Anda di halaman 1dari 3

Konten 1 dan 2

Bio-Insektisida adalah jenis pestisida yang bahan aktiknya merupakan


mikororganisme seperti, bakteri Bacillus thuringiensis, cendawan beauveria sp.,
metarrhizium sp., virus spodotera litura-nuclea polyhidrosis, SI-NPV, dan
nematoda patogen serangga. Bioinsektisida merupakan bahan yang mengandung
senyawa toksik yang berfungsi untuk membunuh atau menghambat
perkembangan spesies insekta yang dapat dihasilkan oleh tumbuhan maupun yang
menggunakan organisme hidup seperti virus, bakteri, dan jamur. Bio-insektisida
digunakan untuk menanggulangi gangguan hama seperti serangga atau tunggau.
Insektisida ini secara spesifik akan menyerang serangga yang menjadi sasaran
dan tidak menyerang serangga lainnya. Insektisida ini bekerja dengan cara
menginfeksi hama sehingga hama tidak dapat lagi mampu merusak tanaman
(Asmaliyah 2001). Bio-insektisida dari mikroorganisme ini memiliki efektivitas
yang sama dengan pestisida yang berbasis bahan kimia. Keunggulan yang didapat
dari penggunaan bioinsektisida mikroorganisme adalah mampu membasmi hama
serangga pada tanaman seperti pestisida kimia (Asmaliyah 2001). Selain itu,
bioinsektisida ini ramah lingkungan dan tak meninggalkan residu yang
membahayakan tanaman dan lingkungan.
Fungisida adalah pestisida yang secara spesifik membunuh atau
menghambat cendawan penyebab penyakit. Fungisida dapat berbentuk cair
(paling banyak digunakan), gas, butiran, dan serbuk. Perusahaan penghasil benih
biasanya menggunakan fungisida pada benih, umbi, transplan akar, dan organ
propagatif lainnya, untuk membunuh cendawan pada bahan yang akan ditanam
dan melindungi tanaman muda dari cendawan patogen. Selain itu, penggunaan
fungisida dapat digunakan melalui injeksi pada batang, semprotan cair secara
langsung, dan dalam bentuk fumigan (berbentuk gas yang disemprotkan)
(Sunarno 2007). Fungisida dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu
fungisida selektif (fungisida sulfur, tembaga, quinon, heterosiklik) dan non
selektif (fungisida hidrokarbon aromatik, anti-oomycota, oxathiin, organofosfat,
fungisida yang menghambat sintesis sterol, serta fungisida sistemik lainnya).
Lahan pertanian biasanya ditanami sejenis atau dua jenis tanaman
pertanian. Namun demikian tumbuhan lain juga dapat tumbuh di lahan tersebut.
Karena kompetisi dalam mendapatkan hara di tanah, perolehan cahaya matahari,
dan atau keluarnya substansi alelopatik, tumbuhan lain ini tidak diinginkan
keberadaannya. Herbisida digunakan sebagai salah satu sarana pengendalian
tumbuhan "asing" ini. Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan
pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan yang
menyebabkan penurunan hasil (gulma). Terdapat dua tipe herbisida menurut
aplikasinya, yaitu herbisida pratumbuh (preemergence herbicide) dan herbisida
pascatumbuh (postemergence herbicide) (Djojosumarto 2000). Yang pertama
disebarkan pada lahan setelah diolah namun sebelum benih ditebar (atau segera
setelah benih ditebar). Biasanya herbisida jenis ini bersifat nonselektif, yang
berarti membunuh semua tumbuhan yang ada. Yang kedua diberikan setelah benih
memunculkan daun pertamanya. Herbisida jenis ini harus selektif, dalam arti tidak
mengganggu tumbuhan pokoknya.
Pada umumnya herbisida bekerja dengan mengganggu proses anabolisme
senyawa penting seperti pati, asam lemak atau asam amino melalui kompetisi

dengan senyawa yang "normal" dalam proses tersebut (Crafts and Robbins 1973).
Herbisida menjadi kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan menjadi
kosubstrat yang dikenali oleh enzim yang menjadi sasarannya. Cara kerja lain
adalah dengan mengganggu keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang
diperlukan tumbuhan (Crafts and Robbins 1973).
Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara sedikit demi sedikit
dan mengakibatkan keracunan kronis. Bisa pula berakibat racun akut bila jumlah
pestisida yang masuk ke tubuh manusia dalam jumlah yang cukup (Wudianto R
2011). Pemaparan kadar rendah dalam jangka panjang atau pemaparan dalam
waktu yang singkat dengan akibat kronis. Keracunan kronis dapat ditemukan
dalam bentuk kelainan syaraf dan perilaku (bersifat neuro toksik) atau
mutagenitas. Selain itu ada beberapa dampak kronis keracunan pestisida, antara
lain gangguan otak dan syaraf, hepatitis, serta menurunkan sistem kekebalan.
Dampak tersebut dapat terjadi karena terpapar secara langsung dan terus-menerus
dengan pestisida (Wudianto R 2011). Hal demikian apabila tidak ditangani dan
tidak dikakukan pengobatan dapat mengakibatkan kematian.
Sampai saat ini telah banyak penelitian untuk memperoleh bioinsektisida
yang ampuh dan ramah lingkungan, salah satunya bioinsektisida mikrobial yang
diperoleh dari Bacillus thuringiensis (B.t) yang bersifat aman karena memiliki
derajat spesifisitas yang tinggi dan relatif kecil terjadinya resistensi (kekebalan)
pada serangga hama. Bacillus thuringiensis aizawai merupakan salah satu jenis
bakteri yang banyak dimanfaatkan dalam produksi bioinsektisida microbial (Behle
et al. 1999). Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan protein yang
beracun bagi serangga. Spora yang dibentuk oleh Bacillus thuringiensis berbentuk
oval, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1.0 1.3 mikrometer dan Bacillus
thuringiensis membentuk kristal protein (-endotoksin) bersamaan dengan
terbentuknya spora. Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval
dan selama sporulasi menghasilkan satu kristal protein dalam setiap selnya (Gill
et al. 1992).
Sampai saat ini telah diidentifikasi kristal protein yang beracun terhadap
larva dari berbagai ordo serangga yang menjadi hama pada tanaman pangan dan
hortikultura. Kebanyakan dari kristal protein tersebut lebih ramah lingkungan
karena mempunyai target yang spesifik sehingga tidak mematikan serangga bukan
sasaran dan mudah terurai sehingga tidak menumpuk dan mencemari lingkungan
(Gill et al. 1992). Kristal protein dan spora yang dihasilkan oleh Bacillus
thuringiensis masuk ke dalam perut serangga sehingga menyebabkan kerusakan
organ pada perut serangga. Serangga tidak mampu memproses kristal protein yang
masuk ke dalam tubuhnya. Sebaliknya, kristal protein dan spora menggrogoti
perut serangga sehingga terbentuk lubang yang menyebabkan serangga tidak
dapat bertahan (Gill
et al. 1992). Setiap bioinsektisida menggunakan
mikroorganisme yang berbeda sebagai penghasil bahan aktif yang diperlukan
untuk membasmi serangga. Maka, dengan mikroorganisme yang berbeda, sasaran
serangga yang dijadikan target pembasmian juga berbeda. Artinya, jenis
bioinsektisida tertentu spesifik terhadap serangga tertentu (Bahle et al 1999).

Simpulan
Hama merupakan bagian yang sangat penting dan harus dihilangkan.
Berbagai cara dilakukan untuk membasmi hama, seperti penggunaan insektisida,
fungisida, dan herbisida. Fungisida digunakan untuk membasmi hama dengan
jenis cendawan yang bersifafat patogen pada tumbuhan. Sedangan herbisida
digunakan untuk membasmi tanaman asing atau tanaman liar (gulma) yang
mengganggu pertumbuhan tanaman utama. Cara membasmi hama yang lain
adalah dengan menggunakan insektisida. Namun, saat ini banyak dikembangkan
insektisida alami (bioinsektisida). Bioinsektisida berfungsi untuk membasmi hama
serangga. Efek samping dari penggunaan pembasmi hama ini adalah apabila
terpapar secara langsung dan terus-menerus akan menyebabkan keracunan kronis
seperti gangguan otak dan syaraf, hepatitis, dan menurunnya sistem imun.
Bioinsektisida dibuat dengan memanfaatkan bahan aktif yang dihasilkan
oleh mikroorganisme tertentu. Bahan aktif tersbut spesifik untuk serangga tertentu
sehingga ramah lingkungan karena tidak mengganggu organisme lain.
Bioinsektisida yang dibuat dari mikroba Bacillus thuringiensis menghasilkan
bahan aktif berupa spora dan kristal protein yang dapat mengganggu dan merusak
pencernaan serangga. Kerusakan yang terjadi adalah terbentuknya lubang pada
perut serangga sehingga menyebabkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaliyah.2001. Prospek Pemanfaatan Insektisida Mikroba Bacillus
thuringiensis Sebagai Alternatif Dalam Pengendalian Hama. Palembang:
Buletin Teknologi Reboisasi.
Behle, et al. 1999. Makalah Formulations Forum 99. Formulating Bionsecticides
To Improve Residual Activity. University Peoria. Illinois.
Crafts A.S. and Robbins W.W. 1973. Weed Control. New Delhi: Tata Mc. GrawHill Publishing Company Ltd.
Djojosumarto P. 2000. Teknik Aplikasi Herbisida Pertanian. Yogyakarta: Kanisius.
Gill, S. S., E. A. Cowles, dan P. V, Pietrantonio. 1992. The Mode of Action of
Bacillus thuringiensis. Endotoxin. Annu, Rev. Entomol. 37 : 615 636.
Sunarno Timbul. 2007. Fungisida dan bakterisida organik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Wudianto R. 2011. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Bogor: Penebar Swadaya.

Anda mungkin juga menyukai