Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kornea adalah selaput bening mata yang tembus cahaya, bersifat jernih,
transparan, permukaan licin. Kornea termasuk struktur paling penting dalam
proses melihat dan merupakan bagian dari media refrakta yang berperan besar
dalam pembiasan cahaya di retina. Oleh karena itu, setiap kelainan pada kornea
termasuk infeksi dapat menyebabkan terganggunya penglihatan 4,1.
Keratitis merupakan kelainan pada kornea yang sering terjadi, keratitis
merupakan peradangan pada kornea yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus
ataupun jamur. Keratitis yang disebabkan bakteri dapat mengancam terjadinya
gangguan penglihatan karena perjalanan penyakitnya yang cepat, yaitu dalam 24 –
48 jam bakteri dapat menyebabkan destruksi kornea. Lesi pada kornea umumnya
akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak di sentral dari
kornea4.
Di Indonesia, infeksi kornea masih menempati urutan tertinggi dari infeksi
mata pada umumnya, dan bahkan masih merupakan salah satu penyebab
kebutaan. Keratitis yang disebabkan oleh bakteri adalah jenis keratitis yang paling
parah komplikasinya. Sekitar 10 – 15% kasus keratitits yang disebabkan oleh
bakteri mengakibatkan hilangnya penglihatan secara permanen. Dan di negara
maju seperti Amerika Serikat sekitar 25.000 penduduk menderita penyakit ini
setiap tahunnya. Insiden ini dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak yang
berkepanjangan4.
Gejala umum keratitis adalah rasa silau,mata merah, dan penglihatan
menurun. Gejala khususnya tergantung dari jenis-jenis keratitis yang diderita dan
gambaran klinik masing-masing keratitis pun berbeda-beda tergantung dari jenis
penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika keratitis tidak
ditangani dengan benar maka penyakit ini akan berkembang menjadi suatu ulkus

1
yang dapat merusak kornea secara permanen sehingga akan menyebabkan
gangguan penglihatan bahkan dapat sampai menyebabkan kebutaan sehingga
pengobatan keratitis harus cepat dan tepat agar tidak menimbulkan komplikasi
yang merugikan di masa yang akan datang terutama pada pasien yang masih
muda.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kornea


2.1.1 Definisi
Merupakan lapis luar mata dimana sinar masuk kedalam mata. Bersifat jernih,
transparan, permukaan yang licin dan tidak mengandung pembuluh darah. Cembung
dengan jari-jari 8 mm, indeks refraksi 1.3771. Kornea tebal di preifer (1 mm )
dibanding disentral (0.6 mm ), permukaan belakang jari-jari 6.5 mm dan permukaan
depan jari-jari 7.8 mm5.

Gambar 2.1 Kornea

Kornea terdiri 5 lapis yaitu 5:


a. Epitel
Memberikan gangguan sensibilitas kornea, rasa sakit atau mengganjal.
Daya regenerasi epitel cukup besar sehingga membaik dalam beberapa
hari tanpa membentuk jaringan parut.
b. Membran Bowman
Membran tipis yang homogen terdiri atas susunan serat kolagen kuat
hamper 200 lapis serat kolagen, Mempertahankan bentuk kornea dan
Kerusakan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut.
c. Stroma Kornea
Lapisan yang paling tebal dari kornea, terdiri atas jaringan kolagen
tersusun dalam lamel-lamel berjalan sejajar dengan permukaan kornea.
Stroma bersifat higroskopis yang menarik air, Kadar air diatur oleh fungsi

3
pompa sel endotel dan penguapan epitel. Gangguan dari susunan serat
kornea terlihat keruh.
d. Membran Descemet
Lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat, tidak berstruktur dan bening,
Terletak dibawah stroma. Membran descemet sebagai pelindung atau
barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah.
e. Endotel Kornea
Terdiri Satu lapis sel, endotel kornea penting untuk mempertahankan
kejernihan kornea dan mengatur cairan dalam stroma kornea. Tidak
mempunyai daya regenerasi sehingga kerusakan tidak akan normal lagi,
Dapat rusak atau terganggu fungsinya akibat trauma bedah, penyakit
intraokuler. Pada usia lanjut jumlah sel berkurang.

Gambar 2.2. Anatomi Kornea


Persarafan unmyelinated sampai keepitel yang sensitive untuk perabaan,
suhu, kimia dengan memberikan reflek menutup mata. Persarafan berasal
percabangan oftalmik saraf trigeminus melalui saraf siliar longus dan saraf siliar
brevis. Tidak mempunyai pembuluh darah, makanan didapat dari difusi cairan
aquous dan air mata. Oksigen didapat dari udara luar secara langsung5.

2.2 Fisiologi Kornea


Sifat transparan kornea dapat dipertahankan pada keadaan struktur
histologis teratur, avaskuler, deturgescence ( dehidrasi reratif) hal ini karena
barier oleh epite;ium dan endotelium, penguapan oleh epitelium, pompa aktif

4
bikarbinat oleh endotelium. Epitelium bersifat fat-soluble, stroma bersifat water-
soluble. Akibatnya, obat mata baru dapat menembus kornea jika mempunyai dua
fase yaitu fase fat-soluble dan fase water-soluble. Nutrisi kornea diperoleh dari
limbus, humor akuos, tear film (lapisan air mata), dan atmosfer (khusus oksigen).
Saraf nyeri kornea merupakan cabang dari V ( Trigeminus ) cabang 1 (
Oftalmikus ), Bersifat sensorik, yang membentuk pleksus perikorneal dan
berakhir dengan pleksus diantara epitelium6.

2.3 kelainan kornea5


Makrokornea yaitu ukuran kornea lebih besar dari pada normal, diameter libih
12mm
Mikrokornea yaitu ukuran kornea lebih kecil dari normal, kurang dari 10 mm.

Gambar 2.3 mikrokornea


Arkus senil cincin berwarna putih abu di lingkaran luar kornea

Gambar 2.4 arkus senil


Edema kornea, kornea keruh dan sedikit menebal
Erosi, lepasnya epitel kornea superfisial yang akan memberikan gambaran
dibelakangnya lebih jelas (iris dan pupil), uji fluresein positif.
Infiltrat tertimbunnya sel radang pada kornea sehingga warna kornea keruh
yang dapat memberikan uji placido positif
Distrofi kornea kelainan akibat gangguan gizi atau degenerasi
Ulkus hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan

5
Sikatrik, jaringan parut pada kornea yang mengakibatkan permukaan kornea
ireguler sehingga memberikan uji placiso positif, dan mungkin terdapat dalam
beberapa bentuk yaitu nebula, kabut halus yang sukar terlihat.

2.4 Pemeriksaan Pada Kornea5


Uji fluoresein
Uji fluoresein merupakan pengujian untuk mengetahui adanya kerusakan
epitel kornea akibat erosi, keratitis epitelial, dan ulkus kornea. Kertas zat warna
fluoresein ditempelkan pada fornik inferior selama 20 detik, dan pasien diminta
berkedip atau menutup mata. Kemudia fluoresein dibilas dengan garam
fisiologik.
Bila terdapat defek epitel korne maka akan terlihat warna hijau pada defek
tersebut. Defek kornea akan terlihat berwarna hijau akibat pada setiap defek
kornea, maka bagia tersebut akan bersifat basa dan memberikan warna hijau
pada kornea. Pada keadaan ini disebut uji fluoresein positif.
Uji Fistel
Bila terdapat kebocoran kornea atau fistel kornea akibat adanya tukak
perforasi, maka bila diberikan fluoresein akan terlihat pengaliran cairan mata
yang berwarna hijau mulai dari lubang fistel.
Uji Sensibilitas Kornea (Untuk Fungsi Trigeminus Kornea)
Diketahui bahwa serabut sensibel kornea melalui saraf trigeminus. Bila
dirangsang akan terdapat reflek aferen pada saraf fasial dan mata akan berkedip.
Penderita yang diminta melihat jauh kedepan dirangsang dengan kapas kering
dari bagian lateral kornea. Dilihat terjadinya refleks mengedip, rasa sakit dan
mata berair. Bila ada refleks tersebut berarti fungsi trigeminus dan fasial baik.

Uji Placido
Papan placido merupakan papan yang mempunyai gambaran garis
melingkar konsentris dengan lubang kecil pada bagian sentralnya. Pemeriksaan
placidskopi dengan alat placido papan :

6
Pasien membelakangi sumber sinar atau jendela dan diproyeksikan sinar
gambaran lingkaran placido yang berasal dari papan lempeng placido.
Maka dapat terjadi pada kornea gambaran sebagai berikut:
a. Lingkaran konsentris yang berarti permukaan kornea licin dan
reguler.
b. Lingkaran garis lonjong yang baerarti adanya astigmatisme reguler
c. Lingkaran garis yang tidak teratur berarti terdapat astigmatisme
reguler akibat adanya infiltrat ataupun parut kornea.

2.5 Keratitis
2.5.1 Definisi
Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea
yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan
menurun. Infeksi pada kornea biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea
yang terkena merupakan peradangan kornea. Radang kornea biasanya diklasifikasi
dalam lapis kornea yang terkena, yaitu keratitis superfisial, yang mengenai
permukaan kornea, bila sembuh tanpa meninggalkan jaringan parut dan interstitial
atau profunda yang mengenai lapis dalam kornea, yang bila sembuh
meninggalkan jaringan parut3,5.
2.5.2 Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti penggunaan lensa
kontak, pemakaian kortikosteroid topikal yang tidak terkontrol. Kelainan ini
merupakan penyebab kebutaan ketiga terbanyak di Indonesia. Keratitits dapat
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya: Virus, Bakteri, Jamur, perawatan
lensa kontak yang buruk, pemakaian lensa kontak lama, pemakai kortikosteroid,
herpes genital, reaksi konjungtivitis menahun, trauma dan kerusakan epitel, sakit
atau faktor lain yang menurunkan daya tahan tubuh1.
2.5.3 Epidemiologi
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, infeksi kornea masih
menempati urutan tertinggi dari infeksi mata pada umumnya, dan bahkan masih
merupakan salah satu penyebab kebutaan. Keratitis yang disebabkan oleh bakteri

7
adalah jenis keratitis yang paling parah komplikasinya. Sekitar 10 – 15% kasus
keratitits yang disebabkan oleh bakteri mengakibatkan hilangnya penglihatan
secara permanen. Dan di negara maju seperti Amerika Serikat sekitar 25.000
penduduk menderita penyakit ini setiap tahunnya. Insiden ini dihubungkan dengan
penggunaan lensa kontak yang berkepanjangan4.
2.5.4 Patofisiologi
Kornea adalah struktur yang avaskuler oleh sebab itu pertahanan pada
waktu peradangan, tidak dapat segera ditangani seperti pada jaringan lainnya yang
banyak mengandung vaskularisasi. Sel-sel di stroma kornea pertama-tama akan
bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah
yang ada di limbus dan tampak sebagai injeksi pada kornea. Sesudah itu
terjadilah infiltrasi dari sel-sel lekosit, sel-sel polimorfonuklear, sel plasma yang
mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak kelabu, keruh
dan permukaan kornea menjadi tidak licin3.
Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini dapat
dibuktikan dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang berwarna
kehijauan pada kornea. Bila tukak pada kornea tidak dalam dengan pengobatan
yang baik dapat sembuh tanpa meninggakan jaringan parut, namun apabila tukak
dalam apalagi sampai terjadi perforasi penyembuhan akan disertai dengan
terbentuknya jaringan parut. Mediator inflamasi yang dilepaskan pada
peradangan kornea juga dapat sampai ke iris dan badan siliar menimbulkan
peradangan pada iris. Peradangan pada iris dapat dilihat berupa kekeruhan di bilik
mata depan. Kadang-kadang dapat terbentuk hipopion.
Pada keratitis bakteri adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan
atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi
proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi
mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa
bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur non
fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi,
epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis.
Selinflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan

8
nekrosis lamella stroma. Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di
bilik posterior, menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan
adanya hipopion. Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan
alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat
menyebabkan destruksi substansi kornea3.
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan
sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi
reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen
antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan
bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma
disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang
epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk
menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat
berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat
migrasi limfosit dan makrofag ketempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes
imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara
imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat rusak3.
2.5.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis pemeriksaan sangat
penting misalnya ada TRIAS Keratitis, gejala klinik dan hasil pemeriksaan mata.
Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma, adanya riwayat penyakit
kornea, misalnya pada keratitis herpetik akibat infeksi herpes simpleks yang
kambuh. Anamnesis mengenai pemakaian obat lokal oleh pasien, karena
kortikosteroid merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau virus
terutama keratitis herpes simpleks6,3,5.
Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan,
adanya sensasi benda asing, mata merah, air mata berlebihan (Epiforia),
penglihatan yang sedikit kabur, dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata
(blepharospasme). Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea
memiliki banyak serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea

9
superfisialis maupun yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia.
Karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan merupakan
media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi pada kornea
umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral
pada kornea3.
Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan oleh kontraksi iris
yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena refleks yang
disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada kornea. Pasien biasanya juga
mengeluhkan mata berair namun tidak disertai dengan pembentukan kotoran mata
yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang purulen. Dalam mengevaluasi
peradangan kornea penting untuk membedakan apakah tanda yang kita temukan
merupakan proses yang masih aktif atau merupakan kerusakan dari struktur
kornea hasil dari proses di waktu yang lampau. Sejumlah tanda dan pemeriksaan
sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan penyebab dari suatu
peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi dan morfologi
kelainan, pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek pada
epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan
keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda yang ditemukan ini juga berguna dalam
mengawasi perkembangan penyakit dan respon terhadap pengobatan.
Pemeriksaan diagnostik yang biasa dilakukan adalah3 :
a) Pemeriksaan tajam penglihatan
Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan untuk mengetahui fungsi
penglihatan setiap mata secara terpisah. Pemeriksaan dapat dilakukan
dengan menggunakan kartu Snellen maupun secara manual yaitu
menggunakan jari tangan.
b) Uji dry eye
Pemeriksaan mata kering (dry eye) termasuk penilaian terhadap lapis
film air mata (tear film), danau air mata ( teak lake ), dilakukan uji
break up time tujuannya yaitu untuk melihat fungsi fisiologik film air
mata yang melindungi kornea. Penilaiannya dalam keadaan normal
film air mata mempunyai waktu pembasahan kornea lebih dari 25

10
detik. Pembasahan kornea kurang dari 15 detik menunjukkan film air
mata tidak stabil.

c) Ofthalmoskop
Tujuan pemeriksaan untuk melihat kelainan serabut retina, serat yang
pucat atropi, tanda lain juga dapat dilihat seperti perdarahan
peripapilar.
d) Keratometri (pegukuran kornea)
Keratometri tujuannya untuk mengetahui kelengkungan kornea, tear
lake juga dapat dilihat dengan cara fokus kita alihkan kearah lateral
bawah, secara subjektif dapat dilihat tear lake yang kering atau yang
terisi air mata.
e) Tonometri digital palpasi
Cara ini sangat baik pada kelainan mata bila tonometer tidak dapat
dipakai atau sulit dinilai seperti pada sikatrik kornea, kornea ireguler
dan infeksi kornea. Pada cara ini diperlukan pengalaman pemeriksa
karena terdapat factor subjektif, tekanan dapat dibandingkan dengan
tahahan lentur telapak tangan dengan tahanan bola mata bagian
superior.
2.5.6 Klasifikasi
Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi menjadi
keratitis pungtata superfisialis, keratitis marginal dan keratitis interstitial.
Berdasarkan penyebabnya keratitis digolongkan menjadi keratitis bakterialis,
keratitis fungal, keratitis viral, keratitis akibat alergi. Kemudian berdasarkan
bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis flikten, keratitis
nurmularis dan keratitis neuroparalitik1,3,5.

Keratitis Berdasarkan Tempatnya


Keratitis pungtata
Keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman dengan infiltrat
berbentuk bercak bercak halus. Penyebab: biasanyan disertai infeksi virus saluran

11
napas atas, Moluscum kontagiosum, acne rosasea, Herpes simpleks, Herpes
zoster, Blefaritis neuroparalitik, Infeksi virus, vaksinia, Trakoma dan trauma
radiasi, dry eyes, trauma, pemakaian kontak lensa lama, lagoftalmus, alergi obat
seperti: neomisin, tobramisin oral atau intravena1,3.
Keratitis Pungtata biasanya terdapat bilateral atau unilateral, berjalan kronis
tanpa terlihat gejala konjungtiva atau tanda akut yang biasanya terjadi pada
dewasa muda. Keratitis Pungtata Superfisial memberikan gambaran seperti
infiltrat halus bertitik-titik pada permukaan kornea. Merupakan cacat halus kornea
superfisial dan hijau bila diwarnai fluoresein. Dapat disebabkan sindrom dry eye,
blefaritis, keratopati logaftalmos, keracunan obat topical (neomisin, tobramisin
ataupun obat lainnya), sinar ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa
kontak. Pasien akan mengeluh sakit, silau, mata merah dan rasa kelilipan. Pasien
diberi air mata buatan, tobramisin tetes mata dan siklopegik1,3.
Keratitis Pungtata Subepitel: keratitis yang terkumpul di membran
Bowman. Pada keratitis ini biasanya terdapat bilateral dan berjalan kronis tanpa
terlihatnya gejala kelainan konjungtiva ataupun tanda akut yang biasanya terjadi
pada dewasa muda1,3.

Gambar 2.5. Keratitis pungtata

Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan
limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral /
marginal. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur

12
dengan adanya blefarokonjungtivitis. Bila tidak diobati dengan baik maka akan
mengakibatkan tukak kornea. Penderita mengeluh sakit seperti kelilipan,
lakrimasi, fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme satu mata,
Injeksi konjungtiva, Infiltrat atau ulkus memanjang, dangkal unilateral dapat
tunggal atau multiple, sering disertai neovaskularisasi dari arah limbus1.
Pengobatan : Antibiotika sesuai infeksi lokalnya dan Steroid dosis ringan.
Diberikan juga vit B dan C dosis tinggi. Pada kelainan yang indolen dilakukan
kauterisasi dengan listrik ataupun AgNO3 di pembuluh darah / dilakukan flep
konjungtiva yang kecil1,3.

Gambar 2.6. Keratitis Marginal


Keratitis Interstisial
Keratitis yang ditemukan pada jaringan kornea yang lebih dalam. Seluruh
kornea keruh sehingga iris susah dilihat. Keratitis Interstisial akibat lues kogenital
didapatkan neovaskularisasi dalam. Keratitis interstisial merupakan keratitis
nonsuppuratif profunda disertai neovaskularisasi disebut juga Keratitis
Parenkimatosa.Pasien mengeluh fotofobia, lakrimasi dan menurunnya visus.
Keluhan akan bertahan seumur hidup. Seluruh kornea keruh sehingga iris sukar
dilihat. Permukaan kornea seperti permukaan kaca. Terdapat injeksi Siliar disertai
serbukan pembuluh ke dalam sehingga memberi gambaran merah kusam yang
disebut “Salmon Patch” dari Hutchinson. Seluruh kornea dapat berwarna merah
cerah1,3.
Keratitis disebabkan sifilis kogenital atau bisa juga oleh tuberkulosis,
trauma. Pengobatan tergantung penyebabnya. Diberikan juga Sulfas Atropin tetes
mata untuk mencegah sinekia akibat uveitis dan kortikosteroid tetes mata1,3.
Keratitis Berdasarkan Penyebabya

13
Keratitis Bakterial
Penyebab: Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas dan Enterobakteriacea.
Faktor Predisposisi : Pemakaian lama kontak lens, kosmetik terkontaminasi.
Keluhan pasien kelopak mata lengket setiap bangun pagi. Mata sakit silau, merah,
berair dan penglihatan berkurang.
Pengobatan: Batang Gram (-): Tobramisin, Ceftazidime, Fluoroquinolone.
Batang Gram (+): Cefazoline, Vancomycin, Moxifloxacin/Gatofloxacin.
Kokus Gram (-): Ceftriaxone, Ceftazidime, Moxifloxacin/Gatofloxacin1,3.

Gambar 2.7. Keratitis Bakterial

Keratitis Jamur
Penyebab : trauma kornea oleh ranting pohon, daun dan bagian tumbuh-
tumbuhan. Dapat juga akibat efek samping penggunaan antibiotik dan
kortikosteroid yang tidak cepat.
Keluhan timbul setelah 3 minggu kemudian. Keluhan sakit mata hebat, berair dan
silau. Diagnosis pasti dibuat dengan pemeriksaan mikroskopik dan KOH 10%
terhadap kerokan kornea yang menunjukkan adanya hifa. Pada mata terlihat
infiltrat kelabu, disertai hipopion, peradangan, ulserasi superfisial dan satelit bila
terletak didalam stroma, disertai cincin endotel dengan plaque bercabang-cabang
dengan endotelium plaque, gambaran satelit pada kornea dan lipatan Descemet.
Pengobatan : Natamisin 5% setiap 1-2 jam saat bangun untuk keratitis jamur
filamentosa. Amphoterisin B 0,15% - 0,30% ( keratitis yeast, aspergilus ) dan

14
sikloplegik disertai obat oral anti glaukoma jika disertai peningkatan tekanan
intraokular. Keratolasti jika tidak ada perbaikan1.

Gambar 2.8. Keratitis Jamur

Keratitis Virus
Keratitis Pungtata Superfisial dengan gambaran Infiltrat halus bertitik-titik
pada dataran depan kornea yang dapat terjadi pada herpes simpleks, herpes zoster,
infeksi virus, vaksinia dan trakoma. Keratitis terkumpul di daerah membran
Bowman, bilateral dan kronis tanpa terlihat kelainan konjungtiva.
Jenis Keratitis Virus: Keratitis herpetik, Keratitis dendritik, Keratitis
Disformis, Infeksi Herpes Zoster, Keratokonjuntivitis Epidemi1,3.
a) Keratitis Herpetik
Disebabkan herpes simpleks dan herpes zoster. Keratitis karena herpes
Simpleks dibagi 2 bentuk : Epitelial adalah Keratitis dendritik. Pada epitelial
terjadi pembelahan virus di dalam sel epitel yang mengakibatkan kerusakan sel
dan membentuk tukak kornea superfisial. Stromal adalah Keratitis diskiformis.
Pada Stromal diakibat reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang.
Antigen (virus) dan antibodi (tubuh pasien) bereaksi di dalam stroma kornea dan
menarik sel leukosit dan sel radang lainnya. Sel ini mengeluarkan bahan
proteolitik untuk merusak antigen (virus) yang juga merusak jaringan stromal di
sekitarnya. Pengobatan : pada virus dan reaksi radangnya. Biasanya infeksi
Herpes Simpleks berupa campuran antara Epitelial dan Stromal.
Pengobatan: IDU (Iodo 2 dioxyuridine). Murah, kerja tidak stabil, bekerja
menghambat sintesis DNA virus dan manusia sehingga toksik untuk epitel normal

15
dan tidak boleh digunakan lebih dari 2 minggu. Bentuk : larutan 1% diberikan
setiap jam. Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Vibrabin sama dengan IDU, hanya
ada dalam bentuk salep. Trifluorotimidin (TFT) sama dengan IDU, diberikan 1%
setiap 4 jam. Acyclovir bersifat selektif terhadap sintesis DNA virus. Bentuk salep
3% diberikan setiap 4 jam. Efektif dengan Efek samping kurang.

Gambar 2.9. Keratitis herpetik

b) Keratitis Dendritik
Merupakan Keratitis Superfisial yang membentuk garis infiltrate pada
permukaan kornea kemudian membentuk cabang. Disebabkan oleh virus
Herpes Simpleks. Gejala : Fotofobia, kelilipan, tajam penglihatan
menurun, konjungtiva hiperemia disertai sensibilitas kornea yang
hipestesia. Karena gejala ringan, pasien terlambat berkonsultasi.
Pengobatan : Dapat sembuh spontan. Dapat juga diberikan antivirus (IDU
0,1% salep tiap 1 jam atau Asiklovir) dan sikloplegik dan antibiotik
dengan bebat tekan.

Gambar 2.10. Keratitis Dendritik

16
c) Keratitis Disiformis
Merupakan keratitis yang membentuk kekeruhan infiltrat yang bulat atau
lonjong di dalam jaringan kornea. Penyebab: Infeksi virus Herpes Simpleks.
Merupakan reaksi alergi atau imunologik terhadap virus Herpes Simpleks pada
permukaan kornea.

Gambar 2.11. Keratitis Disiformis


d) Infeksi Herpes Zoster
Merupakan keratitis vesikular karena infeksi Herpes Zoster di mata.
Biasanya pada usia lanjut. Gejalanya rasa sakit di daerah yang terkena, badan
terasa hangat, merah dan penglihatan berkurang. Pada kelopak terlihat vesikel dan
infiltrat pada kornea. Vesikel juga tersebar pada dermatom yang dipersarafi saraf
Trigeminus, progresif dan tidak melewati garis meridian.
Pengobatan tidak spesifik, hanya simptomatik Bisa dengan Asiklovir dan pada
usia lanjut diberikan Steroid. Penyulit berupa Uveitis, Parese otot penggerak mata,
Glaukoma dan Neuritis Optik

Gambar 2.12. Infeksi Herpes Zoster

17
Keratokonjungtivitis epidemi
Merupakan keratitis akibat reaksi peradangan kornea dan konjungtiva yang
disebabkan adenovirus tipe 8. Biasanya unilateral, suatu epidemi.
Gejalanya demam, gangguan nafas, penglihatan menurun, merasa ada benda
asing,bberair, kadang nyeri.
Pada mata berupa edema kelopak dan folikel konjungtiva, pseudomembran pada
konjungtiva tarsal yang membentuk jaringan parut, pada kornea terdapat Keratitis
Pungtata pada minggu pertama. Kelenjar preaurikel membesar. Kekeruhan
subepitel kornea menghilang sesudah 2 bulan sampai 3 tahun / lebih.
Pengobatan : Pada yang akut : kompres dingin, cairan air mata dan supportif
lainnya.
Jika terjadi penurunan visus berat dapat diberikan Steroid tetes mata 3 kali per
hari.

Gambar 2.13. Keratokonjungtivitis epidemi

Keratitis Dimmer atau Keratitis Numularis


Merupakan keratitis numularis dengan infiltrate bundar berkelompok dan
tepi berbatas tegassehingga ada gambaran halo. Keratitis berjalan lambat dan
sering unilateral1.

Keratitis Filamentosa
Merupakan keratitis yang disertai filamen mukoid dan deskuamasi sel epitel
pada permukaan kornea. Penyebab tidak diketahui. Disertai penyakit lain seperti
keratokonjungtivitis sika, sarkoidosis, trakoma, pempigoid okular, pemakaian
lensa kontak, edema kornea, keratokonjuntivitis limbik superior DM, trauma dasar

18
otak dan pemakaian antihistamin. Ditemukan pada dry eyes, DM, Post op
Katarak, keracunan kornea oleh zat tertentu.
Gambaran : filamen mempunyai dasar bentuk segitiga yang menarik epitel, epitel
pada filamen terlihat tidak melekat pada epitel kornea. Di dekat filamen terdapat
defek filamen dan kekeruhan epitel berwarna abu abu.
Gejala : rasa kelilipan, sakit, silau, blefarospasme dan epiforia. Mata merah dan
terdapat defek kornea.
Pengobatan : larutan hipertonik NaCl 5%, air mata hipertonik. Mengangkat
filamen dan memasang lensa kontak lembek1,3.

Gambar 2.14. Keratitis Filamentosa

Keratitis Alergi
Keratokonjungtivitis Flikten
Merupakan radang kornea dan konjungtiva sebagai suatu reaksi imun yang
mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen.
Gejala :Terdapat flikten pada kornea berupa benjolan berbatas tegas berwarna
putih keabuan dengan atau tanpa neovaskularisasi menuju ke arah benjolan
tersebut. Bilateral, pada limbus tampak benjolan putih kemerahan dikelilingi
konjungtiva hiperemis. Terdapat papul dan pustula pada kornea dan konjungtiva.
Lakrimasi dan fotofobia disertai rasa sakit. Hiperemis konjungtiva, menebalnya
epitel kornea, perasaan panas disertai gatal dan tajam penlihatan berkurang1,3.
a. Tukak atau ulkus fliktenular
Tukak Flikten berbentuk benjolan abu abu terlihat sebagai :

19
Ulkus Fasikular (ulkus menjalar melintas kornea dengan pembuluh darah
di belakangnya), Flikten multiple di sekitar limbus, Ulkus Cincin
merupakan gabungan ulkus. Pengobatan : Steroid. Flikten menghilang
tanpa bekas, tetapi jika terjadi ulkus akibat infeksi sekunder maka akan
menjadi parut kornea.
b. Keratitis Fasikularis
Keratitis dengan pembentukan pita pembuluh darah yang menjalar dari
limbus ke arah kornea. Berupa tukak kornea akibat flikten yang berjalan
membawa jalur pembuluh darah baru sepanjang permukaan kornea.
c. Keratokonjungtivitis vernal
Merupakan Peradangan tarsus dan konjungtiva yang rekuren. Muncul pada
musim panas, anak laki laki lebih sering terkena dibanding perempuan.
Gejala : Gatal, disertai riwayat alergi, blefarospasme, fotofobia,
penglihatan buram, dan kotoran mata serat-serat. Hipertrofi papil kadang
berbentuk cobble stone pada kelopak atas dan konjungtiva daerah limbus.
Pengobatan : obat topikal antihistamin dan kompres dingin.

Keratitis Lagoftalmus
Keratitis yang terjadi akibat lagoftalmus dimana kelopak mata tidak bisa
menutup dengan sempurna sehingga menyebabkan kekeringan pada kornea dan
konjungtiva sehingga rentan terkena infeksi. Lagoftalmus dapat disebabkan
tarikan jaringan parut pada tepi kelopak, eksoftalmus, paralise saraf fasial, atoni
orbikularris okuli dan proptosis karena tiroid. Pengobatan : mengatasi penyebab,
air mata buatan. Untuk cegah infeksi sekunder diberikan salep mata1,3.

Keratitis Neuroparalitik
Merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus sehingga terdapat
kekeruhan kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea. Gangguan
persarafan dapat terjadi akibat herpes zoster, tumor fossa posterior kranium,
peradangan sehingga kornea menjadi anestetis. Kemudian kornea menjadi

20
kehilangan pertahanannya terhadap iritasi luar. Kornea menjadi mudah infeksi dan
terbentuk tukak kornea1,3.
Gejalanya : tajam penglihatan menurun, silau, tidak nyeri. Refleks berkedip
hilang, injeksi siliar, permukaan kornea keruh, infiltrat dan vesikel pada kornea.
Pengobatan : air mata buatan dan salep untuk menjaga kornea tetap basah.
Untuk cegah infeksi sekunder : pengobatan keratitis, tarsorafi, dan menutup
pungtum lakrimal1,3.

Gambar 2.15. Keratitis Neuroparalitik

Keratokonjungtivitis Sika
Merupakan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva. Gejala : mata
berpasir, gatal, silau, penglihatan kabur, sekresi mukus mata yang berlebihan,
sukar menggerakkan kelopak mata, mata kering karena ada erosi kornea, Edema
kojungtiva bulbi, filamen (benang) di kornea. Pemeriksaan yang dilakukan :
Tes Schimer : resapan air mata pada kertas Schimer normal 10-25 mm dalam
waktu 5 menit. Abnormal < 10 mm.
Tes zat warna Rose Bengal konjungtiva zat warna ini akan mewarnai sel epitel
kornea. Terdapat titik merah di konjungtiva bila mata kering.
Tear film break up time.
Pengobatan tergantung penyebabnya. Pemberian air mata tiruan bila kurang
adalah komponen air. Pemberian lensa kontak apabila komponen mukus yang
berkurang. Penutupan pungtum lakrimal bila terjadi penguapan yang
berlebihan1,3,5.

21
Gambar 2.16. Keratokonjungtivitis Sika

Keratitis Sklerotikan
Merupakan kekeruhan berbentuk segitiga pada kornea yang menyertai
skleritis. Penyebabnya diduga perubahan susunan serat kolagen yang menetap.
Gejala : kekeruhan kornea terlokalisasi dan berbatas jelas, unilateral, kadang
mengenai seluruh limbus, kornea putih menyerupai sklera.
Pengobatan : steroid dan fenil butazon 1,3.
2.5.7 Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis adalah penipisan kornea dan
akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophtalmitis sampai
hilangnya penglihatan (kebutaan). Beberapa komplikasi yang lain diantaranya:
Gangguan refraksi, Jaringan parut permanent, Ulkus kornea, Perforasi kornea,
Glaukoma sekunder1,3,5
2.5.8 Penatalaksanaan3
Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis
keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus
dan luasnya infiltrat. Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan
debridement sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk
pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial
sehingga obat lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi
subepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti keratitis dendritik.
Diharapkan debridement juga mampu mengurangi kandungan virus epithelial jika
penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang.

22
Keratitis Bakteri
a) Terapi antibiotika
Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan
merupakan metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep
pada mata berguna sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat dan juga berguna
sebagai terapi tambahan. Antibiotik subkonjungtiva dapat membantu pada
keadaan ada penyebaran segera ke sclera atau perforasi atau dalam kasus di mana
kepatuhan terhadap rejimen pengobatan diragukan.
Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal
dari keratitis bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau dengan
defek yang lebih besar dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis
loading setiap 5 sampai 15 menit untuk jam pertama, diikuti oleh aplikasi setiap
15 menit sampai 1 jam pada jam berikutnya. Pada keratitis yang kurang parah,
rejimen terapi dengan dosis yang kurang frekuen terbukti efektif. Agen
Cycloplegic dapat digunakan untuk mengurangi pembentukan sinekhia dan untuk
mengurangi nyeri pada kasus yang lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika
adanya peradangan bilik anterior mata.
Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone (misalnya
ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi
kombinasi. Tetapi beberapa patogen (misalnya Streptococcus, anaerob)
dilaporkan mempunyai kerentanan bervariasi terhadap golongan fluoroquinolone
dan prevalensi resistensi terhadap golongan fluoroquinolones tampaknya semakin
meningkat. Gatifloksasin dan moksifloksasin (generasi keempat fluoroquinolone)
telah dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik terhadap bakteri gram-positif
dari fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji in-vitro. Namun,
fluoroquinolone generasi keempat belum disetujui FDA untuk pengobatan
keratitis bakteri.
Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan
mata yang tidak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari
satu agen mungkin diperlukan untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-
tuberkulos. Antibiotik sistemik jarang dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan

23
pada kasus-kasus yang parah di mana proses infeksi telah meluas ke jaringan
sekitarnya (misalnya, sclera) atau ketika adanya ancaman perforasi dari kornea.
Terapi sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus keratitis gonokokal.
b) Terapi kortikosteroid
Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati
beberapa kasus menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan
peradangan dan pengurangan pembentukan jaringan parut pada kornea, yang
dapat menyebabkan kehilangan penglihatan. Antara kerugiannya pula termasuk
timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal, penghambatan sintesis
kolagen dan peningkatan tekanan intraokular. Meskipun berisiko, banyak ahli
percaya bahwa penggunaan kortikosteroid topikal dalam pengobatan keratitis
bakteri dapat mengurangi morbiditas. Terapi kortikosteroid pada pasien yang
sedang diobati dengan kortikosteroid topikal pada saat adanya curiganya keratitis
bakteri hendaklah diberhentikan dahulu sampai infeksi telah dikendalikan.
Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis
minimal kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan.
Keberhasilan pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi dosis
secara teratur, penggunaan obat antibiotika yang memadai secara bersamaan, dan
follow-up. Kepatuhan dari pasien sangat penting, dan tekanan intraokular harus
sering dipantau. Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai 2 hari setelah terapi
kortikosteroid topikal dimulai.

Keratitis Virus

Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial,
karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban
antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun
epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat
menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau
homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit

24
tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek
korneanya sembuh umumny adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti
virus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa
debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu
ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat.
Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah
idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh
lebih efektif untuk penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan
trifluridine sering kali menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir oral ada mamfaatnya
untuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik yang
rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum).
Study multicenter terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis
herpes simpleks dan pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan (
herpes eye disease study).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas
pada epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal.
Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi
sangat merusak. Kortikosteroid topikal dapat juga mempermudah perlunakan
kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai
kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting sekali
ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.

Bedah
Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya
dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi
herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang
diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan
penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens.

25
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri
atau fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan
sianokrilat dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft
“petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki
keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan
terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi
mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis
herpes simplek .
Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga
kasus dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme
pemicunya. Setelah denga teliti mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu
itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, pajanan
berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan –
keadaan yang dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin dapat
diminum sebelum menstruasi.

Keratitis jamur
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi
pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis
keratomikosis yang dihadapi bisa dibagi: Belum diidentifikasi jenis jamur
penyebabnya, Jamur berfilamen, Ragi (yeast), Golongan Actinomyces yang
sebenarnya bukan jamur sejati.
Untuk golongan I : Topikal Amphotericin B 1,02,5 mg/ml, Thiomerosal (10
mg/ml), Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.
Untuk golongan II : Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole 1%,
Natamycin 5% (obat terpilih), econazole 1% (obat terpilih).
Untuk golongan III : Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %, Natamycin 5%,
Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 % (Jack, 2009).
Untuk golongan IV : Golongan Sulfa, berbagai jenis Antibiotik.

26
Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal.
Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk
mengurangi uveitis anterior.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria
penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up)
dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya
infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik
biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit
menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-
kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis
diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien
keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung
kronik dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar
tidak terlaru sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat
juga terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar
matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah
memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya
karena dapat memperberat lesi yang telah ada.
Pada keratitis dengan etiologi bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita
menyarankan pasien untuk mencegah transmisi penyakitnya dengan menjaga
kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan lap atau handuk, sapu
tangan, dan tissue.

2.6 Ulkus Kornea


2.6.1 Definisi
ulkus korena merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat
kematian jaringan kornea. Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak
ditemukan adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radanng.
Gejala dari ulkus kornea yaitu nyeri, berair, fotofobia, blefarospasme, dan biasanya

27
disertai riwayat trauma pada mata. Ulkus kornea yang luas memerlukan
penanganan yang tepat dan cepat untuk mencegah perluasan ulkus2.
2.6.2 Etiologi
Infeksi Bakteri: P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella
merupakan penyebab paling sering. Sebuah penelitian terbaru menyebutkan bahwa
telah ditemukan Acinetobacter junii sebagai salah satu penyebab ulkus kornea,
Penyebab ulkus kornea 38,85% disebabkan oleh bakteri. Infeksi Jamur: disebabkan
oleh Candida, Fusarium, Aspergilus, Cephalosporium dan spesies mikosis
fungoides. Penyebab ulkus kornea 40,65% disebabkan oleh jamur. Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas dendrit
dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan
menimbulkan ulkus. Acanthamoeba Infeksi kornea oleh Acanthamoeba sering
terjadi pada pengguna lensa kontak lunak. Infeksi juga biasanya ditemukan pada
bukan pemakai lensa kontak yang terpapar air yang tercemar.
Noninfeksi adalah Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung pH, Radiasi
atau suhu, Sindrom Sjorgen,Defisiensi vitamin A, e. Obat-obatan (kortikosteroid,
idoxiuridine, anestesi topikal, immunosupresif), Kelainan dari membran basal,
misalnya karena trauma2.
2.6.3 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi, dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea, yaitu :
Ulkus kornea sentral2
A. Ulkus kornea bakterialis
a. Ulkus Streptokokus Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah
tengah kornea (serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabuabuan
berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang menggaung.
b. Ulkus Stafilokokus Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putik
kekuningan disertai infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epitel.
c. Ulkus Pseudomonas Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah sentral
kornea yang dapat menyebar ke samping dan ke dalam kornea. Gambaran
berupa ulkus yang berwarna abu-abu dengan kotoran yang dikeluarkan
berwarna kehijauan. Kadangkadang bentuk ulkus ini seperti cincin. Dalam

28
bilik mata depan dapat terlihat hipopion yang banyak. Secara
histopatologi, khas pada ulkus ini ditemukan sel neutrofil yang dominan.
d. Ulkus Pneumokokus Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang
dalam. Tepi ulkus akan terlihat menyebar ke arah satu jurusan sehingga
memberikan gambaran karakteristik yang disebut ulkus serpen. Ulkus
terlihat dengan infiltrasi sel yang penuh dan berwarna kekuning-kuningan.
Penyebaran ulkus sangat cepat dan sering terlihat ulkus yang menggaung
dan di daerah ini terdapat banyak kuman.
e. Ulkus Neisseria gonorrhoeae Ulkus kornea yang terjadi karena Neisseria
gonorrhoeae dan merupakan salah satu dari penyakit menular seksual.
Gonore bisa menyebabkan perforasi kornea dan kerusakan yang sangat
berarti pada struktur mata yang lebih dalam.
B. Ulkus kornea fungi
Pada permukaan lesi terlihat bercak putih dengan warna keabu-abuan yang
agak kering. Tepi lesi berbatas tegas irregular, feathery edge dan terlihat
penyebaran seperti bulu di bagian epitel yang baik. Terlihat suatu daerah tempat
asal penyebaran di bagian sentral sehingga terdapat satelit-satelit disekitarnya.
Pada infeksi kandida bentuk tukak lonjong dengan permukaan naik dan dapat
terjadi neovaskularisasi akibat rangsangan radang.
C. Ulkus kornea virus
a. Ulkus kornea Herpes Zoster Biasanya diawali rasa sakit pada kulit
dengan perasaan lesu timbul 1-3 hari sebelum timbulnya gejala kulit.
Pada mata ditemukan vesikel kulit dan edem palpebra, konjungtiva
hiperemis, kornea keruh akibat terdapatnya infiltrat subepitel dan
stroma. Dendrit herpes zoster berwarna abuabu kotor.
b. Ulkus kornea Herpes Simplex Biasanya gejala dini dimulai dengan
tanda injeksi siliar yang kuat disertai terdapatnya suatu dataran sel di
permukaan epitel kornea disusul dengan bentuk dendrit atau bintang
infiltrasi. Bentuk dendrit herpes simplex kecil, ulseratif, jelas diwarnai
dengan fluoresein.
D. Ulkus kornea Acanthamoeba

29
Awal dirasakan sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya,
kemerahan dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin
stroma, dan infiltrat perineural.

Ulkus kornea perifer


a. Ulkus marginal Merupakan peradangan kornea bagian perifer dapat
berbentuk bulat atau segiempat, dapat satu atau banyak dan terdapat
daerah kornea yang sehat dengan limbus.
b. Ulkus mooren Merupakan ulkus kronik yang biasanya mulai dari
bagian perifer kornea berjalan progresif ke arah sentral tanpa adanya
kecenderungan untuk perforasi ditandai tepi tukak bergaung dengan
bagian sentral tanpa adanya kelainan dalam waktu yang agak lama.

2.6.4 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa Kebutaan parsial atau komplit
karena endoftalmitis, Prolaps iris, Sikatrik kornea, Katarak, Glaukoma sekunder2.

2.6.5. Penatalaksanaan
ulkus kornea harus dilakukan dengan pemberian terapi yang tepat dan cepat
sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas mikroorganisme penyebab. Adapun
obat-obatan antimikrobial yang dapat diberikan berupa2:
A. Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang berspektrum
luas diberikan dapat berupa salep, tetes atau injeksi subkonjungtiva. Pada
pengobatan ulkus sebaiknya tidak diberikan salep mata karena dapat
memperlambat penyembuhan dan dapat menimbulkan erosi kornea kembali.
Berikut ini contoh antibiotik: Sulfonamide 10-30%, Basitrasin 500 unit,
Tetrasiklin 10 mg, Gentamisin 3 mg, Neomisin 3,5-5 mg, Tobramisin 3 mg,
Eritromisin 0,5%, Kloramfenikol 10 mg, Ciprofloksasin 3 mg, Ofloksasin 3
mg, Polimisin B 10.000 unit.
B. Anti jamur terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya
preparat komersial yang tersedia. Berdasarkan jenis keratomitosis yang

30
dihadapi bisa dibagi: a. Jamur berfilamen: topikal amphotericin B,
Thiomerosal, Natamicin, Imidazol;
b. Ragi (yeast): Amphotericin B, Natamicin, Imidazol, Micafungin 0,1% tetes
mata
C. Anti Viral Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan
streroid lokal untuk mengurangi gejala, sikloplegik, antibiotik spektrum luas
untuk infeksi sekunder, analgetik bila terdapat indikasi serta antiviral topika
berupa salep asiklovir 3% tiap 4 jam.
D. Anti acanthamoeba dapat diberikan poliheksametilen biguanid + propamidin
isetionat atau salep klorheksidin glukonat 0,02%.

31
BAB III
RINGKASAN

Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea
yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan
menurun. Faktor penyebabnya : Virus, Bakteri, Jamur, perawatan lensa
kontak yang buruk, pemakaian lensa kontak lama, pemakai kortikosteroid,
herpes genital, reaksi konjungtivitis menahun, trauma dan kerusakan epitel,
sakit atau faktor lain yang menurunkan daya tahan tubuh.
Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi menjadi
keratitis pungtata superfisialis, keratitis marginal dan keratitis interstitial.
Berdasarkan penyebabnya keratitis digolongkan menjadi keratitis bakterialis,
keratitis fungal, keratitis viral, keratitis akibat alergi. Kemudian berdasarkan
bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis flikten, keratitis
nurmularis dan keratitis neuroparalitik.
Penatalaksanaan : debridement, keratitis bakteri di berikan terapi antibiotik
ciprofloxacin 0,3% mula 2 tetes tiap 15 menit selama 6 jam. Keratitis virus di
debridement dengan atropin 1% atau humatropin 5% di teteskan ke dalam
sakus konjungtiva lalu di tutup. Keratitis jamur terapnya dengan natamycin
tetes mata untuk infeksi jamur berfilamen, fluconazole tetes mata untuk
candida, amphoteracin B untuk kasus tidak bereaksi dengan obat.
jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan
berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea. Ulkus kornea
merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan
kornea. Klasifikasi ulkus kornea ada 2 yaitu ulkus kornea sentral dan ulkus
kornea perifer.Komplikasi yang paling sering timbul berupa Kebutaan parsial
atau komplit karena endoftalmitis, Prolaps iris, Sikatrik kornea, Katarak,
Glaukoma sekunder.
ulkus kornea harus dilakukan dengan pemberian terapi yang tepat dan
cepat sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas mikroorganisme
penyebab

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas Sidarta. Ilmu penyakit mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2014. h 152-158.

2. Farida, Y. 2015, CORNEAL ULCERS TREATMENT, Faculty of Medicine,


Universitas Lampung

3. Rosi, Y. Dkk, 2013, KERATITIS, Fakultas Kedokteran Universitas Riau


RSUD Arifin Achmad, Pekanbaru.

4. Farida, S. 2013, KARAKTERISTIK PENDERITA KERATITIS DI RUMAH


SAKIT MATA Dr. PERIODE 1 JANUARI Untuk Memperoleh Universitas
Islam Indonesia Yap Yogyakarta – 31 Desember 2011, Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

5. Ilyas Sidarta.Ikhitisar sq Ilmu penyakit mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI. 2009. h 106-119

6. Budiono,S.Dkk, 2013, buku Ajar ilmu kesehatan mata, Surabaya:


Airlangga university press. h 122-131

33

Anda mungkin juga menyukai