Anda di halaman 1dari 39

BAB I

IDENTIFIKASI KASUS
1.1

1.2

Identifikasi Pasien
Nama

: Kahar Mardiansyah

Tanggal Lahir

: 7 Juni 1992

Umur

: 23 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Status

: Belum menikah

Pendidikan Terakhir

: SD

Alamat

: Dusun II Desa Terate SP Padang OKI

Kebangsaan

: Indonesia

Pekerjaan

: Belum Bekerja

Anamnesis
a. Keluhan Utama:
Gusi kiri atas berdarah jika menggosok gigi sejak 6 bulan yang lalu
b. Keluhan Tambahan:
Gigi geraham kiri atas berlubang
c. Riwayat Perjalanan Penyakit:
Penderita dikonsul dari bagian Penyakit Dalam untuk pemeriksaan fokal
infeksi dari gigi dan mulut. Penderita didiagnosis dengan SLE + anemia
hemolitik. Penderita mengeluh gusi kiri atas berdarah jika sedang
menggosok gigi sejak 6 bulan yang lalu. Darah yang dikeluarkan tidak
terlalu banyak , darah aktif tidak ada. Penderita jarang membersihkan
mulut dan giginya. Selain itu, gigi geraham kiri atas berlubang sejak 2
tahun yang lalu. Namun pasien belum pernah memeriksakan giginya ke
dokter gigi.
d. Riwayat Penyakit atau Kelainan Sistemik
Penyakit atau Kelainan Sistemik

Ada Disangkal

Alergi : debu, dingin


Penyakit Jantung
Penyakit Tekanan Darah Tinggi
Penyakit Diabetes Melitus
Penyakit Kelainan Darah
Penyakit Hepatitis A/B/C/D/E/F/G/H
Kelainan Hati Lainnya
HIV/ AIDS
Penyakit Pernafasan/paru
Kelainan Pencernaan
Penyakit Ginjal
Penyakit / Kelainan Kelenjar ludah
Epilepsi

e. Riwayat Penyakit Gigi dan Mulut Sebelumnya:


Riwayat cabut gigi (-)
Riwayat perawatan saluran akar (-)
Riwayat membersihkan karang gigi (+) 1 tahun yang lalu
Riwayat tambal gigi (-)
Riwayat trauma (-)
Riwayat penggunaan gigi palsu (-)
f. Riwayat Kebiasaan:
Penderita jarang menggosok gigi sejak 2 bulan yang lalu.

g. Riwayat Keluarga: (-)


1.3

Pemeriksaan Fisik
a. Status Umum Pasien
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
2. Kesadaran
: Kompos Mentis
3. Berat Badan
: 65 kg
4. Tinggi Badan : 160 cm
5. Vital Sign
- Nadi
: 85x/menit, isi dan tegangan cukup
- RR
: 20x/menit
- Temp
: 36 0C
- TD
: 130/80 mmHg
- Pupil mata : normal

b. Pemeriksaan Ekstra Oral


- Wajah
- Mata
- Hidung
- Bibir
- KGB submandibula
- TMJ
c.

Gigi

: Simetris
: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan
: tidak ada kelainan
: kiri dan kanan tidak teraba dan tidak sakit
: tidak ada dislokasi dan clicking

Pemeriksaan Intra Oral


- Mukosa bukal
: cheek biting (-), enlargement (-), nyeri (-)
- Mukosa labial
: stomatitis (-),enlargement (-), nyeri (-)
- Mukosa lingual : stomatitis (-), enlargement (-), nyeri (-)
- Mukosa palatina : tidak ada kelainan
- Gingiva RA
: darah (+) tidak aktif
- Gingiva RB
: tidak ada kelainan
- Palatum
: torus (-), warna kuning (+)
- Lidah
: tidak ada kelainan
- Dasar mulut
: tidak ada kelainan
- Hubungan rahang
: ortognati
- Debris
:- Plak
:- Kalkulus
: regio a, b, c, d, e, f
- Karies
: gigi molar 3 kanan atas

Lesi

Sondase

CE

Perkus

Palpasi

Diagnosis

Terapi

Karies Email

Pro Konservasi

i
1.8
2.6
3.8
3.6
4.6

D3
Gangren
radix
Impaksi
Missing
Teeth
Missing

Teeth
d. Status Lokalis

Gangren
radix
Impaksi
Missing
Teeth
Missing
Teeth

Pro Ekstraksi
Pro
Odontektomi
Pro Prosthesa
Pro Prosthesa

e. Diagnosis
- SLE + anemia hemolitik
- Gangren radix 2.6
- Karies email 1.8
- Impaksi 3.8
- Missing teeth 3.6 dan 4.6
- Kalkulus semua regio

f.
-

Perencanaan Terapi
Edukasi Oral Hygiene
Pro Ekstraksi (gigi 2.6)
Pro Konservasi (gigi 1.8)
Pro Odontektomi (gigi 3.8)
Pro Prosthesa (gigi 3.6 dan 4.6)
Pro Scalling (gigi semua regio)

g. Prognosis
Quo ad Vitam
Quo ad Fungsionam

: Bonam
: Bonam

Gambar : karies di gigi 1.8 dan kalkulus semua regio

Gambar : Kalkulus di semua Regio

Gambar : Akar Gigi di 2.6 (Gangren Radix)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. SLE
Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan kerusakan
jaringan.1
Epidemiologi
Prevalensi

LES

diberbagai

Negara

sangat

bervariasi

antara

2.9/100.000-400/100.000. dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah


satu penyakit reumatik utama di dunia. LES lebih sering ditemukan pada ras
tertentu seperti bangsa Negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor
ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. LES dapat
ditemukan pada semua usia, namun paling banyak pada usia 15-40 tahun
(masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan pria yaitu
berkisar (5,5-9) : 1. Pada LES yang disebabkan obat, rasio ini lebih rendah,
yaitu 3:2.1
Patofisiologi
Etiopatologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga
melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik
dan faktor lingkungan. Interaksi antara jenis kelamin, status hormonal, dan
aksi Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan
ekspresi klinis LES. Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun
seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun
merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini.
Hilangnya toleransi imun, meningkatknya beban antigenik, bantuan sel T yang

berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1
(Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktifitas sel B dan memproduksi
autoantibodi

patogenik.

Respon

imun

yang

terpapar

faktor

eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet atau infeksi virus dalam


periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun.1
Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral
seperti faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap
respons imun. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus
dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama
gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan
gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II,
yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang
berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4,
dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang
mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.1
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa
gen

MHC

(Major

Histocompatibility

Complex)

mengatur

produksi

autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi


komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q.2-3 Kekurangan komplemen
dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit
mononuklear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q
menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga
komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.4
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada
self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis
keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada
penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara
langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang

bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. 3,5
Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa
perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang
terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. 6 Pengaruh obat
juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat
salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor
lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat
ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat
mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.2,7
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon
estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktifasi sel B poliklonal sehingga
mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES.8,9
Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear
(ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel
lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam
pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktifasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan
ginjal.10,11
Manifestasi Klinis
Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita
LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan
ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan
kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta
pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas
penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum
yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.1

Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan


terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat
badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan
gejala gastrointestinal.1 Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES
sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari
40C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES
biasanya tidak disertai menggigil.1
Manifestasi Kulit
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE),
Subacute

Cutaneous

Lupus

Erythematosus

(SCLE),

lupus

profundus/paniculitis, alopecia. Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler


berupa eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia, fenomena
Raynauds atau vaskulitis atau bercak yang menonjol bewarna putih perak
dan dapat pula ditemukan bercak eritema pada palatum mole dan durum,
bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.1
Manifestasi Muskuloskeletal
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal.
Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau
merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan
ini sering dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan
sendi yang banyak dan simetris. Namun pada umumnya pada LES tidak
meyebabkan kelainan deformitas.1 Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku
pagi, tendinitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi
sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis yang
didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan dengan terapi
steroid. Miositis timbul pada penderita LES <5% kasus. Miopati juga dapat
ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin.
Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit
dan penggunaan steroid.12

Manifestasi Paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah
pneumonitis, emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan
shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut
menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan
dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks
imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau
tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik terhadap steroid.
Hemoptisis merupakan keadaan yang sering apabila merupakan bagian dari
perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan tidak hanya
pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau pemberian
sitostatika.1
Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,
dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal
jantung.12
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri
substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun
EKG,

Echokardiografi.

Endokarditis

Libman-Sachs,

seringkali

tidak

terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai
endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam
harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis.1
Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6%
lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44
tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.12

Manifestasi Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian
besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan
kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun.
Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak sebelum
terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.1
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan
dengan menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria
dan silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens
kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien
SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan
GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.12
Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena
dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES
atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya
menonjol walaupun tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus
tersebut kecuali gangguan motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50%
penderita LES, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai
glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus. Nyeri abdominal dikatakan
berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan
vaskulitis,

pankreatitis,

dan

hepatomegali.

Hepatomegali

merupakan

pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LESx, disertai dengan


peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.1
Manifestasi Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia
hemolitik autoimun.1

10

Manifestasi Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena
gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai
manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan
pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis,
uremia, dan hipertensi berat.1
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain,

neuropati

perifer,

sampai

kejang

dan

psikosis.

Kelainan

tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab


terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe
sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan,
mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat
dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak
memberikan

gambaran

yang

spesifik,

kecuali

untuk

menyingkirkan

kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan


gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk
membedakan adanya infark atau perdarahan.12
Pemeriksaan Penunjang
1.

Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

2.

Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila


diperlukan kreatinin urin

3.

Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)

4.

PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid

5.

Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)

6.

Foto polos thorax


o

Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk


monitoring

Setiap 3-6 bulan bila stabil

Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

11

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis


LES adalah tes ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada
pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes
ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai
gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi kronis (tuberkulosis),
penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD),
artritis reumatoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali
dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada
waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai
substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya
diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif
adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk antidsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan
ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA merupakan tes
spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya
hampir 100%. Titer anti-ds DNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan
diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat
rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES.13

Diagnosis
Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi
ini diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak
kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari American College
of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997. Namun, mengingat dinamisnya
keluhan dan tanda LES dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis,

12

neuropskiatrik lupus, maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi. LES
pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya
artritis reumatoid, glomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. 13
Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1997,
mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana apabila didapatkan 4
kriteria, diagnosis LES dapat ditegakkan.13
Kriteria tersebut adalah :
Kriteria diagnosis ACR
Kriteria
Ruam malar

Batasan
Eritema yang
menonjol,
cenderung

Ruam diskoid

menetap,

rata

atau

daerah

malar

dan

pada
tidak

melibatkan

lipat

nasolabial
Plak eritema menonjol dengan keratotik
dan sumbatan folikular. Pada LES lanjut

Fotosensitivitas

dapat ditemukan parut atrofik


Ruam kulit yang diakibatkan reaksi
abnormal terhadap sinar matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat

Ulkus mulut

oleh dokter pemeriksa


Ulkus mulut atau orofaring, umumnya
tidak nyeri dan dilihat oleh dokter

Artritis

pemeriksa
Artritis non erosif yang melibatkan dua
atau lebih sendi perifer, ditandai nyeri
tekan, bengkak atau efusia

Serositis
Pleuritis

a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic


friction rub yang didengar oleh dokter
pemeriksa atau terdapat bukti efusi

Perikarditis

pleura. Atau
b. Terbukti dengan rekaman EKG atau
pericardial friction rub atau terdapat

13

bukti efusi pericardium


Gangguan renal

a. Proteinuria menetap >0.5 gram per


hari atau >3+ bila tidak dilakukan
pemeriksaan kuantitatif. Atau
b. Silinder seluler : dapat berupa
silinder eritrosit, hemoglobin, granular,

Gangguan neurologi

tubular atau campuran


a. Kejang yang bukan disebabkan oleh
obat-obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit). Atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh
obat-obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau

Gangguan hematologi

ketidakseimbangan elektrolit)
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis.
Atau
b. Lekopenia <4.000/mm pada dua kali
pemeriksaan atau lebih. Atau
c. Limfopenia <1.500/mm pada da kali
pemeriksaan atau lebih. Atau
d.

Gangguan imunologi

Trombositopenia

<100.000/mm

tanpa disebabkan oleh obat-obatan


a. Anti-DNA : antibodi terhadap native
DNA dengan titer yang abnormal. Atau
b. Anti-Sm : terdapatnya

antibodi

terhadap antigen nuklear Sm. Atau


c. Temuan positif terhadap antibodi
antifosolipid yang didasarkan atas :
1) Kadar serum antibodi antikardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM, Atau
2)

Tes

lupus

antikoagulan

positif

14

menggunakan metoda standard, Atau


3) Hasil tes serologi positif palsu
terhadap

sifilis

sekurang-kurangnya

selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan


tes imobilisasi Treponema pallidum atau
tes
Antibodi antinuklear positif (ANA)

fluoresensi

absorpsi

antibodi

treponema
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear
berdasarkan

pemeriksaan

imunofluoresensi

atau

pemeriksaan

setingkat pada setiap kurun waktu


perjalanan penyakit tanpa keterlibatan
obat

yang

diketahui

berhubungan

dengan sindroma lupus yang diinduksi


obat
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki
sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinik. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinik lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang
diperlukan.1
Penatalaksanaan
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan
dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru
terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada
penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang bertemu secara
berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita
LES mengalami fotosensitifitas sehingga penderita harus selalu diingatkan

15

untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Selain itu, penderita
LES juga harus menghindari rokok.1
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus
selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,
terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obatobat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di
kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada
penderita LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan
prosedur invasif lainnya.1
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama
penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang
merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau
siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan
memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas
penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.1
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu
apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau
imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak
mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat
diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai
organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang
meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.1
Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang
terlibat. Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas
pada pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum
1955, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada LES kurang
dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun
terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita
pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup

16

penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih
rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan
dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini,
perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan
medis umum.1
Anemia Hemolitik
Definisi
Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh
karena meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan
ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk
mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit.
Epidemiologi
Kebanyakan jenis anemia hemolitik sama-sama sering terjadi pada
pria maupun wanita dan dapat terjadi pada usia berapapun. Orang-orang dari
semua ras dapat mengembangkan anemia hemolitik.

Etiologi
Ada dua faktor utama dan mendasar yang memegang peranan penting untuk
terjadinya anemia hemolitik yaitu:
1. Faktor Intrinsik (Intra Korpuskuler).
Biasanya merupakan kelainan bawaan, diantaranya yaitu: a) Kelainan
membran, b) Kelainan molekul hemoglobin, c) Kelainan salah satu enzim
yang berperan dalam metabolisme sel eritrosit.
2. Kelainan Faktor Ekstrinsik (Ekstra Korpuskuler)
Biasanya merupakan kelainan yang didapat (acquired) dan selalu
disebabkan oleh faktor imun dan non imun. Bila eritrosit normal
ditransfusikan pada pasien ini, maka penghancuran sel eritrosit tersebut

17

menjadi lebih cepat, sebaliknya bila eritrosit pasien dengan kelainan ekstra
korpuskuler ditransfusikan pada orang normal maka sel eritrosit akan
normal.
Umur sel eritrosit yang memendek tidak selalu dikaitkan dengan
anemia hemolitik, ada beberapa penyakit yang menyebabkan anemia
dengan umur eritrosit yang pendek namun tidak digolongkan kedalam
anemia hemolitik, diantaranya yaitu : a) leukemia, b) limfoma malignum,
c) gagal ginjal kronik, d) penyakit liver kronik, e) rheumatoid arthritis, f)
anemia megaloblastik. 3,4,5
Manifestasi Klinis dan Laboratorium
1.

Adanya tanda-tanda peningkatan proses penghancuran dan

2.

pembentukan sel eritrosit yang berlebihan.


Kelainan laboratorium yang hubungannya dengan meningkatnya

3.

kompensasi dalam proses eritropoesis.


Adanya beberapa variasi yang penting terutama dalam membuat
diagnosis banding dari anemia hemolitik. Kelainan laboratorium
yang menunjukkan adanya tanda-tanda meningkatnya proses
penghancuran dan pembentukan sel eritrosit yang berlebihan dapat
kita lihat berupa:

Berkurangnya umur sel eritrosit.


Umur eritrosit dapat diukur dengan menggunakan Cr-Labeled eritrosit, pada
anemia hemolitik umur eritrosit dapat berkurang sampai 20 hari.
Meningkatnya penghancuran eritrosit dapat kita lihat dari tingkat anemia,
ikterus dan retikulositosis yang terjadi, oleh sebab itu pemeriksaan umur
eritrosit ini bukan merupakan prosedur pemeriksaan rutin untuk

menegakkan diagnosis anemia hemolitik.


Meningkatnya proses pemecahan heme, ditandai dengan adanya:
Meningkatnya kadar billirubin indirek darah.
Meningkatnya pembentukan CO yang endogen.
Meningkatnya kadar billirubin darah (hiperbillirubinemia).
Meningkatnya ekskresi urobillinogen dalam urin.

4. Meningkatnya kadar enzim Lactat Dehydrogenase (LDH) serum.

18

Enzim LDH banyak dijumpai pada sel hati, otot jantung, otak dan sel
eritrosit, kadar LDH dapat mencapai 1200 U/ml.
Isoenzim LDH-2 lebih dominan pada anemia hemolitik sedang isoenzim
LDH-1 akan meninggi pada anemia megaloblastik.
5. Adanya tanda-tanda hemolisis intravaskular diantaranya yaitu:

Hemoglobinemia (meningkatnya kadar Hb.plasma).


Tidak adanya/rendahnya kadar haptoglobulin darah.
Hemoglobinuria (meningkatnya Hb.urin).
Hemosiderinuria (meningkatnya hemosiderin urin).
Methemoglobinemia.
Berkurangnya kadar hemopexin serum.9,10,11,12

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnostik anemia hemolitik dan penyebabnya maka kita
harus berpatokan pada dua keadaan yang berbeda yaitu:
1. Menentukan ada tidaknya anemia hemolitik, yaitu:
1.1.Adanya tanda-tanda penghancuran serta pembentukan sel eritrosit yang
berlebihan pada waktu yang sama.
1.2.Terjadi anemia yang persisten yang diikuti dengan hipereaktivitas dari
sistem eritropoesis .
1.3.Terjadi penurunan kadar hemoglobin dengan sangat cepat tanpa bisa
diimbangi dengan eritropoesis normal.
1.4.Adanya

tanda-tanda

hemoglobinuria

atau

penghancuran

eritrosit

intravaskular.
2. Menentukan penyebab spesifik dari anemia hemolitik, yaitu dengan
mendapatkan informasi dari anamnesa yang tepat dan cermat terhadap pasien
serta dari basil pemeriksaan sediaan apus darah tepi Clan Antiglobulin Test
(Coombs Test) , dari data ini dapat kita bedakan lima grup pasien yaitu :

19

2.1 Anemia hemolitik yang disebabkan oleh adanya exposure terhadap infeksi ,
zat kimia dan kontak fisik .
2.2 Hasil pemeriksaan Coombs Test positif menunjukan Anemia Hemolitik
Autoimune (AlHA).
2.3 Hasil pemeriksaan Coombs Test negatif kemungkinan adanya anemia
hemolitik spherositik yaitu pada hereditary spherositosis.
2.4 Kelainan morfologi sel eritrosit yang spesifik : elliptositosis dan sickle sel
anemi .
2.5 Golongan pasien dengan Coombs test negatip dan tidak adanya kelainan
morfologi eritrosit yang spesifik, hal ini perlu pemeriksaan tambahan yaitu
Hemoglobin elektroforese dan heat denaturation test untuk unstable
hemoglobin diseases. Bila hasil pemeriksaan laboratorium tersebut diatas
menunjukan hasil normal maka diagnosis anemi hemolitik menjadi sulit,
kelainan enzym-enzym eritrosit merupakan penyakit yang sangat jarang kali
dijumpai, namun perlu dilakukan pemeriksaan enzym eritrosit tersebut
diantaranya yaitu enzim Glukose 6-phosphat dehydrogenase dengan
pemeriksaan secara enzimatik
2.2. Gangren Radix
Definisi
Sisa akar (tunggul) dalam ilmu kedokteran gigi disebut gangren radiks.
Dari namanya saja gangren yang artinya sesuatu yang sudah mati. Sisa
akar dapat disebabkan oleh :
Kerusakan gigi akibat karies gigi
Trauma
Tindakan pencabutan gigi yang tidak sempurna mati. Tentunya ini
sudah tidak bermanfaat lagi, karena juga merupakan tempat yang
subur bagi bakteri berkembang biak. Apalagi sudah sampai
mengganggu dengan timbulnya rasa sakit dan bengkak, tentunya
sangat mengganggu.

20

Gambar : Akar Gigi (Radix).


Etiologi
Sisa akar gigi disebabkan oleh beberapa hal antara lain :

Sisa

akar

gigi

yang

disebabkan

oleh

karies

gigi

Karies gigi terjadi karena ada bakteri didalam mulut dan karbohidrat
yang menempel di gigi yang dalam waktu tertentu tidak dibersihkan.
Bakteri di dalam mulut akan mengeluarkan toksin yang akan
mengubah karbohidrat menjadi suatu zat yang bersifat asam yang
mengakibatkan demineralisasi email. Jika setiap selesai makan ada
kebiasaan berkumur dan menggosok gigi karies gigi tidak akan terjadi
karena

proses

demineralisasi

bisa

diimbangi

dengan

proses

remineralisasi oleh air liur asalkan kondisi mulut bersih. Kebersihan


mulut yang baik tidak akan memberikan kesempatan pada bakteri
untuk

mebuat

lubang

pada

gigi

kita.

Karies yang pada proses awalnya hanya terlihat bercak putih pada
email lama kelamaan akan berubah jadi coklat dan berlubang. Jika
kebersihan mulut tidak dipelihara lubang bisa menjadi luas dan dalam
menembus lapisan dentin. Pada tahap ini jika tidak ada perawatan gigi
lubang bertambah luas dan dalam sampai daerah pulpa gigi yang
banyak berisi pembuluh darah, limfe dan syaraf. Pada akhirnya gigi
akan mati,giginya

kropos,gripis sedikit demi

mahkotanya habis dan tinggal sisa akar gigi.


Sisa
akar
gigi
yang
disebabkan

sedikit sampai
karena

trauma

Mahkota gigi bisa patah karena gigi terbentur sesuatu akibat


kecelakaan, jatuh, berkelahi atau sebab lainnya. Seringkali mahkota
gigi patah semua dan menyisakan akar gigi saja. Trauma ini membuat

21

pulpa gigi menjadi mati. Patah pada gigi depan bisa membuat estetika
berkurang dan terkadang menimbulkan krisis kepercayaan diri pada

seseorang.
Sisa akar gigi disebabkan oleh pencabutan yang tidak sempurna.
Pada tindakan pencabutan gigi terkadang tidak berhasil mencabut gigi
secara utuh. Mahkotanya patah dan akar didalam gusi masih
tertinggal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain struktur
gigi yang rapuh, akar gigi yang bengkok, akar gigi yang menyebar,
kalsifikasi gigi, aplikasi forceps yang kurang tepat dan tekanan yang
berlebihan pada waktu tindakan pencabutan. Sisa akar gigi tertinggal
ukurannya bervariasi mulai dari kurang dari 1/3 akar gigi sampai akar
gigi sebatas gusi. Sisa akar gigi yang hanya dibiarkan saja
kemungkinan bisa muncul keluar gusi setelah beberapa waktu, hilang
sendiri karena teresorbsi oleh tubuh bahkan bisa berkembang jadi
kista.

Efek Sisa Akar Gigi


Masyarakat masih banyak yang tidak memperhatikan kesehatan gigi
dan mulutnya. Sisa akar gigi yang tertinggal dalam rongga mulut dibiarkan
saja. Padahal akibat yang ditimbulkan sisa akar gigi banyak sekali. Sisa
akar gigi bisa mengakibatkan nyeri kepala berkepanjangan, bau mulut
tidak enak dan trigger pertumbuhan kista bahkan neoplasma. Sisa akar gigi
biasanya sudah tidak vital lagi,pulpanya mati.
Gigi mengalami kerusakan yang parah dan setiap sisa akar gigi
berpotensi untuk terjadi infeksi akar gigi dan infeksi jaringan penyangga
gigi. Infeksi ini menimbulkan rasa sakit dari ringan sampai hebat, gusi
mengalami pembesaran, terjadi pernanahan ,bengkak di wajah sampai
sukar membuka mulut (trismus). Pasien terkadang menjadi lemas karena
susah makan. Pembengkakan yang terjadi di bawah rahang ,kulit
memerah, teraba keras bagaikan kayu, lidah terangkat keatas dan rasa sakit
yang menghebat sangat berbahaya dan jika terlambat penanganan dapat
merenggut

jiwa

Ludwigs

angina

22

Infeksi pada akar gigi maupun jaringan penyangga gigi dapat


mengakibatkan migrasinya bakteri ke organ yang lain lewat pembuluh
darah. Teori ini dikenal dengan Fokal infeksi.
Bakteri yang berasal dari infeksi gigi masuk ke organ vital lain dan
memperbesar resiko penyakit jantung, ginjal, lambung ,persendian, dan
lain sebagainya. Jadi gigi yang terinfeksi menjadi pintu masuk bagi bakteri
untuk

menyebar

ke

seluruh

tubuh.

Gigi yang tinggal sisa akar tidak dapat digunakan untuk proses
pengunyahan yang sempurna. Gangguan pengunyahan menjadi alasan
masyararakat untuk membuat gigi tiruan. Masalahnya, sampai sekarang
banyak yang masih membuat gigi tiruan diatas sisa akar gigi. Keadaan ini
bisa memicu terjadinya infeksi gigi dan jaringan penyangga gigi.
2.3. Karies Gigi
Definisi

Gambar 2. Karies Gigi


Sumber : http://www.geocities.com/sjuhada/karies.html
Etiologi Karies Gigi
Etiologi atau penyebab karies atas faktor waktu penyebab primer
yang langsung mempengaruhi biofilm (lapisan tipis normal pada
permukaan gigi yang berasal dari saliva) dan faktor modifikasi yang tidak
langsung mempengaruhi biofilm. Karies terjadi bukan disebabkan karena
satu kejadian saja seperti faktor host atau tuan rumah, agen atau
mikroorganisme, substrat atau diet dan faktor waktu, tetapi merupakan

23

interaksi dari faktor - faktor tersebut. Pada tahun 1960-an oleh Keyes dan
Jordan (cit. Harris and Christen, 1995), karies
dinyatakan sebagai penyakit multifaktorial yaitu :
1. Host atau tuan rumah
2. Agen atau mikroorganisme
3. Substrat atau diet dan
4. Waktu.

Gambar :

Faktor factor yang mempengaruhi terjadinya karies.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya karies:


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Keturunan
Ras
Jenis kelamin
Usia
Vitamin
Unsur kimia
Air ludah
Letak geografis
Kultur social penduduk

Klasifikasi Karies
1. Menurut G.J.Mount karies diklasifikasikan berdasarkan lesi yang
terjadi pada permukaan gigi beserta ukuran kavitasnya, yang terdiri
atas 3 site yaitu:

24

a. Site 1 : Karies pada pit dan fisure di permukaan oklusal gigi


anterior maupun posterior
b. Site 2 : Karies pada permukaan aproksimal gigi anterior maupun
posterior
c. Site 3 : Karies pada 1/3 mahkota dari akar (servikal) sejajar
dengan gingiva.
2. Klasifikasi karies berdasarkan kedalamannya
menurut ICDAS, Karies terbagi atas 6:
a. D1: White spot yang terlihat pada saat gigi dikeringkan.
b. D2: White spot yang terlihat tanpa gigi dikeringkan.
c. D3: terdapat lesi minimal pada permukaan karies gigi
d. D4: Lesi email lebih dalam. Tampak bayangan gelap dentin
atau lesi sudah mencapai bagian dentino enamel junction
e. D5: Lesi telah mencapai dentin
f. D6: Lesi telah mencapai pulpa
Gejala Karies Gigi
Gejala karies gigi bukan hanya satu gejala saja, adapun gejala gejalanya
sebagai berikut:
1.

Gigi sangat sensitif terhadap panas,dingin, manis. Gigi terasa sangant


sensitive terhadap panas, dingin, manis dan asam menandakan karies
gigi sudah sampai bagian dentin

2.

Jika suatu kavitasi dekat atau telah mencapai pulpa maka nyeri akan
bersifat menetap bahkan nyeri yang dirasakan bersifat sepontan, meski
tidak ada rangsangan.

3.

Jika bakteri telah mencapai pulpa. Dan pulpa mati maka nyeri untuk
sementara akan hilang lalu akan timbul lagi dalam beberapa jam atau
hari dan gigi akan menjadi peka karena peradangan dan infeksi telah
menyebar keluar dan menyebabkan abses.

25

Diagnosis

Gambar

Dental explorer, alat diagnostik karies.

Diagnosis pertama memerlukan inspeksi atau pengamatan pada semua


permukaan gigi dengan bantuan pencahayaan yang cukup, kaca gigi, dan
eksplorer. Radiografi gigi dapat membantu diagnosis, terutama pada kasus
karies interproksimal. Karies yang besar dapat langsung diamati dengan mata
telanjang. Karies yang tidak ekstensif dibantu dulu dengan menemukan
daerah lunak pada gigi dengan eksplorer.
Karies dalam Beberapa Tingkatan8
Bila karies baru sedalam lapisan email, biasanya belum terjadi rasa
nyeri. Perawatan pada kasus ini cukup sederhana, dokter gigi akan
membersihkan jaringan karies kemudian menutupnya dengan bahan
restorasi amalgam atau bahan yang lebih baru yang sewarna dengan
gigi, yaitu resin komposit secara langsung.

Bila karies sudah meluas ke lapisan dentin, mulai terasa rasa nyeri,
terutama bila terkena rangsangan dingin dan makan makanan manis.
Biasanya penumpatan secara langsung masih bisa dilakukan dengan
memberikan bahan pelapis sebelum diberikan bahan penumpat.

26

Bila karies sudah mencapai ruang pulpa maka bakteri akan


memasuki ruang tersebut dan mengakibatkan keradangan pada
jaringan pulpa tersebut. Pembuluh saraf akan terpapar dengan udara
luar. Pada tahap ini penderita akan mengalami rasa nyeri yang luar
biasa serta biasanya menjalar ke daerah telinga dan kepala.
Penderita akan mengalami sulit tidur dan stres mental sehingga
kondisi umum menjadi jelek.Perawatan saluran akar mutlak perlu
dilakukan sebelum dilakukan penumpatan.
Bila pada tahap keradangan pulpa gigi masih belum juga dirawat,
maka invasi bakteri akan mematikan pembuluh saraf dan pembuluh
darah sehingga terjadi gangrena (kematian jaringan karena bakteri).
Jaringan gangrena di ruang pulpa akan menjadi busuk dan
menimbulkan bau mulut yang tidak sedap.
Invasi

bakteri

bisa

menjalar

sampai

tulang

rahang

dan

mengakibatkan keradangan di tulang rahang dan mengakibatkan


pembengkakan

(abses).

Kerangan

yang

kian

meluas

ini

mengakibatkan tersebarnya bakteri ke seluruh tubuh melalui aliran


darah, antara lain ke jantung dan otak sehingga bisa menimbulkan
gangguan serius di kedua organ vital tersebut.
Perawatan pada tahap ini adalah perawatan saluran akar, akan tetapi
karena kompleksnya permasalahan yang sering dihadapi perawatan
yang dilakukan seringkali mengalami kegagalan.

Deteksi Karies
Beberapa cara yang dipakai :

27

a. Dengan semprotan udara :

Beberapa peneliti gigi telah memperingatkan agar tidak


menggunakan karies untuk menemukan karies

Pada kasus dimana sebuah daerah kecil pada gigi telah mulai
untuk demineralisasi namun belum membentuk lubang,
tekanan engan eksplorer dapat merusak dan membuat lubang

Teknik yang umum digunakan untuk mendiagnosis karies awal


yang belum berlubang adalah dengan tiupan udara

Transluminasi

serat

optik

direkomendasikan

untuk

mendiagnosa karies kecil


b. Dengan eksplorer
1. Karies yang besar dapat langsung
diamati dengan mata telanjang.
Karies yang tidak ekstensif dibantu
dengan menemukan daerah lunak
pada gigi dengan eksplorer.

c. Dengan rontgen foto

Untuk membantu menegakkan1 diagnosa karies interproksimal


yang sulit dilihat dengan mata telanjang maupun dengan
eksplorer.

28

d. Dengan fluorescense

Intstrument diagnostic ini bekerja pada


dasar fluorescense yang berbeda di antara
substansi gigi sehat dan sakit

Alat ini dpaat mendeteksi bahakan lesilesi terkecil tanpa mengekspos radiasi terhadapa
pasien

Tidak

ada

probing

ata

scraping,

sehingga tidak merusak kesehatan substansi gigi

Bentukan tongkat yang terdiri dari laser linght emitting diode dan
probe yang dilewatkan pada region tertentu

Alat ini menstimulasi substansi modifikasi gigi, menyebabkan


fluorescense. Secara langsung mengeluarkan fluorescense kembali
terhadap analisis fotoselm yang kemudian menunjukkan secara visual dan
memancarkan suara
e. Spectra

Adalah instrumen yang tidak menginvasi seperti


instrumen lain yang mendeteksi secara visual
seperti sonde.

29

Mengidentifikasi bakteri kariogenik dg prinsip fluorescense, sinar biru


LED energi tinggi masuk ke dalam permukaan gigi
Bila terdapat bakteri maka akan bersinar merah. Jika sehat akan bersinar
biru
Perawatan Karies Gigi
Penambalan

Gambar

: Gigi yang ditambal

Sumber

: Wikipedia.co.id

Berapa jenis bahan tambal


Selama bertahun-tahun kita hanya kenal bahan tambal logam dan
amalgam Namun, sekarang telah dikembangkan bahan tambal sewarna
gigi yaitu resin komposit dan semen ionomer kaca dan porselen.
Berdasarkan metode peletakannya, tambalan terbagi dalam dua kategori,
yaitu tambalan langsung dan tambalan tidak langsung. Tambalan langsung
adalah tambalan yang diletakkan langsung pada gigi, prosedur penambalan
selesai dalam sekali kunjungan. Termasuk dalam kategori ini adalah
tambalan amalgam, resin komposit.

Pencabutan gigi
Jika kerusakan gigi telah mencapai dekat pulpa penti atau kebih kedalam
lagi, maka sebaiknya gigi dicabut untuk mencegah infeksi yang lebih
lanjut.

30

Hubungan Fokal Infeksi dengan SLE1,2,3,4


Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis.
Etiologi lupus eritmatosus sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai
saat ini belum pasti. Gejala penyakit ini bervariasi dari ringan sampai berat
dan melibatkan banyak organ termasuk rongga mulut. Ada tiga faktor yang
menjadi perhatian bila membahas patogenesis lupus yaitu: faktor genetik,
lingkungan dan kelainan pada sistem imun1,2.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus seperti
radiasi ultraviolet, tembakau, obat-obatan dan infeksi. Faktor lingkungan
yang dapat berpengaruh salah satunya yaitu faktor infeksi yang dapat berasal
dari virus, bakteri, atau jamur. Infeksi bakteri dapat menjadi salah satu
pencetus atau dapat mengeksaserbasi terjadinya suatu kompleks autoimun.
Fokal infeksi yang terjadi dapat berasal dari proses infeksi pada sisa akar gigi
atau gangren radix, gigi yang berlubang, dan juga kalkulus. Sisa akar gigi
dapat disebabkan karena trauma, karies gigi, dan proses pencabutan gigi yang
tidak sempurna. Sisa akar gigi merupakan tempat yang subur bagi bakteri
untuk berkembang biak. Sisa akar gigi yang terinfeksi merupakan fokus
infeksi atau asal infeksi yang dapat terjadi di organ tubuh lain. Proses infeksi
yang terjadi ini akan memicu respon imun untuk mengeluarkan autoantibody
dan mediator inflamasi yang dalam kasus SLE terdapat regulasi abrnormal
dari sistem imun sehingga terbentuk komplek autoimun diberbagai organ
yang akan menimbulkan manifestasi inflamasi atau peradangan dimasing
masing organ1,2.
Manifestasi lupus eritematosus pada rongga mulut dibedakan menjadi
lesi spesifik biasanya berupa ulser atau lesi seperti lichen planus dan bisa
berupa lesi nonspesifik seperti lesi herpes simplex, Steven Jhonsons
syndrome, kandidiasis / thrush atau lesi prekanker leukoplakia atau
eritroplakia.

31

32

BAB III
ANALISIS KASUS
Pasien Tn Kahar 23 tahun dirawat di bagian Penyakit Dalam RSMH
Palembang dengan SLE + anemia hemolitik dikonsulkan ke Bagian poli gigi
RSMH dengan tujuan untuk pemeriksaan fokal infeksi dari gigi dan mulut.
Penderita mengeluh gusi kiri atas berdarah jika sedang menggosok gigi
sejak 6 bulan yang lalu. Darah yang dikeluarkan tidak terlalu banyak dan darah
aktif tidak ada. Penderita jarang membersihkan mulut dan giginya. Selain itu, gigi
geraham kiri atas berlubang sejak 2 tahun yang lalu. Namun pasien belum pernah
memeriksakan giginya ke dokter gigi.
Saat dikonsulkan ke Poli Gigi dan Mulut keadaan umum penderita tampak
kompos mentis, Nadi 85 x/m, pernafasan 20 x/m, suhu 360C dan TD 130/80
mmHg. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukan adanya kelainan. Pada
pemeriksaan intraoral terdapat kalkulus pada semua region a,b,c,d,e, dan f, dan
hubungan antar rahang ortognanti. Pada status lokalis ditemukan adanya karies
email 1.8, gangren radix 2.6, missing teeth 3.6 dan 4.6, serta gigi impaksi di gigi
3.8 .
Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis.
Etiologi lupus eritmatosus sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini
belum pasti. Gejala penyakit ini bervariasi dari ringan sampai berat dan
melibatkan banyak organ termasuk rongga mulut. Ada tiga faktor yang menjadi
perhatian bila membahas patogenesis lupus yaitu: faktor genetik, lingkungan dan
kelainan pada sistem imun.
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus seperti
radiasi ultraviolet, tembakau, obat-obatan dan infeksi. Pada pasien ini salah satu
faktor lingkungan yang dapat berpengaruh yaitu faktor obat-obatan (steroid) yang
mengakibatkan supresi imun pada tubuh pasien, sehingga dapat meningkatkan
infeksi yang berasal dari flora normal rongga mulut pasien itu sendiri dan dapat
menurunkan produksi saliva yang akan menyebabkan self cleansing rongga mulut
menjadi menurun sehingga dapat mencetuskan penumpukan sisa makanan atau

29

kalkulus di semua regio. Faktor Infeksi bakteri tersebut dapat menjadi salah satu
pencetus atau dapat mengeksaserbasi terjadinya suatu kompleks autoimun. Fokal
infeksi yang terjadi pada pasien ini dapat berasal dari proses infeksi sisa akar gigi
2.6 yang sudah menjadi gangren radix. Sisa akar gigi dapat disebabkan karena
trauma, karies gigi, dan proses pencabutan gigi yang tidak sempurna. Pada pasien
ini riwayat trauma dan pencabutan gigi disangkal sehingga kemungkinan faktor
dari karies gigi yang sudah lama dan berkembang seiring waktu dari karies email,
dentin, hingga mencapai pulpa. Sisa akar gigi yang terdapat pada pasien ini
merupakan tempat yang subur bagi bakteri untuk berkembang biak. Sisa gigi atau
akar yang terinfeksi merupakan fokus infeksi atau asal infeksi yang dapat terjadi
di organ tubuh lain. Proses infeksi yang terjadi ini akan memicu regulasi
abrnormal dari sistem imun salah satunya sel T CD 4+ abnormal yang akan
memicu munculnya sel T autoreaktif dan Induksi serta ekspansi sel B Produksi
autoantibodi yang kemudian akan membentuk kompleks DNA (ANA) dan
mengendap di berbagai macam organ hingga terjadi fiksasi komplemen pada
organ tersebut dan terjadilah reaksi inflamasi atau peradangan pada berbagai
organ salah satunya pada mukosa mulut yang dapat mengakibatkan stomatitis.
Lesi pada mukosa mulut merupakan yang tersering menjadi target pada
lupus eritematosus, seperti pada diskoid lupus eritematosus dan lupus
eritematosus sistemik. Lesi terlihat sebagai daerah eritematous yang berpusat dan
dikelilingi oleh tepi putih yang meninggi. Lesi sering ditemukan pada palatum,
mukosa bukal dan palatum, dapat tidak spesifik dan terlihat seperti ulser tanpa
rasa sakit[2].
Lesi non spesifik lainnya berupa oral kandidiasis atau yang dikenal dengan
thrush yang menjadi komplikasi paling sering akibat penggunaan obat
imunosupresif seperti kortikosteroid sistemik. Thrush terlihat sebagai plak putihmerah yang dapat ditemukan pada berbagai tempat di rongga mulut.
Lesi spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat berupa
aphtae (canker sores). Pada literatur, aphtae sering disebut juga sebagai stomatitis
aphtous rekuren. Lesi ini mengenai 15% pada populasi normal. Lesi aphtae
seringnya berukuran kecil (kurang dari 1 cm), terasa sakit dapat ditemukan pada

30

mukosa bukal. Lesi pada lupus eritematosus cenderung lebih lama, lebih besar dan
terlihat pada palatum. Lesi oral pada penderita lupus diskoid menyerupai plak
berwarna merah yang dikelilingi oleh daerah putih. Lesi ini mirip dengan lichen
planus.
Pada pasien ini berdasarkan pemeriksaan intraoral tidak didapatkan adanya
kelainan. Dalam anamnesis didapatkan pasien telah terdiagnosa SLE kurang lebih
selama 1 tahun dan pada awalnya pasien mengalami keluhan sariawan di daerah
mukosa mulut (kurang lebih 1 tahun yang lalu), namun saat pemeriksaan intraolar
saat ini tidak didapatkan adanya lesi spesifik berupa stomatitis apthous dan lesi
non spesifik berupa thrush.
Fokus infeksi pada pasien ini dapat berasal dari gangren radix, kalkulus di
semua regio, dan juga dari gigi yang berlubang. Oleh karena itu untuk mengurangi
risiko fokal infeksi pada pasien ini dilakukan rencana terapi edukasi oral hygiene
kepada pasien agar menjaga kebersihan mulut dengan cara menggosok gigi
dengan cara yang benar minimal dua kali sehari, Pro Ekstraksi (gigi 2.6), Pro
Konservasi (gigi 1.8), Pro Odontektomi (gigi 3.8) dengan alasan karena gigi 3.8
yang mengalami impaksi sebagian mengalami pertumbuhan mahkotanya normal
dan tidak terdesak ke gigi di sebelahnya, Pro Prosthesa (gigi 3.6 dan 4.6), dan Pro
Scalling (gigi semua regio).
Dengan menangani fokal infeksi yang terjadi pada pasien ini dapat
menjadi salah satu penanganan dalam kasus SLE paling tidak mencegah
terjadinya proses infeksi dan inflamasi dari rongga mulut yang dapat
mengakibatkan infeksi dan inflamasi ke sistemik (organ-organ lain yang lebih
luas).

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik.


Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing, 2009; 25652579.
2. Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis of systemic lupus
erythematosus. J Netherl Med 2003; 61(11):343-346.
3. Silva C, Isenberg DA. Etiology and pathology of systemic lupus
erythematosus. Hospt Pharm 2001; 7:1-7.
4. AJG Swaak, HG Van Den Brink. RJT Smeenk, et al. Systemic lupus
erythematosus: clinical features in patients with a disease duration of over
10 years, first evaluation. Rheumatology 1999; 38:953-958.
5. Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, et al. The significance of cytokines
in diagnosis of autoimmune diseases. Jugoslov Med Biohem 2006;
25:363-372.
6. Eisenberg H. SLE-Rituximab in lupus. Arthritis Res Ther. 2003; 5(4): 157159.
7. Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin
Pathol 2003; 56:481-490.
8. Sequeira JF, Keser G, Greenstein B, et al. Systemic lupus erythematosus:
sex hormones in male patients. Lupus 1993; 2:315-317.
9. McMurry RW, May W (2003) Sex hormones and systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum 2003; 48:2100-2110.
10. Kanda N, Tamaki K. Estrogen enhances immunoglobulin production by
human peripheral blood mononuclear cells. J Allergy Clin Immunol 1999;
103:282-288.
11. Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Estrogen enhancement of anti-doublestranded DNA antibody and immunoglobulin G production in peripheral
blood mononuclear cells from patients with systemic lupus erythematosus.
Arthritis Rheum 1999; 42:328-337.
12. Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. Systemic lupus erythematosus:
pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. Eular 2012; 20:476505.

32

13. Yoga I Kasjmir, Kusworini Handono, Linda Kurniaty. Diagnosis dan


pengelolaan LES rekomendasi perhimpunan reumatologi Indonesia.
Available from: reumatologi.or.id/reuek/download/5
14. Sahin A. Mycophenolate Mofetil in the Treatment of Systemic Lupus
Erythematosus. EAJM 2009; 41:180-185.
15. Zandmann-Goddard G, Levy Y, Shoenfeld Y. Intravenous immunoglobulin
therapy and systemic lupus erythematosus. Clin Rev Allergy Immunol
2005 Dec; 29(3):219-228.
16. Adriani Selfia Djaludju. Karies Akar pada Orang Dewasa. [skripsi].
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hasanuddin : Makassar. 2001. p.5-6
17. Edwina. Dasar-Dasar Karies. Jakarta : EGC; 2004. p. 80-84.
18. Charles H. Packman, John P. Leddy; Cryopathic Hemolytic Syndrome in
Williams Hematology, Editors; Ernest Beutler, Marshall A. Lichtman,
Barry S. Coller, Thomas J. Kipps, Mcgraww-Hill. Inc. Health Profesions
Devision, Fifth Edition, 1995, hal. 685 -690.
19. Charles H. Packman, John P. Leddy; Cryopathic Hemolytic Syndrome in
Williams Hematology, Editors; Ernest Beutler, Marshall A. Lichtman,
Barry S. Coller, Thomas J. Kipps, Mcgraww-Hill. Inc. Health Profesions
Devision, Fifth Edition, 1995, hal. 685 -690.

33

Anda mungkin juga menyukai