Kita sekarang beralih ke teori stakeholder. Teori ini memiliki dua cabang yaitu
etika (moral) atau normatif (yang juga dianggap sebagai preskriptif), dan positif
(manajerial). Pertama kita mempertimbangkan mengenai etika kemudian
mempertimbangkan positif (manajerial), yang secara eksplisit menganggap
berbagai kelompok (stakeholder) yang ada di masyarakat, dan bagaimana
harapan dari pemangku kepentingan tertentu memiliki dampak pada strategi
perusahaan. Hal ini memiliki implikasi bagaimana harapan pemegang saham
dipertimbangkan atau dikelola.
Teori Stakeholder Etichal
Teori ini menyatakan bahwa semua stakeholder mempunyai hak untuk
diperlakukan secara fair oleh perusahaan. Siapa pun stakeholder harus
diperlakukan dengan baik. Stakeholder mempunyai hak instrisik yang tidak boleh
dilanggar (seperti gaji yang wajar). Masing-masing kelompok stakeholder
mempertimbangkan manfaat untuk kepentingan diri sendiri dan bukan karena
kemampuannya untuk mendahulukan kepentingan beberapa kelompok lain,
seperti para pemegang saham (Donaldson dan Preston, 1995, p.66). dijelaskan
bahwa pembahasan normatif hak pemangku kepentingan membutuhkan
beberapa definisi stakeholder.
Untuk definisi kita dapat menggunakan istilah dari Freemand dan Reed (1983, p
91.): .... grup atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh
pencapaian tujuan perusahaan. Jelas, banyak orang (atau organisasi lainnya)
yang dapat diklasifikasikan sebagai stakeholder jika kita menerapkan definisi ini
(misalnya, pemegang saham, kreditur, pemerintah, media, karyawan, keluarga
karyawan, masyarakat setempat, badan amal lokal, generasi masa depan, dan
sebagainya).
Clarkson membagi stakeholder menjadi 2 yaitu stakeholder primer dan sekunder.
Stakeholder primer adalah pihak yang mempunyai kontribusi nyata terhadap
perusahaan, tanpa pihak ini perusahaan tidak akan bisa hidup. Sedang
stakeholder sekunder adalah pihak yang tidak akan mempengaruhi
kelangsungan hidup perusahaan secara langsung. Menurut Clarkson stakeholder
primer harus diperhatikan oleh manajemen agar perusahaan bisa hidup. Namun
pernyataan ini ditentang oleh teori stakeholder etika yang beragumentasi bahwa
semua stakeholder mempunyai hak yang sama untuk diperhatikan oleh
manajemen. Semua stakeholder mempunyai hak untuk mendapatkan informasi
mengenai bagaimana dampak perusahaan bagi mereka. Berkaitan dengan hak
informasi, Gray menyarankan menggunakan perspektif model akuntabilitas.
Akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyediakan laporan atas tindakan
mereka sebagai wujud tanggungjawabnya. Akuntabilitas meliputi 2 kewajiban: 1)
kewajiban/tanggungjawab melakukan tindakan tertentu, 2) tanggungjawab
menyediakan laporan akibat tindakan tersebut. Dengan model akuntabilitas
tersebut, maka pelaporan dianggap dipicu oleh tanggungjawab, bukan dipicu
karena permintaan.
legitimasi. Inilah sebabnya mengapa tiga perspektif teoritis ini harus dipandang
sebagai pelengkap dan tidak bertentangan.
Ada dua dimensi utama dari teori institusional. Yang pertama disebut
isomorfisme sedangkan yang kedua disebut decoupling. Kedua hal ini dapat
menjadi relevan untuk menjelaskan praktik pelaporan perusahaan yang hati-hati.
Dillard, Rigsby dan Goodman (2004, p. 509) menjelaskan bahwa 'isomorfisme
mengacu pada adaptasi praktik institusional oleh organisasi. Pelaporan
perusahaan dari sebuah organisasi adalah praktik pelaporan organisasi
kelembagaan yang prosesnya menyesuaikan dengan pelaporan perusahaan
secara hati-hati dan perubahan organisasi.
DiMaggio dan Powell (1983) menetapkan tiga proses isomorfik yang berbeda
(proses dimana praktik institusional seperti pelaporan perusahaan berubah).
Yang pertama adalah isomorfisme koersif dimana organisasi hanya akan
mengubah praktik institusional karena tekanan para stakeholder dan pihak yang
mengikat organisasi. Bentuk isomorfisme ini jelas terkait dengan teori
stakeholder manajerial (yang dibahas sebelumnya) dimana perusahaan akan
melakukan pengungkapan pelaporan perusahaan dengan hati-hati untuk
memenuhi nilai-nilai ekonomi, sosial, lingkungan dan etika dan kepentingan para
stakeholder yang memiliki kekuatan atas perusahaan.
Proses isomorfik kedua dari DiMaggio dan Powell (1983) adalah isomorfisme
mimesis. yang meliputi organisasi-organisasi yang ingin meniru atau
memperbaiki praktik kelembagaan organisasi lain, seringkali karena alasan
keunggulan kompetitif dalam hal legitimasi.
Proses isomorfik akhir yang dijelaskan oleh DiMaggio dan Powell (1983) adalah
isomorfisme normatif. Hal ini berkaitan dengan tekanan yang timbul dari normanorma kelompok untuk mengadopsi praktek-praktek kelembagaan tertentu.
Dalam kasus pelaporan perusahaan, mengharapkan akuntan profesional akan
bertindak dengan mematuhi standar akuntansi sebagai bentuk isomorfisme
normatif bagi organisasi dan pihak dimana akuntan bekerja menghasilkan
laporan akuntansi (praktek institusional) yang dibentuk oleh standar akuntansi.
Dalam hal praktek pelaporan yang hati-hati, tekanan isomorfik normatif timbul
melalui pengaruh dari berbagai kelompok formal dan informal seperti manajer,
budaya dan praktek kerja yang dikembangkan di tempat kerja mereka. Hal ini
dapat menciptakan pandangan manajerial kolektif dalam mendukung jenis
praktik pelaporan tertentu, seperti pandangan manajerial kolektif pada keinginan
atau kebutuhan menyediakan para pemangku kepentingan informasi sosial dan
lingkungan melalui media laporan perusahaan.
Beralih ke dimensi lain dalam teori institusional, decoupling menunjukkan bahwa
meski manajer menganggap bahwa kebutuhan untuk organisasi mereka harus
dilihat untuk mengadopsi praktek-praktek kelembagaan tertentu, dan bahkan
mungkin proses formal lembaga bertujuan untuk menerapkan praktek-praktek
ini, praktik organisasi yang sebenarnya bisa sangat berbeda untuk proses-proses
dan praktek yang secara resmi disetujui dan dipublikasi. Dengan demikian,
praktik yang sebenarnya dapat dipisahkan dari praktek kelembagaan tersebut.