Anda di halaman 1dari 3

5

dengan peubah bebas sangat diperhatikan.


Pendugaan yang dilakukan tidak bermakna
jika prediktornya saling berkorelasi atau
multikolinieritas
(Bilfarsah
2005).
Multikolinieritas merupakan hubungan linier
yang sempurna atau pasti diantara beberapa
atau semua peubah bebas dari model regresi
berganda. Multikolinieritas yang tinggi akan
menyebabkan koefisien regresi yang diperoleh
tidak unik (Fitriani 2010).
Salah satu cara untuk mengatasi
masalah multikolinieritas yang terjadi adalah
dengan menggunakan metode kuadrat terkecil
parsial (Partial Least Square/PLS). Metode
kuadrat terkecil parsial merupakan soft model
yang dapat menjelaskan struktur keragaman
data
dengan
menggeneralisasi
dan
menggabungkan antara motode analisis faktor,
principal component analysis, dan multiple
regression (Abdi 2007). Metode kuadrat
terkecil parsial dapat dilihat sebagai dua
bentuk yang saling berkaitan antara Canonical
Correlation Analysis (CCA) dan Principal
Component Analysis (PCA).
Metode
ini
bertujuan
untuk
membentuk komponen yang dapat menangkap
informasi dari peubah bebas untuk
memprediksi peubah respon. PLS terfokus
pada kovarians diantara peubah bebas dan
peubah tak bebas. Model yang dihasilkan akan
mengoptimalkan hubungan prediksi antara
dua komponen peubah. Metode ini terdiri dari
dua tahapan, yaitu tahap building set
(membangun model) dan prediction set
(validasi) (Fitriani 2010). Proses penentuan
model pada metode kuadrat terkecil parsial
dapat dilakukan secara iterasi dengan
melibatkan keragaman peubah x dan y.
Struktur ragam dalam y akan mempengaruhi
komponen kombinasi linier dalam x, dan
sebaliknya (Bilfarsah 2005).

III.

METODOLOGI

3.1

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan mulai Maret
November 2010 di Laboratorium Klimatologi,
Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor serta CCROM
SEAP (Center for Climate Risk Management
in Southeast Asia and Pacific) Baranangsiang.
3.2

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah seperangkat komputer dengan
beberapa
perangkat
lunak
(software)

penunjang seperti Microsoft Office 2007,


Minitab 14, dan Arc View 3.3. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data
curah hujan keluaran CMORPH periode tahun
2003 sampai 2008. Data tersebut diperoleh
dari http://cpc.ncep.noaa.gov. Data curah
hujan observasi harian periode tahun 2003
sampai 2008 untuk Stasiun Simpang Tiga,
Pekanbaru dan Stasiun Dabo Singkep. Data
tersebut diperoleh dari Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jakarta.
Data curah hujan observasi harian periode
tahun 2003 sampai 2008 untuk stasiun Kijang,
Tanjung Pinang dan Stasiun Japura Rengat.
Data tersebut bersumber pada data yang
dipertukarkan di bawah WMO yang
dipublikasikan oleh NCDC-NOAA-USA.
3.3

Wilayah Kajian
Penelitian dilakukan dengan wilayah
kajian meliputi empat titik pengamatan yang
mewakili pola hujan ekuatorial, yaitu
Pekanbaru dan Japura Rengat di Provinsi Riau
serta Tanjung Pinang dan Dabo Singkep di
Kepulauan Riau.
Tabel 1. Lokasi wilayah kajian
Stasiun

Bujur

Posisi
Lintang

Ketinggian (m)

17

19

29

Simpang Tiga, Pekanbaru 101 26 BT 00 28 LU


Kijang, Tanjung Pinang

104 32 BT 00 55 LU

Japura Rengat

102 19 BT 00 20 LS

Dabo Singkep

104 35 BT 00 29 LS

31

Metode Penelitian
3.4
3.4.1 Metode Pengumpulan Data dan
Ekstraksi Data Satelit
Data satelit yang digunakan untuk
pembangunan model statistical downscaling
adalah data CMORPH (CPC MORPHing
Technique) dengan periode harian dan
memiliki resolusi 0.25o lintang /bujur. Data ini
dapat diperoleh dengan mengakses situs CPC
NOAA melalui http://cpc.ncep.noaa.gov. Data
tersebut tersimpan dalam format .zip sehingga
dilakukan proses ekstraksi terlebih dahulu
untuk menterjemahkan informasi dari raw
data menjadi informasi numerik sehingga
dapat dibaca oleh model numerik. Selanjutnya
dilakukan koreksi geometrik terhadap data
tersebut sehingga koordinat lintang dan
bujurnya sesuai dengan koordinat bumi yang
sebenarnya (Oktavariani 2008).
3.4.2 Metode Pengolahan Data
Data CMORPH memberikan gambaran
curah hujan estimasi secara global sehingga
diperlukan tahap cropping untuk memperoleh
data pada beberapa titik tertentu yang sesuai

dengan wilayah yang dibutuhkan. Informasi


numerik
tersebut
diperoleh
dengan
mengkonversi informasi hujan format
shapefile menjadi format text (Lampiran 2)
sehingga akan diperoleh nilai curah hujan
yang diinginkan.
Keluaran estimasi curah hujan dari
CMORPH yang berskala global membuat data
ini kurang kompatibel digunakan langsung
dalam skala regional untuk menduga hujan
lokal. Oleh karena itu, dilakukan teknik
downscalling informasi curah hujan skala
global yang meliputi empat domain, yaitu
domain 3x3 (9 grid), domain 5x5 (25 grid),
domain 7x7 (49 grid), dan domain 9x9 (81
grid) untuk setiap wilayah kajian.
3.4.3 Analisis Pola Hubungan Curah
Huajn Observasi dan Curah Hujan
CMORPH
Analisis pola hubungan data observasi
dan CMORPH dilakukan untuk melihat
kemampuan data hujan CMORPH dalam
estimasi curah hujan di permukaan. Setelah
cukup yakin bahwa data CMORPH dapat
mengikuti pola curah hujan observasi, maka
dilakukan uji dua regresi untuk meninjau
apakah perlu dilakukan pemisahan model
estimasi curah hujan musim hujan dan musim
kemarau dengan membangun persamaan
regresi sederhana dan mengganggap intersep
= 0 sehingga persamaannya menjadi Y = bx.
Uji dua regesi dilakukan dengan
persamaan :
z=

.......................... (1)

dimana :

b1 = slope persamaan 1
b2 = slope persamaan 2
sb1 = SE Coef b1
sb2 = SE Coef b2
Jika z < taraf nyata berarti kedua persamaan
tidak berbeda nyata, sehingga tidak perlu
dilakukan pemisahan antara musim hujan dan
musim kemarau. Sebaliknya jika z > taraf
nyata berarti kedua persamaan berbeda nyata
sehingga perlu dilakukan pemisahan antara
musim hujan dan musim kemarau. Taraf nyata
yang digunakan pada penelitian ini adalah 5%.
3.4.4 Analisis Regresi Curah Hujan
Observasi dan Curah Hujan
CMORPH
Regresi linier merupakan salah satu
metode statistika yang digunakan untuk
membentuk model hubungan antara peubah
terikat (peubah respon ; y) dengan satu atau
lebih peubah bebas (prediktor ; x) (Kurniawan
2008). Apabila banyaknya peubah bebas

hanya ada satu maka disebut regresi linier


sederhana, sedangkan jika terdapat lebih dari
satu peubah bebas maka disebut regresi linier
berganda. Pembangunan model estimasi
berdasarkan regresi sederhana untuk setiap
titik pengamatan dibangun dari hubungan
antara curah hujan observasi sebagai peubah
terikat dan rataan curah hujan CMORPH
sebagai peubah bebas sesuai dengan ukuran
domainnya.
3.4.5 Analisis Partial Least Square (PLS)
Curah Hujan Observasi dan Curah
Hujan CMORPH
Model estimasi curah hujan dibangun
berdasarkan data CMORPH harian dengan
periode Januari 2003 Desember 2008. Data
tersebut kemudian dikonversi menjadi data
dasarian (10 harian). Hal ini dilakukan karena
fluktuasi dan variabilitas curah hujan terlihat
lebih
jelas
dibandingkan
dengan
menggunakan data harian.
Pembangunan model estimasi pada
penelitian ini dilakukan berdasarkan metode
Partial Least Square (PLS). Metode ini
bertujuan
untuk
mengatasi
adanya
multikolinieritas dari model regresi sederhana
sehingga
data
tidak
menjadi
bias.
Multikolinieritas dapat diketahui berdasarkan
nilai VIF (Variation Inflation Factor), dimana
VIF merupakan faktor yang mengukur
seberapa besar kenaikan varian dari koefisien
regresi dibandingkan dengan peubah bebas
lain yang saling orthogonal (Fitriani 2010).
VIF dapat dihitung dengan persamaan :
VIF

..........................(2)

dengan Ri2 adalah koefisien determinasi (R2)


dari peubah bebas (x) lainnya di dalam model.
Model yang dihasilkan oleh PLS
mengoptimalkan hubungan prediksi antara
dua kelompok peubah. Proses penentuan
model pada PLS dilakukan secara iterasi
dengan melibatkan keragaman pada peubah x
dan y. Struktur ragam dalam y mempengaruhi
perhitungan komponen kombinasi linier
dalam x dan sebaliknya, struktur ragam dalam
x berpengaruh terhadap kombinasi linier
dalam Y (Bilfarsah 2005). Persamaan model
PLS adalah:
Y = a + b1X1 + b2X2 +......+ bnXn
3.4.6 Validasi Model
Model estimasi curah hujan yang
dihasilkan berdasarkan metode Partial Least
Square (PLS) dapat diketahui keterandalannya
untuk melihat apakah data estimasi memiliki

kemampuan untuk mengikuti variasi hujan


permukaan. Keterandalan model dapat dilihat
dari beberapa parameter, antara lain :
Koefisien korelasi
Korelasi dinyatakan dengan suatu
koefisien yang menunjukkan hubungan
(linier) relatif antara dua peubah (Sucahyono
et al. 2009). Persamaan koefisien korelasi
adalah :
XY X Y
............. (3)
r
X

Jika nilai koefisien korelasi curah hujan


estimasi dengan curah hujan observasi
semakin besar maka semakin kuat hubungan
diantara keduanya sehingga pola nilai estimasi
akan semakin mendekati pola data aktualnya.
Root Mean Square Error (RMSE)
Galat atau error didefinisikan sebagai
selisih antara curah hujan estimasi dengan
curah hujan observasi (Wibowo 2010). RMSE
menunjukkan tingkat bias pendugaan yang
dilakukan oleh model estimasi curah hujan.
RMSE dapat diketahui dengan persamaan
sebagai berikut :
RMSE =

......................... (4)

Jika nilai RMSE antara curah hujan estimasi


dan curah hujan observasi semakin kecil maka
semakin kecil perbedaan diantara keduanya
sehingga nilai estimasi akan semakin akurat.
Uji Pearson
Uji Pearson merupakan uji non
parametrik dalam statistika. Uji ini dilakukan
untuk menyatakan ada atau tidaknya
hubungan antara peubah x dengan peubah y
dan melihat seberapa besar sumbangan suatu
peubah terhadap peubah lainnya.
Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini,
yaitu :
Ho : tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara curah hujan estimasi
dan curah hujan observasi.
H1 : terdapat hubungan yang signifikan
antara curah hujan estimasi dan curah
hujan observasi.
Hipotesis diterima berdasarkan nilai P value,
jika P value kurang dari selang kepercayaan
() maka tolak Ho dan kedua data berbeda
secara nyata.

IV.
4.1

PEMBAHASAN

Kondisi Klimatologi
Riau merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang memiliki wilayah di daratan
dan lautan sehingga terbagi menjadi provinsi
Riau dan provinsi Kepulauan Riau. Provinsi
Riau secara geografis terletak antara 01 05'
00'' LS - 02 25' 00'' LU dan antara 100 00'
00'' - 105 05' 00'' BT. Provinsi ini terdiri dari
9 kabupaten dan 2 kota dengan luas wilayah
89 150 km2. Secara umum, wilayah Provinsi
Riau memiliki topografi dataran rendah dan
agak bergelombang dengan ketinggian pada
beberapa
kota
antara
2-91
mdpl
(http://www.riau.go.id).
Provinsi Kepulauan Riau merupakan
provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi
Riau berdasarkan UU No. 25 tahun 2002.
Provinsi ini terletak antara 01o 10' 00'' LS 5o
10' 00'' LU dan antara 102o 50' 00'' 109o 20'
00'' BT. Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari 4
kabupaten dan 2 kota dengan luas wilayah 252
601 km2, sekitar 95 % berupa lautan dan
sisanya
berupa
daratan
(http://www.kepriprov.go.id). Penelitian ini
mengambil empat titik pengamatan, yaitu
Provinsi Riau diwakili oleh stasiun Pekanbaru
dan stasiun Japura Rengat. Sementara itu,
Kepualuan Riau diwakili oleh stasiun Tanjung
Pinang dan Dabo Singkep.
Perbedaan topografi antara wilayah
daratan dan lautan akan menyebabkan
perbedaan kondisi klimatologis di Provinsi
Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Secara
umum wilayah Riau beriklim tropis basah
dengan rata-rata curah hujan berkisar 20003000 mm per tahun yang dipengaruhi oleh
musim
kemarau
dan
musim
hujan
(http://www.riau.go.id). Berdasarkan distribusi
hujan pada setiap stasiun (Gambar 3) terlihat
bahwa wilayah Riau, baik Provinsi Riau
maupun Kepulauan Riau memiliki pola hujan
ekuatorial, dimana pola ini berbentuk bimodal
(dua puncak hujan). Pola hujan tersebut tidak
memiliki perbedaan yang signifikan antara
musim hujan dan musim kemarau. Menurut
Tjasyono (2004), puncak musim hujan pada
pola ekuatorial terjadi sekitar bulan Maret dan
Oktober atau saat ekinoks.

Anda mungkin juga menyukai