PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelainan gastrointestinal pada bayi dan anak tidak jarang memerlukan tindakan
bedah untuk menyelamatkan nyawa mereka. Kelainan-kelainan gastrointestinal yang
memerlukan tindakan pembedahan tersebut, pada pokoknya terdiri dari 2 golongan besar
yaitu kelainan kongenital dan kelainan didapat. Kelainan konginetal gastrointestinal yang
memerlukan tindakan bedah pada umumnya akibat gangguan kontinuitas usus sehingga
mengakibatkan gangguan pasase makanan seperti atresia, stenosis dan malrotasi.
Gangguan fungsi pasase usus tanpa kelainan kontinuitas lumen terjadi pada akhlasia
esofagus, stenosis pilorus dan penyakit Hirchsprung. Sedangkan kelainan gastrointestinal
didapat yang memerlukan tindakan bedah antara lain apendisitis, enterokolitis
nekrotikans, perdarahan gastrointestinal, volvulus, invaginasi, hernia, trauma saluran
cerna, tumor gastrointestinal, dan perforasi usus.
Sedangkan Menurut laporan peneliti dari berbagai negara, cacat labio palatoschizis
dapat muncul dari 1 : 800 sampai 1 : 2000 kelahiran. Indonesia yang berpenduduk 200
juta lebih, tentu mempunyai dan akan mempunyai banyak kasus labio palatoschizis.
Labio palatoschizis merupakan kelainan bibir dan langit langit, hal ini biasanya
disebabkan karena perkembangan bibir dan langit langit yang tidak dapat berkembang
secara sempurna pada masa pertumbuhan di dalam kandungan. Dimana biasanya
penderita labio palatoschizis mempunyai bentuk wajah kurang normal dan kurang jelas
dalam berbicara sehingga menghambat masa persiapan sekolahnya. Labio palatoschizis
sering dijumpai pada anak laki laki dibandingkan anak perempuan (Randwick, 2002)
kelainan ini merupakan kelainan yang disebabkan faktor herediter, lingkungan, trauma,
virus (Sjamsul Hidayat, 1997).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep teori penyakit meliputi pengertian, klasifikasi jika ada, etiologi,
patofisiologi, WOC, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan medis ?
2. Bagaimana proses perawatan mulai dari pengkajian, rumusan diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi dan evaluasi ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Memahami asuhan keperawatan pada klien Atresia Esofagus dan Labio Palato
1.3.2
Schisis
Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami definisi
2. Mengetahui dan memahami patofisiologi
3. Mengetahui dan memahami WOC
4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada
klien
5. Mengetahui dan memahami komplikasi
6. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostic
7. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada klien
1.3.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KONSEP TEORITIS ATHRESIA ESOPHAGUS
2.1.1 PENGERTIAN
Athresia Esophagus adalah perkembangan embrionik abnormal esophagus
yang menghasilkan pembentukan suatu kantong (blind pouch), atau lumen
berkurang tidak memadai yang mecegah perjalanan makanan / sekresi dari faring
ke perut. Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak
adanya lubang atau muara (buntu), pada esofagus (+). Pada sebagian besar kasus
atresia esofagus ujung esofagus buntu, sedangkan pada -1/3 kasus lainnya
esophagus bagian bawah berhubungan dengan trakea setinggi karina (disebut
sebagai atresia esophagus dengan fistula). Kelainan lumen esophagus ini biasanya
disertai dengan fistula trakeoesofagus. Atresia esofagus sering disertai kelainan
bawaan lain, seperti kelainan jantung, kelainan gastrointestinal (atresia duodeni
atresiasani), kelainan tulang (hemivertebrata). Atresia Esofagus termasuk
kelompok kelainan kongenital terdiri dari gangguan kontuinitas esofagus dengan
atau tanpa hubungan persisten dengan trachea.
2.1.2
Epidemiologi
Atresia esofagus pertama kali dikemukakan oleh Hirscprung seorang ahli
anak dari Copenhagen pada abad 17 tepatnya pada tahun 1862 dengan adanya
lebih kurang 14 kasus atresia esofagus, kelainan ini sudah di duga sebagai suatu
malformasi dari traktus gastrointestinal. Tahun 1941 seorang ahli bedah Cameron
Haight dari Michigan telah berhasil melakukan operasi pada atresia esofagus dan
sejak itu pulalah bahwa Atresia Esofagus sudah termasuk kelainan kongenital
yang bisa diperbaiki. Di Amerika Utara insiden dari Atresia Esofagus berkisar
1:3000-4500 dari kelahiran hidup, angka ini makin lama makin menurun dengan
sebab yang belum diketahui. Secara Internasional angka kejadian paling tinggi
terdapat di Finlandia yaitu 1:2500 kelahiran hidup. Atresia Esofagus 2-3 kali
lebih sering pada janin yang kembar.
2.1.3
Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa menyebabkan
terjadinya kelainan Atresia Esofagus, hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2 %
3
jika salah satu dari saudara kandung yang terkena. Atresia Esofagus lebih
berhubungan dengan sindroma trisomi 21,13 dan 18 dengan dugaan penyebab
genetik. Namun saat ini, teori tentang terjadinya atresia esofagus menurut
sebagian besar ahli tidak lagi berhubungan dengan kelainan genetik. Perdebatan
tentang proses embriopatologi masih terus berlanjut, dan hanya sedikit yang
diketahui.
2.1.4
Patofisiologi
Janin dengan atresia esofagus tidak dapat menelan cairan amnion dengan
efektif. Pada janin dengan atresia esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan
mengalir menuju trakea, ke fistula kemudian menuju usus.Neonatus dengan
atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan banyak air liur.
Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau liur. Apabila
terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung. Udara dari trakea
juga dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis, atau menerima
ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang sering kali
mematikan. Trakea juga dipengaruh oleh gangguan embriologenesis pada atresia
esofagus. Membran trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti
biasa.
Perubahan
ini
menyebabkan
kelemahan
sekunder
pada
stuktur
Manifestasi Klinis
Ada beberapa keadaan yang merupakan gejala dan tanda atresia esofagus, antara
lain:
1. Mulut berbuih (gelembung udara dari hidung dan mulut) dan liur selalu
meleleh dari mulut bayi
2. Sianosis
3. Batuk dan sesak napas
4. Gejala pneumonia akibat regurgitasi air ludah dari esofagus yang buntu dan
regurgitasi cairan lambung melalui fistel ke jalan napas
5. Perut kembung atau membuncit, karena udara melalui fistel masuk kedalam
lambung dan usus
6. Oliguria, karena tidak ada cairan yang masuk
4
7. Biasanya juga disertai dengan kelainan bawaan yang lain, seperti kelainan
jantung, atresia rectum atau anus.
2.1.6
Penatalaksanaan
Atresia merupakan kasus gawat darurat. Prabedah, penderita seharusnya
ditengkurapkan untuk mengurangi kemungkinan isi lambung masuk ke paru-paru.
Kantong esofagus harus secara teratur dikosongkan dengan pompa untuk
mencegah aspirasi sekret. Perhatian yang cermat harus diberikan terhadap
pengendalian suhu, fungsi respirasi, dan pengelolaan anomali penyerta.
1. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan dilakukan dengan operasi.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Sebelum dilakukan operasi, bayi diletakkan setengah duduk untuk mencegah
terjadinya regurgitasi cairan lambung kedalam paru. Cairan lambung harus
sering diisap untuk mencegah aspirasi. Untuk mencegah terjadinya hipotermia,
bayi hendaknya dirawat dalam incubator agar mendapatkan lingkungan yang
cukup hangat. Posisinya sering di ubah-ubah, pengisapan lender harus sering
dilakukan. Bayi hendaknya dirangsang untuk menangis agar paru berkembang.
- Pendekatan Post Operasi
Segera setelah operasi pasien dirawat di NICU dengan perawatan
sebagai berikut
1. Monitor pernafasan ,suhu tubuh, fungsi jantung dan ginjal
2. Oksigen perlu diberikan dan ventilator pernafasan dapat diberi
jika dibutuhkan.
3. Analgetik diberi jika dibutuhkan
4. Pemeriksaan darah dan urin dilakukan guna mengevaluasi
keadaan janin secara keseluruhan
5. Pemeriksaan scaning dilakukan untuk mengevalausi fungsi
esofagus
6. Bayi diberikan makanan melalui tube yang terpasang lansung ke
lambung (gastrostomi) atau cukup dengan pemberian melalui
intravena sampai bayi sudah bisa menelan makanan sendiri.
7. Sekret dihisap melalui tenggorokan dengan slang nasogastrik.
Komplikasi
Komplikasi-komplikasi yang bisa timbul setelah operasi perbaikan pada atresia
esofagus dan fistula atresia esophagus adalah sebagai berikut :
1. Dismotilitas esophagus.
Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot dingin esophagus. Berbagai
tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi ini. Komplikasi ini terlihat
saat bayi sudah mulai makan dan minum.
2. Gastroesofagus refluk.
Kira-kira 50 % bayi yang menjalani operasi ini kana mengalami
gastroesofagus refluk pada saat kanak-kanak atau dewasa, dimana asam
lambung naik atau refluk ke esophagus. Kondisi ini dapat diperbaiki
dengan obat (medical) atau pembedahan.
3. Trakeo esogfagus fistula berulang.
Pembedahan ulang adalah terapi untuk keadaan seperti ini.
4. Disfagia atau kesulitan menelan.
Disfagia adalah tertahannya makanan pada tempat esophagus yang
diperbaiki. Keadaan ini dapat diatasi dengan menelan air untuk
tertelannya makanan dan mencegah terjadinya ulkus.
5. Kesulitan bernafas dan tersedak.
Komplikasi ini berhubungan dengan proses menelan makanan, tertaannya
makanan dan saspirasi makanan ke dalam trakea.
6. Batuk kronis.
Batuk merupakan gejala yang umum setelah operasi perbaikan atresia
esophagus, hal ini disebabkan kelemahan dari trakea.
7. Meningkatnya infeksi saluran pernafasan.
Pencegahan keadaan ini adalah dengan mencegah kontakk dengan orang
yang menderita flu, dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan
mengkonsumsi vitamin dan suplemen.
karena berhubungan sangat erat. Kelainan ini diduga terjadi pada sekitar satu
dalam 1000 kelahiran. Deformitas terbagi menjadi 3 kategori:
1. Sumbing pra alveolar, di mana yang terlibat adalah bibir, atau bibir
dengan hidung (derajat empat)
2. Sumbing alveolar, dimana sumbing melibatkan bibir, tonjolan alveolar
dan biasanya palatum (derajat tiga)
3. Sumbing pasca alveolar, dimana sumbing terbatas hanya pada palatum
(derajat pertama dan kedua)
Palatoskisis lebih serius proknosanya dibandingkan dengan labio skisis. Dari
bentuknya yang terletak diantara nasofaring dengan hidung , sehingga
menimbulkan
pernafasan dan infeksi telinga tengah. Labioskisis atau clelf lip dapat terjadi
berbagai derajat malformasi, mulai dari yang ringan pada tepi bibir di kanan, di
kiri atau kedua tepi bibir dari garis tengah, sampai sumbing yang lengkap berjalan
hingga ke hidung. Terdapat variasi lanjutan dari cacat yang melibatkan palatum.
2.2.2
ETIOLOGI
Ada beberapa etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya kelainan Labio
palatoschizis, antara lain :
1. Faktor Genetik
Merupakan penyebab beberapa palatoschizis, tetapi tidak dapat ditentukan
dengan pasti karena berkaitan dengan gen kedua orang tua. Diseluruh dunia
ditemukan hampir 25 30 % penderita labio palatoscizhis terjadi karena
faktor herediter. Faktor dominan dan resesif dalam gen merupakan manifestasi
genetik yang menyebabkan terjadinya labio palatoschizis. Faktor genetik yang
menyebabkan celah bibir dan palatum merupakan manifestasi yang kurang
potensial dalam penyatuan beberapa bagian kontak.
2. Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional, baik
kualitas maupun kuantitas (Gangguan sirkulasi foto maternal).Zat zat yang
berpengaruh adalah:
-
Asam folat
Vitamin C
7
- Zn
Apabila pada kehamilan, ibu kurang mengkonsumsi asam folat, vitamin C dan
Zn dapat berpengaruh pada janin. Karena zat - zat tersebut dibutuhkan dalam
tumbuh kembang organ selama masa embrional. Selain itu gangguan sirkulasi
foto maternal juga berpengaruh terhadap tumbuh kembang organ selama masa
embrional.
3. Pengaruh obat teratogenik.Yang termasuk obat teratogenik adalah:
-
hitam (cream
5. Infeksi, khususnya virus (toxoplasma) dan klamidial. Ibu hamil yang terinfeksi
virus (toxoplasma) berpengaruh pada janin sehingga dapat berpengaruh
terjadinya kelainan kongenital terutama labio palatoschizis. Dari beberapa
faktor tersebit diatas dapat meningkatkan terjadinya Labio palatoshizis, tetapi
tergantung dari frekuensi dari frekuensi pemakaian, lama pemakaian, dan wktu
pemakaian.
2.2.3
PATOFISIOLOGI
Tahap penting dalam pembentukan bibir, palatum, hidung dan rahang, terjadi
pada 9 minggu pertama kehidupan embrio. Mulai sekitar minggu kelima umur
kehamilan, prosesus maksilaris tubuh kearah anterior dan medial, dan menyatu
dengan pembentukan prosesus fronto nasal pada dua titik tepat dibawah lubang
hidung dan membentuk bibir atas. Sementara itu palatum dibentuk oleh proses
prosesus palatal dari prosesus maksilaris yang tumbuh kearah medial untuk
bergabung dengan septum nasalis pada garis tengah, kira kira pada umur
kehamilan 9 minggu. Kegagalan pada proses yang kompleks ini dapat terjadi
dimanapun pada tahap pembentukannya, yang akan menghasilkan celah kecil
samapai kelainan hiper dari bentuk wajah. Ada kemungkunan yang terkena bibir
saja atau dapat meluas sampai kelubang hidung, atau mengenai maksila dan gigi.
Kelainan celah palatum yang paling ringan hanya melibatkan uvula atau bagian
lunak palatum. Celah bibir dan palatum bisa terjadi secara terpisah atau bersamasama bercampurnya jenis kelainan bibir, maksila dan palatum akan menyebabkan
kesulitan pembedahan.
Dewasa ini malformasi palatum dan bibir tengah telah dipelajari secara
mendalam, sebagai model dari tahap morfogenesis normal dan abnormal pada
system perkembangan yang kompleks. Hal ini terlihat secara relative, dari
tingginya angka kejadian kelainan ini, bahwa pengaturan morfogenesis palatum
sangat sensitive terhadap gangguan genetic dan lingkungan:
- Genetic : Trysomi13 atau sindroma patau dihubungkan
-
dengan
Ada beberapa factor selular yang terlibat dalam penyatuan prosesus fronto
nasal dan maksilar. Diferensiasi sel epitel pada prosesus palatal mempunyai
peranan penting pada proses penyatuan. Mekanisme terpenting diperantarai sel
mesenkim dan prosesus palatal yang menginduksi diferensiasi sel epitel untuk
membentuk baik sel epitel nasal bersilia maupun sel epitel sekuamosa bucal. Pada
tikus telah ditemukan bahwa konsentrasi glukortikoid yang fisiologis, factor
tubuh epidermal diperlukan untuk mencapai bentuk normal yang perubahan
konsenyrasinya dapat menebabkan celah pada palatum.
2.2.4
MANIFESTASI KLINIS
1) Pada Labioskhzis pada bayi dan anak
- Distoersi pada hidung
- Tampak sebagian atau keduanya
- Adanya celah pada bibir
- Pada bayi terkadang ada gangguan menghisap puting susu
- Gangguan bicara, dapat terjadi karena penurunan fungsi otot akibat celah
akan mempengaruhi bicara, bahkan menghambatnya. Terutama dalam
mengucapkan huruf konsonan
2) Pada Palatoskisis pada bayi dan anak
- Tampak ada celah pada tekak (ovula), palato lunak, dank eras dan atau
2.2.5
foramen incisive.
Adanya rongga pada hidung.
Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari.
Kesukaran dalam menghisap asi (bayi) atau makan atau minum pada
anak.
Gangguan bicara (keterangan = gangguan bicara pada labioskisis).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto Rontgen
2. MRI ( Magnetic Resonance Imaging) untuk evaluasi abnormal
B. Pemeriksaan Teraupetik
1) Penatalaksanaan tergantung pada beratnya kecacatan
2) Prioritas pertama adalah pada teknik pemberian nutrisi yang adekuat
3) Mencegah komplikasi
4) Fasilitas pertumbuhan dan perkembangan
5) Pembedahan: pada labio sebelum kecacatan palato; perbaikan dengan
pembedahan usia 2-3 hari atua sampai usia beberapa minggu prosthesis
intraoral atau ekstraoral untuk mencegah kolaps maxilaris, merangsang
10
KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan Labio palatoschizis adalah:
1. Kesulitan berbicara hipernasalitas, artikulasi, kompensatori. Dengan
adanya celah pada bibir dan palatum, pada faring terjadi pelebaran sehingga
suara yang keluar menjadi sengau.
2. Maloklusi pola erupsi gigi abnormal. Jika celah melibatkan tulang alveol,
alveol ridge terletak disebelah palatal, sehingga disisi celah dan didaerah
celah sering terjadi erupsi.
3. Masalah pendengaran otitis media rekurens sekunder. Dengan adanya
celah pada paltum sehingga muara tuba eustachii terganggu akibtnya dapat
terjadi otitis media rekurens sekunder.
4. Aspirasi. Dengan terganggunya tuba eustachii, menyebabkan reflek
menghisap dan menelan terganggu akibatnya dapat terjadi aspirasi.
5. Distress pernafasan. Dengan terjadi aspirasi yang tidak dapat ditolong
secara dini, akan mengakibatkan distress pernafasan
6. Resiko infeksi saluran nafas. Adanya celah pada bibir dan palatum dapat
mengakibatkan udara luar dapat masuk dengan bebas ke dalam tubuh,
sehingga kuman kuman dan bakteri dapat masuk ke dalam saluran
pernafasan.
7. Pertumbuhan dan perkembangan terlambat. Dengan adanya celah pada
bibir dan palatum dapat menyebabkan kerusakan menghisap dan menelan
terganggu.
Akibatnya
bayi
menjadi
kekurangan
11
nutrisi
sehingga
8. Asimetri wajah. Jika celah melebar ke dasar hidung alar cartilago dan
kurangnya penyangga pada dasar alar pada sisi celah menyebabkan
asimetris wajah.
9. Penyakit peri odontal. Gigi permanen yang bersebelahan dengan celah yang
tidak mencukupi di dalam tulang. Sepanjang permukaan akar di dekat aspek
distal dan medial insisiv pertama dapat menyebabkan terjadinya penyakit
peri odontal.
10. Crosbite. Penderita labio palatoschizis seringkali paroksimallnya menonjol
dan lebih rendah posterior premaxillary yang colaps medialnya dapat
menyebabkan terjadinya crosbite.
11. Perubahan harga diri dan citra tubuh. Adanya celah pada bibir dan palatum
serta terjadinya asimetri wajah menyebabkan perubahan harga diri da citra
tubuh.
2.2.7
PENATALAKSANAAN
1. Perawatan Pra Bedah Labio/ Palatoskisis
- Ditegakkannya pemberian makanan. Jika ada kesukaran saat pemberian
Asi atau susu botol maka dapat menggunakan sendok. Inhalasi susu
perlu dicegah dengan menyediakan alat penyedot. Pemberian makanan
ini diharapkan bayi tidak dalam keadaan anemis, fisiknya baik,
-
13
14
B. WOC
Kelainan Bawaan
Faktor lain:
-
Atresia Esofagus
Kerongkongan buntu
Udara mengalir ke
fistula
anxieta
Kesulitan menelan
Pneumonia aspirasi
Pneumonia berulang
Reflux gastrofageal
Perut kembung
membuncit
anorexia
- Pola nafas tidak
efektif
Kegagalan nafas
sianosis
Factor gen
Defisiensi
vitamin
Obat-obatan
Alcohol
Paparan virus
Bahan kimia
- Bersihan jalan
nafas tidak efektif
Pola nafas tidak
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
15
C. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan lubang abnormal
antara esofagus dan trakea atau obstruksi untuk menelan sekresi
2) Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena
pemasangan g-tube
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
D. Intervensi
NO.
DIAGNOSA
TUJUAN DAN
INTERVENSI
KEPERAWATAN
KRITERIA HASIL
1. Bersihan
jalan Pasien
1. Lakukan
pengisapan sesuai
napas tidak efektif mempertahankan
jalan napas yang
dengan kebutuhan.
berhubungan
2.
Beri posisi
paten tanpa aspirasi.
terlentang dengan
dengan
lubang
kepala ditempatkan
abnormal
antara Kriteria Hasil :
pada sandaran yang
esofagus dan trakea
ditinggikan
Jalan napas
atau
obstruksi
(sedikitnya 300).
tetap paten
3. Beri oksigen jika
untuk
menelan
bayi menjadi
Bayi tidak
sekresi
sianotik.
teraspirasi
4.
Jangan gunakan
sekresi
tekanan positif
(misalnya; kantong
Pernapasan
resusitasi/ masker).
tetap pada
5. Pertahankan
batas normal
penghisapan
segmen esophagus
secara intermitten
atau kontinue, bila
di pesankan pada
masa pra operasi.
6. Tinggalkan selang
gastrostomi, bila
ada, terbuka untuk
drainase gravitasi.
2. Ansietas
berhubungan
dengan
kesulitan
menelan,
Pasien mengalami
rasa aman tanda
ketidaknyamanan.
Kriteria Hasil :
ketidaknyamanan
16
RASIONAL
1. Untuk
menghilangkan
penumpukan sekresi
di orofaring.
2. Untuk menurunkan
tekanan pada rongga
torakal dan
meminimalkan
refluks sekresi
lambung ke
esophagus distal dan
ke dalam trakea dan
bronki.
3. Untuk membantu
menghilangkan
distress pernapasan.
4. Karena dapat
memasukkan udara
ke dalam lambung
dan usus, yang
menimbulkan tekana
tambahan pada
rongga torakal.
5. Untuk menjaga agar
kantong buntu
tersebut tetap kosong
karena pemasangan
g-tube
3. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d
anoreksia
Bayi istirahat
dengan tenang,
sadar bila
terjaga, dan
melakukan
penghisapan
non-nutrisi.
Mulut tetap
bersih dan
lembab.
Nyeri yang
dialamianak
minimal atau
tidak ada.
Meningkatkan
nutrisi pasien agar
kembali normal.
Kriteria Hasil :
Adanya
peningkatan
berat badan
sesuai dengan
tujuan
Berat badan
ideal sesuai
dengan tinggi
badan
Mampu
mengidentifikasi
kebutuhan
nutrisi
Tidak ada tandatanda malnutrisi
E.
17
untuk berpastisipasi
mulut tetap bersih dan
dalam perawatan
membran mukosa
anak
lembab.
4. Beri analgesik
3. Untuk mengurangi
sesuai ketentuan
rasa nyeri yang
berlebih
4. Untuk memberikan
rasa nyaman dan
aman.
2. Berikan substandi
gula
3. Monitor jumlah
4.
5.
6.
7.
Pendidikan Terakhir
Pendidikan Terakhir Istri
Diagnosa
saat
lahir,
pola
pertumbuhan,
perawatan di rumah.
Kaji tingkat pengetahuan keluarga
B. WOC
Insufisiensi zat
Kehamilan
Untuk tumbuh
Toksikosis
Infeksi
18
Genetik
Kegagalan fungsi
palatum pada
garis tengah
Kegagalan fungsi
palatum dengan septum
nasi
Adanya sumbing
pada bibir dan
palatum
Adanya gangguan
pertumbuhan anatomi
naso faring, adanya garis
jahitan pada daerah
mulut.
Resti
Trauma
Gangguan rasa
nyaman nyeri
Perubahan
nutrisi kurang
dari kebutuhan
Resiko Pelemahan
Martabat
19
C. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
2. Resiko pelemahan martabat
3. Resiko tinggi trauma sisi pembedahan b/d prosedur pembedahan, disfungsi
menelan
4. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d insisi bedah
D. Intervensi
N
o
Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan
Tujuan
Intervensi
Setelah
1. Bantu ibu dalam
mendapatkan
menyusui, bila ini
tindakan
adalah keinginan
keperawatan di
ibu. Posisikan dan
harapkan perubahan
stabilkan puting susu
nutrisi dapat
dengan baik di
teratasi dengan
dalam rongga mulut.
kriteria :
2. Bantu menstimulasi
refleks ejeksi Asi
tidak pucat
secara manual /
turgor kulit
membaik
dengan pompa
kulit lembab,
payudara sebelum
perut tidak
menyusui
kembung
bayi
3. Gunakan alat makan
menunjukan
khusus, bila
penambahan
menggunakan alat
berat badan yang
tanpa puting. (dot,
tepat.
spuit asepto) letakan
formula di belakang
lidah
4. Melatih ibu untuk
memberikan Asi
yang baik bagi
bayinya
5. Menganjurkan ibu
untuk tetap menjaga
kebersihan, apabila
di pulangkan
6. kolborasi dengan
ahli gizi.
20
Rasional
1. Membantu ibu
dalam
memberikan Asi
dan posisi puting
yang stabil
membentuk kerja
lidah dalam
pemerasan susu.
2. Karena
pengisapan di
perlukan untuk
menstimulasi
susu yang pada
awalnya
mungkin tidak
ada
3. Membantu
kesulitan makan
bayi,
mempermudah
menelan da
mencegah
aspirasi
4. Mempermudah
dalam pemberian
Asi
5. Untuk mencegah
terjadinya
mikroorganisme
yang masuk
6. Untuk
mendapatkan
nutrisi yang
seimbang
N
o
Diagnosa Keperawatan
Resiko pelemahan
martabat orang tua b/d bayi
dengan defek fisik yang
sangat terlihat, yang di
tandai dengan :
DS : -
Rencana Keperawatan
Tujuan
Intervensi
Setelah
mendapatkan
tindakan
keperawatan di
harapkan resti
perubahan menjadi
orang tua tidak
terjadi dengan
kriteria :
1. Berikan kesempatan
1. Mendorong
untuk mengekspresikan
koping
perasaan
keluarga
DO : Adanya trauma
psikologi pada orang
tua, adanya sifat
kurang menerima,
sensitif, adanya
sumbing pada bibir
dan palatum
pasien dan
keluarga
menunjukan
penerimaan
terhadap bayi
keluarga
mendiskusikan
perasaan dan
kekhawatiran
mengenai defek
anak,
perbaikannyadan
proses masa
depan
2. tunjukan sikap
penerimaan terhadap
bayi dan keluarga
3. tunjukan dengan
perilaku bahwa anak
adalah manusia yang
berharga
4. gambarkan hasil
perbaikan bedah
terhadap
defek,gunakan foto
hasil yang memuaskan
5. anjurkan pertemuan
dengan orang tua lain
yang mempunyai
pengalaman serupa dan
dapat menghadapinya
dengan baik.
6. menganjurkan orangtua
untuk selalu menjaga
kesehatan bayinya
Rasional
2. Meredam sikap
sensitif
orangtua
terhadap sikap
sensitif orang
lain
3. Mendorong
penerimaan
terhadap bayi
4. Untuk
mendorong
adanya
pengharapan
5. Membantu
orangtua
mendiskusikan
kekhawatirann
ya, berbagi
pengalaman
swehingga
timbulnya sifat
menerima
terhadap bayi
6. Untuk
mencegah
terjadinya
defek pada
21
bayi
N
o
Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan
Tujuan
Setelah
mendapatkan
tindakan
keperawatan di
harapkan trauma
sisi pembedahan
DS : Bayi rewel,
tidak terjadi dengan
menangis,tidak dapat kriteria :
beristirahat dengan
tenang dan nyaman, bayi tidak rewel
dan menangis
sulit mengisap dan
Bayi dapat
menelan Asi.
beristirahat
DO : adanya garis jahitan
dengan tenang
dan nyaman,
pada daerah mulut
dapat menelan
Asi denagan
baik.
Intervensi
Rasional
1. Mencegah
trauma pada
sisi operasi
2. Pertahankan alat
pelindung bibir.
Gunakan teknik
pemberian makan
nontraumatik.
3. Gunakan paket restrain
pada bayi
4. Hindarkan
menempatkan objek di
dalam mulut setelah
perbaikan kateter
mengisap. Spatel lidah
sedalam dot atau
pendek kecil.
5. Jaga agar bayi tidak
menangis dengan jelas
dan terus menerus
2. Melindungi
garis jahitan
dan
meminimalkan
resiko trauma.
3. Mencegahnya
agr tidak
berulang dan
menggaruk
wajahnya
4. Mencegah
trauma pada
sisi operasi
5. Menangis dapat
menyebabkan
tegangan pada
jahitan
N
o
Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan
Tujuan
Intervensi
Rasional
Setelah
mendapatkan
tindakan
keperawatan di
harapkan masalah
nyeri dapat
terkontrol dengan
kriteria :
Observasi
1. Dapat
menidentifikas
ikan rasa sakit
akut dan
ketidak
nyamanan
2. Ketidak
nyamanan
mungkin di
sebabkan oleh
adanya proses
inflamasi
3. Membantu
mengetahui
derajat ketidak
nyamana dan
keefektifan
analgesik
sehingga
memudah
dalam
memberi
tindakan
4. Mengurangi
rasa nyeri
5. Memberi rasa
aman dan
nyaman
6. Analgesik
menelan SSP
yang memberi
23
respon pada
observasi nyeri
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang atau
muara (buntu), pada esofagus (+). Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital
yang ditandai dengan tidak menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan
esofagus bagian distal. Atresia esofagus dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus,
yaitu kelainan kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus
dengan trakea.
2. Labio palato schisis merupakan kongenital anamali yang berupa adanya kelainan
bentuk pada stuktur wajah. Kelainan sumbing selain mengenai bibir juga bisa
mengenai langit-langit. Berbeda pada kelainan bibir yang terlihat secara estefik,
kelainan sumbing langit-langit lebih berefek kepada fungsi mulut seperti menelan,
makan,minum dan bicara. Keadaan ini menyebabkan intake minum / makanan yang
masuk
menjadi
kurang
dan
jelas
berefek
terhadap
pertumbuhan
dan
25