IDENTIFIKASI KASUS
1.1
1.2
Identifikasi Pasien
Nama
: Kahar Mardiansyah
Tanggal Lahir
: 7 Juni 1992
Umur
: 23 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Status
: Belum menikah
Pendidikan Terakhir
: SD
Alamat
Kebangsaan
: Indonesia
Pekerjaan
: Belum Bekerja
Anamnesis
a. Keluhan Utama:
Gusi kiri atas berdarah jika menggosok gigi sejak 6 bulan yang lalu
b. Keluhan Tambahan:
Gigi geraham kiri atas berlubang
c. Riwayat Perjalanan Penyakit:
Penderita dikonsul dari bagian Penyakit Dalam untuk pemeriksaan fokal
infeksi dari gigi dan mulut. Penderita didiagnosis dengan SLE + anemia
hemolitik. Penderita mengeluh gusi kiri atas berdarah jika sedang
menggosok gigi sejak 6 bulan yang lalu. Darah yang dikeluarkan tidak
terlalu banyak , darah aktif tidak ada. Penderita jarang membersihkan
mulut dan giginya. Selain itu, gigi geraham kiri atas berlubang sejak 2
tahun yang lalu. Namun pasien belum pernah memeriksakan giginya ke
dokter gigi.
d. Riwayat Penyakit atau Kelainan Sistemik
Penyakit atau Kelainan Sistemik
Ada Disangkal
Pemeriksaan Fisik
a. Status Umum Pasien
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran
: Kompos Mentis
3. Berat Badan
: 65 kg
4. Tinggi Badan : 160 cm
5. Vital Sign
- Nadi
: 85x/menit, isi dan tegangan cukup
- RR
: 20x/menit
- Temp
: 36 0C
- TD
: 130/80 mmHg
- Pupil mata : normal
Gigi
: Simetris
: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan
: kiri dan kanan tidak teraba dan tidak sakit
: tidak ada dislokasi dan clicking
Lesi
Sondase
CE
Perkus
Palpasi
Diagnosis
Terapi
Karies Email
Pro Konservasi
i
1.8
2.6
3.8
3.6
4.6
D3
Gangren
radix
Impaksi
Missing
Teeth
Missing
Teeth
d. Status Lokalis
Gangren
radix
Impaksi
Missing
Teeth
Missing
Teeth
Pro Ekstraksi
Pro
Odontektomi
Pro Prosthesa
Pro Prosthesa
e. Diagnosis
- SLE + anemia hemolitik
- Gangren radix 2.6
- Karies email 1.8
- Impaksi 3.8
- Missing teeth 3.6 dan 4.6
- Kalkulus semua regio
f.
-
Perencanaan Terapi
Edukasi Oral Hygiene
Pro Ekstraksi (gigi 2.6)
Pro Konservasi (gigi 1.8)
Pro Odontektomi (gigi 3.8)
Pro Prosthesa (gigi 3.6 dan 4.6)
Pro Scalling (gigi semua regio)
g. Prognosis
Quo ad Vitam
Quo ad Fungsionam
: Bonam
: Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. SLE
Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan kerusakan
jaringan.1
Epidemiologi
Prevalensi
LES
diberbagai
Negara
sangat
bervariasi
antara
berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1
(Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktifitas sel B dan memproduksi
autoantibodi
patogenik.
Respon
imun
yang
terpapar
faktor
MHC
(Major
Histocompatibility
Complex)
mengatur
produksi
bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. 3,5
Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa
perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang
terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. 6 Pengaruh obat
juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat
salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor
lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat
ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat
mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.2,7
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon
estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktifasi sel B poliklonal sehingga
mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES.8,9
Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear
(ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel
lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam
pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktifasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan
ginjal.10,11
Manifestasi Klinis
Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita
LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan
ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan
kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta
pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas
penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum
yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.1
Cutaneous
Lupus
Erythematosus
(SCLE),
lupus
Manifestasi Paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah
pneumonitis, emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan
shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut
menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan
dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks
imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau
tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik terhadap steroid.
Hemoptisis merupakan keadaan yang sering apabila merupakan bagian dari
perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan tidak hanya
pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau pemberian
sitostatika.1
Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,
dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal
jantung.12
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri
substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun
EKG,
Echokardiografi.
Endokarditis
Libman-Sachs,
seringkali
tidak
terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai
endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam
harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis.1
Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6%
lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44
tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.12
Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian
besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan
kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun.
Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak sebelum
terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.1
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan
dengan menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria
dan silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens
kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien
SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan
GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.12
Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena
dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES
atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya
menonjol walaupun tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus
tersebut kecuali gangguan motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50%
penderita LES, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai
glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus. Nyeri abdominal dikatakan
berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan
vaskulitis,
pankreatitis,
dan
hepatomegali.
Hepatomegali
merupakan
10
Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena
gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai
manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan
pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis,
uremia, dan hipertensi berat.1
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain,
neuropati
perifer,
sampai
kejang
dan
psikosis.
Kelainan
gambaran
yang
spesifik,
kecuali
untuk
menyingkirkan
2.
3.
4.
5.
6.
11
Diagnosis
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi
ini diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak
kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari American College
of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997. Namun, mengingat dinamisnya
keluhan dan tanda LES dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis,
12
neuropskiatrik lupus, maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi. LES
pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya
artritis reumatoid, glomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. 13
Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1997,
mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana apabila didapatkan 4
kriteria, diagnosis LES dapat ditegakkan.13
Kriteria tersebut adalah :
Kriteria diagnosis ACR
Kriteria
Ruam malar
Batasan
Eritema yang
menonjol,
cenderung
Ruam diskoid
menetap,
rata
atau
daerah
malar
dan
pada
tidak
melibatkan
lipat
nasolabial
Plak eritema menonjol dengan keratotik
dan sumbatan folikular. Pada LES lanjut
Fotosensitivitas
Ulkus mulut
Artritis
pemeriksa
Artritis non erosif yang melibatkan dua
atau lebih sendi perifer, ditandai nyeri
tekan, bengkak atau efusia
Serositis
Pleuritis
Perikarditis
pleura. Atau
b. Terbukti dengan rekaman EKG atau
pericardial friction rub atau terdapat
13
Gangguan neurologi
Gangguan hematologi
ketidakseimbangan elektrolit)
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis.
Atau
b. Lekopenia <4.000/mm pada dua kali
pemeriksaan atau lebih. Atau
c. Limfopenia <1.500/mm pada da kali
pemeriksaan atau lebih. Atau
d.
Gangguan imunologi
Trombositopenia
<100.000/mm
antibodi
Tes
lupus
antikoagulan
positif
14
sifilis
sekurang-kurangnya
fluoresensi
absorpsi
antibodi
treponema
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear
berdasarkan
pemeriksaan
imunofluoresensi
atau
pemeriksaan
yang
diketahui
berhubungan
15
untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Selain itu, penderita
LES juga harus menghindari rokok.1
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus
selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,
terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obatobat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di
kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada
penderita LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan
prosedur invasif lainnya.1
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama
penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang
merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau
siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan
memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas
penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.1
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu
apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau
imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak
mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat
diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai
organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang
meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.1
Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang
terlibat. Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas
pada pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum
1955, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada LES kurang
dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun
terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita
pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup
16
penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih
rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan
dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini,
perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan
medis umum.1
Anemia Hemolitik
Definisi
Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh
karena meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan
ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk
mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit.
Epidemiologi
Kebanyakan jenis anemia hemolitik sama-sama sering terjadi pada
pria maupun wanita dan dapat terjadi pada usia berapapun. Orang-orang dari
semua ras dapat mengembangkan anemia hemolitik.
Etiologi
Ada dua faktor utama dan mendasar yang memegang peranan penting untuk
terjadinya anemia hemolitik yaitu:
1. Faktor Intrinsik (Intra Korpuskuler).
Biasanya merupakan kelainan bawaan, diantaranya yaitu: a) Kelainan
membran, b) Kelainan molekul hemoglobin, c) Kelainan salah satu enzim
yang berperan dalam metabolisme sel eritrosit.
2. Kelainan Faktor Ekstrinsik (Ekstra Korpuskuler)
Biasanya merupakan kelainan yang didapat (acquired) dan selalu
disebabkan oleh faktor imun dan non imun. Bila eritrosit normal
ditransfusikan pada pasien ini, maka penghancuran sel eritrosit tersebut
17
menjadi lebih cepat, sebaliknya bila eritrosit pasien dengan kelainan ekstra
korpuskuler ditransfusikan pada orang normal maka sel eritrosit akan
normal.
Umur sel eritrosit yang memendek tidak selalu dikaitkan dengan
anemia hemolitik, ada beberapa penyakit yang menyebabkan anemia
dengan umur eritrosit yang pendek namun tidak digolongkan kedalam
anemia hemolitik, diantaranya yaitu : a) leukemia, b) limfoma malignum,
c) gagal ginjal kronik, d) penyakit liver kronik, e) rheumatoid arthritis, f)
anemia megaloblastik. 3,4,5
Manifestasi Klinis dan Laboratorium
1.
2.
3.
18
Enzim LDH banyak dijumpai pada sel hati, otot jantung, otak dan sel
eritrosit, kadar LDH dapat mencapai 1200 U/ml.
Isoenzim LDH-2 lebih dominan pada anemia hemolitik sedang isoenzim
LDH-1 akan meninggi pada anemia megaloblastik.
5. Adanya tanda-tanda hemolisis intravaskular diantaranya yaitu:
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnostik anemia hemolitik dan penyebabnya maka kita
harus berpatokan pada dua keadaan yang berbeda yaitu:
1. Menentukan ada tidaknya anemia hemolitik, yaitu:
1.1.Adanya tanda-tanda penghancuran serta pembentukan sel eritrosit yang
berlebihan pada waktu yang sama.
1.2.Terjadi anemia yang persisten yang diikuti dengan hipereaktivitas dari
sistem eritropoesis .
1.3.Terjadi penurunan kadar hemoglobin dengan sangat cepat tanpa bisa
diimbangi dengan eritropoesis normal.
1.4.Adanya
tanda-tanda
hemoglobinuria
atau
penghancuran
eritrosit
intravaskular.
2. Menentukan penyebab spesifik dari anemia hemolitik, yaitu dengan
mendapatkan informasi dari anamnesa yang tepat dan cermat terhadap pasien
serta dari basil pemeriksaan sediaan apus darah tepi Clan Antiglobulin Test
(Coombs Test) , dari data ini dapat kita bedakan lima grup pasien yaitu :
19
2.1 Anemia hemolitik yang disebabkan oleh adanya exposure terhadap infeksi ,
zat kimia dan kontak fisik .
2.2 Hasil pemeriksaan Coombs Test positif menunjukan Anemia Hemolitik
Autoimune (AlHA).
2.3 Hasil pemeriksaan Coombs Test negatif kemungkinan adanya anemia
hemolitik spherositik yaitu pada hereditary spherositosis.
2.4 Kelainan morfologi sel eritrosit yang spesifik : elliptositosis dan sickle sel
anemi .
2.5 Golongan pasien dengan Coombs test negatip dan tidak adanya kelainan
morfologi eritrosit yang spesifik, hal ini perlu pemeriksaan tambahan yaitu
Hemoglobin elektroforese dan heat denaturation test untuk unstable
hemoglobin diseases. Bila hasil pemeriksaan laboratorium tersebut diatas
menunjukan hasil normal maka diagnosis anemi hemolitik menjadi sulit,
kelainan enzym-enzym eritrosit merupakan penyakit yang sangat jarang kali
dijumpai, namun perlu dilakukan pemeriksaan enzym eritrosit tersebut
diantaranya yaitu enzim Glukose 6-phosphat dehydrogenase dengan
pemeriksaan secara enzimatik
2.2. Gangren Radix
Definisi
Sisa akar (tunggul) dalam ilmu kedokteran gigi disebut gangren radiks.
Dari namanya saja gangren yang artinya sesuatu yang sudah mati. Sisa
akar dapat disebabkan oleh :
Kerusakan gigi akibat karies gigi
Trauma
Tindakan pencabutan gigi yang tidak sempurna mati. Tentunya ini
sudah tidak bermanfaat lagi, karena juga merupakan tempat yang
subur bagi bakteri berkembang biak. Apalagi sudah sampai
mengganggu dengan timbulnya rasa sakit dan bengkak, tentunya
sangat mengganggu.
20
Sisa
akar
gigi
yang
disebabkan
oleh
karies
gigi
Karies gigi terjadi karena ada bakteri didalam mulut dan karbohidrat
yang menempel di gigi yang dalam waktu tertentu tidak dibersihkan.
Bakteri di dalam mulut akan mengeluarkan toksin yang akan
mengubah karbohidrat menjadi suatu zat yang bersifat asam yang
mengakibatkan demineralisasi email. Jika setiap selesai makan ada
kebiasaan berkumur dan menggosok gigi karies gigi tidak akan terjadi
karena
proses
demineralisasi
bisa
diimbangi
dengan
proses
mebuat
lubang
pada
gigi
kita.
Karies yang pada proses awalnya hanya terlihat bercak putih pada
email lama kelamaan akan berubah jadi coklat dan berlubang. Jika
kebersihan mulut tidak dipelihara lubang bisa menjadi luas dan dalam
menembus lapisan dentin. Pada tahap ini jika tidak ada perawatan gigi
lubang bertambah luas dan dalam sampai daerah pulpa gigi yang
banyak berisi pembuluh darah, limfe dan syaraf. Pada akhirnya gigi
akan mati,giginya
sedikit sampai
karena
trauma
21
pulpa gigi menjadi mati. Patah pada gigi depan bisa membuat estetika
berkurang dan terkadang menimbulkan krisis kepercayaan diri pada
seseorang.
Sisa akar gigi disebabkan oleh pencabutan yang tidak sempurna.
Pada tindakan pencabutan gigi terkadang tidak berhasil mencabut gigi
secara utuh. Mahkotanya patah dan akar didalam gusi masih
tertinggal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain struktur
gigi yang rapuh, akar gigi yang bengkok, akar gigi yang menyebar,
kalsifikasi gigi, aplikasi forceps yang kurang tepat dan tekanan yang
berlebihan pada waktu tindakan pencabutan. Sisa akar gigi tertinggal
ukurannya bervariasi mulai dari kurang dari 1/3 akar gigi sampai akar
gigi sebatas gusi. Sisa akar gigi yang hanya dibiarkan saja
kemungkinan bisa muncul keluar gusi setelah beberapa waktu, hilang
sendiri karena teresorbsi oleh tubuh bahkan bisa berkembang jadi
kista.
jiwa
Ludwigs
angina
22
menyebar
ke
seluruh
tubuh.
Gigi yang tinggal sisa akar tidak dapat digunakan untuk proses
pengunyahan yang sempurna. Gangguan pengunyahan menjadi alasan
masyararakat untuk membuat gigi tiruan. Masalahnya, sampai sekarang
banyak yang masih membuat gigi tiruan diatas sisa akar gigi. Keadaan ini
bisa memicu terjadinya infeksi gigi dan jaringan penyangga gigi.
2.3. Karies Gigi
Definisi
23
interaksi dari faktor - faktor tersebut. Pada tahun 1960-an oleh Keyes dan
Jordan (cit. Harris and Christen, 1995), karies
dinyatakan sebagai penyakit multifaktorial yaitu :
1. Host atau tuan rumah
2. Agen atau mikroorganisme
3. Substrat atau diet dan
4. Waktu.
Gambar :
Keturunan
Ras
Jenis kelamin
Usia
Vitamin
Unsur kimia
Air ludah
Letak geografis
Kultur social penduduk
Klasifikasi Karies
1. Menurut G.J.Mount karies diklasifikasikan berdasarkan lesi yang
terjadi pada permukaan gigi beserta ukuran kavitasnya, yang terdiri
atas 3 site yaitu:
24
2.
Jika suatu kavitasi dekat atau telah mencapai pulpa maka nyeri akan
bersifat menetap bahkan nyeri yang dirasakan bersifat sepontan, meski
tidak ada rangsangan.
3.
Jika bakteri telah mencapai pulpa. Dan pulpa mati maka nyeri untuk
sementara akan hilang lalu akan timbul lagi dalam beberapa jam atau
hari dan gigi akan menjadi peka karena peradangan dan infeksi telah
menyebar keluar dan menyebabkan abses.
25
Diagnosis
Gambar
Bila karies sudah meluas ke lapisan dentin, mulai terasa rasa nyeri,
terutama bila terkena rangsangan dingin dan makan makanan manis.
Biasanya penumpatan secara langsung masih bisa dilakukan dengan
memberikan bahan pelapis sebelum diberikan bahan penumpat.
26
bakteri
bisa
menjalar
sampai
tulang
rahang
dan
(abses).
Kerangan
yang
kian
meluas
ini
Deteksi Karies
Beberapa cara yang dipakai :
27
Pada kasus dimana sebuah daerah kecil pada gigi telah mulai
untuk demineralisasi namun belum membentuk lubang,
tekanan engan eksplorer dapat merusak dan membuat lubang
Transluminasi
serat
optik
direkomendasikan
untuk
28
d. Dengan fluorescense
Alat ini dpaat mendeteksi bahakan lesilesi terkecil tanpa mengekspos radiasi terhadapa
pasien
Tidak
ada
probing
ata
scraping,
Bentukan tongkat yang terdiri dari laser linght emitting diode dan
probe yang dilewatkan pada region tertentu
29
Gambar
Sumber
: Wikipedia.co.id
Pencabutan gigi
Jika kerusakan gigi telah mencapai dekat pulpa penti atau kebih kedalam
lagi, maka sebaiknya gigi dicabut untuk mencegah infeksi yang lebih
lanjut.
30
31
32
BAB III
ANALISIS KASUS
Pasien Tn Kahar 23 tahun dirawat di bagian Penyakit Dalam RSMH
Palembang dengan SLE + anemia hemolitik dikonsulkan ke Bagian poli gigi
RSMH dengan tujuan untuk pemeriksaan fokal infeksi dari gigi dan mulut.
Penderita mengeluh gusi kiri atas berdarah jika sedang menggosok gigi
sejak 6 bulan yang lalu. Darah yang dikeluarkan tidak terlalu banyak dan darah
aktif tidak ada. Penderita jarang membersihkan mulut dan giginya. Selain itu, gigi
geraham kiri atas berlubang sejak 2 tahun yang lalu. Namun pasien belum pernah
memeriksakan giginya ke dokter gigi.
Saat dikonsulkan ke Poli Gigi dan Mulut keadaan umum penderita tampak
kompos mentis, Nadi 85 x/m, pernafasan 20 x/m, suhu 360C dan TD 130/80
mmHg. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukan adanya kelainan. Pada
pemeriksaan intraoral terdapat kalkulus pada semua region a,b,c,d,e, dan f, dan
hubungan antar rahang ortognanti. Pada status lokalis ditemukan adanya karies
email 1.8, gangren radix 2.6, missing teeth 3.6 dan 4.6, serta gigi impaksi di gigi
3.8 .
Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis.
Etiologi lupus eritmatosus sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini
belum pasti. Gejala penyakit ini bervariasi dari ringan sampai berat dan
melibatkan banyak organ termasuk rongga mulut. Ada tiga faktor yang menjadi
perhatian bila membahas patogenesis lupus yaitu: faktor genetik, lingkungan dan
kelainan pada sistem imun.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus seperti
radiasi ultraviolet, tembakau, obat-obatan dan infeksi. Pada pasien ini salah satu
faktor lingkungan yang dapat berpengaruh yaitu faktor obat-obatan (steroid) yang
mengakibatkan supresi imun pada tubuh pasien, sehingga dapat meningkatkan
infeksi yang berasal dari flora normal rongga mulut pasien itu sendiri dan dapat
menurunkan produksi saliva yang akan menyebabkan self cleansing rongga mulut
menjadi menurun sehingga dapat mencetuskan penumpukan sisa makanan atau
29
kalkulus di semua regio. Faktor Infeksi bakteri tersebut dapat menjadi salah satu
pencetus atau dapat mengeksaserbasi terjadinya suatu kompleks autoimun. Fokal
infeksi yang terjadi pada pasien ini dapat berasal dari proses infeksi sisa akar gigi
2.6 yang sudah menjadi gangren radix. Sisa akar gigi dapat disebabkan karena
trauma, karies gigi, dan proses pencabutan gigi yang tidak sempurna. Pada pasien
ini riwayat trauma dan pencabutan gigi disangkal sehingga kemungkinan faktor
dari karies gigi yang sudah lama dan berkembang seiring waktu dari karies email,
dentin, hingga mencapai pulpa. Sisa akar gigi yang terdapat pada pasien ini
merupakan tempat yang subur bagi bakteri untuk berkembang biak. Sisa gigi atau
akar yang terinfeksi merupakan fokus infeksi atau asal infeksi yang dapat terjadi
di organ tubuh lain. Proses infeksi yang terjadi ini akan memicu regulasi
abrnormal dari sistem imun salah satunya sel T CD 4+ abnormal yang akan
memicu munculnya sel T autoreaktif dan Induksi serta ekspansi sel B Produksi
autoantibodi yang kemudian akan membentuk kompleks DNA (ANA) dan
mengendap di berbagai macam organ hingga terjadi fiksasi komplemen pada
organ tersebut dan terjadilah reaksi inflamasi atau peradangan pada berbagai
organ salah satunya pada mukosa mulut yang dapat mengakibatkan stomatitis.
Lesi pada mukosa mulut merupakan yang tersering menjadi target pada
lupus eritematosus, seperti pada diskoid lupus eritematosus dan lupus
eritematosus sistemik. Lesi terlihat sebagai daerah eritematous yang berpusat dan
dikelilingi oleh tepi putih yang meninggi. Lesi sering ditemukan pada palatum,
mukosa bukal dan palatum, dapat tidak spesifik dan terlihat seperti ulser tanpa
rasa sakit[2].
Lesi non spesifik lainnya berupa oral kandidiasis atau yang dikenal dengan
thrush yang menjadi komplikasi paling sering akibat penggunaan obat
imunosupresif seperti kortikosteroid sistemik. Thrush terlihat sebagai plak putihmerah yang dapat ditemukan pada berbagai tempat di rongga mulut.
Lesi spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat berupa
aphtae (canker sores). Pada literatur, aphtae sering disebut juga sebagai stomatitis
aphtous rekuren. Lesi ini mengenai 15% pada populasi normal. Lesi aphtae
seringnya berukuran kecil (kurang dari 1 cm), terasa sakit dapat ditemukan pada
30
mukosa bukal. Lesi pada lupus eritematosus cenderung lebih lama, lebih besar dan
terlihat pada palatum. Lesi oral pada penderita lupus diskoid menyerupai plak
berwarna merah yang dikelilingi oleh daerah putih. Lesi ini mirip dengan lichen
planus.
Pada pasien ini berdasarkan pemeriksaan intraoral tidak didapatkan adanya
kelainan. Dalam anamnesis didapatkan pasien telah terdiagnosa SLE kurang lebih
selama 1 tahun dan pada awalnya pasien mengalami keluhan sariawan di daerah
mukosa mulut (kurang lebih 1 tahun yang lalu), namun saat pemeriksaan intraolar
saat ini tidak didapatkan adanya lesi spesifik berupa stomatitis apthous dan lesi
non spesifik berupa thrush.
Fokus infeksi pada pasien ini dapat berasal dari gangren radix, kalkulus di
semua regio, dan juga dari gigi yang berlubang. Oleh karena itu untuk mengurangi
risiko fokal infeksi pada pasien ini dilakukan rencana terapi edukasi oral hygiene
kepada pasien agar menjaga kebersihan mulut dengan cara menggosok gigi
dengan cara yang benar minimal dua kali sehari, Pro Ekstraksi (gigi 2.6), Pro
Konservasi (gigi 1.8), Pro Odontektomi (gigi 3.8) dengan alasan karena gigi 3.8
yang mengalami impaksi sebagian mengalami pertumbuhan mahkotanya normal
dan tidak terdesak ke gigi di sebelahnya, Pro Prosthesa (gigi 3.6 dan 4.6), dan Pro
Scalling (gigi semua regio).
Dengan menangani fokal infeksi yang terjadi pada pasien ini dapat
menjadi salah satu penanganan dalam kasus SLE paling tidak mencegah
terjadinya proses infeksi dan inflamasi dari rongga mulut yang dapat
mengakibatkan infeksi dan inflamasi ke sistemik (organ-organ lain yang lebih
luas).
31
DAFTAR PUSTAKA
32
33