Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelainan gastrointestinal pada bayi dan anak tidak jarang memerlukan tindakan
bedah untuk menyelamatkan nyawa mereka. Kelainan-kelainan gastrointestinal yang
memerlukan tindakan pembedahan tersebut, pada pokoknya terdiri dari 2 golongan besar
yaitu kelainan kongenital dan kelainan didapat. Kelainan konginetal gastrointestinal yang
memerlukan tindakan bedah pada umumnya akibat gangguan kontinuitas usus sehingga
mengakibatkan gangguan pasase makanan seperti atresia, stenosis dan malrotasi.
Gangguan fungsi pasase usus tanpa kelainan kontinuitas lumen terjadi pada akhlasia
esofagus, stenosis pilorus dan penyakit Hirchsprung. Sedangkan kelainan gastrointestinal
didapat yang memerlukan tindakan bedah antara lain apendisitis, enterokolitis
nekrotikans, perdarahan gastrointestinal, volvulus, invaginasi, hernia, trauma saluran
cerna, tumor gastrointestinal, dan perforasi usus.
Sedangkan Menurut laporan peneliti dari berbagai negara, cacat labio palatoschizis
dapat muncul dari 1 : 800 sampai 1 : 2000 kelahiran. Indonesia yang berpenduduk 200
juta lebih, tentu mempunyai dan akan mempunyai banyak kasus labio palatoschizis.
Labio palatoschizis merupakan kelainan bibir dan langit langit, hal ini biasanya
disebabkan karena perkembangan bibir dan langit langit yang tidak dapat berkembang
secara sempurna pada masa pertumbuhan di dalam kandungan. Dimana biasanya
penderita labio palatoschizis mempunyai bentuk wajah kurang normal dan kurang jelas
dalam berbicara sehingga menghambat masa persiapan sekolahnya. Labio palatoschizis
sering dijumpai pada anak laki laki dibandingkan anak perempuan (Randwick, 2002)
kelainan ini merupakan kelainan yang disebabkan faktor herediter, lingkungan, trauma,
virus (Sjamsul Hidayat, 1997).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep teori penyakit meliputi pengertian, klasifikasi jika ada, etiologi,
patofisiologi, WOC, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan medis ?
2. Bagaimana proses perawatan mulai dari pengkajian, rumusan diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi dan evaluasi ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum

Memahami asuhan keperawatan pada klien Atresia Esofagus dan Labio Palato
1.3.2

Schisis
Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi
2. Mengetahui dan memahami patofisiologi
3. Mengetahui dan memahami WOC
4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada
klien
5. Mengetahui dan memahami komplikasi
6. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostic
7. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada klien

1.3.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KONSEP TEORITIS ATHRESIA ESOPHAGUS
2.1.1 PENGERTIAN
Athresia Esophagus adalah perkembangan embrionik abnormal esophagus
yang menghasilkan pembentukan suatu kantong (blind pouch), atau lumen
berkurang tidak memadai yang mecegah perjalanan makanan / sekresi dari faring
ke perut. Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak
adanya lubang atau muara (buntu), pada esofagus (+). Pada sebagian besar kasus
atresia esofagus ujung esofagus buntu, sedangkan pada -1/3 kasus lainnya
esophagus bagian bawah berhubungan dengan trakea setinggi karina (disebut
sebagai atresia esophagus dengan fistula). Kelainan lumen esophagus ini biasanya
disertai dengan fistula trakeoesofagus. Atresia esofagus sering disertai kelainan
bawaan lain, seperti kelainan jantung, kelainan gastrointestinal (atresia duodeni
atresiasani), kelainan tulang (hemivertebrata). Atresia Esofagus termasuk
kelompok kelainan kongenital terdiri dari gangguan kontuinitas esofagus dengan
atau tanpa hubungan persisten dengan trachea.
2.1.2

Epidemiologi
Atresia esofagus pertama kali dikemukakan oleh Hirscprung seorang ahli
anak dari Copenhagen pada abad 17 tepatnya pada tahun 1862 dengan adanya
lebih kurang 14 kasus atresia esofagus, kelainan ini sudah di duga sebagai suatu
malformasi dari traktus gastrointestinal. Tahun 1941 seorang ahli bedah Cameron
Haight dari Michigan telah berhasil melakukan operasi pada atresia esofagus dan
sejak itu pulalah bahwa Atresia Esofagus sudah termasuk kelainan kongenital
yang bisa diperbaiki. Di Amerika Utara insiden dari Atresia Esofagus berkisar
1:3000-4500 dari kelahiran hidup, angka ini makin lama makin menurun dengan
sebab yang belum diketahui. Secara Internasional angka kejadian paling tinggi
terdapat di Finlandia yaitu 1:2500 kelahiran hidup. Atresia Esofagus 2-3 kali
lebih sering pada janin yang kembar.

2.1.3

Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan
terjadinya kelainan Atresia Esofagus, hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2 %
3

jika salah satu dari saudara kandung yang terkena. Atresia Esofagus lebih
berhubungan dengan sindroma trisomi 21,13 dan 18 dengan dugaan penyebab
genetik. Namun saat ini, teori tentang terjadinya atresia esofagus menurut
sebagian besar ahli tidak lagi berhubungan dengan kelainan genetik. Perdebatan
tentang proses embriopatologi masih terus berlanjut, dan hanya sedikit yang
diketahui.
2.1.4

Patofisiologi
Janin dengan atresia esofagus tidak dapat menelan cairan amnion dengan
efektif. Pada janin dengan atresia esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan
mengalir menuju trakea, ke fistula kemudian menuju usus.Neonatus dengan
atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan banyak air liur.
Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau liur. Apabila
terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung. Udara dari trakea
juga dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis, atau menerima
ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang sering kali
mematikan. Trakea juga dipengaruh oleh gangguan embriologenesis pada atresia
esofagus. Membran trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti
biasa.

Perubahan

ini

menyebabkan

kelemahan

sekunder

pada

stuktur

anteroposterior trakea atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan


gejala batuk kering dan dapat terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh. Sekret
sulit untuk dibersihkan dan dapat menjurus ke pneumonia berulang. Trakea juga
dapat kolaps secara parsial ketika makan, setelah manipulasi, atau ketika terjadi
refluks gastroesofagus; yang dapat menjurus ke kegagalan nafas; hipoksia,
bahkan apnea.
2.1.5

Manifestasi Klinis
Ada beberapa keadaan yang merupakan gejala dan tanda atresia esofagus, antara
lain:
1. Mulut berbuih (gelembung udara dari hidung dan mulut) dan liur selalu
meleleh dari mulut bayi
2. Sianosis
3. Batuk dan sesak napas
4. Gejala pneumonia akibat regurgitasi air ludah dari esofagus yang buntu dan
regurgitasi cairan lambung melalui fistel ke jalan napas
5. Perut kembung atau membuncit, karena udara melalui fistel masuk kedalam
lambung dan usus
6. Oliguria, karena tidak ada cairan yang masuk
4

7. Biasanya juga disertai dengan kelainan bawaan yang lain, seperti kelainan
jantung, atresia rectum atau anus.
2.1.6

Penatalaksanaan
Atresia merupakan kasus gawat darurat. Prabedah, penderita seharusnya
ditengkurapkan untuk mengurangi kemungkinan isi lambung masuk ke paru-paru.
Kantong esofagus harus secara teratur dikosongkan dengan pompa untuk
mencegah aspirasi sekret. Perhatian yang cermat harus diberikan terhadap
pengendalian suhu, fungsi respirasi, dan pengelolaan anomali penyerta.
1. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan dilakukan dengan operasi.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Sebelum dilakukan operasi, bayi diletakkan setengah duduk untuk mencegah
terjadinya regurgitasi cairan lambung kedalam paru. Cairan lambung harus
sering diisap untuk mencegah aspirasi. Untuk mencegah terjadinya hipotermia,
bayi hendaknya dirawat dalam incubator agar mendapatkan lingkungan yang
cukup hangat. Posisinya sering di ubah-ubah, pengisapan lender harus sering
dilakukan. Bayi hendaknya dirangsang untuk menangis agar paru berkembang.
- Pendekatan Post Operasi
Segera setelah operasi pasien dirawat di NICU dengan perawatan
sebagai berikut
1. Monitor pernafasan ,suhu tubuh, fungsi jantung dan ginjal
2. Oksigen perlu diberikan dan ventilator pernafasan dapat diberi
jika dibutuhkan.
3. Analgetik diberi jika dibutuhkan
4. Pemeriksaan darah dan urin dilakukan guna mengevaluasi
keadaan janin secara keseluruhan
5. Pemeriksaan scaning dilakukan untuk mengevalausi fungsi
esofagus
6. Bayi diberikan makanan melalui tube yang terpasang lansung ke
lambung (gastrostomi) atau cukup dengan pemberian melalui
intravena sampai bayi sudah bisa menelan makanan sendiri.
7. Sekret dihisap melalui tenggorokan dengan slang nasogastrik.

8. Perawatan di rumah sakit lebih kurang 2 minggu atau lebih,


tergantung pada terjadinya komplikasi yang bisa timbul pada
kondisi ini. Pemeriksaan esofagografi dilakukan pada bulan
kedua, ke enam, setahun setelah operasi untuk monitor fungsi
esofagus.
2.1.7

Komplikasi
Komplikasi-komplikasi yang bisa timbul setelah operasi perbaikan pada atresia
esofagus dan fistula atresia esophagus adalah sebagai berikut :
1. Dismotilitas esophagus.
Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot dingin esophagus. Berbagai
tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi ini. Komplikasi ini terlihat
saat bayi sudah mulai makan dan minum.
2. Gastroesofagus refluk.
Kira-kira 50 % bayi yang menjalani operasi ini kana mengalami
gastroesofagus refluk pada saat kanak-kanak atau dewasa, dimana asam
lambung naik atau refluk ke esophagus. Kondisi ini dapat diperbaiki
dengan obat (medical) atau pembedahan.
3. Trakeo esogfagus fistula berulang.
Pembedahan ulang adalah terapi untuk keadaan seperti ini.
4. Disfagia atau kesulitan menelan.
Disfagia adalah tertahannya makanan pada tempat esophagus yang
diperbaiki. Keadaan ini dapat diatasi dengan menelan air untuk
tertelannya makanan dan mencegah terjadinya ulkus.
5. Kesulitan bernafas dan tersedak.
Komplikasi ini berhubungan dengan proses menelan makanan, tertaannya
makanan dan saspirasi makanan ke dalam trakea.
6. Batuk kronis.
Batuk merupakan gejala yang umum setelah operasi perbaikan atresia
esophagus, hal ini disebabkan kelemahan dari trakea.
7. Meningkatnya infeksi saluran pernafasan.
Pencegahan keadaan ini adalah dengan mencegah kontakk dengan orang
yang menderita flu, dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi vitamin dan suplemen.

2.2 KONSEP TEORITIS LABIO PALATOSKISIS


2.2.1 PENGERTIAN
Labio palatoskisis merupakan kelainan congenital anomaly yang berupa
adanya kelainan bentuk pada struktur wajah. Kedua keadaan ini di bahas bersama

karena berhubungan sangat erat. Kelainan ini diduga terjadi pada sekitar satu
dalam 1000 kelahiran. Deformitas terbagi menjadi 3 kategori:
1. Sumbing pra alveolar, di mana yang terlibat adalah bibir, atau bibir
dengan hidung (derajat empat)
2. Sumbing alveolar, dimana sumbing melibatkan bibir, tonjolan alveolar
dan biasanya palatum (derajat tiga)
3. Sumbing pasca alveolar, dimana sumbing terbatas hanya pada palatum
(derajat pertama dan kedua)
Palatoskisis lebih serius proknosanya dibandingkan dengan labio skisis. Dari
bentuknya yang terletak diantara nasofaring dengan hidung , sehingga
menimbulkan

masalah dalam hal makan , memudahkan infeksi saluran

pernafasan dan infeksi telinga tengah. Labioskisis atau clelf lip dapat terjadi
berbagai derajat malformasi, mulai dari yang ringan pada tepi bibir di kanan, di
kiri atau kedua tepi bibir dari garis tengah, sampai sumbing yang lengkap berjalan
hingga ke hidung. Terdapat variasi lanjutan dari cacat yang melibatkan palatum.
2.2.2

ETIOLOGI
Ada beberapa etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya kelainan Labio
palatoschizis, antara lain :
1. Faktor Genetik
Merupakan penyebab beberapa palatoschizis, tetapi tidak dapat ditentukan
dengan pasti karena berkaitan dengan gen kedua orang tua. Diseluruh dunia
ditemukan hampir 25 30 % penderita labio palatoscizhis terjadi karena
faktor herediter. Faktor dominan dan resesif dalam gen merupakan manifestasi
genetik yang menyebabkan terjadinya labio palatoschizis. Faktor genetik yang
menyebabkan celah bibir dan palatum merupakan manifestasi yang kurang
potensial dalam penyatuan beberapa bagian kontak.
2. Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional, baik
kualitas maupun kuantitas (Gangguan sirkulasi foto maternal).Zat zat yang
berpengaruh adalah:
-

Asam folat
Vitamin C
7

- Zn
Apabila pada kehamilan, ibu kurang mengkonsumsi asam folat, vitamin C dan
Zn dapat berpengaruh pada janin. Karena zat - zat tersebut dibutuhkan dalam
tumbuh kembang organ selama masa embrional. Selain itu gangguan sirkulasi
foto maternal juga berpengaruh terhadap tumbuh kembang organ selama masa
embrional.
3. Pengaruh obat teratogenik.Yang termasuk obat teratogenik adalah:
-

Jamu. Mengkonsumsi jamu pada waktu kehamilan dapat berpengaruh


pada janin, terutama terjadinya labio palatoschizis. Akan tetapi jenis
jamu apa yang menyebabkan kelainan kongenital ini masih belum jelas.

Masih ada penelitian lebih lanjut


Kontrasepsi hormonal. Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi
kontrasepsi hormonal, terutama untuk hormon estrogen yang berlebihan
akan menyebabkan terjadinya hipertensi sehingga berpengaruh pada

janin, karena akan terjadi gangguan sirkulasi fotomaternal.


Obat obatan yang dapat menyebabkan kelainan kongenital terutama
labio palatoschizis. Obat obatan itu antara lain :
1. Talidomid, diazepam (obat obat penenang)
2. Aspirin (Obat obat analgetika)
3. Kosmetika yang mengandung merkuri & timah

hitam (cream

pemutih). Sehingga penggunaan obat pada ibu hamil harus dengan


pengawasan dokter.
4. Faktor lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat menyebabkan
Labio palatoschizis, yaitu:
- Zat kimia (rokok dan alkohol). Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi
rokok dan alkohol dapat berakibat terjadi kelainan kongenital karena zat toksik
yang terkandung pada rokok dan alkohol yang dapat mengganggu
pertumbuhan organ selama masa embrional.
-

Gangguan metabolik (DM). Untuk ibu hamil yang mempunyai penyakit


diabetessangat rentan terjadi kelainan kongenital, karena dapat menyebabkan
gangguan sirkulasi fetomaternal. Kadar gula dalam darah yang tinggi dapat
berpengaruh padatumbuh kembang organ selama masa embrional.h
8

Penyinaran radioaktif. Untuk ibu hamil pada trimester pertama tidak


dianjurkan terapi penyinaran radioaktif, karena radiasi dari terapi tersebut
dapat mengganggu proses tumbuh kembang organ selama masa embrional.

5. Infeksi, khususnya virus (toxoplasma) dan klamidial. Ibu hamil yang terinfeksi
virus (toxoplasma) berpengaruh pada janin sehingga dapat berpengaruh
terjadinya kelainan kongenital terutama labio palatoschizis. Dari beberapa
faktor tersebit diatas dapat meningkatkan terjadinya Labio palatoshizis, tetapi
tergantung dari frekuensi dari frekuensi pemakaian, lama pemakaian, dan wktu
pemakaian.
2.2.3

PATOFISIOLOGI
Tahap penting dalam pembentukan bibir, palatum, hidung dan rahang, terjadi
pada 9 minggu pertama kehidupan embrio. Mulai sekitar minggu kelima umur
kehamilan, prosesus maksilaris tubuh kearah anterior dan medial, dan menyatu
dengan pembentukan prosesus fronto nasal pada dua titik tepat dibawah lubang
hidung dan membentuk bibir atas. Sementara itu palatum dibentuk oleh proses
prosesus palatal dari prosesus maksilaris yang tumbuh kearah medial untuk
bergabung dengan septum nasalis pada garis tengah, kira kira pada umur
kehamilan 9 minggu. Kegagalan pada proses yang kompleks ini dapat terjadi
dimanapun pada tahap pembentukannya, yang akan menghasilkan celah kecil
samapai kelainan hiper dari bentuk wajah. Ada kemungkunan yang terkena bibir
saja atau dapat meluas sampai kelubang hidung, atau mengenai maksila dan gigi.
Kelainan celah palatum yang paling ringan hanya melibatkan uvula atau bagian
lunak palatum. Celah bibir dan palatum bisa terjadi secara terpisah atau bersamasama bercampurnya jenis kelainan bibir, maksila dan palatum akan menyebabkan
kesulitan pembedahan.
Dewasa ini malformasi palatum dan bibir tengah telah dipelajari secara
mendalam, sebagai model dari tahap morfogenesis normal dan abnormal pada
system perkembangan yang kompleks. Hal ini terlihat secara relative, dari
tingginya angka kejadian kelainan ini, bahwa pengaturan morfogenesis palatum
sangat sensitive terhadap gangguan genetic dan lingkungan:
- Genetic : Trysomi13 atau sindroma patau dihubungkan
-

dengan

pembentukan celah yang lebar dari bibir dan maksila.


Lingkungan : efek tetratogen menyebabkan celah bibir atau celah palatum.

Ada beberapa factor selular yang terlibat dalam penyatuan prosesus fronto
nasal dan maksilar. Diferensiasi sel epitel pada prosesus palatal mempunyai
peranan penting pada proses penyatuan. Mekanisme terpenting diperantarai sel
mesenkim dan prosesus palatal yang menginduksi diferensiasi sel epitel untuk
membentuk baik sel epitel nasal bersilia maupun sel epitel sekuamosa bucal. Pada
tikus telah ditemukan bahwa konsentrasi glukortikoid yang fisiologis, factor
tubuh epidermal diperlukan untuk mencapai bentuk normal yang perubahan
konsenyrasinya dapat menebabkan celah pada palatum.
2.2.4

MANIFESTASI KLINIS
1) Pada Labioskhzis pada bayi dan anak
- Distoersi pada hidung
- Tampak sebagian atau keduanya
- Adanya celah pada bibir
- Pada bayi terkadang ada gangguan menghisap puting susu
- Gangguan bicara, dapat terjadi karena penurunan fungsi otot akibat celah
akan mempengaruhi bicara, bahkan menghambatnya. Terutama dalam
mengucapkan huruf konsonan
2) Pada Palatoskisis pada bayi dan anak
- Tampak ada celah pada tekak (ovula), palato lunak, dank eras dan atau

2.2.5

foramen incisive.
Adanya rongga pada hidung.
Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari.
Kesukaran dalam menghisap asi (bayi) atau makan atau minum pada

anak.
Gangguan bicara (keterangan = gangguan bicara pada labioskisis).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto Rontgen
2. MRI ( Magnetic Resonance Imaging) untuk evaluasi abnormal
B. Pemeriksaan Teraupetik
1) Penatalaksanaan tergantung pada beratnya kecacatan
2) Prioritas pertama adalah pada teknik pemberian nutrisi yang adekuat
3) Mencegah komplikasi
4) Fasilitas pertumbuhan dan perkembangan
5) Pembedahan: pada labio sebelum kecacatan palato; perbaikan dengan
pembedahan usia 2-3 hari atua sampai usia beberapa minggu prosthesis
intraoral atau ekstraoral untuk mencegah kolaps maxilaris, merangsang

10

pertumbuhan tulang, dan membantu dalam perkembangan bicara dan


makan, dapat dilakukan sebelum penbedahan perbaikan.
6) Pembedahan pada palato dilakukan pada waktu 6 bulan dan 2 tahun,
tergantung pada derajat kecacatan. Awal fasilitaspenutupan adalah untuk
perkembangan bicara.
2.2.6

KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan Labio palatoschizis adalah:
1. Kesulitan berbicara hipernasalitas, artikulasi, kompensatori. Dengan
adanya celah pada bibir dan palatum, pada faring terjadi pelebaran sehingga
suara yang keluar menjadi sengau.
2. Maloklusi pola erupsi gigi abnormal. Jika celah melibatkan tulang alveol,
alveol ridge terletak disebelah palatal, sehingga disisi celah dan didaerah
celah sering terjadi erupsi.
3. Masalah pendengaran otitis media rekurens sekunder. Dengan adanya
celah pada paltum sehingga muara tuba eustachii terganggu akibtnya dapat
terjadi otitis media rekurens sekunder.
4. Aspirasi. Dengan terganggunya tuba eustachii, menyebabkan reflek
menghisap dan menelan terganggu akibatnya dapat terjadi aspirasi.
5. Distress pernafasan. Dengan terjadi aspirasi yang tidak dapat ditolong
secara dini, akan mengakibatkan distress pernafasan
6. Resiko infeksi saluran nafas. Adanya celah pada bibir dan palatum dapat
mengakibatkan udara luar dapat masuk dengan bebas ke dalam tubuh,
sehingga kuman kuman dan bakteri dapat masuk ke dalam saluran
pernafasan.
7. Pertumbuhan dan perkembangan terlambat. Dengan adanya celah pada
bibir dan palatum dapat menyebabkan kerusakan menghisap dan menelan
terganggu.

Akibatnya

bayi

menjadi

kekurangan

menghambat pertumbuhan dan perkembangan bayi.

11

nutrisi

sehingga

8. Asimetri wajah. Jika celah melebar ke dasar hidung alar cartilago dan
kurangnya penyangga pada dasar alar pada sisi celah menyebabkan
asimetris wajah.
9. Penyakit peri odontal. Gigi permanen yang bersebelahan dengan celah yang
tidak mencukupi di dalam tulang. Sepanjang permukaan akar di dekat aspek
distal dan medial insisiv pertama dapat menyebabkan terjadinya penyakit
peri odontal.
10. Crosbite. Penderita labio palatoschizis seringkali paroksimallnya menonjol
dan lebih rendah posterior premaxillary yang colaps medialnya dapat
menyebabkan terjadinya crosbite.
11. Perubahan harga diri dan citra tubuh. Adanya celah pada bibir dan palatum
serta terjadinya asimetri wajah menyebabkan perubahan harga diri da citra
tubuh.

2.2.7

PENATALAKSANAAN
1. Perawatan Pra Bedah Labio/ Palatoskisis
- Ditegakkannya pemberian makanan. Jika ada kesukaran saat pemberian
Asi atau susu botol maka dapat menggunakan sendok. Inhalasi susu
perlu dicegah dengan menyediakan alat penyedot. Pemberian makanan
ini diharapkan bayi tidak dalam keadaan anemis, fisiknya baik,
-

bertambah berat badannya.


Tameng anti biotika harus diberikan. Untuk menjamin pada masa bedah

maupun pasca bedah tidak mengalami bahaya oleh mikroorganisme.


2. Perawatan Pasca Bedah Labio/ Palatoskisis
- Immobilisasi
- Sedasi
- Pembalutan garis sedasi. Garis jahitan ditinggal tanpa penutup,
-

kebersihan dipertahankan. Setelah makan dilap dengan air steril.


Pemberian makanan. Segera dapat diberikan ketika anak sadar atau
reflek menelan ditegakkan. Dapat digunakan cairan jernih misalnya
cairan glukosa, dan diit normal yang terdapat makanan lunak dan disusul
dengan air steril. Makanan keras dapat diberikan pada 2 atau 3 minggu
setelah pembedahan.
12

Terapi bicara pada anak yang sudah bisa bicara.

13

2.3 ASKEP ATHRESIA ESOPHAGUS


A. Pengkajian
1. Lakukan pengkajian pada bayi baru lahir
a. Saliva berlebihan dan mengiler
b. Tersedak
c. Sianosis
d. Apnea
e. Peningkatan distres pernapasan setelah makan
f. Distensi abdomen
2. Observasi : Manifestasi atresia esofagus
3. Bantu dengan prosedur diagnostik misalnya : Radiografi dada dan abdomen,
kateter dengan perlahan dimasukkan kedalam esofagus yang membentuk
tahanan bila lumen tersebut tersumbat.
4. Pantau dengan sering tanda-tanda distres pernapasan
5. Laringospasme yang disebabkan oleh aspirasi saliva yang terakumulasi dalam
kantung buntu

14

B. WOC
Kelainan Bawaan

Faktor lain:
-

Atresia Esofagus

Kerongkongan buntu

Udara mengalir ke
fistula

anxieta

Kesulitan menelan

Mengeluarkan air liur

Pneumonia aspirasi

Gaster perforasi akut

Pneumonia berulang
Reflux gastrofageal

Perut kembung
membuncit

Batuk, sesak nafas

anorexia
- Pola nafas tidak
efektif

Kegagalan nafas

sianosis

Factor gen
Defisiensi
vitamin
Obat-obatan
Alcohol
Paparan virus
Bahan kimia

- Bersihan jalan
nafas tidak efektif
Pola nafas tidak
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh

15

C. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan lubang abnormal
antara esofagus dan trakea atau obstruksi untuk menelan sekresi
2) Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena
pemasangan g-tube
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
D. Intervensi
NO.

DIAGNOSA
TUJUAN DAN
INTERVENSI
KEPERAWATAN
KRITERIA HASIL
1. Bersihan
jalan Pasien
1. Lakukan
pengisapan sesuai
napas tidak efektif mempertahankan
jalan napas yang
dengan kebutuhan.
berhubungan
2.
Beri posisi
paten tanpa aspirasi.
terlentang dengan
dengan
lubang
kepala ditempatkan
abnormal
antara Kriteria Hasil :
pada sandaran yang
esofagus dan trakea
ditinggikan
Jalan napas
atau
obstruksi
(sedikitnya 300).
tetap paten
3. Beri oksigen jika
untuk
menelan
bayi menjadi
Bayi tidak
sekresi
sianotik.
teraspirasi
4.
Jangan gunakan
sekresi
tekanan positif
(misalnya; kantong
Pernapasan
resusitasi/ masker).
tetap pada
5. Pertahankan
batas normal
penghisapan
segmen esophagus
secara intermitten
atau kontinue, bila
di pesankan pada
masa pra operasi.
6. Tinggalkan selang
gastrostomi, bila
ada, terbuka untuk
drainase gravitasi.
2. Ansietas
berhubungan
dengan

kesulitan

menelan,

Pasien mengalami
rasa aman tanda
ketidaknyamanan.
Kriteria Hasil :

ketidaknyamanan
16

RASIONAL
1. Untuk
menghilangkan
penumpukan sekresi
di orofaring.
2. Untuk menurunkan
tekanan pada rongga
torakal dan
meminimalkan
refluks sekresi
lambung ke
esophagus distal dan
ke dalam trakea dan
bronki.
3. Untuk membantu
menghilangkan
distress pernapasan.
4. Karena dapat
memasukkan udara
ke dalam lambung
dan usus, yang
menimbulkan tekana
tambahan pada
rongga torakal.
5. Untuk menjaga agar
kantong buntu
tersebut tetap kosong

1. Beri stimulasi taktil 1. Untuk memudahkan


(mis; membelai,
perkembangan
mengayun).
optimal dan
2. Beri perawatan
meningkatkan
mulut.
kenyamanan.
3. Dorong orang tua 2. Untuk menjaga agar

karena pemasangan
g-tube

3. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d
anoreksia

Bayi istirahat
dengan tenang,
sadar bila
terjaga, dan
melakukan
penghisapan
non-nutrisi.

Mulut tetap
bersih dan
lembab.

Nyeri yang
dialamianak
minimal atau
tidak ada.

Meningkatkan
nutrisi pasien agar
kembali normal.
Kriteria Hasil :
Adanya
peningkatan
berat badan
sesuai dengan
tujuan
Berat badan
ideal sesuai
dengan tinggi
badan
Mampu
mengidentifikasi
kebutuhan
nutrisi
Tidak ada tandatanda malnutrisi

E.

17

untuk berpastisipasi
mulut tetap bersih dan
dalam perawatan
membran mukosa
anak
lembab.
4. Beri analgesik
3. Untuk mengurangi
sesuai ketentuan
rasa nyeri yang
berlebih
4. Untuk memberikan
rasa nyaman dan
aman.

1. Kaji adanya alergi


makanan

2. Berikan substandi
gula

3. Monitor jumlah
4.
5.

6.

7.

nutrisi dan kandung


kalori
Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi
Kaji kemampuan
pasien untuk
mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan
Kaloborasindengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan
pasien
Berikan makanan
yang terpilih (sudah
dikonsultasikan
dengan ahli gizi)

2.4 ASKEP LABIO PALATOSKISIS


F. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Pada saat mengkaji identitas klien, komponen yang diperlukan biasanya :
Nama
TTL
Jenis Kelamin
Umur
Pekerjaan

Nama Orang Tua


Pekejaan Istri
Alamat
Agama
Suku Bangsa

Pendidikan Terakhir
Pendidikan Terakhir Istri
Diagnosa

2. Keluhan utama : Alasan klien masuk ke rumah sakit


3. Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan Dahulu
Mengkaji riwayat kehamilan ibu, apakah ibu pernah mengalami trauma
pada kehamilan Trimester I. bagaimana pemenuhan nutrisi ibu saat
hamil, obat-obat yang pernah dikonsumsi oleh ibu dan apakah ibu
pernah stress saat hamil.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengkaji berat/panjang bayi

saat

lahir,

pola

pertumbuhan,

pertambahan/penurunan berat badan, riwayat otitis media dan infeksi


saluran pernafasan atas.
c) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat kehamilan, riwayat keturunan, labiopalatoskisis dari keluarga,
penyakit sifilis dari orang tua laki-laki.
4. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi kecacatan pada saat lahir Palpasi dengan menggunakan jari
untuk mengidentifikasi karakteristik
sumbing.
Kaji asupan cairan dan nutrisi bayi
Kaji tanda-tanda infeksi
Kaji kemampuan hisap, menelan,
bernafas.
5. Pengkajian Keluarga
- Observasi infeksi bayi dan keluarga
- Kaji harga diri / mekanisme kuping dari anak/orangtua
- Kaji reaksi orangtua terhadap operasi yang akan dilakukan
- Kaji kesiapan orangtua terhadap pemulangan dan kesanggupan mengatur
-

perawatan di rumah.
Kaji tingkat pengetahuan keluarga

B. WOC
Insufisiensi zat

Kehamilan

Untuk tumbuh

Toksikosis

Infeksi
18

Genetik

Kegagalan fungsi
palatum pada
garis tengah

Refleks mengisap Asi,


yang terganggu akibat
adanya patologis, pucat,
turgor kulit jelek, kulit
kering, perut kembung,
BB menurun.

Kegagalan fungsi
palatum dengan septum
nasi

Bayi rewel, menangis,


tidak dapat
beristirahat dengan
tenang dan nyaman,
sulit mengisap
dan menelan Asi

Adanya sumbing
pada bibir dan
palatum

Adanya gangguan
pertumbuhan anatomi
naso faring, adanya garis
jahitan pada daerah
mulut.

Resti
Trauma
Gangguan rasa
nyaman nyeri

Perubahan
nutrisi kurang
dari kebutuhan

Resiko Pelemahan
Martabat

19

Adanya disfungsi tuba eustachi


yang dapat mengakibatkan
terjadinya otitis media serta
gangguan pendengaran, adanya
sifat kurang menerima,sensitif,
adanya sumbing pada bibir dan
palatum

C. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
2. Resiko pelemahan martabat
3. Resiko tinggi trauma sisi pembedahan b/d prosedur pembedahan, disfungsi
menelan
4. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d insisi bedah
D. Intervensi
N
o

Diagnosa Keperawatan

Rencana Keperawatan
Tujuan

Perubahan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh b/d
defek fisik yang di tandai :
DS: Sulit mengisap dan
menelan Asi
DO: Pucat, turgor kulit
jelek,kulit kering,
perut kembung, BB
menurun

Intervensi

Setelah
1. Bantu ibu dalam
mendapatkan
menyusui, bila ini
tindakan
adalah keinginan
keperawatan di
ibu. Posisikan dan
harapkan perubahan
stabilkan puting susu
nutrisi dapat
dengan baik di
teratasi dengan
dalam rongga mulut.
kriteria :
2. Bantu menstimulasi
refleks ejeksi Asi
tidak pucat
secara manual /
turgor kulit
membaik
dengan pompa
kulit lembab,
payudara sebelum
perut tidak
menyusui
kembung
bayi
3. Gunakan alat makan
menunjukan
khusus, bila
penambahan
menggunakan alat
berat badan yang
tanpa puting. (dot,
tepat.
spuit asepto) letakan
formula di belakang
lidah
4. Melatih ibu untuk
memberikan Asi
yang baik bagi
bayinya
5. Menganjurkan ibu
untuk tetap menjaga
kebersihan, apabila
di pulangkan
6. kolborasi dengan
ahli gizi.
20

Rasional
1. Membantu ibu
dalam
memberikan Asi
dan posisi puting
yang stabil
membentuk kerja
lidah dalam
pemerasan susu.
2. Karena
pengisapan di
perlukan untuk
menstimulasi
susu yang pada
awalnya
mungkin tidak
ada
3. Membantu
kesulitan makan
bayi,
mempermudah
menelan da
mencegah
aspirasi
4. Mempermudah
dalam pemberian
Asi
5. Untuk mencegah
terjadinya
mikroorganisme
yang masuk

6. Untuk
mendapatkan
nutrisi yang
seimbang

N
o

Diagnosa Keperawatan

Resiko pelemahan
martabat orang tua b/d bayi
dengan defek fisik yang
sangat terlihat, yang di
tandai dengan :
DS : -

Rencana Keperawatan
Tujuan

Intervensi

Setelah
mendapatkan
tindakan
keperawatan di
harapkan resti
perubahan menjadi
orang tua tidak
terjadi dengan
kriteria :

1. Berikan kesempatan
1. Mendorong
untuk mengekspresikan
koping
perasaan
keluarga

DO : Adanya trauma
psikologi pada orang
tua, adanya sifat

kurang menerima,
sensitif, adanya
sumbing pada bibir
dan palatum

pasien dan
keluarga
menunjukan
penerimaan
terhadap bayi
keluarga
mendiskusikan
perasaan dan
kekhawatiran
mengenai defek
anak,
perbaikannyadan
proses masa
depan

2. tunjukan sikap
penerimaan terhadap
bayi dan keluarga
3. tunjukan dengan
perilaku bahwa anak
adalah manusia yang
berharga
4. gambarkan hasil
perbaikan bedah
terhadap
defek,gunakan foto
hasil yang memuaskan
5. anjurkan pertemuan
dengan orang tua lain
yang mempunyai
pengalaman serupa dan
dapat menghadapinya
dengan baik.
6. menganjurkan orangtua
untuk selalu menjaga
kesehatan bayinya

Rasional

2. Meredam sikap
sensitif
orangtua
terhadap sikap
sensitif orang
lain
3. Mendorong
penerimaan
terhadap bayi
4. Untuk
mendorong
adanya
pengharapan
5. Membantu
orangtua
mendiskusikan
kekhawatirann
ya, berbagi
pengalaman
swehingga
timbulnya sifat
menerima
terhadap bayi
6. Untuk
mencegah
terjadinya
defek pada

21

bayi

N
o

Diagnosa Keperawatan

Rencana Keperawatan
Tujuan

Resiko tinggi trauma sisi


pembedahan b/d prosedur
pembedahan, disfungsi
menelan, yang di tandai
dengan :

Setelah
mendapatkan
tindakan
keperawatan di
harapkan trauma
sisi pembedahan
DS : Bayi rewel,
tidak terjadi dengan
menangis,tidak dapat kriteria :
beristirahat dengan
tenang dan nyaman, bayi tidak rewel
dan menangis
sulit mengisap dan
Bayi dapat
menelan Asi.
beristirahat
DO : adanya garis jahitan
dengan tenang
dan nyaman,
pada daerah mulut
dapat menelan
Asi denagan
baik.

Intervensi

Rasional

1. Beri posisi leher yang


miring atau duduk

1. Mencegah
trauma pada
sisi operasi

2. Pertahankan alat
pelindung bibir.
Gunakan teknik
pemberian makan
nontraumatik.
3. Gunakan paket restrain
pada bayi

4. Hindarkan
menempatkan objek di
dalam mulut setelah
perbaikan kateter
mengisap. Spatel lidah
sedalam dot atau
pendek kecil.
5. Jaga agar bayi tidak
menangis dengan jelas
dan terus menerus

2. Melindungi
garis jahitan
dan
meminimalkan
resiko trauma.

3. Mencegahnya
agr tidak
berulang dan
menggaruk
wajahnya
4. Mencegah
trauma pada
sisi operasi
5. Menangis dapat
menyebabkan
tegangan pada
jahitan

6. Bersihkan garis jahitan


dengan perlahan
setelah memberi makan
6. Mencegah
dan jika perlu sesuai
terjadinya
instruksi dokter
infeksi dan
7. Ajar tentang
inflamasi yang
pembersihan dan
mempengaruhi
prosedur restrain
penyembuhan
khususnya bila bila
bayi akan di pulangkan 7. Meminimalkan
terjadinya
sebelum jahitan di
komplikasi
lepas.
setelah pulang.
22

N
o

Diagnosa Keperawatan

Gangguan rasa nyaman


nyeri b/d insisi bedah yang
di tandai dengan :
DS : Bayi rewel dan
menangis
DO : Adanya garis jahitan
pada daerah mulut

Rencana Keperawatan
Tujuan

Intervensi

Rasional

Setelah
mendapatkan
tindakan
keperawatan di
harapkan masalah
nyeri dapat
terkontrol dengan
kriteria :

Observasi

1. Dapat
menidentifikas
ikan rasa sakit
akut dan
ketidak
nyamanan

Bayi tidak rewel


Tidak menangis
Bayi mengalami
tingkat
kenyamana yang
optimal
Bayi tampak
nyaman dan
istirahat dengan
tenang.

1. Kaji tanda-tanda vital,


perhatikan tackikardi
dan peningkatan
pernapasan.
2. Kaji penyebab
ketidaknyamanan yang
mungkin selain dari
prosedur operasi
3. Kaji skala nyeri, catat
lokasi, intensitas nyeri
4. Anjurkan keluarga
untuk melakukan
masase ringan
5. Jelaskan orangtua atau
keluarga untuk terlibat
dalam perawatan bayi
6. Kolaborasi, berikan
analgesik / sedatif
sesuai instruksi.

2. Ketidak
nyamanan
mungkin di
sebabkan oleh
adanya proses
inflamasi
3. Membantu
mengetahui
derajat ketidak
nyamana dan
keefektifan
analgesik
sehingga
memudah
dalam
memberi
tindakan
4. Mengurangi
rasa nyeri
5. Memberi rasa
aman dan
nyaman
6. Analgesik
menelan SSP
yang memberi

23

respon pada
observasi nyeri

24

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang atau
muara (buntu), pada esofagus (+). Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital
yang ditandai dengan tidak menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan
esofagus bagian distal. Atresia esofagus dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus,
yaitu kelainan kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus
dengan trakea.
2. Labio palato schisis merupakan kongenital anamali yang berupa adanya kelainan
bentuk pada stuktur wajah. Kelainan sumbing selain mengenai bibir juga bisa
mengenai langit-langit. Berbeda pada kelainan bibir yang terlihat secara estefik,
kelainan sumbing langit-langit lebih berefek kepada fungsi mulut seperti menelan,
makan,minum dan bicara. Keadaan ini menyebabkan intake minum / makanan yang
masuk

menjadi

kurang

dan

jelas

berefek

terhadap

pertumbuhan

dan

perkembangannya, selanjutnya mudah terkena infeksi saluran nafas atas karena


terbukanya palatum tidak ada batas antara hidung dan mulut, bahkan infeksi bisa
menyebar sampai ke telinga.

25

Anda mungkin juga menyukai

  • Askep Stroke
    Askep Stroke
    Dokumen7 halaman
    Askep Stroke
    Alpajri
    Belum ada peringkat
  • Intervensi KLG
    Intervensi KLG
    Dokumen15 halaman
    Intervensi KLG
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • SLEASUHAN
    SLEASUHAN
    Dokumen22 halaman
    SLEASUHAN
    Rora Lusiana
    100% (2)
  • Sentot Ali Basya
    Sentot Ali Basya
    Dokumen2 halaman
    Sentot Ali Basya
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • BENGKULU
    BENGKULU
    Dokumen1 halaman
    BENGKULU
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • Pathway Stroke
    Pathway Stroke
    Dokumen1 halaman
    Pathway Stroke
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • Woc Vertigo
    Woc Vertigo
    Dokumen1 halaman
    Woc Vertigo
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • Iya
    Iya
    Dokumen19 halaman
    Iya
    Ade Irma Suryani Nst
    Belum ada peringkat
  • Woc
    Woc
    Dokumen1 halaman
    Woc
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • (Convert PDF - Jtptunimus GDL Gayuhnawan 5434 2 Babii
    (Convert PDF - Jtptunimus GDL Gayuhnawan 5434 2 Babii
    Dokumen29 halaman
    (Convert PDF - Jtptunimus GDL Gayuhnawan 5434 2 Babii
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • Diabetes Mellitus
    Diabetes Mellitus
    Dokumen7 halaman
    Diabetes Mellitus
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • LIPOLISIS
    LIPOLISIS
    Dokumen1 halaman
    LIPOLISIS
    Pujangga Puspito
    Belum ada peringkat
  • Trend Dan Issue Kes Jiwa
    Trend Dan Issue Kes Jiwa
    Dokumen14 halaman
    Trend Dan Issue Kes Jiwa
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • Kelompok 1
    Kelompok 1
    Dokumen17 halaman
    Kelompok 1
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • Askep Katarak
    Askep Katarak
    Dokumen18 halaman
    Askep Katarak
    Bora Siboro
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • Woc
    Woc
    Dokumen2 halaman
    Woc
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • Presentation 1
    Presentation 1
    Dokumen21 halaman
    Presentation 1
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen17 halaman
    Bab I
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • KEHAMILAN MUDA
    KEHAMILAN MUDA
    Dokumen16 halaman
    KEHAMILAN MUDA
    Rora Lusiana
    100% (2)
  • Jtptunimus GDL s1 2008 Abduljalal 223 3 Bab2
    Jtptunimus GDL s1 2008 Abduljalal 223 3 Bab2
    Dokumen17 halaman
    Jtptunimus GDL s1 2008 Abduljalal 223 3 Bab2
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • Klasifikasi Pasien
    Klasifikasi Pasien
    Dokumen4 halaman
    Klasifikasi Pasien
    Rora Lusiana
    100% (1)
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen14 halaman
    Bab 1
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • DAFTAR PUSTAKA DAN REFERENSI
    DAFTAR PUSTAKA DAN REFERENSI
    Dokumen1 halaman
    DAFTAR PUSTAKA DAN REFERENSI
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • KEPEMIMPINAN
    KEPEMIMPINAN
    Dokumen26 halaman
    KEPEMIMPINAN
    Yggdrasil Pohon Dunia
    Belum ada peringkat
  • CLE
    CLE
    Dokumen3 halaman
    CLE
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat
  • KASUS
    KASUS
    Dokumen4 halaman
    KASUS
    Rora Lusiana
    Belum ada peringkat