Oleh :
Murya Arief Basuki
S431402021
Dosen:
Dr. KRISMIAJI, M.Sc. Ak
Berdasarkan teori agensi Fama and Jensen Mackling 1980, yang menjadi pondasi
tatakelola perusahaan, yang berdampak secara luas pada kebijakan dan praktik tatakelola
perusahaan (Daily, Dalton, & Cannella, 2003; Dalton, Daily, Ellstrand, & Johnson, 1998;
Shleifer & Vishny, 1997).
Kode dari praktik tatakelola perusahaan, pelatihan direktur, dan komposisi dan prosedur
dewan komisaris yang juga terpengaruhi oleh agency theory (Coffe, 1999;Hansman &
Kraakman, 2001; McCarthy & Purfer, 2008)
Masalah keagenan yang muncul nyata dan jelas dan berkembang hasil dari penelitian
empiris yang diusulkan untuk mengurangi masalah keagenan telah gagal untuk mendukung
keberhasilan penelitian mereka (Dalton, harian, Certo, & Roengpitya, 2003; Dalton et al,
1998;. Dalton, Hitt, Certo, & Dalton, 2007).
Asumsi kontrol dan kepentingan yang berorientasi teori keagenan (Davis, 2005; Ghoshal,
2005; Mizruchi, 1988) yang dianggap tidak cocok untuk menawarkan pemahaman penuh
mengenai
sistem
tata
kelola
perusahaan
yang
mencakup
perilaku
kolaboratif
Banyaknya para sarjana yang tertarik dengan penelitian yang berkaitan dengan kebebasan
kontrol dan kepemilikan serta pasar dalam tatakelola perusahaan (et Harian al, 2003;.
Ghoshal, 2005).
Peneliti berpendapat kritis bahwa teori agensi perlu di kaji ulang ke arah yang baru karena
banyaknya kegagalan dalam beberapa penelitian untuk mendukung teori agensi
Peneliti tertarik berkaca teori-teori hukum perusahaan, pandangan turunan dari tata kelola
perusahaan, dan prinsip-prinsip hukum perusahaan dan kasus (Bainbridge 2002a, b, c,
Blair & Stout 2001a; Stout 2002, 2003) untuk menantang dan menyusun kembali tiga
prinsip fundamental yang mendasari teori keagenan klasik
Kedua, dalam teori agensi klasik dewan adalah pemegang saham sebagai agen pertama
(Eisenhardt, 1989; mizruchi, 1988). Peneliti berpendapat bahwa dewan bukan agen tapi
seseorang dipercayakan untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan penerima
manfaat
Ketiga, dalam teori agensi klasik peran utama dewan adalah untuk memantau manajer
untuk memastikan bahwa kepentingan mereka tidak menyimpang secara substansial dari
principal dan bahwa mereka mengambil tindakan semaksimal mungkin untuk kepentingan
principal (Fama, 1980; Fama & Jensen, 1983a, b; Jensen & Meckling, 1976; Mizruchi,
1988). Penelti berpendapat bahwa peran dewan tidak melakukan monitoring, melainkan
Ciri khas dari teori keagenan klasik adalah adanya kontrak antara investor dan manager
yang berbasis pasar. Dimana negara tidak berperan dalam kontrak ini, namun negara
memberikan perlindungan hukum pada kontrak ini.
Ada dua model tatakelola perusahaan yang muncul berdasarkan teori agregat : Pertama,
pemegang saham menjadi pihak yang utama (shareholders primacy), mendukung teori
keagenan, dan Kedua, Direktur menjadi pihak yang utama (director primacy), yang
mendorong pemikiran ulang mengenai teori keagenan.
Peneliti berpendapat bahwa kegagalan pada penelitian empiris untuk mendukung prinsipprinsip teori agensi meliputi pembatasan dan perdebatan asumsi teori ini, mengharuskan
untuk menguji kembali teori tersebut secara kritis dan melakukan formulasi ulang yang
dapat menjadi informasi untuk penilitian lebih lanjut secara teori dan secara empiris.
asumsi stewardship
theory, dimana pandangan dari sifat manusia yaitu kolektif dan kooperatif daripada
individualis dan oportunis, serta mengasumsikan keselarasan tujuan antar pihak, bukan
konflik peran (Davis et al, 1997;. Sundaramurthy & Lewis 2003)
Avenues for Testing Legal Agency Theory
Mendefinisikan ulang prinsipal : Dari semula shareholder menjadi korporasi.
Peneliti berpendapat bahwa teori hukum, undang-undang, dan penegakan kasus hukum
dan menegakkan korporasi, bukan pemegang saham, sebagai prinsipal.
Sehingga didapat :
-
Proposisi 1a: Boards of directors yang membuat keputusan demi kepentingan korporasi
daripada untuk kepentingan shareholder akan mencapai kinerja keuangan perusahaan
yang lebih tinggi.
Proposisi 1b: Boards of directors yang membuat keputusan demi kepentingan korporasi
daripada kepentingan shareholder akan mencapai kinerja perusahaan yang lebih tinggi
dalam hal pengukuran spesifik terhadap stakeholder.
Mendefinisikan ulang status board: Dari agen shareholder sampai autonomous fiduciaries.
Peneliti berpendapat bahwa, menurut hukum perusahaan, teori hukum, dan legal
precedent, direksi bukanlah agen dari shareholder, melainkan, autonomous fiduciaries dari
korporasi.
Proposisi 2b: Direksi yang di seleksi dengan kriteria kepercayaan lebih mungkin untuk
bertindak sebagai autonomous fiduciaries korporasi selain sebagai agen dari shareholder.
Peneliti berpendapat bahwa sejak board secara hukum diharuskan untuk bertindak dalam
kepentingan korporasi bukan semata-mata kepentingan shareholder, mereka harus
menyeimbangkan kepentingan bersama, sehingga : Pertama, peran board lebih kepada
menjadi hirarki mediasi daripada monitor manajemen. Kedua, berdasar literatur hukum dan
manajemen, peneliti memberikan tiga kriteria prioritas untuk memenuhi peran hirarki
mediasi ini. Ketiga, penulis berhipotesis bahwa board yang menggunakan kriteria prioritas
ini akan lebih efektif dalam peran hirarki mediasi mereka.
Proposisi 3a: Ketika mediasi dalam kepentingan persaingan, board menggunakan kriteria
keutamaan tim investasi, outcome yang memuaskan, dan kekuatan relatif dari stakeholder.
Proposisi 3b: Jabatan dari tiga kriteria prioritas dewan dan efektivitas dewan tersebut
sebagai hirarki mediasi adalah berkorelasi positif.
Proposisi 3c: Efektivitas board sebagai hirarki mediasi dan kinerja keuangan perusahaan
adalah berkorelasi positif.
Sifat normatif dari teori hukum menunjukkan bahwa penelitian ini cenderung sebagai
sebuah resep (saran untuk penelitian ulang) yang berusaha mendeskripsikan dalam
pandagan hukum.
Teori hukum lebih cocok untuk analisis konseptual daripada deskripsi situasi organisasi
sosial yang sebenarnya.
Deskriptif, analisis empiris dapat dicapai dengan menggabungkan teori hukum dengan teori
manajemen dan organisasi yang relevan.
Asumsi yang mendasari teori hukum menimbulkan batas pada validitas empiris.
Terdapat kondisi batas yang berkaitan dengan fitur konteks organisasi dan kelembagaan,
yang membuat batas pada validitas empiris dari teori-teori hukum tertentu
IMPLIKASI