tersebut.19 Adanya ilmu hikmah yang diberikan
Allah itu antara lain disebutkan dalam kitab Hikmat al-Hukam.
Berkat ilmu hikmat itu, Lukmn mampu memahami segala yang ada
di muka bumi ini. Disebutkan bahwa ia memahami bahasa hewan
dan tumbuh-tumbuhan sehingga ia dapat berkomunikasi dengan keduanya, bahkan dengan batu sekalipun. Selain itu ia juga mengerti
ilmu pengobatan, ia mengetahui mana racun dan penyakit dan apa
penawar atau obatnya (hlm.1)
Selain kitab Hikmat al-Hukam, ada juga sumber lainnya yaitu
kitab Nashihat Lukmn al-Hakm yang berisi nasihat-nasihat dan
wasiat Lukmn al-Hakim kepada anaknya dan untuk seluruh umat
manusia. Hal ini disebutkan dalam naskah ini sebagaimana juga
disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur'n (Surah Luqmn ayat 12-19).
Pokok-pokok isi nasihat Lukmn kepada anaknya sebagaimana
yang tertera dalam naskah HLH tersebut antara lain:
1. Jangan sekali-kali menyekutukan Allah, karena perbuatan syirik
adalah dosa besar. Dalam hal ini segala aktifitas hidup seharihari harus diniatkan hanya untuk Allah; Jangan memandang
selain Allah; Jangan memandang sesuatu selain Allah itu agung,
besar, apalagi bergantung kepadanya, karena itu bukanlah termasuk perbuatan ahl al-taud, ahl al-arqah, dan bukan pula
jalan ahl al-widah.
2. Dalam menjalani hidup ini hendaklah selalu berjiwa qan'ah dan
bersikap sederhana, seperti nasihatnya agar jangan makan daging ayam dan jangan tidur di atas kasur yang lembut. Maksud
dari wasiatnya ini antara lain:
a. Kurangi makan dan sabarlah dari rasa lapar. Jika lapar itu
terlalu sangat rasanya, maka makan roti kering pun rasanya
lebih nikmat dari pada makan ayam goreng. Maksud dari
lapar di sini adalah termasuk lapar terhadap hikmat, ilmu dan
ingat.
19

Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Jakarta: Ditjen. Bimas Islam dan


Penyelenggara Haji Dep. Agama, 2004), h. 581.

262

Hikayat Lukman al-Hakim Muhammad Shoheh

b. Kurangi tidur, dan sebaliknya biasakan terjaga dalam kebaktian/ketaatan, karena dengan terbiasa terjaga akan menambah ingat dan makrifat serta kebaktian (ketaatan/kesalehan).
c. Jika terpaksa harus tidur setelah terjaga, maka tidurlah dalam ketaatan (tidur tapi tetap terjaga), dan itu nilainya lebih
besar dari pada orang yang salat tapi bukan karena ketaatan/
kebaktian dalam keterjagaan.
d. Cara memperoleh ilmu dan hikmatsebagaimana dipraktikkan oleh Lukman al-Hakimitu dengan tiga cara, yaitu:
1) Dari kebenaran kelakuan, kebenaran perkataan, dan kebenaran perbuatan; 2) Diam dengan kira-kira (maksudnya
dengan perenungan); 3) Menjauhkan diri dari orang jahat.
e. Lukman al-Hakim belajar adab atau akhlak dari orang yang
tidak beradab atau tidak berakhlak. Caranya antara lain,
Lukman duduk dalam sebuah perkumpulan orang banyak, lalu
ada seseorang yang berbicara dengan tidak sopan. Kejadian
ini lalu dibicarakan orang, dicela, dibenci, dan dicerca. Itu
menunjukkan bahwa semua orang tidak setuju dengan prilaku tidak beradab atau tidak sopan tersebut. Dari situlah
Lukman memahami pentingnya akhlak.
Adapun ilmu-ilmu hikmat yang dijelaskan dalam naskah ini
antara lain:
1. Empat perkara yang berkehendak kepada empat perkara yang
lain, adalah:
a. Bersahabat dengan berkasih-kasihan;
b. Bersahabat dengan amal;
c. Pengetahuan mengobati segala penyakit dengan dicoba;
d. Kebesaran dunia dan akherat dengan adab dan sopan kepada
sesama manusia dan terhadap Allah swt.
2. Empat perkara yang menghilangkan empat perkara yang ada,
yaitu:
a. Tidak bersyukur menghilangkan nikmat;
b. Malas mengerjakan salat lima waktu menghilangkan kekuasaan dunia-akherat;
c. Aniaya menghilangkan kerajaan dan kekuasaan sultan;
d. Dengki dan sombong akan menghilangkan kasih dalam hati
manusia.
263

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 251 - 274

3. Empat perkara dengan empat perkara yang kekal adanya, yaitu:


a. Kerajaan dengan keadilan;
b. Perbuatan dengan niat yang ikhlas;
c. Memperoleh nikmat dengan syukur kepada Allah swt.;
d. Iman dengan Tadq akan keberadaan Allah swt.
4. Empat perkara orang yang berseteru dengan Allah, yaitu:
a. Sultan yang sangat aniaya atas rakyatnya;
b. Orang yang biasa menyumpah (bersumpah-serapah);
c. Orang fakir tapi sombong;
d. Orang yang biasa berbuat zinah.
5. Empat perkara yang menyampaikan pada empat perkara yang
lain, yaitu:
a. Perkataan itu menyampaikan pada takut;
b. Membela akan kebenaran itu menyampaikan pada kekayaan;
c. Sabar menyampaikan kepada yang dikasihi;
d. Harap menyampaikan kepada yang dituntutnya.
6. Empat perkara alamat orang yang murah, yaitu:
a. Orang yang memberi dengan ikhlas, tanpa ingin dipuji;
b. Pemberiannya itu tidak ia pinta kembali;
c. Menyampaikan janji dengan tidak bersalahan;
d. Menolong semata-mata karena Allah.
7. Empat perkara yang memberi madarat raja, yaitu:
a. Raja aniaya atas seluruh rakyatnya;
b. Raja melupakan mentrinya;
c. Khiyanat dari pada orang yang disuruh;
d. Berkuasa atas sekalian tawanan.
8. Empat perkara alamat orang yang bijaksana, yaitu:
a. Berbicara dengan jelas/nyata (ri);
b. Berkelakuan dengan akhlak/adab;
c. Bekerja dengan sebenarnya;
d. Barang yang diartikan mirip dengan ibaratnya.
9. Empat perkara tanda orang bodoh (ahmaq), yaitu:
a. Jika bicara tinggi hati (sombong);
b. Kelakuannya tak sopan/tak beradab;
c. Bekerja tanpa pikir;
d. Sering menyalahi janji.
10. Empat perkara yang menyampaikan pada empat perkara, yaitu:
a. Berbantah-bantahan menyampaikan pada malu;
264

Hikayat Lukman al-Hakim Muhammad Shoheh

b. Membesarkan diri (sombong) menyampaikan pada berseteru;


c. Merugi menyampaikan pada sesalan;
d. Berlebihan (boros) menyampaikan pada papa dan celaka.
11. Empat perkara yang tak akan kembali, yaitu :
a. Qada (Barang yang telah tersurat);
b. Anak panah yang telah lepas dari busurnya;
c. Kata-kata yang telah diucapkan;
d. Umur yang telah lanjut.
12. Api itu ada empat, yaitu : api berahi, api kayu, api kilat dan api
lapar (yakni orang yang marah karena lapar).
13. Warna mabuk itu ada empat, yaitu: mabuk berahi, mabuk
malahi (hiburan), mabuk minuman, dan mabuk harta kekayaan.
14. Empat perkara yang menjadi kehinaan dan seteru, yaitu:
a. Berseteru sebab dengki hati;
b. Kehinaan sebab berbantah-bantahan dan berseteru dengan
bantahannya;
c. Menumpuknya nafsu hingga menjadi seteru;
d. Gusar sebab bersenda-gurau di hadapan orang banyak hingga berkelahi.
15. Empat perkara yang menyesatkan, yaitu:
a. Mengikuti guru yang bodoh;
b. Orang yang kurang berbudi;
c. Bersahabat dengan orang jahat;
d. Berkasih-kasihan dengan orang yang tak beriman.
16. Empat perkara yang membawa madarat semua manusia, yaitu:
a. Penggusar, orang yang iri dan dengki;
b. Bersenda gurau;
c. Pemalas;
d. Terburu-buru/tergesa-gesa tanpa perkiraan.
17. Empat perkara yang tidak boleh dilawan, yaitu: api, penyakit,
hutang, dan maut.
18. Ada empat macam kegelapan, yaitu:
a. Gelap mata, akan menyesatkan perjalanan;
b. Gelap hati, akan menyesatkan ingatan;
c. Gelap iman, akan menyesatkan makrifat;
d. Gelap akal akan menyesatkan perkara yang ketika itu adanya.
19. Empat perkara yang menambahi empat dan mengurangi yang
empat perkara, yaitu :
265

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 251 - 274

a.
b.
c.
d.

Banyak makan mengurangi selera, menambahi malas;


Banyak tidur mengurangi akal, menambahi alpa/lupa;
Banyak jima' mengurangi kekuatan, menambahi sakit;
Banyak sukacita mengurangi ibadah, menambahi dosa dan
menghampirkan duka cita.
20. Empat perkara yang menambah sehat dan istirahat pada manusia, yaitu :
a. Mengucap syukur atas nikmat Allah dan mengharap anugrahNya;
b. Mendengarkan orang yang benar;
c. Jangan mengira-ngira barang yang tak kekal adanya;
d. Mencari tempat sunyi untuk berzikir dan tafakur atas ciptaan
Allah.
21. Empat perkara sebab yang menambah sehat tubuh manusia,
yaitu :
a. Sebab sehat tubuh akan menambah kesenangan hati;
b. Sebab kuat badan akan menambahi makanan yang baik khasiatnya;
c. Sebab lemah badan akan menaruh duka mata hati;
d. Sebab penyakit dalam tubuh karena bertemunya dua sifat
berlawanan yaitu panas dengan panas yang kurang atau
bertambah pada hatinya maka timbullah penyakit.
22. Empat perkara yang baik (disukai) semua manusia, yaitu: harta,
jima', makan dan tidur.
23. Empat perkara yang terpuji bagi semua manusia, yaitu: perbuatan baik, kata-kata dengan sopan, tawaduk (rendah hati), dan
murah hati.
24. Empat perkara yang dibenci manusia, yaitu: kurang bicara, banyak seteru/lawan, menghinakan/kufur nikmat, mengikuti ajaran
orang yang bodoh.
25. Empat perkara dari pada empat perkara yang sangat jahat, yaitu:
a. Sifat kikir orang yang kaya;
b. Prihal orang yang tidak peduli handai taulan (karib kerabat);
c. Perkataanya dusta;
d. Orang yang kurang rasa malunya, apalagi perempuan.
26. Empat perkara yang bergantung kepadanya segala pekerjaan,
yaitu: berdagang, bertani, membangun bangunan, dan memproduksi barang-barang.
266

Hikayat Lukman al-Hakim Muhammad Shoheh

27. Empat perkara yang menambah kuat tubuh manusia, yaitu: makan daging, memakai pakaian yang halus, memakai wewangian,
mandi tiga kali sehari.
28. Empat perkara yang memperlemah tubuh manusia, yaitu: Banyak
jima', percintaan atau banyak kesal dalam hati, membiasakan
minum dahulu sebelum makan nasi, roti atau makanan lainnya,
banyak memakan makanan yang masam.
29. Empat hal yang mengurangi kuatnya syahwat, yaitu: berkendaraan kuda yang nakal, jima' dengan berdiri atau terlentang,
jima' tatkala syahwatnya belum mencapai puncak, jima' tatkala
makan daging kambing.
30. Empat perkara yang menambah kekuatan syahwat, yaitu: makan
daging ayam atau kambing atau telur ayam, minum susu kambing, membiasakan menggosok minyak pada tubuh di malam
hari, membiasakan mandi pagi hari.
31. Empat perkara yang mengurangi cahaya mata, yaitu: memandikan mayit, sangat memandangi farj/kemaluan perempuan,
memandang ke arah maghrib dan ada kilat, tertlalu sangat memandang ke masyriq tatkala membuang hajat di sungai atau
ketika jima' atau ketika mandi tidak memakai basahan.
32. Empat perkara yang menambahi cahaya mata, yaitu: Duduk
menghadap kiblat, hendaknya terjaga tiap malam (bangun malam),
memandang air yang mengalir, dan memandang tumbuh-tumbuhan kayu yang hijau.
33. Empat perkara yang dirindukan neraka, yaitu: raja yang mengambil hak rakyatnya dan menghukum rakyatnya dengan sombong,
raja yang melupakan kepentingan negeri dan rakyatnya, orang
yang berbuat fitnah sana-sini, orang yang lupa diri dan lupa
mati sehingga lupa bertobat.
Komentar atas Isi Naskah
Jika dipehatikan pokok-pokok isi naskah HLH seperti diuraikan
di atas, tampaknya tidak semua isi naskah tersebut berasal dari
nasihat Lukmn al-Hakm. Demikian pula jika dibandingkan dengan kisah tentang Lukmn al-Hakm di dalam Al-Quran, beberapa
isi naskah tersebut tidak ditemukan. Penulis memperkirakan bahwa
isi naskah tersebut telah disisipkan oleh penyalinnya dengan unsur267

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 251 - 274

unsur lokal. Misalnya, ada kata-kata daging hayam lemak sebagai


penguat tubuh, juga poin-poin lain yang berkaitan dengan kesehatan dan kekuatan tubuh, termasuk di dalamnya yang berkaitan
dengan rahasia syahwat dan sebab-musababnya. Apalagi jika dikaitkan dengan kitab hadis Musnad al-Firdaus, yang banyak mengupas
tentang kisah Lukman al-Hakim, kita tidak menemukan hal-hal
sebagaimana yang diungkapkan dalam naskah HLH ini.
Sesungguhnya Lukmn yang disebut Al-Qur'n adalah seorang
tokoh yang diperselisihkan identitasnya. Pada masa turunya Al-Qur'n,
masyarakat Arab mengenal dua tokoh yang bernama Lukmn. Pertama Lukmn bin d, tokoh ini mereka agungkan karena wibawa,
kepemimpinan, ilmu, kefasihan dan kepandaiannya. Ia kerap kali
dijadikan sebagai permisalan dan perumpamaan. Tokoh kedua
adalah Lukman al-Hakim yang terkenal dengan kata-kata bijak dan
perumpamaan-perumpamaannya. Agaknya dialah yang dimaksud
oleh Al-Qur'n itu.20
Banyak juga pendapat mengenai asal usul Lukmn al-Hakm
ini. Ada yang mengatakan ia berasal dari Nuba, penduduk Ailah,
ada yang menyebutnya dari Ethiopia, ada yang mengatakan ia
berasal dari Mesir Selatan yang berkulit hitam, ada juga yang
menyatakan ia seorang Ibrani. Profesinya pun diperselisihkan, ada
yang bilang ia penjahit, pekerja pengumpul kayu, tukang kayu, dan
ada juga yang menyebut ia pengembala.21
Hampir semua yang menceritakan riwayatnya sepakat bahwa
Lukmn bukanlah seorang Nabi. Hanya sedikit yang berpendapat
bahwa ia termasuk salah seorang Nabi. Bahkan ada sebuah hadis
yang menyatakan bahwa beliau bukan orang Arab. Yang jelas ia
adalah orang yang sangat bijak.
Ibnu Umar menyatakan bahwa Nabi bersabda: "Aku berkata
benar, sesungguhnya Lukman bukanlah seorang Nabi, tetapi dia
adalah seorang hamba Allah yang banyak menampung kebajikan,
banyak merenung, dan berkeyakinan yang lurus. Dia mencintai
Allah, maka Allah mencintainya dan menganugerahkan kepadanya
hikmah".
20
M. Quraish Shihab, Menjemput Maut, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet.
ke-5, h. 129-132.
21
Ibid.

268

Hikayat Lukman al-Hakim Muhammad Shoheh

Bila kita kaji lebih dalam lagi, sesungguhnya naskah HLH ini
ditulis berdasarkan hadis-hadis yang kurang kuat, meski ada juga
yang ditulis berdasarkan hadis sebagaimana di bawah ini.
Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa Lukmn al-Hakm tidak
dianugerahi hikmah karena harta kekayaanya atau keturunannya,
tidak juga karena kekuatan fisiknya ataupun kegagahannya. Tetapi
beliau adalah seorang yang kukuh, konsisten melaksanakan perintah Allah, sangat wara' demi karena Allah, penuh ketenangan,
sangat dalam pemikirannya lagi jauh pandangannya. Beliau adalah
seorang yang sangat pandai mengambil pelajaran. Tidak tidur di
siang hari, tidak pernah terlihat oleh siapa pun membuang air kecil
atau besar maupun mandi, karena ketekunannya memelihara diri,
kedalaman pandangannya serta pemeliharaan atas dirinya. Beliau
tidak pernah menertawakan sesuatu karena khawatir berdosa, tidak
juga marah atau bergurau melampaui batas. Beliau tidak bergembira secara berlebihan atas perolehan nikmat duniawi, tidak pula
bersedih hati karena kehilangannya. Beliau kawin dan dianugerahi
banyak anak namun kebanyakan meninggal di waktu kecil, namun
beliau tidak larut dalam kesedihan karena kepergian mereka.
Lukmn tidak menemukan dua orang yang berselisih, kecuali ia
melakukan islah (perdamaian) di antara keduanya. Beliau tidak
meninggalkan mereka kecuali setelah hubungan keduanya kembali
mesra. Lukman tidak pernah mendengar satu ucapan indah dari
orang lain, kecuali menanyakan makna dan penafsirannya serta
sumber ucapan itu. Beliau sangat gandrung bergaul dengan ulama
dan cerdik pandai. Beliau sering berkunjung kepada hakim dan
penguasa, karena mereka seringkali terpedaya oleh setan dan
karena mereka begitu tenang menghadapi siksa Allah.
Lukman selalu menarik pelajaran dari pengalaman yang ada dan
terus menerus belajar bagaimana mengendalikan diri dan nafsunya
dengan pelajaran dan pengalaman itu. Beliau sangat hati-hati menghadapi setan, bahkan selalu mengasah hatinya dengan berpikir dan
menjernihkan diri dengan pelajaran dan pengalaman yang dialaminya. Beliau tidak pernah berada dalam suatu tempat yang tidak
merupakan urusannya atau ada kepentingannya di sana. Karena
itulah beliau dianugerahi hikmah oleh Allah swt. dan diberi-Nya
perlindungan.

269

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 251 - 274

Relevansi Isi Teks dengan Kondisi Saat Ini


Setelah kita mengkaji kandungan isi dari naskah HLH, tampaknya banyak sekali pokok-pokok pikiran yang menjadi nasihat
dan wasiat Lukmn al-Hakm itu relevan dengan situasi dan kondisi
aktual masa kini yang sangat kita butuhkan. Pokok-pokok pikiran
yang dimaksud antara lain menyangkut hal-hal di bawah ini :
1. Berkaitan dengan masalah politik; dari nasihat Lukmn itu ada
yang berkenaan dengan nasihat untuk para pemimpin politik
saat ini, yaitu agar senantiasa berbuat adil dan memperhatikan
kebutuhan dan kepentingan rakyatnya, tidak berbuat aniaya,
tidak melupakan urusan negaranya, tidak berbuat sewenangwenang meski terhadap tawanan, dan sebagainya.
2. Berkaitan dengan sendi-sendi perekonomian masyarakat, di mana ekonomi masyarakat setidaknya harus ditopang oleh empat
pilar, yaitu perdagangan, pertanian, industri dan jasa. Keempat
pilar ini adalah sendi dasar bagi kemajuan perekonomian
masyarakat yang ingin maju baik masyarakat pedesaan maupun
perkotaan.
3. Akhlak dan kesopanan merupakan pilar utama bagi manusia
baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Negara akan maju jika masyarakatnya menjunjung tinggi nilainilai akhlak yang mulia, sebaliknya negara akan runtuh jika
nilai-nilai akhlak yang mulia itu diabaikan.
4. Cara memperoleh ilmu dan hikmat itu dengan tiga cara, yaitu:
a) Dari kebenaran kelakuan, kebenaran perkataan, dan kebenaran perbuatan; b) Diam dengan kira-kira (maksudnya dengan
perenungan); c) Menjauhkan diri dari orang jahat.
5. Dalam menjalani hidup ini hendaklah selalu berjiwa qanah
dan bersikap sederhana.
6. Pengalaman merupakan guru yang paling utama dan paling
banyak manfaatnya (experience is the best teacher).
Kesimpulan
1. Mengenai identitas naskah HLH tampaknya sulit diketahui, baik
penulis maupun penyalinnya karena dalam naskah tersebut
tidak terdapat kolofon maupun catatan yang menunjukkan siapa
penyalinnya. Naskah ini diperkirakan disalin sekitar tahun
270

Hikayat Lukman al-Hakim Muhammad Shoheh

1750-an ke atas. Hal ini berdasarkan adanya tanda cap air


(watermark) pada kertas tersebut. Selain itu juga gaya dan
model tulisan Jawi yang digunakan dalam naskah tersebut tampak menunjukkan gaya tulisan Jawi dengan khat yang agaknya
memiliki unsur-unsus Riqah dan Farisi, dan lebih condong
pada Farisi, yang banyak ditunjukkan pada sekitar pertengahan
abad ke-18.
2. Secara ringkas naskah HLH berisi sebagai berikut :
Lukmn Hakm adalah seorang nabi, walaupun sebagian
besar ulama tidak menggolongkannya sebagai nabi. Menurut
naskah ini juga, ia adalah wali Allah yang keramat, penghulu
atas sekalian hakim. Ia mengerti segala bahasa sekalian binatang, pohon-pohonan dan lain-lain di dunia. Segala pelajaran
yang diajarkan kepada putranya dan kepada orang-orang yang
datang bertanya kepadanya dikumpulkan dalam sebuah kitab
yang disebut Nasihat Luqman al-Hakim. Adapun segala ilmu
dan hikmat yang ia miliki dapat disimpulkan ke dalam tiga hal,
yaitu:
a. Kebenaran dalam perkataan dan perbuatan
b. Diam dan berpikir
c. Menjauhkan diri dari tingkah laku yang tidak baik dan
orang-orang jahat.
Selain itu masing-masing ada empat hal yang menjadi
patokan, yaitu: Empat tanda-tanda manusia, empat masalah
kematian yang tidak hidup kembali, dan ada empat macam api.
3. Pokok-pokok isi naskah Hikayat Lukman al-Hakim masih dapat
dikaji ulang dan banyak memiliki relevansi dengan kondisi kontemporer. Isi naskah ini dengan unsur-unsur lokalnya memiliki
nilai universal, terutama yang bersifat didaktis-instruktif, karena
mengandung tuntunan moral dan akhlak yang mulia. Bahkan tidak
terbatas pada nilai-nilai moral saja, melainkan juga mengandung
nilai ajaran politik, ekonomi, sosial, dan budaya hidup sehat.*

271

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 251 - 274

Daftar Pustaka
Naskah :
Hikayat Lukman al-Hakim, W 125 koleksi PNRI
Buku :
Bafaddal, Fadhal, dkk. (ed). 2006. Naskah Klasik Keagamaan Nusantara II
Cerminan Budaya Bangsa. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan
Litbang & Diklat Depag. RI.
Baried, Siti Baroroh, et al. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan
Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra
UGM.
Behren, T.E., (Peny.). 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia dan Ecole Francaise D'Exstreme Orient.
Braginsky. 1993. The System of Classical Malay Literature. Leiden: KITLV
Press.
Ekadjati, Edi S. (Peny.). 2000. Direktori Edisi Naskah Nusantara. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Iskandar, Teuku. 1999. Catalog of Malay, Minangkabau and South Sumatan
Manuscripts in the Netherlands Volume-1. Leiden: Universiteit Leiden
Faculteit der Godgeleerdheid, Documentatie bureau Islam Christendom.
Liaw Yock Fang. 1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 2. Jakarta: Erlangg.
Lubis, Nabilah. 2007. Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta:
Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Depag, RI.
Shihab, M. Quraish. 2007. Menjemput Maut: Bekal perjalanan Menuju Allah
swt. Jakarta: Lentera Hati, cet. ke-5.
Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tim Penerjemah Depag. 2004. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: Ditjen.
Bimas Islam dan Penyelenggara Haji Dep. Agama
Robson, S.O. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL.
Teeuw, Andries. 1982. Khasanah Sastra Indonesia Beberapa Masalah Penelitian
dan Penyebarannya. Jakarta: Balai Pustaka.
Tjandrasasmita, Uka. 2006. Kajian Naskah-Naskah Klasik dan Penerapannya
bagi Kajian Sejarah Islam di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Depag RI.

272

Hikayat Lukman al-Hakim Muhammad Shoheh

Lampiran:

Gambar 01:
Halaman Judul dan Halaman pertama Naskah Hikayat Lukman al-Hakim
(W. 125 [R#228], Rol 375.04) koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

273

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 251 - 274

Gambar 02 :
Halaman 9 dan 10 Naskah Hikayat Lukman al-Hakim

274

Naskah Nabi Haparas Zakiyah

Naskah Nabi Haparas,

Naskah Sasak Bernuansa Islam di Nusa Tenggara Barat


Zakiyah
Balai Litbang Agama, Semarang
This paper is a result of the research on the Islamic Sasak Manuscript in
West Nusa Tenggara called Nabi Haparas. The object of the research is Nabi
Haparas manuscript code 07.506 saved in West Nusa Tenggara State
museum. Some points this study focuses are; the first is how the physical
condition of the manuscript, the second is what are the Islamic messages in
the text of Nabi Haparas and the third is the content of the text. This is a
qualitative research using philological approach. The research finding shows
that the physical condition of the manuscript is quite good, and the text is
readable. This manuscript was initially written in Arabic script and midJavanese language. There is no information about who the author was and
when it was written. This manuscript tells about the story of the saving of
Prophet Muhammads hair. Nabi Haparas is one of the Islamic Sasak
manuscripts containing Islamic values and teaching which can function as
guidance for Muslim society
Kata kunci: Nabi Haparas, Islam, Sasak, Manuskrip

Pendahuluan
Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan satu di antara wilayah
Nusantara yang telah menghasilkan berbagai karya sastra dalam beragam bahasa dengan beragam bahan alas tulis. Dari penelusuran
naskah yang dilakukan oleh Museum Negeri NTB telah diinvetarisasi naskah sebanyak 632 milik perorangan yang mayoritas ditulis
di atas daun lontar. Dari total naskah tersebut diketahui terdapat
330 berbahasa Jawa Kuna/Madya, 104 berbahasa Sasak, 101 berbahasa Bali dan yang lainnya berbahasa Arab (49) dan Melayu (10).
Sementara itu, pada saat ini Museum Negeri NTB menyimpan lebih
dari 1.250 naskah (Loir & Fathurahman, 1999: 179).
275

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 275 - 300

Banyaknya naskah di wilayah ini tidak lepas dari tradisi tulis


yang berkembang di wilayah tersebut dan masuknya pendatang dari
Jawa dan Bali. Orang-orang Jawa datang ke Lombok tidak hanya
memasuki ranah politik, atau sebagai pedagang yang kemudian menikahi perempuan-perempuan Lombok, namun mereka juga menyebarkan agama, budaya dan tradisi tulis. Demikian pula dengan orangorang Bali yang menetap di Lombok; mereka juga berperan dalam
perkembangan dunia tulis-menulis di Nusa Tenggara Barat.
Tradisi literasi pada masyarakat Nusa Tenggara Barat dapat dilihat dari beberapa prasasti yang ditemukan di Lombok, seperti Prasasti/Bencangan Punan yang ditulis menggunakan aksara Jejawan
yang mendeskripsikan tentang kedatangan Gajah Mada ke Lombok
pada tahun 1357. Selain itu, terdapat pula tulisan pada makam Raja
Selaparang di Lombok yang menggunakan aksara Jawa Kuna yang
berbunyi memesan gegaweyan para Yuga yang berarti tahun 1142
H atau 1729 M, angka tahun ini dihubungkan dengan kematian seorang Raja Selaparang di Lombok. Catatan lain menyebutkan bahwa tradisi tulis tersebut bermula pada abad ke-16 M bersamaan dengan
kedatangan Sunan Prapen (putra Sunan Giri) untuk menyiarkan agama
Islam. Hal ini didasarkan pada banyaknya naskah Jawa yang disalin
oleh sastrawan Sasak, umumya bernuansa Islam seperti Jatiswara,
Purwadaksina, Rengganis dan lain-lainnya (http//www.kompas.com/9701/19/latar/lomb.htm).
Pada mulanya naskah Jawa tersebut diimpor dari pulau Jawa
dan digunakan apa adanya, kemudian naskah ini disalin, dan tahap
berikutnya teks baru ditulis dalam bahasa Jawa. Selanjutnya, sekitar
pertengahan abad ke-19 teks ditulis dalam bahasa Sasak. Sementara
orang-orang Bali yang menetap di Lombok menulis karya-karya
mereka dalam bahasa Bali dan Kawi. Mereka ini banyak dipengaruhi oleh tradisi tulis kerajaan Karangasem tempat asal-usul mereka. Sedangkan orang-orang Sasak banyak menghasilkan naskah dalam bahasa Sasak dan Jawa. Di antara naskah-naskah tersebut merupakan terjemahan maupun salinan dari naskah berbahasa Arab,
Melayu atau Jawa.
Penerjemahan, penyalinan dan penulisan naskah-naskah Sasak
tersebut merupakan proses panjang perkembangan tradisi literasi
yang memiliki kaitan erat dengan sejarah perkembangan masyarakat setempat baik di bidang agama, budaya, maupun sosial-politik.
276

Naskah Nabi Haparas Zakiyah

Misalnya, naskah-naskah Sasak bernuansa Islam merupakan hasil


persentuhan syiar agama yang dilakukan oleh para pedagang muslim pesisir utara pulau Jawa yang datang ke Lombok pada abad ke16 dan ke-17. Mereka pada mulanya melakukan penyebaran agama
dengan cara lisan, namun pada perkembangannya mereka juga mengajarkan baca-tulis serta menyalin dan mengadaptasi naskah-naskah
Arab, Persia dan teks-teks Islam (Kumar & McGlynn.1996: 157).
Naskah-naskah Sasak secara sepintas mirip dengan naskah-naskah Jawa, bahkan tidak sedikit yang memiliki kesamaan judul atau
menggunakan bahasa Jawa dengan dialek Jawa Pesisir, namun apabila diteliti lebih lanjut, naskah sasak tersebut berbeda dengan naskah Jawa dan memiliki karakteristik sendiri. Di antara naskah Sasak
yang juga memiliki kemiripan dengan naskah Jawa adalah Indrajaya, Cilinaya Cupak dan Rengganis; empat naskah tersebut juga
dikenal dalam khazanah naskah Bali dan Melayu, sedangkan naskah Sasak asli dan ditulis oleh orang Lombok antara lain adalah
Tutur Monyeh. Selain naskah-naskah tersebut, terdapat pula naskah-naskah Sasak bernuansa keagamaan Islam; misalnya hikayat
Nabi, sandu Baya dan Babad Lombok. Ada juga naskah Sasak yang
merupakan terjemahan dan adaptasi dari sastra Arab, Persia atau
teks-teks Islam seperti Serat Menak, Jatiswara, dan Amir Hamzah
(Kumar & McGlynn.1996: 156-157).
Naskah Sasak bernuansa Islam ini berperan penting dalam proses penyebaran agama Islam di Nusa Tenggara Barat. Naskah-naskah ini merupakan salah satu referensi penting bagi para penyebar
agama dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam, serta sebagai media komunikasi bagi umat Muslim karena naskah-naskah tersebut
mengandung nilai keagamaan, seperti muamalah, cerita nabi dan
lainya (http://www.kompas.com/9701/19/LATAR/lomb.htm).
Bahkan naskah-naskah Sasak tersebut juga digunakan secara
luas dalam upacara-upacara adat masyarakat di wilayah ini, sebagai
contoh, upacara pernikahan, upacara khitanan, upacara pertama kali
mencukur rambut bayi, upacara tanam padi dan upacara menaruh
padi dalam gudang. Tradisi pembacaan naskah ini disebut dengan
nama Pepaosan, yaitu seorang membacakan atau melagukan isi
teks dari naskah dan orang lain menerjemahkan atau menerangkan
maksud dari isi teks tersebut (Kumar & McGlynn,1996; Budiwanti,
2000).
277

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 275 - 300

Tradisi pepaosan tersebut merupakan salah satu bukti bagaimana keberadaan naskah Sasak tersebut telah mewarnai dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Barat. Luasnya khazanah naskah Sasak dan penggunaannya ini sayangnya kurang dibarengi dengan penelitian yang mendukung, sehingga tidak banyak orang
yang mengetahui eksistensinya atau bahkan masyarakat tidak bisa
mengaksesnya karena naskah tersebut masih ditulis dengan menggunakan aksara dan bahasa Sasak. Berdasarkan pemikiran di atas,
maka penelitian tentang naskah Sasak bernuansa Islam penting untuk
dilakukan.
Di antara naskah Sasak bernuansa Islam yang menarik untuk dikaji adalah naskah Nabi Haparas, naskah ini merupakan kepustakaan Islam Sasak yang juga digunakan dalam tradisi Papaosan
yakni pada upacara pertama kali mencukur Rambut Bayi (Kumar &
McGlynn.1996). Teks dalam lontar ini mengandung nilai-nilai ajaran Islam yang ditampilkan dengan cara yang unik yaitu dituangkan
dalam bait-bait syair/tembang. Berdasarkan pemikiran di atas, maka
masalah pokok yang dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana
deskripsi atau kondisi fisik naskah Nabi Haparas, dan Pesan atau
materi ajaran Islam apa saja yang terkandung dalam teks Nabi Haparas.
Telaah Pustaka
Penelitian tentang naskah Sasak bernuansa keagamaan Islam
belum banyak dilakukan. Di antara yang sedikit itu antara lain; penelitian naskah Dewi Rengganis yang dilakukan oleh Slamet Riyadi
Ali, penelitian ini berupa transliterasi, terjemahan dan ringkasan isi.
H. Lalu Wacana, dkk melakukan penelitian naskah Hikayat Indrajaya koleksi museum Negeri Nusa Tenggara Barat yakni berupa
terjemahan (Ekadjati, 2000).
Sementara itu, Tim peneliti dari IAIN Mataram melakukan kajian terhadap naskah Manusia Jati koleksi Museum Negeri NTB.
Dalam penelitian ini mereka mendeskripsikan kondisi fisik naskah
dan melakukan analisis isi terhadap teks. Dari hasil temuan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa naskah Manusia Jati berbahasa campuran antara bahasa Jawa Madya dan Kawi ditulis di atas
lontar dengan menggunakan aksara Jejawan. Naskah ini masih dalam
kondisi baik dan isi pokok dari teks mengungkap tentang manusia.
278

Naskah Nabi Haparas Zakiyah

Lontar Manusia Jati merupakan naskah sasak yang mengandung


nilai-nilai luhur Islam dan materi berupa perilaku yang harus dilaksanakan oleh manusia sejati. Di antara isi yang terkandung dalam lontar ini adalah: 1) tentang proses penciptaan manusia, 2) posisi
manusia dalam mengenal Allah, 3) waktu yang diperbolehkan dan
yang dilarang untuk melangsungkan pernikahan, 4) macam-macam
syahadat dan kedudukannya, 5) hakekat sedekah, din (agama), salat,
salawat, dan manusia, 6) Muhammad sebagai pembawa syariat (Tim
Peneliti IAIN Mataram, 2006).
Studi tentang naskah Nabi Haparas pernah di lakukan oleh Dick
Van Der Meij; ia melakukan pengalihaksaraan dan penerjemahan
terhadap naskah Nabi Haparas dengan kode MS M.53, kemudian
Ia menulis hasil penelitiannya dalam buku dengan judul Nabi Haparas; The Saving of the Prophet Muhammads Hair (Meij,1996).
Selain itu, tim peneliti pada pendidikan dan pelatihan naskah yang
diselenggarakan oleh Balitbang dan Diklat Depag pada tahun 2006
telah meneliti naskah dengan tema yang hampir sama yakni meneliti naskah Singir Parase Nabi koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Naskah ini berisi tentang kisah Nabi Muhammad yang dituangkan dalam bentuk syair. Cerita dimulai dengan sejarah awal
kehidupan Muhammad, masa pengasuhan dan Muhammad diangkat
menjadi Nabi. Kemudian cerita dilanjutkan dengan kisah Nabi paras
(potong rambut) atau bercukur yang dilakukan oleh Malaikat Jibril.
Secara umum kondisi fisik naskah masih dalam keadaan baik, teks
ditulis dengan mengunakan bahasa Jawa dan aksara Arab (pegon)
di atas kertas eropa (Kasdi. Et.all, 2006).
Sementara itu, cerita mengenai kehidupan Nabi Muhammad dan
keluarganya juga banyak terdapat dalam naskah-naskah lain baik
naskah Melayu, Jawa, Bugis, Makassar, Sunda maupun lainnya. Naskah-naskah ini tersebar dan disimpan dibeberapa tempat berbeda baik
di perpustakaan dan museum yang ada di nusantara maupun di negara negara lain seperti Belanda dan Inggris. Di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) di simpan beberapa naskah hikayat tentang Nabi Muhammad yaitu Hikayat Nabi bercukur, Hikayat Nabi Miraj, Hikayat Nabi Wasiat, Hikayat Nabi Mengajar Ali,
Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah, dan Hikayat Nabi Wafat
(Behrend, 1998).

279

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 275 - 300

Naskah-naskah yang berisi kisah Nabi Muhammad tersebut telah di kaji oleh beberapa peneliti antara lain adalah: Ayuba Pantu
(2007) meneliti Hikayat Nabi Miraj koleksi PNRI. Dalam penelitiannya Ayuba Pantu melakukan deskripsi kondisi fisik naskah, perbandingan naskah-naskah yang telah diinventarisasi, transliterasi
dan memberikan analisis dari segi bahasa (Pantu, 2007). Dick Van
Der Meij (2004) juga telah membahas naskah-naskah Nabi Miraj,
ia membandingkan beberapa versi naskah Nabi Miraj. Dick Van
Der Meij menyebutkan bahwa beragamnya versi naskah ini merupakan salah satu bukti betapa kayanya dunia literatur Melayu Indonesia. Naskah-naskah ini juga merupakan salah satu identitas bagi
dunia sastra Melayu Indonesia.
Fitri Harianingsing meneliti dua naskah Hikayat Nabi Wasiat
koleksi PNRI dengan kode ML 830 dan ML 831. Dalam penelitiannya Harianingsih melakukan transliterasi, kritik aparat dan analisis
isi. Diah Ratna W juga meneliti naskah yang sama dengan cara
yang sama pula yakni meneliti naskah Hikayat Nabi Wasiat. Ulfah
mengkaji naskah Hikayat Nabi Mengajar Ali yang disertai dengan
perbandingan bentuk dan isi dengan naskah Dewaruci. Rinawati
meneliti tiga naskah Hikayat Nabi Mengajar Anaknya Fatimah koleksi museum Nasional Jakarta dengan kode MI 52, MI 338C dan
W 94, sedangkan Asnurul Hidayati menelaah tiga naskah koleksi
PNRI dengan kode ML 52B, ML 388C dan ML 684; keduanya melakukan transliterasi dan analisis isi (Ekadjati, 2000). Sedangkan
penelitian ini memfokuskan pada naskah dengan judul Nabi Haparas koleksi museum negeri Nusa Tenggara Barat. Naskah ini dideskripsikan kondisi fisiknya, diinventarisasi, dan setelah itu dipaparkan ringkasan isi cerita dan dijelaskan kandungan isinya.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan filologi. Fokus kajiannya adalah naskah Nabi Haparas dengan
kode inventaris 07.506 dan nomer registrasi 1566 koleksi Museum
Negeri NTB. Di sini filologi dipahami sebagai satu disiplin ilmu
yang meneliti naskah atau pernaskahan tulisan tangan (manuscripts),
baik meneliti kondisi fisiknya maupun kandungan isinya (Tjadrasasmita, 2006a). Dalam hal ini naskah diteliti kondisi fisiknya dan
ditelusuri riwayat naskah dengan melihat kolofon serta catatan-cata280

Naskah Nabi Haparas Zakiyah

tan lainya, kemudian dilakukan analisis terhadap isi atau kandungan


teksnya.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode
landasan; metode ini adalah cara memilih sejumlah naskah yang
apabila menurut tafsiran ada satu atau golongan naskah yang unggul kualitasnya jika dibandingkan dengan naskah-naskah lainnya
(Tjandrasasmita, 2006b: 4). Cara ini dipakai untuk memilih naskah
Nabi Haparas dengan kode inventaris 07.506 yang dikaji. Naskah
ini dipilih karena dianggap sebagai naskah yang memiliki jumlah
halaman/lempir lengkap dan teks masih dapat dibaca dengan jelas.
Materi atau data-data yang termuat dalam teks Nabi Haparas
dianalisis dengan metode analisis wacana kritis. Analisis ini memiliki lima karakteristik utama meliputi tindakan, konteks, historis,
kekuasaan dan ideologis. Pertama, tindakan maksudnya adalah wacana dipahami sebagai sebuah tindakan atau disamakan dengan interaksi sosial di ruang terbuka. Orang berbicara atau menulis diartikan tidak hanya berbicara atau menulis untuk dirinya sendiri namun
juga untuk berhubungan dengan orang lain seperti untuk mempengaruhi, membujuk, menyanggah atau mendebat dan lainnya. Kedua, konteks maksudnya adalah wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada konteks tertentu seperti latar,
situasi, peristiwa dan kondisi. Di antara konteks yang mempengaruhi terhadap produksi wacana adalah; (1) partisipan wacana, siapa
yang memproduksi wacana meliputi beberapa hal sebagai berikut;
umur, pendidikan, kelas sosial, etnis dan agama. (2) setting sosial
tertentu, misalnya, waktu, posisi dan lingkungan fisik. Ketiga,
historis; wacana tidak bisa terlepas dari konteks yang menyertainya,
sehingga untuk mengetahui makna teks tertentu harus mengetahui
konteks sejarahnya. Keempat, kekuasaan; dalam analisis wacana
kritis kekuasaan dipertimbangkan sebagai elemen penting karena
wacana yang muncul baik dalam bentuk teks maupun percakapan
bukanlah sesuatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan
pertarungan kekuasaan. Kelima, ideologi; wacana dipandang sebagai
medium bagi kelompok dominan untuk mempengaruhi, membujuk,
mempersuasi khalayak masyarakat dalam rangka melegitimasi tindakan mereka karena biasanya, ideologi diproduksi dan dibangun
oleh kelompok dominan untuk mengabsahkan dominasi mereka
(Bungin, 2007: 198-200; Jorgensen & Phillips, 2007). Lima elemen
281

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 275 - 300

dari analisis tersebut kemudian dioperasinalisasikan untuk mengkaji


isi dari teks Nabi Haparas. Selain itu komponen-komponen tersebut digunakan pula untuk melihat konteks sosial dan keagamaan di
mana naskah Nabi Haparas diproduksi.
Inventarisasi Naskah Nabi Haparas
Dari penelusuran pada katalog naskah lontar dan buku inventarisasi naskah koleksi Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB) yang
diberi label buku Filologika 1, Filologika 2 dan Filologika 3 dapat
diketahui bahwa terdapat 44 naskah Nabi Haparas yang telah menjadi koleksi Museum negeri NTB dan tersimpan di museum tersebut. Semua naskah ini ditulis di atas bahan lontar dan dibuat di
Lombok dengan mengunakan aksara Jejawan/Sasak.
Naskah Nabi Haparas koleksi Museum Negeri Nusa Tenggara
Barat tersebut di buat di Lombok dan di dapat dari berbagai daerah
di Lombok meliputi Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok
Timur. Naskah-naskah tersebut awalnya merupakan koleksi masyarakat, namun pada tahap selanjutnya naskah tersebut menjadi koleksi Museum setelah Museum mengambil alihnya dari masyarakat.
Proses pengambil alihan tersebut berlangsung sejak tahun 1977 hingga
tahun 1998.
Di Museum Negeri NTB juga disimpan beberapa naskah dengan
judul Nabi Bercukur; naskah ini memiliki isi cerita yang memiliki
kemiripan dengan naskah Nabi Haparas yakni cerita tentang Nabi
Muhammad yang rambutnya dicukur oleh Malaikat Jibril. Selain itu,
terdapat pula cerita yang sama pada naskah Hikayat Nabi Bercukur
koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan naskah
Singir Parase Nabi koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta.
Deskripsi Naskah Nabi Haparas
Banyaknya naskah yang berisi kisah Nabi bercukur merupakan
satu indikasi bahwa cerita ini digemari oleh masyarakat di berbagai
wilayah nusantara. Di Museum Nusa Tenggara Barat tersimpan
naskah Nabi Haparas sebanyak empat puluh empat buah. Naskahnaskah ini ditulis di atas daun lontar dengan menggunakan aksara
Sasak atau disebut pula huruf Jejawan; huruf Jejawan ini adalah aksara Jawa dan Bali yang telah mengalami perkembangan. Bahasa yang
digunakan dalam teks adalah Jawa Madya. Mayoritas dari naskah-nas282

Naskah Nabi Haparas Zakiyah

kah ini dijepit dengan kayu dan di ikat dengan benang, model ini
disebut dengan takepan (dijepit). Ada beberapa naskah yang tidak memiliki jepitan, lempir-lempir dari lontar tersebut hanya diikat dengan
tali serta dimasukkan dalam kotak yang terbuat dari anyaman daun
pandan yang biasa digunakan untuk membuat tikar.
Selain itu, di museum tersebut juga disimpan naskah-naskah
yang memiliki isi cerita yang hampir sama yakni naskah yang berjudul Nabi Bercukur. Namun dalam tulisan ini yang dideskripsikan
hanya satu naskah yakni naskah dengan kode inventaris 07.506 dan
nomor registrasi 1566. Naskah ini dipilih dengan pertimbangan bahwa
naskah ini merupakan naskah dengan jumlah halaman lengkap dan
tidak ada lempir yang rusak serta teks masih jelas terbaca.
Naskah Nabi Haparas dengan kode 07.506 merupakan koleksi
museum negeri Nusa Tenggara Barat yang dibuat di Lombok. Naskah ini berasal dari masyarakat yang diambil alih oleh museum
dengan memberikan imbalan ganti rugi pada tanggal 22 Maret
1980. Secara umum kondisi naskah masih dalam keadaan baik dan
tulisan dalam teks ini masih bisa dibaca. Naskah ini merupakan salinan dari naskah lain yang awalnya memakai huruf Arab dan bahasa Kawi, akan tetapi tidak disebutkan secara spesifik judul naskah yang disalin tersebut. Teks dalam naskah ini berbahasa Jawa
Madya yang ditulis dengan aksara Jejawan di atas bahan lontar, dijepit dengan kayu bajur dan diikat dengan tali benang, pada ujung
tali terdapat uang Sen yang dilobangi tengahnya sebagai penahan
takepan. Panjang lontar dalam naskah adalah 12,8 cm dan lebar 2,3
cm serta tebal teks 6,6 cm.
Naskah ini memiliki Jumlah lempir sebanyak 63 lempir atau
sama dengan 126 halaman, tiap halamam memiliki 4 baris. Penanggalan naskah tidak disebutkan, begitu juga penulis atau penyalinnya
tidak diketahui. Tiap halaman dalam lontar terdapat nomor halaman
yang mengikuti kaidah aksara Jejawan, misalnya huruf ba merujuk
pada angka satu, huruf nga berarti angka dua, huruf ta artinya tiga
dan seterusnya. Cerita dalam teks Nabi Haparas disajikan dalam
bentuk tembang; tembang tersebut terdiri dari bait-bait yang dikelompokkan menjadi bab-bab (pupuh). Pupuh tersebut meliputi asmarandana, serinata, asmarandana, dandang gula, masmirah, dandang gula, masmirah, aja neda/dandang gula, mas dedare nina/masku-

283

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 275 - 300

mambang, dedare bebalu laek, dan terakhir berupa anak kidung yang
berisi doa-doa.
Teks Nabi Haparas
Takepan Nabi Haparas dengan kode 506 berisi dua teks yaitu
teks yang berisi cerita tentang Nabi bercukur dan Nabi menjelang
wafat, namun dalam penelitian ini hanya dipilih satu cerita yaitu
Nabi bercukur. Ada beberapa pertimbangan yang melatari kenapa
hanya diambil satu cerita yaitu; dua cerita ini adalah dua kisah yang
berbeda, dan satu sama lainnya tidak ada kaitannya secara langsung. Selain itu, ada indikasi bahwa sebenarnya cerita yang kedua
adalah kisah yang berbeda dan terpisah, hal ini bisa dilihat pada
permulaan kisah kedua yang diawali dengan kata-kata pujian kepada Allah sebagai pertanda bahwa ini adalah kisah baru. Sebagai
perbandingan, dalam naskah lainnya seperti naskah Singir Parase
Nabi dan Hikayat Nabi Bercukur serta naskah Nabi Haparas dengan
kode inventaris 07.288 hanya memuat kisah Nabi Muhammad yang
dicukur oleh Malaikat Jibril. Sementara itu, kisah Nabi Wafat termuat dalam naskah yang lain. Sebagai contoh naskah Nabi Wafat
yang ada dalam koleksi Perpustakaan Nasional RI (Herman, et all,
1992/1993, Behrend, 1998).
Ringkasan Isi Cerita
Cerita Nabi Haparas ini secara garis besar bisa dibagi ke dalam
tiga bagian yaitu; pertama kisah Nabi bercukur meliputi siapa yang
mencukur, kapan waktunya dan apa yang menjadi ikat kepala Nabi
setelah rambut Nabi dipotong. Kedua, memuat tentang manfaat atau
faedah yang akan didapat bagi siapa saja yang menyimpan, menyalin, membawa, dan membaca kisah Nabi Haparas, juga bala atau
malapetaka bagi yang tidak mau memyimpan, membaca atau mendengarkan cerita ini. Ketiga, berupa anak kidung yaitu doa doa.
Bagian pertama dari cerita ini berisi tentang Nabi yang dicukur
oleh malaikat Jibril atas perintah Allah swt. Nabi dicukur di hadapan Nurcahaya pada hari Senin bulan Ramadhan setelah melaksanakan sembahyang dua rakaat. Semua peralatan cukurnya diambil
dari surga, begitu pula destar (sorban/ikat kepala) yang digunakan
oleh Nabi setelah rambutnya dicukur diambil dari surga; Destar itu
berasal dari selembar daun kastube. Banyaknya rambut Nabi yang di284

Naskah Nabi Haparas Zakiyah

potong adalah sebanyak 333.332 helai, semuanya tidak ada yang


jatuh ke tanah, semuanya diambil oleh bidadari atas perintah Allah,
rambut tersebut dijadikan azimat dan gelang tangan bagi bidadari.
Bagian kedua berisi tentang manfaat-manfaat yang akan didapatkan bagi siapa saja yang menulis/menyalin, menyimpan, membaca, mendengarkan, membawa dan percaya terhadap cerita Nabi
Haparas. Di antara manfaat tersebut adalah akan mendapat keselamatan, terhindar dari pertanyaan kubur dan siksa neraka; bagi orang
yang berperang dan berlayar akan mendapatkan keselamatan, bagi
orang yang mendapatkan masalah akan dapat terselesaikan dan mendapatkan kebahagian. Sedangkan untuk orang-orang yang tidak percaya dan ragu-ragu akan kisah ini maka orang tersebut pasti orang
yang sesat. Bagian ketiga berupa doa-doa yang terangkum dalam
bentuk anak kidung.
Konteks Sosial Keagamaan Tempat Naskah Diproduksi
Naskah Nabi Haparas dengan kode inventaris 07.506 dan kode
registrasi 1566 merupakan naskah Sasak yang dibuat di Lombok,
namun tidak disebutkan secara spesifik daerah ataupun Lombok bagian mana sebagai tempat pembuatan naskah tersebut. Lombok merupakan sebuah pulau di wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat,
mayoritas penduduk di daerah ini adalah pemeluk agama Islam. Pulau ini juga dikenal dengan julukan pulau seribu masjid yang menggambarkan bahwa orang-orang di sana memegang teguh agama Islam
(Arzaki, et all, 2001). Sekitar 95% penduduk Lombok adalah etnis
Sasak dan mayoritas dari mereka adalah Muslim. Ecklund (1977)
menyebutkan bahwa menjadi Sasak berarti juga menjadi Muslim.
Terdapat sejumlah kecil masyarakat dengan etnis Bali tinggal di
Lombok Barat, juga sedikit etnis Sumbawa yang mendiami Lombok Timur, serta minoritas etnis Cina yang menempati wilayah perdagangan di Cakranegara Lombok Barat (Ecklund, 1977).
Selain itu ada pula kelompok kelompok etnis seperti Jawa, Bugis
dan Arab sebagai para pendatang yang menempati kawasan-kawasan
tertentu; komunitas Jawa berada di wilayah khusus dengan nama
kampung Jawa yang ada di Mataram, Cakranegara, Praya dan Selong. Orang-orang Bugis menempati daerah-daerah pesisir sepanjang pulau Lombok karena kebanyakan dari mereka adalah nelayan,
di antaranya adalah di pantai Sekotong, Gili Gede, Tanjung Luar,
285

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 275 - 300

Labuan Lombok, Labuan Haji Lombok Timur, Labuan Carik Lombok Barat dan lain-lainnya. Orang-orang Arab lebih banyak terkonsentrasi di perkampungan Arab di Ampenan Lombok Barat (Arzaki, et
all, 2001: 5).
Tentang asal-usul suku Sasak masih diperdebatkan oleh para
ahli sejarah, ada yang menyebutkan bahwa suku Sasak adalah bagian dari keturunan Jawa yang menyeberang ke Bali dan kemudian
ke Lombok. Migrasi orang Jawa ini terjadi sejak zaman Kerajaan
Daha, Keling (Kalingga), sampai pada masa Singosari dan Mataram
Hindu pada abad 5-6 Masehi. Kemudian, setelah runtuhnya Majapahit dan dimulainya masa Islamisasi antara tahun 1518-1521 terjadi peningkatan jumlah orang-orang Jawa yang menyeberang ke
Lombok. Hal ini ditandai dengan banyaknya nama-nama tempat
atau desa di Lombok yang menggunakan nama-nama berbau Jawa
seperti; Gresik, Surabaya, Kediri, Menggala, Pajang Mataram, Kutaraja, Kuripan dan lainya. Pengaruh Jawa juga terdapat dalam
penggunaan nama-nama orang, misalnya, Raden Wiracempaka, Suwarna, Setiawati dan lain sebagainya (Arzaki, et.all, 2001).
Dalam tradisi tulis masyarakat Sasak dijumpai pula pengaruh
Jawa; aksara yang digunakan dalam naskah-naskah klasik Sasak
menggunakan aksara Jejawan atau yang disebut juga dengan huruf
Sasaka. Aksara ini adalah huruf Jawa yang telah mengalami perkembangan. Di samping itu, bahasa yang digunakan dalam lontar
Sasak yang disebut Takepan di antaranya adalah bahasa Kawi (Jawa
Kuna) ataupun bahasa Jawa Madya (Arzaki, et.all, 2001). Salah satu
bukti berkenaan dengan masalah ini adalah naskah Nabi Haparas
yang menjadi fokus dalam penelitian ini; naskah ini ditulis dengan
aksara Jejawan dan bahasa Jawa Madya.
Pada periode awal, sekitar abad 5-6 Masehi, kedatangan orangorang Jawa dari kerajaan Daha, Singosari, dan Kalingga ke Lombok membawa serta paham keagamaan mereka yakni agama Syiwa
Buddha. Kemudian pada abad ke-7 M, kerajaan Hindu-Majapahit
dan Hindu dari Jawa Timur masuk ke Lombok dengan membawa
agama Hindu-Buddha. Selanjutnya setelah terjadi keruntuhan kerajaan Majapahit, sekitar abad ke-13 M, Raja Jawa Islam melalui arah
timur laut masuk ke Lombok dan memperkenalkan Islam ke masyarakat Sasak. Sekitar abad ke-16 orang-orang Makassar (Bugis)
dari kerajaan Goa berhasil menguasai kerajaan Selaparang, pada
286

Naskah Nabi Haparas Zakiyah

saat yang sama kerajaan Gelgel dari Bali berusaha menguasai Lombok dan kerajaan Selaparang. Kemudian pada abad ke-17, kerajaan
Karangasem berhasil mengalahkan kerajaan Makassar dan menduduki daerah Lombok. Dengan semakin terdesaknya orang-orang Sasak maka para pemimpin Sasak berinisiatif meminta bantuan militer
Belanda untuk mengusir kerajaan Bali. Pada tahun 1894 Belanda
berhasil mengusir Bali dari Lombok, dan kemudian berubah menjadi penjajah baru bagi orang-orang Sasak. Penjajahan Belanda ini
membuat orang-orang Sasak semakin tertindas, juga mempertajam
pertentangan ideologis Islam antara pengikut Islam waktu lima
dengan Islam wetu telu (Arzaki, et.all, 2001).
Keberadaan Islam atau komunitas Muslim di Lombok secara
garis besar dibedakan menjadi tiga kelompok meliputi Islam waktu
lima, Islam wetu telu, dan paham boda. Waktu lima adalah sebutan
untuk kelompok yang telah mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Bagi mereka yang belum mendalam pengetahuan keislamannya dan masih terikat dengan adat istiadat tradisional suku Sasak di dalam kehidupan sehari-hari disebut Islam
wetu telu, sedangkan masyarakat yang berada di luar kedua kelompok tersebut dinamakan sebagai orang-orang Boda yang berarti
bodoh, orang-orang Boda ini adalah mereka yang belum atau sama
sekali tidak mengetahui tentang ajaran Islam dan masih menganut
paham animisme peninggalan leluhur mereka. Meskipun terdapat
perbedaan mendasar di antara ketiga kelompok tersebut, mereka
tetap menyebut diri mereka sebagai penganut Islam (Muslim, et.all,
1996). Masyarakat Islam waktu lima terkonsentrasi di dataran tengah
Lombok, sementara Islam wetu telu lebih banyak menempati desadesa pinggiran sebelah Utara dan Selatan Lombok, sedangkan
orang-orang boda menetap di daerah-daerah pedalaman atau pelosok yang sangat sulit dijangkau oleh orang luar (Muslim, et.all,
1996: 2-4).
Adanya tiga jenis paham Islam yang dipraktikkan di Lombok
ini tidak terlepas dari sejarah keberadaan agama agama di pulau tersebut. Agama Islam masuk ke Lombok jauh sesudah masyarakat di
wilayah tersebut memeluk agama Hindu yang bercampur dengan
animisme, ataupun sebaliknya animisme yang terpengaruh ajaran
Hindu. Salah satu contoh dari kepercayaan itu adalah; mereka meyakini bahwa roh orang yang sudah mati naik ke gunung Rinjani
287

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 275 - 300

dan sewaktu waktu bisa pulang menemui anak cucu dan keluarganya di rumah (Muslim, et.all, 1996:51). Situasi masyarakat dengan
sistem kepercayaannya ini masih berlangsung ketika Islam mulai
masuk ke Lombok sekitar abad ke-16. Pada mulanya Islam ditolak
karena dianggap bertentangan dengan keyakinan yang telah ada,
namun seiring berjalannya waktu Islam sedikit demi sedikit mulai
berkembang.
Merujuk pada catatan catatan yang termuat dalam babad ataupun sejarah yang ditulis di atas daun lontar diketahui bahwa Sunan
Giri, salah satu dari wali sembilan (walisongo), disebut sebagai tokoh yang memperkenalkan Islam ke pulau Lombok. Dikisahkan
bahwa pada mulanya perkenalan Islam di wilayah tersebut tidak
berhasil, akan tetapi setelah kedatangan kembali wali tersebut untuk
membenarkan pelaksanaan ajaran Islam, maka agama ini mengalami perkembangan secara signifikan (Bartholomew, 2001). Setelah
runtuhnya kerajaan Majapahit dan kemudian digantikan dengan
kerajaan-kerajaan Muslim kecil pada abad ke-17; kerajaan-kerajaan
muslim ini kemudian menjalin hubungan dagang sampai ke pesisir
Lombok dan Maluku yang juga menfasilitasi penyebaran Islam dalam skala yang lebih luas. Mula-mula, Islam yang dipraktikkan di
Sasak adalah percampuran antara kepercayaan-kepercayaan Austronesia dengan Islam; konversi ke dalam Islam tersebut tidak membutuhkan penerimaan secara menyeluruh karena agama baru ini dianggap sesuai dengan kepercayaan yang telah ada. Tipe Islam ini
merujuk pada praktik Islam yang dilakukan oleh kelompok wetu
telu (Bartholomew, 2001: Ecklund, 1977).
Terjadinya percampuran paham dalam praktik keagamaan ini
juga tidak terlepas dari cara penyebaran ajaran Islam yang dilakukan oleh para penyiar Islam, mereka ini mengajarkan Islam dengan
menyesuaikan dengan kebudayaan dan adat-istiadat setempat. Dengan
cara ini Islam mulai berkembang dengan pesat; pelajaran pertama
yang disampaikan adalah pembacaan syahadat sebagai dasar keimanan. Dakwah ini bertujuan untuk menyadarkan umat manusia
agar tidak sombong dalam kehidupan sehari hari. Mengenal kebesaran Tuhan adalah titik awal ketauhidan, pada fase ini mereka diajarkan tentang kasih Tuhan kepada umat manusia, serta diperkenalkan dengan keagungan pribadi Nabi Muhammad yang tanpa cacat dan
cela (Muslim, et.all, 1996:52).
288

Naskah Nabi Haparas Zakiyah

Pada tahap selanjutnya, jauh sebelum penjajah Belanda tiba di


Lombok, Islam dijadikan simbol persatuan oleh orang-orang Sasak
dalam melawan penjajahan yang dilakukan oleh Bali. Pada masa
kolonisasi oleh Bali ini diyakini juga berpengaruh pada praktik keagamaan wetu telu, meski tidak diketahui dengan pasti seberapa
besar pengaruh tersebut. Kemudian, pada tahun 1894 Belanda berhasil menguasai Lombok; pada awalnya Belanda datang ke pulau
ini atas nama membantu beberapa tokoh Sasak mengusir maharaja
Bali dari Lombok.
Keberadaan Belanda di pulau Lombok juga membawa pengaruh
bagi eksistensi Islam, pengaruh itu terlihat dalam upaya mereka secara terus menerus dalam mengklasifikasi dan mengkategorisasi
budaya serta agama agama orang Sasak. Mereka ini berusaha membedakan antara adat-istiadat lokal Sasak dengan Islam. Pada era ini
orang-orang Sasak lebih menegaskan identitas sosial dan politik
melalui solidaritas Muslim, cara ini dipandang sebagai jalan yang
efekif untuk melepaskan diri dari hegemoni politik dan budaya
Barat (Bartholomew, 2001:129). Bahkan pada tahun 1930-an, muncul
fenomena tentang Islam yang lebih terorganisasi, lebih kuat dan
ortodoks. Sebagai contohnya adalah semakin meningkatnya popularitas cerita Amir Hamzah di masyarakat, orang-orang Muslim ortodoks menikmati cerita itu melalui media wayang kulit (Ecklund,
1977). Pertunjukan wayang kulit ini adalah kesenian yang mendapat pengaruh dari Jawa. Masa penjajahan dan perang pada akhirnya
berhenti dan mulai babak baru kemerdekaan, pada saat yang sama
Islam ortodoks terus berkembang.
Perkembangan Islam di Lombok dari masa ke masa sebagaimana tersebut di atas telah membawa warna tersendiri bagi kehidupan masyarakat Lombok, salah satunya adalah berkembangnya tradisi literasi pada penduduk wilayah ini. Disebutkan oleh Kumar dan
MacGlynn (1996) bahwa tradisi tulis di Lombok di bawa oleh para
pedagang Muslim dari pesisir/pantai utara Jawa yang datang pada
abad ke-16 dan ke-17. Orang-orang Jawa yang datang ini selain
berdagang, mereka juga menyebarkan agama, budaya dan literatur.
Dan bahkan, banyak karya-karya sastra Sasak hampir mirip dengan
karya dari pesisir utara Jawa. Selain itu, banyak pula naskah-naskah
Sasak yang menggunakan bahasa Jawa baik Jawa Madya maupun
Kawi. Naskah-naskah tersebut tentu telah berperan penting dalam
289

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 275 - 300

proses perkembangan agama Islam; demikian pula dengan naskah


Nabi Haparas tentu telah memberi pengaruh dalam penyiaran dan
perkembangan Islam di Lombok.
Naskah Nabi Haparas yang menjadi fokus kajian ini adalah
naskah yang disalin tanpa ada penanggalan, sehingga tidak diketahui dengan pasti kapan naskah ini diproduksi dan pada masa yang
mana naskah ini ditulis. Sebagai perkiraan, bisa jadi naskah Nabi
Haparas ini disalin pada masa kolonial Belanda, karena dilihat dari
informasi yang termaktub dalam teks bahwa naskah ini asalnya ditulis dengan aksara Arab dan bahasa Jawa, maka dimungkinkan
naskah Nabi Haparas ini disalin dari naskah Singir Parase Nabi
yang selesai ditulis pada hari Rabu tanggal 8 Rajab 1323 Hijriah atau
sama dengan tanggal 10 September 1905.
Dengan demikian, naskah Nabi Haparas ini kemungkinan disalin pada tahun setelah tahun 1905. Penggunaan bahasa Jawa Madya
dalam teks ini menggambarkan bagaimana pengaruh Jawa masuk
dalam penulisan naskah ini. Seandainya perkiraan ini benar, maka
naskah ini diproduksi ketika umat muslim semakin terorganisir untuk
menentang kolonisasi pihak Belanda. Di sisi lain, naskah ini bisa
juga merupakan naskah yang disalin dari naskah Hikayat Nabi Bercukur yang berangka tahun 1303 atau 1885, karena di dalam teks
Nabi Haparas terdapat kemiripan satu sama lain dan hikayat ini ditulis dengan huruf Jawi, yakni aksara Arab dan bahasa Melayu.
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai masalah ini dibutuhkan
penelitian lagi dengan menggunakan metode-metode yang lain, salah
satunya adalah metode stemma yakni naskah-naskah diperbandingkan dan naskah disusun dengan susunan stemma yaitu dengan cara
memberikan nama naskah-naskah yang diperbandingkan dengan memberikan tanda-tanda dengan huruf latin; A,B,C dan seterusnya. Di
sini naskah ditelusuri mana naskah yang berkedudukan sebagai
naskah induk atau arketip dan mana naskah yang berkedudukan
sebagai hiparketip atau subinduk (Tjandrasasmita, 2006).
Pada masa dahulu, penulisan ataupun penyalinan naskah biasanya diprakarsai oleh orang yang berpengaruh ataupun terpandang.
Kegiatan penyalinan berlangsung sangat pesat pada abad XIX M
yakni kebanyakan atas perintah pembesar atau pun pesanan para kolektor Bangsa Barat (Sudjiman, 1991: 41). Pada pertengahan abad ke19, kantor Algemeene Secretarie di masa pemerintahan Belanda
290

Naskah Nabi Haparas Zakiyah

memiliki skriptorium Melayu yang telah menghasilkan salinan-salinan naskah. Di Yogyakarta, pada masa pemeritahan Hamengku
Buwana V (1822-1855) juga memiliki skriptorium yang menghasilkan salinan-salinan naskah. Selain itu, penyalinan naskah juga dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai maksud dan tujuan; di antaranya adalah untuk kepentingan pribadi, ataupun untuk komersial
yakni untuk persewaan. Zaman dahulu tempat-tempat persewaan
naskah juga melakukan penyalinan naskah (Keraf, 1994). Ada beberapa alasan yang biasanya dikemukakan berkenaan kenapa suatu
naskah disalin yakni: 1) karena pentingnya naskah tersebut, 2) naskah
itu digemari masyarakat, 3) karena faktor magis yang ada dalam naskah yakni untuk mendapatkan kekuatan magis dari teks yang disalinnya (Sudjiman, 1991).
Sedangkan tujuan dari penyalinan yang dilakukan terhadap
naskah Nabi Haparas ini adalah karena penyalin ingin mengetahui
isi dan maksud dari teks, maka di sini penyalin mengganti hurufnya
yang pada awalnya adalah huruf Arab. Hal ini tercantum dalam
tembang ke-7 dan ke-8 yaitu:
Dini kaule hanurun, ceritane Nabi Haparas. Dining wanghangapus ringgite,
cerite handike nabi, pakse langkunging sang kakot, moge dohing tulak sari,
pinatut basa Jawi, kayat pamulane dangu, mangke kedah ngong wikan, dadi
penglipuring brangti, singamaca moga doh bale hing dunia
(Saya menurunkan, cerita Nabi Bercukur. Karena aku mengganti hurufnya,
cerita baginda Nabi, maksud para ahlinya, semoga dijauhkan dari balak,
menggunakan bahasa Jawa, pada awalnya hurufnya Arab, karena saya ingin
mengetahui, barang siapa yang membaca, mudah-mudahan dijauhkan dari
balak dunia).

Nuansa Islam dalam Naskah Nabi Haparas


Naskah Nabi Haparas merupakan salah satu naskah Sasak yang
dapat dikategorikan sebagai naskah yang bernuansa keagamaan Islam;
Nuansa ini bisa terlihat dengan jelas dalam penggunaan beberapa
istilah atau kosa kata yang merujuk pada Islam, tokoh dan isi cerita.
Cerita dalam teks ini diawali dengan menggunakan kata bismillh
dan penyebutan syahadat, kemudian cerita ini berisi tentang kisah
Nabi Muhammad yang merupakan Nabi pembawa ajaran Islam. Selain
itu, terdapat pula tokoh seperti malaikat Jibril, malaikat Munkar dan
Nakir. Selain itu, naskah Nabi Haparas yang bercerita tentang Nabi
291

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 275 - 300

bercukur dapat dikategorikan sebagai salah satu karya sastra zaman


Islam apabila merujuk pendapat yang diutarakan oleh R. Roolvink
sebagaimana dikutip oleh Liaw Yock Fang (1991). Roolvink membagi sastra zaman Islam ke dalam lima genre yaitu: cerita Al-Quran,
cerita Nabi Muhammad, cerita sahabat Nabi Muhammad, cerita
Pahlawan Islam, dan sastra kitab.
Cerita Al-Quran adalah cerita yang memuat kisah nabi-nabi
dan tokoh tokoh yang termaktub dalam Al-Quran; cerita Nabi Muhammad merupakan kisah yang berkaitan dengan berbagai hal menyangkut kehidupan Nabi Muhammad; cerita sahabat Nabi merupakan cerita yang mengisahkan sahabat-sahabat Nabi. Adapun cerita
pahlawan Islam biasanya berisi tentang kisah tokoh-tokoh pra-Islam yang berperan dalam perkembangan Islam. Sedangkan sastra
kitab adalah sastra yang memuat pemikiran Islam yang terdiri dari
empat hal yaitu, fikih, kalam, tasawuf, dan filsafat (Fang, 1991).
Adapun cerita tentang Nabi Muhammad terdiri dari tiga jenis
yaitu; pertama, mengisahkan riwayat nabi dari kelahiran sampai
wafat yang dipercayai berasal dari sastra sirah (riwayat hidup Rasulullah) yang termasuk dalam kategori ini adalah, Hikayat Muhammad Hanafiyah dan Hikayat Nabi. Kedua, cerita yang mengisahkan
tentang mukjizat Nabi dan mengagung-agungkan kemuliaan Nabi.
Kisah-kisah tersebut diyakini berasal dari sirah dan kumpulan hadis
dan di antara yang termasuk jenis ini adalah Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Bulan Berbelah dan lain lainnya. Ketiga, cerita tentang
peperangan Nabi dalam mengembangkan ajaran Islam yang diambil
dari sejarah perang yang heroik dan dramatik, di antaranya adalah
Hikayat Raja Lahat dan Hikayat Raja Khandak (Budiman, 2007:
Fang, 1991).
Berdasarkan kategorisasi tersebut di atas naskah Nabi Haparas
dapat dimasukkan dalam jenis kedua, yakni cerita yang mengisahkan mukjizat atau mengagung-agungkan kemulian Nabi, hal ini bisa
terlihat dalam beberapa kalimat dalam teks. Berikut ini kalimat
maupun kata yang menunjukkan hal tersebut:
a. Perintah langsung dari Allah untuk bercukur.
Hiye Nabi Muhamamad Mursal, punike sabde yang widi, wonten hing dalem
surat, pinasti hing tuan singgih, tuan kinen hakuris.

292

Naskah Nabi Haparas Zakiyah

(Karena Muhammad adalah Rasul, itu firmannya Allah, yang ada di dalam
surat (Al-Quran), yang dipastikan oleh tuan sendiri, baginda di suruh bercukur).

b. Destar (sorban/ikat) kepala yang dipakai Nabi setelah dicukur di


ambil langsung dari surga.
Pengandikanire Yang Sukseme, mangke maring Jibril, sireng mangkate den
henggal, manjinge hing suargiki, hangambile sireki, selembar godonging kayu, godonging kastube, lahambilen din hagelis, mungulembar hiku karyanane destar.
(Tuhan berfirman, kepada malaikat Jibril, kamu segera berangkat, masuk ke
dalam surga, kemudian kamu ambil, selembar daun kayu, namanya daun
kastube, cepat kamu ambilkan, hanya selembar untuk destar).

c. Peralatan untuk mencukur dari surga yang langsung dianugerahkan oleh Allah.
Kinendere yang sukseme, pengangge saking suargi, saking nugrahaning mare hing tuan.
(Perintah dari Yang Kuasa, semua peralatannya dari surga, dianugerahkan
oleh Tuhan kepadamu).

d. Malaikat Jibril yang mencukur Nabi.


Lingire Nabi Muhammad, maring sire Jibrail, sape kang amaras hambe, jibril humatur aris, saking pakoning Yang Widi, kangambe kinen hacukur,
(Sabda Nabi Muhammad, kepada Jibril, siapa yang mencukur hamba, jibril
menjawab, karena perintah dari Yang Kuasa, hamba yang mencukur tuanku)

e. Rambut Nabi tidak ada yang jatuh ke tanah


Mulane tan tibeng lemah, mankin remantuan singgih, dening samiye tinampanan, dening sakeh widadari,
(Sebabnya tidak ada yang jatuh ke tanah, semua rambut tuanku, semuanya
itu, diambil semua oleh bidadari)

f. Rambut Nabi dijadikan azimat dan gelang tangan oleh bidadari.


Firmaning Yang Maha Muliye, mangke aring widedari, pade mangkate denenggal, maring kekasih sun singgih, sire lungake sami, hamupue remanipun,
pade kinarye jimat, remane kekasih mami, pade talikne aring egennire, o,
(Firman Yang Kuasa, kepada semua bidadari, kamu semua berangkat, kepada kekasihku, kamu sama-sama berangkat, mengambil rambut kekasihku,
kamu jadikan azimat, rambutnya kekasihku, kamu jadikan gelang tanganmu).

293

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 275 - 300

g. Manfaat luar biasa besar yang akan di dapat bagi siapa saja yang
menulis/menyalin, menyimpan, membaca, mendengar, membawa,
dan percaya akan cerita Nabi Haparas, antara lain adalah:
- Terhindar dari siksa api neraka dan bebas dari penyakit.
Supaye sire sedaye, sunluput aken hing berajung, saking hing api nerake,pome sing sapi nimpeni, hing cerite hiki, kekasih ing sun hacukur, saking enggeni satungagal, sun luput aken penyakit,
(Supaya kamu semua, kelak aku ampuni, dari siksa api neraka, jadi siapa
saja yang menyimpan, ceritanya ini, kekasih (nabi) bercukur, dari tempat yang satu, aku bebaskan dari penyakit)

- Terhindar dari rasa sakit ketika dicabut nyawanya.


Sun luputaken penyakit, tatkalanire sekarat, lagi pinecat rohe, benjang
ingsun wihi sapeat,
(Saya bebaskan dari penyakit, nanti diwaktu sakaratul maut, waktu dicabut nyawanya, kelak akan mendapat safaat)

- Akan mendapat keselamatan.


Make sakowehing kang muliye,o. sun selamet aken sami, hing dunie tekeng aherat, sun luput aken sakowehin sikse
(Semua akan mendapatkan keselamatan. Akan saya selamatkan semuanya, dari dunia sampai akhirat, aku bebaskan dari segala galanya, dari
bermacam siksa).

- Terhindar dari pertanyaan kubur dan semua siksa sampai hari kiamat.
Mung Karun Nakirun hike, lan sakowehing sikse kubur, miwahing dine
kiyamat, o,
(soal/pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir, semua siksa akan lebur,
sampai hari kiyamat).

- Mendapat Rahmat dan selamat dari bencana.


Lan tan pegat sun tingali, tan pegat sakowehing rahmat, lan sun rakes
bencanane, jelme lawan belis lamat,
(Dan tetap saya awasi, dan tidak putus rahmatku, juga saya pelihara dari
bencana, dari manusia iblis dan setan laknat)

- Dijauhkan dari kesusahan dan kemiskinan


Lamun wong ingetene, siren sun weki rahayu, aduh saking duke cipte,o,
(kalau selalu ingat [cerita Nabi Haparas ini], saya berikan keselamatan,
dan dijauhkan dari kesusahan dan kemiskinan).

294

Naskah Nabi Haparas Zakiyah

- Dipelihara isi rumahmu dan terhindar dari kebakaran


Miwah cerita puniki, simpening wismanire, sun raksanen se isine, wismanire sun raksehe, aduk aken hing bale, asal api tan tumuwuh, geni
padam dening tirte,o,
(Dan juga yang menyimpan cerita ini, saya pelihara isi rumahmu, dan
rumahnya akan saya jaga, rumahnya dijauhkan dari penyakit, bila disimpan di dalam rumah, rumahmu tidak akan kebakaran, seperti api disiram oleh air).

- Dilipat gandakan harta bendanya


Lamun cerite punike, ginawe aken lelampah, dening pekir miskin teko,
hiku sami asung ene, pire hing pawihire, maring pekir miskin iku, hingsun hangiline sire, o. Upame arte sedemi sun iline itung dase, saking
pundi kang pawehe, saking kudrate Yang Sukseme.
(Kalau cerita ini dibawa musafir, oleh para fakir atau miskin, semua
akan diberikan, keistimewaan kepadanya, kepada fakir miskin itu, saya
yang menggantikannya. Umpamanya harta benda seribu, saya gantikan
dengan tujuh ribu, karena besar pemberiannya, sebab semua dari Allah).

- Akan mendapat syafaat Nabi.


Lan antuk sapaat nabi, lanang sulan sesimungan,samiye antuk berkat
karone,lan asung lan kang sinungan,
(Dan juga akan mendapat syafaat nabi,langsung diberikan, semua mendapatkan berkah,dan bagi yang menyimpan akan diberikan,)

- Akan mendapatkan rezeki.


Datunging cerite nabi, tatkalanire pinaras, katuranane gelis mengko,rahmat ingkang nunggaldine, serte rezekinire, selakse sedine rauh,
tanane tuwanging rahmat.
(Tentang ceritanya nabi, diwaktu bercukur, segera akan diberikan, rahmat yang tiada putusnya, serta rezekinya, tiap hari akan datang, tidak
ada putus rahmat-Nya turun)

- Akan dijaga dari hantu dan binatang buas.


Yen binakte jimat iki, hing karang pringgepunike, hingkang akih durbiksane, miwah sakoweh sato galak, pade wedi sedayu,
(Dan kalau dipakai menjadi jimat, atau pergi ketempat yang angkar,
tempat itu banyak hantunya, dan banyak binatang buas, semua tidak
berani)

- Akan mendapat keselamatan saat berperang.


Lamun binakte hajurit, sakowehe satru te sirne, bedil wahos pedang
totok, tanane hamuyatane, tur kuat paudaniore, saking nugrahaning
yang agung, kang hambakte cerite.

295

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 275 - 300

(Dan kalau kita bawa berperang, musuh tidak ada yang berani, bedil
pedang panah tidak mempan, semua tidak berguna, yang berperang diberikan kekuatan, karena pertolongan dari Tuhan, bila membawa cerita
ini).

- Akan mendapat kebahagian dan disukai banyak orang.


Lamun ane karyaniki, atawe yen gegaweyan, hiku dadiye glis mangko,
lan hamanggiye reki rahayu, akih wongike welas, tanane bendoning ratu, mpergaule kinasihan.
(Kalau ada pekerjaan, ataupun ada masalah, semuanya cepat selesai, kita
dapat kebahagiaan, banyak yang senang pada kita, tidak ada yang ragu,
kita semua dikasihani).

- Akan mati syahid


Lan manggih benjang yen mati, tan manggih merge kesasar, wong iku
sahid patine, hingkang hagaduh cerite,
(Dan kalau meninggal, tidak akan kesasar, disebut juga mati syahid, bagi
yang meyakini cerita ini)

h. Bagi yang tidak percaya terhadap cerita ini akan di benci Tuhan
dan akan menemui jalan sesat serta dikategorikan sebagai munafik.
Lanore percaya malih, miwah tan harse miyarse, hiku pasti wong munapik,
hasengit ingsun kalintang,
(Bila tidak percaya, dan tidak mau mendengarkan, itulah orang munafik
namanya, Saya sangat benci, )
Sing sape mahido rike, yadiyan sriking manak, lamun hamakidoe, seyektine
wong puniku, pasti manggih marge pape
(Barang siapa yang tidak percaya, atau ragu-ragu dalam hati, dan yang meremehkan cerita ini, orang itu nantinya, pasti menemui jalan sesat)

Pesan Keagamaan dalam Teks Nabi Haparas


Naskah yang telah ditulis puluhan atau bahkan ratusan tahun
yang lalu memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat.
Dari sebuah naskah akan dapat diketahui berbagai informasi dan
pengetahuan yang bermakna. Naskah adalah rekaman buah pikiran,
pandangan hidup, peristiwa masa lalu, maupun data-data penting
lainnya. Menurut Manyambeang (1987), pada waktu dahulu naskah
berfungsi sebagai: (a) pegangan bagi keturunan raja dan bangsawan
296

Naskah Nabi Haparas Zakiyah

untuk mengetahui silsilah leluhur mereka, (b) menjadi sarana pendidikan bagi masyarkat, (c) merupakan hasil seni dan sastra, (d)
untuk keperluan praktis bagi masyarakat. Sementara itu, Mujib,
dkk. (2004) menyebutkan bahwa naskah merupakan sumber informasi keagamaan dan budaya.
Merujuk pada pendapat Mujib, dkk (2004) dan Manyambeang
(1987), naskah Nabi Haparas adalah naskah yang dapat dikategorikan sebagai sumber informasi keagamaan dan sekaligus merupakan
hasil seni sastra. Hal ini didasarkan pada teks Nabi Haparas yang
berisi tentang kisah Nabi Muhammad dan memuat ajaran-ajaran Islam; sementara dari segi bentuknya, naskah ini berupa cerita yang
ditulis dalam bentuk tembang/syair.
Dalam teks Nabi Haparas terdapat pesan-pesan keagamaan khususnya tentang Islam antara lain adalah:
a. Ajakan untuk mengesakan Allah serta meyakini Allah dan Rasulnya.
Asyhaduanla puniki, ilaha illallah hike, arti kuketahui reko, dengan hati putih suciye, hiye putus sinak iman, bahwe punike sungguh, tiada tuhan hingkang muliye.
(Aku bersaksi bahwa, ilaha illaallah itu, artinya aku bersaksi, dan diyakinkan
dengan hati suci, keyakinan yang sesungguhnya, tiada Tuhan selain Allah,
yang paling mulia).
Kang sinembak kang pinuji, setuhu ne ye allah, wajibul ujud te teko, jadikan
sakowehing alam, kekak adanye sadiye, wa asyhadu ane puniku, muhammad
rasulullah.
(Yang disembah dan dipuji, hanya Allah yang sebenarnya, hukumnya wajib
diyakini (percaya), dia pencipta alam semesta, menguasai semua isinya, dan
aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah).
Artinya kuketahui, dengan hati putih suciye, punike te setuhune, Nabi
Muhammad utusan, hing yang kang murbing jagat, kang dadi julme tu
wuwuh, hambawe iman Islam.
(Aku mengetahui (meyakini), dengan hati yang suci, dan sebenar-benarnya,
Nabi Muhammad utusan-Nya, Allah yang mencipta alam ini, baik manusia
jin dan alam semesta serta isinya, memberikan iman dan Islam)

b. Larangan menyekutukan Allah dengan makhluk hidup serta


saran untuk selalu mengingat dosa.
297

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 275 - 300

Hangesakan sang widi, ngestokan raje kaula, hilingene yen ginawe.


setuhune temak rasan, apan hakoweh dumadiye, kurip mati temah hipun,
hiling rage nandang dose.
(Bila mau mengesakan Allah, jangan samakan antara raja dengan rakyatnya,
sebagai hamba Allah kita selalu ingat pada-Nya, bisa berbicara dan dilihat,
adalah pencipta semesta, sejak masih hidup sampai mati, kita selalu ingat
dengan dosa).

c. Saran untuk membersihkan diri dan mendengarkan kata hati.


Hiku titah hing dumadi, marmane langsahing awak, inget rage tanpe gawe,
dadi hane linur brangte,
(Semua itu adalah perintah-Nya, marilah bersihkan diri, ingatlah bahwa jiwa
ini tidak ada gunanya, kita harus mendengarkan kata hati, diceritakan tentang
nabi Allah, akan saya kisahkan, di saat bercukur).

Selain itu, cerita tentang Nabi bercukur ini merupakan salah


satu kisah kehidupan pribadi Rasulullah yang bisa dijadikan sebagai
tauladan bagi umat Islam, karena secara tidak langsung cerita tersebut menggambarkan bagaimana pentingnya menjaga kebersihan
dan kerapian anggota tubuh dengan mencukur rambut. Selain itu,
teks ini secara umum menggambarkan kemuliaan Rasulullah yang
dapat meneguhkan keyakinan umat Islam akan keagungan Nabi.
Dengan membaca penggalan kisah Nabi Muhammad yang termuat dalam naskah Nabi Haparas ini paling tidak ada beberapa
manfaat yang bisa dipetik antara lain adalah: (a) dapat mengetahui
sebagian kecil kisah hidup Nabi Muhammad, memahami kondisi
ataupun latar yang melingkupi saat Nabi dicukur karena kisah ini
adalah cerita yang jarang ditemukan dalam buku-buku tentang biografi Rasulullah secara umum; (b) dapat mengambil hikmah dari cerita
tersebut dan mengetahui suasana kehidupan/peristiwa pada masa itu.
Penutup
Berdasarkan hasil penelusuran diketahui bahwa naskah Nabi
Haparas koleksi Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB) berjumlah 44 buah. Naskah Nabi Haparas yang diteliti adalah naskah
dengan kode inventaris 07.506 dan kode registrasi 1566 koleksi
Museum negeri NTB. Secara umum naskah ini dalam keadaan baik,
teks masih dapat dibaca.
298

Naskah Nabi Haparas Zakiyah

Secara garis besar teks ini memuat tiga bagian yaitu: pertama,
kisah Nabi yang dicukur oleh Malaikat Jibril atas perintah Allah
swt. pada hari Senin bulan Ramadan setelah melaksanakan salat
dua rakaat. Kedua, memuat tentang manfaat yang akan di dapat
bagi siapa saja yang menyimpan, menyalin, membawa, dan membaca kisah Nabi Haparas, juga malapetaka bagi yang tidak mau
memyimpan, membaca atau mendengarkan cerita ini. Ketiga, berisi
anak kidung yaitu doa-doa. Naskah ini merupakan naskah Sasak
yang bernuansa keagamaan Islam. Nuansa ini terlihat dengan jelas
dalam teks yakni dalam penggunaan istilah dan kalimat yang merujuk pada Islam.*

Daftar Pustaka
Abdullah, A, dkk. 2007. Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi Interkoneksi; Sebuah
Ontologi. Yogyakarta: SUKA Press.
Ahmad, M.R. 2006. Biografi Rasulullah; Sebuah Studi Analitis Berdasarkan SumberSumber yang Otentik. Jakarta: Qisthi Press.
Al-Afifi, T.A. 2007. Sifat dan Pribadi Muhammad; Kajian tentang Figur, Nasab,
Kebiasaan, Pergaulan, Akhlak, dan Ibadah Rasulullah Saw. Jakarta: Senayan.
Archer, J.C. 2007. Dimensi Mistis dalam Diri Muhammad. Yogyakarta: Diglossia.
Arifin, B & Al-Muhdhor, Y.A & Rayes, U.M. 1993. Tarjamah Sunan An Nasaiy.
Semarang: CV Asy Syifa.
Arzaki, (Et. all). 2001. Nilai-nilai Agama dan Kearifan Budaya Lokal; Suku Bangsa Sasak
dalam Pluralisme Kehidupan Bermasyarakat. NTB: Redam.
Bakti, N. 2000. Pengaruh Budaya Hindu (Bali) TERHADAP Pelaksanaan Syariat Islam
dalam Adat Istiadat Masyarakat Bayan Kabupaten Dati II Lombok Barat (Sebuah
Tinjauan Historis). Skripsi tidak diterbitkan untuk Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Mataram Jurusan Syariah.
Barthes, R. 2007. Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bartholomew, J.R 2001. Alif Lam Mim; Kearifan Masyarakat Sasak. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Behrend, T.E. 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Budiwanti, E. 2000. Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima. Yogyakarta: LkiS.
Bungin, B.M. 2007. Peneltian Kualitatif; Komunikasi, Eonomi, Kebijakan Publik dan
Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ecklund, J.L. 1977. Marriage, Seaworm, and Song: Ritualized Responses to Cultural
Change in Sasak Life. Tesis tidak dipublikasikan untuk Fakultas Paska Sarjana
Universitas Cornell

299

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 275 - 300


Ekadjati, Edi S. (ed). 2000. Direktori Edisi Naskah Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Fahruddin, H.S & Fachrudin, I. 2001. Pilihan Sabda Rasul: Hadis Hadis Pilihan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Haekal, M.H. 1999. Sejarah Hidup Muhammad. Bogor: PT.Pustaka Litera Antar Nusa.
Herman, (Et. all). 1992/1993. Katalog Naskah Lontar Koleksi Museum Negeri Nusa
Tenggara Barat Tahun 1978-1979. Mataram: Museum Negeri NTB
Ikram, A. 2004. Permasalahan Naskah Nuantara. Dalam Ikram, A. Et.all. Naskah, Tradisi
Lisan dan Sejarah. Jakarta: Akademia bekerja sama dengan PMB-LIPI, PSDR-LIPI
dan ATI.
Jorgensen, M.W & Phillips, L.J. 2007. Analisis Wacana Teori dan Prakek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Keraf, G. (Et. all) 1994. Lembaran Sastra Indonesia. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Khalil, M. 1983. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw. Jakarta: Bulan Bintang.
Kramadibrata, D. 2007. Metode Penelitian Filologi. Materi dipresentasikan pada Diklat
Penelitian Naskah Keagamaan yang diselengarakan oleh Balai Diklat Tenaga Teknis
Depag, 1 November 2007- 6 Desember 2007.
Kumar, A & McGlynn, J. H. 1996. Illumination. Jakarta: The Lontar Foundation.
Loir, H.C & Fathurahman. 1999. Khazanah Naskah; Panduan Koleksi Naskah-naskah
Sedunia. Jakarta: Ecol Francaise dExtreme Orient, Yayasan Obor Indonesia.
Lubis, N. 2007. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Puslitbang Lektur
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
Muslim, Et.all. 1996. Paham Buda di Lombok Barat. Laporan Penelitian tidak diterbitkan.
Mataram: Fakultas Tarbiyah Mataram Sunan Ampel.
Mustain & Umam, F. 2005. Pluralisme, Pendidikan Agama & Hubungan Muslim-Hind di
Lombok. Mataram: LKIM IAIN Mataram.
Pantu, A. 2007. Hikayat Nabi Miraj. Makalah dipresentasikan pada Seminar Hasil
Penelitian pada Diklat Penelitian Naskah Keagamaan yang diselengarakan oleh Balai
Diklat Tenaga Teknis Depag, 31 November 2007- 03 Desember 2007
Pudjiastuti, T. 2007. Kodikologi. Materi dipresentasikan pada Diklat Penelitian Naskah
Keagamaan yang diselengarakan oleh Balai Diklat Tenaga Teknis Depag, 01
November 2007- 06 Desember 2007.
Pudjiasuti, T. 2006. Naskah dan Studi Naskah. Bogor: Akademia.
Sudjiman, P. 1991. Sang Penyalin dan Goresan Penanya. Dalam Mulyadi, S.W.R. Naska
dan Kita. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Tjadrasasmita, U. 2006a. Kajian Naskah-naskah Klasik dan Penerapannya bagi Kajian
Sejarah Islam di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Departemen Agama RI.
-------. 2006b. Beberapa Petunjuk Penelitian Naskah-Naskah Kuno Islam di Indonesia.
Makalah disampikan pada Diklat Peneltian Naskah tahun 2006
http://www.kompas.com/9701/19/LATAR/lomb.htm

300

Ibrhm al-Krn, Sebuah Telaah Biografis Oman Fathurahman

Ibrhm al-Krn:

Sebuah Telaah Biografis1


Oman Fathurahman
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Ibrahim al-Krn could be considered to be one of the greatest exegete


of the mystic-philosophy of Ibn Arab, which has a great influence in the
Malay Archipelago. Besides that, al-Krn had a strong intellectual and
impact on some Indonesian Malay scholars particularly, to mention is on
Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri through Syattariah tareka where he was
the main caliph. However, due to the lack of the access of information to his
works, the studies of al-Krns works are rare and few. The thought of alKrn, especially on the doctrine of wahdat al-wujd (the unity of being or
monism) being reflected in his works have not attracted the researchers of the
Malays yet. It is for the reason mention above, this writing is aimed at the
effort to introduce the thought of al-Krn.
Kata kunci: al-Krn, tasawuf, tarekat, wadah al-wujd,

Pengantar
Sejarah awal islamisasi di Nusantara telah mencatat sejumlah
prestasi gemilang dalam bidang keilmuan dan peradaban Islam,
terutama dengan lahirnya karya-karya tulis keislaman karangan
para ulama Nusantara, khususnya pada abad ke-17 dan 18. Hal itu
sangat dimungkinkan berkat terjalinnya hubungan politik dan
keagamaan yang sangat baik antara masyarakat Muslim di wilayah
1

Tulisan ini adalah bagian dari hasil riset mandiri antara bulan Juni 2006April 2008 di Orientalisches Seminar, Universitt zu Kln, Jerman, atas beasiswa
dari The Alexander von Humboldt-Stiftung. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Prof. Dr. Edwin Wieringa, yang telah mengundang penulis untuk
melakukan riset tersebut.

301

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 301 - 320

Nusantara dengan Muslim di wilayah lain, khususnya Makkah dan


Madinah (aramain) sebagai pusat keilmuan Islam saat itu. Seperti
ditunjukkan oleh Azra (1994), banyak ulama Nusantara yang
berangkat ke Tanah Arab dengan alasan awal untuk menunaikan
ibadah haji, dan kemudian sekaligus bermukim serta mempelajari
ilmu-ilmu keagamaan di sana dalam jangka waktu yang cukup
panjang. Beberapa di antara mereka, seperti Abdussamad al-Palimbani misalnya, bahkan melanjutkan karir keilmuannya di aramain
hingga akhir hayatnya.
Di aramain, para ulama Nusantara, yang dalam sumbersumber Arab disebut sebagai Jamah al-Jwyin atau Ab alJwyin ini belajar kepada sejumlah ulama terkemuka berkaitan
dengan berbagai bidang keilmuan Islam, seperti fikih, tafsir, hadis,
tasawuf, dan lain-lain. Ketika kembali ke Nusantara, merekapun
mentransmisikan pengetahuannya melalui media belajar-mengajar
dan penulisan karya-karya keagamaan dalam bahasa lokal, seperti
bahasa Melayu, Jawa, Sunda, dan lain-lain. Tak pelak, pemikiran
dan ajaran guru-guru mereka pun sedemikian berpengaruh dan
ditransmisikan secara turun temurun kepada Muslim Nusantara
masa berikutnya, baik melalui proses belajar-mengajar tersebut,
maupun melalui pembacaan atas karya-karya mereka.
Dengan demikian, jelas bahwa mempelajari dan mengetahui
profil para ulama aramain yang menjadi guru bagi para ulama
Nusantara ini menjadi hal yang sangat penting, untuk menelusuri
akar-akar pemikiran keislaman yang berkembang dan tersebar
hingga saat ini.
Salah seorang ulama aramain yang cukup berpengaruh terhadap kecenderungan pemikiran ulama Nusantara adalah Ibrhm alKrn. Ia terutama adalah guru, dan sekaligus kawan, bagi Syaikh
Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri (1615-1693), seorang ulama
terkemuka asal Aceh yang telah menghasilkan banyak karya lokal
keagamaan di bidang tasawuf, tafsir, fikih, hadis, tauhid, dan lainlain.
Artikel ini akan mengemukakan biografi keilmuan al-Krn,
menyangkut latar belakang pendidikannya, kecenderungan keilmuannya, dan karya-karya yang pernah ditulisnya.

302

Ibrhm al-Krn, Sebuah Telaah Biografis Oman Fathurahman

Latar Belakang Keilmuan Ibrhm al-Krn


Nama lengkapnya adalah Ibrhm ibn asan al-Krn alSyahrazr al-Syahrn al-Kurd al-Madan al-Syfi, selanjutnya
akan disebut al-Krn. Seperti dikemukakan oleh sejumlah sarjana,
al-Krn adalah sosok ulama yang dikenal sebagai seorang rekonsiliator, kompromistis, dan lebih suka memilih sebagai penengah di
antara dua pendapat yang berseberangan.
Tidak berbeda dengan gurunya, al-Qusysy, al-Krn juga
dikenal sebagai salah seorang ulama aramain yang sangat menekankan makna penting syariat di samping tasawuf, sehingga seorang
Sufi, menurut al-Krn, tidak sepatutnya membiarkan praktik mistisnya bertentangan dengan syariat dan kewajiban-kewajiban agama
lainnya (Azra 1994: 118). Watak dasar al-Krn ini tentu saja tidak
terbentuk begitu saja, melainkan sangat dipengaruhi, baik oleh latar
belakang pendidikannya maupun konteks sosial intelektual yang
terjadi di sekelilingnya pada masanya.
Seperti terlihat dari embel-embel namanya, al-Syahrazr, alKrn berasal dari Syahrazur, sebuah Kota di Hawraman, atau
yang sekarang dikenal sebagai Iraqi Kurdistan di perbatasan Persia. 2 Para penulis biografi Arab menyebut al-Krn dengan sejumlah laqab (julukan) seperti Ab al-Irfn, Burhn al-Dn, Ab Isq,
Ab Muammad, dan Ab al-Waqt. 3 Penyebutan al-Krn dengan
laqab tersebut juga dapat dijumpai dalam sejumlah salinan naskah
karangan al-Krn.4
Sejumlah sumber berbeda-beda menyebut masa hidup alKrn, meski sebagian besar menyebut tahun 1025/1616 sebagai
tahun kelahirnya, serta 1101/1690 sebagai tahun wafatnya. 5 AlMurd (1988, I, h. 6) memberikan tanggal yang lebih spesifik
berkaitan dengan wafatnya al-Krn, yakni pada hari Rabu, sore
hari setelah waktu Asar, tanggal 12 Rab al-n 1101/25 Januari
2
Ulasan tentang sumber-sumber yang menyebut biografi al-Krn,
termasuk karangan al-Krn sendiri, al-Amam li q al-Himam, lihat Azra
1994: 91.
3
Al-Bagdd, 1955, I, h. 19; al-Murd 1988, I, h. 3.
4
Lihat misalnya bagian awal kitab Mala al-Jd MS 3765 koleksi Laleli
Perpustakaan al- Sleymaniye, Istanbul.
5
Al-Zarkal 1969, I, 28; Brockelmann 1943, II, 505-506; al-Bagdd 1951, I,
h. 35-36; al-Murd 1988, I, h. 6.

303

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 301 - 320

1690. Akan tetapi, tanggal wafatnya al-Krn versi al-Murd ini


berbeda dengan informasi yang diberikan al-Albn (1996: 66),
yang menyebutkan bahwa al-Krn wafat lebih akhir, yakni pada
28 Jumd al-l 1101/10 Maret 1690.
Terlepas dari perbedaan penetapan tanggal wafatnya tersebut,
jelas bahwa al-Krn muda adalah seorang yang gemar mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk menggali berbagai pengetahuan keislaman. Setelah menerima pendidikan awal di tempat
kelahirannya, yang mencakup pengetahuan bahasa Arab, kalam,
maniq, filsafat, dan lain-lain, al-Krn pergi menuju Bagdad yang
pada masa Kesultanan Turki Umani menjadi tempat impian bagi
sejumlah ulama Kurdi untuk belajar dengan sejumlah tokoh agama
di sana.
Setelah dua tahun belajar kepada, antara lain, Muammad Syarf
al-Krn di Bagdad, al-Krn kemudian hijrah ke Damaskus serta
belajar kepada Abd al-Bq Taq al-Dn al-anbal (w. 1070/1660)
dan Najm al-Dn al-Gazz.6 Guru yang disebut pertama adalah mufti
di Damaskus dan salah seorang ulama anbali} terkemuka pada
pertengahan abad ke 17. Di Damaskus inilah al-Krn secara
khusus mempelajari teks-teks fikih mazhab anbal, selain juga
teks-teks Ibn Taimyah (1263-1328) dan salah seorang muridnya,
Ibn al-Qayyim (1292-1350). 7 Al-Krn tampaknya memiliki keleluasaan dalam mempelajari berbagai literatur Islam dalam berbagai
bahasa karena selain tentunya bahasa Arab, ia juga sangat fasih
berbahasa Persia dan Turki.8
Pada 1061/1650, al-Krn juga sempat berguru kepada Ab alAzim Suln ibn Amad al-Maz dan Muammad ibn Al alDn al-Bbil di Kairo, sebelum akhirnya belajar kepada sejumlah
ulama di Madinah seperti Ab al-Mawhib Amad ibn Al alSyanw, Muammad Syarf ibn Ysuf al-Krn, Abd al-Karm
ibn Ab Bakr al-usain al-Kran, dan secara khusus af al-Dn
Amad ibn Muammad al-Qusysy (w. 1660).9
Lebih dari sekedar hubungan guru-murid, dengan gurunya yang
disebut terakhir ini al-Krn menjalin hubungan dan kedekatan
6

Al-Murd, 1988, I, h. 3.
Al-Krn, al-Amam, MS 504, Perpustakaan Dar al-Kutub, Kairo, f. 43.
8
Al-Zarkali I, 35.
9
Al-Murd, 1988, I, h. 3.
7

304

Ibrhm al-Krn, Sebuah Telaah Biografis Oman Fathurahman

yang cukup istimewa. Selain menjadi penerus sebagai khalifah


tarekat Syaryah dan mempelajari berbagai pengetahuan keislaman, al-Krn juga menikahi putri al-Qusysy; dengan demikian,
hubungan keduanya mencakup hubungan keilmuan dan keluarga
(Nafi 2002: 321). Hal ini mengingatkan pada hubungan antara alQusysy sendiri dengan Amad al-Qnw, yang menjadi guru
intelektual, mursyid tarekat Syaryah, dan sekaligus mertuanya
(Azra 1994: 88).
Meski telah mendapatkan pengetahuan yang komprehensif dari
al-Qusysy, al-Krn tetap menambah pengetahuannya dengan
berguru kepada sejumlah ulama Madinah lainnya, khususnya
Muammad al-Bbil dan s al-alib, sehingga ia terbentuk
menjadi seorang ulama yang oleh al-Murd (1988, I: 6) diibaratkan
sebagai jabalan min jibl al-ilm baran min bur al-irfn
(sebuah gunung di antara sejumlah gunung pengetahuan, dan
sebuah bahtera di antara sejumlah bahtera makrifat).
Tak heran kemudian bila reputasi keilmuan al-Krn menjadi
tidak biasa pada zamannya. Kajiannya di bidang hadis, misalnya,
tidak hanya mencakup koleksi hadis-hadis utama, tapi juga koleksi
hadis-hadis kecil yang terkadang luput dari perhatian. Demikian
halnya di bidang fikih, al-Krn tidak hanya mempelajari dan
menguasai teks-teks fikih Syfi dan anaf yang saat itu sedang
menjadi mainstream di kalangan komunitas Muslim Madinah,
melainkan juga teks-teks fikih anbal dan Mlik. Di bidang
teologi, selain fasih dalam pemikiran-pemikiran al-Asyar dan alMtrid, kajian al-Krn juga mencakup pemikiran Abd al-Gan
al-Maqdis dalam Kitb Itiqd al-Syfi, dan pemikiran al-Bukhr
dalam Khalq Afl al-Ibd, yang keduanya sering dianggap
sebagai sempalan sejauh menyangkut teologi salaf di kalangan
para ulama Sunn, karena tidak selalu sejalan dengan pemikiranpemikiran al-Asyar dan al-Mtrid yang saat itu merupakan
pemikiran paling berpengaruh.10
Kiranya, latar belakang keilmuan yang sedemikian kompleks
inilah yang membentuk watak al-Krn menjadi seorang moderat
yang selalu bisa empati terhadap pemikiran yang berbeda dengan
dirinya, dan yang lebih suka menengahi dua pemikiran yang
10

Al-Krn, al-Amam, ff. 10-12 dan 16; lihat juga Nafi 2002: 322.

305

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 301 - 320

berseberangan ketimbang berdiri secara ekstrim pada salah satunya.


Dalam salah satu karangannya, Itf al-ak, al-Krn sendiri
mengatakan bahwa:


Menghimpun [dua pemikiran yang berbeda] itu lebih diutamakan daripada
memilih salah satunya, selama hal itu bisa dilakukan.

Dalam hal ini, al-Krn mengutip wasiat Umar ibn al-Khab


yang mengatakan:



dan fahamilah sikap saudaramu dalam sisi terbaiknya, hingga ia
menunjukkan kepadamu pandangan yang lebih baik bagimu; dan janganlah
kamu menganggap buruk atau jelek ucapan yang berasal dari seorang muslim,
sejauh kamu bisa menemukan sebuah penafsiran yang baik atasnya

Sikap al-Krn, yang notabene adalah seorang Sufi, terhadap


Ibn Taimyah bisa jadi contoh yang baik bagaimana ia bersikap
moderat dan santun terhadap pemikiran-pemikiran yang lebih
sering dianggap berlawanan satu sama lain. Sudah diketahui umum
bahwa Ibn Taimyah adalah seorang tokoh Sunn terkemuka yang
paling getol melancarkan kritik terhadap penafsiran, pemahaman,
dan praktik-praktik tasawuf, karena dianggap sering melenceng dari
rambu-rambu syariat, meski sesungguhnya Ibn Taimyah sendiri
cukup mendalam mempelajari tasawuf. Dalam salah satu karyanya,
al-Aqdah al-Wsiiyyah misalnya, Ibn Taimyah menolak keras
pandangan-pandangan teologis kaum Sufi yang merujuk pada
teologi Asyaryah. Bukan hanya itu, dalam karya ini, Ibn Taimyah
bahkan juga melancarkan kritik pedasnya terhadap kaum Jahmyah
dan Mutazilah, yang pemikirannya tentang teologi sering diadopsi
oleh tokoh-tokoh Sufi.
Salah satu kritik Ibn Taimyah misalnya adalah meyangkut penafsiran ayat-ayat al-Quran oleh para Sufi ia anggap terlalu jauh
keluar dari makna lahir teks al-Quran itu sendiri. 11 Seperti dilukiskan
11

Seperti diketahui, Ibn Taimyah adalah seorang yang lebih suka


memahami teks-teks al-Quran secara literal. Dalam hal sifat-sifat Tuhan

306

Ibrhm al-Krn, Sebuah Telaah Biografis Oman Fathurahman

al-Suyi dalam al-Itqn, Ibn Taimyah berpandangan bahwa di


antara para penafsir al-Quran itu ada sekelompok orang, maksudnya
adalah para Sufi, yang menafsirkan al-Quran dengan makna-makna
yang pada hakikatnya mungkin benar, tetapi al-Quran sendiri tidak
menunjukkan makna tersebut.12
Menanggapi kritik Ibn Taimyah seperti ini, al-Krn bersikap
bahwa sejauh Ibn Taimyah hanya meyakini bahwa penafsiran para
Sufi itu tidak sesuai dengan makna lahir teks al-Quran, maka hal itu
masih dapat diterima dan tidak perlu dipersoalkan, karena al-Krn
meyakini bahwa al-Quran itu bersifat menyeluruh, sempurna,
mengandung serta mencakup makna lahir dan batin. Setiap makna
yang dihasilkan dari sebuah model penafsiran, asalkan didukung
oleh kaidah tata bahasa Arab dan sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum syariat, adalah termasuk bagian dari aspek al-Quran yang
dapat dibernarkan (al-Krn, Itf al-ak, h. 14).
Lebih dari sekedar toleran, pada bagian akhir karyanya, Ifah
al-Allm, al-Krn bahkan menunjukkan pembelaan yang sungguhsungguh terhadap pandangan-pandangan teologis Ibn Taimyah dan
murid utamanya, Ibn al-Qayyim al-Jauzyah. Pembelaan ini terutama
dialamatkan kepada para ulama dalam lingkaran Asyaryah, yang
menuduh bahwa Ibn Taimyah beserta murid-muridnya cenderung
menisbatkan sifat-sifat jasmaniyah kepada Tuhan. Menurut alKrn, maksud Ibn Taimyah sebenarnya adalah hanya untuk
mendeskripsikan Tuhan dengan sifat yang Dia deskripsikan sendiri, menolak sifat Tuhan yang tidak Dia sebutkan sendiri, sembari
tetap menegaskan perbedaan sifat-sifat tersebut dengan makhlukNya. 13 Dengan sikap ini, al-Krn telah berusaha keras untuk
melakukan rekonsiliasi teologis antara para pengikut Asyarah dan
anbalyah, khususnya berkaitan dengan sifat dasar al-Quran.
Melalui penjelasan-penjelasannya itu, al-Krn berharap bahwa

misalnya, ia berprinsip untuk mendeskripikanTuhan seperti yang Dia


deskripsikan sendiri, baik dalam al-Quran maupun melalui hadis Nabi (Laoust,
Ibn Taimyah). Ia misalnya meyakini bahwa Allah, seperti disebutkan dalam alQuran, memiliki tangan, wajah, mata, dan lain-lain, meskipun wujudnya tidak
sama dengan makhluk.
12
Lihat pembahasan al-Suy tentang hal ini pada bab 78.
13
Al-Krn, Ifah al-Allm, f. 62.

307

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 301 - 320

kalangan ulama Sufi-Asyar dapat lebih menerima pandanganpandangan teologis Ibn Taimyah
Sikap toleran dan sekaligus pembelaan al-Krn terhadap
pemikiran Ibn Taimyah ini, sekali lagi, tidak terlepas dari latar
belakang pendidikannya yang sangat kompleks. Meski dalam
biografi intelektualnya tidak pernah menyebut secara khusus kitab
karangan Ibn Taimyah yang pernah ia pelajari, tapi jelas bahwa alKrn sangat mengenal baik pemikiran-pemikiran Ibn Taimyah,
yang menganut mazhab anbal ini, ketika di Damaskus ia berguru
kepada Abd al-Bq al-anbal (Nafi 2002: 324). Bukan hanya
terhadap pemikiran Ibn Taimyah, lebih dari itu al-Krn juga terlihat sangat familiar dan mengetahui secara mendalam pandanganpandangan salah seorang murid terkemuka Ibn Taimyah, yakni Ibn
Qayyim al-Jaujya (691-751/1292-1350).14 Dengan pengetahuannya
yang mencakup berbagai mazhab dan aliran yang seringkali bersebrangan tersebut, al-Krn bisa menempatkan dirinya dengan baik,
serta bersikap moderat dan tidak ekstrim dengan pandangan-pandangannya.
Afiliasi al-Krn dalam sejumlah tarekat juga turut membentuk
wataknya sebagai seorang Sufi yang di satu sisi menjadi pembela
gagasan wadah al-wujd Ibn Arab, tapi di sisi lain juga sangat
menekankan pentingnya ketaatan terhadap prinsip-prinsip syariat
dengan sering mengutip pandangan-pandangan ulama Sunn semisal al-Junaid al-Bagdd (w. 298 H/911 M) atau Ab mid Muammad ibn Muammad al-s al-Gazl (450-505/1058-1111)
dalam karya-karyanya.
Di antara tarekat yang cukup mempengaruhi kecenderungan
intelektual al-Krn di bidang tasawuf ini adalah tarekat Naqsyabandyah, di mana al-Krn menjadi salah seorang khalifahnya di
samping tarekat Syaryah. Dalam hal ini, al-Krn pasti mengetahui dengan baik bagaimana Amad al-Surhind (1564-1624),
seorang ulama pembaharu di India yang juga khalifah tarekat
Naqsyabandyah, pernah dengan sengitnya menyerang doktrin
wadah al-wujd Ibn Arab yang ia anggap panteistik, dan menawarkan faham wadah al-syuhd sebagai gantinya, yang ia yakini

14

308

Nafi 2002: 330.

Ibrhm al-Krn, Sebuah Telaah Biografis Oman Fathurahman

lebih sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. 15 Meskipun sebelumnya


telah ada ulama lain di abad ke 17 yang menolak menghubungkan
ajaran tasawuf dengan doktrin wadah al-wujd, tetapi al-Sirhind
adalah ulama pembaharu paling awal dan keras yang mengkritik
rumusan doktrin mistiko-filosofis kaum Sufi konvensional tersebut
dan menawarkan konsep alternatifnya.
Seperti dituturkan al-amaw --murid al-Krn sendiri yang
datang ke Madinah pada 1083/1672-- perdebatan hebat berkaitan
dengan ajaran-ajaran al-Sirhind ini telah terjadi di kalangan ulama
aramain jauh sebelum ia datang, dan mengakibatkan mengelompoknya sejumlah ulama aramain menjadi dua kubu yang saling
bertentangan. Di satu sisi, para pengikut al-Sirhind dan sejumlah
ulama tarekat Naqsyabanyah sedemikian giat menyebarkan gagasan dan pemikiran al-Sirhind, sementara di sisi lain, mereka yang
menentangnya juga tidak kalah agresif menulis karya-karya bantahan. Muammad al-Barzanj (1040-1103/1630-1691) misalnya,
seorang ulama Kurdi yang juga salah seorang murid terkemuka alQusysy, menulis Qad al-Zind f Radd Jahlh Ahl Sirhind, yang
berisi serangan terhadap pemikiran-pemikiran al-Sirhind.16
Sebagai pengikut tarekat Naqsyabandyah, al-Krn sendiri
tidak menentang pemikiran al-Sirhind berkaitan dengan perlu adanya
keselarasan antara ajaran tasawuf dengan prinsip-prinsip syariat,
justru ajaran ini pula yang kemudian menjadi salah satu inti pemikiran al-Krn seperti tercermin dalam karya-karyanya, termasuk Itf al-ak. Bedanya, al-Krn tidak menganggap bahwa
doktrin wadah al-wujd itu bersifat panteistik dan bertentangan
dengan syariat. Alih-alih menerima tawaran al-Sirhind untuk
mengganti doktrin tersebut dengan wadah al-syuhd, al-Krn
melakukan semacam reinterpretasi atas doktrin wadah al-wujd
agar tidak difahami sebagai suatu ajaran yang bertentangan dengan
syariat. Dengan demikian, al-Krn tampak sedang mencoba menempatkan kedua kakinya di dua sisi ekstrim yang saling bertentangan.
15

Tentang al-Sirhind dan ajaran-ajarannya, lihat antara lain, Ahmad 1969;


Friedmann 1971, Ansari 1986.
16
Al-Bagdd 1951, II, h. 302-303 mendaftarkan 62 karya al-Barzanj,
termasuk Qad al-Zind ini.

309

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 301 - 320

Al-Krn memang hidup di antara dua dunia: satu di antaranya


adalah dunia di mana doktrin mistiko-filosofis, seperti wadah alwujd, bersama dengan teologi Asyaryah tengah sangat kuat mempengaruhi corak pemikiran para ulamanya, sedangkan satu dunia
lainnya adalah gerakan pembaharuan untuk merumuskan formulasi
baru yang tampak seperti ingin keluar dari dua tradisi yang sudah
sedemikian mapan tersebut. Jika al-Sirhind dan sejumlah ulama
lain sebelum al-Krn menggunakan kendaraan pembahruan itu
untuk menyerang ideologi wadah al-wujd dan teologi Asyaryah, maka sebaliknya al-Krn mengambil sikap untuk menengahi
dua kecenderungan yang pada masanya sudah mulai ekstrim dan
saling sesat menyesatkan tersebut.17
Di mata al-Krn, sebuah pembaharuan, yang tujuan utamanya
untuk mempreteli secara total idelogi sufisme dan teologi Asyaryah tersebut, adalah tindakan sia-sia belaka, dan tidak akan menghasilkan apa-apa. Oleh karena itulah al-Krn lebih memilih untuk
merekonstruksi dan melakukan interpretasi terhadap keduanya, agar
lebih berkesuaian dengan prinsip-prinsip syariat.
Al-Krn tampaknya sadar betul dengan posisinya sebagai
salah seorang guru Sufi dan intelektual terkemuka dalam jaringan
keulamaan Haramain, di mana sejumlah murid dari latar belakang
berbeda berada di belakangnya, sehingga ia berusaha untuk bisa
mengayomi mereka semuanya. Al-Krn juga seperti tidak mau
mengulang, dan mencoba mencari solusi, atas perseteruan sengit
yang pernah ia saksikan antara al-Sirhind dan kolega-koleganya
sendiri di kalangan ulama Haramain, semisal Muammad alBarzanj.
Beruntung, al-Krn memiliki otoritas di bidang hadis yang
sangat kuat, bukan hanya karena silsilah dan sanad keilmuannya
terhubungkan dengan para muaddi terkemuka yang tidak diragukan kredibilitas keilmuannya, melainkan juga karena ia benar-benar
menguasai seluk beluk matan hadis, sehingga pengetahuannya yang
sedemikian luas atas sumber utama kedua ajaran Islam ini dapat ia
gunakan untuk membaca dan menginterpretasi ulang berbagai tema
tasawuf dan teologi.

17

310

Nafi 2002: 329.

Ibrhm al-Krn, Sebuah Telaah Biografis Oman Fathurahman

Demikianlah, transformasi pemikiran al-Krn yang tidak radikal, melainkan santun dan rekonsiliatif, serta pendekatan yang
argumentatif terhadap berbagai isu utama dalam pemikiran teologis
dan sufistis, ditambah kecenderungan al-Krn untuk menampilkan gagasannya dengan tetap mendasarkan pada norma-norma
keilmuan tradisional, pada gilirannya telah sangat membekas pada
kecenderungan keilmuan sejumlah muridnya, yang salah satunya
adalah Abdurrauf ibn Ali al-Jawi di Aceh. Dalam berbagai
karyanya, seperti Tanbh al-Msy, Kifyat al-Mutjn, Daqiq
al-urf, Abdurrauf telah dengan sungguh-sungguh melanjutkan
tradisi intelektual al-Krn sebagai pembela ajaran wadah alwujd dengan tetap mempertahankan teologi Asyaryah dan
konsisten dalam prinsip-prinsip syariat (lihat Fathurahman 2008).
Karya-Karya Ibrhm Al-Krn
Dalam berbagai sumber biografi Arab, al-Krn disebut sebagai seorang lim, yang menguasai, baik ilmu-ilmu lahir (seperti
fikih, hadis) maupun ilmu-ilmu batin (seperti tasawuf), dan memiliki sejumlah besar karangan, baik yang panjang maupun pendek,
tentang berbagai bidang keilmuan Islam, khususnya tasawuf dan
hadis. Sebagai bukti prokudtifitasnya, kini kita dapat menjumpai
berbagai karangan al-Krn dalam bentuk manuskrip tulisan tangan, yang oleh al-Bagdd diperkirakan berjumlah sekitar 80 atau
100 karya, meskipun ia sendiri hanya menyebut lima saja di
antaranya.18
Adapun Brockelmann (GAL II: 505-506, dan S II: 520-521)
mendaftarkan sekitar 42 buah karya al-Krn dan menyebut sejumlah perpustakaan yang menyimpan naskah-naskah tersebut. Sejauh
ini, karya al-Krn yang pernah dicetak atau dipublikasi hanya 3
buah, yakni al-Amam li q al-Himam, al-Ilma al-Mu biTaqq al-Kasb al-Was bain al-Ifr wa-al-Tafr, 19 al-Lumah alanyah f Taqq al-Ilq f al-Umnyah.20
Sumber paling mutakhir yang melengkapi informasi tentang
karya-karya al-Krn adalah Mujam al-Trkh al-Tur al-Islm
18

Al-Bagdd 1951, I, h. 19; lihat juga al-Zarkal 1969, I, h. 35; bandingkan


dengan al-Murd 1988, I, h. 3.
19
Al-Aiyasy 1977, I, h. 429-443; lihat Nafi 2002: 339.
20
Guillaume 1957.

311

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 301 - 320

f Maktabt al-lam, karangan Qarabulu & Amad Tran Qarabulut (2006) yang mencantumkan 57 judul karya al-Krn, berikut
tahun dan tempat penulisannya jika ada, jumlah halamannya, nomor
kode naskah di beberapa perpustakaan yang menyimpan salinannya, dan yang tidak kalah pentingnya adalah kategori keilmuan
masing-masing karya tersebut.
Demikianlah, berdasarkan sumber-sumber yang telah diketahui
ini, dapat dipastikan bahwa al-Krn telah menulis setidaknya sejumlah 95 buah karya, yang kebanyakannya di bidang tasawuf dan
tawhid, meski bidang-bidang keilmuan Islam lainnya, seperti hadis,
tafsir, teologi/kalam, tatabahasa, dan fikih, juga cukup menonjol. Di
bawah ini adalah judul-judul dari 98 buah karya al-Krn yang
telah teridentifikasi tersebut:
1. Ajlah aw al-Intibh f Taqq Irb L Ilha ill Allh,
Tauhid/Tasawuf
2. al-Ajlah f-m Kataba Muammad ibn Muammad al-Qal
Suluh
3. al-Amam li- q al-Himam, Biografi
4. al-Asfr an Al Istikhrah Aml al-Lail wa-al-Nahr, Fikih
5. Anonim (jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang datang dari
Nusantara)
6. Arbana adan f Fal al-alt al al-Nab all Allhu
alaihi wa-Sallam, Hadis
7. Bulgah al-Masr il Taud al-Al al-Kabr, Tauhid/Tasawuf
8. iy al-Mib f Syar Bahjah al-Arw
9. Fatw Ibrhm al-Krn
10. F al-Gurfah bi-aramaut
11. syiyah Syar al-Andalusyah li-al-Quair
12. usn al-Aubah f ukm arb al-Taubat
13. Hsyiyah al-Kurd al-Krn al Nazhah al-Nar bi-Syar
Nukhbah al-Fikr li-ibn ajar al-Asqaln, Teologi/Kalam
14. Iml al-Fikr wa-al-Riwyt f Syar ad Innam al-Amlu
bi-al-Nyt, Hadis
15. al-Dall al anna Ilm Allh Tal bi-al-Asyy Adallu
al al-Tafl, Teologi/Kalam
16. al-Ilm amm f Qaulihi Tal wa al al-Lana Yuqnahu an-al-Naskhi wa-al-Akm, Tafsir

312

Ibrhm al-Krn, Sebuah Telaah Biografis Oman Fathurahman

17. al-Iln bi-Daf al-Tanqu f rah al-Ayn f Jawb Sul


Abd al-Ramn, Tauhid/Tasawuf
18. al-Itibk f anna al-Naum l Yudu Mulaq al-Idrk
19. al-Ijzah wa-al-Naat, Tauhid/Tasawuf
20. al-Ilma al-Mu bi-Taqq al-Kasb al-Was bain al-Ifr waal-Tafr, Tauhid/Tasawuf
21. al-Ilmm bi-Tarr Qaul Sad wa-alIm, Tafsir
22. q al-Qawfl li al-Taqarrub bi-al-Nawfil, Akhlak
23. Ibd al-Nimah bi-Taqq Sabq al-Ramat, Tauhid/Tasawuf
24. Ifah al-Allm bi-Taqq Masalah al-Kalm, Teologi/Kalam
25. Imdd aw al-Istidd li-Sulk Maslak al-Sadd f al-Tawid
wa-al-ift, Tauhid/Tasawuf
26. Inbh al-Anbh al Taqq Irb L Ilha ill Allh, Teologi/
Kalam dan Tatabahasa
27. Iqtif al-r bi-Taud al-Afl maa al-Kasb wa-al-Ikhtiyr,
Teologi/Kalam
28. Isf al-anf li-Sulk Maslak al-Tarf, Tauhid/Tasawuf
29. Isyrq al-Syams bi-Tarb al-Kalimt al-Khams
30. Itf al-ak bi-Syar al-Tufah al-Mursalah il al-Nab,
Tauhid/Tasawuf
31. Itf al-Khalaf bi-Taqq Madhhab al-Salaf, Teologi/Kalam
32. Itf al-Munb al-Ruwt f Fal al-Jahr bi-Dhikr Allh, Tauhid/
Tasawuf
33. Ihr al-Qadr li-al-Ahl Badr, Sejarah
34. Izlah al-Isykl bi-al-Jawb al-Wi an al-Tajall f al-uwar,
Tauhid/Tasawuf
35. Jal al-Ajwibah an al-Asilat
36. Jal al-Akhlq bi-Tarr al-Ilq
37. Jal al-Anr bi-Tarr al-Jabar fi-al-Ikhtiyr, Teologi/Kalam
38. Jal al-Fuhm f Taqq Jawz Ruyah al-Madm, Teologi/
Kalam
39. Jal al-Nar f Baq al-Tanzh maa al-Tajall f al-uwar,
Tauhid/Tasawuf
40. Jawb al-Atd li-Masalah Awwal Wjib wa Masalah alTaqld, Tauhid/Tasawuf
41. al-Jawb al-Kf an Masalah Iah Ilm al-Makhlq bi-alGair al-Mutanh, Teologi/Kalam
42. al-Jawb al-Masykr an al-Sul al-Manzr, Tauhid/ Tasawuf
313

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 301 - 320

43. al-Jawb al-Muiqq f-m Huwa al-aqq, Tauhid/Tasawuf


44. al-Jawbt al-Garwyah an al-Masil al-Jwyah al-Jahryah, Tauhid/Tasawuf
45. Jawb Sult an Qaul Taqabbala Allh, Tauhid/Tasawuf
46. Kasyf al-Mastr f Jawb Asilah Abd al-Syakr, Tauhid/
Tasawuf
47. al-Kasyf al-Muntaar, Tauhid/Tasawuf
48. Lawmi al-l f al-Arban al-Awl, atau disebut juga Jan
al-Naj bi-al-Awl al-a, Tauhid/Tasawuf
49. al-Lumah al-Sanyah f Taqq al-Ilq f al-Umnyah, Tauhid/
Tasawuf
50. Madd al-Fai f Taqrr Laisa ka-Milihi Syai, Tauhid/Tasawuf
51. Majl al-Man bi-Syar Jall al-Diwn, Tauhid/Tasawuf
52. Maslik al-Abrr il Ad al-Nab al-Mukhtr, Hadis
53. Masyra al-Wurd il Mala al-Jd, Tauhid/Tasawuf
54. Maslah al-Sadd il Masalah Khalq Afl al-Ibd, Teologi/
Kalam
55. Maslak al-Itidl il Fahm yah Khalq al-Aml, Teologi/
Kalam
56. Maslak al-Irsyd il al-Ad al-Wridah f al-Jihd, Hadis
57. al-Maslak al-Jal f ukm Sya al-Wal, Tauhid/Tasawuf
58. al-Maslak al-Mukhtr f Awwali dirin min al-Wjib bi-alIkhtiyr, Tauhid/Tasawuf
59. al-Maslak al-Qarb il Sult al-abb
60. al-Maslak al-Qawm f Mubaqah al-Qudrah bi-al-di liTaalluq al-Ilm al-Qadm, Teologi/Kalam
61. Maslak al-Tarf bi-Taqq al-Taklf, Tauhid/Tasawuf
62. Mala al-Jd bi-Taqq al-Tanzh f Wadah al-Wujd, Tauhid/
Tasawuf
63. Musnad ulyt al-Bukhr, Hadis
64. al-Mutimmah li-al-Masalah al-Muhimmah
65. Nar al-Zahr f al-Dhikr bi-al-Gair
66. Nawl al-l f Taqq al-Ittid bi-al-Qaul, Tauhid/Tasawuf
67. Nibrs al-Ins bi-Ajwibah Sult Ahl Fs
68. al-Nibrs li-Kasyf al-Iltibs al-Waqi f al-Ass
69. Nim al-Zabarjud f al-Arban al-Musalsal
70. Qad al-Sabl il Taud al-aqq al-Wakl, Tauhid/Tasawuf
71. al-Qaul al-Jal f Taqq Qaul al-Imm Zain al-Dn ibn Al
314

Ibrhm al-Krn, Sebuah Telaah Biografis Oman Fathurahman

72. al-Qaul al-Mubn f Tarr Masalah al-Takwn, Tauhid/


Tasawuf
73. al-Radd al-Matn al al-Syaikh Muy al-Dn ibn Arab, Tauhid/
Tasawuf
74. al-Rislah al-Krn al Ibrah Jall al-Diwn, Teologi/
Kalam
75. Rislah f man Adraka al-Imm, Fikih
76. Rislah f Tafsr Qaulihi Tal Yakdu Zaituh Yudu,
Tafsir
77. Rislah f Tafsr Qaulihi Tal Srah 2: 180, Tafsir
78. Rislah al Maba al-Ilm min Syar al-Diwn al alAqid al-Aadyah, Teologi/Kalam
79. Rislah f al-Kasb wa Khalq al-Aml, Teologi/Kalam
80. Rislah f al-Radd al al-Imm al-Rabbn
81. Rislah f al-Radd al Man l Khasraw (?), Teologi/Kalam
82. Rislah f Jawz Ruyah Allh Tal, Tauhid/Tasawuf
83. Rislah f Khalq al-Aml, Teologi/Kalam
84. Rislah f Maktabah Aidrs al-absy
85. Rislah f Syar Qaul al-Syaikh al-Akbar Subna Man
Ahara al-Asyya wa-Huwa Ainuh, Tauhid/Tasawuf
86. Syar al Manmah al-Dujjn, Teologi/Kalam
87. Syar Awmil al-Jurjn, Tatabahasa
88. Syar al-Aqdah al-Musammh bi al-Aqdah al-aah,
Tauhid/Tasawuf
89. Syawriq al-Anwr f al-Maslak al-Mukhtr
90. Syums al-Fikr al-Munqidh min Z{ulumt al-Jabr wa-al-Qadr
91. Talqt al Qaulihi Tal Fa-l Yahar ala Gaibihi Aad
ill Man Irta min Raslin, Tafsir
92. al-Tarf bi-Taqq al-Talf
93. Taqq al-Taufq bain Kalmai Ahl al-Kalm wa Ahl al-arq,
Teologi/Kalam
94. al-Tarr al-w li-Jawb rd Ibn ajar al al-Baiaw,
Tafsir
95. al-Tarrt al-Bhirah li-Mabi al-Durrah al-Fkhirah,
Tauhid/Tasawuf
96. Takml al-Tarf li-Kitb f al-Tarf, Tatabahasa
97. Tanbh al-Uql f Tanzh al-fyah an al-Tajsm wa-alAinyah wa-al-Ittid wa-al-ull, Tauhid/Tasawuf
315

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 301 - 320

98. al-Taul il anna Ilm Allh Tal bi-al-Asyyi Adallu al


al-Tafl, Tauhid/Tasawuf
Khatimah
Al-Krn memiliki hubungan intelektual dan pengaruh yang
sangat kuat dengan sejumlah ulama asal Melayu-Indonesia, khususnya Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri. Dan, faktanya pada
periode kemudian adalah bahwa pemikiran Abdurrauf sedemikian
tersebar luas di kalangan Muslim Melayu-Indonesia, terutama melalui jalur tarekat Syattariah, di mana ia menjadi khalifah utamanya.
Sayangnya, satu kenyataan yang terjadi adalah bahwa pemikiran-pemikiran al-Krn, khususnya menyangkut penafsiran doktrin
wadah al-wujd, yang tercermin dalam karya-karyanya belum
mendapat perhatian selayaknya dari para peneliti Nusantara sendiri.
Padahal, pada tingkat tertentu, al-Krn dapat dianggap sebagai
salah seorang penafsir besar pemikiran mistiko-filosofis Ibn Arab,
yang pengaruhnya juga sangat kuat tersebar di wilayah ini.
Minimnya kajian terhadap pemikiran-pemikiran al-Krn ini
salah satunya memang diakibatkan oleh keterbatasan akses informasi terhadap karya-karyanya yang penulis sebutkan di atas. Sebagian besar karya al-Krn tersebut masih dalam bentuk naskah
tulisan tangan (manuscript), dan tersimpan secara terpisah di beberapa
perpustakaan di Mancanegara, dan, seperti telah penulis sebutkan,
hanya tiga di antaranya yang pernah diterbitkan.
Oleh karena itu, penulis berharap artikel ini akan menjadi informasi berguna bagi para peneliti yang berminat melakukan kajian
lebih lanjut berkaitan dengan pemikiran-pemikiran al-Krn.*

316

Ibrhm al-Krn, Sebuah Telaah Biografis Oman Fathurahman

Daftar Pustaka
Al-Aiyasy, Abd Allah, 1977, al-Rilah al-Aiysyyah, Rabat: Dr al-Magrib.
Ahlwardt, W., 1887-1899, Die Handschriften-Verzeichnisse der kniglichen
Bibliothek zu Berlin. Verzeichniss der arabischen Handschriften, 10 jilid,
Berlin: A. Ashner.
Ahmad, Aziz, 1969, An Intellectual History of Islam in India, Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Al-Alban, Muammad Nir al-Dn, 1996, Nab al-Majnq li Nasaf Qiah alGarnq, Beirut: al-Maktabah al-Islm, cetakan ketiga.
Arberry, A.J., 1936, Catalogue of the Arabic Manuscripts in the Library of the
India office, volume II, Sufism and Ethics, London: Humphrey Milford,
Oxford University Press, published by order of the Secretary of State for
India in Council.
Azra, Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Penerbit Mizan, cetakan II
-----------, 2004, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks
of Malay-Indonesian and Middle Eastern Ulama in the Seventeenth and
Eighteenth Century, Australia & Honolulu: Allen & Unwin and University
of Hawaii Press.
al-Bagdd, Isml Bsy, 1955, Hadyah al-rifn: Asm al-Muallifn wa
r al-Muannifn, 2 jilid, Bagdd: Mansyrt Maktabah al-Muann.
-----------, tt., al-Maknn f al-ail al Kasyf al-Z{unn, Dr Iy al-Tur
al-Arab.
Brockelmann, C., 1937-1949, Geschichte der Arabischen Literatur von Carl
Brockelmann, 2 jilid, dan 3 jilid tambahan, Leiden: E.J. Brill.
Daiber, Hans, 1988, Catalogue of the Arabic Manuscripts in the Daiber
Collection, Institute of Oriental Culture, University of Tokyo. Tokyo: The
Documentation Center for Asian Studies, Institute of Oriental Culture,
University of Tokyo (mengandung pemerian atas 367 naskah Arab).
-----------, 1996, Catalogue of the Arabic Manuscripts in the Daiber Collection II,
Institute of Oriental Culture, University of Tokyo. Tokyo: The
Documentation Center for Asian Studies, Institute of Oriental Culture,
University of Tokyo (mengandung pemerian atas 120 naskah Arab).
al-Dhahab, Ab Abd Allh Muammad ibn Amad ibn Umn, 1999, Mzn
al-Itidl f Naqd al-Rijl, 4 jilid, Beirut: Dr al-Fikr.
al-Dhahab, Syams al-Dn Muammad ibn Amad ibn Umn, 1413/1993, Siyar
Alm al-Nubal, 23 jilid, Beirut: Muassasah al-Rislah.

317

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 301 - 320

Fathurahman, Oman, 2007, Further Reseach on Itf al-ak by Ibrhm alKrn: A Philological and Codicological Perspective, makalah yang
dipresentasikan dalam Deutsches Orientalistentag (DOT), Freiburg, Jerman
26 September 2007.
Friedmann, Yohanan, 1971, Syaikh Amad Sirhind: An Outline of His Thought
and a Study of His Image in the Eyes of Posterity, Montreal: McGill-Queens
University Press.
Guillaume, Alfred, 1957, Al-Lumah al-Sanya f Taqq al-Ilq f-l-Umnya,
BSOAS, University of London, Vol. 20, No. 1/3, Studies in Honor of Sir
Ralph Turner, h. 291-303.
al-amaw, Mutaf ibn Fat Allh, Fawid al-Irtil wa-Natij al-Safar f
Akhbr Ahl al-Qarn al-d Asyar, MS Dar al-Kutub, Cairo.
Heer, Nicholas L, 1979, The Precious Pearl, al-Jms Al-Durrah Al-Fakhirah
together with his Glosses and the Commentary of Abd al-Gafr al-Lr,
Translated with an Introduction, Notes, and Glossary, Albany: State
University of New York Press.
Johns, A. H., 1978, Friends in Grace: Ibrahim al-Kurani and Abd al-Rauf alSingkeli dalam S. Udin (peny.), Spectrum: Essays Presented to Sutan
Takdir Alisjahbana, Jakarta: Dian Rakyat.
Knysy, Alexander, 1995, Ibrahim al-Kurani (d. 1101/1690), an Apologist for
Wadah al-Wujd dalam JRAS, Series 3, 5, I, h. 39-47.
Laoust, H, 2003, Ibn Taymiyya dalam The Encyclopaedia of Islam, WebCD
Edition, Brill Academic Publishers.
al-Murd, Ab al-Fal Muammad Khall ibn Al, 1988, Silk al-Durar f Ayn
al-Qarn al-n Asyar, Cairo: Dr al-Kitb al-Islm, 4 jilid.
Nafi, Basheer M., 2002, Tasawwuf and Reform in Pre-Modern Islamic Culture:
In Search of Ibrhm al-Krn, Die Welt des Islams, Vol. XLII, Nr. 3, h.
307-355.
Qarabulu, Al Ri & Amad Tran Qarabulut, 2006, Mujam al-Trkh alTur al-Islm fi Maktabah al-lam, Istanbul: Dr al-Aqabah, Qaiarya, 6
jilid.
Roper, Geoffrey, 1989, [tanpa judul], review atas buku Catalogue of the Arabic
Manuscripts in the Daiber Collection, Institute of Oriental Culture,
University of Tokyo karangan Hans Daiber, Bulletin (British Society for
Middle Eastern Studies), Vol. 16, No. 1.
al-Suy, Jall al-Dn Abd al-Ramn ibn Ab Bakr, 1935/1354, al-Itqn f
Ulm al-Qurn, Cairo: alab, 2 jilid.
Al-Zarkali (Al-Zerekly), Khair al-Dn, 1389/1969, Al-Alm: Qms Tarjm,
edisi ketiga, 12 jilid, Beirut: tp.

318

Ibrhm al-Krn, Sebuah Telaah Biografis Oman Fathurahman

Lampiran:

Gambar 01
Bagian awal dari naskah Itf al-ak bi-Syar al-Tufah al-Mursalah il al-Nabi

Gambar 01
Bagian awal dari naskah Jal al-Nar f Baq al-Tanzh maa al-Tajalli f al-uwar

319

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 301 - 320

Gambar 03
Bagian awal naskah Maslak al-Tarf bi Taqq al-Taklf

320

Pembumian Gerakan Islam Transnasional Yudi Latif

Pembumian Gerakan Islam Transnasional1


Yudi Latif
Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan (PeKiK)
The politic of identity which justifies the difference of collective identity
such as ethnic, language, religion or nation has experience the raise. In this
context, the politic of identity which declines the uniformity, has challenged
the trans-national movements to adapt with the socio-historical reality at the
local level. The reality negates and challenges the general view which
describes Islamism as a monolithic movement with trans-national dimension.
The book entitled Jejak Kafilah (The trace of the caravan), written by Greg
Fealy and Anthony Bubalo (Mizan, 2007) presents the result of the study
with its wide investigation, richness of cultural variety as well as appropriate
theoretical approach on the variety and local dimension of the trans-national
of Islamic movements. The religious movements in Indonesia are always
present as an expression of a collective in terms of identity in difference and
difference in identity.
Kata kunci: fundamentalisme, salafi, politik identitas, Wahhabiyah,
globalisasi

Pengantar
Di tengah arus besar kecenderungan untuk melukiskan Islamisme
sebagai sesuatu yang monolitik berdimensi trans-nasional, buku
Jejak Kafilah, karya Greg Fealy dan Anthony Bubalo (Mizan,
2007), merobohkan pencitraan naif seperti itu dengan menunjukkan
keragaman dan dimensi lokal dari gerakan-gerakan Islam transnasional.
1

Tulisan ini telah dipresentasikan dalam acara Bedah Buku Keagamaan,


Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama
RI, Jakarta, pada 8 April 2008. Beberapa bagian dari tulisan ini pernah dimuat
dalam Kompas, 26 Maret 2007.

321

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 321 - 334

Ini sejalan dengan kecenderungan global paradox. Di satu sisi,


globalisasi menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan negarabangsa dan komunitas lokal untuk diserahkan ke otoritas (maya)
global. Negara-bangsa menjadi dirasa terlalu kecil untuk menyelesaikan berbagai masalah global seperti isu perdagangan bebas,
terorisme, human trafficking, dan global warming.
Dalam kaitan ini, globalisasi menjadi katalis bagi penyebarluasan gerakan keagamaan trans-nasional; membawa benturan
dengan paham dan institusi-institusi keagamaan yang telah mapan.
Konflik pada struktur pusat gerakan keagamaan trans-nasional merembes pada tingkat nasional, membawa polarisasi dan fragmentasi
internal keagamaan yang makin rumit.
Dalam pada itu, negara atau aktor non-negara adidaya yang
punya global intent sering mengabaikan prosedur demokrasi dalam
merealisasikan ambisinya. Standard ganda penerapan demokrasi pada
tingkat internasional kerapkali memberi dorongan kepada kelompok-kelompok yang marginal dalam demokrasi politik negarabangsa untuk melepaskan keterkaitannya dengan demokrasi dan
negara-bangsa dengan mengidealkan bentuk institusi politik transnasional semacam kekhalifahan.
Di sisi lain, globalisasi menekan negara-bangsa, melahirkan tuntutan otonomi lokal serta kepentingan mengekspresikan keragaman
identitas. Negara-bangsa justru dirasa terlalu besar untuk menyelesaikan renik-renik masalah di tingkat lokal. Di seluruh dunia,
politik identitas (identity politics) yang mengukuhkan perbedaan
identitas koliktifetnis, bahasa, agama, bahasa dan bangsamengalami gelombang pasang. Dalam konteks ini, politik identitas justru
menolak penyeragaman, membawa tantangan bagi gerakan-gerakan
keagamaan trans-nasional untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan sosial-hitoris pada tingkat lokal.
Alhasil, dengan arus globalisasi dan lokalisasi negara-negara
dan kehidupan keagamaan bukan saja menghadapi potensi ledakan
pluralisme dari dalam, melainkan juga tekanan keragaman dari luar.
Hal ini akan membawa tantangan yang serius bagi pada pandangan
dunia dan etos keagamaan yang telah lama berkembang.
322

Pembumian Gerakan Islam Transnasional Yudi Latif

Islam Klasik Indonesia


Clifford Geertz, dalam Religion as a Cultural System (1966),
menengarai adanya dua inti keberagamaan: world view (sistem
keyakinan dan pandangan dunia) dan ethos (nilai moral, emosi dan
motivasi).
Dalam Islam Observed (1968), ia melukiskan gaya klasik Islam
Indonesia sebagai iluminasionisme, dengan pandangan dunianya
yang bersifat sinkretik, selaras dengan ethosnya yang bersifat
adaptif, gradualistik, estetik dan toleran. Gaya seperti ini menurutnya bertahan setidaknya hingga awal abad ke-19 M. Namun sejak
akhir abad itu, intrusi nasionalisme dan skripturalisme dalam ruang
publik Nusantara membawa tantangan yang serius bagi gaya klasik
tersebut.
Efek modernisasi dan skripturalisasi menimbulkan clash of ideas
pada ranah world view yang tak mudah didamaikan, diikuti oleh
goyahnya ethos keberagamaan. Meskipun masyarakat masih menjaga simbol-simbol sucinya, mereka mulai kehilangan pengalaman
perjumpaan langsung dengan Tuhannya. Gelombang modernisasi
dan skripturalisasi sama-sama menimbulkan apa yang disebut Max
Weber Disenchantment of the World, pudarnya elemen-elemen
magis dan spriritualitas yang membawa retakan dalam moda
keberagamaan.
Tepatlah Ira Lapidus (1997) yang melukiskan bahwa fundamentalisme Islam bisa dipahami sebagai reaksi terhadap modernitas, tetapi sekaligus sebagai suatu ekspresi modernitas. Dan ini
menemukan penjelmaan dan ekspresinya yang pas pada perkembangan gerakan Salafi kontemporer, seperti dijelaskan secara baik
dalam buku Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad (2007).
Pembumian Islamisme: Kasus Gerakan Salafi
Pertama-tama diingatkan bahwa gerakan Salafi kontemporer
berbeda dengan Salafi yang dikenal sejak akhir abad ke-19 M
sebagai gerakan reformisme-modernisme Muhammad Abduh (18491905)yang menganjurkan ijtihad dan kemodernan. Gerakan
Salafi kontemporer bisa dikatakan sebagai penjelmaan kembali
Wahhabismevarian reformisme paling puritan dipengaruhi Muhammad bin Abd al-Wahhab (1703-1792) yang justru anti-ijtihad
323

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 321 - 334

dan anti-modernitas. Pengaruh paham ini memperoleh momentumnya setelah berhasil menunggangi Kepala Suku Nejd, Abd alAziz ibn Saud, yang menguasai haramain dan mendirikan
kerajaan Saudi Arabia sejak tahun 1924.
Seturut dengan Wahabiyyah, Salafi kontemporer terobsesi menyerukan kembali ke Islam murni dengan meniru contoh yang
diberikan Salaf al-li. Salafi mengecam segala penyimpangan
dari prinsip tauhid, termasuk penolakan terhadap taqld dan mahab
yang dianggap menyusutkan Al-Quran dan Hadis. Pandangannya
yang hitam-putih memunculkan doktrin al-wala wa al-bara, yang
membagi dunia ke dalam ranah absolute good dan absolute evil.
Dalam obsesinya menjaga keutuhan dunia beriman, Salafi menghindari gerakan politik partisan (izbiyyah). Saat yang sama Salafi
percaya pada doktrin akmiyyah yang menekankan kedaulatan
Tuhan, oleh karenanya anti-demokrasi dan menganjurkan ketaatan
pada pemimpin pemerintahan (Hasan, 2007: 130-148).
Buku Noorhaidi Hasan menjelaskan transformasi gerakan Salafi
kontemporer di Indonesia, dari gerakan sunyi-apolitis menjadi gerakan politis-jihadis di bawah bendera Laskar Jihad, yang namanya berkibar dalam konflik etno-religius di Maluku. Menggunakan
perspektif teori-teori gerakan sosial (social movements), perhatian
utama diberikan kepada kemampuan gerakan memobilisasi sumberdaya yang memungkinkan perluasan anggota dan jaringan serta
konsolidasi dan transformasi gerakan. Tak lupa disertakan pendekatan motivasi individu yang mendorong orang per orang berpartisipasi dalam gerakan sosial.
Para teoritisi gerakan sosial, memiliki kerangka dasar yang
sama untuk melihat fenomena gerakan sosial. Bahwa gerakan sosial
melewati proses perkembangan, mulai dari tahap persiapan, pembentukan, dan konsolidasi. Tak ada gerakan-gerakan sosial yang
muncul sampai ada peluang politik serta konteks komunikasi yang
memungkinkan pengartikulasian problem-problem yang ada. Gerakan sosial memerlukan intlektual pergerakan untuk mengartikulasikan tema dan memformulasikan kontradiksi dalam masyarakat
ke dalam suatu ruang konseptual baru. Gerakan sosial berkembang
setelah adanya individu-individu yang siap ambil bagian di dalamnya (Eyerman & Jamison, 1991). Kerangka kesepahaman ini
tak disebutkan secara eksplisit dalam buku Noorhaidi, tapi penting
324

Pembumian Gerakan Islam Transnasional Yudi Latif

dimunculkan di sini untuk membantu memahami perkembangan


Salafi serta menarasi ulang buku ini.
Tahap persiapan berakar tunjang pada kebuntuan Islam politik
untuk menghidupkan kembali Masyumi pada awal Orde Baru, dengan alihan ke gerakan dakwah. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) didirikan pada 1967 sebagai sarana memperjuangkan
Islam lewat jalur non-politik. Kekecewaan politik domestik, mendorong DDII bertaut dengan gerakan Islam internasional seperti
Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Jamaat-i Islami di Pakistan.
Seiring dengan menguatnya peran Saudi Arabia dalam isu-isu
Dunia Islam, DDII pun menempatkan diri sebagai kompradornya.
Dalam pada itu, watak anti-komunisme rezim Orde Baru menjadikan agama sebagai matakuliah wajib. Minat studi agama tumbuh
dan menjamur sebagai imbas kebijakan NKK/BKK yang mendepolitisasi mahasiswa. Sebagai alternatif aktualisasi diri, banyak
mahasiswa beralih ke aktivisme keagamaan, difasilitasi kehadiran
masjid-masjid kampus sejak awal tahun 1970. Gerakan tarbiyah
pun bersemi.
Bonanza minyak pada dekade 1970-an, melambungkan peran
global Saudi Arabia. Lewat lembaga-lembaga dakwah internasional,
kucuran dana dan pengaruh Saudi dialirkan. Situasi ini membawa
windfall bagi DDII: dai dikirim ke zona trasmigrasi, kader dakwah
untuk kampus dibina, sumbangan diberikan untuk pendirian masjid
kampus. DDII juga mengirim mahasiswa ke Timur Tengah dan
menerjemahkan karya-karya pemikir Islam internasional.
Kemenangan revolusi Islam Iran pada 1979 membawa ancaman
bagi kepentingan politik Saudi. Kebijakan ekspor revolusi menebarkan ancaman ganda: ancaman paham Syiah terhadap Wahhabiyah
serta ancaman politik bagi status quo. Untuk menangkalnya, Wahhabiyah dipromosikan dengan menekankan aspek-aspek pemurnian
kegamaannya seraya menjinakkan gairah politisnya.
Dengan sponsor Saudi Arabia, DDII mendirikan LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) pada 1980, sebagai agen
Wahhabiyah. Lembaga ini berhasil merekrut para pelajar berbakat
dari pesantren, termasuk nama-nama tenar seperti Chamsaha
Sofwan (Abu Nida), Jafar Umar Thalib, dan Muhammad Rizieq
Sihab. Sejumlah alumni lembaga ini melanjutkan studi ke Timur

325

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 321 - 334

Tengah dan sebagian dibabtis dulu di Afghanistan sebelum pulang


ke tanah air sebagai intelektual gerakan Salafi.
Fase persiapan dituntasi dengan introduksi sel-sel Salafi di
tanah-tanah yang sebelumnya telah diolah oleh gerakan-gerakan
Islam reformis dan tarbiyah. Hal ini mengingatkan konsep mother
milk dari George Rude (1970), bahwa introduksi ideologi baru
hanya bisa dicerap secara efektif jika memang ditanam pada lahan
yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Fase formatif gerakan ditandai kemunculan sejumlah lembaga
pendidikan Salafi dengan dukungan lembaga-lembaga donor dari
Saudi Arabia. Abu Nida mendirikan Yayasan As-Sunnah di Kaliurang (1992) disusul oleh pendirian lembaga-lembaga pendidikan
sejenis di berbagai tempat di Tanah Air. Fase formatif ini diberi
peluang oleh kemunculan tiga faktor penting.
Pertama, kehadiran figur kharismatik sebagai artikulator utama
Salafi, yakni Jafar Umar Thalib (l. 1961). Seseorang dengan jejak
eksposur yang panjang terhadap puritanisme, mulai dari Al-Irsyad,
Pesantren Persis, LIPIA, Maududi Islamic Institute (Pakistan),
terlibat Perang Afghanistan, hingga berguru ke ulama Wahabi
terkenal di Yaman, Muqbil ibn Hadi al-Wadii. Alhasil, seorang
ulama dengan otoritas keagamaan yang tinggi serta kemampuan
oratori yang memukau, yang dengan segera menyalip pengaruh
para perintis gerakan Salafi sebelumnya. Basis dukungannya datang
dari jaringan Pesantren Ihyaus Sunnah yang beliau dirikan bersama
rekan-rekannya pada 1994.
Kedua, tersedianya struktur kesempatan politik yang dimungkinkan oleh konflik internal dalam rezim Orde Baru. Konflik ini
melemahkan kerangka dukungan bagi Soeharto yang mendorongnya mengakomodasi kepentingan Islam secara lebih luas, seperti
pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dan
institusi-institusi keislaman lainnya, yang memberi angin bagi
ekspansi gerakan-gerakan dakwah.
Ketiga, Invasi Irak atas Kuwait pada 1990. Kehadiran Amerika
Serikat di tanah saudi menimbulkan perpecahan di kalangan ulama
Wahhabi, antara yang pro dan anti status quo.Perpecahan pada
tingkat internasional ini menimbulkan fragmentasi dalam gerakan
salafi di Indonesia. Perpecahan internal ini mendorong para pemimpin salafi yang bertikai berlomba meluaskan pengaruhnya masing326

Pembumian Gerakan Islam Transnasional Yudi Latif

masing, yang secara keseluruhan kian memperluas peta pengaruh


Salafi di Tanah Air.
Fase konsolidasi dimungkinkan oleh keterbukaan ruang publik
pasca Orde Baru. Dalam situasi bebas, aneka kelompok kepentingan berkompetisi memperluas pengaruh, menyulut konsolidasi
internal dalam bentuk politisasi identititas. Apresiasi Salafi terhadap kebijakan akomodasi Islam oleh rezim akhir Orde Baru,
dilanjutkan oleh rezim Habibie, menempatkannya berhadapan dengan
lawan sang rezim yang mendorongnya melakukan mobilisasi politik. Kecenderungan ini bertaut dengan kepentingan unsur-unsur
militer yang peran politiknya tersingkir sejak Pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Transformasi Salafi dari gerakan apolitis menjadi politis-militeristis memperoleh katalisnya dalam konflik etno-religius di Ambon
yang meletus pada 19 Januari 1999. Pada Januari 2000, simpulsimpul salafi di bawah kememimpinan Jafar Thalib mengadakan
tablig akbar yang berakhir dengan pembentukan Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal-Jamaah (FKAWJ), yang menjadi embrio
bagi pembentukan Laskah Jihad yang dikirim ke Maluku.
Efektivitas jaringan salafi dalam melakukan mobilisasi politik
berpadu dengan biografi individuals dari orang-orang yang mengalami krisis identitas, sebagai dampak intrusi kondisi-kondisi
modernitas dan posmodernitas, yang memerlukan sangkar perlindungan dan konsolidasi di tengah samudera ketidakpastian (Hasan,
2007: 157-159).
Dijelaskan, dari sekitar 7000 anggota Laskar Jihad, karakteristik
sosiografisnya tercermin dari ratusan sample yang dipilihnya secara
acak. Sebagian besar berusia antara 20-35 tahun, berlatar pedesaan
atau pinggir kota, dari latar keluarga petani atau borjuis kecil dengan afinitas keagamaannya justru banyak yang beraliran abangan.
Dan, sejauh yang menyangkut pelajar, sebagain besar berlatar pendidikan sains dan rekayasa (Hasan, 2007: 159-162). Alhasil, keanggotaan Laskar merefleksikan biografi kolektif individu-individu yang
mengalami deprivasi ekonomis, sosial, spiritual dan psikologis yang
mencoba berhijrah lewat kelompok keagamaan yang eksklusif.
Bagi kalangan ini, pergi berjihad merupakan outlet dari rasa iri dan
frustasi sekaligus proses inisiasi bagi kelahiran kembali sebagai
Muslim sejati (Hasan, 2007: 167-180).
327

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 321 - 334

Misi Laskar Jihad di Maluku lebih tepat dilukiskan sebagai


drama, ketimbang misi perang yang sesungguhnya. Kedatangan
mereka lebih menyentuh segi-segi citra heroisme, ketimbang ketangkasan bersenjata. Kebanyakan amatir dan bermodal nekad,
kehadiran mereka di medan-medan tempur lebih sering mengacaukan strategi peperangan. Kontribusi terpentingnya justru pada
penggunaan media dan teknologi komunikasi modern, yang semestinya mereka tolak sebagai bidah. Propaganda jihad yang dijurubicarai Jafar Thalib ini membantu mengobarkan semangat tempur
Muslim lokal. Hal ini sekaligus memberikan efek dramatis yang
melambungkan citra kepelopran dan signifikansi figur Salafi di
panggung politik nasional (Hasan, 2007: 186-213). Dalam hal ini,
fundamentalisme sebagai reaksi terhadap modernitas dan sekaligus ekspresi modernitas menemukan perwujudannya.
Dalam upayanya menjelsakan tranformasi salafi dari posisi
apolitis menjadi politis-jihadis, Noorhaidi menyimpulkan, Hal itu
berarti bahwa penolakan mereka terhadap aktivisme politik bukanlah bagian intrinsik dari ideologinya, melainkan sekadar taktik dan
strategi yang bisa digunakan untuk melindungi mereka dari represi
oleh rejim penguasa... (Hasan, 2007: 148). Di lain pihak ia menjelaskan, Fakta bahwa keputusan komunitas salafi untuk mengambil
jalan kekerasan seiring dengan radikalisasi wacananya menunjukkan signifikansi ideologi pada gerakan Islamis militan: ideologi
tidaklah statis, tetapi dinamis, dan berkembang seiring dengan
perubahan konteks (Hasan, 2007: 219). Dengan penjelasan ini,
penolakan terhadap aktivisme politik (izbiyyah) boleh jadi memang merupakan bagian intrinsik dari ideologi salafi. Hanya saja,
formula ideoliginya ini tidaklah baku, melainkan bisa berubah.
Inkonsistensi ini terjadi karena Noerhaidi tidak mengembalikan
hal ini ke dalam kerangka teoritik gerakan sosial. Andai saja ia
menyertakan cognitive approach dalam menatap gerakan, transformasi salafi tersebut dengan mudah dijelaskan dalam temanya
sendiri. Bahwa ideologi gerakan, menurut pendekatan ini, merupakan kreasi dari suatu proses kolektif, suatu produk dari rangkaian
perjumpaan sosial, di dalam gerakan, antargerakan, dan antara
gerakan dengan lawana-lawannya (Eyerman & Jamison, 1991: 5657).

328

Pembumian Gerakan Islam Transnasional Yudi Latif

Sementara itu buku Greg Fealy dan Anthony Bubalo menggambarkan bagaimana fenomena fundamentalisme merembes ke dalam
arus utama Islam Indonesia yang utamanya antara lain Muhammadiyah dan NU. Dalam back cover dijelaskan bahwa, Di sepanjang sejarah Islam di Nusantara, fenomena fundamentalisme dan
ekstremisme terasa mengejutkan banyak pihak. Orang bertanyatanya: mengapa di tengah arus utama Islam yang moderat di Indonesia (utamanya, NU dan Muhammadiyah), muncul sekelompok
Muslim sebagai teroris? Penjelasannya tentu melibatkan berbagai
faktor dengan banyak dimensi yang kompleks. Tanpa bermaksud
melakukan penyederhanaan dan mengabaikan kompleksitas persoalan, buku ini secara khusus hendak menyoroti pengaruh Islamisme
Timur Tengahdari Ikhwanul Muslimin hingga Al-Qaedadi
Indonesia. Tak ketinggalan, terkait dengan pengaruh tersebut, buku
ini juga mengupas fenomena keberhasilan Partai Keadilan Sejahtera
di pentas politik Indonesia dan Jamaah Islamiyah yang sering
dikaitkan dengan serangkaian aksi teror.
Buku ini melakukan penelusuran secara lebih luas tentang peran
yang dimainkan kelompok Islamis di kancah politik internasional
kontemporer. Penilaian ini juga diberikan oleh M. Endy Fadlullah.2
Fokus kajiannya dibingkai dengan beberapa persepsi dan mispersepsi, terutama menyangkut kecenderungan yang melihat Islamisme saat ini sebagai gerakan ideologi monolitik yang menyebar dari
Timur Tengah sebagai pusat ke negara-negara Muslim di seluruh
dunia.
Penjelasan dalam buku ini mengarah pada perubahan besar
yang terjadi, baik di dunia Islam maupun persepsi Barat atas dunia
Islam. Perubahan nyata telah menjelma sebagai dampak serangan
teroris 11 September 2001, di mana Al-Qaeda semakin dipandang
sebagai sebuah ideologi ketimbang organisasi. Telaah atas sejauh
mana ideologi atau pandangan dunia itu telah menyebar, serta
menjelaskan bagaimana kecenderungan dari ancaman teroris di
masa depan. Perubahan besar dalam dunia Islam yang sering tidak
disadari oleh masyarakat internasional adalah, sebagian besar
masyarakat Muslim dunia saat ini tidak lagi terkonsentrasi di Timur
Tengah (h. 84).
2

http://ioix.multiply.com/journal/item/11/Jejak_Kafilah

329

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 321 - 334

Dari semua bentuk Islamisme kontemporer, pengaruh Ikhwanul


Muslimin di Indonesia memiliki sejarah terpanjang, demikian dijelaskan dalam kesimpulan buku ini. Menurut penulis, meski berhasil
mengungkap pengaruh atau dampak gagasan-gagasan Islamis dan
neofundamentalis dari Timur Tengah di Indonesia, hampir semuanya mengalami proses mediasi atau modifikasi. Gagasan gradualis
Hasan Al-Banna, misalnya, lebih banyak digunakan dibandingkan
gagasan revolusioner Sayyid Quthb dan para penerus radikalnya (h.
109).
Tak ketinggalan, terkait dengan pengaruh tersebut, buku setebal
202 halaman ini juga mengupas fenomena keberhasilan Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) di pentas politik Indonesia dan Jamaah
Islamiyah yang sering dikaitkan dengan serangkaian aksi teror.3
Tak pelak lagi bahwa di tengah arus besar kecenderungan untuk
melukiskan Islamisme sebagai wajah tunggal berdimensi transnasional, buku ini merobohkan pencitraan naif seperti itu dengan
menunjukkan keragaman dan dimensi lokal dari presentasi Islamisme dalam ruang sejarah.
Kesimpulan
Indonesia memang hanyalah sebuah noktah kecil di muka bumi,
namun tetap saja bagian dari planet ini. Sebagaimana gelombang
penetrasi kapitalisme dunia dan revivalisme keagamaan beberapa
abad yang silam memengaruhi perkembangan masyarakat-masyarakat Indonesia, demikian juga halnya dengan gelombang penetrasi
globalisme dan postmodenisme sejak akhir abad ke-20. Kehadirannya akan membawa pengaruh signifikan bagi perkembangan
Indonesia.
Sebagai titik-temu silang budaya, Indoensia akan menjadi
sebuah sentrum bagi berlangsungnya ketegangan antara gelombang
homogenisasi kultural dengan heterogenisasi kultural. Semakin
dalamnya penetrasi budaya-massa global serta nilai-nilai sekularliberal Barat akan bergerak secara simultan dengan penetrasi
revivalisme keagamaan dan fudnamentalisme global. Hasil akhirnya, paling tidak untuk jangka pendek, bukanlah kejayaan ini atau
itu (sekularisasi secara total ataukah Islamisasi secara total),
3

330

M. Endy Fadlullah, http://ioix.multiply.com/journal/item/11/Jejak_Kafilah

Pembumian Gerakan Islam Transnasional Yudi Latif

karena setiap kutub memiliki arena-arena dan strategi-strateginya


tersendiri untuk bertahan hidup. Efeknya, hibriditas dan fusi antara
tradisi-tradisi kultural yang berbeda-beda akan terus menjadi karakteristik utama dari gerakan keagamaan di Indonesia. Setiap usaha
untuk menyeragamkan masyarakat Indoensia harus mentransformasikan relasi kuasa yang bersifat timbal balik (reversible power
relation) menjadi praktik dominasi. Setiap dominasi akan mengandung dalam dirinya diskriminasi dan represi, dan ini pada
akhrinya akan melahirkan efek bumerang.
Konflik-konflik ideologis antargerakan keagamaan maupun antara gerakan keagamaan dan non-keagamaan tidak mesti mengarah
pada usaha untuk saling menafikan, karena mungkin saja hal itu
mengarah pada usaha untuk saling mendekat. Konflik-konflik
ideologis antara generasi pertama inteligensia Muslim modernis
dengan inteligensia komunis, misalnya, mendorong perumusan sosialisme Islam, yang sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran
Marxis. Dalam perbauran antar beragam tradisi intlektual dan politik, pandangan-pandangan yang bersifat radikal dan puritan terhela
ke arah pemikiran-pemikiran yang lebih moderat, sementara pandangan-pandangan konservatif terdesak untuk mengadopsi elemenelemen tertentu dari pandangan-pandangan radikal dan puritan.
Selain itu, variasi internal dalam tubuh Islam sendiri mencegah
kehadirannya dalam politik untuk menjadi monolitik. Pertarungan
internal dalam tubuh Islam yang berkombinasi dengan kepentingankepentingan politik pragmatis memaksa kelompok-kelompok Islam
tertentu untuk membangun aliansi-aliansi dengan kelompokkelompok politik di luar tradisi-tradisi intelektual dan politik Islam.
Lebih jauh lagi, identitas-identitas sosial dari kaun Muslim
tidak hanya didefinisikan oleh orientasi keagamaannya, namun juga
oleh beragam kerangka relasi kehidupan (seperti kelas, etnik, status
pendidikan dan sebagainya). Jadi, selalu ada elemen-elemen sosial
yang saling bersinggunganmembangun irisan bersama antar
beragam kelompok inteligensia serta peluang untuk melakukan
afiliasi-ganda (multiple-affiliations). Semua ini memungkinkan terciptanya blok-blok historis (historical blocs). Jika tidak, Indonesia
tak akan pernah ada. Ringkasnya, gerakan keagamaan di Indonesia
terus hadir sebagai suatu ekspresi kolektif dalam arti suatu kesa-

331

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 321 - 334

maan identitas dalam perbedaan (identity in difference) dan keberagaman dalam kebersamaan identitas (difference in identity).
Dengan demikian, pembentukan dan perkembangan gerakan
Islam tidak bisa lepas dari kehadiran dan pengaruh dari kelompok
lain yang penting (significant others). Persepsi Muslim yang
berbeda-beda atas kelompok lain akan melahirkan strategi-strategi
kuasa dan formulasi-formulasi identitas yang berbeda-beda dalam
tubuh komunitas Muslim. Jadi, bagaimanapun kuatnya gairah kaum
fundamentalis yang suka bernostalgia untuk mencapai kemurnian
dan kepastian, tak akan bisa terlepas dari proses imitasi dan
ketidakpastian. Wallhu alam bi al-awb!

Daftar Pustaka
Eyerman & Jamison. 1991. Social Movement, A Cognitive Approach.
Pennsylvania State University Press, co-published with Polity Press.
Fadlullah, M. Endy, http://ioix.multiply.com/journal/item/11/Jejak_Kafilah
Fealy, Greg dan Anthony Bubalo. 2007. Jejak Kafilah. Bandung: Mizan.
Geertz, Clifford. 1968. Islam Observed. Chicago: University of Chicago Press.
-------. 1966. Religion as a Cultural System. dalam Anthropological Approaches
to the Study of Religion , ed. M. Banton (New York: Praeger, 1966): 1-46
Hasan, Noorhaidi. 2007. Laskar Jihad: Islam, militancy, and the quest for identity
in post-New Order Indonesia. Ithaca, NY: Southeast Asia Program
Publications, Southeast Asia Program, Cornell University
Latif, Yudi, Mengurai Eksistensi Laskar Pencari Identitas, Tinjauan Buku,
Kompas, Senin, 26 Maret 2007.

332

Pembumian Gerakan Islam Transnasional Yudi Latif

Lampiran:

Gambar 01
Cover Buku Jejak Kafilah, Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia,
karya Greg Fealy dan Anthony Bubalo (Bandung: Mizan, 2007)

333

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 2, 2008: 321 - 334

Gambar 02
Back Cover dari Buku
Jejak Kafilah, Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia

334

Indeks

Indeks Vol. 6

1. Indeks Judul
Hikayat Lukmn Al-Hakm (Tinjauan Isi dan Relevansinya dengan Masa Kini),
Muhammad Shoheh, 251-274
Ibrhm al-Krn: Sebuah Telaah Biografis, Oman Fathurahman, 301-320
Karya Melayu Bercorak Tasawuf dan Klasifikasinya, Abdul Hadi W.M., 179-206
Konservasi Naskah Klasik dan Khazanah Budaya Keagamaan, Muchlis, 169-178
Materi Siaran Keagamaan di Televisi: Studi atas Materi Ceramah Keagamaan di
Stasiun Televisi Kalimantan Barat, E. Badri Yunardi, 125-148
Menguak Sufisme Tuang Rappang: Telaah atas Naskah Daqiq al-Asrr, M.
Adib Misbachul Islam, 207-228
Naskah Nabi Haparas, Naskah Sasak Bernuansa Islam di Nusa Tenggara Barat,
Zakiyah, 275-300
Pembumian Gerakan Islam Transnasional (Tinjauan Buku Jejak Kafilah), Yudi
Latif, 321-334
Pemikiran Islam Kiai Ahmad Rifai: Kajian atas Naskah Tabrah (KBG 486),
Islah Gusmian, 67-90
Penelitian Arkeologi sebagai Bukti Sahih Sejarah: Kajian atas Buku Barus Seribu
Tahun yang Lalu Karya Claude Guillot, dkk., Masmedia Pinem, 149-168
Penggunaan Tulisan Jawi di Indonesia Setelah Kedatangan Islam, Uka
Tjandrasasmita, 1-32
Peta Lektur Keagamaan pada Kelompok Keagamaan di IPB: Benang Merah
Gerakan Islam Asasi, Asep Saefullah, 91-124
Runtuhnya Budaya Bangsa (Peta Dekadensi Moral dalam Naskah Wasiat Nabi
Kode BR. 26 Koleksi PNRI), Nur Said, 229-250
Sumbangan Sastrawan Ulama Aceh dalam Penulisan Naskah Melayu, Abdul
Hadi W.M., 33-36

335

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 1, 2008: 335 - 340

2. Indeks Penulis
A
Abdul Hadi W.M., 33, 179
Asep Saefullah, 91
E
E. Badri Yunardi, 125
I
Islah Gusmian, 67
M
M. Adib Misbachul Islam, 207
Masmedia Pinem, 149
Muchlis, 169
Muhammad Shoheh, 251
N
Nur Said, 229
O
Oman Fathurahman, 301
U
Uka Tjandrasasmita, 1
Y
Yudi Latif, 321
Z
Zakiyah, 275

336

Indeks

3. Indeks Subjek
A
Abd al-Bq Taq al-Dn alanbal, 304
Abd al-Bar Tuang Rappang, 208,
209, 210, 211, 223
ayan sbitah, 58
aadiyah, 50
Amad li Syam al-Millah wa
ad-Dn, 212
Ab al-Irfn, 303
Ab al-Mawhib, 304
Ab al-Waqt, 303
Ab Isq, 303
Ab Muammad, 303
Abbas al-'Asyi, 63
Abdul Karim al-Jili, 50, 51
Abdul Qadim Zallum, 99, 103, 110,
115, 117, 118, 121
Abdul Qadir Jailani, 188
Abdul Rauf al-Fansuri, 5
Abdul Samad al-Palimbani, 5
Abdurrahman Al-Baghdadi, 104,
118
Abu Ubaidah, 74
adil riwayat, 82
Agiografi, 186, 188
Ahlus Sunah, 114, 327
Ahmad Rifai, 67, 69, 71, 72, 73,
74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82,
83, 84, 85, 86, 87, 88, 89
awl, 185, 192
an al-barah, 221
Akhbar al-Akhrah, 53, 54
Akhlq al-Musinn, 44
alam jabarut, 182
alam lahut, 182
alam malakut, 182
alam nasut, 182
al-Asyr, 305
Alauddin Riayat Syah, 6, 21
Alf Lalah wa Lalah, 45
Al-Gazali, 12, 79, 118, 122

Algemeene Secretarie, 290


alim adil, 82
Amir Hamzah, 198, 277, 289
Andi Ijo, 210
An-Nabhani, 110, 112, 114, 115,
119, 123
al-Aqdah al-Wsiiyyah, 306
arkeologi, 149, 150, 151, 152, 153,
155, 166, 167, 175, 233
Ab al-Jwiyn, 302
Asrr-namah, 44
Asrr al-rifn, 11
Asrr Al-Insn, 13
Asyri
Kiai, 74
alam ilm, 51
alam al-ajsm, 50
alam al-arwh, 50
alam al-mial, 50
Aqid al-Nasaf, 39
asyiq, 190
B
Bad al-Amali, 39, 184
Babad Lombok, 277
Badaruddin
Sultan, 15
Bar al-Aj'ib, 189
Baqi, 194
Baros, 163
Barus, 62, 149, 150, 154, 155, 156,
157, 159, 161, 162, 163, 164,
165, 166, 167, 186, 191, 193,
194
Barus Seribu Tahun yang Lalu,
149, 150, 154, 155, 167
Bataviasche Genotschaft, 33
Bianglala
surat kabar, 22
Bidyah al-Balgah, 57
Bidang Penais, 126, 130, 132
Bina Budi, 128, 145

337

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 1, 2008: 335 - 340

Bintang Timur
surat kabar, 21
BKIM, 98, 99, 101, 102, 105, 106,
107, 108, 109, 111, 117, 118,
121, 122, 123, 124
Bo Sangaji Kai, 17
boda, 287
Bukhari al-Jauhari, 7, 11, 40, 41,
44, 45, 46, 47, 49, 61, 189
Burhn al-Dn, 303
Bustn al-Saltn, 13, 49, 53, 54,
55, 189, 256
C
catch word (kata alihan), 260
Cik Pante Kulu,, 63
Cilinaya Cupak, 277
content analysis, 95, 126
D
a-arr, 209, 211, 224
Daqiq al-urf, 189, 311
Daqiq al-Asrr, 207, 209, 211,
213, 223, 224, 225, 226, 227,
228
Dar al-Farid, 53
Dekadensi Moral, 229, 235, 239
Destar, 284, 293
Dinasti Song Utara, 158
discourse analysis, 95
DKM Al-Hurriyah, 98, 100, 101,
105, 106
Do Karim, 63
urrat al-Far`id, 39
E
epigrafi, 2, 7, 150, 153, 155, 165,
166
F
Fahm, 46, 314
Fakhrudin `Iraqi, 183
fana`, 190

336

faqr, 59, 190, 193


Fariduddin al-`Aar, 183, 184
Fath al-Wahhab, 74
Fatimah binti Maimun, 3, 27
Fi illil-Qurn, 101, 105, 106,
122
Fikr, 46, 312, 315, 317
fikrah, 93, 103, 110, 111, 112, 113,
119, 120, 122
fitrah, 114, 119
Front Pembela Islam, 93
FSLDK, 102
Fu al-ikam, 50
Futht al-Makkiyah, 50
G
Gerakan Islam Asasi, 91, 93, 119,
122
GIP, 105
H
habitus, 240, 244, 246
halqah, 120
halqah ula lilhizb, 120
Hamzah Fansuri, 7, 11, 12,13, 23,
38, 40, 41, 42, 43, 44, 48, 50, 52,
53, 54, 57, 62, 63, 64, 177, 184,
186, 188, 189, 190, 191, 192,
193, 195, 196, 198, 200, 202,
203
Hidyat al-abb, 53
Hikayat Bandjar, 19
Hikayat Burung Pingai, 184, 199,
200
Hikayat Hasanuddin, 20
Hikayat Lukmn al-akm, 254,
255, 259
Hikayat Nabi, 277
Hikayat Nabi Bercukur, 254, 282,
284, 290, 292
Hikayat Nabi Miraj, 279, 280
Hikayat Nabi Wasiat, 279, 280
Hikayat Raja Khandak, 292
Hikayat Raja-Raja Pasai, 5, 20

Indeks

Hikayat Seribu Masalah, 254


Hikayat Syah Mardan, 189, 196,
197, 256
Hikayat Tanah Hitu, 18
Hikayat Yusuf, 184
Hikmat al-Hukam, 261, 262
historiografi, 36, 172
Hizbut Tahir Indonesia, 93
Hizbut Tahrir, 92, 99, 103, 104,
108, 114, 115, 117, 119, 121,
122, 123
hudan, 125
Hujjat Al-Siddiq, 13
al-Hujwiri, 186, 202
aramain, 224, 302, 303, 309
ifz, 46
ikyat Indera Putra, 56
ikyat Isma Yatim, 56
ikyat Pandawa Lima, 56
ikyat Seri Rama, 56
aqqah, 85, 86, 88
aqq al-yaqn, 43
ull, 222
I
Iy Ulm ad-Dn, 118
Ibn `Arabi, 183, 194
Ibn al-Qayyim, 304, 307
Ibn Farid, 183
Ibn Khaldun, 47
Ibnu Taimiyah, 118, 122, 304, 306,
307, 308
Ibrhm al-Krn, 301, 302, 303,
312, 318
Indosiar, 126
insn, 50
al-Insn al-Kmil, 50
Institut Pertanian Bogor/IPB, 91,
92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 103, 104, 105,
106, 107, 108, 109, 111, 117,
118, 121, 122, 123, 124
Irdat, 46
Isa Al-Barawi, 74

Iskandar Muda, 6, 10, 21, 25, 35,


44, 48, 52, 53, 58, 64
Iskandar Sani, 6, 10, 11, 55
Islam, Mulai Akar ke Daunnya, 105,
106, 109, 121
Istiadat Tanah Negeri Butun, 18
`isyq, 182, 190, 192
Itf al-ak, 306, 307, 309, 313,
318, 319
Ir, 59
Al-Izzah, 105, 106, 110, 115, 121,
124
J
Jwah, 4
Jabariyah, 114
Jalaluddin Rumi, 39, 183, 202
Jamah al-Jwyin, 302
Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah, 93
Jaringan Islam Liberal, 93
Jatiswara, 276, 277
Jauhar Ulm, 53
Jawhar al-aq`iq, 48
Jawi, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 13,
14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 22, 23,
25, 26, 34, 60, 62, 75, 77, 89,
112, 114, 116, 124, 187, 190,
232, 252, 254, 259, 271, 290,
291, 302, 311, 316
al-Junaid al-Bagdd, 308
K
kasyf, 182, 190
Kasyf al-Mahjub, 186
Kemas Fakhruddin, 14
kh,220
khul kh, 220
Khalq Afl al-Ibd, 305, 314
Khalwatiyah, 207, 208, 209, 210,
211, 223, 224
Kifyat al-Mutjn, 58, 311
Kirman Ktibn, 242
Kitb Itiqd al-Syfi, 305

337

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 1, 2008: 335 - 340

Kitb Jmi al-Tawrkh, 45


Kitab Adab al-Mulk, 46
konservasi naskah, 172, 177, 178
kutlah hizbiyah, 120
L
Lala Majnn, 45
laqab, 209, 303
Lasykar Jihad, 93
Lebai Abdullah, 63
Lentera Rohani, 129, 145
lingua franca, 9, 21, 22, 34, 254
Lobu Tua, 150, 154, 155, 156, 157,
158, 159, 160, 161, 162, 163,
164, 165
Lukmn al-Hakm, 256, 262
M
ma` al-hayt, 190
Al-Maarif, 105
magrib, 83, 267
mabb, 190
Mahkota Raja-Raja, 11
majaz, 185, 186
Majelis Mujahidin Indonesia, 93
malahi, 265
Malik Ibrahim, 3, 38
maniq, 14, 304
Manajemen Kalbu, 128, 145
Mantiq al-Thayr, 184, 200
Manusia Jati, 278, 279
maqm, 12
Maqmt, 185
martabat tujuh, 50
masyriq, 267
al-Mtrid, 305
mawaddah, 140, 236
Medan Prijaji
surat kabar, 21
metaphisic, 13
Mifth al-`Asrr, 62
Mimbar Hindu, 129, 145
Mir`at al-aqqah, 48
Mir`at al-mn, 48

338

Mirat al Mu`minn, 48
Mirat al-Muaqqiqn, 48
Mirat at-ullb, 57
Mirat a-Tamam, 18
Modjo
Kiai, 77
muyanah, 212, 213, 214, 222
muarah, 212, 213, 214, 222
musabah, 234
muaddi, 310
Muhamamd Isa Qaimuddin, 18
Muhammad Arsyad al-Banjari, 5,
19
Muhammad Daud al-Fatani, 5
Muhammad Fadlullah alBurhanpuri, 49, 197
Muhammad Zainuddin al-Sambawi,
5
Muktazilah, 114
Muntahi, 11, 42, 189, 200
Muqaddimah, 47, 212
Al-Muslimun, 105
murqabah, 212, 213, 214, 217,
218, 219, 220, 223
Musnad al-Firdaus, 268
Mustofa, 103, 104, 118, 121
musyhadah, 212, 213, 214, 216,
218, 219, 220, 221, 222, 223
musyahadah, 181, 185
N
Al-Nabhani, 103, 117, 118, 119,
120
Nsiah al-Mulk, 45
nr Muammad, 50, 58
Nabi Bercukur, 282, 283, 291
Nabi Haparas, 275, 278, 279, 280,
281, 282, 283, 284, 285, 286,
290, 291, 292, 294, 296, 297,
298, 299
nafs, 194
Nawawi al-Bantani, 170
ngoko
Jawa, 69
Nizam al-Mulk, 39, 44

Indeks

Nur al-Mubin, 62
Nuruddin al-Raniri, 7, 11, 12, 39,
52, 53, 54, 56, 58, 189
P
palaeografi, 2, 8
pantun, 19, 36, 42, 184
Penyejuk Kalbu, 128, 129, 133,
143, 145
Pepaosan, 277
Propatria, 72, 260
Puslitbang Lektur Keagamaan, 91,
125, 149, 169, 170, 172, 174,
178, 252, 253, 272, 300, 321
Pustaka Amani, 105
Q
qdi, 60
Qa-Qadar, 114
Qadiriyah, 41, 42
Qasidah al-Burdah, 184
qiydah fikriyyah, 114
qiyadah hizb, 120
Quds, 103, 193, 194
al-Qusysy, 303, 304, 305, 309
R
rh ifi, 50
Raja Ali Haji, 15, 177, 187, 189
Ratib, 14, 186, 188
RCTI,, 126
Reformasi Diri, 243
Rengganis, 276, 277, 278
Ri`ayat Syah al-Mukammil, 39
Riyu lin, 122
riyah, 59
rubai, 184
rubrikasi, 72, 259
S
Sabil Al-Muhtadin, 19
sajarah al-hayat, 198
saknah, 236

Salafi, 99, 326


Salaman dan Absal, 188
Salamullah, 93
sandu Baya, 277
aqfah, 113, 116
sastra kitab, 35, 36, 38, 39, 40, 42,
44, 49, 53, 57, 63, 180, 185, 254,
257, 292
SCTV, 126
Sejarah Melayu, 25, 38, 184
Serat Menak, 277
Seribu Masail, 14
Siaran Agama Islam, 128, 145
Silsilah Melayu dan Bugis, 15
Silsilah Pangeran Antasari, 19
Singir Parase Nabi, 279, 282, 284,
290
irat al-Mustaqm, 53
sirr, 215, 216, 217, 218
stemma, 290
Sullam al-Mustafidin, 57
Sultan Abdul Jalil, 209, 210, 211
suluk, 12, 21, 38, 42, 59, 185, 186,
190, 192
Syafa al-Qulb al-Muslimn, 53
Syair Burung Nuri, 15
Syair Dagang, 62, 184, 187
Syair Gemala Mestika Alam, 15
Syair Hukum Faraid, 15
Syair Hukum Nikah, 15
Syair Jwi, 62
Syair Kerajaan Bima, 17, 27
Syair Makrifat, 57, 186, 187, 190,
191
Syair Perahu, 62, 184, 187
Syair Pujian, 187
Syamsuddin al-Sumatrani, 7, 11,
12, 189
syarah, 85, 86, 88, 114
Syarab al-Asyikin, 11
Syaraf al-Anm, 187
Syarah Rub`i Hamzah Fansri, 48,
49
Syir al-Mulk, 44
Syihabuddin, 14, 189
syuhd, 220, 222, 309

339

Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 6, No. 1, 2008: 335 - 340

Syukur, 59

U
T

Tabrah, 67, 71, 72, 77, 79, 80, 85,


87, 89
Tafsir Tanbiyah, 71, 87
taqq, 174, 176
Taj al-Arus, 189
Taj al-Muluk, 189
Tj al-Saln, 11, 41, 189, 256
tajall, 42, 50, 51, 221, 222
al-Takattul al-izb, 115
Takhallus, 193
Tambo Minangkabau, 16
tanbh, 71, 87
Tanbh al-Msy, 311
tanzih, 186, 192
Tarbiyatuna, 105
arqah, 85, 86, 88, 111, 112, 113,
117, 262
arq al-mn, 114
Tarjuman Al-Mustafid, 14
tasybih, 192
taubatan naua, 43, 243
tawau, 59
tawajjuh, 212, 213, 214, 215, 216,
217, 218, 219, 223
Tawakal, 59
Tazkiyatun Nafs, 122
Teungku Kuta Karang, 63
Thariqul Izzah, 105, 106, 107, 110,
112, 114, 119, 123
theosophy, 13
TPI, 126
Tuang Rappang, 207, 208, 209,
210, 211, 212, 213, 214, 215,
216, 217, 218, 219, 220, 221,
222, 223
Tuhfat al-Mujahidin, 187
Tuhfat al-Nafis, 15, 189
Turki Usmani, 183
Tutur Monyeh, 277
TVRI, 126, 127, 128, 129, 130,
131, 132, 133, 134, 136, 138,
142, 143, 145, 147, 148

340

ulhiyah, 59
ulil albb, 46
ulil amri, 77, 82, 88
Umdat al-Muhtajn, 57, 58
Undang-Undang Sultan Adam, 19
`uryan, 190
V
verstehen, 181
W
wadah, 50, 308, 309, 310, 311
wadah al-wujd, 43, 51, 195, 316
waidiyah, 50
Al-Waie, 104, 105, 108, 110, 116,
123
Waktu lima, 287
Waiat Nabi, 229, 231, 232, 233,
234, 235, 236, 237, 238, 239,
242, 243, 244, 245, 246
Watermarks, 260
Weltanschauung, 35, 180, 181
wetu telu, 287, 288, 289
Wujud Mutlak, 51, 182
wujudiyah, 11, 42, 43, 49, 62, 194,
195
Y
Ysuf al-Makassari (Yusuf
Khalwati al-Makassari), 5, 207,
221, 223
Yayasan Al-Barkah, 133
Z
auq, 190, 192
ikr asanah, 59
ikr darajat, 59
ill al-Hill, 53
Zubdat al-Asrr, 68, 212
Zuhrat Al-Murid, 14
Zuhud, 59

Indeks

335

Anda mungkin juga menyukai