Anda di halaman 1dari 6

REVIEW JURNAL

GOVERNANCE DAN SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

RETHINKING AGENCY THEORY: THE VIEW FROM LAW


LUH LUH LAN
National University of Singapore
LOIZOS HERACLEOUS
University of Warwick

Oleh :
Murya Arief Basuki
S431402021

Dosen:
Dr. KRISMIAJI, M.Sc. Ak

MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI BISNIS


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2015

LATAR BELAKANG PENDAHULUAN

Berdasarkan teori agensi Fama and Jensen Mackling 1980, yang menjadi pondasi
tatakelola perusahaan, yang berdampak secara luas pada kebijakan dan praktik tatakelola
perusahaan (Daily, Dalton, & Cannella, 2003; Dalton, Daily, Ellstrand, & Johnson, 1998;
Shleifer & Vishny, 1997).

Kode dari praktik tatakelola perusahaan, pelatihan direktur, dan komposisi dan prosedur
dewan komisaris yang juga terpengaruhi oleh agency theory (Coffe, 1999;Hansman &
Kraakman, 2001; McCarthy & Purfer, 2008)

Masalah keagenan yang muncul nyata dan jelas dan berkembang hasil dari penelitian
empiris yang diusulkan untuk mengurangi masalah keagenan telah gagal untuk mendukung
keberhasilan penelitian mereka (Dalton, harian, Certo, & Roengpitya, 2003; Dalton et al,
1998;. Dalton, Hitt, Certo, & Dalton, 2007).

Asumsi kontrol dan kepentingan yang berorientasi teori keagenan (Davis, 2005; Ghoshal,
2005; Mizruchi, 1988) yang dianggap tidak cocok untuk menawarkan pemahaman penuh
mengenai

sistem

tata

kelola

perusahaan

yang

mencakup

perilaku

kolaboratif

(Sundaramurthy & Lewis, 2003 )

Banyaknya para sarjana yang tertarik dengan penelitian yang berkaitan dengan kebebasan
kontrol dan kepemilikan serta pasar dalam tatakelola perusahaan (et Harian al, 2003;.
Ghoshal, 2005).

Peneliti berpendapat kritis bahwa teori agensi perlu di kaji ulang ke arah yang baru karena
banyaknya kegagalan dalam beberapa penelitian untuk mendukung teori agensi

Peneliti tertarik berkaca teori-teori hukum perusahaan, pandangan turunan dari tata kelola
perusahaan, dan prinsip-prinsip hukum perusahaan dan kasus (Bainbridge 2002a, b, c,
Blair & Stout 2001a; Stout 2002, 2003) untuk menantang dan menyusun kembali tiga
prinsip fundamental yang mendasari teori keagenan klasik

Pertama, principal dalam hubungan principal-agent mengacu kepada pemegang saham


(Fama & Jensen, 1983b; Jensen & Meckling, 1976). Peneliti berpendapat bahwa principal
bukan pemegang saham, melainkan korporasi.

Kedua, dalam teori agensi klasik dewan adalah pemegang saham sebagai agen pertama
(Eisenhardt, 1989; mizruchi, 1988). Peneliti berpendapat bahwa dewan bukan agen tapi
seseorang dipercayakan untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan penerima
manfaat

Ketiga, dalam teori agensi klasik peran utama dewan adalah untuk memantau manajer
untuk memastikan bahwa kepentingan mereka tidak menyimpang secara substansial dari
principal dan bahwa mereka mengambil tindakan semaksimal mungkin untuk kepentingan
principal (Fama, 1980; Fama & Jensen, 1983a, b; Jensen & Meckling, 1976; Mizruchi,
1988). Penelti berpendapat bahwa peran dewan tidak melakukan monitoring, melainkan

menjadi sebuah mediasi dalam menyeimbangkan persaingan tuntutan dan kepentingan


kelompok yang berkontribusi terhadap proses produksi tim, membuat keputusan tentang
alokasi surplus tim, dan secara hukum pada akhirnya mengendalikan aset perusahaan dan
keputusan strategis (Blair & Stout, 2001a: 404). Sehingga peneliti memberikan gambaran
dari teori tim produksi dan teori organisasi, mengenai tiga kriteria prioritas untuk proses
mediasi ini : kekhususan tim investasi masing-masing pemangku kepentingan, kebutuhan
untuk hasil menguntungkan, dan kekuatan masing-masing pemangku kepentingan.
PEMBAHASAN
Contractual Or Agregat Theory Of The Corporation

Ciri khas dari teori keagenan klasik adalah adanya kontrak antara investor dan manager
yang berbasis pasar. Dimana negara tidak berperan dalam kontrak ini, namun negara
memberikan perlindungan hukum pada kontrak ini.

Legal Models Of Corporate Governance

Ada dua model tatakelola perusahaan yang muncul berdasarkan teori agregat : Pertama,
pemegang saham menjadi pihak yang utama (shareholders primacy), mendukung teori
keagenan, dan Kedua, Direktur menjadi pihak yang utama (director primacy), yang
mendorong pemikiran ulang mengenai teori keagenan.

Perbandingan model dapat dilihat pada gambar berikut :

DISKUSI DAN HASIL


Rethingking Agency Theory

Peneliti berpendapat bahwa kegagalan pada penelitian empiris untuk mendukung prinsipprinsip teori agensi meliputi pembatasan dan perdebatan asumsi teori ini, mengharuskan
untuk menguji kembali teori tersebut secara kritis dan melakukan formulasi ulang yang
dapat menjadi informasi untuk penilitian lebih lanjut secara teori dan secara empiris.

Posisi hukum korporasi sebagai prinsipal yang konsisten dengan

asumsi stewardship

theory, dimana pandangan dari sifat manusia yaitu kolektif dan kooperatif daripada
individualis dan oportunis, serta mengasumsikan keselarasan tujuan antar pihak, bukan
konflik peran (Davis et al, 1997;. Sundaramurthy & Lewis 2003)
Avenues for Testing Legal Agency Theory
Mendefinisikan ulang prinsipal : Dari semula shareholder menjadi korporasi.

Peneliti berpendapat bahwa teori hukum, undang-undang, dan penegakan kasus hukum
dan menegakkan korporasi, bukan pemegang saham, sebagai prinsipal.

Berdasarkan definisi peneliti memberikan tiga pertimbangan dalam pemikirannya :


Pertama, menyeimbangkan berbagai kepentingan stakeholder yang terlibat dalam
tim produksi. Kedua, konsisten dengan prinsip-prinsip teori stakeholder, termasuk
aspek instrumental, menghubungkan manajemen pemangku kepentingan yang
efektif dengan kinerja keuangan perusahaan yang lebih tinggi. Ketiga , kinerja
perusahaan dapat dilihat tidak hanya dari segi finansial tetapi juga dalam hal ukuran
faktor-faktor lain yang berkaitan dengan stakeholder.

Sehingga didapat :
-

Proposisi 1a mengintegrasikan dua pertimbangan.

Proposisi 1a: Boards of directors yang membuat keputusan demi kepentingan korporasi
daripada untuk kepentingan shareholder akan mencapai kinerja keuangan perusahaan
yang lebih tinggi.

Proposisi 1b mengintegrasikan pertimbangan kedua dan ketiga.

Proposisi 1b: Boards of directors yang membuat keputusan demi kepentingan korporasi
daripada kepentingan shareholder akan mencapai kinerja perusahaan yang lebih tinggi
dalam hal pengukuran spesifik terhadap stakeholder.

Mendefinisikan ulang status board: Dari agen shareholder sampai autonomous fiduciaries.

Peneliti berpendapat bahwa, menurut hukum perusahaan, teori hukum, dan legal
precedent, direksi bukanlah agen dari shareholder, melainkan, autonomous fiduciaries dari
korporasi.

Dari definisi tersebut peneliti memberikan pertimbangan pemikiran : Pertama, dewan


direksi bertindak sebagai autonomous fiduciaries akan membuat keputusan untuk
kepentingan korporasi untuk kepentingan shareholder. Kedua, sejak kepercayaan
merupakan bagian integral dari konsep dan praktek dalam fidusia, kepercayaan akan
menjadi kriteria utama dalam pemilihan posisi direktur, yang konsisten dengan asumsi teori
kepengurusan. Ketiga, kita mengandaikan bahwa direksi yang diseleksi dengan kriteria
kepercayaan akan lebih mungkin untuk bertindak sebagai autonomous fiduciaries korporasi
selain sebagai agen shareholder, yaitu untuk membuat keputusan demi kepentingan
korporasi.

Sehingga didapat proposisi :


-

Proposisi 2a berkaitan dengan pertimbangan pertama.

Proposisi 2a : Direksi bertindak sebagai autonomous fiduciaries korporasi akan membuat


keputusan untuk kepentingan korporasi daripada kepentingan shareholder.

Proposisi 2b mengintegrasikan pertimbangan kedua dan ketiga.

Proposisi 2b: Direksi yang di seleksi dengan kriteria kepercayaan lebih mungkin untuk
bertindak sebagai autonomous fiduciaries korporasi selain sebagai agen dari shareholder.

Mendefinisikan peran dari board : Dari monitor sampai hirarki mediasi.

Peneliti berpendapat bahwa sejak board secara hukum diharuskan untuk bertindak dalam
kepentingan korporasi bukan semata-mata kepentingan shareholder, mereka harus
menyeimbangkan kepentingan bersama, sehingga : Pertama, peran board lebih kepada
menjadi hirarki mediasi daripada monitor manajemen. Kedua, berdasar literatur hukum dan
manajemen, peneliti memberikan tiga kriteria prioritas untuk memenuhi peran hirarki
mediasi ini. Ketiga, penulis berhipotesis bahwa board yang menggunakan kriteria prioritas
ini akan lebih efektif dalam peran hirarki mediasi mereka.

Sehingga didapat proposisi :


-

Proposisi 3a mengintegrasikan pertimbangan pertama dan kedua.

Proposisi 3a: Ketika mediasi dalam kepentingan persaingan, board menggunakan kriteria
keutamaan tim investasi, outcome yang memuaskan, dan kekuatan relatif dari stakeholder.

Proposisi 3b menguji Pertimbangan ketiga.

Proposisi 3b: Jabatan dari tiga kriteria prioritas dewan dan efektivitas dewan tersebut
sebagai hirarki mediasi adalah berkorelasi positif.

Proposisi 3c mengintegrasikan pertimbangan ketiga dengan bukti empiris menunjukkan


bahwa orientasi stakeholder dan kinerja keuangan yang lebih tinggi tidak perlu dilihat
sebagai sesuatu yang bertentangan, melainkan yang berkorelasi positif.

Proposisi 3c: Efektivitas board sebagai hirarki mediasi dan kinerja keuangan perusahaan
adalah berkorelasi positif.

KONDISI BATASAN TEORI HUKUM

Sifat normatif dari teori hukum menunjukkan bahwa penelitian ini cenderung sebagai
sebuah resep (saran untuk penelitian ulang) yang berusaha mendeskripsikan dalam
pandagan hukum.

Teori hukum lebih cocok untuk analisis konseptual daripada deskripsi situasi organisasi
sosial yang sebenarnya.

Deskriptif, analisis empiris dapat dicapai dengan menggabungkan teori hukum dengan teori
manajemen dan organisasi yang relevan.

Asumsi yang mendasari teori hukum menimbulkan batas pada validitas empiris.

Terdapat kondisi batas yang berkaitan dengan fitur konteks organisasi dan kelembagaan,
yang membuat batas pada validitas empiris dari teori-teori hukum tertentu

IMPLIKASI

Dapat dijadikan pedoman bagi para pemangku kepentingan perusahaan dengan


memahami model director primacy dan akar hukumnya, dimana sistem hukum secara
historis memberikan perlindungan kepada direktur dari tantangan yang tidak semestinya
oleh para stakeholder (termasuk shareholder) sehingga mereka dapat secara efektif
melaksanakan tugas fidusia mereka ke perusahaan, prinsipal, dari perspektif hukum.

Karena kriteria prioritas pemangku kepentingan menjadi bahan pertimbangan ketika


membuat keputusan strategis dan operasional, maka proses pemilihan direktur akan
bergeser ke arah atribut kepercayaan, dan pengambilan keputusan direksi akan menjadi
lebih beragam,.

Program pengembangan corporate governance perlu disesuaikan agar mencerminkan


kemampuan yang dibutuhkan untuk secara efektif menyeimbangkan klaim persaingan.

SARAN PENELITIAN SELANJUTNYA


Melakukan studi empiris berdasarkan dugaan dugaan yang peneliti temukan.

Anda mungkin juga menyukai