Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TETANUS

DI SUSUN OLEH
PUSPITASARI

POLITEKNIK KEMENKES MATARAM


PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN BIMA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik di 90 negara
berkembang. Bentuk yang paling sering pada a\0nak adalah tetanus neonatorum yang menyebabkan
kematian sekitar 500.000 bayi tiap tahun karena pnra ibu tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada
anak yang lebih besar berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk akibat objek yang kotor
walaupun ada juga kasus tanpa riwayat trauma tetapi sangat jarang, terutama pada tetanus dengan masa
inkubasi yang lama. Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang
hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di
negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesia
merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus neonatorumnya
tinggi. Pada tahun 1988 jumlah kematian neonatus 54633 dan pada tahun 1992 berjumlah 33264
sedangkan angka kematian tetanus neonatorum pada tahun 1988 sebesar 10,9 dan tahun 1992
sebesar 7,3 . Angka tersebut cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga yakni Vietnam
dengan jumlah kematian karena tetanus neonatorum tahun 1988 sebanyak 9598 dan tahun 1992
berjumlah 85550 dan angka kematian tahun 1988 dan 1992 adalah 4.8 dan 4,2 secara berurutan.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat dan dilakukan
secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate yang tinggi (70-90%)
sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih
menurunkan angka kematian. Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang
tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan
prognosisdari penyakit tetanus.

BAB 11
TETANUS
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan
rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang
berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis
tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf
autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot. Clostridium tetani merupakan organisme obligat
anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m. Mikroorganisme ini
menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum
atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan
pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan
terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini
menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui
kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan
tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan
kejang. Gambar Mikroskopik Clostridium tetani.

PATOFISIOLOGI
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk spora. Penyakit
akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada
keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi
dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan
dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat.
Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain
Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli
dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan.
Penyebaran toksin Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara,
sebagai cara berikut :
1. Masuk kew dalam otot, Toksin masuk kew dalam ototyg terletak di bawah atau sekitar
luka.kemudian kew otor sekitarnyadan seterusnya secara ansceden melalui sinap kew dalam

susunan saraf pusat


2. Penyebaran melalui sistem limfatik Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat
masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran
darah sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah. Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama
melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran
melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya
penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga
memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis
optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat
melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat
penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran
darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf
pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP) Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran
melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik,
sensorik dan autonom.
Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak
kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.
Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:
Tetanus lokal Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin tetanus
yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada di
sekitar luka.
Tetanus sefal Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot
yang terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang otak dan
medula spinalis servikalis.
Ascending Tetanus Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya
mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus
lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP.
Tetanus umum Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot
dan kemudian masuk ke dalam SSP.

Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir
ekstremitas. Hal ini disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling
pendek adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai daerah lain
sesuai urutan panjang saraf.
Mekanisme kerja toksin tetanus:
1. Jenis toksin Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin
mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan
neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti.
Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus
terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid
ujung membran presinaptik, baik pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf
pusat.
Ikatan ini penting untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara
pengikat dan toksisitas belum diketahui secara jelas.
Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin A yang
kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap mempunyai efek
antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf.
Tetanus toxin Normal: Inhibitory interneuron Glycine blocks excitation & acetylcholine
release muscle relaxation Tetanus toxin: Blocks glycine release no inhibition at acetylcholine
release irreversible contraction Spastic paralysis
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps
inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter
inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin.
GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi
mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif.
Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara
spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara
mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.
Perubahan akibat toksin tetanus:
1. Susunan saraf pusat Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan
listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.
Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga

terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat
kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus
kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain
seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin
karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap
toksin. Rasa sakit Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala
ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang.
Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada
kornu posterior dan interneuron. Fungsi Luhur Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada
mereka yang tidak sadar biasanya brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak,
seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang
diberikan.
2. Aktifitas neuromuskular perifer Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin
sehingga mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan
saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini
sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat
pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif
terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.
Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:
1. Neuropati perifer
2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang terbatas dan
nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah sembuh.
3. Denervasi parsial dari otot tertentu.
3. Perubahan pada sistem saraf autonom Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem
simpatis dan parasimpatis, hal ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari
kedua sistem tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang
berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke
kornu lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum
mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali
suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.
4. Gangguan Sistem pernafasan Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat : Kekakuan dan
hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot diafragma terkena paling akhir.
Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang terjadi sangat sering mengakibatkan

keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga menganggu ventilasi.


Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia dan
hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat
persarafan yang tidak terkena efek toksin.
Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya spasme dan
kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan dengan baik.
Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan pneumonia,
bronkopneumonia dan atelektasis.
Kelainan paru akibat iatrogenik.
GANGGUAN MIKROSIRKULASI PULMONAL
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang terjadi bisa berupa
kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi
pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.
Gangguan pusat pernafasan Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat
pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti
jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan
bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada penderita tetanus
adalah :
Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa ditemukan
adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode
ini bervariasi dalam beberapa menit sampai -1 jam.
Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory arrest (henti
nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.
Henti nafas akut dan mati mendadak. Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan
disebabkan oleh penyebab sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena
kejang lama atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat
gangguan keseimbangan asam basa.
5. Gangguan hemodinamika Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus
dengan gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada
tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena :

Kendala etik
Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru,
atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini
mempengaruhi sistem kardio-respirasi
Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit penilaian
dari hasil penelitian.
6. Gangguan metabolik Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan
adanya kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan
perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi
dengan pemberian muscle relaxans.
Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin
plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin. Peninggian
katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat memenuhi
kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan maka akan
terjadi hipoksia dengan segala akibatnya.
Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan
metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi
kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan
tidak cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa
pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.
7. Gangguan Hormonal Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus
dicurigai terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut
dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder.
Peningkatan alertness dan awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari
batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus
yang merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi
monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga
karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin. 8.
Gangguan pada sistem lain Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa
toksin secara langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh
tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongestipendarahan-ulserasi mukosa gaster.

Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan
fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal disebakan semata-mata
karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit
dan metabolik yang terganggu. Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus
besar dan retensi urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis
karena efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer
simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan
mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.

BAB III
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
1. Manifestasi Klinis
Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang
yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan penyakit, yang
berpengaruh terhadap prognostik.
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu: Tetanus lokal Tetanus lokal
merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya
meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau
proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.
Tetanus sefal Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang
disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus,
disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat
berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek. Tetanus umum Bentuk
tetanus yang paling sering ditemukan.
Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan,
kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit
dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan
seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya
karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang
adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan,
irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme.
Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus
yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku
dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah
hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya
disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Abletts : Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau
ringan, tidak ada gangguan respirasi. Derajat II (sedang) Trismus sedang dan kekakuan jelas,
spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia ringan Derajat III (berat) Trismus berat, otot
spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan

aktivitas sistem otonomi Derajat IV (sangat berat) Derajat III disertai gangguan otonomik yang
berat meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan
bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat.
Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik. Bila
pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat
meliputi derajat III dan IV.
2. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
-

Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.

Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap

Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut
(opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.

Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek

Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana
kesadaran tetap baik.

Temuan laboratorium :
-

Lekositosis ringan

Trombosit sedikit meningkat

Glukosa dan kalsium darah normal

Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat

Enzim otot serum mungkin meningkat

EKG dan EEG biasanya normal

Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat
membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk
tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang

BAB IV
DIAGNOSIS BANDING DAN KOMPLIKASI
1. Diagnosis banding Penyakit
Penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah:
-

Meningitis bakterialis

Rabies

Poliomielitis

Epilepsi

Ensefalitis

Tetani

Keracunan striknin

Sindrom Shiffman

Efek samping fenotiazin

Peritonsiler abses

2. Komplikasi Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan
sepsis.
Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau
faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme
saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada
sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi,
hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain
yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih,
gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik.

BAB V
PENATALAKSANAAN
A. Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
1. Antibiotik Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk
vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G,
ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap
klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Penisilin G
dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali sehari.
Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-14
hari. Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila
diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti
Penisilin G. Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading
dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6
jam.
Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka kematian yang
rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan
tetanus sedang. Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan
tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan
diberikan secara peroral. Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200
mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin
5-7,5 mg/kgBB/hari.
Perawatan luka Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan
luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan
sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen
peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin
1. Anti tetanus serum Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit,
setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya
dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu.
Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV. Udwadia (1994) mengemukakan
sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan
meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga

untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan
kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis
3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding
(1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal.
Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah timbul
gejala. Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan
pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena
kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal.
Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat
diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG
sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin
darah sebelum debridemen luka.
c. Menekan efek toksin pada SSP
1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini mempunyai
aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat.
Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan
ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps.
Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis
besar. Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali
sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam.
Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya
diberikan drip IV lambat selama 24 jam.
2. Barbiturat Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk
neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat
menyebabkan hipoksisa dan keracunan.
Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1
mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang.

Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari


dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik. Fenotiazin Klorpromazin diberikan dengan
dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali
sehari untuk neonatus.
Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok
terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.
B. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit perawatan
intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi harus
diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat dengan suhu
36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari.
Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan
dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian
oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau sekret
yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan.
Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada : Semua penderita dengan tetanus derajat IV Penderita
dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi konservatif dan PaO2
<> Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.
C. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus
a. Tetanus ringan Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian
antibiotik, HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti
diatas. Tetanus sedang Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi
atau trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian
cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral. Tetanus berat Penanganan
umum tetanus seperti diatas.
Perawatan pada ruang perawatan intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian
ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat
hebat dapat diberikan pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis
diberikan setiap 2-3 jam.
Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti

propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol. BAB VI PROGNOSIS Tetanus neonatorum
mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun, angka kematiannya antara 1020% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka kematiannya mencapai 70%.
Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang
mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus
umum.

DAFTAR PUSTAKA
Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam : Herry Garna, eda
Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi
3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213.
Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology. Edinburg :
Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871
Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson Textbook of
Pediatrics Vol 1 17th edition W.B. Saunders Company. 2004 Udwadia FE, Tetanus. Bombay:
Oxford University Press, 1993 : 305
Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia. WHO News
and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to date, Bull WHO 1994;
72 : 155-157 www.emidicine.com/ped/topic3038.htm

Anda mungkin juga menyukai