Chapter II
Chapter II
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kornea
2.1.1.
Anatomi
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-
12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea
memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60
kekuatan dioptri mata manusia. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi
glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai
tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu
organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya
adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva ( AAO, 2008). Kornea dewasa
2.1.2.
Histologi
Secara histologis, lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu
lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel
(Riordan-Eva, 2010).
Permukaan anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat membran limitans
anterior (membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea (substansi propia).
Stroma kornea terdiri atas berkas serat kolagen paralel yang membentuk lamella
tipis dan lapisan-lapisan fibroblas gepeng dan bercabang (Eroschenko, 2003).
Permukaan posterior kornea ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel
posterior yang juga merupakan endotel kornea. Membran Descemet merupakan
membran basal epitel kornea (Eroschenko, 2003) dan memiliki resistensi yang
tinggi, tipis tetapi lentur sekali (Hollwich, 1993).
2.1.3.
aqueous, dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama
(ophthalmichus) dan nervus kranialis trigeminus (Riordan-Eva, 2010). Saraf
trigeminus ini memberikan sensitivitas tinggi terhadap nyeri bila kornea disentuh
(Hollwich, 1993).
2.1.4.
Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi
relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel
dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel
jauh lebih penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel
berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang
akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan
air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan pada lapisan air mata
tersebut. Hal ini mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma
kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak
dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh.
Agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus.
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme
kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan
membran Bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai macam organisme,
seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur (Biswell, 2010).
Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kelainan pada kornea
adalah:
1. Dry eye
Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi
sehingga tidak dapat memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, yang kemudian diikuti dengan keluhan
subjektif. Kekurangan cairan lubrikasi fisiologis merupakan faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya infeksi mikroba pada mata (Bangun, 2009).
2. Defisiensi vitamin A
Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat
menyebabkan kekeringan yang menggambarkan bercak Bitot yang
warnanya seperti mutiara yang berbentuk segitiga dengan pangkal di
daerah limbus. Bercak Bitot seperti ada busa di atasnya. Bercak ini tidak
dibasahi oleh air mata dan akan terbentuk kembali bila dilakukan
debridement. Terdapat dugaan bahwa bentuk busa ini merupakan akibat
kuman Corynebacterium xerosis. Hipovitamin A ini juga dapat
menyebabkan keratomalasia dan tukak kornea dimana akan terlihat kornea
nekrosis dengan vaskularisasi ke dalamnya (Ilyas, 2009).
adalah
suatu
kondisi
yang
tidak
diketahui
4. Distrofi kornea
Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur kornea,
bilateral simetrik dan herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses dimulai
pada usia bayi 1-2 tahun dapat menetap atau berkembang lambat dan
bermanisfestasi pada usia 10-20 tahun. Pada kelainan ini tajam penglihatan
biasanya terganggu dan dapat disertai dengan erosi kornea (Ilyas, et al,
2002).
5. Trauma kornea
Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi
atau perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau bakteri
harus diingat dengan kultur untuk bakteri dan jamur diambil pada saat
pemeriksaan pertama jika memungkinkan.
Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan aberasi, edema,
robeknya membran Descemet dan laserasi korneoskleral di limbus
(Bangun, 2010)
benda
asing
yang terdapat
pada
kornea dapat
menimbulkan gejala berupa rasa pedas dan sakit pada mata. Keluhan ini
mungkin terjadi akibat sudah terdapatnya keratitis atau tukak pada mata
tersebut (Ilyas, 2009).
2.2.
Keratitis
2.2.1.
Definisi
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada
2.2.2.
Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor (Ilyas, 2004), diantaranya:
1.
Virus.
2.
Bakteri.
3.
Jamur.
4.
5.
6.
Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak
cukupnya pembentukan air mata.
7.
8.
2.2.3
Klasifikasi
Menurut Biswell (2010), keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan
beberapa hal.
1.
a.
Etiologi
Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat
Gejala klinis dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan merasa
kelilipan.
10
Pemeriksaan laboratorium
Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk lonjong
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ketratitis pungtata superfisial pada prinsipnya
adalah diberikan sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridin,
trifluridin atau asiklovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah
cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan
tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan
jika terdapat sekret mukopurulen yang menunjukkan adanya infeksi campuran
dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu natamisin, amfoterisin atau
fluconazol.
Selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis pungtata superfisial ini
sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa
nyaman seperti air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid (Ilyas, 2003).
b.
Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan
11
Etiologi
Strepcoccus pneumonie, Hemophilus aegepty, Moraxella lacunata dan
Esrichia.
Gejala klinis
Penderita akan mengeluhkan sakit, seperti kelilipan, lakrimasi, disertai
fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi
konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal
ataupun multipel, sering disertai neovaskularisasi dari arah limbus.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan Gram
Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang sesuai dengan
penyebab infeksi lokalnya dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat diberikan
vitamin B dan C dosis tinggi (Ilyas, 2004).
c.
Keratitis Interstisial
Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh
Etiologi
Keratitis Interstisial dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke
12
Gejala klinis
Biasanya akan memberikan gejala fotofobia, lakrimasi, dan menurunnya
visus.
Menurut Hollwich (1993) keratitis yang disebabkan oleh sifilis
kongenital biasanya ditemukan trias Hutchinson (mata: keratitis interstisial,
telinga: tuli labirin, gigi: gigi seri berbentuk obeng), sadlenose, dan pemeriksaan
serologis yang positif terhadap sifilis.
Pada keratitis yang disebabkan oleh tuberkulosis terdapat gejala
tuberkulosis lainnya (Ilyas, 2004)
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan gram
Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya dapat diberikan kortikosteroid tetes mata jangka
lama secara intensif setiap jam dikombinasi dengan tetes mata atropin dua kali
sehari dan salep mata pada malam hari (Hollwich, 1993).
2. Berdasarkan penyebabnya
Keratitis diklasifikasikan menjadi:
a.
Keratitis Bakteri
Etiologi
Menurut American Academy of Ophthalmology (2009).
13
Uncommon Organisms
Neisseria spp
Moraxella spp
Mycobacterium spp
Nocardia spp
Non-spore-forming anaerobes
Corynebacterium spp
Gejala klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata
yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur
(Kanski, 2005). Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis
perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea.
Pemeriksaan laboratorium
Menurut Kanski (2005) pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan
menggores ulkus kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril
kemudian ditanam di media cokelat (untuk Neisseria, Haemophillus dan
Moraxella sp), agar darah (untuk kebanyakan jamur, dan bakteri kecuali
Neisseria) dan agar Sabouraud (untuk jamur, media ini diinkubasi pada suhu
kamar). Kemudian dilakukan pewarnaan Gram (Biswell, 2010).
Penatalaksanaan
Diberikan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur bakteri.
14
Gram-negative
rods
No organism or
multiple types of
organisms
Gram-negative
cocci
Mycobacteria
b.
Cefazolin
Vancomycin*
Moxifloxacin or
gatifloxacin
Tobramycin
Ceftazimidine
Fluoroquinolones
Cefazolin with
Tobramycin or
fluoroquinolones
Ceftriaxone
Ceftazimidine
Clarithromycin
Moxifloxacin or
gatifloxacin
Topical Dose
50 mg/mL
25-50 mg/mL
5or 3 mg/mL,
respectively
9-14 mg/mL
50 mg/mL
3 mg/mL
50 mg/mL
9-14 mg/mL
3 or 5 mg/mL
50 mg/mL
50 mg/mL
10 mg/mL 0,03%
5 or 3 mg/mL,
respectively
Subconjunctival
Dose
100 mg in 0,5 mL
25 mg in 0,5 mL
Not available
20 mg in 0,5 mL
100 mg in 0,5 mL
Not available
100 mg in 0,5 mL
20 mg in 0,5 mL
Not available
100 mg in 0,5 mL
Keratitis Jamur
Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic keratitis
(Dorland, 2000).
Etiologi
15
Gejala klinis
Menurut Susetio (1993) untuk menegakkan diagnosis klinik dapat
Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis laboratorik sangat membantu diagnosis pasti, walaupun negatif
Penatalaksanaan
Menurut Susetio (1993) terapi medikamentosa di Indonesia terhambat
16
kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat. Hal yang utama dalam terapi
keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi, dapat dibagi:
c.
Keratitis Virus
Etiologi
Herpes simpleks virus (HSV) merupakan salah satu infeksi virus tersering
pada kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan
parasit intraselular obligat yang dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung,
rongga mulut, vagina dan mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan
cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung
virus (Ilyas, 2004).
Gejala klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri pada mata, fotofobia,
penglihatan kabur, mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika
bagian pusat yang terkena (Ilyas, 2004).
Infeksi primer Herpes simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis
folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta pembengkakan
kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga disertai keratitis epitelial dan
dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini dapat
17
sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu dimana daya tahan tubuh sangat
lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.
Pemeriksaan laboratorium
Menurut Biswell (2010) dilakukan kerokan dari lesi epitel pada keratitis
HSV dan cairan dari lesi kulit mengandung sel-sel raksasa. Virus ini dapat
dibiakkan pada membran korio-allantois embrio telur ayam dan pada banyak jenis
lapisan sel jaringan (misal sel HeLa, tempat terbentuknya plak-plak khas).
Terapi
1) Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial,
karena virus berlokasi didalam epitel. Debridement juga mengurangi beban
antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun
epitel yang terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Obat siklopegik seperti atropin 1% atau homatropin 5%
diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien
harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya
sembuh umumnya dalam 72 jam (Biswell, 2010).
2) Terapi Obat menurut Ilyas, 2004:
Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep.
Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada
orang atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.
18
3) Terapi Bedah
Keratoplasti
penetrans
mungkin
diindikasikan
untuk
rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea yang berat, namun hendaknya
dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes nonaktif (Biswell, 2010).
d.
Keratitis Acanthamoeba
Etiologi
Keratitis yang berhubungan dengan infeksi Acanthamoeba yang biasanya
Gejala klinis
Rasa sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya yaitu
kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin
stroma, dan infiltrat perineural. Bentuk-bentuk awal pada penyakit ini, dengan
perubahan-perubahan hanya terbatas pada epitel kornea semakin banyak
ditemukan. Keratitis Acanthamoeba sering disalah diagnosiskan sebagai keratitis
herpes (Biswell, 2010).
Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan di atas
Penatalaksanaan
Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isetionat, propamidin
topikal (larutan 1%) secara intensif dan tetes mata neomisin. Bikuanid
19