Anda di halaman 1dari 16

wawasan nusantara secara etimologis dan terminologi

Pengertian Wawasan Nusantara


Pengertian Wawasan Nusantara dapat diartikan secara etimologis dan terminologi
1. Secara Etimologis
Wawasan Nusantara berasal dari kata wawasan dan nusantara. Wawasan berasal dari kata
wawas (bahasa Jawa) yang berarti pandangan, tinjauan atau penglihatan indrawi. Akar kata
ini membentuk kata mawas yang berarti memandang, meninjau atau melihat. Wawasan
berarti cara pandang, cara meninjau atau cara melihat. Sedangkan Nusantara berasal dari kata
nusa yang berarti pulau pulau, dan antara yang berarti diapit di antara dua hal (dua benua
yaitu benua Asia dan benua Australia serta dua samudra yakni samudera Pasifik dan
samudera Hindia).
2. Secara Terminologis.
Wawasan Nusantara menurut beberapa pendapat sebagai berikut :
a. Menurut Prof. Wan Usman
Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya
sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beragam.
b. Menurut GBHN yang ditetapkan MPR pada tahun 1993 dan 1998
Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan
lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah
dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk
mencapai tujuan nasional.
c. Menurut Kelompok Kerja Wawasan Nusantara yang dibuat di LEMHANAS 1999
Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan
lingkungannya yang sebaberagam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
Secara umum, Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan
lingkungan sekitarnya berdasarkan ide nasionalnya yang berlandaskan pancasila dan UUD
1945 (Undang-Undang Dasar 1945) yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang
merdeka, berdaulat, bermartabat serta menjiwai tata hidup dalam mencapai tujuan perjuangan
nasional.
Latar Belakang Filosofis Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara merupakan sebuah cara pandang geopolitik Indonesia yang bertolak dari
latar belakang pemikiran sebagai berikut :

Latar belakang pemikiran filsafat Pancasila


Latar belakang pemikiran aspek kewilayahan Indonesia
Latar belakang pemikiran aspek sosial budaya Indonesia
Latar belakang pemikiran aspek kesejarahan Indonesia
1. Latar belakang pemikiran filsafat Pancasila menjadikan Pancasila sebagai dasar
pengembangan Wawasan Nusantara tersebut. Setiap sila dari Pancasila menjadi dasar dari
pengembangan wawasan itu.
Sila 1 (Ketuhanan yang Maha Esa) menjadikan Wawasan Nusantara merupakan wawasan
yang menghormati kebebasan beragama.
Sila 2 (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab) menjadikan Wawasan Nusantara merupakan
wawasan yang menghormati dan menerapkan HAM (Hak Asasi Manusia).
Sila 3 (Persatuan Indonesia) menjadikan Wawasan Nusantara merupakan wawasan yang
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.
Sila 4 (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan) menjadikan Wawasan Nusantara merupakan wawasan yang
dikembangkan dalam suasana musyawarah dan mufakat.
Sila 5 (Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia) menjadikan Wawasan Nusantara
merupakan wawasan yang mengusahakan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
2. Latar belakang pemikiran aspek kewilayahan Indonesia menjadikan wilayah Indonesia
sebagai dasar pengembangan wawasan itu. Dalam hal ini kondisi obyektif geografis
Indonesia menjadi modal pembentukan suatu negara dan menjadi dasar bagi pengambilanpengambilan keputusan politik. Adapun kondisi objektif geografi Indonesia telah mengalami
perkembangan sebagai berikut.
Saat RI merdeka (17 Agustus 1945), kita masih mengikuti aturan dalam Territoriale Zee En
Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939 di mana lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil
diukur dari garis air rendah dari masing-masing pantai pulau Indonesia.
o Dengan aturan itu maka wilayah Indonesia bukan merupakan kesatuan
o Laut menjadi pemisah-pemecah wilayah karena Indonesia merupakan negara kepulauan
Indonesia kemudian mengeluarkan Deklarasi Djuanda (13 Desember 1957) berbunyi:
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan maka pemerintah menyatakan bahwa segala
perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk negara
Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar
daripada wilayah daratan negara Indonesia, dan dengan demikian bagian daripada perairan
pedalaman atau nasional berada di bawah kedaulatan mutlak negara Indonesia. Lalu lintas

yang damai di perairan pedalaman in bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar
tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.
Penentuan batas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang
menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada pulau-pulau negara Indonesia.
o Jadi, pulau-pulau dan laut di wilayah Indonesia merupakan satu wilayah yang utuh,
kesatuan yang bulat dan utuh
Indonesia kemudian mengeluarkan UU No 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
yang berisi konsep kewilayahan Indonesia menurut Deklarasi Djuanda itu
o Maka Indonesia mempunyai konsep tentang Negara Kepulauan (Negara Maritim)
o Dampaknya: jika dulu menurut Territoriale Zee En Maritime Kringen Ordonantie tahun
1939 luas Indonesia adalah kurang lebih 2 juta km2 maka menurut Deklarasi Djuanda dan
UU No 4/prp Tahun 1960 luasnya menjadi 5 juta km2 (dimana 65% wilayahnya terdiri dari
laut/perairan)
Pada 1982, Konferensi PBB tentang Hukum Laut Internasional III mengakui pokok-pokok
asas Negara Kepulauan (seperti yang digagas menurut Deklarasi Djuanda)
o Asas Negara Kepulauan itu diakui dan dicantumkan dalam UNCLOS 1982 (United Nation
Convention on the Law af the Sea)
o Dampak dari UNCLOS 1982 adalah pengakuan tentang bertambah luasnya ZEE (Zona
Ekonomi Eksklusif) dan Landas Kontinen Indonesia
Indonesia kemudian meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No 17 Tahun 1985 (tanggal
31 Desember 1985)
Sejak 16 November 1993 UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh 60 negara dan menjadi
hukum positif sejak 16 November 1994.
Perjuangan selanjutnya adalah perjuangan untuk wilayah antariksa nasional, termasuk GSO
(Geo Stationery Orbit)
Jadi wilayah Indonesia adalah (Prof. Dr. Priyatna dalam S. Sumarsono, 2005, hal 74)
o Wilayah territorial 12 mil dari Garis Pangkal Laut
o Wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 200 mil dari Pangkal Laut
o Wilayah ke dalam perut bumi sedalam 40.000 km
o Wilayah udara nasional Indonesia setinggi 110 km
o Batas antariksa Indonesia
Tinggi = 33.761 km
Tebal GSO (Geo Stationery Orbit) = 350 km

Lebar GSO (Geo Stationery Orbit) = 150 km


3. Latar belakang pemikiran aspek sosial budaya Indonesia menjadikan keanekaragaman
budaya Indonesia menjadi bahan untuk memandang (membangun wawasan) nusantara
Indonesia. Menurut Hildred Geertz sebagaimana dikutip Nasikun (1988), Indonesia
mempunyai lebih dari 300 suku bangsa dari Sabang sampai Merauke. Adapun menurut
Skinner yang juga dikutip Nasikun (1988) Indonesia mempunyai 35 suku bangsa besar yang
masing-masing mempunyai sub-sub suku/etnis yang banyak.
4. Latar belakang pemikiran aspek kesejarahan Indonesia menunjuk pada sejarah
perkembangan Indonesia sebagai bangsa dan negara di mana tonggak-tonggak sejarahnya
adalah:
20 Mei 1908 = Kebangkitan Nasional Indonesia
28 Okotber 1928 = Kebangkitan Wawasan Kebangsaan melalui Sumpah Pemuda
17 Agustus 1945 = Kemerdekaa Republik Indonesia
Implementasi Wawasan Nusantara dalam Kehidupan Nasioanal
Implementasi atau penerapan wawasan nusantara harus tercermin pada pola pikir, pola sikap,
dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan negara daripada
kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan kata lain, wawasan nusantara menjadi pola yang
mendasari cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam rangka menghadapi berbagai masalah
menyangkut kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara. Implementasi wawasan
nusantara senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara utuh
dan menyeluruh sebagai berikut :
1. Wawasan Nusantara sebagai Pancaran Falsafah Pancasila
Falsafah Pancasila diyakini sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang sesuai dengan
aspirasinya. Keyakinan ini dibuktikan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak awal
proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai sekarang. Dengan
demikian wawasan nusantara menjadi pedoman bagi upaya mewujudkan kesatuan aspek
kehidupan nasional untuk menjamin kesatuan, persatuan dan keutuhan bangsa, serta upaya
untuk mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia.
2. Wawasan Nusantara dalam Pembangunan Nasional
a. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik
Bangsa Indonesia bersama bangsa-bangsa lain ikut menciptakan ketertiban dunia dan
perdamaian abadi melalui politik luar negeri yang bebas aktif. Implementasi wawasan
nusantara dalam kehidupan politik akan menciptakan iklim penyelenggaraan negara yang

sehat dan dinamis. Hal tersebut tampak dalam wujud pemerintahan yang kuat aspiratif dan
terpercaya yang dibangun sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.
b. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Ekonomi
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan ekonomi akan menciptakan tatanan
ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Di samping itu, implementasi wawasan nusantara
mencerminkan tanggung jawab pengelolaa sumber daya alam yang memperhatikan
kebutuhan masyarakat antar daerah secara timbal balik serta kelestarian sumber daya alam itu
sendiri.
Kekayaan di wilayah nusantara, baik potensial maupun efektif, adalah modal dan milik
bersama bangsa untuk memenuhi kebutuhan di seluruh wilayah Indonesia secara merata.
Tingkat perkembangan ekonomi harus seimbang dan serasi di seluruh daerah tanpa
mengabaikan ciri khas yang memiliki daerah masing-masing.
Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah nusantara diselenggarakan sebagai usaha
bersama dengan asas kekeluargaan dalam sistem ekonomi kerakyatan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial Budaya
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan sosial budaya akan menciptakan sikap
batiniah dan lahiriah yang mengakui segala bentuk perbedaan sebagai kenyataan hidup
sekaligus karunia Tuhan. Implementasi ini juga akan menciptakan kehidupan masyarakat dan
bangsa yang rukun dan bersatu tanpa membedakan suku, asal usul daerah, agama, atau
kepercayaan,serta golongan berdasarkan status sosialnya. Budaya Indonesia pada hakikatnya
adalah satu kesatuan dengan corak ragam budaya yang menggambarkan kekayaan budaya
bangsa. Budaya Indonesia tidak menolak nilai-nilai budaya asing asalkan tidak bertentangan
dengan nilai budaya bangsa sendiri dan hasilnya dapat dinikmati.
d. Perwujudan Kepulauan Nusantara Sebagai Satu Kesatuan Pertahanan dan Keamanan
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan pertahanan dan keamanan akan
menumbuhkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa, yang lebih lanjut akan membentuk sikap
bela negara pada tiap warga negara Indonesia. Kesadaran dan sikap cinta tanah air dan bangsa
serta bela negara ini menjadi modal utama yang akan mengerakkan partisipasi setiap warga
negara indonesia dalam menghadapi setiap bentuk ancaman antara lain :
1. Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakikatnya adalah ancaman
terhadap seluruh bangsa dan negara.
2. Tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk ikut serta dalam

pertahanan dan keamanan negara dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.
3. Penerapan Wawasan Nusantara
1. Salah satu manfaat paling nyata dari penerapan wawasan nusantara. Khususnya dibidang
wilayah. Adalah diterimanya konsepsi nusantara di forum internasional. Sehingga terjaminlah
integritas wilayah teritorial Indonesia. Laut nusantara yang semula dianggap laut bebas
menjadi bagian integral dari wilayah Indonesia.
2. Pertambahan luas wilayah sebagai ruang lingkup tersebut menghasilkan sumber daya alam
yang mencakup besar untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
3. Pertambahan luas wilayah tersebut dapat diterima oleh dunia internasional terutama negara
tetangga yang dinyatakan dengan persetujuan yang dicapai.
4. Penerapan wawasan nusantara dalam pembangunan negara di berbagai bidang tampak
pada berbagai proyek pembangunan sarana dan prasarana ekonomi, komunikasi dan
transportasi.
5. Penerapan di bidang sosial dan budaya terlihat pada kebijakan untuk menjadikan bangsa
Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika tetap merasa sebangsa, setanah air, senasib
sepenanggungan dengan asas pancasila.
6. Penerapan wawasan nusantara di bidang pertahanan keamanan terlihat pada kesiapsiagaan
dan kewaspadaan seluruh rakyat melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
untuk menghadapi berbagai ancaman bangsa dan negara.
4. Hubungan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
Dalam penyelenggaraan kehidupan nasional agar tetap mengarah pada pencapaian tujuan
nasional diperlukan suatu landasan dan pedoman yang kokoh berupa konsepsi wawasan
nasional untuk mewujudkan aspirasi bangsa serta kepentingan dan tujuan nasional. Wawasan
nasional bangsa Indonesia adalah wawasan nusantara yang merupakan pedoman bagi proses
pembangunan nasional menuju tujuan nasional. sedangkan ketahanan nasional merupakan
kondisi yang harus diwujudkan agar proses pencapaian tujuan nasional tersebut dapat
berjalan dengan sukses. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa wawasan nusantara dan
ketahanan nasional merupakan dua konsepsi dasar yang saling mendukung sebagai pedoman
bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara agar tetap jaya dan berkembang
seterusnya.
Sementara itu, menurut UNCLOS 1982, pengertian/batasan wilayah pesisir tidak
diatur, tetapi UNCLOS 1982, membagi laut ke dalam zona-zona yaitu: 4
a. Wilayah laut yang berada di bawah yurisdiksi suatu Negara adalah :
1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)


3. Laut Wilayah (Territorial Sea)
4. Zona Tambahan (Contiguous Zone)
5. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)
6. Landas Kontinen (Continental Shelf))
b. Wilayah laut yang berada di luar yurisdiksi suatu Negara adalah:
7. Laut Lepas (High Seas)
8. Dasar Laut Dalam/kawasan (Area/Deep Sea Bed)

A. POTENSI KELAUTAN INDONESIA

Negara Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km2 yang
merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah
laut tersebut terdapat sekitar 17.500 lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang
81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah
Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara
kepulauan dan maritim terbesar di dunia.
Selain peran geopolitik, wilayah laut kita juga memiliki peran geokonomi
yang sangat penting dan strategis bagi kejayaan dan kemakmuran bangsa
Indonesia. Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia
diberkahi Tuhan YME dengan kekayaan laut yang sangat besar dan beranekaragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu
karang, hutan mangrove, rumputlaut, dan produk-produk bioteknologi);
sumberdaya alam yang takterbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas,
perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan
sepertipasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy
Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan
transportasi laut.
Oleh karena itu, pada makalah ini dibahas mengenai pentingnya pengembangan
potensi kelautan yang optimal bagi peningkatan kesejahteraan bangsa
Indonesia. Pengembangan kelautan tersebut diawali dengan adanya isu-isu
permasalahan yang ada dan ditindaklanjuti dengan upaya pengelolaan kelautan
dengan menggunakan prinsip-prinsip pengelolaan yang berkelanjutan, terpadu,
desentralisasi pengelolaan, pemberdayaan masyarakat dan kerjasama
internasional.
A. Potensi Sumberdaya Kelautan
Potensi dan peluang pengembangan kelautan meliputi :
(1) perikanan tangkap,
(2) perikanan budidaya,
(3) industri pengolahan hasil perikanan,

(4) industri bioteknologi kelautan dan perikanan,


(5) pengembangan pulau-pulau kecil,
(6) pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam,
(7) deep sea water,
(8) industri garam rakyat,
(9) pengelolaan pasir laut,
(10) industri penunjang,
(11) pengembangan kawasan industri perikanan terpadu, dan (12)
keanekaragaman hayati laut.
Perikanan
Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,8 juta km2 dengan garis
pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumberdaya ikan
diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan
wilayah Indonesia dan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia),
yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama Indonesia.
Di samping itu terdapat potensi pengembangan untuk (a) budidaya laut
terdiri dari budidaya ikan (antara lain kakap, kerapu, dan gobia), budidaya
moluska (kerang-kerangan, mutiara, dan teripang), dan budidaya rumput
laut, dan (e) bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri
bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku untuk makanan, industri
bahan pakan alami, benih ikan dan udang, industri bahan pangan.
Pertambangan dan energi
Potensi sumberdaya mineral kelautan tersebar di seluruh perairan
Indonesia. Sumberdaya mineral tersebut diantaranya adalah minyak dan
gas bumi, timah, emas dan perak, pasir kuarsa, monazite dan zircon, pasir
besi, agregat bahan konstruksi, posporit, nodul dan kerak mangan, kromit,
gas biogenic kelautan, dan mineral hydrothermal.

Perhubungan Laut
Transportasi laut berperan penting dalam dunia perdagangan internasional
maupun domestik. Transportasi laut juga membuka akses dan
menghubungkan wilayah pulau, baik daerah sudah yang maju maupun
yang masih terisolasi. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state),
Indonesia memang amat membutuhkan transportasi laut, namun,
Indonesia ternyata belum memiliki armada kapal yang memadai dari segi
jumlah maupun kapasitasnya. Data tahun 2001 menunjukkan, kapasitas
share armada nasional terhadap angkutan luar negeri yang mencapai 345

juta ton hanya mencapai 5,6 persen. Adapun share armada nasional
terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton hanya
mencapai 56,4 persen. Kondisi semacam ini tentu sangat
mengkhawatirkan terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas.
Selain diperlukan suatu kebijakan yang kondusif untuk industri pelayaran,
maka Peningkatan kualitas SDM yang menangani transportasi sangatlah
diperlukan.
Karena negara Indonesia adalah negara kepulauan maka keperluan sarana
transportasi laut dan transportasi udara diperlukan. Mengingat jumlah
pulau kita yang 17 ribu buah lebih maka sangatlah diperlukan industri
maritim dan dirgantara yang bisa membantu memproduksi sarana yang
membantu kelancaran transportassi antar pulau tersebut. Potensi
pengembangan industri maritim Indonesia sangat besar, mengingat
secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari
ribuan pulau. Untuk menjangkau dan meningkatkan assesbilitas pulau
dapat dihubungkan melalui peran dari sarana transportasi udara (pesawat
kecil) dan sarana transportasi laut (kapal, perahu, dan sebagainya).
Pariwisata Bahari
Indonesia memiliki potensi pariwisata bahari yang memiliki daya tarik bagi
wisatawan. Selain itu juga potensi tersebut didukung oleh kekayaan alam
yang indah dan keanekaragaman flora dan fauna. Misalnya, kawasan
terumbu karang di seluruh Indonesia yang luasnya mencapai 7.500 km2
dan umumnya terdapat di wilayah taman laut. Selain itu juga didukung
oleh 263 jenis ikan hias di sekitar terumbu karang, biota langka dan
dilindungi (ikan banggai cardinal fish, penyu, dugong, dll), serta migratory
species.
Potensi kekayaan maritim yang dapat dikembangkan menjadi komoditi
pariwisata di laut Indonesia antara lain: wisata bisnis (business tourism),
wisata pantai (seaside tourism), wisata budaya (culture tourism), wisata
pesiar (cruise tourism), wisata alam (eco tourism) dan wisata olah raga
(sport tourism).
B. Isu dan Masalah Pengelolaan
1. Isu Kerusakan Ekosistem
Kerusakan ekosistem yang sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas
sumber daya kelautan meliputi: ekosistem terumbu karang, ekosistem
mangrove, padang lamun dan estuaria, serta ekosistem budidaya laut.
Kondisi terumbu karang saat ini mencapai kerusakan rata-rata 40%
dengan rincian : rusak berat 40,14%, rusak sedang 29,22%, dan baik 6,4124,23%. Di Indonesia Barat kondisi memuaskan tinggal 3,93%, di
Indonesia Tengah tinggal 7,09%, sedangkan di Indonesia Timur kondisi
memuaskan tinggal 9,80%.
Permasalahan kerusakan ekosistem juga terjadi akibat terjadi
pemanfaatan sumberdaya ikan yang berlebih (overfishing) di beberapa
wilayah perairan Indonesia. Masalah tersebut berdampak pada
ketidakberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Kerusakan

ekosistem juga terjadi akibat pencemaran ekosistem laut yang bersumber


dari dampak kegiatan-kegiatan manusia di darat dan di laut dan berakibat
pada penurunan kualitas dan daya dukung ekosistem laut. Kegiatan
manusia di laut yang dapat mencemari ekosistem laut diantaranya
kegiatan perkapalan dengan arus transportasi lautnya, kegiatan
pertambangan, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, wisata
pantai, dan lain sebagainya. Sedangkan kegiatan manusia di darat yang
mencemari ekosistem laut diantaranya adalah kegiatan pertanian,
pemukiman, industri, kegiatan pertambangan, dan lain-lain.

2. Isu Sosial Ekonomi


Laut sebagai media kontak sosial dan budaya memberikan gambaran
kepada kita bahwa dengan terbukanya akses perhubungan di laut akan
terjadi kemudahan interaksi secara sosial antar daerah bahkan antar
negara. Kemudian interaksi tersebut dapat berimplikasi positif dan dapat
juga sebaliknya yang menjadikan akses tindakan criminal seperti illegal
logging, perompakan, pencurian sumberdaya, perdagangan illegal dan
perdagangan manusia.
Selain itu, masalah ekonomi yang terjadi adalah kemiskinan nelayan yang
menggantungkan hidupnya pada sumberdaya di laut. Kemiskinan nelayan
ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya laut dan potensipotensi pendukungnya belum dimanfaatkan secara optimal dan bijaksana.
3. Isu Hukum dan Kelembagaan
Isu hukum yang terjadi baik di level nasional maupun daerah antar sektor
berkaitan dengan penanganan pengendalian sumberdaya seperti
pengawasan, MCS, pengendalian pencemaran lingkungan laut. Beberapa
instansi sudah memiliki peraturan mengenai penanganan ini, sedangkan
beberapa instansi yang lain belum ada dan masih mengacu pada
peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian LH yang masih bersifat
umum dan tidak mengatur secara teknis mengenai aktivitas kegiatan
yang merupakan instansi teknis. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
migas, perkapalan dan kepelabuhan serta pariwisata pantai dan laut
memerlukan peraturan perundangan detail dan teknis dari masing-masing
instansi tersebut.
Isu kelembagaan berkaitan dengan permasalahan koordinasi baik secara
horizontal maupun vertical. Koordinasi secara horizontal dimana
implementasi koordinasi yang terjadi pada instansi horizontal seperti antar
instansi teknis dalam satu level pemerintahan yang masing-masing masih
terdapat perbedaan persepsi dan pelaksanaan dalam pengelolaan
kelautan. Koordinasi secara vertical dimana implementasi koordinasi yang
terjadi pada instansi vertical yaitu pusat, propinsi dan kabupaten/kota
yang dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dapat diimplementasikan
sebagaimana diamanatkan UU No.32/2004.
4. Isu Pemanfaatan Ruang

Laut dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, misalnya area perikanan,


pertambangan, jalur transportasi, jalur kabel komunikasi dan pipa bawah
air, wisata bahari dan area konservasi. Artinya laut sebagai ruang
dimungkinkan adanya terdapat beberapa jenis pola pemanfaatan dalam
satu ruang yang sama. Konflik pemanfaatan ruang dapat saja terjadi
apabila penetapan pola-pola pemanfaatan pada ruang yang sama atau
berdekatan saling memberikan dampak yang negatif.
Ketidakselarasannya peraturan atau produk hokum dalam pola-pola
pemanfaatan laut antar sektor dapat meningkatkan kerentanan konflik
kepentingan. Selain itu, kepentingan pemerintah daerah saat ini yang
diberikan kewenangan untuk mengelola wilayah lautnya masing-masing
banyak disalah tafsirkan, sehingga laut dianggap milik sendiri dan tidak
boleh dimanfaatkan oleh orang lain atau pemanfaatan sumberdaya laut
dilakukan hanya sekedar untuk menambah devisa tanpa melihat berbagai
aspek keberlanjutannya.
C. Upaya Pengelolaan yang Optimal
1. Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu amanat dari
pertemuan Bumi (Earth Summit) yang diselenggarakan tahun 1992 di Rio
de Janeiro, Brazil. Dalam forum global tersebut, pemahaman tentang
perlunya pembangunan berkelanjutan mulai disuarakan dengan
memberikan definisi sebagai pembangunan yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengabaikan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.
Pengelolaan sumberdaya laut perlu diarahkan untuk mencapai tujuan
pendayagunaan potensi untuk meningkatkan kontribusi terhadap
pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan
kelautan khususnya, sertauntuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya
kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan.
2. Keterpaduan
Sifat keterpaduan dalam pembangunan kelautan menghendaki koordinasi
yang mantap, mulai tahapan perencanaan sampai kepada pelaksanaan
dan pemantauan serta pengendaliannya. Untuk itu , dibutuhkan visi, misi,
strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan dinamis.
Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik lintas
sektor maupun subsektor, tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan
dan keserasian antara rencanan pembangunan kelautan nasional dengan
regional, diharapkan diperolah keserasian dan keterpaduan perencanaan
dari bawah (bottom up) yang bersifat mendasar dengan perencanaan dari
atas ( top down) yang bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan
sinkronisasi yang lebih mantap.
Keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan meliputi (1)
keterpaduan sektoral yang mensyaratkan adanya koordinasi antar sektor
dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan, (2) keterpaduan pemerintahan
melalui integrasi antara penyelenggara pemerintahan antarlevel dalam

sebuah konteks pengelolaan kelautan tertentu, (3) keterpaduanspasial


yang memberikan arah pada integrasi ruang dalam sebuah pengelolaan
kawasan laut, (4) keterpaduan ilmu dan manajemen yang menitikberatkan
pada integrasi antarilmu dan pengetahuan yang terkait dengan
pengelolaan kelautan, dan (5) keterpaduan internasional yang
mensyaratkan adanya integrasi pengelolaan pesisir dan laut
yangmelibatkan dua atau lebih negara, seperti dalam konteks
Transboundary species, high migratory species maupun efek polusi antar
ekosistem.
3. Desentralisasi Pengelolaan
Dari 400-an lebih kabupaten dan kota di Indonesia, maka 240-an lebih
memiliki wilayah laut. Memperhatikan hal ini maka dalam bagian
kesungguhan mengelola kekayaan laut Diharapkan stabilitas politik di
negara kita dapat ditingkatkan, penegakan hukum dapat segera
dilaksanakan sehingga segala upaya dalam pembangunan SDM,
pembangunan ekonomi dapat memperoleh hasil yang optimal. Budaya
negeri kita paternalistik, sehingga perilaku pemimpin nasional dan daerah,
perilaku pejabat pusat dan daerah akan menjadi refleksi masyarakat luas.
Usaha pemberian otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dalam
urusan pemerintahan dan pembangunan merupakan isu pemerintahan
yang lebih santer di masa-masa yang akan datang. Proses perencanaan
dan penentuan kebijaksanaan pembangunan yang sekarang masih
nampak sentralistis di pemerintahan pusat kiranya perlu didorong untuk
mendesentralisasikan ke daerahdaerah.
Selain itu, peranan daerah juga sangat besar dalam proses pemberdayaan
masyarakat untuk ikut serta secara aktif dalam proses pembangunan,
termasuk di dalamnya pembangunan wilayah pesisir dan lautan. Namun
peran tersebut masih perlu ditingkatkan di masa mendatang mengingat
peranan sumberdaya pesisir dan lautan dalam pembangunan di masa
mendatang makin penting. Peranan daerah juga makin penting, terutama
apabila dikaitkan dengan pembinaan kawasan, baik yang berkaitan
dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam maupun
masyarakat di daerah, terutama yang berada di kawasan pesisir, yang
kehidupannya sangat tergantung pada lingkungan di sekitarnya
(lingkungan pesisir dan lautan).
Daerah juga harus dapat meningkatkan peranannya melalui pembinaan
dunia usaha di daerah untuk mengembangkan usahanya di bidang
kelautan. Artinya proses pemberdayaan bukan hanya diperuntukkan bagi
masyarakat pesisir atau masyarakat yang menggantungkan hidupnya
pada sektor kelautan (nelayan), tetapi juga para usahawan (misalnya
perikanan) mengantisipasi potensi pasar dalam negeri maupun luar negeri
yang cenderung meningkat. Di sektor lain, misalnya budidaya laut juga
merupakan potensi untuk mendorong pembangunan baik secara nasional
maupun untuk kepentingan masyarakat pesisir.
Secara empiris, trend menuju otonomisasi pengelolaan sumberdaya
kelautan ini pun di beberapa negara sudah teruji dengan baik. Contoh

bagus dalam hal ini adalah Jepang. Dengan panjang pantai kurang lebih
34.590 km dan 6.200 pulau besar kecil, Jepang menerapkan pendekatan
otonomi melalui mekanisme coastal fishery right-nya yang terkenal itu.
Dalam konteks ini, pemerintah pusat hanya memberikan basic
guidelines dan kemudian kebijakan lapangan diserahkan kepada provinsi
atau kota melalui FCA (Fishebry Cooperative Association). Dengan
demikian, terdapat mozaik pengelolaan yang bersifat site-spesific menurut
kondisi lokasi di wilayah pengelolaan masing-masing.
4. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pendekatan pembangunan termasuk dalam konteks sumberdaya kelautan,
seringkali meniadakan keberadaan organisasi lokal (local organization).
Meningkatnya perhatian terhadap berbagai variabel local menyebabkan
pendekatan pembangunan dan pengelolaan beralih dari sentralisasi ke
desentralisasi yang salah satu turunannya adalah konsep otonomi
pengelolaan sumberdaya kelautan.
Dalam konteks ini pula, kemudian konsep CBM (community based
management) dan CM (Co-Management) muncul sebagai policy badies
bagi semangat kebijakan dari bawah (bottom up policy) yang berkaitan
dengan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini diarahkan sesuai dengan
tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan yang dilakukan untuk mencapai
kesejahteraan bersama sehingga orientasinya adalah pada kebutuhan dan
kepentingan masyarakat sehingga tidak hanya menjadi objek, melainkan
subjek pengelolaan.

5. Isu Global
Memasuki abad ke-21, Indonesia dihadapkan pada tantangan internasional
sehubungan dengan mulai diterapkannya pasar bebas, mulai dari AFTA
(pasar bebas ASEAN) hingga APEC (pasar bebas Asia Pasifik). Seiring
dengan itu, terjadi berbagai perkembangan lingkungan strategis
internasional, antara lain (1) proses globalisasi, (2) regionalisasi blok
perdagangan, (3) isu politik perdagangan yang menciptakan non-tariff
barier, dan (4) isu tarifikasi dan tariff escalation bagi produk agroindustri,
dan (5) perkembangan kelembagaan perdagangan internasional.
Terdapat dua aspek globalisasi yang terkait dengan sektor kelautan dan
perikanan, yakni aspek ekologi dan ekonomi. Secara ekologi, terdapat
berbagai kaidah internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
(fisheries management), seperti adanya Code of Conduct for Responsible
Fisheries yang dikeluarkan FAO (1995). Aturan ini menuntut adanya
praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan,
dimana setiap negara dituntut untuk memenuhi kaidah-kaidah tersebut,
selanjutnya dijabarkan di tingkat regional melalui organisasi/komisi-komisi
regional (Regional Fisheries Management Organizations-RFMOs) seperti
IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) yang mengatur penangkapan tuna di
perairan India, CCSBT, dll. Selain itu, Committee on Fisheries FAO telah
menyepakati tentang International Plan of Action on Illegal, Unreported

and Unregulated (IUU) Fishing yang mengatur mengenai (1) praktek ilegal
seperti pencurian ikan, (2) praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau
laporannya salah, atau laporannya di bawah standar, dan (3) praktek
perikanan yang tidak diatur sehingga mengancam kelestarian stok ikan
global.
Sementara itu dalam aspek ekonomi, liberalisasi perdagangan merupakan
ciri utama globalisasi. Konsekuensinya adalah ketatnya persaingan
produk-produk perikanan pada masa datang. Oleh karenanya produkproduk perikanan akan sangat ditentukan oleh berbagai kriteria, seperti
(1) produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan, (2) produk
harus memiliki kualitas yang baik dan seragam, dan (3) produk dapat
disediakan secara masal. Selain itu, produk-produk perikanan harus dapat
pula mengantisipasi dan mensiasati segenap isu perdagangan
internasional, termasuk: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO
14000), isu property right, isu responsible fisheries, precauteonary
approach, isu hak asasi manusia (HAM), dan isu ketenagakerjaan.
Ancaman Bencana laut

Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh
ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
bencana antara lain:
Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made
hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster
Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological
hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya
biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan
penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation)
Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta
elemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana
Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat
Secara geografi s Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia,
lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur
Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau
Sumatera ? Jawa - Nusa Tenggara ? Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan
vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa.
Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan
gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat
kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986).
Gempa bumi yang disebabkan karena interaksi lempeng tektonik dapat
menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudera. Dengan wilayah

yang sangat dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik ini, Indonesia sering
mengalami tsunami. Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar
disebabkan oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan
daerah seismik aktif lainnya (Puspito, 1994). Selama kurun waktu 1600?2000
terdapat 105 kejadian tsunami yang 90 persen di antaranya disebabkan oleh
gempa tektonik, 9 persen oleh letusan gunung berapi dan 1 persen oleh tanah
longsor (Latief dkk., 2000). Wilayah pantai di Indonesia merupakan wilayah yang
rawan terjadi bencana tsunami terutama pantai barat Sumatera, pantai selatan
Pulau Jawa, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di
Maluku, pantai utara Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Laut
Maluku adalah daerah yang paling rawan tsunami. Dalam kurun waktu tahun
1600?2000, di daerah ini telah terjadi 32 tsunami yang 28 di antaranya
diakibatkan oleh gempa bumi dan 4 oleh meletusnya gunung berapi di bawah
laut.
Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas
dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang
cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi
permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi,
menghasilkan kondisi tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat
menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana
hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan.
Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia,
kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu
meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir,
tanah longsor dan kekeringan) yang terjadi secara silih berganti di banyak
daerah di Indonesia. Pada tahun 2006 saja terjadi bencana tanah longsor dan
banjir bandang di Jember, Banjarnegara, Manado, Trenggalek dan beberapa
daerah lainnya. Meskipun pembangunan di Indonesia telah dirancang dan
didesain sedemikian rupa dengan dampak lingkungan yang minimal, proses
pembangunan tetap menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem.
Pembangunan yang selama ini bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam
(terutama dalam skala besar) menyebabkan hilangnya daya dukung sumber
daya ini terhadap kehidupan mayarakat. Dari tahun ke tahun sumber daya hutan
di Indonesia semakin berkurang, sementara itu pengusahaan sumber daya
mineral juga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang secara fisik sering
menyebabkan peningkatan risiko bencana.
Pada sisi lain laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses masyarakat
terhadap ilmu dan teknologi. Namun, karena kurang tepatnya kebijakan
penerapan teknologi, sering terjadi kegagalan teknologi yang berakibat fatal
seperti kecelakaan transportasi, industri dan terjadinya wabah penyakit akibat
mobilisasi manusia yang semakin tinggi. Potensi bencana lain yang tidak kalah
seriusnya adalah faktor keragaman demografi di Indonesia. Jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2004 mencapai 220 juta jiwa yang terdiri dari beragam
etnis, kelompok, agama dan adat-istiadat. Keragaman tersebut merupakan
kekayaan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain. Namun karena

pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak diimbangi dengan kebijakan dan


pembangunan ekonomi, sosial dan infrastruktur yang merata dan memadai,
terjadi kesenjangan pada beberapa aspek dan terkadang muncul kecemburuan
sosial. Kondisi ini potensial menyebabkan terjadinya konfl ik dalam masyarakat
yang dapat berkembang menjadi bencana nasional.

Anda mungkin juga menyukai